Dalam keadaan yang demikian itulah pasukan Kediri harus melawan serangan yang sangat dahsyat itu.
Apalagi pasukan lawan yang terdiri dari
orang-orang Kediri itu sendiri dipimpin oleh seorang Senapati yang luar
biasa. Seorang Senapati yang tangguh tanggon. Dan Senapati itu adalah
Mahisa Agni.
Dengan pedang di tangan Mahisa Agni maju
di ujung pasukannya. Seperti kilat yang menyambar di langit, kilauan
daun pedangnya menyilaukan mata. Namun kemudian ujung pedang itu
bagaikan mulut berribu-ibu ekor ular yang mematuk ke segala penjuru.
Senapati yang bertempur di pasukan induk
di belakang paruh pasukan Singasari itu-pun ternyata tidak terkatakan
lagi. Tidak seorang-pun yang dapat mendekatinya, apalagi mengenainya
dengan ujung senjata. Senapati itu adalah pimpinan tertinggi pasukan
Singasari. Dan Senapati itu adalah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi
sendiri.
Dengan demikian maka di dalam benturan
itu, pasukan Kediri tidak dapat tetap mempertahankan garis
pertahanannya. Setapak demi setapak mereka terdesak mundur.
Tetapi seluruh prajurit yang terlibat di
dalam peperangan itu terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar sorak
yang seakan-akan membelah langit justru di bagian belakang pasukan
Kediri yang sedang terdesak itu. Hampir setiap orang mencoba untuk
mengerti, apakah sebabnya maka mereka bersorak-sorak seperti sepasukan
prajurit yang menang perang. Padahal pasukan Kediri justru terdesak
beberapa puluh langkah mundur.
Akhirnya seluruh pasukan Kediri
mengetahui, apakah sebabnya maka kawan-kawan mereka bersorak riuh. Dan
bahkan dengan serta-merta mereka-pun ikut meneriakkan nama-nama yang
telah membuat hati mereka berdebar-debar.
“Mahisa Walungan dan Gubar Baleman telah
datang,” dan suara teriakan itu disambut oleh yang lain, “Mahisa
Walungan datang, Gubar Baleman telah ada di tengah-tengah kita.”
Pasukan Kediri seakan-akan mendapat nafas
baru di dalam kesulitan itu. Mahisa Walungan langsung maju ke ujung
pasukannya yang justru masih ada di belakang paruh pasukan Singasari,
sedang Gubar Baleman berada di tengah-tengah pasukannya untuk
menghentikan ujung pasukan lawan yang mencoba masuk semakin dalam
kegelar pasukannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu
menjadi semakin lama semakin dahsyat. Kini pasukan Kediri telah bangkit.
Mereka merasa mendapatkan kekuatan untuk mengimbangi banjir bandang
yang melanda dari perbatasan.
Gubar Baleman yang bertempur dengan
garangnya, segera berhasil maju ketengah-tengah barisan. Hatinya menjadi
berdebar-debar ketika dilihatnya korban telah terlampau banyak
berjatuhan.
Ketika tampak olehnya prajurit lawan yang
dengan garang mendesak terus, hatinya tiba-tiba berdesir tajam. Sejenak
ia mencoba mengamati mereka, seolah-olah ia tidak segera mempercayai
penglihatannya sendiri.
“Kau lihat prajurit Singasari itu,” desisnya kepada seorang prajurit di sampingnya.
Prajurit itu mengerutkan keningnya, “Bukankah mereka orang-orang Kediri?”
“Ya,” jawab prajurit itu. “aku melihat beberapa orang di antara mereka yang justru sudah aku kenal.”
“Kenapa mereka berada di pihak Singasari?”
Prajurit itu menggelengkan kepalanya.
Sejenak Gubar Baleman merenung. Kini
disadarinya semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh para pemimpin
Kediri. Ketidak tentuan yang berlarut-larut, sikap Sri Baginda yang
terlampau keras, apalagi terhadap golongan agama yang tidak mau
menganggapnya sebagai Dewa tertinggi yang menjelma di bumi.
Sekelompok demi sekelompok mereka telah
meninggalkan Kediri dan memasuki daerah Singasari. Adalah menyakitkan
hati sekali, ketika tanpa diketahuinya, para pemimpin prajurit di
perbatasan memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingan diri sendiri.
Dalam kekeruhan itu, muncullah Pujang Warit yang menambah suasana
bertambah kalut.
“Dan inilah akibat dari semuanya itu,” katanya di dalam hati.
Gubar Baleman tersadar ketika ia
mendengar dentang senjata dekat di sampingnya. Ketika ia mengangkat
wajahnya, tampaklah prajurit Singasari yang sebagian terbesar terdiri
dari orang-orang Kediri itu-pun mendesak maju.
“Apakah aku harus membunuh mereka?” Gubar Baleman menjadi ragu-ragu.
“Tetapi sudah tentu bahwa pasukan ini
hanya sebagian kecil saja dari seluruh pasukan Singasari,” katanya
kemudian. “mungkin aku harus menemukan lawanku di sana.” Gubar Baleman
menjadi bimbang. Namun tumbuhlah niatnya untuk berkisar dari tempat itu.
Mungkin ia akan mendapatkan lawan yang seimbang di tengah-tengah
pasukan lawan yang terdiri dari orang-orang Singasari.
Tetapi tiba-tiba ia tertegun sejenak.
Dilihatnya kini Senapati yang menjadi ujung pasukan lawan itu, bertempur
bagaikan seekor banteng yang terluka.
“Bukan main,” desis Gubar Baleman, “orang
itu pasti bukan sekedar seorang Senapati prajurit yang diketemukan di
antara para pengungsi dari Kediri.”
“Aku ternyata tidak dapat meninggalkan
lingkungan ini,” desis Gubar Baleman di dalam hatinya, “betapapun
beratnya bertempur di antara keluarga sendiri.” Dan sekilas terbayang
pasukan Pujang Warit yang sedang mengintai. Sehingga dengan demikian
kekuatan Kediri akan terpecah menjadi tiga pihak yang saling
bertentangan.
“Menyedihkan sekali,” keluh Gubar Baleman.
Tetapi ia tidak dapat hanya sekedar
mengeluh dan menyesali apa yang sudah terjadi. Kini pasukan Singasari,
siapapun mereka itu, telah berdiri di hadapannya.
Karena itu, maka segera ia-pun meloncat sambil mengacukan pedangnya menyongsong Senapati Singasari yang mendebarkan jantungnya.
Gubar Baleman langsung berusaha untuk
dapat bertemu dengan Senapati Singasari itu. Ia tidak dapat menyaksikan
prajuritnya terdesak terus-menerus. Sehingga dengan demikian, maka
terjadilah perang tanding antara kedua Senapati yang memiliki kemampuan
melampaui kemampuan manusia kebanyakan.
Ternyata Gubar Baleman menemukan lawannya yang benar-benar tangguh. Dan lawan yang tangguh itu adalah Mahisa Agni.
Dengan demikian maka pertempuran di
antara keduanya-pun benar-benar merupakan pertempuran yang terlampau
dahsyat. Dengan senjata di tangan masing-masing mereka sambar-menyambar,
desak-mendesak silih berganti. Keduanya memiliki kemampuan bergerak
terlampau cepat dibandingkan para prajurit yang bertempur di sekitarnya.
Tanpa sesadarnya seorang prajurit Singasari yang berasal dari Kediri tiba-tiba berdesis, “Gubar Baleman.”
Mahisa Agni mendengar desis itu. Dan
ia-pun mendengar Gubar Baleman mejawab, “Ya, akulah Gubar Baleman.
Pemimpin tertinggi pasukan Kediri. Kau mengenal aku.”
Prajurit itu sama sekali tidak menjawab.
Tetapi terasa dadanya berdesir. Gubar Baleman adalah seorang Menteri
yang bijaksana. Ia adalah orang yang paling banyak berbuat untuk rakyat
Kediri di dalam keadaan yang kalut. Tetapi prajurit Singasari itu tidak
sempat merenung terlampau lama. Perang berkecamuk semakin kisruh.
Ternyata kini bukan saja orang Kediri yang berperang di pihak Singasari,
tetapi orang-orang Tumapel-pun telah mengalir ke ujung barisan itu pula
dalam jumlah yang hampir tidak terhitung lagi.
Gubar Baleman yang bertempur mati-matian itu masih mendengar lawannya berdesis, “Jadi kaukah yang bernama Gubar Baleman?”
Sambil bertempur Gubar Baleman menjawab, “Ya, dan apakah kau Panglima tertinggi Singasari?”
Mahisa Agni meloncat surut ketika ujung
pedang Gubar Baleman hampir menyentuh pundaknya. “Tidak,” jawabnya,
“Senapati tertinggi di dalam pasukan kami adalah Sri Rajasa sendiri.”
Gubar Baleman mengerutkan keningnya.
“Aku adalah Mahisa Agni.”
Gubar Baleman tidak menyahut. Ia belum
pernah mendengar nama itu di dalam deretan nama para pemimpin Tumapel
sampai saat negeri itu menamakan dirinya Singasari.
Tetapi menilik kemampuannya, maka ia pasti tidak akan kalah dari pemimpin Singasari yang mana-pun juga.
Dengan demikian maka Gubar Baleman harus
sangat berhati-hati menghadapinya. Menurut pendengarannya. Akuwu Tunggul
Ametung pada masa hidupnya adalah seseorang yang pilih tanding, yang
selalu didampingi oleh Panglima pasukan pengawalnya yang bernama
Witantra. Tetapi kini yang datang ke Kediri adalah orang yang tidak
dikenal sebelumnya, Mahisa Agni dan Sri Rajasa sendiri.
“Baik orang ini maupun Sri Rajasa pasti
orang-orang pilihan. Ternyata Sri Rajasa telah berhasil menyingkirkan
segala orang yang mungkin dapat menggantikan kedudukan Akuwu yang
terbunuh itu,” berkata Gubar Baleman di dalam hatinya. “Sedang apakah
orang ini termasuk tangan kanannya pada saat ia mulai membangun
Singasari?”
Angan-angannya itu telah mengingatkannya
kepada Mahisa Walungan. Kalau Mahisa Walungan berhasil memecah pasukan
Singasari. maka ia mungkin sekali akan bertemu dengan Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi.
Demikianlah perang yang terjadi di
sebelah Utara Ganter itu-pun menjadi semakin lama semakin seru.
Masing-masing pasukan telah berusaha untuk dapat menembus pertahanan
lawan.
Di tengah-tengah berkecamuknya perang
itu. Senapati tertinggi Singasari. Sri Rajasa telah berhasil membakar
gairah perjuangan pasukannya. Dengan dahsyatnya ia menerjang
lawan-lawannya tanpa ampun.
Namun ia tertegun sejenak, ketika senjatanya tiba-tiba saja tersentuh oleh sehelai pedang yang telah menggetarkan tangannya.
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Di
hadapannya telah berdiri seorang yang bertubuh kekar, meskipun tidak
terlampau tinggi. Tatapan matanya yang tajam telah memancarkan kebesaran
jiwa dan kemampuan yang tersimpan di dalam diri orang itu.
“Siapa kau?” tiba-tiba Sri Rajasa berdesis.
“Apakah aku berhadapan dengan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?”
“Ya. Akulah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa.”
“Aku mengenal dari tanda-tanda kebesaran pada pakaianmu.”
“Siapa kau? Agaknya kau-pun pemimpin tertinggi kerajaan Kediri.”
“Aku Mahisa Walungan.”
“Adinda Sri Baginda Kertajaya?”
“Ya.” Ken Arok mengerutkan keningnya.
Sejenak ia melangkah surut, seakan-akan ingin melihat lawannya lebih
jelas lagi dari jarak yang tidak terlampau dekat.
“Kita akan menentukan akhir dari peperangan ini,” berkata Mahisa Walungan.
“Kau salah. Bukan hanya kita berdua.
Tetapi seluruh kekuatan di dalam pasukan kita masing-masing. Kau harus
mengakui, bahwa kekuatan pasukan Singasari jauh lebih besar dari pasukan
Kediri. Agaknya para pemimpin di Kediri merasa dirinya terlampau kuat,
sehingga kurang berhati-hati menghadapi Singasari. Karena Singasari
sekarang sama sekali berbeda dengan Tumapel pada waktu itu.”
“Ya, kau benar,” jawab Mahisa Walungan, “kita dan pasukan kitalah yang akan menentukan akhir dari peperangan ini.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi segera ia mulai lagi dengan pertempuran yang dahsyat di antara keduanya.
Tetapi Mahisa Walungan telah siap untuk
melayaninya. Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas tegaknya
Kediri, maka ia-pun segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk
melawan Sri Rajasa.
Ternyata bahwa Mahisa Walungan
benar-benar seorang yang pilih tanding. Ia mampu melubangi papan yang
sangat tebal hanya dengan jarinya. Kemudian tanpa sesadarnya ketukan
ujung jarinya itu pula telah membuat lekuk pada sebuah batu hitam yang
keras. Dengan demikian, maka ayunan tangannya itu benar-benar merupakan
sambaran angin, maut yang mengerikan.
Namun Sri Rajasa memang memiliki sesuatu
yang tidak dipunyai oleh orang-orang kebanyakan. Geraknya terlampau
cepat, dan kekuatannya-pun mampu mengimbangi lawannya. Sejak ia
mengabdikan diri di istana Tumapel, ia adalah seorang yang aneh. Dengan
jarinya pula ia mampu memijit sebuah kerikil sehingga pecah, pada saat
ia terganggu oleh sikap seorang Pelayan dalam ketika mereka sedang
menyaksikan perang tanding antara Kuda Sempana dan Witantra. Apalagi
pada saat-saat setelah itu. Kelebihannya berkembang terus tanpa
disadarinya sendiri.
Dengan demikian perkelahian di antara
kedua orang itu menjadi semakin lama semakin mengagumkan. Keduanya
seolah-olah berterbangan tanpa menyentuh tanah. Berputaran sambil
memutar senjata masing-masing sehingga tidak dapat diikuti lagi dengan
mata yang wantah.
Dengan demikian, selagi keduanya
menumpahkan segenap kemampuan mereka, para prajurit yang bertempur di
sekitar mereka-pun seolah-olah telah terdorong menjauh. Mereka menjadi
ngeri tersentuh sambaran angin yang dilontarkan oleh ayunan
senjata-senjata di tangan kedua orang yang sedang berkelahi mati-matian
itu.
Orang-orang Kediri menjadi heran, bahwa
di Singasari ada seorang yang mampu bertempur melawan Mahisa Walungan.
Namun orang-orang Singasari-pun menjadi tercengang. Adinda Sri Baginda
Kertajaya ternyata adalah seorang yang luar biasa.
“Apa sajakah yang mampu dilakukan oleh Sri Kertajaya sendiri,” mereka bertanya-tanya di dalam hati.
Dengan demikian, keduanya seakan-akan
memang mendapat kesempatan yang luas untuk saling mempertunjukkan
kemampuan mereka, meskipun mereka sendiri tidak bermaksud demikian.
Mereka masing-masing sudah berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuan,
sambil memeras segenap ilmu yang ada pada mereka.
Dalam pada itu dari ujung sampai ke ujung
pasukan, pertempuran masih berkecamuk, justru semakin sengit. Kedua
belah pihak saling menyerang dengan segenap kemampuan dan keberanian
yang mengagumkan. Namun dengan demikian maka jumlah prajurit dari
keduanya terasa berpengaruh dalam peperangan itu.
Meskipun ke dua belah pihak sama-sama
berani dan sama-sama tangguh, tetapi pasukan Singasari masih sempat
mencari waktu untuk bernafas sejenak, karena jumlah mereka yang lebih
banyak.
Namun demikian, para prajurit Kediri sama
sekali tidak berniat menghindarkan diri. Kediri harus dipertahankan
mati-matian, Singasari semula adalah daerah kecil yang diperintah hanya
oleh seorang Akuwu, sehingga tidak sepantasnya Singasari akan menguasai
Kediri.
Tetapi prajurit Singasari-pun mempunyai
suatu keyakinan yang teguh, bahwa Kediri harus dirubah bentuknya. Selama
ini Kediri telah melakukan banyak sekali kesalahan terhadap rakyatnya
dan daerah-daerah yang dikuasainya. Kekuasaan Sri Baginda Kertajaya yang
berlebih-lebihan, dan bahkan yang merasa dirinya bukan lagi manusia
sewajarnya.
Puncak dari kelalaian Sri Baginda
Kertajaya, adalah pada saat ia merasa dirinya seorang Dewa tertinggi
yang menguasai seluruh permukaan bumi.
Dengan demikian, maka peperangan itu
menjadi bertambah seru. Ketika matahari sudah melampaui puncak langit,
serta tangkai-tangkai senjata sudah basah oleh keringat, maka ke dua
belah pihak seakan-akan telah dimabukkan oleh nafas peperangan dan maut.
Dalam pada itu, jumlah korban seakan-akan
sudah tidak terhitung lagi. Mayat bergelimpangan membujur-lintang di
dalam genangan darah dan debu. Rintih dan erang tenggelam dalam dentang
senjata beradu.
Namun bagaimana-pun juga, di hari yang
pertama pasukan Singasari tidak berhasil memecahkan pertahanan Kediri.
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman masih bertahan sekuat-kuat kemampuan
mereka. Dengan demikian maka pasukannya-pun sama sekali tidak menjadi
gentar menghadapi angin prahara yang datang dari Singasari.
Meskipun demikian garis peperangan itu
telah bergeser beberapa tonggak, mendekati kota. Sekuat-kuat pertahanan
pasukan Kediri, namun mereka terpaksa surut beberapa langkah. Tetapi
tekad yang bulat di dalam dada mereka sama sekali tidak tergoyahkan.
Ketika matahari kemudian terbenam,
terdengarlah suara tanda-tanda dari ke dua belah pihak, seakan-akan
telah berjanji untuk menghentikan peperangan. Betapa darah menggelegak
sampai ke ujung rambut, tetapi para prajurit jantan di kedua pihak
saling menghormati tengara itu, bahwa perang harus dihentikan di saat
matahari tenggelam di ujung langit sebelah Barat.
Pasukan ke dua belah pihak yang lelah
itu-pun tersuruk-suruk mengundurkan diri. Karena pasukan Singasari tidak
sempat membuat pesanggrahan, mereka bertebaran di padukuhan-padukuhan
di sekitar tempat peperangan itu. Padukuhan yang telah kosong
ditinggalkan mengungsi oleh para penghuninya.
“Kita harus menyelesaikannya tidak lebih dari sepekan,” geram Sri Rajasa, “Kita pada hari kelima harus sudah berada di kota.”
Mahisa Agni dan para panglima tidak menyahut.
“Kalau di hari kelima kita belum memasuki
kota,” Sri Rajasa melanjutkan, “berarti kita dalam keadaan yang gawat.
Perbekalan kita tidak akan membantu lagi, sedang para prajurit pasti
sudah menjadi terlampau lelah.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Meskipun ia seorang Senapati namun terpengaruh oleh hubungan pribadinya,
maka kadang-kadang ia lupa bahwa ia berhadapan dengan Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi, bukan lagi dengan Ken Arok, hantu padang Karautan.
Karena itu, hampir tidak sesadarnya ia berkata, “Tidak seluruhnya kita
akan gagal. Kita setidak-tidaknya sudah menguasai suatu daerah yang
tidak akan kita lepaskan lagi, meskipun seandainya kita tidak segera
dapat menembus dan merebut Kota Raja. Tetapi pasukan kita akan tetap
berada di ambang pintu. Dan kita akan mempertahankan setiap jengkal
tanah yang sudah kita satukan dengan Singasari setelah kita
membebaskannya dari tangan Sri Baginda Kertajaya yang merasa dirinya
Penguasa Bumi.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia
mengerti maksud Mahisa Agni. Tetapi ia tidak ingin mengendorkan
peperangan itu. Maka katanya, “Tidak. Aku tetap pada pendirianku. Kediri
harus kita kuasai tidak lebih dari sepekan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Terbayang di wajahnya suatu kecemasan yang dalam. Dan di dalam hatinya
ia memang berkata, “Ken Arok tidak memperhitungkan, berapa banyak korban
akan berjatuhan.”
Tetapi Mahisa Agni tidak menjawab lagi.
Apalagi ketika ia sadar, bahwa yang mengatakan rencana itu adalah Sri
Baginda Singasari dan sekaligus pimpinan tertinggi segenap pasukan yang
maju ke medan perang ini.
Meskipun demikian, Mahisa Agni masih
mencoba membayangkan cara lain yang lebih baik. Bukan membenturkan
seluruh kekuatan seperti yang terjadi saat ini.
“Kami dapat menempuh beberapa jalan,”
katanya di dalam hati, “dengan pasukan yang lebih kecil, kami dapat
memasuki kota lewat beberapa jurusan. Dengan melepaskan pasukan cadangan
lewat jurusan lain, kami akan dapat memecah perhatian para prajurit
Kediri.”
Tetapi Mahisa Agni tidak mengatakannya.
Dan Mahisa Agni itu-pun tidak mengerti bahwa sebenarnya Kediri juga
menyimpan pasukan cadangan yang cukup kuat. Pasukan Pujang Warit.
Di bagian lain. Mahisa Walungan duduk
terpekur sambil membelai hulu pedangnya. Di sampingnya Gubar Baleman
duduk bersandar sebatang pohon manggis.
Sejenak mereka saling berdiam diri.
Mereka sedang sibuk dengan angan-angan masing-masing. Meskipun
sekali-sekali mereka berpaling melihat beberapa orang prajurit yang
sedang mengusung kawan-kawan mereka yang terluka.
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam. Sepercik kecemasan melonjak di dalam hatinya. Mau tidak mau
ia melihat kenyataan, bahwa jumlah prajuritnya tidak sebanyak prajurit
Singasari. Apalagi pasukannya tidak mempunyai kelebihan yang dapat
dibanggakan dari pasukan lawan. Hampir setiap prajurit, baik dari Kediri
maupun dari Singasari memiliki kemampuan dan tekad yang sama. Itulah
sebabnya maka Mahisa Walungan memandang akhir dari peperangan ini dengan
wajah yang suram.
“Kalau saja Pujang Warit dapat mengerti,” katanya di dalam hati.
Meskipun demikian Mahisa Walungan tidak
menjadi berkecil hati. Ia merasa, bahwa pasukannya masih cukup kuat
untuk bertahan, selagi beberapa orang Senapati masih berusaha untuk
menyusun kekuatan yang akan dapat digabungkannya di dalam peperangan
itu.
“Singasari memusatkan seluruh kekuatannya di sini,” tanpa sesadarnya Mahisa Walungan bergumam.
Gubar Baleman berpaling. Sejenak ia
merenung. Kemudian terdengar ia menyahut, “Ya. Agaknya Singasari ingin
memecah gerbang Kota Raja dari satu arah.”
“Kami masih mendapat kesempatan untuk
menarik pasukan-pasukan pengawal dari dalam kota dan pasukan-pasukan
keamanan dari segala penjuru.”
“Ya,” desis Gubar Baleman. “tetapi Pujang
Warit benar-benar seorang yang mementingkan dirinya sendiri melampaui
kepentingan Kediri.”
“Aku berprihatin karenanya. Tetapi bukan saatnya sekarang kita berselisih.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Besok kita mendapat beberapa tenaga yang
masih segar. Sepasukan keamanan telah datang. Masih ada beberapa
kelompok yang akan menyusul.”
Sri Rajasa ternyata seorang Panglima yang
ulung. Ia-pun menyimpan tenaga cadangan untuk memberikan pukulan
terakhir kepada lawannya.”
Mahisa Walungan tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Kembali keduanya terdiam. Masing-masing
telah dicengkam oleh angan-angan yang meskipun tanpa berjanji, namun
gambaran-gambaran yang melintas, mempunyai banyak kesamaan.
Keduanya menyesal, bahwa Kediri telah
diterkam oleh arus perpecahan di saat-saat yang menentukan ini. Keduanya
menyesal bahwa Pujang Warit seakan-akan telah menjadi gila. Dan
keduanya menyesal pula, bahwa Singasari berhasil menyusun sekelompok
pasukan yang justru terdiri dari orang-orang Kediri dipimpin oleh
seorang Senapati yang luar biasa, yang setelah bertempur sehari penuh,
namun Gubar Baleman tidak berhasil menundukkannya.
“Agaknya kami belum bersungguh-sungguh,”
desis Gubar Baleman di dalam hatinya, “kami masih terganggu oleh
pertempuran di sekitar kami. Kami masih terganggu oleh tugas-tugas kami
sebagai seorang Senapati. Pada saatnya, aku ingin menimbang, betapa
beratnya Senapati Singasari yang bernama Mahis Agni itu.”
Meskipun demikian dengan jujur Gubar Baleman mengakui, bahwa kemampuan lawannya itu telah membuatnya berdebar-debar.
Sebenarnya tidak sia-sialah Mahisa Agni
mempelajari dengan tekun ilmu dari perguruan mPu Purwa, yang diramu
dengan ilmu mPu Sada dalam masa-masa pembajaan diri di sarang Kebo
Sindet, sehingga ia memiliki kemampuan untuk berhadapan langsung dengan
Senapati Kediri yang ngedab-edabi ini.
Para Senapati dari kedua pasukan yang
sedang beristirahat itu, hampir semalam suntuk tidak dapat memejamkan
mata mereka. Setiap saat mereka harus melihat kesiap siagaan pasukan
masing-masing. Namun baik para Senapati Kediri maupun Senapati Singasari
menganjurkan kepada para prajurit, agar mereka beristirahat
sebaik-baiknya, selain yang mendapat giliran bertugas.
Sedang para Senapati itu-pun telah
membagi diri untuk dapat meskipun hanya sekejap, beristirahat pula.
Besok mereka harus memeras tenaga menyabung nyawa di bawah bahaya dan
maut.
Seorang prajurit muda yang tidak dapat
tidur meskipun telah lewat tengah malam menggeliat sambil berdesah.
Diusapnya tangkai tombaknya dengan tangannya yang dingin. Sejenak
terbayang keluarga yang ditinggalkannya di rumah, ayah yang sudah tua,
ibu yang duka dan dua orang adik perempuannya.
“Aku satu-satunya anak laki-laki,” desisnya.
Prajurit muda itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya sambil menggeram,
“Aku bertempur untuk mereka. Untuk hari depan anak-anak mereka meskipun
seandainya aku tidak pulang. Anak-anak adik-adikku itu kelak akan tetap
menjadi anak negeri yang besar, Kediri.”
Di sampingnya seorang yang telah hampir
berumur setengah abad tidur mendekur. Sekali-sekali tangannya menepuk
nyamuk yang menggigit pundaknya yang telanjang. Tetapi ia tidak
terbangun sama sekali.
Prajurit muda itu berpaling ketika seorang Senapati mendekatinya sambil bertanya, “He, kau tidak tidur?”
Prajurit muda itu menggeleng, “Aku tidak dapat tidur.”
“Tidurlah. Besok kau akan mendapat kekuatan baru untuk menghadapi pasukan Singasari itu.”
“Aku memang ingin tidur. Tetapi tidak dapat.”
“Apakah kau gelisah?”
Prajurit muda itu menggeleng, “Tidak.”
Senapati itu-pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Cobalah untuk tidur.
Sebentar lagi fajar akan menyingsing, dan kau akan segera mendengar
suara tengara. Sejenak kemudian kau sudah akan berdiri di dalam gelar
perang.”
Tetapi prajurit itu justru tersenyum, “Aku akan mencoba,” katanya.
Maka ditinggalkannya Prajurit muda itu di dalam keadaannya.
Mahisa Walungan sendiri telah membagi
waktunya dengan Gubar Baleman. Lawan-lawan mereka adalah lawan-lawan
yang luar biasa, sehingga mereka memerlukan tenaga yang segar untuk
menghadapinya.
Berbeda dengan mereka itu, Sri Rajasa
sama sekali tidak berhasrat untuk tidur, meskipun para Panglima
pasukannya menganjurkannya. Hanya Mahisa Agni sajalah yang membiarkannya
berjalan hilir mudik di antara pasukannya, sedang Mahisa Agni sendiri,
meskipun hanya sebentar, dapat tidur dengan nyenyaknya.
“Hantu Karautan itu sanggup berkeliaran
sepekan tanpa tidur sama sekali,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya,
“bahkan badannya akan menjadi sakit-sakitan kalau ia terlampau banyak
tidur meskipun badannya itu lelah. Tetapi lelah itu-pun hampir tidak
dikenalnya.”
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa itu seakan-akan tidak merasakan apapun setelah
bertempur sehari penuh melawan seorang Senapati yang pilih tanding dari
Kediri. Bahkan bukan saja ia bertempur dalam perang tanding, namun ia
masih harus memperhatikan seluruh pasukannya. Dari ujung sampai ke ujung
gelarnya.
Dan itulah kelebihan Ken Arok dari
orang-orang lain. Tubuhnya yang terlatih mengalami segala macam keadaan
sejak kecilnya, telah membuatnya seorang manusia yang aneh.
Demikianlah ketika malam menjadi semakin
dalam, kemudian menjelang saat fajar, pasukan di ke dua belah pihak
sudah mulai bangun. Mereka yang bertugas untuk menyiapkan makan para
prajurit, telah bekerja dengan cekatan sesaat setelah tengah malam
dilampaui.
Ketika langit di Timur telah membayang
warna-warna merah, maka para prajurit di ke dua belah pihak telah
mempersiapkan diri. Mereka membekali diri mereka dengan
selengkap-lengkap dapat mereka lakukan. Di antaranya. mereka telah makan
sekenyang-kenyangnya, agar mereka tidak kehabisan tenaga sebelum senja.
Demikianlah, semakin cerah warna langit,
maka semakin sibuklah para prajurit dan Senapati di ke dua belah pihak
itu. Mereka mengemasi pakaian mereka, senjata dan
perlengkapan-perlengkapan yang mereka perlukan.
Rajasa yang sama sekali tidak tidur
sekejap-pun itu telah berada di atas sebuah gundukan batu memandang ke
arah nasukan lawan yang masih disaput oleh kabut pagi.
Perlahan-lahan penongsongnya
datang mendekatinya sambil membawa payung kebesaran Raja Singasari,
“Apakah hamba hari ini juga tidak diperkenankan ikut Sri Baginda?”
bertanya orang itu.
Sri Baginda berpaling. Dilihatnya juru penongsong itu berdiri sambil menundukkan kepalanya. Kedua tangannya menggenggam tangkai payung kebesaran Sri Rajasa.
Namun Sri Rajasa kemudian menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tinggallah kau di sini. Kau berada bersama-sama
dengan para pengawal panji-panji yang hari ini juga tidak akan ikut ke
medan. Menurut perhitunganku, hari ini kita belum dapat memecahkan
pasukan lawan. Di hari ketiga aku akan memasang gelar lengkap dengan
segala macam tanda kebesaran Singasari.”
Penongsong itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk.
“Nah, bawalah payung itu kembali. Dan panggil Mahisa Agni.”
Penongsong itu menunduk dalam-dalam. Tetapi ia merasa kecewa, bahwa ia tidak dapat berada di peperangan bersama Rajanya.
Sejenak kemudian Mahisa Agni-pun telah datang. Ia-pun kemudian meloncat pula keatas gundukan batu di belakang Sri Rajasa.
“Apakah Tuanku memanggil hamba?” bertanya Mahisa Agni.
Sri Rajasa berpaling. Sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya. Kemarilah.”
Mahisa Agni-pun kemudian datang mendekat.
“Kita akan segera mulai,” gumam Sri Rajasa.
“Ya Baginda.”
“Kau mendengar laporan petugas sandi itu?”
“Hamba Baginda.”
“Bagaimana pikiranmu?”
“Petugas sandi itu tidak dapat
mengatakan, bahwa pasukan di padukuhan itu adalah pasukan cadangan.
Tidak ada seorang penghubung-pun yang tampak datang atau pergi dari
tempat itu ke medan ini atau sebaliknya, selama di dalam pengawasannya.”
“Ya, petugas kami yang terdahulu pernah melaporkan tentang perpecahan ini.”
“Hamba Baginda. Seorang Kediri yang ada
di dalam lingkungan kami berhasil mendapat keterangan tentang hal itu,
meskipun tidak jelas dan pasti.”
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Kami menghubungkan laporan yang
samar-samar itu dengan pengamatan petugas sandi yang semalam mengawasi
pasukan itu. Mungkin memang benar tidak ada hubungan apapun di antara
kedua pasukan ini.”
Tetapi Sri Baginda kemudian berkata,
“Kita tidak dapat menduga-duga saja di dalam hal ini. Kita harus
meyakinkan. Menurut perhitunganku ada atau tidak ada hubungan, pasukan
itu dapat merupakan bahaya yang datang setiap saat. Di kala kita lengah,
pasukan itu akan menghancurkan kita. Mungkin mereka menunggu kita dan
pasukan Kediri yang lain itu bersama-sama menjadi letih. Pada saatnya
mereka datang membawa panji-panji kemenangan.”
“Jadi apakah maksud Sri Baginda?”
“Kita pancing mereka ke dalam peperangan.”
“Di medan ini juga?”
Sri Baginda menggeleng, “Tidak. Kita
membuka dua medan, selagi tenaga kita masih cukup segar. Aku kira puncak
pimpinan Kediri baik Gubar Baleman maupun Mahisa Walungan ada di sini.
Kau tetap berusaha menemukan Gubar Baleman, dan aku akan menahan harimau
dari Kediri yang bernama Mahisa Walungan itu. Biarlah Panglima pasukan
tempur Singasari yang memimpin sebagian pasukan cadangan dan beberapa
kelompok dari pasukan ini untuk menariknya ke dalam sebuah pertempuran.
Kita akan segera mengetahui kekuatannya. Kalau perlu Senapati itu dapat
memanggil pasukan cadangan yang lain, apabila ternyata pasukan lawan
terlampau besar.”
“Kita membuka dua garis perang?”
“Mau tidak mau, selagi kita masih cukup
segar. Aku yakin bahwa pada akhirnya kita juga harus melawan mereka.
Meskipun mereka tidak mau menempatkan diri mereka di bawah pimpinan
Mahisa Walungan misalnya, tetapi mereka tetap prajurit Kediri.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kita segera memecah pasukan, sebelum tengara itu terdengar.”
Mahisa Agni tidak sempat menjawab. Karena Sri Rajasa segera meloncat turun sambil berkata, “Bukankah kau sependapat?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia menyadari,
bahwa Sri Baginda itu memang tidak menunggu jawabannya. Ia sudah
mengambil suatu keputusan yang akan segera dilakukannya.
Dengan cepatnya Ken Arok telah berhasil
menentukan seorang Senapati bersama sepasukan prajurit untuk menghadapi
pasukan Kediri yang belum terlibat dalam perang di sebelah Utara Ganter
itu.
Setelah mendapat petunjuk-petunjuk
seperlunya, maka dilepaslah pasukan itu melingkari medan, mendekati
pasukan yang dipimpin oleh Pujang Warit.
Demikianlah ketika langit menjadi semakin
cerah, pasukan di ke dua belah pihak telah menyusun diri di dalam gelar
masing-masing. Mereka berbaris dalam suatu tebaran yang melebar.
Sepasukan yang paling terpercaya berada di paruh pasukan, yang kemudian
diikuti oleh induk pasukan bersama Senapati tertinggi.
Kali ini yang berada di paruh pasukan
Singasari adalah pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Agni pula. Tetapi
pasukan itu kini diperlengkapi dengan prajurit-prajurit yang paling
terpercaya dari Singasari sendiri, setelah di hari pertama pasukan itu
menggoncangkan perasaan para Senapati Kediri, karena mereka ternyata
terdiri dari orang-orang Kediri pula.
Dengan demikian maka susunan kedua
pasukan itu hampir tidak banyak berubah. Beberapa orang prajurit yang
masih segar menggabungkan dirinya pada pasukan Kediri. Sedang pasukan
Singasari masih juga belum menurunkan pasukan cadangan, kecuali sebagian
dari mereka yang telah dikirim untuk memancing pertempuran
prajurit-prajurit Kediri yang dipimpin oleh Pujang Warit.
Sejenak kemudian para prajurit di ke dua
belah pihak menjadi tegang. Sebentar lagi pasti akan terdengar tengara.
Apabila langit menjadi terang, kedua pasukan itu pasti akan segera
terlibat di dalam peperangan.
Agaknya pasukan Kediri sudah menjadi
lebih teratur. Mereka telah sempat menyusun gelar dengan tanda-tanda
kebesaran mereka. Sebuah payung kebesaran bagi Adinda Sri Baginda yang
mewakili Sri Kertajaya memimpin perlawanan, karena Sri Baginda sendiri
sedang diamuk oleh keprihatinan yang bercampur baur dengan keangkuhan.
Kemudian beberapa jenis umbul dan tunggul panji-panji.
Dalam pada itu Sri Rajasa yang
menyaksikan gelar pasukan Kediri dari kejauhan, walau-pun sama-sama,
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya lantang, “Jangan
hiraukan tanda-tanda kebesaran pasukan Kediri. Mereka berusaha untuk
menutupi kekecilan hati mereka karena kekalahan yang nereka derita pada
hari pertama. Di hari ini kalian harus berhasil menghancurkan sebagian
dari pasukan itu. Sebagian terbesar. Di hari ketiga kita akan memecahkan
barisan itu langsung memasuki kota.”
Para prajurit Singasari serasa tersentuh oleh kata-kata itu, dan telah memacu mereka untuk bertempur lebih gigih lagi.
“Kita merindukan Singasari yang besar dan satu. Satu lingkungan yang besar di dalam segala tata kehidupan.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian
terdengarlah tengara telah berbunyi. Semula hanya pada satu pihak.
Singasari. Tetapi kemudian Kediri-pun memperdengarkan tengara pula bagi
para prajuritnya untuk maju ke medan perang.
“Kita pertahankan negeri ini,” teriak Mahisa Walungan.
Para prajurit Kediri-pun menyambutnya
dengan sorak yang gemuruh. Panji-panji dan umbul-umbul, rontek serta
segala macam tanda-tanda kebesaran pasukan Kediri terangkat
tinggi-tinggi bersamaan dengan jatuhnya sinar Matahari yang pertama kali
pada ujung payung yang kuning gemerlapan.
Pertempuran di hari kedua ini-pun tidak
kalah dahsyatnya. Seperti di hari pertama Mahisa Agni berusaha untuk
selalu membayangi Gubar Baleman. sedang Mahisa Walungan langsung
bertempur melawan Sri Rajasa.
Namun perhatian mereka kini justru lebih
besar terarah kepada para prajurit yang sedang bertempur. Mereka
menyadari bahwa baik Gubar Baleman, maupun Mahisa Agni tidak akan dapat
dengan cepat menundukkan lawan mereka, sementara perang masih
berkecamuk.
Pada hari yang kedua ini Kediri telah
mengerahkan segenap pasukan yang ada. Mereka percaya bahwa di hari
ketiga dan di hari-hari berikutnya, mereka masih akan sempat
mengumpulkan tenaga cadangan yang dapat mereka tarik dari segenap
penjuru. Bahkan betapapun keras hati Pujang Warit, selagi ia masih
menyebut dirinya prajurit Kediri, pasukannya masih dapat diharapkannya.
Tetapi ternyata pasukan Singasari telah mendahuluinya, memukul pasukan Pujang Warit yang sama sekali tidak menyangka.
Pujang Warit yang ada di perkemahannya
terkejut ketika ia mendengar laporan dari beberapa orang pengawas bahwa
sepasukan prajurit Singasari telah menuju ke arah perkemahan itu.
“Gila,” geram Pujang Warit, “apakah kau mimpi?”
“Sebenarnya kami telah melihat,” sahut prajurit pengawas itu.
Pujang Warit menggeretakkan giginya.
Tetapi sebagai seorang prajurit, maka ia-pun segera berteriak.
Dipanggilnya beberapa orang Senapati yang ada padanya, kemudian dengan
tergesa-gesa diperintahkannya untuk menyiapkan gelar.
“Apakah mereka benar-benar akan menyerang kita?” bertanya seorang Senapati.
“Mungkin sekali. Cepat, masuk ke dalam gelar.”
Tetapi para Senapati itu menjadi agak
cemas. Prajurit-prajurit mereka belum siap mengadakan perang beradu
gelar. Namun demikian, mereka tidak mendapat kesempatan untuk
menimbang-nimbang. Dengan tanda-tanda yang ada, Pujang Warit telah
mempersiapkan pasukannya.
“Yang belum sempat makan, usahakan, agar kalian tidak kelaparan,” teriak beberapa orang Senapati.
Para prajurit yang berdiri di dalam gelar
itu masih ada juga yang sempat membawa sebungkus nasi. Dengan tangkai
tombak yang dijepit dengan lengannya, ia menyuapi mulutnya dengan nasi
yang dibawanya.
“Aku tidak akan sempat makan di peperangan,” katanya.
Kawannya yang berdiri di sampingnya
memandanginya dengan tegang. Kemudian sahutnya, “Cepat. Kau lihat
pasukan lawan itu semakin dekat. Lambungmu justru akan sakit kalau kau
terlampau banyak makan.”
Tetapi prajurit itu tidak makan sendiri.
Beberapa orang yang lain ternyata ada juga yang sedang makan meskipun
agak tergesa-gesa. Pujang Warit yang berdiri di ujung pasukannya menjadi
tegang. Ia tidak memperhitungkan, bahwa pasukan Singasari akan membelah
diri di dalam saat-saat yang berat itu.
“Agaknya jumlah orang-orang Singasari memang terlampau banyak,” katanya kepada Senapati pengapitnya.
Senapati pengapit itu menganggukkan
kepalanya, “Ya. Di hari pertama mereka berhasil mendesak pasukan Kediri
yang dipimpin oleh Mahisa Walungan.”
Wajah Pujang Warit menjadi merah padam.
Katanya, “Setan itu sempat juga terlepas dari tiang gantungan. Tetapi
aku tidak mau berada di bawah pimpinannya. Aku tidak tahu kenapa Sri
Baginda masih dapat mempercayainya. Mungkin Sri Baginda menjadi bingung
ketika mendengar pasukan Singasari telah datang melanda pasukan Kediri
di perbatasan.”
Senapati pengapitnya tidak menjawab.
Tetapi wajah-wajah mereka yang tegang menatap pasukan Singasari yang
semakin lama menjadi semakin dekat.
“Kita harus bertahan,” desis Pujang
Warit, “kita harus tetap utuh sampai pasukan Mahisa Walungan hancur sama
sekali. Kita akan berdiri di atas bangkai kedua pasukan yang bodoh
ini.”
Senapati pengapitnya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kita harus mempertahankan diri dan mempertahankan Kediri.”
Sejenak kemudian maka Pujang Warit
memerintahkan membunyikan tanda bagi pasukannya. Dengan serta-merta,
gelarnya-pun maju menyongsong lawan yang mendatang.
Pimpinan pasukan Singasari
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Prajurit Kediri memang
prajurit yang telah matang. Dalam keadaan apapun mereka segera dapat
menempatkan diri mereka untuk menghadapi segala kemungkinan.”
Tetapi pasukan Singasari telah mendapat
penempaan yang matang pula, dekat menjelang peperangan ini, sehingga
tubuh dan ilmu mereka masih segar di dalam diri masing-masing.
Sejenak kemudian kedua pasukan itu-pun
telah saling berhadapan. Kaki-kaki mereka berderap di atas tanah
persawahan yang ditumbuhi oleh tanaman palawija yang hijau. Namun
kaki-kaki prajurit itu sama sekali tidak berusaha untuk menghindari
bunga kacang dan kedelai yang akan segera menjadi buah.
Demikianlah maka sesaat kemudian kedua
pasukan itu telah terlibat dalam peperangan. Keduanya terdiri dari
prajurit-prajurit yang memang sudah siap, untuk turun kegelanggang,
pertempuran.
Namun di dalam benturan yang pertama
sudah terasa, bahwa pasukan Singasari agak lebih kecil jumlahnya dari
pasukan Kediri. Kalau pasukan Kediri itu dapat menghancurkan pasukan
Singasari. maka hal itu pasti akan mempengaruhi keadaan medan yang lain.
Karena itu maka seorang penghubung segera melaporkannya kepada Senapati
yang bertanggung jawab atas laskar cadangan.
Sekelompok laskar cadangan Singasari
segera dikirim untuk menyelamatkan pasukan Singasari yang bertempur
melawan pasukan Pujang Warit. Ternyata tinjauan mereka terhadap kekuatan
pasukan lawan kurang cermat, sehingga para pemimpin Singasari salah
menilai. Untunglah bahwa di belakang mereka masih ada pasukan cadangan
yang memang dipersiapkan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang
tiba-tiba saja menimpa pasukan Singasari yang sedang bertempur itu.
Dengan kedatangan pasukan cadangan itu,
maka pasukan Singasari segera dapat bernafas lagi. Kini mereka tidak
lagi terdesak mundur. Dengan tekad yang menyala-nyala di dalam dada.
maka pasukan Singasari bertempur dengan gigihnya.
Demikianlah maka pertempuran itu-pun
menjadi semakin seru pula, seperti pertempuran di sebelah Utara Ganter,
tidak begitu jauh dari pasukan Pujang Warit yang sedang bertahan dengan
sekuat-kuat tenaga.
Namun tanda-tanda yang terdengar dari
pasukan Pujang Warit telah menumbuhkan pertanyaan di hati Mahisa
Walungan dan prajuritnya. Namun sebagai seorang prajurit Mahisa
Walungan, Gubar Baleman dan sebagian terbesar dari pasukannya, segera
menduga, bahwa pasukan Pujang Warit-pun telah terlibat pula di dalam
pertempuran.
“Sri Rajasa benar-benar seorang Panglima
yang baik,” desis Mahisa Walungan di dalam hatinya, “ia ingin
mempercepat penyelesaian. Kalah atau menang. Tetapi ia tidak mau
membiarkan dirinya ditunggu sampai kehabisan tenaga. Mumpung masih
segar, agaknya ia telah menyeret seluruh pasukan Kediri untuk terjun ke
dalam pertempuran ini. Termasuk pasukan Pujang Warit itu.”
Sambil bertempur Mahisa Walungan
meneruskan kata-kata di hatinya itu. “Tetapi itu lebih baik juga bagi
kami. Pujang Warit tidak sempat menunggu sampai kami hancur, kemudian
turun ke peperangan sebagai seorang pahlawan yang menyelamatkan Kediri.
Tetapi dengan pertempuran itu, kekuatan Singasari sudah terbagi.”
Ternyata bahwa di dalam pertempuran pada
hari kedua ini, Kediri tidak terdesak lagi seperti di hari pertama.
Meskipun pasukan Kediri tidak dapat maju lagi sampai kegaris
pertahanannya yang pertama, tetapi di hari kedua, baik Mahisa Walungan
maupun Gubar Baleman dapat bertempur dengan lebih tenang, karena
pasukannya tidak harus mundur setiap saat.
“Mudah-mudahan Pujang Warit bertahan di
tempatnya pula,” berkata Gubar Baleman di dalam hatinya, “dengan
demikian Singosari tidak dapat memusatkan kekuatannya di pertempuran
ini.” Menteri itu mengerutkan keningnya, lalu “persoalan di antara kami,
di antara pasukan-pasukan Kediri sendiri, dapat kami perhitungkan
kemudian.”
Semakin tinggi matahari, maka pertempuran
itu-pun berjalan semakin seru. Tetapi ketika panas telah membakar
punggung mereka yang berkeringat, maka lambat laun, tenaga para prajurit
di ke dua belah pihak itu-pun menjadi susut.
Pasukan Pujang Warit yang tidak bersiap
menghadapi serangan dalam gelar itu, ternyata semakin lama menjadi
semakin terdesak. Tenaga yang mereka persiapkan dengan tergesa-gesa, di
saat matahari mulai turun, menjadi terlalu banyak susut. Meskipun
demikian tekad untuk mempertahankan diri, sama sekali tidak berkurang
seujung rambut pun. sehingga bagaimana-pun juga, mereka sama sekali
tidak berniat untuk meninggalkan gelanggang.
Meskipun demikian, meskipun seluruh
kekuatan yang ada sudah dikerahkannya, namun pertahanan Pujang Warit
harus beringsut setapak demi setapak.
Tetapi pasukan itu tetap utuh. Mereka
tetap bertempur dalam satu kesatuan, sehingga meskipun mundur setapak
sama sekali tidak berpengaruh atas pertahanan itu.
Pujang Warit berusaha dengan memeras
tenaga, bertahan untuk hari ini. Besok mereka akan siap menghadapi
segala kemungkinan. Mereka tidak akan turun ke dalam gelar dengan
tergesa-gesa, tanpa persiapan lahir dan apalagi batin. Serangan yang
mengejutkan itu mau tidak mau mempunyai pengaruh yang tidak dapat
diabaikan para prajuritnya.
Sampai matahari condong ke Barat, pasukan
Pujang Warit masih tetap dapat bertahan meskipun dengan susah payah.
Mereka tidak terlampau banyak terdesak mundur. Namun demikian, tenaga
prajuritnya sudah menjadi jauh berkurang.
Rasa-rasanya matahari berjalan semakin
lambat, seakan-akan dengan sengaja memberi kesempatan kepada pasukan
Singasari untuk mendesak lawannya terus.
Tetapi akhirnya matahari itu-pun menjadi
semakin rendah. Cahaya yang kemerah-merahan mulai tersangkut di ujung
pepohonan. Bersamaan dengan senja yang semakin suram, harapan di dada
Pujang Warit menjadi semakin mekar, bahwa pasukannya akan dapat bertahan
sampai gelap. Besok mereka akan mendapat kesempatan untuk mengatur
pasukannya jauh lebih baik dari ini. Persiapan-persiapan lainnya,
penempatan pasukan menurut tingkat kemampuan setiap prajurit di dalam
gelar dan senjata-senjata yang lebih baik akan dapat banyak membantu.
Dan harapan itu-pun ternyata terpenuhi.
Sebentar kemudian mereka mendengar tanda di kejauhan, meskipun
lamat-lamat. Tanda-tanda yang terdengar di sebelah Utara Ganter. bahwa
pertempuran untuk hari itu diakhiri.
Pasukan Singasari-pun kemudian
mengendorkan tekanannya. Tanda-tanda di pasukan itu-pun terdengar pula.
Demikian juga pada pasukan Kediri, sehingga perang-pun terhenti. Sebagai
prajurit-prajurit yang jantan tidak satu pihak-pun yang berbuat curang,
pada saat lawan menarik diri.
Betapa sibuknya pasukan di ke dua belah
pihak dengan prajurit-prajuritnya yang terluka. Mereka berusaha untuk
menemukan di seluruh medan. Yang terluka bagi ke dua belah pihak
mempunyai kesempatan pertama untuk mendapat perawatan. Yang sudah gugur,
namanyalah yang akan tetap dikenang. Tetapi yang masih dalam
penderitaan harus segera mendapat pertolongan.
Seorang prajurit tua yang duduk bersandar
sebatang pohon kelapa menarik nafas dalam-dalam. Umurnya telah mencapai
setengah abad. Tetapi ia masih tetap berada di lingkungan keprajuritan.
Telah sekian kali ia mengalami peperangan sedahsyat ini. Dan telah
sekian kali pula ia melihat mayat berserakan dan orang-orang yang
terluka mengerang kesakitan.
“Manusia memang aneh,” desisnya, “mereka
saling melukai dan membunuh. Kemudian mereka dengan susah-payah
mengobatinya. Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki? Mereka saling
membunuh untuk ditangisi kembali.”
Prajurit tua itu menarik nafas
dalam-dalam, sekali lagi dan sekali lagi. Kemudian karena kelelahan,
tanpa disadarinya ia-pun jatuh tertidur.
Dikemahnya, Pujang Warit mengumpat habis-habisan. Ternyata korban telah banyak yang jatuh.
“Kita tidak sempat mengatur gelar lebih
baik dari yang dapat kita susun dengan tergesa-gesa itu,” geramnya,
“besok kita dapat memilih. Prajurit-prajurit yang berpengalaman dan
memiliki kemampuan yang lebih baik harus tersebar dari ujung gelar
sampai ke ujung yang lain, agar tidak ada bagi dari gelar yang terlampau
lemah, sehingga memungkinkan jatuhnya korban terlampau banyak.”
Para pemimpin kelompok mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Sekarang beristirahatlah. Kita harus
menghemat tenaga. Besok kita akan bertempur lagi. Jangan sampai
terlambat, penyediaan makan para prajurit sebelum fajar.”
Para pemimpin kelompok itu-pun segera meninggalkan Pujang Warit yang masih duduk dengan beberapa orang Senapati yang terpercaya.
“Apakah pertahanan ini menguntungkan?” ia bertanya di dalam hatinya.
Sejenak ia termenung. Dicobanya
membayangkan apa yang terjadi di sebelah Utara Ganter. Apakah Mahisa
Walungan dan Gubar Baleman yang ternyata mendapat kesempatan lagi dari
Sri Baginda itu mampu bertahan?
“Memang keparat orang-orang Singasari,”
desisnya, “kalau mereka tidak tergesa-gesa menyerang, Mahisa Walungan
dan Gubar Baleman pasti sudah digantung. Sehari saja mereka menunda
serangannya, maka mereka tidak akan bersusah payah membunuh
harimau-harimau yang garang itu.”
Para Senapati yang lain berpaling ke arahnya, tetapi mereka tidak mendengar kata-kata itu dengan jelas.
“Apakah ada di antara kalian yang mempunyai pendapat tentang garis pertahanan kita?” tiba-tiba Pujang Warit bertanya.
Kawan-kawannya saling berpandangan
sejenak. Terasa dari pertanyaan itu, bahwa agaknya telah tumbuh sesuatu
di hati Pujang Warit. Tetapi agaknya masih belum cukup masak untuk
diutarakan, sehingga ia berusaha untuk memancing masalah yang dapat
dipakainya sebagai pancadan pembicaraan.
Namun kawan-kawannya tidak mengerti, ke mana arah jalan pikiran Senapati yang masih muda itu.
Sejenak Pujang Warit-pun terdiam. Kepalanya sekali-sekali mengangguk-angguk, namun kemudian keningnya berkerut-merut.
“Bagaimana bunyi laporan petugas sandi itu? “ tiba-tiba bertanya.
“Tentang apa?” bertanya salah seorang Senapatinya.
“Panglima pasukan Singasari.”
“Sri Rajasa sendiri.”
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Katanya, “Betapapun saktinya orang Tumapel. mereka tidak akan melampaui orang-orang Kediri.”
Para Senapati lawannya berbicara tidak
ada yang menyahut. Namun terasa, bahwa di dalam kata-kata Pujang Warit
itu tersimpan keragu-raguan hatinya. Baik Pujang Warit maupun para
Senapati lainnya, tidak dapat menutup mata, bahwa orang Singasari itu
mampu bertempur dua hari penuh. Mereka tetap pada garis perang yang
terjadi sejak benturan pertama. Bahkan mereka telah mendesak beberapa
tonggak maju.
Dengan demikian maka untuk sejenak mereka
saling berdiam diri. Berbagai pertanyaan telah menyentuh setiap hati.
Apakah yang akan terjadi besok dengan pasukan ini?
Sementara itu, di perkemahannya, Mahisa
Walungan duduk menghadapi semangkuk air panas. Wajahnya yang murung
merenungi lampu minyak yang terombang-ambing oleh angin yang menyusup
keperkemahan.
Di sebelahnya Gubar Baleman memandang
kekejauhan, menembus gelapnya malam lewat pintu yang terbuka.
Seolah-olah ingin mengetahui, rahasia apakah yang bersembunyi di balik
kekelaman itu.
“Kakang Gubar Baleman,” berkata Mahisa
Walungan. “hari ini kita sudah menambah prajurit yang dapat kita
kumpulkan, tetapi kita tidak dapat mendesak mereka sama sekali. Beberapa
petugas kita yang mengumpulkan pasukan dari beberapa tempat yang dapat
dicapainya, telah terganggu oleh orang-orang Pujang Warit yang berbuat
serupa, bahkan mereka masih selalu mempergunakan nama Sri Baginda
Kertajaya.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Keadaan Kediri sama sekali tidak menguntungkan
pada saat pertempuran ini mulai berkobar.”
“Tetapi apaboleh buat,” berkata Mahisa
Walungan, “kita harus mengerahkan segenap tenaga yang mungkin kita tarik
kepertempuran ini. Kalau Pujang Warit tidak mengadakan garis pertahanan
tersendiri, mungkin keadaan kita akan menjadi semakin baik. Kekuatan
Kediri dapat di pusatkan menjadi satu di sini. Penarikan tenaga-tenaga
yang segar tidak saling mengganggu.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku sependapat. Jadi, apakah kita akan mencari jalan untuk itu?”
“Demikianlah kakang. Sebenarnya aku tidak
begitu mementingkan harga diri sendiri dalam keadaan seperti ini. Aku
lebih mementingkan Kediri. Karena itu, apakah salahnya kalau aku
mengirimkan seorang utusan untuk menghubungi Pujang Warit, agar kita
bersama-sama menyusun satu garis perang yang kuat, ditambah dengan
prajurit-prajurit yang kini masih belum datang. Ketidak tentuan yang
tersebar di seluruh Kediri agaknya belum dapat dibersihkan dengan
serangan Singasari ini.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Aku sependapat Adinda Mahisa Walungan. Apakah salahnya kalau
kita, orang-orang tua ini sedikit mengorbankan harga diri kita untuk
kepentingan Kediri.”
“Baiklah kakang. Nanti, setelah para
prajurit cukup beristirahat, serta Pujang Warit sendiri sudah agak
menjadi tenang, aku akan mengirimkan seorang utusan.”
“Aku akan mencari orangnya yang akan menemui Pujang Warit nanti,” berkata Gubar Baleman.
“Baiklah kakang. Siapa yang akan pergi
itu-pun tidak kalah pentingnya, supaya tidak justru menumbuhkan salah
paham, sehingga jarak antara kita dan Pujang Warit menjadi semakin
jauh.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ketika ia baru akan berdiri, ia-pun tertegun di
tempatnya. Dilihatnya seseorang dengan tergesa-gesa memasuki kemah itu.
“O kau,” desis Mahisa Walungan kepada orang itu, seorang prajurit penghubung.
“Duduklah.”
Orang itu-pun kemudian duduk di hadapan Mahisa Walungan. Wajahnya kemerah-merahan dan keringat telah membasahi seluruh tubuhnya.
“Apakah kau baru datang?” bertanya Mahisa Walungan.
“Ya tuan. Aku baru datang dari daerah Selatan.”
“Bagaimana dengan usahamu menarik prajurit dan pasukan keamanan?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, “Menyesal sekali tuan, bahwa telah terjadi salah paham
di antara kami sendiri.”
“Kenapa he?” Mahisa Walungan mengerutkan keningnya.
“Pujang Warit melakukan usaha yang
serupa,” jawab penghubung itu, “sehingga justru terjadi bentrokan yang
sama sekali tidak kita ingini. Para prajurit yang tidak mengalami
sendiri perang seperti ini, masih saja membelah diri. Ada yang berpihak
kepada tuan, tetapi ada juga yang berpihak kepada Pujang Warit.”
“O,” Mahisa Walungan menarik nafas dalam-dalam, sedang Gubar Baleman mengusap dadanya dengan telapak tangannya.
“Aku sudah berusaha menjelaskan apa yang
sudah terjadi,” berkata penghubung itu kemudian, “tetapi sulit untuk
memberikan kesadaran kepada mereka. Apalagi orang-orang Pujang Warit
agaknya terlampau yakin, bahwa pada akhir dari segala-galanya merekalah
yang akan berkuasa. Pendirian itu agaknya sudah menghambat segala
usaha.”
Mahisa Walungan mengeluh di dalam hati. “Apakah Kediri memang sudah tidak akan dapat tertolong lagi?”
“Kami sudah berusaha untuk menghindari bentrokan-bentrokan itu tuan,” penghubung itu meneruskan, “tetapi sia-sia.”
“Lalu, apakah yang dapat kalian lakukan?”
“Aku gagal membawa seluruh pasukan yang
kita kehendaki. Mereka harus bertahan di tempat masing-masing, karena
orang-orang Pujang Warit agaknya berbuat di segala tempat dan keadaan
tanpa pertimbangan apapun lagi selain nafsu yang nyala-nyala di dalam
diri mereka untuk menguasai seluruh Kediri.”
“Jadi kau tidak membawa pasukan itu.”
“Hanya sebagian kecil. Yang lain masih tetap mengamankan wilayah masing-masing.”
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan
kapalanya. Namun hatinya menjerit, “Ya, apakah Yang Maha Agung
benar-benar telah melepaskan Kediri karena ketamakannya sendiri?”
Meskipun demikian Mahisa Walungan berkata
kepada Gubar Baleman, “Kita tetap berusaha untuk berbicara dengan
Pujang Warit. Kita benar-benar berada di ujung bahaya yang sebenarnya.
Bahaya keruntuhan bagi Kediri yang besar ini.”
Ketika malam menjadi semakin malam, serta
pasukan di pihak-pihak yang sedang berperang itu sudah mulai agak
tepung, maka dua orang utusan yang dikirim oleh Mahisa Walungan,
berderap di atas punggung kuda pergi keperkemahan Pujang Warit.
Mereka membawa tugas yang penting bagi
keselamatan Kediri yang mulai tampak laju dibakar oleh panasnya api
pertentangan di antara mereka sendiri, ditimpa pula oleh serangan yang
dahsyat dari Singasari.
Kedatangan kedua orang itu telah
mengejutkan Pujang Warit. Dengan wajah yang tegang ia bertanya dengan
serta-merta, “Kenapa kalian kemari?”
“Kami adalah utusan Adinda Sri Baginda
Mahisa Walungan dan Menteri, pemimpin tertinggi pasukan Kediri Gubar
Baleman,” jawab utusan itu.
“Kenapa mereka tidak datang menghadap kepercayaan Sri Baginda Kertajaya sendiri?” bertanya Pujang Warit.
Kedua utusan itu saling berpandangan
sejenak. Salah seorang dari mereka kemudian menjawab, “Keduanya tidak
berani meninggalkan medan yang sedang gawat. Karena itu aku berdua telah
diutus untuk menemui Senapati Pujang Warit.”
“Aku adalah kepercayaan Sri Baginda. Bukan sekedar seorang Senapati Pandega.”
“Ya, begitulah.”
“Begitulah bukan istilah yang tepat.”
“Maksud kami, kami memang ingin menemui kepercayaan Sri Baginda Kertajaya.”
“Nah, kalau kau mengakui, maka kau pasti harus mengakui kekuasaan yang ada padaku.”
“Ya. Kami berdua mengakui.”
Pujang Warit mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Katakan, pesan apakah yang akan
disampaikan oleh kedua Senapati yang sudah memberontak itu.”
Terasa dada kedua utusan itu berdesir.
Tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus menahan diri mereka agar masalah
yang ada di antara dua kekuatan Kediri itu tidak menjadi semakin
parah.”
“Cepat,” desak Pujang Warit, “aku-pun bukan penganggur yang sedang duduk merenungi bintang-bintang yang bergayutan di langit.”
“Baiklah,” berkata salah seorang dari
kedua utusan itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka ia-pun
melanjutkannya, “Kami mendapat tugas untuk menyampaikan pesan Mahisa
Walungan dan Gubar Baleman. Seandainya pimpinan pasukan di sini tidak
berkeberatan, Adinda Sri Baginda dan Menteri Gubar Baleman ingin
membicarakan kemungkinan, kedua pasukan Kediri berada di dalam satu
gerak yang berada di bawah suatu perencanaan yang matang. Misalnya,
menyatukan garis perang yang kini terpecah menjadi dua. Menyatukan
penarikan pasukan dari wilayah-wilayah yang dapat dicapai untuk menambah
kekuatan bagi medan ini.”
Pujang Warit mengerutkan keningnya.
Katanya, “Kenapa kita harus menyatukan diri. Bukankah dengan cara ini,
kita masing-masing sudah berjuang untuk mempertahankan negeri kita?”
“Ya, demikianlah. Tetapi di bawah satu
panji-panji yang sama kita akan menjadi semakin kuat. Mungkin di medan
ini, kita tidak banyak melihat manfaat itu. Tetapi di tempat lain justru
akan terasa sekali. Dengan penyatuan itu tidak akan ada lagi salah
paham bagi pasukan-pasukan yang memang sedang kalut ini. Ada yang
berpihak kepada Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan dan ada yang berpihak
kepada Senapati Pujang Warit.”
“Bodoh sekali. Kalau setiap prajurit
menyadari tata keprajuritan hal itu tidak akan terjadi. Di Kediri tidak
ada dua atau tiga sumber kekuasaan. Semuanya berpusar pada Sri Baginda
Kertajaya. Akulah yang mendapat wewenang untuk melakukan kekuasaan Sri
Baginda atas setiap pasukan yang ada di Kediri. Kalau saat ini Gubar
Baleman dan Mahisa Walungan, karena diperlukan tenaganya, berada di
medan, pasti mereka bukan pimpinan dari pasukan Kediri. Kalau Gubar
Baleman dan Mahisa Walungan tidak keluar dari garis tata keprajuritan,
sudah pasti tidak akan ada persoalan lagi di Kediri. Semuanya akan
berjalan lancar. Sehingga seandainya nanti kita gagal mempertahankan
garis pertahanan ini, maka tanggung jawab kegagalan itu ada pada Gubar
Baleman dan Mahisa Walungan.”
Kedua utusan itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Mungkin
hal itu benar. Tetapi apakah kita masih sempat di dalam keadaan serupa
ini mempersoalkan siapakah yang pantas memimpin pasukan Kediri.”
“Bukan mungkin lagi. Aku memang benar.
Dan pada saat serupa ini memang tidak ada waktu lagi mempersoalkan
siapakah yang pantas menjadi Senapati Agung, karena Sri baginda sudah
melimpahkan kekuasaan itu kepadaku.”
Kedua utusan itu terpaku sejenak. Pujang
Warit agaknya benar-benar telah dimabukkan oleh kekuasaan, sehingga
matanya sudah menjadi kabur. Ia tidak dapat melihat Kediri yang memelas
ini sudah berada di pinggir jurang kehancuran.
“Nah. kalau Gubar Baleman dan Mahisa
Walungan ikut bertanggung jawab atas keselamatan Kediri, serahkan
pasukannya itu kepadaku. Akulah yang akan memimpin perlawanan di seluruh
Kediri. Aku akan memanggil semua pasukan yang dapat menjadi pasukan
cadangan di peperangan ini tanpa gangguan lagi.”
“Tetapi,” utusan yang seorang berkata,
meskipun ragu-ragu, “Senapati Agung pasukan Singasari di tangani
langsung oleh Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”
“Gila kau. Kau menghinaku. Kenapa kau
sebutkan nama itu? Kau sangka aku akan menjadi ketakutan, atau aku akan
menganggukkan kepala, karena aku-pun menganggap bahwa hanya Mahisa
Walungan saja yang pantas melawan Sri Rajasa? O, kalau aku tidak
menyadari bahwa kau-pun orang Kediri, meskipun kau berdiri di pihak
pemberontak itu, aku sudah menyobek mulutmu.”
Terasa jantung kedua utusan itu berdesir.
Darahnya seakan-akan mengalir semakin cepat naik ke kepala. Tetapi
keduanya tetap pada sikap hormatnya, seperti pesan Gubar Baleman dan
Mahisa Walungan.
“Nah. kembalilah kepada pemimpinmu sebelum darahku mendidih,” berkata Pujang Warit, “katakan semua jawabku kepada mereka.”
Hampir bersamaan keduanya menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya kedatangan mereka sama sekali tidak mendekatkan
hubungan antara kedua pasukan yang tengah bertempur melawan pasukan
Singasari itu.
“Jadi, apakah usaha Adinda Sri Baginda
untuk menemukan titik pertemuan di antara kedua pasukan ini tidak
berhasil?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kalau Mahisa Walungan bersedia mematuhi perintah Sri Baginda, maka kesatuan itu akan terwujud dengan sendirinya.”
“Baiklah, aku akan mengatakannya,”
berkata salah seorang utusan itu, “mudah-mudahan ada pendekatan yang
dapat menumbuhkan harapan bagi Kediri untuk tetap bertahan.”
“Kau sudah menjadi putus-asa,” potong
Pujang Warit, “kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng? Prajurit Kediri
bukan prajurit yang cengeng seperti kau.”
“Aku tidak cengeng,” jawab utusan itu,
“tetapi aku menjadi prihatin, bahwa justru para pemimpin tertinggi
pasukan Kedirilah yang membuat kami, bawahan, terpecah-belah.”
“Diam. Diam kau. Tidak sepantasnya
bawahan menilai atasannya. Kau hanya bertugas menyampaikan pesan Mahisa
Walungan dan Gubar Baleman, kemudian menyampaikan jawabanku kepada
mereka.”
“Baik, baik,” desis utusan itu.
Mereka-pun kemudian minta diri dengan
hati yang pedih. Pujang Warit sendiri tidak bersedia membuka pintu bagi
pembicaraan berikutnya. Dengan demikian, maka keadaan pasukan Kediri
pasti masih akan selalu dibayangi oleh perpecahan di antara mereka.
Suasana yang tidak menentu masih akan berkepanjangan, meskipun lawan
telah berada di ujung hidung.
Demikianlah maka kedua utusan itu-pun
segera memacu kuda mereka kembali keperkemahan Mahisa Walungan dan Gubar
Baleman. Dengan tanpa melampaui pengertian yang dikatakan oleh Pujang
Warit, maka disampaikannya jawabannya dengan singkat kepada Mahisa
Walungan dan Gubar Baleman.
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam, sedang Gubar Baleman mengelus dadanya dengan telapak
tangannya. Kekecewaan yang mendalam telah merasuk sampai ke pusat
jantungnya.
“Bagaimana hal ini dapat terjadi atas
Kediri?” desis Mahisa Walungan. Tetapi di dalam hati ia seakan-akan
melihat dengan jelas, bahwa kesalahan dari para pemimpin Kediri sudah
mulai tumbuh sejak Kediri menjadi besar, terutama Sri Baginda Kertajaya
sendiri, yang lambat laun telah menumbuhkan keadaan yang pahit seperti
saat itu.
“Tetapi kita harus tetap berusaha, agar
Kediri tetap mampu berdiri tegak, meskipun luka-parah,” berkata Mahisa
Walungan. Namun kekecewaan yang dalam, yang mencengkam jantungnya itu,
tidak dapat disingkirkannya.
“Apakah sebaiknya aku datang sendiri
kepadanya?” berkata Gubar Baleman, “mungkin aku dapat menemukan
kemungkinan-kemungkinan untuk mencari persesuaian meskipun hanya
bersifat sementara. Sebenarnya bagi kita, persoalan siapakah yang
memegang pimpinan tertinggi itu sama sekali bukan masalah lagi. Yang
penting bagi kita, bagaimana kita dapat menyusun kekuatan sepenuhnya
untuk melawan Singasari saat ini.”
Mahisa Walungan menarik nafas dalam.
Kemudiannya ia-pun tidak berkeberatan, seandainya Pujang Warit tidak
menuntut hal-hal yang tidak mungkin terpenuhi.
“Bagaimana pendapat Adinda Mahisa Walungan?” bertanya Gubar Baleman.
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Baiklah. Kalau kakang Menteri Gubar
Baleman berpendapat demikian. Tetapi menilik sifat dan watak anak itu,
ia pasti akan menjadi besar kepala. Mungkin ia akan menuntut aku dan
kakang Gubar Baleman untuk menyerahkan leher kita sebelum ia bersedia
menyatukan diri.”
“Aku akan mencoba menjajaginya.”
“Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Pujang Warit adalah orang yang paling licik yang pernah aku temui di Kediri.”
Gubar Baleman-pun kemudian membawa
sepasukan kecil pengawal berkuda, menuju keperkemahan Pudjang Warit
untuk mendapatkan penyelesaian dari masalah yang paling mengganggu di
saat-saat Kediri berada di pintu bahaya.
Gubar Baleman sendiri menyangsikan hasil
dari kunjungannya itu, meskipun ia sudah mengorbankan segala-galanya,
harga diri dan kadudukannya sebagai pemimpin pasukan Kediri.
“Aku tidak akan berarti apa-apa, asal
Kediri dapat diselamatkan. Meskipun kelak aku harus menyembah di bawah
kaki Pujang Warit sekali-pun, namun Kediri tidak tenggelam dalam arus
banjir bandang yang datang dari Singasari.”
Demikianlah Menteri yang memimpin segenap
kesatuan prajurit Kediri itu sudah melupakan kepentingan diri sendiri.
Seluruh hidupnya memang sudah diserahkannya kepada Tanah kelahirannya
yang pernah mencapai puncak kebesarannya itu.
Semakin dekat Gubar Baleman dengan
perkemahan Pujang Warit hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Malam telah jauh.
“Aku masih sempat menemuinya. Masih ada sedikit waktu sebelum fajar menyingsing,” desisnya.
Dengan demikian maka Gubar Baleman-pun
segera memacu kudanya mendekati perkemahan pasukan yang dipimpin oleh
Pujang Warit. Dari kejauhan mereka sudah melihat nyala api di sela-sela
dedaunan. Agaknya para prajurit fang bertugas sedang memanaskan diri di
tepi perapian, atau para petugas yang menyediakan makan dan minum bagi
patukan itu telah mulai melakukan kewajibannya.
Tetapi ketika mereka memasuki daerah
perkemahan itu, hati Gubar Baleman menjadi semakin berdebar-debar. Di
regol padukuhan itu sama sekali tidak ada seorang-pun yang berjaga-aga.
Sedang di seputar api itu-pun tidak tampak seorang prajurit-pun yang
memanaskan diri. Sepi. Sepi sekali.
Sejenak Gubar Baleman menjadi
termangu-mangu. Permainan apakah yang kini sedang dilakukan oleh Pujang
Warit. Apakah terpikir olehnya untuk menjebak sekelompok praurit ini?
“Apakah anak itu sudah benar-benar
kehilangan nalar, sehingga ia sampai hati berbuat demikian? “ pertanyaan
itu tumbuh di hati Gubar Baleman.
Tetapi sebagai seorang prajurit yang berpengalaman, Gubar Baleman sama sekali tidak melihat kemungkinan itu.
“Marilah kita masuk lebih ke dalam,” katanya kepada para pngawalnya.
Karena pengawalnya menjadi ragu-ragu, Gubar Baleman berkata, “Tidak akan terjadi sesuatu.”
Tidak seorang-pun yang menjawab.
Sekelompok prajurit itu-pun kemudian memasuki padukuhan yang
dipergunakan sebagai tempat perkemahan oleh Pujang Warit.
Namun padukuhan itu benar-benar telah
sepi. Sama sekali tidak dijumpainya seorang-pun juga. Penduduk telah
pergi mengungsi, meninggalkan rumah mereka yang kemudian dipergunakan
oleh Pujang Warit dan pasukannya. Namun pasukan itu-pun kini sudah tidak
ada di tempat lagi.
Ketika Gubar Baleman menyentuh mangkuk
yang berisi air. ia berdesis, “Mereka pasti belum lama meninggalkan
tempat ini. Mereka masih meninggalkan minuman hangat di dalam mangkuk
ini.”
Pengawalnya mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Memang tampaklah bahwa Pujang Warit dengan tergesa-gesa telah
meninggalkan perkemahannya.
“Ke manakah mereka? “ tanpa sesadarnya Gubar Baleman bertanya.
Para pengawalnya hanya dapat saling berpandangan. “Marilah kita lihat seluruh perkemahan ini,” berkata Gubar Baleman.
Kesan para prajurit itu kemudian
menguatkan, bahwa Pujang Warit belum lama meninggalkan padukuhan itu. Di
beberapa tempat masih terdapat perapian yang menyala. Beberapa onggok
bahan makanan, yang mentah dan yang sudah masak, tertinggal di dalam
perkemahan itu pula. Bahkan beberapa pucuk senjata dan peralatan
tertinggal pula di gardu, di ujung padukuhan.
Gubar Baleman menjadi bingung. Ia tidak dapat menduga sama sekali, ke mana pasukan Pujang Warit pergi.
Memang terlintas beberapa kemungkinan
yang dapat dilakukan oleh Pujang Warit. Tetapi Gubar Baleman
menggelengkan kepalanya sambil berdesah lirih, “Tidak. Tidak mungkin
Pujang Warit terjerumus ke dalam pengkhianatan yang lebih dalam.”
Sejenak kemudian, setelah Gubar Baleman
meyakini bahwa perkemahan itu memang sudah kosong, maka katanya kepada
para pengawalnya, “Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak
mempunyai cukup bahan untuk menduga, ke mana Pujang Warit pergi.”
Sekelompok kecil prajurit itu-pun
kemudian meninggalkan perkemahan itu kembali kesebelan Utara Ganter. Di
sepanjang jalan Gubar Baleman mencoba untuk memecahkan teka-teki yang
baru saja ditemuinya. Tetapi yang terlintas di kepalanya adalah beberapa
jawaban yang tidak meyakinkan.
Hal itulah yang kemudian disampaikannya kepada Mahisa Walungan. Perkemahan itu telah kosong.
Mahisa Walungan-pun menjadi sangat heran
karenanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah mungkin Pujang Warit
membuat hubungan dengan orang-orang Singasari?”
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi kemudian ia menjawab, “Menurut dugaanku, tentu tidak.
Bagaimana-pun juga Pujang Warit adalah seorang yang bernafsu untuk
menguasai pimpinan Keprajuritan Kediri, sehingga ia pasti masih akan
tetap bertahan dalam keadaan apapun juga.”
“Kalau begitu,” berkata Mahisa Walungan,
“apakah anak itu dengan sengaja menghindarkan diri dari medan ini, agar
pasukan Singasari sempat mendesak kami?”
“Itulah kemungkinan yang paling dekat menurut perhitunganku,” sahut Gubar Baleman.
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Perhitungan Pujang Warit sudah menjadi kabur.
Sebenarnya ia bukan seorang Senapati yang bodoh. Seharusnya ia mengerti,
dengan demikian Singasari akan dengan mudahnya menggilas
pasukan-pasukan yang terpecah belah ini.”
Gubar Baleman mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Nafsu dan angkara murka orang-orang Kediri
sendirilah yang telah menjerumuskan negeri ini kelembah kehancuran.”
Mahisa Walungan tidak menyahut. Namun
tampaklah kepahitan yang tajam membayang di wajahnya. Meskipun matanya
tetap memancarkan tekad seorang Senapati besar, tetapi hatinyalah yang
menangis. Menangisi ketamakan, nafsu dan pamrih yang berlebih-lebihan
dari orang Kediri sendiri.”
Selagi kedua Senapati Agung itu merenungi
nasib Kediri yang malang, dengan tergesa-gesa seorang petugas sandi
memasuki perkemahan itu, diantar oleh seorang Senapati.
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman mengerutkan kening mereka.
“Duduklah,” berkata Mahisa Walungan.
Petugas sandi itu-pun kemudian duduk dengan nafas terengah-engah.
“Apakah yang kau lihat?” bertanya Gubar Baleman, “apakah kau petugas di depan pasukan Singasari?”
Petugas sandi itu menggelengkan kepalanya, “Bukan. Aku tidak bertugas di hadapan pasukan Singasari.”
Kedua Senapati Agung itu saling berpandangan sejenak. Lalu, “Di mana kau bertugas?”
“Aku bertugas mengawasi pasukan Pujang Warit.”
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam. Kekeruhan di hatinya telah membuatnya khilaf, bahwa
beberapa petugas sandi akan dapat memberikan sedikit keterangan tentang
pasukan Pujang Warit itu.
“Mereka telah meninggalkan perkemahan,” desis Gubar Baleman.
“Tuan sudah mengetahuinya?” bertanya prajurit itu.
Ketika Gubar Baleman menganggukkan
kepalanya, petugas sandi itu memandangnya dengan heran. Sekali-sekali
ditatapnya wajah Mahisa Walungan, namun kemudian ia memandang Gubar
Baleman dengan sepercik pertanyaan di dalam hatinya.
“Aku baru datang dari perkemahan Pujang Warit,” berkata Gubar Baleman kemudian, “tetapi perkemahan itu sudah kosong.”
Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi aku tidak dapat menduga, ke mana
mereka pergi.” Gubar Baleman berhenti sejenak, lalu ia-pun bertanya,
“Apakah kau melihat arah mereka?”
Sekali lagi petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ya. Aku melihat
mereka. Mereka, agaknya telah menarik pasukan itu masuk kota.”
“He.” Gubar Baleman terkejut. Mahisa Walungan-pun terkejut pula sehingga ia tersentak maju setapak.
“Jadi,” berkata Mahisa Walungan, “Pujang Warit membawa pasukannya masuk kota?”
Petugas itu mengangguk, “Ya. Menurut pengamatanku.”
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam. Desisnya, “Anak itu benar-benar sudah menjadi gila. Apakah
ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia sudah tidak mengacuhkan Kediri
lagi karena nafsunya itu? Aku tidak tahu, bagaimana mungkin seorang
Senapati seperti Pujang Warit dapat membuat kesalahan yang menentukan
ini.”
Gubar Baleman menggeleng-gelengkan kepalanya. Mulutnya sudah bergerak-gerak untuk berbicara, tetapi niatnya dibatalkannya.
“Baiklah,” berkata Mahisa Walungan kemudian, “beristirahatlah.”
Petugas itu-pun kemudian minta diri
bersama pengantarnya, kembali ke dalam pasukannya. Berita tentang Pujang
Warit yang meninggalkan perkemahannya itu-pun segera tersebar keseluruh
telinga di perkemahan itu.
Berita itu benar-benar telah mendebarkan
jantung. Hampir setiap prajurit mempunyai penilaian yang sama, seperti
penilaian Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.
“Kakang,” berkata Mahisa Walungan,
“Pujang Warit benar-benar ingin menjerumuskan kita ke dalam jurang
kehancuran. Mungkin ia yakin, bahwa ia akan dapat menghancurkan
sisa-sisa pasukan Singasari setelah bertempur mati-matian melawan
pasukan Kediri di perkemahan ini.”
“Ya,” jawab Gubar Baleman, “aku kira
Pujang Warit berharap bahwa ialah yang akan mendapat nama karenanya.
Bahwa Pujang Waritlah yang telah menahan arus pasukan Singasari setelah
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman mengalami kegagalan.”
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia berdesis seolah-olah kepada diri sendiri, “Pujang
Warit telah salah menilai pasukan Singasari. Ia tidak menyadari bahwa
Sri Rajasa bukan anak kemarin sore di medan yang ganas mi. Ternyata ia
masih cukup menyimpan pasukan cadangan, sedang dengan demikian kita
tidak akan dapat mengharap apa-apa lagi dari pasukan yang terpencar,
karena pokal Pujang Warit.”
Gubar Baleman tidak menyahut. Tetapi ia
merasa bahwa tugas mereka besok pagi akan terlampau berat. Berat sekali.
“Dan apakah aku akan dapat memikulnya?” pertanyaan itu bergema tidak
saja di hati Gubar Baleman, tetapi juga di hati Mahisa Walungan.”
“Sudahlah,” terdengar suara Mahisa Walungan, “apakah masih ada kesempatan untuk sekedar beristirahat?”
Gubar Baleman mengerutkan keningnya.
Ketika ia menjenguk keluar perkemahan ia melihat para petugas yang akan
menyediakan makan bagi para prajurit telah sibuk dengan pekerjaannya.
“Sudah hampir pagi,” desis Gubar Baleman.
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia-pun menyilangkan tangannya di muka dadanya
sambil bergumam, “Aku akan beristirahat sebentar.”
Gubar Baleman tidak menyahut. Ketika
Mahisa Walungan menyandarkan dirinya pada dinding bambu, maka Gubar
Baleman-pun berbuat serupa pula.
Sekejap mereka masih sempat memejamkan
mata. Namun yang sekejap itu benar-benar telah berpengaruh bagi tubuh
mereka. Mereka merasa bahwa tubuh mereka telah menjadi segar kembali.
Tetapi, bagi Gubar Baleman. yang sekejap
itu selain membuatnya menjadi segar, juga membuatnya menjadi gelisah. Di
antara sadar dan tidak sadar, ia melihat hujan dan angin yang besar
melanda rumahnya. Tanpa dapat berbuat apa-apa ia melihat rumahnya
menjadi miring. Semakin lama semakin miring.
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya matanya yang menjadi kemerah-merahan.
“Apakah aku bermimpi?” ia berdesis.
Sambil menarik nafas dalam-dalam
dipandanginya Mahisa Walungan yang masih bersandar dinding sambil
memejamkan matanya. Namun wajah itu-pun tampaknya terlampau suram.
Gubar Baleman mengusap keningnya yang berkeringat, kesuraman wajah Mahisa Walungan membayangkan kesuraman wajah Kediri.
“Apapun yang akan terjadi,” desis Menteri yang setia kepada tanah kelahirannya itu, “aku harus bertahan.”
Dengan hati-hati Gubar Baleman-pun
kemudian bangkit perlahan-lahan ia melangkah keluar. Tetapi ia tidak
meninggalkan pintu yang terbuka, meskipun di muka pintu itu terdapat
sekelompok prajurit yang berjaga-jaga. Sekali-sekali ia berpaling
memandang Mahisa Walungan yang masih saja bersandar dinding sambil
menyilangkan tangannya di dadanya.
“Aneh,” desis Gubar Baleman, “wajah itu menjadi kian suram. Bukan saja suram, tetapi pucat.”
Gubar Baleman berdesah. Diusapnya matanya. “Mudah-mudahan matakulah yang salah.”
Menteri, pemimpin pasukan Kediri itu-pun
kemudian duduk di antara para prajurit yang bertugas. Dicobanya untuk
menenangkan perasaannya dengan kelakar. Namun agaknya setiap
prajurit-pun dibayangi oleh perasaan serupa.
Dengan demikian, bagaimana-pun juga,
suasananya selalu menjadi beku. Setiap kali terkilas di dalam
angan-angan mereka, bahwa pasukan Singasari akan membanjiri pasukan
Kediri yang seakan-akan menjadi semakin kecil jumlahnya.
Ketika Gubar Baleman berpaling,
dilihatnya Mahisa Walungan telah duduk merenungi mangkuknya. Sejenak
kemudian ia bangkit lalu melangkah keluar.
Ketika ia memandang langit yang hitam, segera ia berata “Kita harus segera siap. Sebentar lagi fajar akan menyingsing.”
Sebentar kemudian, maka para petugas-pun
sudah mulai membagikan ransum para prajurit, sekelompok demi sekelompok.
Mereka yang masih segan untuk bangun, menggeliat sambil mengusap
matanya. Tetapi ketika kawannya meletakkan sebungkus nasi di tangannya,
maka ia-pun segera bangkit, “He, nasi hangat.”
“Suapi mulutmu. Sudah hampir pagi. Kalau
tengara itu berbunyi sebelum kau makan, maka kau akan kelaparan di
lapangan pertempuran.”
“Aku belum mencuci muka.”
“Di rumah-pun kau tidak mencuci muka dahulu sebelum makan. Apalagi di medan.”
Prajurit itu tertawa. Tetapi ia tidak segera menyuapi mulutnya. Perlahan-lahan ia berdiri untuk mencari minum lebih dahulu.
Belum lagi mulut-mulut berhenti
mengunyah, maka di kejauhan telah terdengar suara tengara. Hampir
bersamaan setiap mulut-mulut itu-pun berdesis, “Singasari sudah
mempersiapkan dirinya.”
Para prajurit Kediri-pun kemudian segera
mengemasi diri masing-masing. Mereka meneguk beberapa tetes air untuk
menggusur nasi di leher mereka.
Sejenak kemudian, para prajurit Kediri
itu sudah mulai bersiap-siap. sementara langit menjadi semakin merah.
Salah seorang yang masih mengunyah makannya berdesis, “He, apakah kau
benar-benar menikmati makanmu pagi ini?”
“Kenapa?” bertanya kawannya yang berdiri di sampingnya.
“Siapa tahu, makanan itu adalah makananmu yang terakhir.”
Kawannya tersenyum. Namun di balik senyum
itu, membayang keragu-raguan yang dalam. Meskipun kawannya itu sekedar
berkelakar, namun, hampir di setiap dada, membersitlah perasaan yang
demikian.
Seorang prajurit muda menimang-nimang
pedangnya. Digosok-gosoknya hulu pedangnya yang dibuat dari gading.
Kepada kawannya yang berdiri di sampingnya ia berkata, “Kau lihat, bahwa
aku mempunyai pedang berhulu gading.”
Kawannya berpaling.
“Aku tidak mempergunakan pedang yang aku
terima dari pimpinan keprajuritan. Di saat-saat yang gawat aku
mempergunakan pedangku sendiri, yang berhulu gading.”
Kawannya mengamat-amati hulu pedang itu. Tetapi kesuraman fajar masih menyaput warna putih kekuning-kuningan itu.
“Kau tidak percaya?” bertanya prajurit yang masih muda itu.
“Aku percaya.”
“Terima kasih. Pedang ini aku terima dari ayahku.” prajurit muda itu berhenti sejenak, lalu, “kau tahu rumahku?”
Kawannya mengerutkan keningnya, “Ya, kenapa?”
“Nah, terima kasih.”
Kawannya menjadi heran. Dipandanginya
wajah prajurit muda itu dengan saksama. Sedang prajurit muda itu
melontarkan tatapan matanya jauh keseberang medan yang akan mereka
pergunakan.
“Sebentar lagi kita akan bertempur,”
desis prajurit muda itu, “kita masing-masing tidak tahu pasti, apakah
yang akan terjadi atas diri kita.” ia berhenti sebentar. Lalu, “kalau
terjadi sesuatu atasku, tolong, bawa pedang ini kembali kepada ayahku.”
“Hus,” desis kawannya, “jangan mengigau.”
Prajurit muda itu berpaling. Tetapi
kemudian ia-pun tersenyum. Katanya, “Pujang Warit memang gila. Ia sampai
hati mengorbankan kawan-kawannya sendiri untuk alas kakinya, dalam
usahanya memanjat ke tingkat tertinggi dari susunan keprajuritan
Kediri.”
“Ia akan memetik buah dari kelicikannya itu.”
Prajurit muda itu kini tertawa, “Kediri-pun akan memetik buah dari ketamakannya.”
Kawannya menepuk bahunya sambil berdesis, “Jangan berputus asa.”
“He, apakah aku berputus-asa? Kau salah
terka. Aku tidak berputus-asa,” namun suaranya kemudian merendah,
“tetapi apakah kita tidak seharusnya menilai keadaan?”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya. Kita memang harus menilai keadaan.”
Prajurit-prajurit Kediri itu-pun kemudian
mengatur diri mereka masing-masing ketika mereka mendengar tengara bagi
pasukan itu. Masing-masing telah berada di dalam kelompoknya, dan
kelompok-kelompok sudah menempatkan diri di dalam gelar.
Tanda-tanda kebesaran-pun telah dipasang.
Umbul-umbul dan panji-panji yang melekat pada tunggul-tunggul yang
mempunyai kesan tersendiri. Tunggul-tunggul yang berwarna
kekuning-kuningan, bertangkai sepanjang tombak larakan.
Sejenak kemudian Mahisa Walungan yang
memegang pimpinan tertinggi atas nama Sri Baginda Kertajaya, turun ke
dalam gelar yang sudah mulai dipasang. Di belakangnya sebuah songsong
yang kuning gemerlap dikawal oleh lima orang prajurit pilihan.
“Seharusnya Pujang Warit menyadari
dirinya,” berkata Gubar Baleman di dalam hatinya, “songsong kebesaran
itu adalah pertanda bahwa Mahisa Walungan telah mewakili Sri Baginda.”
Sejenak kemudian pasukan di ke dua belah
pihak-pun sudah siap. Ketika matahari menjadi semakin merayap naik,
menghampiri cakrawala, maka langit-pun menjadi semakin-cerah.
Perlahan-lahan pasukan Kediri itu-pun
bergerak maju. Angin pagi yang basah menyentuh panji-panji dan
umbul-umbul yang beraneka warna.
Di seberang yang lain pasukan
Singasari-pun telah siap pula. Seperti yang direncanakan oleh Sri
Rajasa, pasukan Singasari telah memasang gelar dengan segala macam
tanda-tanda kebesaran Kerajaan Singasari.
Panji-panji yang dipasang pada tunggul-tunggul yang megah, umbul-umbul dan payung yang berwarna kuning emas.
Sesaat sebelum pasukannya bergerak Sri
Rajasa masih menerima beberapa laporan tentang lawangnya. Beberapa saat
ia masih merenungi medan yang terbentang di hadapannya.
“Mahisa Agni,” desis Sri Rajasa, “kita
telah menumpahkan semua kekuatan kita di medan hari ini. Kalau hari ini
kita gagal, maka harapan untuk maju di hari-hari berikutnya-pun menjadi
semakin kecil.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan apakah kau yakin kepada laporan
petugas sandi, bahwa sepasukan prajurit Kediri, justru yang terasing itu
sudah ditarik dari medan?”
“Demikianlah laporan yang hamba terima
Tuanku. Tetapi hamba percaya kepada petugas sandi itu. Petugas itu
bahkan berhasil memasuki bekas perkemahan prajurit Kediri itu. Pada saat
yang bersamaan, sekelompok kecil pasukan yang diduga datang dari
pasukan induk telah datang keperkemahan itu pula. Tetapi menurut petugas
sandi itu, agaknya yang datang itu tidak tahu, bahwa pasukan yang ada
di perkemahan itu telah meninggalkan padukuhannya.”
“Kita menjadi semakin yakin, bahwa memang telah terjadi perpecahan di Kediri.”
“Dan sekarang, apakah Tuanku tetap akan menurunkan seluruh pasukan di satu medan?”
“Ya. Kalau di perkemahan yang lain memang
sudah tidak ada pasukan lawan, kita pusatkan kekuatan kita di sini.
Kita harus dapat memecahkan pertahanan pasukan Kediri. Hari ini aku akan
membawa dua orang Senapati pengapit. Panglima pasukan pengawal dan
panglima pasukan keamanan ada padaku. Kau-pun akan di sampingi oleh
panglima pasukan tempur yang kemarin memimpin pasukan pecahan itu dan
Pimpinan Pelayan Dalam.”
“Tetapi, apakah kita tidak memerlukan
sebuah pasukan cadangan Tuanku. Kalau semua kekuatan hari ini turun
kegelanggang kita akan kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu,
apabila tiba-tiba saja timbul masalah-masalah yang tidak dapat kita
perhitungkan lebih dahulu.”
“Semua orang yang ikut ke medan ini
adalah prajurit. Para pengawal perkemahan, juru masak, para pekatik dan
orang-orang yang tinggal di perkemahan harus dapat menjaga diri mereka
sendiri. Dalam keadaan darurat mereka merupakan sekelompok pasukan yang
cukup untuk menolong diri mereka, sementara mereka mengirimkan
penghubung ke medan.”
“Apakah dengan demikian, hal itu tidak akan justru mengganggu?”
“Tidak. Dan pada dasarnya, aku memang
akan mengerahkan segenap kemampuan. Itulah sebabnya aku katakan, hari
ini adalah hari yang menentukan. Kalau kita gagal, maka hari-hari yang
berikutnya adalah hari-hari yang tidak dapat diharapkan lagi.”
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia mengerti
maksud Sri Rajasa. Dan ia-pun mengerti, bahwa sifat-sifat itu tidak akan
dapat dihalau dari padanya. Sikap yang menentukan. Menang atau kalah
sama sekali, seperti kebiasaan yang dibawanya dari padang Karautan.
Sejenak kemudian jarak gelar yang
dipasang oleh ke dua belah pihak telah menjadi semakin mendekat. Pasukan
Singasari-pun kemudian bergerak pula menyongsong pasukan Kediri yang
telah mendahului memasuki medan.
Ketika Mahisa Walungan melihat gelar
pasukan lawannya, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia melihat perbedaan
pada pasukan itu. Hari ini pasukan Singasari telah turun ke medan dengan
segala macam tanda-tanda kebesaran.
“Agaknya Singasari telah meyakini keadaan,” berkata Mahisa Walungan di dalam hatinya.
Tetapi Mahisa Walungan sama sekali tidak
terkecil hati meskipun kadang-kadang tumbuh juga kecemasan di dalam
dadanya. Bukan tentang dirinya sendiri, tetapi ia tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa setelah Singasari menurunkan segenap
kekuatannya maka pasukan Kediri nampaknya menjadi semakin kecil. Jumlah
prajurit Singasari benar-benar tidak terhitung lagi. Jumlah yang sama
sekali tidak diduga-duganya.
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam. Di belakangnya penongsongnya berjalan dengan mantap,
dikawal oleh sekelompok prajurit pilihan.
Sejenak Adinda Sri Baginda Kertajaya
itu melayangkan pandangannya menebar ke ujung-ujung gelarnya. Ia masih
sempat meraba dadanya oleh haru. Bagaimana-pun juga, ia melihat sorot
mata yang memancar dari prajurit-prajuritnya, sebagai keteguhan hati
mereka menghadapi segala kemungkinan.
“Tidak seorang-pun yang ragu-ragu,” desisnya di dalam hati.
Sejenak kemudian Mahisa Walungan
memandang kegelar lawannya yang semakin jelas. Ia sadar, bahwa Sri
Rajasa memang seorang prajurit yang tangguh. Ia mempunyai ilmu yang
sangat asing bagi Mahisa Walungan. Sebagai seorang yang berilmu, Mahisa
Walungan cukup memiliki bekal untuk menilai tata gerak lawan. Tetapi ia
menggeleng-gelengkan kepalanya, memikirkan tata gerak Sri Rajasa. Bahkan
kadang-kadang dalam keadaan yang genting, Sri Rajasa telah melakukan
beberapa macam cara yang bagi Mahisa Walungan, agak terlampau kasar
dilakukan oleh seorang Raja yang perkasa. Namun di saat-saat yang lain,
Sri Rajasa telah bertempur bagaikan seorang yang kebal dari sekala macam
senjata. Tenang dan meyakinkan.
“Tetapi Sri Rajasa tidak kebal,” desisnya, “ternyata ia selalu menghindari tajam senjataku.”
Namun yang menggetarkan bagi Mahisa
Walungan, kemampuan Sri Rajasa sama sekali tidak berkurang setelah
sehari penuh ia bertempur.
Di hari pertama dan bahkan di hari kedua
Sri Rajasa sama sekali tidak terpengaruh oleh banyaknya keringat yang
menitik dari tubuhnya. Di saat-saat matahari sudah condong ke Barat, ia
masih mampu bertempur seperti pada saat pertempuran itu dimulai.
Dan kini ia harus menghadapi Sri Rajasa itu kembali dalam keadaan yang pahit, sepeninggal Pujang Warit dari perkemahannya.
Dalam pada itu, Pujang Warit memang
berada di perjalanan ke kota. Dalam waktu yang pendek ia memutuskan
untuk meninggalkan medan.
“Tetapi, keputusan yang demikian itu akan
sangat berbahaya bagi pasukan Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan dan
Menteri Gubar Baleman. Kita sudah merampas kemungkinan datangnya pasukan
cadangan untuk membantu mereka, kini kita melepaskan mereka bertempur
tanpa kita.”
“Bodoh kau,” geram Pujang Warit kepada
Senapati pengapitnya yang mencoba memberinya peringatan, “Mahisa
Walungan dan Gubar Baleman memang sudah tidak berhak untuk hidup. Sri
Baginda melepaskan mereka, hanya karena Baginda terkejut atas berita
tentang pasukan Singasari itu.”
“Bagaimana kalau Senapati muda yang menjemput Gubar Baleman ke perbatasan itu sampai ke istana?”
“Ia tidak akan memiliki nyawa rangkap.”
“Tetapi, masalahnya bukan Mahisa Walungan atau Gubar Baleman. Masalahnya adalah masalah Kediri.”
“Kau memang bodoh. Bersama kita atau
tidak, Mahisa Walungan akan bertempur. Bertempur mati-matian. Kita tahu
bahwa mereka adalah Senapati-senapati yang perkasa. Tetapi bagaimana
perkasanya kedua orang itu, namun mereka tidak akan dapat menahan arus
pasukan Singasari sehingga aku yakin, keduanya akan hancur di peperangan
itu.”
“Bagaimana kalau mereka mengundurkan diri.”
Pujang Warit menggelengkan kepalanya,
“Aku kira Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak akan mengundurkan
diri. Mereka yakin bahwa cara itu tidak akan ada gunanya bagi mereka,
selama aku masih ada.”
Senapati pengapitnya mengerutkan keningnya.
“Jangan terlampau bodoh. Dalam
pertempuran itu, pasukan Kediri akan pecah dan kocar-kacir. Tetapi
pasukan Singasari-pun akan mengalami kehancuran yang parah. Sudah aku
katakan berkali-kali. Kita akan berdiri di atas timbunan mayat ke dua
belah pihak. Pujang Warit akan menjadi Senapati tertinggi. Siapa tahu,
salah seorang adik Sri Baginda Kertajaya akan dihadiahkan kepadaku.
Kemudian apa bedanya aku dengan Mahisa Walungan?”
Kawannya berbicara sudah tidak bernafsu
lagi untuk membantah. Pujang Warit agaknya memang sudah tidak waras
lagi. Tetapi Senapati itu sadar, bahwa ia tidak akan menumbuhkan
perpecahan baru. sehingga sebelum mereka bertempur melawan Singasari.
pasukan Kediri telah hancur dengan sendirinya.
Demikianlah maka pasukan Pujang Warit itu
merayap mendekati kota. Beberapa ratus patok dari istana, Pujang Warit
mengirimkan seorang penghubung untuk menghadap Sri Baginda,
memberitahukan bahwa ia akan menghadap.
Kehadiran penghubung itu mengejutkan
seisi istana yang selalu berjaga-jaga siang dan malam. Setiap saat
mereka mendapat laporan dari medan di sebelah Utara Ganter. Karena itu,
kedatangan utusan Pujang Warit telah menumbuhkan keheranan di hati Sri
Baginda.
“Kenapa Pujang Warit akan menghadap?”
“Ampun Tuanku. Senapati Panggede Pujang Warit akan menyampaikan sesuatu yang dianggapnya penting bagi Tuanku.”
Sri Baginda Kertajaya berpikir sejenak.
Meskipun ia tidak melihat medan, tetapi laporan yang diterimanya setiap
kali telah memberikan gambaran yang jelas dari medan yang sedang diaduk
oleh peperangan yang dahsyat di sebelah Utara Ganter.
Dalam pada itu, maka dua orang penasehat
Baginda, tanpa berjanji, dan hampir bersamaan berkata, “Apakah hamba
diperkenankan memanggilnya?”
“Aku belum memutuskan untuk menerima Pujang Warit,” jawab Sri Baginda.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, namun mereka tidak berkata apa-apa lagi.
Dalam pada itu Sri Baginda mencoba menilai apa yang telah terjadi di medan peperangan yang mencemaskan itu.
Belum lagi Sri Baginda memberi keputusan,
utusan yang dikirim oleh Mahisa Walungan seperti yang selalu
dilakukannya, telah datang menghadap.
Dengan tergesa-gesa Sri Baginda bertanya, “Bagaimana dengan medan hari ini?”
Penghubung itu-pun segera melaporkannya, bahwa medan menjadi semakin berat.
“Pujang Warit meninggalkan
perkemahannya,” berkata penghubung itu, “justru pada saat Singasari
mengerahkan segala kekuatan dan pasukan cadangan di hari ketiga. Gelar
yang dipasang hari ini ditandai dengan ciri-ciri kebesaran Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi.”
Dada Sri Baginda Kertajaya berdesir karenanya.
“Kenapa Pujang Warit justru meninggalkan medan di saat yang genting ini?” gumam Sri Baginda.
Namun tiba-tiba saja Sri Baginda itu
berteriak kepada utusan Pujang Warit, “Kenapa ia pergi? Bahkan dengan
segenap pasukannya yang ada di medan? Apakah Pujang Warit tidak sadar,
bahwa dengan demikian ia sudah menjerumuskan pasukan Kediri yang lain ke
dalam bencana?”
“Bahkan usaha Adinda Sri Baginda untuk
memanggil pasukan cadangan yang tersebar-pun dihalang-halangi. Pujang
Warit masih selalu menyebut dirinya, yang mendapat limpahan kekuasaan
Sri Baginda Kertajaya.” Sela penghubung Mahisa Walungan.
Sri Baginda menjadi tegang sesaat. Dipandanginya kedua penasehatnya, kemudian utusan Pujang Warit yang menghadapnya.
Sejenak Sri Baginda itu merenung.
memperbandingkan semua keterangan dan masalah-masalah yang pernah
didengarnya dan disaksikannya. Karena itu paseban itu-pun menjadi sepi.
Sepi yang tegang.
Dan tiba-tiba Sri Baginda berkata, “Aku
masih tetap dalam pendirianku. Kalian tetap berada di paseban. Juga kau,
tidak perlu kembali kepada Pujang Warit.”
“Ampun Tuanku. Saat ini Senapati Pujang Warit sedang menunggu.”
“Biarlah ia menunggu. Aku akan memanggilnya. Tetapi bukan kau.”
Utusan itu menjadi pucat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain dari pada menundukkan kepalanya.
Sri Baginda-pun kemudian dengan tiba-tiba
meninggalkan ruangan paseban. Di ruang yang lain dipanggilnya beberapa
orang Senapati. Senapati pengawal istana.
“Nah, apakah kau masih tetap setia kepadaku?” bertanya Sri Baginda.
Para Senapati itu saling berpandangan
sejenak. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Ampun Sri Baginda,
apapun yang akan terjadi, hamba telah menyatakan diri hamba
bersama-sama, selalu setia kepada Sri Baginda.”
“Ya,” berkata Sri Baginda, “terima kasih.
Dan kita bersama-sama telah membuat suatu kesalahan. Kita telah
menangkap Mahisa Walungan. Untunglah bahwa Gubar Baleman mempunyai
bentuk kesetiaan yang lain, sehingga aku terpaksa berpikir lagi mengenai
mereka. Kini mereka berdua masih mempunyai kesempatan untuk maju ke
medan perang. Tetapi keadaan Kediri telah menjadi parah.” Sri Baginda
berhenti sejenak. Lalu, “kalian masih tetap harus berjaga-jaga di
sekitar istana. Tidak seorang-pun boleh keluar.”
Para Senapati itu menganggukan kepala mereka. Yang tertua di antara mereka menjawab, “Hamba Tuanku.”
“Pujang Warit dan pasukannya kini telah berada di dalam kota. Senapati itu minta waktu untuk menghadap.”
Para Senapati itu saling berpandangan sejenak.
“Aku akan memanggil Pujang Warit. Tetapi
kalian tahu, bahwa Pujang Warit ternyata telah mengelabui aku. Aku telah
membuat kesalahan karenanya. Karena itu. Pujang Warit tidak akan
mendapat tempat lagi di Kediri.”
Para Senapati menarik nafas dalam-dalam.
“Kalian tahu, akibat apa yang mungkin dapat timbul? Tetapi aku akan berusaha untuk mengatasi semuanya itu.”
“Hamba bersama-sama para Senapati dan prajurit pengawal yang masih ada akan menghadapi setiap kemungkinan Tuanku.”
“Bukankah di dalam pasukan Pujang Warit itu terdapat beberapa kelompok dari kesatuan pengawal?” bertanya Sri Baginda.
“Hamba Tuanku.”
Sri Baginda mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Nah salah seorang dari kalian, pergilah.
Panggil Pujang Warit. Kalau Pujang Warit menanyakan pesuruhnya, katakan,
bahwa Sri Baginda masih memerlukannya untuk memberikan beberapa
keterangan tentang medan dan pasukan Singasari.”
Demikianlah, maka salah seorang dari para
Senapati itu-pun segera meninggalkan istana untuk menjemput Pujang
Warit. Dari utusan Pujang Warit yang masih ada di paseban. Senapati itu
tahu, di mana Pujang Warit dan pasukannya kini berada.
Kedatangan Senapati itu telah mengejutkan Pujang Warit. Yang pertama-tama ditanyakan adalah pesuruhnya.
“Sri Baginda masih memerlukan banyak
sekali keterangan-keterangan tentang medan. Karena itu, maka aku
diperintahkan oleh Sri Baginda untuk menjemputmu. Sri Baginda tidak
berkeberatan untuk menerimamu. Bahkan semakin cepat semakin baik. karena
Sri Baginda ingin lebih cepat dan lebih banyak mengetahui tentang
medan.”
“Apakah Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak pernah mengirimkan penghubungnya?”
Senapati itu mengerutkan keningnya.
Sejenak ia berpikir, tetapi ia harus segera menjawab, katanya, “Laporan
mereka tidak meyakinkan. Yang ada hanyalah keluh kesah dan hampir
menjadi putus-asa. Itulah yang akan didengar oleh Sri Baginda.” Senapati
itu terdiam sejenak. Namun ia mengerti sepenuhnya maksud Sri Baginda,
sehingga ia meneruskannya. “Sri Baginda tidak meletakkan harapannya pada
pasukan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Pertahanan itu adalah
pertahanan depan yang harus dirangkapi dengan pertahanan yang lain.
Untuk sementara. Sri Baginda telah menjadikan dinding istana sebagai
benteng terakhir.”
“Berbahaya sekali,” dengan serta-merta Pujang Warit menjawab.
“Untuk sementara. Tetapi sebaiknya kau menghadap sendiri.”
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Ada
sesuatu yang kurang mapan di hatinya. Namun ia yakin, bahwa dalam
keadaan serupa ini, Sri Baginda tidak akan berbuat sesuatu yang akan
dapat mengurangi kekuatan Singasari.
Karena itu maka katanya, “Baiklah, aku akan menghadap Sri Baginda.”
Tetapi ternyata Pujang Warit tidak pergi
sendiri. Ia membawa beberapa orang prajurit yang dipercayanya, untuk
mengawalnya ke istana.
Senapati yang menjemputnya menjadi
termangu-mangu. Tetapi supaya Pujang Warit tidak mencurigainya, maka
ia-pun sama sekali tidak berkeberatan, membawa Pujang Warit bersama
beberapa orang pengawal.
Sejenak kemudian maka mereka-pun segera
berpacu ke istana. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, setiap prajurit
pengawal istana, sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Meskipun
demikian mereka tidak segera bertindak agar tidak menumbuhkan beberapa
keributan.
“Cara yang dipergunakan oleh Menteri
Gubar Baleman pantas ditiru,” desis salah seorang Senapati, “mereka
menguasai keadaan tanpa terjadi sesuatu. Apakah dapat dilakukan tindakan
serupa atas para pengawal yang tinggi di luar paseban itu.”
Kawannya menganggukkan kepalanya. “Mungkin sekali. Aku akan membawa pengawal itu kesamping bangsal.”
Senapati yang seorang itu-pun kemudian
meninggalkan kawannya untuk membawa para pengawal Pujang Warit kesamping
bangsal, sedang kawannya itu-pun segera mempersiapkan beberapa orang
prajurit pengawal untuk menguasai para pengawal Pujang Warit itu.
Dalam pada itu, Pujang Warit yang telah
sampai di luar regol halaman bangsal paseban dalam, segera turun dari
kudanya. Tetapi ia tidak dapat masuk membawa pengawal-pengawalnya,
sehingga karena itu, maka diantar oleh Senapati yang menjemputnya, ia
melangkah di antara dua orang penjaga di bawah tangga bangsal paseban.
Tetapi kedua penjaga itu, tidak memberikan kesan apapun pada Senapati
muda itu.
Bahkan keduanya menganggukkan kepala mereka, memberikan hormat sebagai mana seharusnya dilakukan terhadap seorang Senapati.
Dengan demikian maka para pengawal Pujang
Warit-pun tinggal di halaman bangsal paseban dalam, sedang kuda-kuda
mereka harus mereka tinggalkan di luar regol. Tetapi hal itu sama sekali
tidak menumbuhkan kecurigaan apapun pada Pujang Warit dan pengawalnya,
karena memang demikianlah kebiasaan seseorang, siapapun dan betapapun
pentingnya keperluannya, apabila menghadap Sri Baginda di paseban dalam.
Para pengawal itu berpaling ketika mereka
mendengar seseorang menyapa mereka. Ternyata seorang Senapati datang
menghampiri mereka dari sisi paseban itu. Sambil tertawa Senapati itu
berkata, “Sri Baginda telah lama menunggu. Apakah kalian datang
mengantarkan Pujang Warit?”
“Ya, kami datang mengawal Pujang Warit,” jawab seorang Senapati yang ada di dalam kelompok pengawal itu.
“Bagus. Agaknya keadaan sudah menjadi terlampau panas, sehingga Sri Baginda sendiri-pun menjadi agak bingung menghadapinya.”
“Kenapa bingung?” jawab Senapati pengawal
Pujang Warit, “bukankah Sri Baginda sudah menyerahkan segala tanggung
jawab kepada Pujang Warit?”
“Ya. tetapi karena Sri Baginda kekurangan
bahan laporan itulah agaknya maka Sri Baginda menjadi bingung.
Mudah-mudahan dengan kedatangan Pujang Warit, Sri Baginda mendapat
banyak penjelasan.”
“Mudah-mudahan.”
“Tetapi,” berkata Senapati pengawal
istana itu, “sebaiknya kalian berada di samping bangsal ini.
Dilongkangan sebelah kalian dapat duduk sambil minum. Bukankah Pujang
Warit memerlukan waktu untuk menyampaikan laporannya itu?”
Senapati pengawal Pujang Warit itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Sedang pengawal istana itu berkata, “Apakah
kalian akan berdiri saja di sini?”
Sejenak Senapati pengawal Pujang Warit
itu merenung. Kemudian dipandanginya anak buahnya seorang demi seorang.
Nampaknya mereka mengharap untuk dapat duduk beristirahat dengan tenang
sambil minum minuman hangat.
“Baiklah,” berkata pengawal itu kemudian, “di mana kami dapat duduk menunggu?”
“Di sebelah bangsal ini.”
Para pengawal itu-pun kemudian berjalan
beriringan melingkari sudut paseban, menuruni sebuah tangga batu menuju
kesebuah longkangan yang dirimbuni oleh daun-daun pohon sawo kecik.
Beberapa orang pengawal yang ada di
tempat itu menganggukkan kepala mereka sambil tersenyum. Dengan ramahnya
mereka mempersilahkan para pengawal Pujang Warit itu untuk duduk
berjajar di halaman, pada sehelai tikar, pandan yang putih di bawah
bayang-bayang pohon yang rimbun.
Namun belum lagi mereka mapan, tiba-tiba
mereka terkejut. Seperti mimpi mereka melihat para pengawal itu bergeser
setapak, kemudian muncul beberapa orang yang lain, yang dengan satu
loncatan telah menekankan ujung-ujung pisau belati di lambung mereka.
“He, apa artinya ini?” bertanya Senapati pemimpin pengawal Pujang Warit.
“Tidak menjadi kebiasaan seorang Senapati yang dipanggil menghadap oleh Sri Baginda membawa sekian banyak pengawal.”
“Sama sekali bukan suatu keanehan,” jawab
Senapati itu, “pengawal ini kami perlukan di sepanjang perjalanan,
dalam suasana yang panas ini.”
“Tetapi lawan masih berada di sebelah Utara Ganter.”
“Siapa tahu ada pesuruh-pesuruh di dalam
kota yang sengaja disebarkan oleh orang-orang Singasari, atau justru
oleh orang-orang Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
“Mahisa Walungan dan Gubar Baleman sedang bertempur mempertahankan Kediri.”
“Mereka sedang mencoba untuk memperbaiki
kesalahan mereka. Tetapi seandainya mereka dapat mengusir pasukan
Singasari, apakah mereka tidak memutar arah peperangan ini menghadap ke
istana?”
“Suatu ceritera yang aneh. Kami di sini,
bahkan Sri Baginda pernah mempercayai ceritera itu. Tetapi kini kami
berpendapat lain dan Sri Baginda-pun berpendapat lain. Apalagi setelah
Pujang Warit meninggalkan medan yang kini sedang dalam keadaan tidak
menguntungkan.”
Para pengawal itu menjadi tegang. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Setiap orang telah dilekati dengan
ujung-pisau belati di lambung atau punggungnya.
“Kini Sri Baginda sedang membuat
perhitungan dengan Pujang Warit di paseban. di hadapan para pemimpin
Kediri, para penasehat, para Menteri dan diawasi oleh beberapa orang
Senapati yang telah mengerti persoalan yang sebenarnya. Dengan demikian,
maka kami bertugas untuk membuat kalian tidak dapat ikut campur lagi
dalam masalah ini.”
“Licik. Jadi beginikah cara yang selama
ini ditempuh oleh pasukan pengawal yang terkenal itu? Menurut
pendengaranku, pasukan pengawal istana adalah pasukan yang paling baik
di Kediri. Tetapi ternyata kalian licik. Kenapa kalian tidak berusaha
mengepung kami pada saat kami memasuki halaman istana?”
Para prajurit pengawal istana itu saling
berpandangan sejenak. Tetapi terasa bahwa darah mereka menjadi panas
mendengar kata-kata pimpinan prajurit pengawal Pujang Warit itu.
Salah seorang dari mereka berkata, “Kalau
kami tidak sedang mengemban tugas, kami akan membuktikan bahwa kami
bukan manusia yang licik.”
“He, masihkah kau ingkar? Kita bersama-sama melihat kenyataan ini.”
Senapati pengawal istana itu-pun
menjawab, “Kami tidak dapat membiarkan darah kami menjadi panas dan
mendidih bagaimana-pun juga dada kami bergelora. Cara ini kami tempuh
untuk menghindari keributan yang tidak akan berarti apa-apa bagi kita
semua. Justru apabila keributan ini merembes sampai keluar istana,
akibatnya hanya akan membuat rakyat menjadi bertambah bingung. Mereka
sedang dicemaskan oleh berita peperangan di sebelah Utara Ganter. Karena
itu, maka kami berusaha untuk menyelesaikan tugas kami dengan cepat dan
tanpa keributan.”
“Tetapi itu bukan perbuatan jantan.”
“Mungkin, menurut penilaian seorang
prajurit di peperangan. Tetapi kami mempunyai pertimbangan lain. Mungkin
kami memang harus mengorbankan kejantanan kami untuk kepentingan yang
jauh lebih besar, Kediri.”
“Omong kosong. Setiap pengecut dapat mencari alasan apapun. Untung kepentingan yang lebih besar.”
“Kami tidak akan berbantah mengenai diri
kami. Apakah kami orang-orang jantan, atau sekedar hanya segerombolan
pengecut. Tetapi kami berhasrat melakukan tugas kami sebaik-baiknya.
Karena itu maaf bahwa kami akan melucuti senjata kalian.”
“Gila,” teriak Senapati, pemimpin pasukan
pengawal Pujang Warit itu, “tidak mungkin. Senjata kami sama nilainya
dengan nyawa kami.”
“Jadi?”
“Kami tidak akan menyerahkan senjata kami.”
“Sekali lagi kami minta maaf, kalau
kalian tidak menyerahkan senjata kalian, memang kami terpaksa mengambil
yang lain, yang sama nilainya, yaitu nyawa kalian.”
“Gila, kalian sudah menjadi gila?”
“Mungkin kami sudah menjadi gila.
Beberapa saat yang lampau kami berbuat serupa, menangkap Adinda Sri
Baginda Mahisa Walungan. Kemudian kami berusaha menangkap Gubar Baleman,
tetapi gagal. Justru kamilah yang dikuasai oleh prajurit-prajurit
topangan seperti kalian yang setia kepada Menteri Gubar Baleman. Tetapi
agaknya Gubar Baleman tetap tunduk dan setia kepada Sri Baginda.
Sekarang, tugas kami menguasai kalian dan melucuti senjata kalian. Kami
tidak lagi sempat menilai diri kami. Apakah kami memang gila atau tidak.
Tetapi kami adalah prajurit-prajurit pasukan pengawal Baginda Kertajaya
yang hanya dapat diperintah langsung oleh pimpinan kami yang berada di
bawah perintah Sri Baginda.”
“Gila. Kalian gila. Aku tidak perlu
sesorahmu. Tetapi kalian bukan prajurit-prajurit Kediri yang sebenarnya,
karena dengan tindakan kalian telah melanggar sifat kesatria.”
“Sayang, bahwa pemimpinmulah yang mendahuluinya.”
“Siapa?”
“Pujang Warit. Apakah sampai sekarang kau
tidak sadar bahwa Pujang Warit telah memfitnah Adinda Sri Baginda dan
Menteri Gubar Baleman sehingga hampir saja keduanya terbunuh kalau
tidak ada banjir bandang dari Singasari? Kemudian pemimpinmu itu dengan
licik membiarkan pasukan Kediri di sebelah Utara Ganter hari ini
bertempur tanpa bantuan pasukan cadangan yang seharusnya dapat
dikumpulkan?”
“Kalian mengigau?”
“Diamlah. Kalian harus menyerahkan
senjata kalian. Di dalam keadaan yang gawat, kami tidak dapat bergurau
lagi. Senjatamu atau nyawamu.”
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi giginya gemeretak menahan kemarahan yang memuncak.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat
apa-apa, ketika mereka dipaksa untuk berdiri berjajar. Kemudian seorang
prajurit pengawal telah melepas pedang dari lambung mereka, dengan
wrangkanya sama sekali.
“Kalian menjadi tawanan pasukan pengawal istana hari ini.”
Senapati pemimpin pengawal Pujang Warit
itu tidak menjawab. Wajahnya yang tegang menjadi kemerah-merahan oleh
gejolak di dalam dadanya.
Sementara itu Pujang Warit yang berada di
paseban-pun menjadi tegang pula. Meskipun mula-mula Sri Baginda
Kertajaya menyambutnya sambil tertawa, “Ha. kau Pujang Warit. Sudah lama
kami menunggumu. Marilah.”
Pujang Warit semula memang tidak menaruh
kecurigaan apa-apa. Orang-orang di paseban adalah orang-orang yang sudah
dikenalnya. Dilihatnya di belakang Sri Baginda, di antara para
penasehat, dua orang yang dikenalinya baik-baik. Tetapi Pujang Warit
tidak segera dapat membaca kesan yang terpancar dari wajah-wajah mereka
yang pucat dan basah oleh keringat yang dingin.
“Bagaimana rencana selanjutnya Pujang
Warit? Sebagian aku sudah mendengar dari pesuruhmu yang mendahului kau
menghadap. Aku menahannya di sini. karena aku ingin banyak mendengar
tentang daerah pertempuran itu. Sehingga aku memerintahkan kepada orang
lain untuk menjemputmu.”
Pujang Warit membungkukkan kepalanya
dalam-dalam, “Ampun Tuanku. Barangkali sebagian terbesar dari masalah
yang akan hamba sampaikan telah Tuanku ketahui. Pertahanan yang
sebenarnya akan hamba bangunkan di dalam lingkungan yang lebih kuat.
Hamba akan menjadikan dinding kota sebagai benteng pertahanan untuk
mematahkan serbuan pasukan Singasari.”
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah kau akan membangun benteng pertahanan itu hari ini?”
“Apabila Sri Baginda mengijinkan. Hamba memang merencanakan demikian.”
Sri Baginda mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dipandanginya Pujang Warit dengan tatapan mata yang menyimpan
teka-teki. Tetapi Sri Baginda masih berkata, “Apakah pasukan yang cukup
kuat untuk bertahan? Aku mendengar laporan dari orangmu sendiri,
kekuatan Singasari bagaikan banjir bandang yang seakan-akan tidak
terbendung.”
“Hamba Tuanku. Memang kekuatan Singasari cukup mendebarkan jantung.”
“Apakah prajuritmu cukup banyak untuk mempertahankan kota ini.”
“Tentu Tuanku. Aku akan berusaha
sekuat-kuat tenaga. Prajurit-prajuritku akan aku perlengkapi dengan
senjata jarak jauh untuk menahan laju mereka. Dengan demikian, apabila
mereka mencapai dinding kota, jumlah mereka-pun sudah berkurang.”
“Tidak seberapa jumlahnya. Mereka akan segera berlindung di balik perisai-perisai mereka.”
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Dan
tiba-tiba di luar sadarnya ia berkata, “Tetapi ketika mereka mencapai
dinding kota, maka jumlah mereka-pun pasti sudah akan jauh berkurang.”
“Kenapa?”
“Mereka sedang bertempur di sebelah Utara Ganter.”
“Dengan pasukan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman maksudmu?”
“Hamba Tuanku.”
“Apakah Mahisa Walungan dan Gubar Baleman kira-kira tidak akan dapat menahan mereka?”
“Terlampau berat Tuanku.”
Dan sampailah Sri Baginda kepada
pertanyaan yang mengejutkan Pujang Warit sehingga serasa jantungnya
berhenti berdetak, “Kenapa kau tidak membantu Mahisa Walungan dan Gubar
Baleman saja? Pasukan gabungan itu pasti setidak-tidaknya akan dapat
menahan arus laju pasukan Tumapel. selagi kita mengumpulkan pasukan
cadangan yang tersebar.”
Pujang Warit tidak segera menjawab pertanyaan Sri Baginda. Bahkan terasa keringat dinginnya mulai mengaliri punggungnya.
“Kenapa?” desak Sri Baginda.
Pujang Warit tergagap, “Tetapi, bukankah
lebih baik bagi hamba untuk menyusun pertahanan tersendiri, sesuai
dengan perintah Sri Baginda, bahwa hamba harus mengambil pimpinan
seluruh pasukan Kediri.”
“Ya. aku memang memerintahkan kepadamu
untuk mengambil pimpinan seluruh pasukan. Tetapi kenapa kau tidak
berbuat demikian dan menyatukan pertahanan untuk melawan arus pasukan
yang besar itu?”
“Ampun Tuanku. Hamba sudah mencoba,
tetapi Mahisa Walungan dan Gubar Baleman tidak mau menyerahkan pimpinan.
Justru mereka menganggap bahwa hamba harus tunduk kepada perintahnya.”
Terasa sesuatu bergetar di dada Baginda.
Ia tidak dapat ingkar, bahwa ia-pun telah melakukan kesalahan. Ia telah
menyerahkan pimpinan tertinggi kepada dua tangan. Ia sampai saat
terakhir masih belum dengan tegas mencabut kekuasaan Pujang Warit,
sehingga akhirnya, Kediri telah terbagi.
Namun demikian Sri Baginda melihat, niat
yang kurang baik pada Pujang Warit. Kalau Gubar Baleman dan Mahisa
Walungan dengan jujur telah berusaha untuk menggabungkan kekuatan
mereka, seperti yang disampaikan oleh penghubungnya, maka Pujang Warit
dengan sengaja menjerumuskan kedua orang yang menjadi saingannya itu ke
dalam bencana.
Karena itu, maka Sri Baginda-pun
bertanya, “Tetapi apakah kau tidak dapat membuat suatu cara, sehingga
pasukanmu dapat bergabung dengan kekuatan Mahisa Walungan dan Gubar
Baleman? Misalnya, kau mengorbankan sedikit harga dirimu seperti yang
telah dilakukan oleh Gubar Baleman, tetapi dengan demikian Kediri dapat
diselamatkan.”
“Tuanku, bukankah Gubar Baleman dan
Mahisa Walungan menurut Tuanku adalah pengkhianat-pengkhianat? Apakah
hamba harus menyerahkan pimpinan pasukan ini kepada seorang pengkhianat?
Kalau mereka bersedia berjuang di dalam lingkungan perintah hamba,
sesuai dengan keputusan Sri Baginda, hamba tidak akan berkeberatan.”
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia melihat kesalahan pada dirinya sendiri.
Tetapi Sri Baginda tidak mau banyak
kehilangan waktu, sehingga katanya kemudian, “Pujang Warit, aku tidak
dapat mengingkari kesalahanku. Tetapi siapakah yang menyebabkan aku
salah menilai kesetiaan adikku dan Menteriku Gubar Baleman?”
Pertanyaan yang langsung itu terasa
menyengat jantungnya. Ternyata bahwa Sri Baginda benar-benar sudah
mencium rencananya bersama kedua penasehat itu. Ternyata kehadiran Gubar
Baleman dan Mahisa Walungan di peperangan itu bukan sekedar karena Sri
Baginda menjadi bingung oleh arus pasukan Singasari, tetapi justru
karena Sri Baginda menyadari kekeliruannya.
“Kenapa kau diam Pujang Warit?”
Pujang Warit tidak segera menjawab.
Tubuhnya menjadi semakin basah oleh keringatnya yang mengalir semakin
deras di seluruh tubuhnya.
“Jangan membisu Pujang Warit. Pada
saat-saat terakhir aku mendengar semua rencanamu yang keji. Kau
meninggalkan medan sama sekali bukan karena kau yakin bahwa kau dapat
menyusun pertahanan yang kuat, tetapi karena kau sengaja menjerumuskan
Gubar Baleman dan Mahisa Walungan ke dalam jurang kehancuran. Kau
berharap bahwa pasukan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan akan hancur,
sedang kedua Senapati itu terbunuh. Kau berharap bahwa sisa-sisa pasukan
Singasari tidak akan terlampau berbahaya lagi bagimu sehingga kau akan
dapat menghancurkannya di tepi kota ini. Dengan demikian kau akan
mendapat dua kemenangan sekaligus. Kemenangan atas Gubar Baleman dan
Mahisa Walungan dan kemenangan atas Singasari. Kau akan mendapat pujian
dan gelar pahlawan yang telah menyelamatkan Kediri dari kehancuran.
Bukankah begitu? “
Mulut Pujang Warit masih juga serasa terbungkam. Bahkan kini tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya.
Tidak seorang-pun yang ada di dalam
paseban itu berani mengangkat wajahnya. Kini Sri Baginda Kertajaya sudah
sampai pada puncak kemarahannya, meskipun tampaknya ia masih mencoba
mengendalikan diri.
“Pujang Warit,” berkata Sri Baginda, “kenapa kau diam saja?”
“Ampun Tuanku,” berkata Pujang Warit kemudian, “hamba telah melakukan yang paling baik bagi Kediri menurut pendapat hamba.”
“Juga tentang usahamu menyingkirkan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan itu termasuk usaha terbaik bagi Kediri?”
“Hamba Tuanku, karena menurut penilaian
hamba, keduanya sudah tidak menurut perintah Tuanku. Keduanya dengan
diam-diam telah membangun pertahanan di sebelah Utara Ganter tidak
setahu Tuanku. Itu akan menjadi kebiasaan yang sangat tercela bagi
seorang prajurit.”
“Tetapi apakah pelanggaran itu berarti
pemberontakan seperti yang kau katakan? Dan apakah kau yakin bahwa
keduanya telah melakukan pelanggaran itu? Aku melarang membawa pasukan
ke perbatasan. Dan mereka mentaatinya. Mereka tidak membawa pasukan ke
perbatasan, tetapi hanya ke sebelah Utara Ganter.”
“Tetapi membangun suatu pertahanan di luar pengetahuan Tuanku, apakah hal itu dapat dibenarkan?”
“Tentu tidak. Tetapi apakah dibenarkan
untuk menyalah gunakan kepercayaanku, dengan memutar balikkan kenyataan?
Apakah benar Gubar Baleman dan Mahisa Walungan tidak setia kepadaku?”
“Hal itu, kita sama-sama tidak tahu.
Hamba tidak tahu apa yang tersirat di hatinya yang paling dalam, dan
Tuanku-pun tidak mengetahui.”
Darah Sri Baginda berdesir mendengar jawaban itu. Ketika ditatapnya wajah Pujang Warit, ternyata wajah itu-pun menjadi merah.
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam.
Kini ia dapat membaca wajah Senapati muda itu. Agaknya Pujang Warit
telah merasa bahwa ia terjebak. Karena itu, dalam keadaan yang tersudut
itu, tidak ada pilihan lain baginya, dari pada mempertahankan harga diri
sedapat-dapatnya. Ia yang mengetahui kelemahan dan kekeliruan Sri
Baginda selalu berusaha menyandarkan tindakannya kepada kekeliruan itu.
Meskipun akhirnya Sri Baginda dapat berbuat apa saja atasnya, tetapi ia
akan dapat memberikan kepada orang-orang yang ada di paseban. bahwa
kesalahan itu tidak dapat dibebankannya kepada dirinya sepenuhnya.
Para Senapati dan para Menteri yang ada
di paseban itu-pun menjadi heran melihat sikap Pujang Warit. Sebagian
dari mereka dapat mengerti seperti juga Sri Baginda, bahwa Pujang Warit
sudah mendekati keputus-asaannya. Justru dengan demikian, darah mudanya
telah menggelegak tanpa dapat dikendalikan lagi.
“Aku akan dihukum mati,” berkata Pujang
Warit di dalam hatinya, “sebagai seorang prajurit, tidak pantas aku mati
sambil menyembunyikan wajah. Aku harus menengadahkan kepalaku menghadap
ketiang gantungan.”
Dengan demikian maka Pujang Warit-pun
merasa tidak perlu lagi untuk menundukkan kepalanya sampai mencium
lantai. Kini ia justru duduk dengan dada tengadah.
“Aku tidak akan dapat mengelak lagi,” katanya pula di dalam hati.
Sikap Pujang Warit itu memang
mencengangkan mereka yang melihatnya. Namun mereka menjadi heran juga.
bahwa Sri Baginda masih saja membiarkannya duduk di tempatnya.
“Pujang Warit,” Sri Baginda masih berkata
wajar meskipun tampak betapa ia menahan hati, “aku tahu apa yang
tersirat di hati Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Mahisa Walungan
adalah adikku. Aku mengenalnya sejak kanak-kanak.”
“Tetapi kenapa Tuanku mempercayai hamba?”
“Ya. Kenapa aku mempercayaimu. Apakah
karena kau terlampau cerdik, atau karena aku terlampau bodoh,” Sri
Baginda berhenti sejenak. Lalu, “sedang Gubar Baleman telah membuktikan
kesetiaannya di saat-saat terakhir. Meskipun ia telah menguasai seluruh
isi istana ini, untuk sekedar dapat memberikan penjelasan kepadaku,
karena aku sudah tidak memberi waktu lagi kepadanya untuk berbicara.”
Sri Baginda berhenti sejenak untuk mengatur pernafasannya yang memburu,
“tetapi ia tidak berbuat lebih lanjut. Ia tidak merampas kekuasaan dari
tanganku meskipun itu dapat dilakukannya apabila ia mau.”
“Dan Tuanku justru membenarkan cara yang
demikian?” jawab Pujang Warit, lalu, “ternyata Tuanku memang sudah tidak
dapat memegang kekuasaan seperti seharusnya seorang Maharaja. Terbukti
bahwa para Brahmana dan pemimpin agama telah meninggalkan Kediri.
Kemudian terjadi kekisruhan di dalam pimpinan keprajuritan karena Tuan
begitu cepat percaya. Tuanku yang di saat-saat terakhir merasa diri
Tuanku sebagai titisan Dewa, akhirnya Tuanku harus mengakui, bahwa
Tuanku tidak lebih dari manusia biasa.”
Tidak seorang-pun yang dapat menilai lain
dari sikap Pujang Warit itu kecuali membunuh diri. Tetapi seperti yang
diharapkan oleh Pujang Warit, bahwa kematiannya bukanlah kematian seekor
tikus di tangan seekor kucing.
Namun sikap Pujang Warit itu telah
membakar dada Sri Baginda Kertajaya sebagai seorang prajurit. Meskipun
selama ini Sri Baginda yang merasa dirinya sebagai pengejawantahan Dewa
dari langit, namun dalam keadaan yang panas, ia telah terlempar kembali
ke dalam kenyataannya sebagai manusia, sebagai seorang prajurit. Itulah
sebabnya maka dengan wajah yang merah Sri Baginda berkata, “Pujang
Warit, kau benar. Aku tidak dapat membebankan kesalahan seluruhnya
kepadamu. Kau dan aku telah membuat kesalahan yang serupa, karena itu.
kau dan aku bersama-sama harus mendapat hukuman. Hukuman yang sama
sebagai prajurit-prajurit Kediri. Sebagai kesatria Kediri yang jujur.
Hukuman itu harus dijatuhkan kepada kita bersama-sama. Hukuman itu
adalah perang tanding antara dua orang prajurit yang sama-sama
bersalah.”
Kata-kata Sri Baginda Kertajaya itu
ternyata telah mengguncangkan paseban. Beberapa orang Senapati
tersentak, dan bahkan ada di antara mereka yang bergeser maju. Salah
seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata, “Ampun Tuanku, kenapa Tuanku
menjatuhkan keputusan itu?”
“Ya, itu keputusanku.”
“Tuanku, sebelum terlambat. Tuanku dapat
menunjuk salah seorang dari kami untuk mewakili Tuanku, melakukan perang
tanding atas nama Tuanku.”
“Tidak. Aku berkata sepenuh kesadaranku.”
“Tetapi itu terlampau terhormat bagi Pujang Warit yang telah dengan jelas melakukan pengkhianatan terhadap Tuanku dan Kediri.”
“Tetapi sudah aku katakan, aku-pun telah bersalah.”
Senapati yang lain menyela, “Tetapi kami
adalah prajuritnya yang setia kepada Sri Baginda. Adalah sepantasnya,
salah seorang dari kami dapat mewakili Sri Baginda.”
Sri Baginda Kertajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku sangat berterima kasih
kepada kesetiaan kalian. Tetapi aku tahu. bahwa akulah yang harus
mendapat hukuman. Aku sebagai manusia dan prajurit seperti yang
dikatakan oleh Pujang Warit. sehingga dengan demikian maka aku adalah
pribadi.” Sri Baginda berhenti sejenak. Lalu, “Aku sama sekali tidak
merendahkan kemampuan kalian. Aku tahu, bahwa Senapati Kediri adalah
prajurit-prajurit pilih tanding. Tetapi Pujang Warit memang mempunyai
beberapa kelebihan, sehingga sepantasnyalah bahwa aku sebagai seorang
prajurit harus melayaninya. Apalagi taruhannya aku tentukan pula, yaitu
pimpinan tertinggi atas Kediri.”
“Tuanku,” hampir serentak mereka yang ada di paseban berseru dengan wajah yang tegang.
“Nah, sediakan gelanggang di halaman
paseban ini. Cepat. Setelah perang tanding ini selesai, aku atau Pujang
Warit masih harus menyelesaikan orang-orang Tumapel yang sedang berusaha
menguasai seluruh daerah Kediri.”
Sejenak para Senapati dan Menteri yang
ada di paseban tidak beranjak dari tempatnya. Mereka saling berpandangan
dengan penuh keragu-raguan.
“Cepat,” teriak Sri Baginda, lalu
katanya, “tetapi aku tidak akan berbuat serupa itu dengan kedua
penasehatku ini. Penasehatku yang lain kuperkenankan menyaksikan perang
tanding ini. Tetapi yang dua ini harus berada di bawah pengawasan. Kalau
Pujang Warit menang di dalam perang tanding ini, kalian akan bebas, dan
terserah apa yang akan diputuskan oleh Pujang Warit atas kalian.”
Maka setiap dada-pun menjadi
berdebar-debar. Para pengawal di halaman-pun menjadi keheranan atas
keputusan itu. Belum pernah Sri Baginda begitu merendahkan dirinya,
melayani perang tanding melawan seorang Senapati.
“Aku adalah seorang prajurit,” geram Baginda berulang-ulang.
Tidak seorang-pun yang dapat mencegah
keputusan Sri Baginda. Dengan demikian, maka para prajurit yang ada,
beserta para Menteri-pun segera membuat sebuah lingkaran di halaman
sebagai arena perang tanding.
Pujang Warit sendiri sebenarnya terkejut
mendengar keputusan Sri Baginda. Namun karena ia yakin bahwa seandainya
tidak demikian, maka ia-pun akan dihukum mati, maka tantangan itu adalah
jalan yang paling baik yang tersedia baginya, meskipun ia tahu. bahwa
Sri Baginda adalah maha prajurit yang tidak ada bandingnya.
“Tetapi aku belum pernah meyakinkan
kemampuan Sri Baginda,” berkata Pujang Warit di dalam hatinya. “aku
hanya pernah menyaksikan beberapa bentuk kelebihannya dari orang-lain.
Tetapi bagi Pujang Warit yang pernah berguru bertahun-tahun, semuanya
itu bukanlah hal yang mengecilkan hati.”
Sejenak kemudian maka arena-pun telah
siap. Sri Baginda menuruni tangga paseban tanpa tanda-tanda kebesaran
yang biasanya tidak pernah terpisah dari padanya. Bahkan bukan saja
sekedar tanda kebesaran seorang Maharaja, tetapi Sri Baginda telah
menganggap dirinya sebagai titisan dewa-dewa.
Tetapi kini ia menuruni tangga sebagai
seorang prajurit. Sebagai pribadi yang sudah siap menyelesaikan masalah
pribadinya. Kesalahannya terhadap Kediri harus ditebusnya dengan perang
tanding.
Bagi Sri Baginda Kertajaya, hal itu
merupakan suatu pengorbanan yang luar biasa. Tetapi hal itu kini dengan
sadar telah dikehendakinya sendiri.
Setelah semuanya siap, dan kedua orang
yang akan berperang tanding itu sudah berada di arena. maka bertanyalah
Sri Baginda kepada Pujang Warit, “Senjata apakah yang kau kehendaki
Pujang Warit?”
Bagaimana-pun juga, tatapan mata Sri Baginda telah membentur hati Pujang Warit, sehingga seisi dadanya serasa berguncang.
“Sebutkan senjata apa yang kau kehendaki. Aku akan menyesuaikan diri.”
Pujang Warit ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepada Sri Baginda.”
“Kau sudah membawa pedang di lambungmu. Apakah kau akan mempergunakan pedang?”
“Baiklah Tuanku. Hamba akan mempergunakan pedang.”
Sri Baginda mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian kepada seorang prajurit yang berdiri di pinggir
arena Sri Baginda berkata, “berikan pedangmu.”
“Tetapi, pedang ini adalah pedang seorang prajurit pengawal Tuanku.”
“Bukankah kau menerima pedang itu dari pimpinan, keprajuritan?”
Prajurit itu mengangguk, “Hamba Tuanku.”
“Nah, berikan pedangmu.”
Prajurit itu ragu-ragu sejenak, namun
kemudian oleh pesona yang tidak dimengertinya, maka ditariknya
pedangnya, dan kemudian dengan tangan gemetar diserahkannya pedang itu
kepada Sri Baginda.
“Terima kasih,” berkata Sri Baginda.
Kemudian sambil menghadap kepada Pujang Warit Sri Baginda berkata. “Nah
Pujang Warit, aku sekarang sudah bersenjata pedang seperti senjatamu.
Marilah, kita mulai dengan hukuman yang sama-sama dibebankan kepada
kita. Siapa yang menang, ia berhak atas segala-galanya di Kediri. Siapa
yang kalah, biarlah ia menanggung hukuman atas kesalahan yang telah
terjadi, dan yang telah mengakibatkan Kediri terpecah belah.”
Pujang Warit masih juga ragu-ragu. Namun kemudian disentakkannya giginya sambil menggeram di dalam hati. “Aku bukan pengecut.”
“Nah bersiaplah,” berkata Sri Baginda kemudian.
Pujang Warit mengerahkan segenap
keberanian yang ada di dalam dirinya. Maka jawabnya, “Baiklah Tuanku.
Hamba hanya sekedar menjalani perintah Tuanku.”
“Ya, ya. Kalau kau sekarang melawan aku,
ini sama sekali bukan suatu kesalahan. Justru kita sedang menentukan,
siapakah yang masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Karena
sekarang aku-pun sadar, bahwa aku bukannya titisan dewa-dewa seperti
yang aku sangka sendiri, karena di dalam suatu ketika, aku telah
dilepaskan oleh dewa-dewa tertinggi.”
Pujang Warit tidak menjawab, tetapi
ia-pun kemudian dengan tangan bergetar mencabut pedangnya pula. Pedang
seorang perwira yang memiliki kemampuan pilih tanding.
Sri Baginda mengerutkan keningnya. Ia
melihat perbedaan jenis pedang yang dipergunakannya dan yang
dipergunakan oleh Senapati muda itu.
Tetapi Sri Baginda tidak menghiraukannya karena Sri Baginda menyangka, bahwa pedang itu adalah pedang prajurit Kediri.
“Marilah, kita segera mulai,” berkata Sri
Baginda, “nah, aku minta tiga orang Senapati yang akan menjadi saksi
dari perkelahian ini. Ketiganya harus mengawasi, bahwa aku dan Pujang
Warit harus berkelahi dengan jujur. Kalau ada di antara kami yang
curang, maka ketiga Senapati itu dapat mengambil tindakan yang wajar.
Tanpa pilih.
Sejenak para prajurit dan Senapati yang
ada di seputar gelanggang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian Sri
Baginda telah menunjuk tiga di antaranya. Katanya, “Kau, kau dan kau.
Jangan ragu-ragu. Majulah. Lihatlah, bagaimana kami akan
berperang-tanding, kami adalah prajurit-prajurit Kediri.”
Tiga orang perwira yang ditunjuk itu sama
sekali tidak dapat mengelak lagi. Mereka-pun kemudian melangkah maju.
Mencabut pedang-pedang mereka dan berdiri berpencaran. Mereka harus
mengawasi perang tanding itu sebaik-baiknya. Merekalah yang bertanggung
jawab apabila terjadi kecurangan. Dan mereka dapat bertindak apabila
perlu dengan kekerasan.
Semuanya-pun kemudian sudah siap. Para saksi-pun sudah siap. Sri Baginda dan Pujang Warit-pun sudah siap pula.
“Nah, semua sudah di tempatnya. Sekarang
aku adalah prajurit yang sedang menjalani hukuman. Karena itu.
terserahlah kepada para saksi. Kapan kita harus mulai,” berkata Sri
Baginda kemudian.
Para saksi itu-pun saling berpandangan.
Kemudian, meskipun tidak ditunjuk, maka Senapati yang tertua dari
ketiganya-pun maju selangkah sambil berkata, “Ampun Tuanku, hambalah
yang akan memimpin perang tanding ini.”
“Bagus. Pimpinlah sebaik-baiknya.”
“Hamba Tuanku.” perwira itu terdiam
sejenak, lalu katanya, “tetapi yang pertama-tama hamba ingin
memperingatkan bahwa, perang tanding ini harus adil. Kedua senjata
pesertanya harus seimbang.”
“Bukankah senjata kami sudah seimbang?”
“Pedang yang Tuanku pergunakan adalah pedang prajurit biasa.”
“Lalu, bagaimana dengan pedang Pujang Warit.”
“Pedang itu adalah pedang yang khusus.”
“Jadi apakah ada perbedaan senjata antara seorang prajurit dan seorang Senapati? Bukankah semuanya itu adalah prajurit Kediri?”
“Pedang Pujang Warit bukannya pedang yang
lazim dipergunakan oleh para prajurit dan bahkan para Senapati Kediri.
Pedang itu, adalah pedang pusaka yang dibawanya sendiri meskipun
bentuknya mirip dengan pedang prajurit Kediri.”
“Apakah bedanya? Aku dapat mempergunakan senjata apa saja.”
“Bahannya berbeda Tuanku. Pedang Pujang
Warit terbuat dari bahan yang jauh lebih baik dari bahan pedang para
prajurit yang dibuat oleh para juru pembuat senjata para pande besi.
sekaligus dalam jumlah yang besar. Sedang pedang Pujang Warit adalah
pedang yang hanya dibuat khusus untuknya oleh seorang empu yang
terpilih.”
Sri Baginda merenung sejenak. Namun
kemudian sambil tersenyum Sri Baginda berkata, “Aku akan mempergunakan
pedang prajurit Kediri ini, sebagaimana aku seorang prajurit. Kalau
pedang ini gagal bukan karena kesalahanku, maka alangkah malangnya nasib
setiap prajurit Kediri.”
Senapati yang menjadi saksi itu
mengerutkan keningnya. Tetapi tampak betapa hatinya dicengkam oleh
kecemasan, karena kebetulan sekali ia mengerti betapa kuatnya pedang
Pujang Warit itu. Bahkan ia pernah melihat Pujang Warit memamerkan
senjatanya dan mematahkan beberapa helai pedang lainnya tanpa menjadi
cacat seujung duri-pun.
“Tuanku,” berkata Senapati itu, “apakah Tuanku berkenan mempergunakan pedang hamba?”
Tetapi Sri Baginda menggelengkan kepalanya, “Tidak.”
Senapati yang akan menjadi saksi dari
perang tanding itu tidak dapat memaksa, meskipun hatinya menjadi sanaat
cemas. Tetapi hal itu agaknya memang sudah dihentikan oleh Baginda
sehingga akhirnya, ia-pun harus membiarkannya mempergunakan pedang
prajurit pengawal itu.
Dalam pada itu. di medan pertempuran di
sebelah Utara Ganter, kedua pasukan telah terlibat di dalam perang yang
semakin seru. Keduanya telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada.
Pasukan Singasari telah turun seluruhnya ke medan perang dengan segala
macam tanda-tanda kebesaran, sedang Mahisa Walungan telah membawa setiap
orang yang ada di dalam perkemahannya.
Namun jumlah prajurit Singasari yang
lebih besar ternyata benar-benar telah berpengaruh pada perang itu.
Perlahan-lahan namun pasti pasukan Singasari telah berhasil mendesak
pasukan Kediri, meskipun setiap prajurit dari Kediri telah bertempur
tanpa mengenal arti menyerah. Tetapi seorang demi seorang prajurit
Kediri berguguran seperti juga prajurit Singasari. Seorang demi seorang
pasukan ke dua belah pihak selalu berkurang.
Meskipun pasukan Kediri sama sekali tidak
berputus asa. namun garis perlawanan mereka-pun bergeser setapak demi
setapak, karena arus prajurit Singasari yang tidak terbendung lagi.
Mahisa Walungan yang memegang pimpinan
pasukan Kediri, bertempur dengan gigihnya. Ternyata bahwa Mahisa
Walungan benar-benar seorang yang memiliki banyak kelebihan dari orang
kebanyakan. Senjatanya, sebuah pedang panjang, menyambar-nyambar seperti
paruh burung garuda. Suaranya berdesing-desing memutari lawannya.
Tetapi lawannya itu adalah Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi. Orang yang aneh dan banyak sekali menyimpan
rahasia di dalam dirinya. Rahasia yang dirinya sendiri hampir tidak
mengenalinya.
Dengan kekuatan dan kemampuan yang ada di
dalam dirinya, Ken Arok bertempur dengan gigihnya. Serangan-serangan
Mahisa Walungan yang betapapun berbahayanya, selalu dapat dihindarinya,
atau ditangkisnya. Meskipun kadang-kadang ia kehilangan irama seorang
raja, namun ia tidak dapat didesak oleh kelebihan yang ada di dalam diri
Mahisa Walungan. karena Ken Arok-pun memilikinya pula.
Mahisa Walungan sebagai seorang kesatria
yang sejak kecilnya berada di dalam lingkungan istana serta segala macam
adat dan tata cara kadang-kadang menjadi heran melihat sikap dan gerak
Sri Rajasa. Kadang-kadang Sri Rajasa bertempur sebagai seorang Raja yang
besar, namun apabila serangan Mahisa Walungan semakin mendesaknya,
tiba-tiba saja raja Singasari itu menjadi kasar dan garang. Senjatanya
berputar-putar tanpa arah dan tampaknya seperti tidak ada pegangan.
Tetapi gerak yang demikian, yang seharusnya dengan mudah dapat
ditembusnya, namun pedang Sri Rajasa, justru menjadi sebaliknya.
Gerak-gerak yang kasar dan tidak beraturan itu justru merupakan benteng
yang sangat rapat, mengitari dirinya dari segenap serangan.
Sekali-sekali Mahisa Walungan memang
terpaksa meloncat surut untuk mencoba menilai tata gerak lawannya. Namun
setiap kali dengan tiba-tiba saja, Sri Rajasa sudah menyerangnya dengan
kecepatan yang hampir tidak disangka-sangkanya.
Namun Mahisa Walungan adalah seseorang
yang matang dalam ilmu olah senjata. Karena itu. maka betapapun
dahsyatnya lawannya, ia tidak kehilangan akal. Bahkan semakin lama tata
geraknya-pun menjadi semakin mapan. Kekuatan-kekuatan cadangan yang
tersimpan di dalam dirinya-pun mulai tersalur ke tangannya, sehingga
dengan demikian gerak pedangnya-pun menjadi semakin cepat dan kuat.
Kemampuan yang seolah-olah berkembang itu
terasa juga oleh Sn Rajasa. Kekuatan Mahisa Walungan seakan-akan
menjadi bertambah-tambah. Setiap benturan, terasa tangan Sri Rajasa
menjadi nyeri, sehingga kadang-kadang senjatanya seolah-olah ingin
meloncat dari genggaman.
“Hem,” ia menggeram di dalam hatinya,
“agaknya di saat-saat terakhir Mahisa Walungan mengerahkan segenap
kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Semua Aji dan kekuatan lahir
dan batin.”
Sebenarnyalah, Mahisa Walungan yang
melihat pasukannya semakin terdesak itu-pun tidak lagi dapat membiarkan
peperangan itu berlangsung semakin lama. Dengan segenap kemampuan yang
ada maka dibangunnya segenap kekuatan lahir dan batin yang ada di dalam
dirinya. Dengan penuh tanggung jawab, Mahisa Walungan memusatkan segenap
kekuatan yang ada di dalam dirinya, disusunnya dalam tata gerak yang
sudah dikuasainya, menjadi suatu kekuatan yang tiada taranya. Seperti
pada saat-saat ia membuat lubang pada papan yang tebal, maka kini
tangannya yang seakan-akan bergetar itu, telah dialiri oleh kekuatan
ilmu yang tiada taranya.
Sri Rajasa terkejut merasakan
benturan-benturan berikutnya. Ia sadar bahwa ia berhadapan dengan
seseorang yang menyimpan ilmu yang bukan saja ilmu yang kasat mata,
tetapi latihan-latihan yang teratur, sehingga seluruh kekuatan yang ada
di dalam dirinya, kekuatan cadangan yang tidak dimengerti oleh setiap
orang, dapat dikuasainya dan dipergunakannya sebagai Aji Pamungkasnya.
Bersambung Jilid 56.
No comments:
Write comments