PARA SENAPATI itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka sadar bahwa tugas ini adalah tugas yang sangat berat.
Tetapi mereka harus menjalankannya.
“Yang terutama adalah di tempat-tempat
yang terpenting, di sekitar paseban.” Gubar Baleman menjelaskan,
“kemudian di sekitar tempat Adinda Mahisa Walungan ditahan.”
Para Senapati itu mengangguk-angguk pula.
Mereka telah mendengar dari beberapa
orang yang berhasil menyaksikan kesiagaan di dalam istana. Karena itu
mereka-pun dapat mengira-ngirakan, di mana mereka harus menyiapkan diri.
“Jumlah kita harus lebih banyak daripada
Senapati dan prajurit yang sudah ada di istana, supaya kita dapat
menyelesaikannya dengan cepat tanpa menumbuhkan kegaduhan.”
Para Senapati itu-pun kemudian menyiapkan
diri. Yang harus pergi ke kota memasuki istana-pun segera bersiap dan
menyediakan segala perlengkapan yang diperlukan.
Demikianlah, maka para Senapati itu-pun
segera melakukan tugas masing-masing. Dengan tanpa menimbulkan
kecurigaan, para Senapati dan prajurit-prajurit pilihan memasuki kota
melalui jalan yang terpencar-pencar. Memang satu dua orang dari prajurit
yang bertugas di perbatasan kota bertanya-tanya di dalam hati. kenapa
beberapa orang prajurit yang berada di luar kota memasuki kota di malam
begini? Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena ciri
keprajuritan mereka dapat dijumpai dengan lengkap.
Ketika seorang penjaga yang tidak dapat
menahan diri untuk mengetahui, kenapa mereka memasuki kota di malam
hari, maka jawaban seorang Senapati yang berkuda bersama beberapa orang
kawannya dan prajurit-pilihan, “Kami mendapat kesempatan untuk berkumpul
dengan keluarga sehari besok. Hanya sehari, kemudian kami akan dikirim
ke perbatasan. Besok sore kami akan berangkat. Karena itu kami
mempergunakan waktu sehemat-hematnya.”
Agaknya jawaban itu telah cukup bagi para
peronda itu, sehingga mereka tidak bertanya lebih lanjut. Mereka
sendiri tidak tahu, apakah sebenarnya bahwa akan ada lagi
pasukan-pasukan yang dikirim ke perbatasan. Keadaan yang tidak
berketentuan di Kediri membuat setiap prajurit, bahkan setiap orang
menjadi selalu bertanya-tanya. Apalagi prajurit-prajurit itu tidak mau
mendapat kesulitan dengan kawan sendiri, sehingga akhirnya, mereka
biarkan sajalah, berapa banyak prajurit yang memasuki kota.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat
demikian, ketika mereka akan memasuki istana. Mereka tidak dapat
memasuki halaman lewat regol dan kemudian menyebar. Dengan demikian akan
segera menumbuhkan kecurigaan, dan mungkin rencana mereka akan pecah di
tengah jalan.
Karena itu. maka mereka-pun berusaha
memasuki istana dengan diam-diam. Seorang demi seorang berusaha
meloncati dinding di sudut-sudut yang mereka sangka tidak diketahui oleh
penjaga. Di ujung taman yang jauh. Bahkan di bagian-bagian yang tidak
terperhatikan. Di samping pakiwan atau dapur.
Yang mendapat penjagaan terkuat adalah
halaman di sekitar paseban. Mereka menunggu bahwa di setiap saat Gubar
Baleman akan menghadap. Adalah menjadi tugas mereka untuk melakukan
suatu tindakan yang cepat, apabila Gubar Baleman ternyata mencoba untuk
tidak mematuhi perintah Sri Baginda.
Tetapi ternyata sampai jauh malam, bahkan
lewat tengah malam. Gubar Baleman masih belum menghadap. Beberapa orang
prajurit menjadi jemu, dan yang lain sudah mulai mengantuk.
Karena itu, maka mereka sama sekaIi tidak
melihat bahwa di ujung taman, di belakang pakiwan dan di bawah
pohon-pohon yang rimbun beberapa orang prajurit, Senapati telah berada
di dalam dinding halaman istana.
Apalagi mereka sama sekali tidak menduga
bahwa itu akan terjadi. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan
perlawanan yang akan langsung dilakukan oleh beberapa orang prajurit.
Menurut perhitungan mereka, malam itu juga Gubar Baleman akan menghadap
Sri Baginda. Karena Sri Baginda sudah berpesan, setiap saat Baginda
harus dibangunkan apabila Gubar Baleman datang. Kemudian seperti pada
saat Sri Baginda menangkap Mahisa Walungan. maka di halaman itu pasti
tidak akan terjadi apapun juga. Gubar Baleman termasuk seorang Menteri
yang sangat patuh kepada Sri Baginda Kertajaya.
Namun dalam pada itu para prajurit dan
Senapati yang sudah berada di dalam halaman itu-pun segera merayap
mendekati tempat-tempat yang penting, yang sudah dijaga oleh para
prrjurit pengawal istana.
Para Senapati yang baru datang itu
menyadari, bahwa para prajurit pengawal istana, apalagi para
Senapatinya, adalah orang-orang pilihan, karena di tangan merekalah
terletak keselamatan Sri Baginda dan seisi istana. Tetapi meskipun
demikian, prajurit yang telah banyak makan garam peperangan di
medan-medan yang bermacam-macam, dan menghadapi musuh yang beraneka
ragam itu-pun sama sekali tidak merasa berkecil hati, apabila mereka
terpaksa terlibat di dalam tindak kekerasan.
Ketika di kejauhan mereka mendengar suara
tengara, suara kentongan dalam nada dara-muluk-tunda-telu, maka
mereka-pun segera bersiap-siap.
Suara kentongan yang tidak lajim itu
memang menumbuhkan beberapa pertanyaan bagi mereka yang mendengarnya.
Tetapi ada di antara mereka yang menganggap bahwa itu hanyalah suatu
kelalaian para petugas sehingga tangan mereka tidak melakukan tugasnya
sebaik-baiknya.
Namun bagi para prajurit yang menyusup
masuk ke dalam istana suara itu adalah tanda bahwa Gubar Baleman telah
berangkat ke istana. Sebentar lagi ia dan beberapa orang pengawalnya
akan segera memasuki halaman.
Dalam pada itu. Senapati muda dan para
pengawalnya yang mendapat tugas untuk memanggil Gubar Baleman itu-pun
berpacu seperti dikejar hantu. Mereka berusaha untuk mengejar Gubar
Baleman yang menurut pemimpin prajurit di perbatasan, telah
mendahuluinya.
Tetapi mereka menjadi berdebar-debar
ketika mereka sudah menjadi semakin dekat dengan kota, tetapi mereka
sama sekali masih belum berhasil menyusulnya.
“Kita akan segera sampai ke Ganter,” desis Senapati muda itu.
“Ya. jalan di depan kita itulah jalan silang yang menuju ke pemusatan pasukan Mahisa Walungan.”
“Mungkin Gubar Baleman akan singgah ke sana.”
“Setan alas. Kalau ia berhasil menemui beberapa orang di sana, maka ia akan mendengar apa yang telah terjadi.”
“Tetapi apakah kira-kira Gubar Baleman
berani menentang Sri Baginda sendiri, tanpa Mahisa Walungan,” bertanya
salah seorang pengawalnya.
Senapati muda itu berpikir sejenak,
“Mungkin tidak. Tetapi kemungkinan yang lain masih dapat terjadi. Aku
kira Pujang Warit juga belum bertindak sesuatu sebelum Gubar Baleman
ditangkap, sehingga pemusatan pasukan itu sama sekali masih utuh.”
“Lalu apakah yang akan kita kerjakan. Kita hampir sampai di jalan silang.”
Senapati itu berpikir sejenak. Sangat
berat baginya untuk menghadap Sri Baginda tanpa Gubar Baleman. Karena
itu apapun yang akan terjadi, ia mengambil keputusan. “Kita singgah ke
tempat itu. Kita cari Gubar Baleman di sana. Kita harus membawanya
menghadap.”
Beberapa orang pengawal saling
berpandangan sejenak. Namun mereka tidak dapat membantah keputusan
pemimpinnya itu, sehingga mereka-pun kemudian mengangguk-anggukkan
kepala mereka sambil bergumam, “Baiklah.”
“Bagus,” berkata Senapati itu, “kita harus bersikap tegas.”
Para pengawalnya-pun kemudian mengerutkan
kening mereka. Wajah mereka menjadi tegang. Mereka merasa bahwa mungkin
mereka harus menghadapi masalah yang tidak mereka sangka-sangka ketika
mereka berangkat. Beberapa orang di antara mereka tanpa sadar, telah
meraba hulu pedangnya.
Kuda-kuda itu masih berpacu terus. Ketika
mereka sampai ke jalan silang, maka mereka-pun kemudian berbelok ke
kanan. Mereka akan singgah ke pemusatan pasukan Mahisa Walungan di
sebelah Utara Ganter. hanya beberapa patok saja dari jalan yang
dilaluinya. Agaknya apabila rencana Mahisa Walungan berhasil, di tempat
itulah pasukan Singasari akan dijebak.
Dengan hati yang berdebar-debar. Senapati
muda itu menjadi semakin dekat dengan padukuhan yang dipergunakan oleh
Mahisa Walungan untuk menampung kekuatan Kediri. Sebuah padukuhan yang
berhubungan dengan sebuah pategalan yang luas. Kemudian dipisahkan oleh
bulak kecil terbentang sebuah hutan rindang yang sengaja dibiarkan tetap
ada di situ, untuk dipergunakan sebagai tempat bercengkerama dan
berburu bagi Sri Baginda Kertajaya.
Di tempat-tempat itulah pasukan Mahisa Walungan bertebaran.
“Tempat ini memang baik sekali,” berkata
Senapati itu di dalam hatinya, “kalau pasukan Singasari mengalir lewat
jalan induk itu, maka pasukan Mahisa Walungan akan menyerangnya dari
samping. Sedang pasukan yang di seberang kiri jalan, akan memancing
perhatian lawan, sebelum mereka dilanda oleh pasukan yang kuat di sini.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya padukuhan yang
tidak begitu jauh dari tempat itu, namun karena gelapnya malam, maka ia
tidak dapat melihatnya.
Di tempat itulah Pujang Warit membayangi gerak-gerik pasukan ini.
“Aku masih juga sangsi,” Senapati itu
melanjutkan di dalam hatinya, “apabila orang-orang Mahisa Walungan tetap
berkeras. apakah Pujang Warit mampu memaksa mereka dengan kekerasan?”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam, kemudian, “Tetapi Pujang Warit
yakin bahwa sebagian terbesar dari pasukan yang ada di pemusatan pasukan
itu masih tetap setia kepada Sri Baginda.”
Ternyata bahwa Senapati muda itu masih
juga dihinggapi oleh keragu-raguan. Ia mengerti benar rencana Mahisa
Walungan dengan pemusatan pasukannya. Namun dipaksanya hatinya berkata,
“Tetapi sayang, Mahisa Walungan dan Gubar Baleman akan menyalah gunakan
kekuatan ini untuk memutar pasukan ini menghadap ke istana Kediri
sendiri.”
Sementara itu kudanya berpacu semakin
cepat. Sambil menggertakkan giginya Senapati muda itu berkata, “Kita
sudah hampir sampai. Kita tidak dapat bermain-main lagi dengan perintah
Sri Baginda ini.”
Para pengawalnya tidak menjawab. Tetapi terasa debar yang semakin cepat di dada mereka.
Angin yang basah terasa mengusap wajah-wajah yang tegang itu. Namun hati mereka terasa menjadi semakin panas.
Ketika mereka sampai di gerbang
padukuhan, mereka-pun segera menarik kekang kuda-kuda mereka, sehingga
kuda-kuda itu-pun segera berhenti pula.
“Siapakah kalian,” bertanya pemimpin penjaga regol itu.
“Aku adalah utusan Sri Baginda yang atas namanya, kami mencari Pamanda Menteri Gubar Baleman.”
“O, kenapa kau mencarinya di sini? Bukankah Menteri Gubar Baleman berada di perbatasan.”
“Jangan berpura-pura tidak tahu. Ia sudah datang kemari.”
Pemimpin penjaga itu mengerutkan
keningnya. Namun sebelum ia menjawab, seorang Senapati yang sejak lama
berada di regol itu-pun menyahut, “Ya, Menteri Gubar Baleman ada di
sini.”
“Nah, kalau begitu, aku akan bertemu.”
“Ia baru saja datang dari perbatasan.
Katanya, Sri Baginda memanggilnya. Tetapi begitu tergesa-gesa sehingga
ia justru meninggalkan Senapati utusan Baginda yang memanggilnya di
perbatasan.”
“Ya, akulah utusan itu.”
“Sekarang Menteri itu menunggu kalian di sini. Ia yakin bahwa kau akan mencarinya kemari.”
“Ya.”
“Masuklah. Ia ada di rumah yang terbesar di padukuhan ini. di sebelah tikungan yang kedua.”
Senapati itu sama sekali tidak turun dari
punggung kudanya. Karena itu, maka ketika ia merasa sudah diijinkan
memasuki padukuhan itu oleh penjaganya, langsung digerakkannya kendali
kudanya, sehingga kudanya itu-pun berjalan maju memasuki regol diikuti
oleh para pengawalnya.
Tetapi ketika orang yang terakhir sudah
melangkah regol itu. betapa mereka. Senapati muda itu beserta
pengawalnya, menjadi terkejut bukan buatan. Tiba-tiba saja beberapa
orang telah mendorong dan menutup pintu regol itu.
“He,” Senapati muda itu berhenti. “apakah artinya ini?”
Senapati yang berdiri di depan pintu
regol berjalan mendekatinya. Di bawah cahaya obor yang kemerah-merahan
tampaklah wajahnya menjadi semakin keras seperti batu karang.
“Maaf Ki Sanak, kau terpaksa harus beristirahat di sini dahulu sampai Menteri Gubar Baleman datang kembali ke tempat ini.”
“Apa maksudmu?”
“Demikianlah perintah Menteri Gubar Baleman.”
“Aku adalah utusan Sri Baginda justru untuk memanggil Pamanda Menteri Gubar Baleman.”
“Aku tidak tahu.”
“Kalau kau tidak tahu, aku memberi
tahumu. Kalau kau lakukan juga perintah itu, menahan aku di sini,
berarti bahwa kalian telah melawan perintah Sri Baginda seperti Pamanda
Menteri Gubar Baleman.”
“Menteri Gubar Baleman sudah menghadap Sri Baginda.”
Dada Senapati muda itu berdesir tajam.
Sejenak ia justru terbungkam. Dipandanginya setiap prajurit yang ada di
sekitarnya dengan mata tanpa berkedip. Nyala obor yang kemerah-merahan
membuat wajah Senapati itu seakan-akan telah membara.
Sejenak kemudian ia menggeram, “Kalian jangan berbuat begitu dungu. Panggil Gubar Baleman.”
Tidak seorang-pun yang menjawab.
“Atas nama Sri Baginda Kertajaya yang berkuasa di Kediri, panggil Gubar Baleman,” ia berteriak.
Tetapi masih tidak ada jawaban sama sekali. Orang-orang yang ada di sekitarnya seakan-akan membeku dalam kelamnya malam.
“He, apakah kalian tidak mendengar? Bawa
pengkhianat itu kemari. Aku adalah orang yang mendapat pelimpahan
kekuasaan dari Sri Baginda. Apakah kalian mendengar?”
Masih tidak ada jawaban apapun.
“Gila, kalian di sini sudah menjadi gila.
Aku adalah utusan Sri Baginda. Kalau aku tidak kembali pada saatnya,
kalian pasti akan digantung oleh Sri Baginda sendiri karena kalian telah
menghina utusannya. Itu berarti kalian telah menghina Sri Baginda
sendiri.”
Tidak seorang-pun yang menjawabnya.
Tiba-tiba Senapati muda itu kehilangan
kesabarannya, bahkan kehilangan nalarnya. Karena itu maka tiba-tiba ia
menarik pedangnya sambil berkata lantang, “Nilai kepercayaan Sri Baginda
sama dengan ujung senjataku. Siapa yang tidak tunduk, aku berhak
memenggal lehernya.”
Senapati yang memang menunggunya di regol
itu-pun kemudian maju selangkah sambil menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian dengan tenang, “Kau kehilangan akal.”
“Tidak. Ini adalah keharusan seorang utusan.”
“Apakah yang dapat kalian lakukan di sini?”
“Memaksa kalian untuk membawa Gubar Baleman menghadap. Aku harus membawanya menghadap Sri Baginda. Hidup atau mati.”
“Kau adalah seorang Senapati. Kau sudah
dimabukkan oleh tugas yang barangkali baru pertama ini kau lakukan.
Mengemban tugas Sri Baginda,” berkata Senapati itu, “aku adalah orang
yang lebih tua daripadamu. meskipun aku masih juga belum mendapat
kesempatan dinaikkan pangkatku menjadi Senapati Pandega. Cara yang kau
pakai bukanlah tata cara yang benar di dalam tata keprajuritan.”
“Aku tidak peduli. Tetapi Kediri berada
dalam keadaan darurat. Aku harus menangkap Menteri Gubar Baleman. Apakah
kalian tidak tahu, untuk apa kalian di pusatkan di tempat ini?”
“Kami tahu. Kami tahu dengan pasti, bahwa
kami sedang menunggu banjir bandang yang akan mengalir dari Singasari
lewat jalan induk di sebelah.”
“Kalian ternyata telah diperbodoh oleh
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Kalian sebenarnya akan dipergunakan
oleh mereka untuk merebut kekuasaan Kediri. Mahisa Walungan ingin
menjadi seorang Raja dan Gubar Baleman akan menjadi Menteri Pertama.
Kalian adalah landasan-landasan yang bodoh untuk memanjat ke singgasana
itu. Atau kalian mungkin mendapat janji untuk mendapat upah yang tinggi.
Bukan kalian akan diangkat menjadi Pandega atau Akuwu di daerah-daerah
kecil?”
Hampir saja Senapati yang bertugas
menunggu kedatangannya itu juga kehilangan nalar. Tetapi karena umurnya
yang sudah lebih tua, dan pengalamannya yang lebih banyak, ia masih
mampu menahan dirinya. Bahkan ia masih dapat berkata dengan tenang, “Kau
tidak sadar, apa saja yang telah kau katakan?”
“Aku sadar. Aku menyadari apa yang aku katakan dan segala akibatnya.”
“Jangan terlampau congkak. Kau sebagai
utusan Sri Baginda atau kau pribadi, tidak jauh berbeda bagi kami. Kau
tetap di sini. Tanpa maksud menentang kekuasaan Sri Baginda, kami
berkeputusan untuk menahan kau. karena kau ternyata mempunyai penilaian
yang salah terhadap kami. Atau barangkali kau yang telah memfitnah
Adinda Baginda Mahisa Walungan sehinga ia ditahan? Kemudian Menteri
Gubar Baleman-pun mendapat tuduhan yang sama? Kalau begitu kau adalah
orang yang justru paling bodoh di seluruh Kediri, selagi Singasari siap
menelan kita.”
“Cukup,” teriak Senapati muda itu, “aku tidak mau mendengar kebodohan itu lebih lama lagi. Sekarang bawa Gubar Baleman kemari.”
“Sarungkan pedangmu supaya kami tidak menarik pedang-pedang kami pula.”
“Tariklah pedangmu.”
“Kau benar-benar gila. Apakah kau akan
membunuh dirimu di sini. selagi kita memerlukan keutuhan kekuatan untuk
melawan Singasari?”
“Aku tidak peduli,” Senapati itu
benar-benar telah kehilangan akal, “kalian harus bertanggung jawab kalau
aku membuat pepati di sini.”
Senapati yang bertugas di padukuhan
itu-pun tidak dapat membiarkannya berbicara lebih lama lagi. Tiba-tiba
ia mengangkat tangannya, kemudian seseorang pengawal memukul kentongan
di regol lima kali berturut-turut. Itu adalah suatu aba yang sudah
diketahui sebelumnya, bahwa tanda itu adalah perintah bagi para prajurit
yang mengawal padukuhan itu untuk mengepung Senapati muda itu beserta
pengikutnya.
Karena itu maka berloncatanlah
berpuluh-puluh prajurit yang siap dengan senjata mereka dari balik pagar
batu di pinggir jalan dari balik gerumbul-gerumbul yang gelap, dan
bahkan dari pepohonan.
“Gila,” teriak Senapati itu, “kalian telah memberontak terhadap Sri Baginda.”
“Bukan maksud kami. Kami hanya ingin
menunjukkan kebenaran kepada Sri Baginda, justru karena kesetiaan kami.
kesetiaan Menteri Gubar Baleman dan kesetiaan Adinda Sri Baginda,
Mahisa Walungan kepada Sri Baginda dan terlebih-lebih kepada Kediri.”
Senapati muda yang merasa dirinya
mendapat kekuasaan dari Sri Baginda Kertajaya itu menggeram. Kini ia
sudah tidak berada di atas punggung kudanya. Demikian juga para
pengawalnya. Namun pedangnya masih tetap di genggamannya.
“Kau tidak dapat berbuat lain daripada
menurut perintah Menteri Gubar Baleman,” berkata Senapati yang menunggui
padukuhan itu, “kau tetap di sini.”
“Tidak,” jawab Senapati muda itu, “aku
sudah sanggup menjadi seorang utusan bersama beberapa orang pengawalku.
Kau juga seorang Senapati. Kau pasti tahu arti daripada kesanggupan
seorang prajurit.”
“Maksudmu hanya mautlah yang dapat mencegahmu?”
“Ya.”
“Kau keliru. Apakah seorang Senapati yang
nyata-nyata menyadari bahwa ia telah sesat jalan, ia juga tidak akan
melangkah surut? Apakah ia akan meneruskan kesesatannya itu sampai ke
ujung kebodohan yang tidak terbatas?” jawab Senapati pengawal itu.
“Bagiku bukan itu. Kalau kau sadar, bahwa
aku tersesat jalan, maka sebagai seorang jantan aku melangkah surut,
mencari jalan lain yang seharusnya dilalui seorang prajurit?” ia
berhenti sejenak. Lalu, “Sekarang kita sadar, bahwa Singasari sudah
berada di ujung hidung. Apakah kau masih juga sempat mengangkat dadamu,
menantang sesama kawan yang sedang berusaha menyelamatkan negerinya?
Katakanlah, aku hanya setitik air di lautan yang luas, karena aku hanya
seorang Senapati di antara sekian banyak Senapati. Tetapi bagaimana
dengan Menteri Gubar Baleman? Bagaimana dengan Adinda Baginda Mahisa
Walungan?”
“Omong kosong,” teriak Senapati muda itu, “ayo, bunuh aku. Aku hanya dapat dicegah oleh maut.”
“Jangan terlampau bodoh. Sekarang Menteri Gubar Baleman telah berada di istana. Jangan ribut.”
Senapati muda itu sama sekali tidak mau
mendengar lagi. Sejenak ia berdiri mematung, kemudian ia mengangkat
tangannya, memberikan perintah kepada para pengawalnya.
Tetapi ia menjadi heran, bahkan kemudian wajahnya yang membara itu seakan-akan kini telah menyala. “He, cabut senjata kalian.”
Para pengawal itu hanya saling berpandangan.
“Apakah kalian sudah tuli he?”
Salah seorang pengawal menarik nafas panjang. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Apakah kita harus meyakini kebenaran sikap kita?”
Pertanyaan itu benar-benar telah
mengejutkan Senapati muda itu. Dengan suara gemetar ia menjawab, “O,
apakah kau juga sudah gila dengan tiba-tiba? Atau kesurupan? Tidak ada
seorang prajurit-pun yang pernah mengucapkan pertanyaan seperti itu.”
“Ya, aku tahu. Tetapi tiba-tiba saja aku ingin jujur terhadap perasaanku sendiri. Apakah kita tidak tersesat jalan?”
“Diam, diam kau. Kau harus tunduk perintahku. Kau adalah seorang prajurit.”
Prajurit itu tidak menjawab.
Yang terdengar adalah perintah Senapati muda itu. “Ayo, tarik pedangmu.”
Para pengawal yang termangu-mangu itu-pun menarik senjata masing-masing meskipun mereka masih juga ragu-ragu.
“He, kenapa kalian menjadi linglung.
Cepat, lakukanlah sesuatu. Kita adalah utusan Sri Baginda. Tidak ada
nilai yang lebih tinggi daripada perintah Sri Baginda bagi seorang
prajurit.”
“Itu juga keliru,” potong Senapati
pengawal, “Sri Baginda adalah raja yang berkuasa di Kediri. Tetapi
apakah tanpa Kediri Sri Baginda akan tetap menjadi seorang raja?
Bagamana kalau Singasari kemudian menguasai Kediri?”
Senapati muda itu mengerutkan keningnya.
“Apakah kita dapat disebut setia kepada
Sri Baginda dan apalagi kepada Kediri kalau kita membiarkan atau
setidak-tidaknya karena kebodohan kita Kediri tenggelam dan Sri Baginda
kemudian ditangkap oleh lawan?”
Senapati itu masih tetap berdiam diri.
“Renungkan.” Terasa sesuatu bergolak di
dada Senapati muda itu. Namun tiba-tiba ia menghentakkan dirinya. Di
dalam hatinya ia berkata, “Sudah pasti ini merupakan suatu cara untuk
melemahkan hatiku. Aku sudah mulai menjadi bimbang. Tetapi seorang
utusan tidak pernah bimbang dan ragu-ragu.”
Tiba-tiba saja Senapati muda itu
berteriak, “Omong kosong. Omong kosong. Kalian sudah memberontak
terhadap Sri Baginda. Aku adalah utusannya.”
Tiba-tiba pedang Senapati muda itu
menjadi bergetar. Sekali ia berpaling kepada para pengawalnya sambil
berteriak, “Jangan lemah seperti perempuan. Suara itu adalah suara demit
yang ingin melemahkan hati kita. Cepat, kita bunuh semua orang di
sini.”
Tetapi pengawalnya sama sekali tidak beranjak di tempatnya.
“He. kalian sudah kesurupan pula.” ia berteriak, “He. kenapa kalian diam saja he?”
Tetapi pengawalnya masih tetap berada di tempatnya.
Senapati muda yang dibakar oleh kemarahan
itu tidak dapat mengekang dirinya lagi. Serangannya yang pertama justru
dilontarkannya kepada para pengawalnya sendiri. Sambil berteriak ia
meloncat, “Pengkhianat, pengecut. Kalian-pun harus mati.”
Untunglah, bahwa para pengawal itu sudah
melihat gelagat yang kurang baik terbayang di wajah yang kemerah-merahan
itu. Karena itu, mereka-pun segera berusaha untuk mengelak. Dengan
tergesa-gesa mereka berloncatan surut, meskipun mereka sama sekali tidak
melawan.
Ternyata serangan yang tergesa-gesa dan
didorong oleh perasaan yang melonjak-lonjak itu sama sekali tidak mampu
menyentuh siapapun juga. Bahkan ketika ia akan mengulangi serangannya,
tiba-tiba ia tertegun. Beberapa pucuk senjata telah merunduk
melingkarinya. Ujung-ujung tombak, ujung pedang dan bahwa beberapa pucuk
anak panah yang sudah siap pada busurnya yang telah melengkung.
Senapati muda itu menggeram seperti
seekor harimau yang terluka. Tetapi ia sama sekali tidak dapat bergerak.
Ujung-ujung senjata itu semakin lama menjadi semakin dekat ke tubuhnya.
“Pengecut,” ia berteriak, “ayo. siapa jantan di antara kalian. Kita berperang tanding.”
“Itu hanya membuang-buang waktu dan
tenaga saja,” jawab Senapati yang memimpin penangkapan itu,
“pengawal-pengawalmu agaknya dapat berpikir lebih baik daripada kau
sendiri.”
“Persetan dengan pengkhianat-pengkhianat itu. Tetapi jangan mengharap aku akan menyerah.”
“Aku memang tidak mengharap kau menyerah. Tetapi aku mengharap kau mengerti, bahwa kita kini benar-benar dalam bahaya.”
“Jangan gurui aku. Kalau kalian tetap
berbuat sebodoh Ini. pasukan Pujang Warit akan menghancurkan pemusatan
pasukan yang akan berkhianat terhadap Sri Baginda ini.”
“Kau mempunyai telinga, tetapi kau tidak
dapat mendengar. Sudah aku katakan, bahwa aku dan seluruh pasukan ini,
termasuk Menteri Gubar Baleman dan Adinda Baginda Mahisa Walungan
tidak akan memberontak.”
“Omong kosong.”
“Terserah kepadamu. Aku tidak dapat
melunakkan hati yang sekeras batu itu. Tetapi kau tidak akan dapat lepas
dari padukuhan ini. Letakkan senjatamu.”
“Senjataku sama harganya dengan nyawaku. Ia akan terlepas sendiri dari tanganku kalau maut sudah merenggut.”
“Kau memang seorang Senapati yang jantan. Tetapi sayang. kau termasuk bodoh.”
“Tutup mulutmu.” Senapati itu bergerak
setapak, tetapi ujung senjata yang ada di seputarnya seakan-akan kini
telah melekat di tubuhnya, sehingga ia tidak mungkin lagi mengangkat
pedangnya.
“Pengecut, pengecut,” ia berteriak. Namun suaranya hilang saja ditelan oleh gelapnya malam.
Yang terdengar kemudian adalah suara
Senapati pengawal padukuhan itu, “Letakkan senjatamu supaya kami tidak
usah memaksamu dengan cara yang tidak kau sukai.”
“Bunuh aku.”
“Kami tidak ingin membunuh.”
Senapati itu menggeretakkan giginya.
Ketika ujung-ujung senjata para prajurit di sekitarnya menjadi semakin
menekan tubuhnya, ia menjadi bimbang.
“Letakkan senjatamu. Kau tidak kalah, dan
kau tidak perlu merasa kalah. Tinggallah di sini, dan kau akan
membuktikan kebenaran kata-kata kami. bahwa kami bukan pemberontak.
Mungkin kami mempunyai cara yang tidak disukai oleh Sri Baginda. Tetapi
itu pasti hanya untuk sementaraa. Nanti Baginda-pun akan mengetahui,
siapakah yang sebenarnya setia kepadanya dan kepada Kediri.”
Senapati itu tidak menjawab.
“Letakkan senjatamu.”
Senapati muda itu menggeretakkan giginya.
Terasa pundaknya, punggungnya, lambungnya, dan bagian-bagian badannya
yang lain telah tersentuh ujung senjata. Dan ia mendengar sekali lagi,
“Letakkan senjatamu.”
Sejenak Senapati muda itu termangu-mangu. Tetapi kemudian tampak olehnya wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
Akhirnya, betapa keras hatinya. Senapati
muda itu-pun hanya melihat kenyataan. Memang tidak bijaksana untuk
membunuh diri dengan cara yang bodoh itu. Kalau ia masih mempunyai
kesempatan untuk hidup, maka segala kemungkinan masih dapat terjadi.
Karena itu, ketika ia mendengar desis sekali lagi, dengan hati yang betapapun beratnya, diletakkannya senjatanya di tanah.
“Bagus,” berkata Senapati pengawal
padukuhan itu, “Sekarang, ikutlah dengan prajurit-prajurit yang akan
menunjukkan tempatmu. Kau barangkali perlu beristirahat.”
Senapati muda itu tidak menjawab. Tetapi sekilas tampak matanya masih menyala-nyala.
Dalam pada itu, malam-pun menjadi semakin
tipis oleh cahaya yang semakin merah di langit. Meskipun embun masih
menitik, tetapi terasa, bahwa malam-pun akan segera berakhir.
Dalam pada itu Gubar Baleman telah berada
di pintu gerbang istananya bersama beberapa orang pengawal. Mereka-pun
segera berloncatan dari punggung-punggung kuda mereka dan menyerahkan
kuda-kuda itu kepada para pengawal.
“Aku akan menghadap Sri Baginda.”
Seorang prajurit membungkukkan kepalanya
sambil menjawab, “Silahkan. Kami memang mendapat perintah untuk menunggu
tuan datang malam ini.”
Gubar Baleman mengerutkan keningnya, “Siapa yang memberi kalian perintah itu?”
“Pimpinan pasukanku.”
Gubar Baleman tersenyum. “Bagus. Kau
adalah seorang prajurit yang patuh. Apakah kalau kau tidak menunggu
kedatanganku, gerbang ini tidak dijaga?”
Prajurit itu tergagap. Jawabnya, “Ya, ya, Tentu dijaga.”
Gubar Baleman menepuk pundak prajurit
itu. “Sebaiknya kau bersikap biasa apapun yang sudah kau dengar tentang
aku. Kau tidak usah ikut bersikap aneh-aneh.”
Prajurit itu heran. Tetapi kemudian ia
tertunduk malu. Agaknya Gubar Baleman dapat membaca isi hatinya, bahwa
ia-pun merasa senang melihat kehadiran Menteri yang akan ditangkap itu.
“Nah, jalankan tugasmu baik-baik. Aku akan menghadap Sri Baginda.”
Prajurit itu hanya membungkukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Gubar Baleman dan pengawalnya-pun segera
memasuki gerbang istana langsung memasuki regol halaman dalam. Ia lahu
bahwa ia harus menghadap Baginda di paseban dalam pula.
Menteri itu mengernyitkan alisnya ketika ia melihat beberapa orang prajurit yang telah bersiaga di segala sudut.
Demikian juga agaknya kesiagaan para
pengawal istana pada saat Mahisa Walungan menghadap. Namun di dalam hati
Gubar Baleman berkata, “Tetapi seandainya Adinda Mahisa Walungan
menghendaki, penjagaan yang tiga kali lipat dari kekuatan ini tidak akan
dapat menahannya. Namun Adinda Mahisa Walungan terlampau patuh kepada
kakandanya.”
Tetapi ternyata Gubar Baleman telah
berbuat lain. Ia adalah seorang pemimpin yang hampir sepanjang hidupnya
menumpahkan segala tenaganya buat Kediri, dan ia bukan saudara Sri
Baginda. Karena itu Gubar Baleman mempunyai cara yang agak lebih
longgar, meskipun ia sama sekali tidak ingin melawan kekuasaan Sri
Baginda Kertajaya dalam arti sebenarnya.
Maka dengan hati yang berdebar-debar
Gubar Baleman memasuki halaman dalam dengan para pengawalnya. Namun
kemudian ia terhenti ketika seorang Senapati datang kepadanya. Sambil
menundukkan kepala, kemudian Senapati itu berkata, “Menteri Gubar
Baleman. Aku mendapat perintah untuk menunggu di paseban. Sewaktu-waktu
aku harus memberitahukan kepada pelayan dan emban yang menunggui bilik
Sri Baginda untuk membangunkannya.”
“Terima kasih,” jawab Gubar Baleman, “agaknya kedatanganku memang sudah ditunggu-tunggu.”
“Sri Baginda sendiri menunggu sampai hampir tengah malam.”
“Aku akan mohon ampun bahwa aku datang terlambat.”
Senapati itu terdiam sejenak. Namun
kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Tetapi adalah perintah Sri
Baginda bahwa Menteri Gubar Baleman hanya diperkenankan menghadap
seorang diri, tanpa pengawal dan tanpa senjata.”
Gubar Baleman tertawa, “Aku adalah orang
istana sejak kecil. Aku sudah tahu, bahwa aku hanya dapat menghadap Sri
Baginda tanpa pengawal-pengawal ini. Dan mereka akan tinggal di
halaman.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya, “Ya. begitulah.”
“Tetapi tidak ada perintah yang pernah
aku dengar, bahwa aku harus menghadap Sri Baginda tanpa senjata. Sebagai
seorang Menteri yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan
Kediri, aku adalah Senapati tertinggi. Aku adalah pimpinan tertinggi
pasukan Kediri di samping Adinda Mahisa Walungan.”
“Maaf. Aku hanya sekedar menerima perintah.”
“Aku akan menunggu di halaman. Sampaikan saja dahulu kepada Sri Baginda, bahwa aku akan menghadap.”
Senapati itu ragu-ragu sejenak.
“Sampaikan.” ulang Gubar Baleman, “kalau
Sri Baginda hanya bersedia menerima aku tanpa senjata, apa boleh buat.
Tetapi itu adalah menyalahi kebiasaan.”
“Baiklah,” jawab Senapati itu, “aku akan menyampaikannya kepada kakang Pandega yang akan menyampaikannya kepada Sri Baginda.”
“Supaya aku tidak menyalahi keteranganmu, aku akan menunggu di sini, di luar.”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Seharusnya Gubar Baleman sudah ada di paseban apabila Sri Baginda keluar.
“Biarlah kakang Pandega yang
mengaturnya,” desis Senapati itu di dalam hatinya, sehingga karena itu,
maka ia-pun pergi meninggalkan Gubar Baleman.
Gubar Baleman masih berada di halaman
bersama beberapa orang pengawalnya. Tetapi Gubar Baleman masih membawa
senjatanya di lambungnya.
Ketika ia melayangkan pandangan matanya
ke sekelilingnya. maka hatinya berdebar-debar. Di bawah cahaya
lampu-lampu obor ia melihat kesiagaan para pengawal. Bahkan di muka
regol kini ia melihat beberapa prajurit berdiri berjajar tepat di muka
pintu. Gubar Baleman sadar, bahwa pintu keluar sudah tertutup.
Namun Gubar Baleman-pun percaya, bahwa
pada saatnya. Orang-orangnya akan segera muncul. Menurut penilaian dan
perhitungannya, mereka kini pasti sudah ada di sekitar halaman ini pula.
Di dalam gerumbul-gerumbul yang gelap, dan di balik-balik patung yang
bertebaran. Di antara longkangan-angan kecil yang gelap di halaman itu.
“Apabila aku masuk ke paseban, mereka pasti akan segera mulai bergerak,” katanya di dalam hati.
Dalam pada itu. sejenak kemudian datanglah tiga orang prajurit dan seorang Senapati Pandega kepadanya.
Gubar Baleman mengerutkan keningnya,
ketika Senapati itu langsung berkata kepadanya, “Atas perintah Sri
Baginda, dipersilahkan menghadap di paseban tanpa senjata.”
“Apakah itu perintah Sri Baginda?”
“Ya.”
Gubar Baleman menjadi ragu-ragu sejenak.
Tetapi kalau ia tidak mematuhinya, maka perlawanannya sudah dimulai
terlampau cepat. Karena itu, maka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
ia berkata, “Ini adalah perintah yang aneh bagiku. Tidak pernah aku
melepaskan senjataku, apabila sudah terlanjur aku selipkan di lambung
dalam keadaan apapun juga. Tetapi perintah Sri Baginda memang harus
dipatuhi.”
“Kemudian, dipersilahkan naik ke paseban dalam, sementara para pengawal akan tinggal di luar,” berkata Pandega itu.
Gubar Baleman tidak segera menjawab.
Tetapi dilayangkan pandangan matanya kepada prajurit yang ada di
sekitarnya. Seolah-olah ia sedang memperingatkan para pengawalnya, bahwa
prajurit-prajurit yang sudah bersiaga di halaman itu kini sudah
mengepung mereka.
Sejenak kemudian Gubar Baleman-pun
melangkahkan kakinya menaiki tangga paseban. Di muka pintu ia berhenti
sejenak. Sambil memandang prajurit yang berdiri di muka pintu ia
berkata, “He, kenapa kau berjaga-jaga di sini dengan senjata telanjang?”
Prajurit itu menjadi bingung. Dipandanginya saja Senapati yang mengantar Gubar Baleman tanpa mengucapkan sepatah kata-pun.
“Perintah Sri Baginda,” Senapati Pandega itulah yang menjawab.
Namun Senapati itu-pun menjadi bingung
ketika Gubar Baleman bertanya, “Kesiagaan yang begini pulakah yang telah
menyambut Adinda Mahisa Walungan pada saat ia ditangkap?”
Sejenak Senapati itu berdiri saja
mematung. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Gubar Baleman.
Dipandanginya Senapati yang seolah-olah membeku itu. Kemudian ditepuknya
bahu prajurit yang membawa senjata telanjang, “Awas,” katanya, “kau
harus selalu bersiaga. Meskipun di paseban kau harus menggenggam senjata
yang sudah lepas dari wrangkanya. Siapa tahu pasukan Singasari akan
sampai ke pintu ini. Bahkan mungkin Ken Arok sendiri akan datang
kemari.”
Prajurit itu berdiri saja tanpa dapat
berbuat sesuatu. Namun demikian ia bertanya juga di dalam hatinya,
“Kenapa aku harus bersiaga di sini dalam penangkapan ini? Apakah benar
Menteri Gubar Baleman akan memberontak?”
Gubar Baleman-pun kemudian melangkah
memasuki paseban. Dilihatnya di dalam paseban itu sudah hadir penasehat
Sri Baginda, beberapa orang Menteri yang lain dan beberapa orang
Senapati yang memegang pimpinan di kalangan keprajuritan. Termasuk kedua
Penasehat Sri Baginda yang telah ikut serta mendorong Pujang Warit
untuk merebut pimpinan keprajuritan. Namun Gubar Baleman tidak melihat
Pujang Warit sendiri.
“Anak itu pasti akan mulai bertindak atas
pasukan di sebelah utara Ganter,” berkata Gubar Baleman di dalam hati.
Sebagai seorang prajurit ia mempunyai tanggapan yang ternyata tidak jauh
dari apa yang sebenarnya terjadi.
Pada saat Gubar Baleman menghadap di
paseban. Pujang Warit telah benar-benar menyiapkan pasukannya. Ia akan
pergi ke sebelah Utara Ganter, dan mengumumkan bahwa Mahisa Walungan dan
Gubar Baleman telah ditangkap karena mereka telah merencanakan
pemberontakan. Karena itu. maka ia akan berseru atas perintah Sri
Baginda supaya segenap pasukan di sebelah Utara Ganter itu melepaskan
diri dari segala pengaruh Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.
Di paseban Gubar Baleman-pun kemudian
duduk di antara para Menteri seperti kebiasaannya. Namun kini ia merasa
bahwa beberapa orang di antara mereka menanggapi kedatangannya dengan
sikap acuh tidak acuh. Ada yang dengan sengaja memalingkan wajahnya,
tetapi ada juga yang ragu-ragu. seperti juga mereka ragu-ragu bahwa
kedua orang Senapati tertinggi, Mahisa Walungan dan Gubar Baleman akan
memberontak.
“Kalau mereka benar-benar sudah siap, apakah mereka akan bersedia datang ke paseban?”
Tetapi tidak seorang-pun di paseban itu
yang berbicara. Mereka menunggu dengan tegang kehadiran Sri Baginda
Kertajaya yang memang sudah berpesan, bahwa setiap saat Gubar Baleman
datang, ia akan menyelesaikan masalah yang sangat menyakitkan hatinya
itu.
Demikianlah, sejenak kemudian maka dua
orang pengawal memasuki ruangan. Kemudian upacara kecil kehadiran Sri
Baginda, karena paseban ini adalah paseban darurat, sehingga Baginda
tidak diikuti dan didahului oleh segala macam upacara kebesaran.
Ruangan itu-pun kemudian menjadi senyap.
Tidak seorang-pun yang berani mengangkat wajah mereka. Seakan-akan
setiap orang dapat mendengar detak jantung mereka sendiri.
“Ha,” berkata Sri Baginda dengan
serta-merta, tanpa menghiraukan lagi adat upacara karena kemarahan yang
sekian lama tertahan di dadanya, “Kau sudah datang Gubar Baleman?”
“Ampun Tuanku. Hamba telah datang memenuhi perintah Tuanku.”
Sri Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak sekilas senyum membayang di bibir Sri Baginda. Sebuah senyuman yang pahit.
“Apakah kau datang bersama Mahisa Walungan?” bertanya Sri Baginda kemudian.
“Tidak Tuanku.”
“Di mana Mahisa Walungan sekarang? Bukankah ia berada di perbatasan dengan kau?”
“Adinda Mahisa Walungan kini berada di luar paseban ini Sri Baginda.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya.
Kemudian dipandanginya para Menteri yang lain dan para Senapati yang ada
di dalam ruangan itu.
“He. kenapa kau menjawab bahwa Mahisa Walungan ada di luar paseban?”
Gubar Baleman tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu, apakah Mahisa Walungan benar-benar telah ada di luar paseban.
Sementara itu pada saat Gubar Baleman
memasuki ruangan paseban maka setiap prajurit yang dikirimkannya lebih
dahulu memasuki halaman itu-pun mengerti, bahwa mereka harus bertindak
secepat-cepatnya. Tanpa memberi kesempatan kepada seorang penjagapun.
mereka bergerak mendekati setiap orang yang sedang bertugas. Dengan
pisau-pisau belati mereka menahan setiap orang yang dengan tiba-tiba
saja merasa ujung pisau-pisau itu telah melekat di punggung atau
lambung.
“Apa artinya ini,” desis seorang Prajurit
yang berdiri di sudut halaman bersama dua orang kawannya. Tetapi di
sekelilingnya telah berdiri lima orang prajurit Gubar Baleman sambil
menekankan pisau di lambung masing-masing.
“Kami tidak akan melakukan
pemberontakan,” berkata prajurit yang menahan mereka dengan pisau, “kami
sama sekali tidak mempunyai niat untuk melawan Sri Baginda. Tetapi kami
ingin memberi kesempatan Menteri Gubar Baleman dan Adinda Sri Baginda
Mahisa Walungan untuk menjelaskan persoalannya.”
“Tetapi kau sudah melawan perintah. Kami adalah petugas di istana Sri Baginda.”
“Tidak. Kami tidak menarik pedang-pedang
kami. Kami mempergunakan kesempatan ini untuk berbicara tentang keadaan
yang sebenarnya di Kediri. Apakah kalian percaya dongeng tentang
pemberontakan yang akan dimulai di Ganter?”
Prajurit yang berada di halaman itu tidak menjawab.
“Itulah yang akan dijelaskan oleh Menteri
Gubar Baleman. Kami terpaksa mempergunakan cara ini, karena cara lain
tidak ada. Sri Baginda pasti tidak akan memberi kesempatan Menteri Gubar
Baleman untuk berbicara cukup panjang.”
Prajurit yang berdiri di sudut halaman
itu menjadi termangu-mangu. Mula-mula hampir saja ia menarik pedangnya,
dan berusaha melawan apapun jadinya. Meskipun lambungnya telah tersentuh
ujung pisau belati, namun ia tidak boleh menyerah begitu mudah. Tetapi
penjelasan prajurit itu dapat dimengertinya. karena sejak semula ia
memang meragukan kebenaran keputusan Sri Baginda, bahwa Mahisa Walungan
dan Gubar Baleman telah memberontak justru pada saat Singasasari siap
untuk menerkam Kediri.
“Sudah tentu kami akan tetap taat kepada
perintah Sri Baginda,” berkata prajurit yang memegang pisau belati itu,
“Tetapi sebenarnya kami tidak ingin bahwa kami berbenturan satu dengan
yang lain. Kami memerlukan segenap kekuatan untuk melawan Singasari.”
“Jadi kau sangka bahwa Baginda telah melakukan kesalahan?”
“Bukan begitu,” jawab prajurit itu,
“tetapi memang mungkin sekali bahwa Sri Baginda tidak melihat keadaan
yang sebenarnya. Tidak mustahil satu dua orang telah dengan sengaja
memutar balik keadaan.”
“Marilah kita menunggu,” berkata prajurit pengawal itu.
Ketika ia memandang dengan sudut matanya, ujung pisau itu masih tertekan di lambungnya.
Keadaan yang serupa telah terjadi pula di
beberapa tempat yang lain. Bahkan prajurit yang berada di luar pintu
paseban itu-pun terkejut ketika tiba-tiba saja masing-masing telah
dibayangi oleh seorang prajurit yang di bawah bayangan dirinya,
melekatkan pisau-pisau belati di lambung mereka.
“Kami tidak bermaksud apa-apa,” berkata
prajurit-prajurit itu, “tetapi kami mengharap bahwa kami dapat
menggantikan tugas kalian.”
“Ternyata Gubar Baleman benar-benar
memberontak,” desis prajurit pengawal, “semula aku ragu-ragu akan berita
itu. Aku bahkan menyangkal di dalam hati bahwa Adinda Baginda Mahisa
Walungan dan Menteri yang menjabat sebagai Senapati tertinggi itu akan
memberontak kepada Sri Baginda. Tetapi ternyata berita itu benar.”
“Kau keliru menanggapi keadaan. Kami
tidak memberontak. Hari ini kau dipaksa untuk berjaga-jaga di sini
justru untuk menangkap Menteri Gubar Baleman yang tidak bersalah. Itulah
sebabnya kami terpaksa mencegah kesalahan itu karena tuduhan yang tidak
benar. Menteri Gubar Baleman hanya akan meluruskan yang bengkok. Sama
sekali tidak akan menyentuh takhta Sri Baginda. Demikian juga Adinda Sri
Baginda.”
Pengawal itu masih akan berbicara lagi,
tetapi dua orang prajurit yang lain telah datang dan berdesis, “Mari,
kau beristirahat bersama kami.”
Kedua pengawal itu masih tetap di tempatnya.
“Jangan membuat keributan Ki Sanak. Kami tidak bermaksud jahat. Sama sekail tidak.”
Karena ujung-ujung pisau itu semakin
menekan lambung mereka, maka kedua pengawal itu-pun tidak dapat berbuat
lain dari pada mengikuti perintah itu.
“Sarungkanlah senjatamu.”
Tidak ada pilihan lain bagi kedua
pengawal itu, selain menyarungkan senjata mereka. Tidak ada gunanya lagi
bagi mereka untuk menyesali kelengahan mereka. Ketika mereka melihat
dua orang prajurit mendekatinya, mereka sama sekali tidak bercuriga.
Mereka terkejut ketika tiba-tiba saja keduanya berdiri melekat
tubuh-tubuh mereka sendiri, sambil melekatkan ujung pisau itu.
Maka kini dua orang prajurit yang berada
di luar pintu Paseban itu adalah prajurit-prajurit Gubar Baleman.
Meskipun ada juga beberapa perbedaan ciri dari kedua pasukan yang
berbeda itu. tetapi di dalam keremangan malam yang hanya ditembus oleh
sinar-sinar obor di kejauhan, perbedaan itu hampir tidak dapat segera
dilihat.
Di bagian lain, sekelompok kecil prajurit
dengan tiba-tiba telah menyergap bilik Mahisa Walungan. Hampir saja
terjadi benturan kekerasan. Namun orang-orang Gubar Baleman yang lebih
banyak segera dapat mengatasi keadaan.
Seperti juga kawan-kawan mereka, maka
seorang Senapati yang telah agak lanjut usia berkata sareh, “Kami ingin
meluruskan yang bengkok. Kami tidak akan berbuat apa-apa.”
Namun kehadiran mereka ternyata telah
mengejutkan Mahisa Walungan sendiri. Ketika kemudian pintu terbuka, dan
Senapati tua itu memasuki biliknya, Mahisa Walungan tanya, “Apakah
kalian telah menjadi gila?”
“Tidak tuan, kami mengemban perintah Menteri Gubar Baleman.”
“He, apakah kakanda Menteri Gubar Baleman benar-benar telah memberontak?”
“Sama sekali tidak. Tetapi Menteri Gubar
Baleman hanya ingin menjelaskan masalah yang sebenarnya kepada Sri
Baginda. Seperti tuan, kini Menteri Gubar Baleman-pun telah dipanggil
menghadap sekarang ini. Namun Menteri Gubar Baleman mengharap, tuan
hadir pula di paseban untuk memberikan penjelasan seperlunya.”
“Aku sudah mencoba, tetapi Kakanda Baginda tidak mempercayainya.”
Sekarang sebaiknya tuan mencoba lagi bersama Menteri Gubar Baleman.”
“Aku tidak dapat melawan Kakanda Baginda. Kakanda Baginda memerintahkan aku tinggal di dalam bilik ini.”
“Tuan, aku tahu bahwa tuan menghormati
Sri Baginda bukan saja sebagai seorang Maharaja yang berkuasa, tetapi
juga sebagai seorang saudara tua yang harus dipatuhi. Tetapi kini kita
berdiri di simpang jalan. Kita harus memilih. Seperti yang sudah tuan
mulai, meskipun tidak seijin Baginda, dengan pemusatan pasukan di
sebelah Utara Ganter. maka sebaiknya tuan juga melakukannya sekarang.
Tampaknya tuan memang melawan Kakanda Baginda, tetapi semuanya itu
justru untuk kepentingan Sri Baginda dan Kediri.”
Mahisa Walungan masih juga ragu-ragu.
“Kediri menunggu tuan. Kalau tuan
ragu-ragu, maka Kediri akan mengeluh, karena kini Kediri benar-benar
tanpa pelindungan apapun.”
Mahisa Walungan masih merenungi kata-kata Senapati tua itu.
“Keputusan Tuan ditunggu oleh seluruh rakyat Kediri, sebelum Kediri tenggelam oleh banjir bandang dari Singasari.”
Sebenarnya tidak niat sama sekali pada
Mahisa Walungan untuk melanggar perintah kakaknya. Tetapi tuan itu
benar-benar telah menyentuh hatinya, ia memang sudah melanggar perintah
kakaknya dengan pemusatan pasukan di sebelah Utara Ganter itu. Tetapi
dengan maksud yang baik bagi Kediri. Dan sekarang ia harus
mengulanginya.
Dalam kebimbangan ia mendengar Senapati
tua itu berkata, “Tidak ada orang lain yang diharapkan oleh Kediri untuk
menghadapi Singasari selain tuan.”
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam. Memang menurut perhitungannya, apabila pasukan Kediri
sendiri saling berbenturan, maka kekuatan Singasari akan tidak
terbendung lagi.
“Bagaimana tuan? Keadaan menjadi demikian mendesak.”
Perlahan-lahan Mahisa Walungan-pun
kemudian menganggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku akan menghadap
Kakanda Baginda sekali lagi.”
“Nah. marilah,” berkata Senapati tua itu, “Menteri Gubar Baleman pasti sudah ada di paseban.”
Mahisa Walungan termenung sejenak. Kemudian katanya pula, “Marilah. Mudah-mudahan usaha kita akan berhasil.”
Mereka-pun kemudian pergi dengan
tergesa-gesa ke paseban. Meskipun Mahisa Walungan masih ragu-ragu, namun
ia sudah tidak dapat mundur lagi.
Pada saat itu Baginda dengan herannya sedang bertanya kepada Gubar Baleman tentang Mahisa Walungan.
“Apakah kau mengigau he?” bentak Sri Baginda, “Mahisa Walungan sama sekali tidak ada di halaman.”
“Ampun Tuanku, Adinda Mahisa Walungan
benar-benar di halaman Adinda Mahisa Walungan datang bersama hamba dari
perbatasan, karena Tuanku memanggil hamba. Adinda Mahisa Walungan merasa
perlu mengikuti hamba, bila mungkin Tuanku juga memerlukannya.”
“Gila. kau sudah gila Gubar Baleman,” Sri Baginda Kertajaya berteriak.
Tetapi Gubar Baleman menjadi
terheran-heran. Dengan wajah yang memancarkan pertanyaan dipandanginya
para Menteri dan Senapati yang sudah ada di dalam paseban itu pula.
“Tuanku,” berkata Gubar Baleman kemudian, “bukanlah hamba ada di perbatasan bersama Adinda Mahisa Walungan?”
Sri Baginda Kertajaya menjadi semakin
tidak tahan mendengar jawaban Gubar Baleman itu, sehingga ia-pun
berteriak, “He Gubar Baleman, kalau memang Mahisa Walungan ada di depan
paseban, panggil ia kemari.”
Gubar Baleman menjadi ragu-ragu sejenak.
Tetapi kemudian dibungkukkannya kepalanya dalam-dalam sambil menjawab,
“Baik Tuanku. Hamba akan memanggil Adinda Mahisa Walungan.”
“Cepat,” bentak Sri Baginda.
Gubar Baleman-pun kemudian beringsut dari
tempatnya, mundur ke pintu paseban. Meskipun demikian ia masih juga
cemas, apakah orang-orangnya yang akan mengambil Mahisa Walungan dari
tempatnya itu sudah berhasil. Kalau mereka gagal, maka Gubar Baleman-pun
pasti akan gagal pula dengan segala rencananya.
Dengan dada berdebar-debar Gubar Baleman
keluar dari pintu paseban. Dilihatnya dua orang prajurit yang berada di
luar pintu dengan senjata telanjang. Namun kemudian ia-pun tersenyum.
Orang itu adalah orang-orangnya.
Sejenak ia berdiri dengan gelisah, karena
ia belum melihat seorang-pun di halaman paseban. Apalagi Mahisa
Walungan. Sejenak ia berdiri termangu-mangu, sedang keringat dinginnya
telah mulai membasahi punggungnya.
Namun kemudian ia-pun menarik nafas
dalam-dalam. Dari kegelapan dilihatnya beberapa orang prajurit mengawal
Mahisa Walungan ke halaman paseban.
“Ha,” desis Gubar Baleman yang menyongsongnya, “aku sudah hampir kehabisan akal.”
“Aku tidak mengerti,” berkata Mahisa Walungan.
“Kita bersama-sama baru datang dari perbatasan,” jawab Gubar Baleman.
Mahisa Walungan termangu-mangu.
“Jangan bingung. Anggaplah bahwa kita
baru datang,” berkata Gubar Baleman pula. Lalu diberitahukannya apa yang
sudah direncanakannya malam ini.
Mahisa Walungan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jangan berkesan bahwa adinda baru keluar dari bilik tahanan. Adinda Mahisa Walungan baru datang dari perbatasan.”
“Permainan apa lagi yang akan kita lakukan?”
“Untuk kepentingan Kediri.”
Mahisa Walungan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah.”
Maka keduanya-pun kemudian melangkah ke pintu paseban dengan dada yang berdebar-debar.
Demikian keduanya melangkahi pintu, maka
setiap orang di dalam peseban itu terperanjat pula karenanya. Mereka
melihat Gubar Baleman datang benar-benar bersama Mahisa Walungan.
Dan tiba-tiba saja Sri Baginda menutup
kedua matanya dengan tangannya sambil berteriak, “Gila, gila. Apa saja
yang telah kalian lakukan ini? He, Mahisa Walungan, benarkah kau Mahisa
Walungan?”
Mahisa Walungan menjadi terheran-heran.
Setelah duduk di hadapan Kakanda Baginda ia berkata. “Apakah Kakanda
Baginda tidak mengenal hamba lagi?”
“He. bukankah kau yang kemarin aku panggil dari Ganter dan kemudian ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan?”
“Hamba baru datang dari perbatasan Kakanda Baginda. Baru saja bersama kakang Gubar Baleman.”
“Gila, gila. Apakah aku memang sudah
gila.” tiba-tiba Sri Baginda berdiri sambil berteriak, “Ambillah orang
yang kemarin dimasukkan ke dalam tahanan itu. Apakah orang itu bukan
Mahisa Walungan?”
Beberapa orang menjadi termangu-mangu.
“Cepat, suruhlah penjaga mengambil Mahisa Walungan yang kemarin dimasukkan ke dalam tahanan itu.”
Kehadiran Mahisa Walungan dan Baginda
Kertajaya yang tiba-tiba saja berteriak-teriak itu ternyata telah
membuat mereka yang hadir di paseban menjadi bingung. Mereka tidak
segera mengerti apa yang harus mereka lakukan.
Karena itu, maka Sri Baginda menjadi
semakin marah karenanya. Dengan lantang sekali lagi ia berteriak.
“Suruhlah penjaga memanggil Mahisa Walungan.”
Seorang Senapati akhirnya mengerti juga
maksud Sri Baginda itu. Dengan tergesa-gesa ia bergeser keluar pintu
paseban. Ketika ia melihat penjaga dengan senjata telanjang, maka
katanya, “Panggil Mahisa Walungan.”
Penjaga itu menjadi terheran-heran.
“Panggil Mahisa Walungan,” Senapati itu-pun ikut berteriak.
“Tetapi bukankah Adinda Sri Baginda, Mahisa Walungan telah ada di dalam paseban.”
“Bukan orang itu, tetapi Mahisa Walungan yang kemarin ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan.”
Penjaga-jaga itu saling berpandangan sejenak. Yang seorang kemudian bertanya, “Di manakah Adinda Baginda itu ditahan?”
“Gila kau. Kemarin. Yang kemarin dipanggil Sri Baginda, kemudian ditahan di bilik tahanan istana.”
Karena penjaga-jaga itu masih saja keheran-heranan, maka Senapati itu-pun membentak, “Pergi, dan panggil orang itu.”
Penjaga-jaga itu tidak membantah lagi.
Salah seorang dari mereka membungkuk dalam-dalam. Kemudian ia-pun pergi
dengan penuh keragu-raguan.
Senapati itu-pun menjadi ragu-ragu pula.
Akhirnya ia tidak segera masuk kembali ke dalam paseban, tetapi
disusulnya seorang penjaga yang pergi memanggil Mahisa Walungan.
“Tunggu.” panggil Senapati itu.
Prajurit yang telah melangkah dengan
tergesa-gesa itu-pun, lalu berhenti. Ketika ia melihat Senapati itu
menyusulnya, maka ia-pun kemudian berdiri tegak menunggu.
“Aku pergi bersamamu.”
Senapati itu tidak menunggu jawaban
prajurit penjaga itu. Ia-pun kemudian melangkah dengan tergesa-gesa ke
bilik tahanan Mahisa Walungan.
Ketika ia melihat beberapa orang penjaga
di muka bilik itu, maka dengan serta-merta ia berkata, “Aku memerlukan
orang di dalam tahanan itu.”
Pemimpin penjaga itu berdiri saja seperti patung. Dengan wajah yang aneh ia memandangi Senapati yang datang itu.
“Sri Baginda memanggil Mahisa Walungan. Keluarkan orang itu, dan marilah kita bawa menghadap.”
“Tetapi,” jawab pemimpin penjaga, “di sini tidak ada seorang-pun. Tidak ada seorang tahanan di dalam bilik ini.”
“Gila. Mahisa Walungan. Kemarin Mahisa Walungan dimasukkan ke dalam bilik ini.”
Pemimpin penjaga itu menggeleng, “Sejak
aku menerima penyerahan penjagaan semalam, aku tidak menerima penyerahan
seorang tahanan pun.”
“He, jangan mengigau.” Senapati yang mendengar Sri Baginda berteriak-teriak itu-pun berteriak pula, “lihat di dalam bilik itu.”
Pemimpin penjaga itu-pun kemudian membuka
pintu bilik tahanan yang sempit itu. Namun di dalam bilik itu tidak
terdapat seorang-pun.
“Tidak ada seorang-pun di dalam bilik
ini,” berkata pemimpin penjaga itu, “tidak ada seorang tahanan yang ada
di dalamnya. Apalagi Adinda Sri Baginda, Mahisa Walungan.”
Senapati itu mengerutkan keningnya.
Ketika Mahisa Walungan menghadap di paseban kemarin, ia sendiri
melihatnya. Tetapi kini Mahisa Walungan itu datang bersama Gubar
Baleman.
Senapati itu menjadi bingung.
“Pasti ada kecurangan,” tiba-tiba ia
berteriak, “kalian atau para penjaga sebelum kalian. Aku akan pergi ke
regol halaman dalam. Kalau para penjaga tidak melihat Mahisa Walungan
datang bersama Menteri Gubar Baleman, maka kalianlah yang akan digantung
di alun-alun besok.”
“Tentu bukan kami, tetapi penjaga sebelum
kami. Mereka harus ditangkap, dan harus bertanggung jawab atas
hilangnya seorang tahanan. Apalagi kalau tahanan itu benar-benar Mahisa
Walungan.”
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah ke pintu gerbang halaman dalam istana Kediri.
Ketika ia melihat beberapa orang prajurit
berdiri berjajar di regol halaman, maka ia berkata di dalam hatinya.
Mereka tidak akan dapat ditipu. Mereka memang mendapat tugas untuk
menutup regol itu dengan ujung-ujung senjata, agar Menteri Gubar Baleman
tidak dapat melepaskan diri meskipun ia membawa beberapa orang
pengawal.”
Dengan nafas yang semakin memburu.
Senapati yang diikuti oleh seorang prajurit itu-pun segera sampai di
regol halaman dalam. Dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah kalian
melihat Menteri Gubar Baleman masuk bersama berapa orang pengawal?”
Seorang prajurit menganggukkan kepalanya
dalam-dalam sambil menjawab, “Ya. kami melihat Menteri Gubar Baleman
memasuki regol ini, langsung mnghadap Sri Baginda di paseban.”
“Apakah ia datang seorang diri?”
“Tidak. Menteri Gubar Baleman datang
bersama beberapa orang pengawalnya yang kini ada di luar paseban di
bawah pengawasan para prajurit pengawal.”
Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapa saja yang ada di antara mereka?”
“Tidak ada orang lain kecuali Menteri Gubar Baleman dan Adinda Sri Baginda, Mahisa Walungan.”
“He,” Senapati itu terkejut, “jadi Menteri Gubar Baleman datang bersama Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan?”
“Ya. Keduanya memasuki regol ini,
kemudian memenuhi perintah yang kami terima, kami telah menutup regol
ini dengan penjagaan yang kuat. Bukankah demikian?”
Senapati itu menjadi semakin bingung.
Apakah ia sudah menjadi linglung pula, seperti juga Sri Baginda? Tetapi
apakah semua orang yang menyaksikan penangkapan Mahisa Walungan kemarin
sudah menjadi gila semua, sehingga mereka tidak mengerti apa yang
sebenarnya sudah terjadi?
Dengan ragu-ragu ditatapnya wajah-wajah
prajurit yang sedang bertugas itu. Tetapi dalam keremangan malam ia
tidak melihat sesuatu yang dapat menumbuhkan kecurigaannya, selain
keterangan mereka tentang Mahisa Walungan itu.
“Aku, Sri Baginda dan para Menteri, atau
prajurit-prajurit inilah yang sudah menjadi gila. Atau seluruh Kediri
sudah menjadi gila karena Tumapel yang memberontak itu tidak juga segera
dapat diselesaikan,” katanya di dalam hati.
Senapati itu kemudian tidak dapat berbuat
lain daripada kembali untuk menghadap Sri Baginda dan mengatakan apa
yang telah dilihatnya.
Namun dalam saat-saat itu, Gubar Baleman
telah sempat bertanya, “Sri Baginda, apakah yang Tuanku kehendaki dari
hamba berdua, sehingga hamba berdua harus menghadap di saat-saat
perbatasan sedang dalam puncak kegelisahan? Pasukan Singasari telah
benar-benar siap di perbatasan. Setiap saat pasukan itu dapat mengalir
seperti banjir memasuki tlatah Kediri.”
“Bohong,” teriak Sri Baginda, “betapapun
besarnya pasukan Tumapel, namun Kediri adalah negara yang besar. Jauh
lebih besar dari Tumapel yang selama ini tunduk di bawah perintah
Kediri.”
“Benar Tuanku. Namun apabila kami yang besar ini tidak berbuat apa-apa, maka akan datang saatnya kita menyesal kelak.”
“Diam. Diam kau pengecut,” teriak Sri
Baginda, “aku sudah memerintahkan Pujang Warit untuk mengatasi keadaan,
termasuk pasukanmu dan Mahisa Walungan yang akan memberontak terhadap
kekuasaanku.”
“Itulah yang ingin hamba jelaskan bersama Adinda Mahisa Walungan.”
“Tidak. Aku sudah cukup tahu.”
“Belum Tuanku. Tuanku belum tahu keadaan yang sebenarnya,” potong Gubar Baleman.
Sri Baginda justru menjadi
terheran-heran. Gubar Baleman tidak pernah berani membantah kata-katanya
sepatah kata-pun. Namun kini ia berani memotong kata-katanya yang masih
belum selesai. Apalagi Gubar Baleman itu berkata, “Kami memang harus
mengakui kesalahan kami, bahwa kami telah menyusun kekuatan di sebelah
Utara Ganter. Tetapi kami mempunyai perhitungan yang sama sekali
berlawanan dengan tuduhan yang kami terima berdua. Kalau kami ingin
melawan kekuasaan Sri Baginda atas Kediri, maka kami tidak akan sebodoh
itu, dengan menyusun kekuatan di luar kota Kediri dalam waktu yang
berlama-lama. Demikian pasukan itu tersusun, kami akan langsung
melakukan perlawanan sebelum usaha kami itu tercium oleh kalangan lain.
Tetapi kami memang tidak berniat demikian. Kami menunggu banjir bandang
yang akan melanda Kediri. Itu adalah suatu pengabdian yang ikhlas,
meskipun kami akan dianggap bersalah. Kami telah melampaui tugas yang
Tuanku berikan kepada kami, semata-mata karena kecintaan kami kepada
Kediri dan kesetiaan kami kepada kekuasaan Sri Baginda di Kediri. Sebab
tanpa Kediri, Tuanku tidak akan berarti apa-apa lagi.”
“Cukup, cukup,” teriak Kertajaya. Namun
kemudian mulutnya serasa terbungkam. Meskipun bibirnya bergetar, tetapi
ia tidak mengucapkan sepatah kata-pun juga.
“Tuanku,” Gubar Baleman masih berkata
terus, “menurut penilaian kami, pasti ada satu atau dua orang yang telah
berbuat kesalahan di dalam istana ini sepeninggal kami. Kami tidak tahu
apa yang telah dilakukan oleh Pujang Warit. Senapati yang masih muda
itu. sehingga Sri Baginda begitu percaya kepadanya, untuk mengatasi
keadaan Kediri yang sedang kemelut ini. Apakah itu bukan berarti suatu
kemunduran bagi kekuatan Kediri?”
“Kau terlampau sombong Gubar Baleman.
Akulah yang berkuasa di Kediri. Bukan kau. Aku wenang untuk menentukan
apa saja yang aku anggap baik.”
“Tetapi tidak dalam keadaan serupa ini.
Demi kesetiaan kami kepada Sri Baginda, maka kami tidak dapat
membenarkan tindakan Sri Baginda saat ini. Itu adalah tanda setia kami.
Kalau kami tidak mempunyai kesetiaan yang mantap, kami akan tidak ambil
pusing lagi. Kami tidak akan memusatkan pasukan di sebelah Utara Ganter,
karena kami masih mempunyai kesanggupan untuk melarikan diri, lebih
tepat dengan perlindungan pasukan kami dari setiap orang di Kediri ini.”
“Gila, kau sudah gila Gubar Baleman.
Apakah kau tidak sadar, bahwa aku akan dapat menjatuhkan hukuman kisas
kepadamu pada saat ini juga?”
“Kalau itu yang paling baik bagi Sri
Baginda, aku tidak ingkar. Tetapi aku sudah berbuat sesuatu untuk
Kediri, untuk kelangsungan kekuasaan Sri Baginda.”
Tiba-tiba Sri Baginda Kertajaya terdiam.
Sejenak ia menatap wajah Gubar Baleman tajam-tajam. Kemudian
dipandanginya kepala Mahisa Walungan yang tunduk. Tiba-tiba saja Sri
Baginda berpaling kepada kedua penasehatnya sambil bertanya, “He,
bagaimana pertimbanganmu? Bukankah kau yakin bahwa Pujang Warit
mengatakan yang sebenarnya, dan kau sependapat bahwa Mahisa Walungan dan
Gubar Baleman berbahaya bagi kedudukanku saat ini.”
Kedua penasehat itu seolah-olah membeku
di tempatnya. Darahnya serasa berhenti mengalir. Mereka tidak menyangka,
bahwa mereka akan dihadapkan langsung kepada dua orang Senapati
Tertinggi itu.
“He, kenapa kalian diam saja?” bentak Sri Baginda.
Keduanya menjadi semakin gelisah. Apalagi
ketika mereka melihat sorot mata Gubar Baleman yang seakan-akan
membakar wajah mereka yang menjadi semakin pucat.
“Berkatalah terus terang,” geram Gubar Baleman. Tetapi Sri Baginda segera memotong, “Aku yang bertanya. Bukan kau.”
Gubar Baleman segera terdiam. Tetapi
sorot matanya tidak terlepas dari kedua penasehat Baginda itu. Sedang
penasehat-nasehatnya yang lain menjadi terheran-heran, apakah yang telah
dilakukan oleh kedua kawan-kawannya itu.
“Aku bertanya kepada kalian berdua. Berbicaralah seperti yang kau katakan kepadaku itu.”
“Ampun Baginda,” sembah salah seorang
daripadanya, “hamba memang yakin akan hal itu, kalau apa yang dikatakan
oleh Pujang Warit itu memang benar.”
“Apa kata Pujang Warit?” bertanya Baginda pula.
“Bukankah hal itu dikatakannya di hadapan Tuanku.”
“Aku tahu, aku tahu. Tetapi ulangi, apa yang dikatakannya?”
Kedua orang itu menjadi semakin
berdebar-debar. Sekilas disambarnya wajah Gubar Baleman, tetapi segera
ia melemparkan tatapan matanya menghindari sorot mata Menteri yang
sedang menahan kemarahan di dadanya itu.
“Apa kata Pujang Warit,” Sri Baginda berteriak panjang sekali.
“Ampun Tuanku,” berkata salah seorang
dari mereka, “menurut Pujang Warit yang dikatakannya kepada Tuanku,
bahwa Adinda Sri Baginda mengadakan pemusatan pasukan di sebelah Utara
Ganter. Tetapi kesiagaan itu sama sekali tidak diarahkan kepada pasukan
Singasari, karena menurut Pujang Warit kekuatan Singasari itu memang
tidak seberapa besar. Pujang Warit sendiri dengan diam-diam pernah pergi
ke perbatasan bersama beberapa orang pasukan sandi.”
“Nah. kau dengar Gubar Baleman.”
“Tetapi Tuanku,” sembah Gubar Baleman.
Namun sebelum ia melanjutkan Sri Baginda telah membentak, “Aku tidak
menyuruhmu berbicara. Aku menyuruh kau mendengarkan.”
Gubar Baleman-pun terdiam karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak melepaskan tatapan matanya.
“Ayo, katakan. Apa pula yang sudah dikatakan oleh Pujang Warit.”
“Ampun Tuanku,” berkata salah seorang
dari mereka, “menurut Pujang Warit, alasan Adinda Sri Baginda Mahisa
Walungan yang sudah bersepakat dengan Menteri Gubar Baleman adalah tidak
benar sama sekali. Untunglah Sri Baginda waspada, sehingga Sri Baginda
tidak menyerahkan semua kekuatan kepada keduanya. Namun demikian mereka
telah mencoba menyusun kekuatan atas pengaruh mereka sendiri di sebelah
Utara Ganter.”
“He Gubar Baleman,” berkata Sri Baginda
lantang, “apakah kau masih akan ingkar. Dan kau he Mahisa Walungan.
Apakah kau Mahisa Walungan?”
“Ya Kakanda Baginda. Hamba adalah Mahisa Walungan.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya. Lalu tiba-tiba ia berteriak, “He. di mana Senapati yang memanggil Mahisa Walungan itu?”
Sejenak paseban itu menjadi sepi ketika
Sri Baginda berhenti berbicara. Dipandanginya saja pintu paseban.
Sejenak ia menunggu Senapati yang disuruhnya memanggil Mahisa Walungan.
Tetapi ternyata Senapati itu sedang
kebingungan. Ketika ia sampai di pintu paseban, diiringi oleh prajurit
yang menyertainya, ia melihat sesuatu yang aneh baginya. Ia melihat ciri
keprajuritan yang lain dari prajurit pengawal.
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak begitu bodoh untuk segera menegurnya. Tiba-tiba saja ia
berkata, “Aku masih belum yakin. Aku akan mengulangi sekali lagi. Aku
akan pergi ke bilik tahanan itu.”
Prajurit yang mengawalnya menjadi heran. Tetapi ia tidak membantah. Katanya, “Marilah, aku antarkan.”
Keduanya-pun pergi dengan tergesa-gesa ke
bilik tahanan Mahisa Walungan. Sekali lagi Senapati itu bertanya. Dan
ia mendapat jawaban yang sama. Tetapi yang penting baginya,
prajurit-prajurit yang bertugas itu-pun sama sekali bukan prajurit
pengawal.
“Aku akan meyakinkan sekali lagi ke pintu gerbang. Mungkin ada di antara mereka yang melihat kedatangan Menteri Gubar Baleman.”
“Semuanya melihat,” jawab prajurit yang mengikutinya.
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi ia
berjalan saja ke pintu gerbang. Di sudut-sudut halaman ia masih melihat
beberapa orang prajurit berjaga-jaga. Tetapi Senapati itu tidak yakin
bahwa prajurit itu adalah pengawal istana yang memang bertugas di sana.
Tetapi Senapati itu tidak
menghiraukannya. Ia mempercepat langkahnya. Di regol, ia mendapat
jawaban yang serupa. Bahkan dengan nada yang sumbang, prajurit-prajurit
itu telah menjawab pertanyaannya.
Namun dengan demikian ia menjadi yakin,
bahwa halaman istana ini ternyata telah dikuasai oleh prajurit-prajurit
yang berpihak kepada Gubar Baleman dan Mahisa Walungan. Sudah tentu
bahwa Mahisa Walungan dapat menghadap Baginda bersama Gubar Baleman.
Sekali lagi Senapati itu harus menahan hatinya. Ia masih berpura-pura bingung ketika kemudian ia memasuki pintu paseban.
“He, cepat,” bentak Sri Baginda, “apakah kali tidur di halaman he?”
Senapati itu segera duduk di tempatnya. Ditenang-tenangkannya perasaannya agar kata-katanya tidak menjadi tumpang suh.
“Di mana Mahisa Walungan?” bertanya Sri Baginda.
“Ampun Tuanku. Adinda Baginda Mahisa Walungan yang kemarin adalah Adinda Baginda yang sekarang ini menghadap.”
“Gila. Itu tidak mungkin. Kemarin ia
berada di dalam tahanan. Bagaimana mungkin ia kini berada di paseban dan
datang bersama-sama Gubar Baleman?”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya wajah Gubar Baleman sejenak. Kemudian diedarkannya
pandangan matanya berkeliling.
“Hem,” katanya di dalam hati, “apabila
Sri Baginda sendiri tidak turun tangan, tidak ada orang yang dapat
menyentuh tubuh Mahisa Walungan. Kemudian masih harus diperhitungkan
Gubar Baleman dan prajurit-prajuritnya di halaman.”
“He, kenapa kau tiba-tiba menjadi bisu,” teriak Sri Baginda.
Senapati itu memang tidak segera dapat
menjawab. Berbagai macam persoalan sedang berkecamuk di dalam dadanya.
Sekali-sekali ditatapnya wajah Sri Baginda yang menjadi kemerah-merahan,
kemudian dipandanginya sorot mata Gubar Baleman yang seakan-akan
menyala. Hanya Mahisa Walungan sajalah yang duduk tenang dan bahkan
menundukkan kepalanya.
“Cepat, katakan. Apa yang kau lihat di bilik itu? Setan atau demit?”
“Tuanku,” Senapati itu menarik nafas
dalam-dalam, “sebenarnya hamba akan mengatakan apa yang hamba lihat di
halaman istana. Tetapi sebelumnya hamba mohon ampun, bahwa mungkin apa
yang hamba katakan itu tidak masuk akal sama sekali.”
“Katakan, katakan,” teriak Sri Baginda.
Senapati itu bergeser sejengkal. Setelah
sekali lagi ia menarik nafas dalam, barulah ia berkata, “Tuanku,
ternyata halaman istana Tuanku kini sudah dikuasai oleh para prajurit
yang telah melawan terhadap kekuasaan Tuanku.”
“Aku menolak keterangan itu,” potong Gubar Baleman.
“Diam, diam kau Baleman,” Sri Baginda menjadi semakin marah, sehingga darahnya serasa berhenti mengalir. “Ulangi, ulangi.”
“Ampun Tuanku. Halaman istana ini sudah dikuasai oleh para pemberontak.”
Sejenak Sri Baginda Kertajaya diam
mematung. Namun wajahnya seakan-akan telah membara. Dipandanginya
Senapati itu sejenak, kemudian Mahisa Walungan yang tunduk dan sejenak
kemudian sorot mata Gubar Baleman.
Dengan suara yang parau gemetar Sri Baginda kemudian berkata, “Pengkhianat. Kalian telah benar-benar memberontak.”
“Ampun Tuanku,” sahut Gubar Baleman,
“hamba sama sekali tidak berniat untuk memberontak. Tetapi hamba hanya
sekedar ingin mendapat kesempatan untuk berbicara. Apabila Tuanku
berkenan, hendaklah Tuanku memanggil Pujang Warit. Kita akan berbicara
dengan hati terbuka. Seandainya ada salah paham, biarlah kita dapat
menemukan titik pertemuan. Tetapi apabila kita saling dihinggapi oleh
nafsu pribadi, maka semuanya akan menjadi jelas. Tuanku akan tahu dengan
pasti, siapakah yang bersalah, dan siapakah yang benar.”
Dada Sri Baginda serasa akan pecah
karenanya. Kepada Senapati yang melaporkan keadaan halaman istana itu ia
bertanya, “Di mana para pengawal? Apa semuanya sudah mati?”
“Hamba belum tahu Tuanku.”
“Dan pengawal yang ada di pintu paseban?”
“Bukan prajurit pengawal istana. Tetapi prajurit medan yang tiba-tiba saja sudah ada di depan pintu dengan senjata telanjang.”
Terdengar Sri Baginda menggeram.
“Gubar Baleman dan Mahisa Walungan. Kini kalian sudah menguasai istana. Apa kehendakmu sebenarnya?”
“Hamba tidak menghendaki apa-apa Tuanku,
selain kepercayaan Tuanku kepada kami untuk menyelamatkan Kediri, untuk
menyelamatkan kedudukan Sri Baginda sendiri yang kini terancam.”
“Bohong. Kalian benar-benar telah
memberontak. He, Mahisa Walungan. Kenapa kau diam saja? Apakah kau takut
menghadapi kenyataan ini, melihat dirimu sendiri sebagai seorang
pemberontak?”
Mahisa Walungan mengangkat wajahnya, tetapi ia tidak menjawab.
“Nah, apalah kau menghendaki agar aku
menyerahkan takhta sekarang ini setelah kau mengepung istana selagi
diadakan paseban darurat kali ini?”
Terdengar suara Mahisa Walungan lambat, “Tidak Kakanda Baginda.”
“Lalu apa maumu, apa maumu he?”
“Ampun Tuanku,” Gubar Baleman lah yang
menjawab, “kalau hamba tidak berbuat serupa ini, hamba tidak akan
mendapat kesempatan sama sekali untuk berbicara, karena hamba akan
segera ditangkap dan dimasukkan ke dalam bilik yang gelap dan sempit
tanpa kesalahan, justru karena hamba bertekad untuk mempertahankan
Kediri. Tetapi sekarang hamba dapat mengatakan isi hati hamba, dan
sekali lagi hamba mohon, agar Pujang Warit dipanggil menghadap, dan
kedua Penasehat Baginda itu-pun agar tetap tinggal di paseban.”
“Keringat dingin telah mengaliri seluruh tubuh kedua penasehat itu.
Mereka tidak menyangka, bahwa Gubar Baleman akan berani melakukan
perlawanan langsung, justru di hadapan Sri Baginda sendiri.”
“Tetapi aku dapat menggantung kalian sekarang juga. Apakah itu kau sadari Gubar Baleman.”
“Itulah sebabnya hamba telah menyingkirkan para prajurit yang mungkin akan melaksanakan perintah Sri Baginda itu.”
“Pengkhianat, pengkhianat.”
“Hamba telah mencoba berbuat
sebaik-baiknya buat Kediri dan buat Tuanku. Hamba mohon Tuanku sudi
memanggil Senapati muda itu, agar semuanya menjadi jelas.”
Sri Baginda tidak segera menjawab.
Dilemparkannya tatapan matanya menembus pintu paseban yang tidak
tertutup rapat. Tampaklah cahaya yang kekuning-kuningan di halaman.
Ternyata bahwa pagi hari telah tiba.
Pada saat itu Pujang Warit telah datang
ke sebelah Utara Ganter sambil mengemban perintah Sri Baginda, bahwa
semua pasukan itu kini langsung di bawah perintah Pujang Warit, seorang
Senapati Pandega yang masih muda.
Perintah itu mendapat tanggapan yang sama
sekali tidak diduga oleh Pujang Warit. Seorang Senapati tua yang
menyambutnya berkata, “Kau jangan mengada-ada anak manis. Tidak baik
kita saling bertengkar. Aku tahu, bahwa kau sudah mengumpulkan beberapa
pasukan prajurit di padukuhan sebelah, yang terdiri dari pasukan
pengawal, pasukan keamanan dan pasukanmu sendiri.”
Darah Pujang Warit serasa mendidih
karenanya. Ia tidak menyangka bahwa pasukan di sebelah Utara Ganter itu
menanggapi perintah Sri Baginda dengan cara yang demikian. Ia masih
mengharap pengaruh keputusan Sri Baginda itu. Tetapi agaknya akan
sia-sia.
“Apakah aku harus mempergunakan
kekerasan,” ia berkata di dalam hatinya. Namun ia sadar, bahwa kekuatan
pasukan di sebelah Utara Ganter itu terlampau besar.
Karena itu maka Pujang Warit tidak dapat
segera mengambil keputusan. Ia harus berpikir berulang kali. Dan ia
masih melihat sikap Senapati tua yang tidak menjenangkan itu. Tetapi
Pujang Warit-pun tidak segera berputus asa. Ia masih mencoba menjajagi
sekali lagi.
“Apakah kalian di sini sudah mendengar
bahwa Mahisa Walungan dan Gubar Baleman sudah ditangkap?” bertanya
Pujang Warit kemudian, “Karena ternyata Sri Baginda sudah mendengar
berita, bahwa keduanya akan menyalah gunakan pasukan yang sudah
dikumpulkannya di Ganter ini untuk kepentingan mereka.”
“Aku memang mendengar,” jawab Senapati
tua itu, “Mahisa Walungan memang sudah ditangkap. Tetapi Gubar Baleman
masih belum ditangkap. Ia justru pergi ke istana untuk membebaskan
Mahisa Walungan.”
Terasa jantung Pujang Warit menjadi
semakin cepat berdetak. Dipandanginya Senapati tua itu sejenak, lalu
ia-pun bertanya, “Apakah kau menyadari kata-katamu itu?”
“Tentu, kenapa?”
“Apakah itu bukan suatu pengakuan bahwa Gubar Baleman telah memberontak?”
Pujang Warit mengumpat di dalam hatinya
ketika ia melihat Senapati itu justru tertawa. Katanya, “Memang mungkin
sikap yang demikian itu tidak dikehendaki. Terutama oleh orang-orang
yang tidak ingin melihat Kediri tetap menjadi suatu negara yang kuat.”
“Apa maksudmu?”
“Memang Gubar Baleman dapat dikatakan
memberontak. Tetapi bukan itulah yang dimaksudkan. Ia tidak ingin
mengusik takhta dan apalagi kehancuran Kediri. Ia justru berbuat
sebaliknya. Inilah yang tidak kau ketahui. Atau sengaja tidak kau
mengerti.”
Wajah Pujang Warit menjadi merah, apalagi
ketika Senapati tua itu meneruskan, “Bukankah kau ada di sini ketika
Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan memberikan penjelasan tentang
maksud pemusatan pasukan ini? Nah, kenapa kau masih mempersoalkannya,
dan bahkan sekarang kau memberitahukan kepada kami, bahwa pemusatan
pasukan ini adalah penyalah gunaan?”
Sejenak Pujang Warit tidak dapat
menjawab. Ditatapnya wajah Senapati tua itu dengan tajamnya. Kemudian
ketika pandangan matanya beredar, dilihatnya pula Senapati-senapati yang
lain memandangnya dengan tegang.
“Tetapi,” berkata Pujang Warit kemudian,
“Sri Baginda sudah memerintahkan, menangkap Mahisa Walungan dan Gubar
Baleman. Kemudian menempatkan kalian di bawah perintahku. Dan perintahku
yang pertama adalah melepaskan segala hubungan dengan Mahisa Walungan
dan Gubar Baleman, serta membatalkan segala rencananya.”
Senapati tua itu tertawa. Katanya, “Kau
adalah seorang Senapati muda yang berani. Tetapi kau ternyata tidak
secerdas yang kami duga. Sudah aku katakan bahwa Gubar Baleman tidak
ditangkap sekarang, tetapi ia justru membebaskan Adinda Sri Baginda,
agar mereka mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Sri Baginda,
justru untuk kepentingan Sri Baginda sendiri.”
Pujang Warit benar-benar telah kehilangan
harapan untuk dapat mempengaruhi para pemimpin pasukan yang ada di
sebelah Utara Ganter. Karena itu, maka ia mencoba untuk mengancam
mereka, katanya, “Ingat, aku mengemban perintah Sri Baginda. Sri Baginda
adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Kediri.”
“Aku sudah tahu,” jawab Senapati tua itu,
“kau tidak perlu mengulanginya sampai lima atau enam kali. Dan aku
sudah menjawab bahwa persoalan itu sedang dibicarakan di istana. Tidak
di sini. Kita tinggal menunggu hasil pembicaraan itu. Kalau kita memang
harus melepaskan cara ini, pemusatan pasukan untuk melawan Singasari,
kita-pun akan melakukannya. Tetapi kalau kita harus memperkuat
pertahanan ini, kita-pun akan melakukannya.”
“Perintah siapakah yang kalian tunggu?” bertanya Pujang Warit.
“Perintah Sri Baginda.”
“Kalian memang bodoh. Sri Baginda sudah
memerintahkan kepadaku untuk mengambil alih pimpinan pasukan di Kediri.
Termasuk kalian yang ada di sebelah Utara Ganter.”
“Ah,” Senapati tua itu berdesah,
“pimpinan yang kau pegang kini adalah pimpinan yang lahir dalam keadaan
yang tidak wajar. Kami sedang menunggu penyelasaian yang sedang
berlangsung sekarang. Dan kau-pun harus menunggu.”
“Tidak,” tiba-tiba Pujang Warit
kehilangan kesabaran, “aku tidak akan menunggu lagi. Kita sudah berada
di ambang pintu bahaya. Kita harus berbuat secepat-cepatnya, agar kita
dapat menyelamatkan Kediri dari intaian Singasari. Sri Baginda sudah
menyerahkan segenap kekuasaan kepadaku, dan aku telah mendapat wewenang
untuk berbuat apa saja.” Pujang Warit berhenti sejenak, lalu sambil
menengadahkan dadanya ia berkata, “He para Senapati yang ada di sini,
siapa yang masih setia kepada Sri Baginda Kertajaya, dan siapa yang
masih setia kepada Kediri, dengarlah kata-kataku. Kalian harus
memisahkan diri dari kekuatan yang disusun oleh Mahisa Walungan dan
Gubar Baleman untuk kepentingan mereka berdua. Aku menunggu sampai
matahari naik. Setelah itu aku akan menentukan sikap. Masih ada waktu
beberapa saat untuk mengambil keputusan. Lihat, kini cahaya fajar sudah
menjadi semakin kuning. Aku akan kembali ke pasukan yang sudah aku
siapkan untuk membayangi kalian. Aku menunggu di luar padukuhan sebelah
untuk menerima mereka yang masih tetap setia kepada Sri Baginda. Bagi
mereka yang ingkar akan janjinya sebagai seorang prajurit, aku tidak
bertanggung jawab, apa yang akan terjadi atas mereka. Kekuasaan Sri
Baginda Kertajaya tidak dapat dianggap sebagai permainan yang tidak
berarti.”
Sejenak para Senapati itu terdiam. Tetapi
kata-kata Pujang Warit itu ternyata tidak meyakinkan mereka. Mereka
masih lebih percaya kepada Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Dan
mereka-pun tiba-tiba menjadi yakin, bahwa agaknya Pujang Warit memang
sudah melakukan perbuatan tercela, justru untuk kepentingan pribadinya.
Tetapi para Senapati itu masih dapat menahan diri mereka, karena mereka menyadari bahaya yang sudah di ambang pintu.
“Aku akan meninggalkan tempat ini,” berkata Pujang Warit, “waktu kalian tinggal sedikit.”
Senapati tua itu memandangi Pujang Warit
dengan pandangan yang aneh. Tampaknya Senapati tua itu akan tersenyum,
tetapi agaknya ia ingin bersungguh-sungguh.
“Aku berkata sebenarnya,” sambung Pujang Warit, “aku tidak bermain-main.”
“Apa yang dapat kau lakukan?” tiba-tiba Senapati tua itu bertanya.
Pujang Warit tidak menyangka, bahwa ia
akan mendapat pertanyaan itu. Tetapi karena hatinya memang sudah panas,
ia-pun segera menjawab, “Aku akan memaksa mereka yang tetap menentang
perintah Sri Baginda.”
“Aku benar-benar tidak tahu,” sahut
Senapati tua itu, “kenapa kau dapat menjadi seorang Pandega, melampaui
pangkatku. Apalagi kini mendapat kekuasaan langsung dari Sri Baginda.
Maaf, bahwa menurut penilaianmu aku bukanlah seorang prajurit yang baik.
Tetapi aku-pun mendapat perintah dari atasanku yang mempunyai wewenang
lebih tinggi daria padamu. Kalau kau berpangkal kepada perintah Sri
Baginda maka agaknya hal itu masih sedang dijernihkan. Tetapi yang perlu
kau ketahui adalah, bahwa kau tidak akan dapat memaksa kami. Seharusnya
kau mengetahui akan hal ini, karena kekuatan pasukan di garis
pertahanan ini jauh lebih atau barangkali kau mengharap sebagian dari
kami berpihak kepadamu?”
Wajah Pujang Warit yang merah menjadi
semakin merah. Dan sekali lagi ia mengancam, “Aku tidak sedang
bermain-main. Kalau sampai saatnya aku datang dengan kekerasan atas nama
Sri Baginda, jangan menyesal.” Pujang Warit tidak menunggu jawaban
lagi. Ia-pun segera meninggalkan tempat itu kembali ke pasukannya. Namun
ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya, bahwa agaknya
perhitungannya telah keliru. Tidak seorang-pun dari pasukan yang ada di
sebelah Utara Ganter itu yang dapat dipengaruhinya, dan berbalik
memihaknya.
Meskipun demikian Pujang Warit masih
tetap pada pendiriannya. Tanpa Mahisa Walungan dan Gubar Baleman, ia
mengharap, bahwa prajurit-prajurit itu tidak akan segarang pasukannya.
Tetapi di saat itu. Baginda masih belum
memasukkan Mahisa Walungan dan Gubar Baleman ke bilik tahanannya, karena
kedua orang itu agaknya tidak menguncupkan tangannya semudah yang
disangka oleh Sri Baginda dan mereka yang ada di paseban. Apalagi kini
ternyata bahwa halaman istana itu sudah dikuasai oleh prajurit-prajurit
yang berpihak kepada keduanya.
“Tuanku,” berkata Gubar Baleman, “apakah
Tuanku dapat mengabulkan permohonan hamba itu? Jika Senapati muda yang
bijaksana itu ada di sini, maka Tuanku akan segena dapat menyelesaikan
masalah ini. Kemudian yang kita hadapi tinggallah bahaya yang kini sudah
berdiri berjajar di pagar halaman.”
“Tumapel, Tumapel,” teriak Sri Baginda,
“apakah kau tidak dapat menyebut kata-kata lain daripada Tumapel? Kau
benar-benar seorang pengecut. Seharusnya dengan sebelah kakimu, Tumapel
dapat kau injak sampai hancur. Tetapi kau biarkan Tumapel tetap menjadi
persoalan, supaya kau mempunyai alasan untuk memusatkan pasukan di
sebelah Utara Ganter.”
“Sudah hamba katakan Tuanku, hal inilah
yang ingin hamba jelaskan. Kalau Tuanku sempat menyaksikan sendiri
kesiagaan Singasari, maka Tuanku tidak akan percaya kepada ceritera itu.
Tuanku pasti justru akan membenarkan sikap Adinda Mahisa Walungan, yang
melampaui perintah Tuanku, menyusun pertahanan itu, selagi Tuanku tidak
mengijinkan membawa pasukan lebih banyak lagi ke perbatasan.”
Tampaklah Sri Baginda Kertajaya termenung
sejenak. Namun tiba-tiba ia berdiri tegak sambil berkata lantang,
“Akulah Sri Baginda Kertajaya, jelmaan Dewa Tertinggi di atas Bumi.
Semua kata-kataku akan terjadi seperti yang aku kehendaki.” Sri Baginda
berhenti sejenak memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam
pada itu, dada Gubar Baleman dan Mahisa Walungan menjadi berdebar-debar.
Apakah yang akan dilakukan oleh Sri Baginda itu?
Dan Sri Baginda-pun kemudian melanjutkan,
“Aku mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas di seluruh bumi. Karena
itu. maka aku tidak akan dapat dipengaruhi oleh siapapun juga apabila
aku sudah mengambil keputusan. Kata-kataku harus terjadi. Juga atas
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Menurut penilaianku, kalian ternyata
telah memberontak, sehingga kalian tidak akan dapat membela diri lagi
dengan segala macam cara yang kau pergunakan sekarang. Meskipun kalian
telah menguasai halaman istana ini. tetapi aku tetap berpendapat, bahwa
kalian harus ditangkap dan dihukum.”
Suara Sri Baginda yang menggelegar itu
telah memenuhi ruangan paseban, sehingga setiap dada terketuk karenanya.
Para Senapati, Menteri dan Penasehat Sri Baginda yang berpendirian,
bahwa keputusan Sri Baginda adalah hukum tertinggi, tiba-tiba telah
menengadahkan dada mereka. Keputusan Sri Baginda harus dibela sampai
kemungkinan yang terakhir, meskipun mereka telah dikelilingi oleh
prajurit yang memberontak di bawah pimpinan Mahisa Walungan dan Gubar
Baleman.
Keputusan Sri Baginda itu bagaikan
ledakan guruh yang langsung menggoncangkan dada Gubar Baleman dan Mahisa
Walungan. Ternyata Sri Baginda Kertajaya adalah Sri Baginda itu juga,
yang tidak mudah berubah pendirian dalam keadaan yang bagaimana-pun
juga.”
Dan terdengar kemudian suara Sri Baginda,
“Mahisa Walungan dan Gubar Baleman, kalau kau tetap pada pendirianmu,
melakukan perlawanan terhadap kekuasaanku. Sri Baginda Kertajaya di
Kediri, maka sekaranglah saatnya.”
Ruangan itu seakan-akan telah berguncang
ketika mereka melihat Sri Baginda bergeser selangkah, mendekati Mahisa
Walungan dan Gubar Baleman. Sedang tangannya yang gemetar tergantung di
sisi tubuhnya.
“Tidak ada kekuatan yang dapat melawan
Sri Baginda Kertajaya, meskipun seluruh pasukan Kediri berdiri di
pihakmu,” geram Sri Baginda. Wajahnya menjadi merah menyala, sedang
giginya terdengar gemeretak.
Gubar Baleman tiba-tiba menjadi bingung. Kedua kakak beradik itu adalah orang-orang yang melampaui kewajaran manusia biasa.
Apabila mereka berdua kehilangan
pengamatan diri, dan terlibat dalam pertentangan langsung, maka
akibatnya pasti luar biasa. Paseban ini pasti akan menjadi reruntuhan
yang mengerikan. Apabila demikian, maka sudah barang tentu, semua orang
yang ada di paseban dan di sekitarnya pasti akan segera melibatkan diri,
sehingga peperangan tidak akan dapat dihindarkan lagi. Pertempuran di
dalam istana ini pasti akan menjalar. Yang pertama-tama akan meledak
adalah pasukan-pasukan yang ada di sebelah Utara Ganter, dan pasukan
Pujang Warit yang memang sudah membayanginya.
“Mahisa Walungan,” terdengar suara
Baginda menggelegar. Wajahnya menjadi semakin membara dan sorot matanya
seakan-akan menyala, “kalau kau sudah berani menyusun kekuatan di luar
kota, ayo, sekarang sudah datang waktunya kau merebut takhta kerajaan
Kediri. Kita berdua memang pewaris-pewaris dari kerajaan ini. Tetapi
karena kau lebih muda dari padaku, maka akulah yang berhak menduduki
takhta. Tetapi kalau kau memang ingin menjadi seorang raja di Kediri,
kau memang harus membunuh aku.”
Suara Sri Baginda menjadi gemetar seperti getar jantungnya yang serasa akan meledak.
Mahisa Walungan masih duduk di tempatnya. Sesaat ia mengangkat wajahnya. Tanpa sesadarnya ia beringsut setapak mundur.
“Berdirilah. Kita tidak usah menghiraukan
apakah mereka yang masih setia kepadaku akan bertempur dengan pasukanmu
yang telah mengepung istana. Kau dan aku sejak kanak-anak, mendapat
didikan dalam olah kanuragan oleh guru yang sama dan dalam waktu yang
sama. Hanya karena kau lebih muda saja dari padaku, maka mungkin nafasmu
masih lebih baik. Tetapi otakku sudah tentu lebih banyak mengunyah
pengalaman.”
Betapa Mahisa Walungan menahan hatinya
menyaksikan kemarahan Sri Baginda Kartajaya. Meskipun ia lebih muda dari
Sri Baginda, ternyata bahwa Mahisa Walungan mempunyai kemampuan yang
lebih besar untuk tetap mempergunakan nalarnya menghadapi keadaan.
Meskipun demikian, desakan yang menggelora di dadanya, telah
menggetarkan seluruh tubuhnya.
“Bangkitlah,” teriak Sri Baginda. Dan
ketika tangannya tanpa sesadarnya meremas tiang yang berdiri tegak di
sampingnya, maka segumpal kayu telah teremas hancur menjadi debu,
sehingga tiang itu-pun menjadi berlekuk segenggam.
Pada saat yang bersamaan, Mahisa Walungan
yang menahan diri itu-pun mengetukkan jari-jarinya di atas batu lantai
tempat duduknya. Ia tidak sadar sama sekali bahwa batu itu menjadi lekuk
sedalam kukunya.
Dalam keadaan yang semakin tegang itulah
Gubar Baleman menjadi semakin bingung. Meskipun agaknya Mahisa Walungan
tidak akan menanggapi kemarahan Sri Baginda, namun keadaan akan
berkembang ke arah yang tidak dikehendakinya. Karena itu. karena
kesetiaannya kepada Kediri pulalah, yang mendorong Gubar Baleman
kemudian berkata dengan suara yang parau, “Tuanku. Sebaiknya Tuanku
berpaling kepada hamba. Hambalah sumber dari keadaan yang panas ini
karena kesetiaan hamba kepada Kediri dan kepada Sri Paduka. Tetapi kalau
usaha hamba ini ternyata tidak berhasil, dan bahkan akan menumbuhkan
persoalan yang sebaliknya dari yang hamba maksud. Karena itu Tuanku,
supaya keadaan ini, tidak berlarut-larut. maka biarlah hamba mengaku,
bahwa hambalah yang telah merencanakan semua ini. Karena hamba mendengar
bahwa Adinda Sri Baginda ditangkap, maka tumbuhlah niat hamba untuk
mendapat kesempatan menjernihkan keadaan, karena menurut dugaan hamba
pasti ada orang yang sengaja memfitnah Adinda Sri Baginda, Adinda
Mahisa Walungan. Seharusnya Tuanku mengenal tabiat dan watak Adinda Sri
Baginda lebih baik dari hamba, bahwa orang seperti Adinda Mahisa
Walungan tidak akan melepaskan kesetiaannya apapun yang akan terjadi.
Tetapi agaknya Tuanku telah menuduhnya berbuat khianat.”
“Cukup, cukup,” teriak Sri Baginda, “atau
kau yang akan berdiri di paseban ini untuk melawan aku? Aku mengerti
Gubar Baleman, bahwa kau mampu memecah gunung dan mengeringkan telaga
dengan kekuatan tanganmu. Tetapi cobalah kau kini melawan Sri Baginda
Kertajaya.”
“Ampun Tuanku. Hamba tidak akan melawan.
Hamba akan menundukkan kepala hamba demi kesetiaan hamba kepada Kediri.
Seandainya apapun yang dapat hamba lakukan, tetapi hamba adalah seorang
abdi yang harus tunduk kepada Tuanku, meskipun hamba tahu, bahwa hamba
akan digantung di alun-alun. Tetapi yang paling menyayat hati hamba
adalah justru nasib Kediri.”
“Jangan mencari alasan agar perhatianku
berpaling dari persoalan kalian berdua. Aku sudah menyerahkan semua
masalah kepada Pujang Warit. Ia akan segera mengatasi persoalan
Singasari. Yang aku hadapi sekarang adalah persoalan kalian berdua.
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
“Ampun Kakanda Baginda,” sembah Mahisa
Walungan kemudian, “sudah dikatakan oleh kadanda Menteri Gubar Baleman
bahwa bukan maksud hamba berdua untuk menentang Kakanda Baginda.
Seandainya sekarang Kakanda Baginda memerintahkan apapun juga, hamba
berdua akan bersedia menjalani tanpa mengelak lagi.”
“Bohong.” Kertajaya menjahut lantang,
“kalian berpura-pura. Atau kalau kalian benar-benar menyerah, kalian
tahu, bahwa aku akan menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya bagi
kalian berdua.”
“Hamba berdua tahu Kakanda Baginda. Dan hamba berdua akan menjalaninya dengan hati yang lapang.”
“Bohong. Bohong. Lalu apa gunanya kalian mengumpulkan pasukan di sebelah Utara Ganter?”
“Sudah hamba katakan, dan kakanda Menteri
Gubar Baleman-pun telah mengatakan, bahwa pasukan itu kami hadapkan
kepada pasukan Singasari.”
Sri Baginda tertegun sejenak.
Dipandanginya Gubar Baleman dan Mahisa Walungan berganti-ganti. Dan ia
mendengar Gubar Baleman berkata, “Tuanku. Prajurit-prajurit yang ada di
sebelah Utara Ganter dan di sekitar paseban ini akan segera menarik diri
apabila hamba memerintahkan atas nama Tuanku. Mereka tidak akan berbuat
apa-apa seandainya hamba akan digantung bersama Adinda Mahisa Walungan.
Namun pesan hamba, mereka-pun sama sekali tidak bersalah. Justru mereka
telah menyiapkan jiwa raga mereka untuk membela Kediri dan Tuanku.”
Sri Baginda Kertajaya masih berdiri tegak
di tempatnya. Sekali-sekali ditatapnya wajah Mahisa Walungan yang
tunduk, kemudian wajah Gubar Baleman. Sri Baginda sama sekali tidak
melihat tanda-tanda pada keduanya, bahwa keduanya siap untuk melakukan
perlawanan. Meskipun Gubar Baleman tidak menundukkan kepalanya sampai
mencium lantai, dan bahkan ia berani menjawab kalimat dengan kalimat,
namun terasa, bahwa Gubar Baleman-pun tidak akan mengangkat senjatanya,
melawan kekuasaannya.
Dengan demikian maka Sri Baginda mulai menimbang-nimbang. Kemarahan yang meluap-luap di dadanya serasa mulai mendatar.
Meskipun demikian Sri Baginda masih berkata, “Apakah kalian mencoba memperkecil arti kesalahan yang pernah galian lakukan?”
Gubar Baleman menggeleng, “Tidak Tuanku.
Hamba sudah pasrah. Apapun yang akan dikatakan dan dikenakan atas kami
berdua. Tetapi kami sudah tidak lagi merasa dibebani oleh dosa
seandainya Kediri mengalami bencana. Hamba dan Adinda Mahisa Walungan
telah merasa menunaikan niat kesetiaan kami atas Sri Baginda dan Kediri.
Tetapi apabila niat kami itu dinilai sebagai suatu pengkhianatan, kami
tidak akan sakit hati. Dada kami sudah lapang, karena kami sudah
melakukan usaha, meskipun gagal.”
“Tetapi kenapa kalian merampas pengawasan atas halaman ini?”
“Kami hanya sekedar berusaha untuk
mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan masalah kami seperti sekarang
ini. Tanpa penguasaan halaman istana, maka kami tidak akan mendapat
dukungan apapun untuk mencoba berbicara agak panjang. Mungkin kami hanya
dapat mengucapkan satu dua kalimat seperti Adinda Mahisa Walungan
kemarin.”
“Cukup,” potong Sri Baginda, “apapun yang kalian lakukan, kalian harus ditangkap.”
“Kami berdua tidak akan mengelak. Kami akan memerintahkan semua prajurit di halaman ini menarik diri.”
Sri Baginda tiba-tiba saja diam mematung.
Terjadi sesuatu yang menggelepar di dadanya. Ia merasakan kejujuran
pada setiap kata Gubar Baleman. Meskipun demikian Sri Baginda yang sudah
bersabda itu, tidak harus menarik kata-katanya. Gubar Baleman dan
Mahisa Walungan harus ditangkap, meskipun ia dapat menentukan hukuman
yang lebih ringan bagi keduanya.
“Mahisa Walungan dan Gubar Baleman,” berkata Baginda kemudian, “kalian menjadi tahanan.”
Dalam saat yang demikian itulah Pujang
Warit menyiarkan pasukannya yang terdiri atas prajurit-prajurit dari
berbagai kesatuan. Meskipun dengan dada yang berdebar-debar, dan
pertimbangan yang kurang matang, Pujang Warit masih mengharap perubahan
sikap dari beberapa orang Senapati yang ada di sebelah Utara Ganter.
Apabila mereka melihat, bahwa ia tidak bermain-main, mengemban perintah
Sri Baginda, maka mereka pasti akan mulai berpikir kembali.
Tetapi pada saat yang demikian itu
pulalah, maka apa yang dicemaskan oleh Mahisa Walungan dan Gubar Baleman
itu terjadi. Agaknya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, Raja yang
memerintah di Singasari, telah menemukan saat yang tepat. Di tengah
malam itu juga, Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi sendiri telah
berangkat ke perbatasan. Ia berhasrat memimpin langsung pasukannya yang
akan menyerbu ke Kediri.
Sri Rajasa memang pernah mendengar, bahwa
para Senapati dan pimpinan kerajaan Kediri, adalah orang-orang yang
pilih tanding. Mereka mempunyai kemampuan yang melampaui kemampuan
manusia sewajarnya. Karena itu, maka di saat-saat terakhir Sri Rajasa
tidak dapat menyerahkan pimpinan pasukan yang akan menghadapi pasukan
yang kuat itu kepada orang lain.
Yang mendapat kepercayaan untuk menjadi
paruh dari pasukannya, justru pasukan khusus yang dipimpin oleh Mahisa
Agni. Menurut Sri Baginda, tidak ada Senapati yang lain, yang dapat
mengimbangi kemampuannya, meskipun pasukannya bukanlah pasukan yang
terkuat. Tetapi, justru mereka terdiri dari orang-orang Kediri sendiri,
Sri Rajasa berharap, bahwa pasukan itu akan dapat mempengaruhi perasaan
para prajurit Kediri.
Demikianlah maka ketika Sri Baginda telah
merasa cuakup dengan segala macam persiapan, terdengarlah suara
tengara. Sebuah bende yang tergantung tinggi di atas sebatang pohon,
telah dipukul bertalu-talu. Bende itu bukanlah bende biasa di dalam
seperangkat gamelan. Tetapi para prajurit Singasari percaya, bahwa
apabila bende itu meraung dengan lantangnya, peperangan yang akan
datang, akan dibayangi oleh kemujuran dan kemenangan.
Bende itulah agaknya yang menjadi tengara, disambut oleh tanda-tanda yang lain, sahut menyahut sampai ke ujung-ujung pasukan.
Maka serentak bergeraklah pasukan
Singasari itu memasuki perbatasan Kediri, seperti banjir bandang yang
tidak terbendung lagi. Derap kaki mereka, seakan-akan telah menggugurkan
gunung-gunung menimbuni lembah yang paling dalam.
Di seberang perbatasan, pasukan Kediri
yang telah siap pula, segera menyongsong prajurit Singasari. Tetapi
dengan sepenuh kesadaran, mereka melihat diri mereka yang terlampau
Kecil dibandingkan dengan pasukan yang mendatang.
“Pertahanan kita berada di sebelah Utara
Ganter,” desis Senapati yang menerima penyerahan pimpinan dari Gubar
Baleman, lalu perintahnya yang terakhir sebelum para Senapati terjun ke
peperangan. “Jangan membiarkan korban berjatuh-jatuhan dengan sia-sia.
Kita harus menarik mereka sampai ke Ganter.”
Tetapi Senapati yang ada di perbatasan
itu sama sekali tidak mengetahui, apa yang sedang terjadi di batas
pertahanan mereka yang terakhir itu.
Dengan demikian, maka prajurit Kediri di
perbatasan itu tidak banyak memberikan perlawanan. Mereka tidak begitu
bodoh mengumpankan prajurit-prajuritnya gugur tanpa arti. Yang mereka
lakukan hanyalah sekedar memperlambat kemajuan pasukan Singasari dengan
kekuatan yang tidak seimbang, sementara sekelompok kecil penghubung
telah mendahului, menyampaikan kabar penyerangan itu ke pertahanan di
sebelah Utara Ganter dengan kuda-kuda yang berlari bagaikan angin.
Di saat pasukan Pujang Warit mulai
bergerak mendekati pemusatan pasukan Mahisa Walungan itulah penghubung
dari perbatasan memasuki daerah pertahanan di sebelah Utara Ganter.
Dengan nafas terengah-engah,
dilaporkannya apa yang telah terjadi di perbatasan. Pasukan Singasari
bagaikan banjir telah melanda pertahanan pasukan Kediri di perbatasan.
Tetapi seperti yang dipesankan Gubar Baleman, pasukan perbatasan itu
sama sekali tidak berusaha untuk menahan pasukan Singasari. Mereka hanya
sekedar menghambat kemajuan mereka, untuk memberi kesempatan pasukan
Kediri bersiap.
Senapati tertua yang mendapat tugas
memimpin pasukan di sebelah Utara Ganter selagi Mahisa Walungan dan
Gubar Baleman tidak ada itu-pun segera memanggil Senapati-senapati
lainnya.
“Kita tidak dapat menunggu,” berkata
Senapati itu, “kita tidak tahu kapan Adinda Sri Baginda Mahisa
Walungan dan Menteri Gubar Baleman itu selesai.”
“Ya, kita harus mengatur diri. Mungkin kita perlu memberitahukan kehadiran ini ke istana.”
“Kita melihat perkembangannya kemudian.”
Maka sejenak kemudian terdengarlah
tanda-tanda bahwa pasukan pertahanan yang sudah disiapkan itu untuk
menempati garis pertahanan yang sudah ditentukan.
Ternyata bahwa prajurit Kediri cukup
terlatih. Dalam waktu yang singkat, maka pasukan di sebelah Utara Ganter
itu-pun segera menebar. Dengan lincahnya para Senapati, para pemimpin
kelompok-kelompok yang lebih kecil mengatur pasukannya di tempat
masing-masing, sehingga keseluruhan pasukan itu segera membentuk garis
pertahanan yang kuat.
Namun demikian, masih terasa ada yang
kurang di antara mereka. Tidak ada seorang pemimpin yang dapat
memberikan kebanggaan di hati mereka. Mahisa Walungan dan Gubar Baleman,
keduanya tidak ada di antara pasukan itu.
Pujang Warit yang mendekati tempat
pertahanan itu-pun segera mendapat laporan, bahwa pasukan di sebelah
Utara Ganter itu sudah memasang gelar.
“Gila,” geram Pujang Warit, “apakah
mereka benar-benar telah menentang kekuasaan Sri Baginda dengan
perlawanan langsung? Itu adalah suatu pemberontakan.”
“Tetapi,” berkata petugas yang melaporkannya itu, “mereka sama sekali tidak menghadapkan pasukannya kepada kita di sini.”
“Lalu?”
“Dengan tergesa-gesa mereka memasang gelar, menghadap ke jalan induk yang menghubungkan Tumapel dengan Kediri.”
“He?,” Pujang Warit termangu-mangu sejenak, “apakah pasukan di perbatasan sudah mulai bergerak?”
Dalam kebimbangan itu, beberapa orang
pengawas yang mendapat laporan dari perbatasan bahwa pasukan
Singasari-lah seorang dari mereka berkata, “Pasukan Mahisa Walungan
telah siap. Tetapi menurut penilaian kami, mereka telah mendapat laporan
dari perbatasan bahwa pasukan Singasari telah mulai bergerak.”
Pujang Warit masih tetap termangu-mangu,
sementara langit menjadi semakin lama semakin cerah. Ia mengerutkan
keningnya ketika ia melihat beberapa ekor kuda berlari ke arahnya.
Penunggangnya ternyata adalah Senapati yang diperintahkannya menyusul Gubar Baleman di perbatasan.
“He, kenapa kau di sini? Apakah kau tidak membawa Gubar Baleman menghadap Sri Baginda?”
“Ceriteranya cukup panjang. Tetapi kini Gubar Baleman sudah menghadap Sri Baginda.”
“Lalu apa kerjamu sekarang?”
“Aku ditahan oleh pasukan Mahisa Walungan di pemusatan pasukannya.”
“Gila, aku sudah siap melakukan perintah Sri Baginda atas mereka.”
“Jangan saat ini.”
“Kenapa?”
“Pasukan Singasari telah menyerbu
langsung menusuk ke pusat pemerintahan Kediri. Agaknya mereka mempunyai
perhitungan, bahwa pimpinan pemerintahan dan kedudukan pemerintahan
harus dikuasai lebih dahulu.”
“Darimana kau dengar?”
“Beberapa orang penghubung dari perbatasan telah datang.”
Pujang Warit berpikir sejenak. Lalu, “Apakah penghubung itu dapat dipercaya?”
“Tentu. Aku melihat mereka, dan aku percaya kepada mereka.”
Pujang Warit menganggukkan kepalanya
sejenak, kemudian katanya, “Baiklah, aku akan menemui Senapati yang
memimpin pasukan Kediri di pertahanan itu. Akulah yang mendapat wewenang
dari Sri Baginda untuk memegang seluruh pimpinan.”
“Maksudmu?”
“Senapati itu harus menyerahkan pimpinan
kepadaku, sehingga seluruh kekuasaan berada di dalam satu tangan.
Apalagi menghadapi Singasari yang mempunyai persiapan yang matang.”
“Mereka tentu akan keberatan.”
“Aku tidak peduli, itu perintah Sri Baginda.”
“Jangan berpegangan pada perintah Sri
Baginda. Kini kita menghadapi pasukan lawan. Apapun yang kita lakukan,
seandainya kita kehilangan kepemimpinan kita sama sekali, kita tetap
wajib mempertahankan Kediri.”
“O. kau sudah menjadi dungu pula. Itu adalah mutlak. Perintah Sri Baginda, akulah pemimpin pasukan Kediri. Mereka harus tunduk.”
“Dalam suasana yang lain dari sekarang.
Sekarang kita menghadapi lawan. Yang penting, kita kerahkan semua
kekuatan untuk mempertahankan Kediri.”
“Tidak, aku akan mengambil seluruh pimpinan.”
“Ternyata kau bodoh dan tamak,” Senapati
muda itu kehilangan kesabaran, “aku berpihak kepadamu karena aku
menyangka, kesetiaanmu kepada Kediri melebihi kesetiaan Gubar Baleman.
tetapi ternyata aku keliru.”
Darah Pujang Warit tersirap karenanya.
Sejenak ia justru diam mematung. Dipandanginya Senapati muda itu dengan
mata yang berapi-api. Namun agaknya Senapati itu-pun sama sekali tidak
menundukkan kepalanya.
Tata susunan keprajuritan Kediri telah
benar-benar rusak karenanya. Tidak ada lagi ketaatan pada perintah
atasannya, dan seakan-akan tidak ada lagi jalur kekuasaan yang lurus.
Setiap prajurit seolah-olah telah melakukan apa saja yang dianggapnya
baik dan berguna bagi dirinya atau bagi Kediri dan Sri Baginda.
“Aku akan menghadap Sri Baginda,” berkata
Senapati muda itu kemudian, “aku akan melaporkan bahwa gerakan
Singasari tidak terbendung lagi.”
“Gila. Itu suatu rencana yang paling gila yang pernah …”
Wajah Senapati muda itu tiba-tiba menjadi tegang. Katanya, “Kau tidak berhak menahan aku.”
“Aku berhak menahan kau selagi aku menganggap perlu. Kau tetap di sini, dan aku-pun akan tetap di sini.”
“Maksudmu?”
“Aku akan membiarkan pasukan Mahisa
Walungan itu bertempur. Apabila keduanya sudah menjadi parah, maka
pasukanku akan datang membantu. Tetapi akulah yang memegang pimpinan.”
“Gila. Itu suatu rencana yang paling gila yang pernah dibuat oleh seorang prajurit Kediri.”
“Aku tidak gila. Aku memperhitungkan
akhir dari peperangan ini. Semuanya akan hancur, selain pasukanku.
Pasukankulah yang akan menumpas pasukan Singasari yang sudah menjadi
payah karena pertempuran melawan pasukan Mahisa Walungan itu.”
“Gila. Kau benar-benar sudah gila.”
Pujang Warit tidak menjawab. Tetapi terdengar suara tertawanya yang memanjang.
“Cukup,” teriak Senapati muda itu.
Tetapi Pujang Warit masih tertawa terus.
Bahkan ia berkata, “Jangan menyesal. Kelak kau akan melihat aku memegang
kekuasaan tunggal di Kediri sesudah Sri Baginda. Itu kalau kau masih
hidup. Perbuatanmu kali ini telah menurunkan nilai namamu di hadapanku.”
“Aku tidak peduli. Aku tidak memerlukan kau.”
Pujang Warit tertawa terus. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Kau tetap di sini.”
Senapati muda itu menggeram. Ketika ia berpaling dilihatnya beberapa orang prajurit ada di sekitarnya.
“Dengar,” berkata Pujang Warit kemudian,
“Aku akan tetap di sini. Sebentar lagi pasukan Singasari akan melanda
pertahanan Mahisa Walungan yang sudah kehilangan pimpinan itu. Aku akan
menjadi penonton. Baru kemudian aku akan datang dan menggilas pasukan
Singasari itu.”
Senapati muda itu tidak menyahut. Tetapi dadanya serasa menjadi retak karenanya.
“Akulah kelak yang akan menjadi Senapati
Agung di Kediri karena akulah yang telah berhasil menumpas pemberontakan
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman, sekaligus menyelamatkan Kediri dari
serbuan Singasari,” dan suara tertawa Pujang Warit semakin meninggi.
Senapati muda yang masih duduk di atas
punggung kudanya itu menggeram. Dadanya rasa-rasanya tidak dapat
menampung lagi kekecewaan dan penyesalan yang menghentak-hentak. Tetapi
semuanya sudah terlanjur.
Terbayang di rongga matanya, pasukan
Singasari bagaikan banjir bandang maju terus mendesak pasukan Kediri
yang tidak seberapa kuatnya di perbatasan. Kemudian banjir itu akan
membentur pertahanan di sebelah Utara Ganter. Tetapi pertahanan itu
tidak dipimpin oleh seorang yang pantas dipercaya untuk memimpin perang
yang demikian besar.
Dan tanpa sesadarnya Senapati muda itu
tiba-tiba berkata, “Apakah kalau kau menahan aku di sini, kau sangka
tidak ada leorang-pun yang akan melaporkannya kepada Sri Baginda?”
“Baginda tidak akan mengakui siapapun yang bukan utusanku.”
“Bohong.”
“Aku yakin. Kalau ada seseorang menghadap
Sri Baginda, maka orang itu akan mengalami beberapa kesulitan. Ia tidak
akan dapat masuk regol istana. Seandainya ia dapat masuk, dan menghadap
Sri Baginda sekali-pun, Sri Baginda tidak akan mempercayainya, seperti
Sri Baginda sudah tidak mempercayai Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
“Tetapi masalah ini adalah masalah Kediri. Bukan masalah nafsu seseorang.”
“Aku tahu dan aku memanfaatkan keadaan
ini. Aku sama sekali tidak akan berkhianat terhadap Kediri. Aku tidak
akan membiarkan Kediri hancur. Tetapi aku memperhitungkan seluruh
perkembangan keadaan.”
Senapati muda itu terdiam. Dilihatnya
beberapa orang prajurit berdiri di sekitarnya, di sebelah menyebelah
Pujang Warit dan di belakang mereka adalah sepasukan prajurit yang sudah
siap untuk membayangi prajurit Mahisa Walungan.
Terdengar Senapati muda itu mengeluh. Ia menyesali kebodohannya selama ini.
“Lalu, apakah aku akan diam saja setelah
aku mengakui kebodohan itu? “ pertanyaan itu telah mengganggu hatinya.
Ia menjadi ngeri apabila sekali lagi terbayang pasukan Singasari yang
menjadi semakin dekat.
Sekilas ditatapnya matahari yang mulai
memanjat langit. Penghubung berkuda yang mengabarkan kemajuan pasukan
Singasari telah datang beberapa saat yang lampau. Karena itu, maka
pasukan yang tidak tertahankan itu pasti sudah menjadi semakin dekat.
Kalau Mahisa Walungan dan Gubar Baleman kemudian mengetahui, apakah ia
dapat berbuat sesuatu? Atau bahkan keduanya sudah menjalani hukuman
mati?
Dalam keadaan yang sulit itu, Senapati
muda itu-pun dengan tiba-tiba saja telah menarik kendali kudanya,
kemudian memukul perutnya sekuat-kuat tenaganya, sehingga kuda itu-pun
terkejut dan melompat sambil meringkik. Beberapa orang prajurit yang
terkejut, berloncatan menepi ketika kuda itu berlari meninggalkan
mereka.
Sejenak Pujang Warit terpukau oleh sikap
Senapati muda itu. Namun kemudian ia sadar, bahwa Senapati itu tidak
boleh meninggalkannya, dan apalagi menyampaikan kepada Sri Baginda, apa
yang sedang dilakukannya sekarang.
Karena itu, maka sejenak kemudian ia berteriak, “Tahan, tahan dia.”
Tetapi kuda itu berlari semakin kencang.
sehingga Pujang Warit tidak dapat menunggu prajurit-prajurit yang
terpesona itu menyadari keadaan.
Dengan tangkasnya Pujang Warit sendiri
meloncat merebut sebatang tombak pendek seorane prajurit yang berdiri
membeku. Dengan sekuat tenaga tombak itu-pun dilontarkannya dengan
sepenuh tenaga. Tetapi Senapati pilihan yang tidak saja sekedar tenaga
wantah.
Tombak pendek itu meluncur dengan
cepatnya, menyusul Senapati muda yang duduk di atas punggung kudanya.
Senapati itu tidak sempat berpaling, sehingga ia tidak tahu, bahwa
sepucuk mata tombak telah mengejarnya.
Ia mengaduh pendek ketika tiba-tiba saja
terasa sesuatu menyengat pundaknya. Bahkan kemudian terasa seakan-akan
pundaknya dibebani oleh sesuatu yang berat sekali.
Baru sejenak kemudian ia menyadari apa
yang telah terjadi atas dirinya. Namun sementara itu kudanya masih
berlari terus, dan Senapati muda yang menyadari keadaannya itu tetap
bertahan untuk masih berada di atas punggung kudanya yang berlari
semakin kencang.
Tombak yang melekat di pundaknya itu
semakin lama terasa menjadi semakin berat, sedangkan darah mengalir dari
lukanya semakin lama semakin deras.
Di perbatasan kota Senapati itu hampir kehabisan tenaga, dengan wajah pucat ia singgah di sebuah gardu penjagaan.
“He, kenapa kau?” bertanya seorang prajurit yang wertugas.
“Tolong, cabutlah tombak ini. Aku harus segera menghadap Sri Baginda.”
Prajurit itu menjadi ragu-ragu sejenak, sementara kawan-kawannya-pun datang mengerumuninya.
“Cepatlah,” berkata Senapati muda itu
sambil menahan sakit. Sekali-sekali ia berpaling, kalau-kalau Pujang
Warit atau orang-orangnya pergi menyusulnya. Tetapi agaknya mereka yakin
bahwa Senapati muda itu tidak akan mampu bertahan sampai ke istana.
“Kenapa kau he?” bertanya pemimpin penjaga itu.
“Cabutlah. Aku sudah kehabisan waktu.
Apalagi aku menyadari keadaanku. Sebenar lagi aku sudah tidak akan nampu
lagi berbuat sesuatu.”
Pemimpin prajurit itu ragu-ragu sejenak. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kau berdiri di pihak siapa?”
Dada Senapati itu berdesir. Ternyata
setiap prajurit di Kediri kini telah dihinggapi kecenderungan untuk
memisah-misahkan dirinya. Dan ia merasa, bahwa sebagian dari kesalahan
itu ada pada dirinya pula, karena ia-pun telah berpihak kepada pujang
Warit.
“Cepat katakan, kepada siapa kau berpihak?”
“Apakah kalian juga berpihak?” bertanya Senapati yang menjadi semakin lemah itu.
“Ya, kami juga berpihak.”
“Nah, kepada siapa kalian berpihak.”
“Kamilah yang bertanya.”
Senapati muda itu menyeringai menahan
sakit di pundaknya. Kemudian jawabnya, “Semula aku juga berpihak.
Berpihak kepada yang mana-pun juga, yang akhirnya aku sadari bahwa itu
sama sekali tidak akan bermanfaat.” Senapati itu mengeluh sesaat. Lalu,
“sekarang aku melepaskan diri dari pertentangan yang ada di dalam
lingkungan sendiri. Kini aku berpihak kepada Kediri. Kita bersama-sama
harus menyelamatkan Kediri, karena saat ini pasukan Singasari sedang
melanda seperti banjir bandang.”
Para penjaga itu saling berpandangan.
“Cepat, sebelum kalian digilas oleh pasukan Singasari itu.”
Pemimpin penjaga itu masih ragu-ragu
sejenak. Kemudian dianggukkannya kepalanya ketika seseorang maju setapak
mendekati Senapati yang luka itu.
“Perlahan-lahan,” desis Senapati itu.
Dengan hati-hati tombak pendek yang masih
melekat di punggung itu-pun kemudian dicabut. Betapa sakitnya, namun
dengan demikian. Senapati itu menjadi lebih mudah bergerak meskipun
tenaganya sudah menjadi semakin lemah.
“Terima kasih. Aku harus segera menghadap.”
Pemimpin penjaga itu memandanginya
sesaat. Wajah yang menjadi semakin pucat itu seakan-akan tidak lagi akan
mampu bertahan. Karena itu katanya, “Biarlah seorang prajuritku
mengawani kau.”
Senapati itu diam sejenak, lalu, “terima kasih. Apakah kalian menyediakan kuda di penjagaan itu?”
“Kau menjadi terlampau lemah. Biarlah ia bersamamu.”
Senapati itu berpikir sejenak. Tetapi tubuhnya memang terasa terlampau lemah, sehingga karena itu katanya, “Baiklah.”
Seorang prajurit yang ditugaskan kemudian
naik ke punggung kuda itu pula sambil melayani Senapati muda yang sudah
menjadi semakin kehabisan darah dan tenaga. Tetapi tekadnya masih tetap
menyala di dadanya untuk dapat menyampaikan kabar tentang pasukan
Kediri dan serbuan Singasari itu kepada Sri Baginda sendiri.
Meskipun terasa terlampau berat, kuda
yang dibebani oleh dua orang prajurit itu-pun berlari menyelusuri
jalan-jalan kota menuju ke istana.
Beberapa orang yang menyaksikan mereka
berdua menjadi heran, namun tidak seorang-pun yang sempat bertanya,
karena kuda itu berlari semakin kencang.
“Berhenti,” perintah para prajurit yang ada di regol istana.
Kuda itu berhenti sejenak. Ketika
Senapati itu mengangkat wajahnya dilihatnya beberapa orang prajurit
pengawal berdiri tegak di depan gerbang.
“Aku akan menghadap Sri Baginda,” desis Senapati yang terluka itu.
Para prajurit itu termenung sejenak.
Mereka menjadi bertanya-tanya di dalam hati, kenapa prajurit yang datang
itu terluka dan dengan tergesa-gesa ingin menghadap Sri Baginda?
“Aku harus mengatakan sesuatu sebelum aku mati,” berkata Senapati itu.
“Apakah kau berpihak kepada Mahisa Walungan,” bertanya pengawal di muka gerbang itu.
Senapati itu mengerutkan keningnya.
“Cepat jawab,” desak pengawal itu.
“O,” desahnya, “kalian semuanya memang
sudah dibius oleh perpecahan ini. Tetapi baiklah aku sebut saja diriku,
bahwa aku adalah utusan Sri Baginda yang harus memanggil Gubar Baleman
ke perbatasan. Atau katakanlah, aku adalah kepercayaan Pujang Warit.”
Pengawal itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, “Bagus. Kalau begitu masuklah. Istana ini baru saja
dikuasai oleh Gubar Baleman. Ia ingin memaksakan kehendaknya kepada Sri
Baginda. Untunglah bahwa Sri Baginda tetap dalam pendiriannya.”
“Dan kalian telah bertempur untuk merebut istana ini kembali?” Senapati itu menjadi cemas.
“Tidak, kami tidak bertempur. Gubar
Baleman telah menarik prajurit-prajuritnya yang kini dikumpulkan di
halaman belakang istana.”
“Dan Gubar Baleman sendiri?”
“Menteri itu kini sudah ditahan bersama Mahisa Walungan meskipun masih ada di paseban.”
Senapati itu menarik nafas. Katanya kemudian, “Aku akan menghadap.”
“Cepat. Paseban hampir dibubarkan. Mereka
tingga menunggu keputusan Sri Baginda, hukuman apakah yang akai
dijatuhkan kepada kedua pemberontak itu.”
Darah Sanapati muda itu tersirap.
Kemudian kudanya segera memasuki regol istana. Tetapi di gerbang dalam
Senopati itu terpaksa turun. Sambil dipapah oleh prajurit yang
mengawaninya, ia memasuki regol halaman dalam setelah menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang serupa.
Senapati itu masih sempat melihat
kesiagaan yang luar biasa di dalam istana. Setiap sudut, setiap jengkal
tanah agaknya telah mendapat pengawasan yang luar biasa.
Di pintu paseban, dua orang penjaga yang
bersenjata telanjang telah menghentikannya pula. Namun Senapati itu
membentak, “Jangan kau tunggu aku sampai mati. Ada masalah yang penting
sekali harus aku sampaikan kepada Sri Baginda sendiri.”
“Tetapi Sri Baginda sedang membicarakan masalah yang penting sekali.”
“Aku tahu. Sri Baginda sedang mempertimbangkan hukuman bagi Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
Kedua penjaga itu menjadi ragu-ragu.
Sementara itu Senapati itu-pun mendekat tanpa menghiraukan lagi kedua
penjaga di bawah tangga, dan dari luar pintu paseban Senapati itu
mendengar seseorang berkata, “Mereka memang harus dihukum mati Tuanku.
Hamba tahu pasti, apa saja yang telah mereka perbuat. Meskipun angger
Mahisa Walungan adalah Adinda Sri Baginda. Tetapi bagaikan duri yang
menyusup di dalam daging, maka duri itu harus dicungkil dan
disingkirkan.”
Suara itu patah sejenak, namun kemudian
disambungnya, “Kalau Sri Baginda tidak bertindak sekarang, maka keadaan
akan menjadi semakin buruk. Mereka telah berani menguasai halaman istana
ini meskipun masih dengan ragu-ragu.”
Dada Senapati muda itu menjadi
berdebar-debar. Paseban dalam itu telah dicengkam oleh kesenyapan yang
tegang. Dan sejenak kemudian terdengar suara yang lain, “Ampun Tuanku.
Hamba adalah seorang penasehat yang tidak berarti. Tetapi hamba sama
sekali tidak ingin melihat kedudukan Tuanku tergoyahkan.”
“Jadi apakah menurut pendapat kalian keduanya benar-benar sudah memberontak?”
“Hamba Tuanku,” terdengar suatu jawab.
“Dan apakah keduanya pantas mendapat hukuman yang paling berat?”
“Hamba Tuanku.”
Senapati yang di muka pintu paseban dalam
itu menjadi semakin gemetar. Gemetar oleh kelemahan yang semakin
mencengkam dirinya, dan gemetar karena pembicaraan yang didengarnya itu.
Tetapi pembicaraan berikutnya sama sekali
tidak dimengertinya. Suara-suara di paseban itu menjadi semakin lambat
karena agaknya mereka menyadari bahwa yang mereka bicarakan adalah
masalah-masalah yang penting.
“He,” desis Senapati itu, “kenapa kau berada di situ?”
“Kami mendapat perintah khusus,” jawab kedua penjaga itu.
“Dengan senjata telanjang pula?”
“Keadaan menjadi panas,” jawabnya.
Senapati itu terdiam, ia bergeser semakin dekat dan menempelkan telinganya pada daun pintu yang tertutup.
“Jangan mengganggu,” berkata prajurit yang bertugas.
“Aku akan menghadap. Aku adalah utusan Sri Baginda sendiri.”
Kedua penjaga itu saling berpandangan.
Sementara itu Senapati itu mendengar suara yang lamat-amat. “Tuanku.
Tidak ada hukuman yang lain bagi seorang pemberontak.”
“Maksudmu hukuman mati? “ terdengar suara Sri Baginda.
“Hamba Tuanku. Terutama bagi Menteri
Gubar Baleman. Bagi Adinda Sri Baginda, terserahlah kepada
kebijaksanaan Sri Baginda sendiri.”
Sekali lagi ruangan itu dicengkam oleh
keheningan. Namun Senapati Muda yang berdiri di muka pintu dengan tubuh
yang gemetar itu sudah tidak tahan lagi. Karena itu, ia tidak menunggu
sidang itu selesai. Dengan serta-merta ia menarik daun pintu sambil
berteriak, “Tidak. Keduanya tidak sepantasnya dihukum mati.”
Semua orang di paseban itu berpaling
kepada Senapati muda yang terluka itu. Kedua prajurit yang bertugas di
muka pintu itu tidak dapat mencegahnya, karena kawan Senapati itulah
yang menghalangi mereka, “Biarlah ia menghadap Sri Baginda.”
“Siapa kau?” suara Sri Baginda lantang.
Terhuyung-huyung Senapati muda itu
melangkah masuk seorang diri. Kemudian dengan lemahnya duduk di lantai,
di antara para Senapati yang hadir.
“Kau terluka,” desis salah seorang Senapati itu.
Senapati muda itu tidak menjawab. Sejenak
tatapan matanya beredar dan terhenti pada wajah Gubar Baleman yang
duduk di sudut bersama Mahisa Walungan diapit oleh tiga orang prajurit.
Gubar Baleman-pun menjadi sangat terkejut melihat kehadirannya. Apalagi Senapati itu ternyata terluka.
Yang terlintas di angan-angan Gubar
Baleman adalah dugaan bahwa Senapati itu telah mencoba melakukan
perlawanan atas prajurit-prajuritnya di sebelah Utara Ganter yang akan
menahannya, sesuai dengan perintah yang diberikannya.
Gubar Baleman menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa ia tidak setuju pada hukuman mati itu?” katanya di dalam hati,
“apakah ia menghendaki hukuman picis yang mengerikan?”
Dalam ketidak-tentuan itu ia mendengar Sri Baginda bertanya, “He. Siapa kau? Dan kenapa kau terluka?”
Prajurit itu bergeser maju. Tetapi ia sudah menjadi semakin lemah.
“Ampun Tuanku. Hamba adalah Senapati yang
mendapat kepercayaan kakang Pujang Warit untuk memanggil Menteri Gubar
Baleman dari perbatasan.”
“O, jadi kaulah yang memanggil Gubar Baleman ini?”
“Hamba Tuanku.”
“Tetapi Gubar Baleman sudah lama menghadap. Kenapa kau baru datang sekarang dan terluka pula?”
“Ampun Tuanku. Hamba telah tertahan oleh para prajurit yang ada di sebelah Utara Ganter.”
“He,” wajah Sri Baginda menjadi semakin
tegang, “jadi prajurit-prajurit Gubar Baleman sudah berani menahan orang
yang membawa perintahku.”
“Hamba Tuanku.”
“O, jadi benarlah kalian yang telah
mempercayainya bahwa kedua orang ini telah memberontak. Benarlah kalian
yang menghendaki hukuman yang seberat-beratnya bagi keduanya.”
“Tetapi Tuanku,” potong Senapati muda itu, “bukan maksud hamba mengatakan demikian.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya, sementara Gubar Baleman dan Mahisa Walungan menjadi semakin berdebar-debar.
“Jadi apakah yang akan kau katakan?”
“Tuanku, justru karena hamba tertahan di
dalam perkemahan pasukan di sebelah Utara Ganter itulah hamba mengerti,
apa yang sebenarnya telah terjadi.”
“Apa maksudmu?”
“Mereka sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk memberontak.”
Sri Baginda tertegun sejenak. Tetapi ia
tidak segera dapat mempercayai pendengarannya. Namun demikian
keragu-raguan yang memang sudah ada di dalam dirinya, segera terangkat
kembali.
Para Menteri, Senapati dan penasehat Sri
Baginda-pun terperanjat mendengar keterangan itu. Mereka tidak menyangka
bahwa Senapati yang terluka itu akan mengatakan yang justru ke balikan
dari dugaan mereka.
“Ulangi,” desis Sri Baginda, “apakah yang kau katakan itu?”
“Ampun Tuanku. Para prajurit yang ada di sebelah Utara Ganter itu sama sekali tidak akan memberontak seperti yang kita duga.”
“He, apakah kau sudah dibius oleh para prajurit itu?”
“Sebenarnyalah bahwa hamba melihat segala persiapan mereka.”
Sri Baginda terdiam sejenak.
Dipandanginya Senapati yang terluka itu. Kemudian para Senapati,
akhirnya kedua penasehat Sri Baginda.
“Ampun Tuanku,” berkata salah seorang
dari kedua penasehat yang berphak kepada Pujang Warit, “hamba kira,
Senapati muda ini sudah tidak dapat dipercaya lagi kebeningan
ingatannya, ia sudah terluka parah.”
“Tidak. Aku masih sadar sepenuhnya. Aku
masih mengenal setiap orang yang ada di sini meskipun sudah menjadi agak
kekuning-kuningan.”
“Jadi, apakah yang sebenarnya yang ingin kau katakan, dan kenapa kau terluka he?”
“Tuanku,” Senapati itu menjadi semakin
lemah, karena darah masih mengalir dari luka di pundaknya, “ampun
Tuanku. Perkenankanlah hamba mengatakan yang sesungguhnya, bahwa pasukan
di sebelah Utara Ganter kini sudah memasang gelar.”
Wajah Sri Baginda menjadi tegang.
Katanya, “Aku tidak mengerti arti kata-katamu yang simpang siur itu.
Maksudmu, pemberontakan itu sudah dimulai.”
“Tidak Tuanku. Sama sekali tidak. Mereka telah mempersiapkan diri mereka untuk menahan arus pasukan Singasari.”
Gubar Baleman dan Mahisa Walungan yang
mendengar laporan itu-pun menjadi tegang pula sehingga mereka berkisar
setapak maju. Tetapi prajurit-prajurit yang mengapitnya-pun bergeser
pula setapak.
Mahisa Walungan yang tidak dapat menahan desakan di dadanya, tanpa sesadarnya bertanya, “Bagaimana dengan prajurit Singasari?”
Senapati itu berpaling. Ditatapnya wajah
yang suram itu. Kemudian dengan suaranya yang semakin lemah ia berkata,
“Penghubung dari perbatasan telah datang.”
Wajah Mahisa Walungan menjadi semakin tegang, “Maksudmu?”
“Ya. Pasukan Singasari telah menyeberangi perbatasan.”
Mahisa Walungan menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi terasa seakan-akan dadanya terhunjam beberapa pucuk
duri. Ketika ia memandang wajah Gubar Baleman, maka wajah itu justru
menjadi pucat.
Sri Baginda masih berdiam diri sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Aku sudah menyerahkannya kepada Pujang Warit.”
“Ampun Baginda,” Senapati itu masih
mencoba berkata. Tetapi tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga kini ia
mencoba menahan berat badannya dengan kedua tangannya.
“He, lukamu parah?”
Senapati itu tidak menyahut. Namun ketika
Gubar Bareman bergeser untuk menolongnya, Sri Baginda membentak, “Kau
tetap di tempatmu.”
Gubar Baleman kembali duduk di tempatnya meskipun ia menjadi semakin gelisah.
Dalam pada itu. Senapati itu-pun menjadi
semakin kehilangan tenaganya. Kini ia telah menahan tubuhnya dengan
tangannya yang gemetar, sementara darahnya masih saja mengalir lewat
lukanya.
“Apakah orang itu akan dibiarkannya,”
berkata Gubar Baleman di dalam hatinya, sementara Mahisa Walungan yang
melihat penderitaan itu berkata tanpa menghiraukan perasaan Sri Baginda
yang tidak dapat dirabanya, “Kakanda Baginda. Orang itu memerlukan
pertolongan segera.”
“Jangan mengajari aku,” bentak Sri Baginda. Aku sudah melihat dan aku sudah mengerti apa yang sebaiknya dilakukan untuknya.”
Mahisa Walungan mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun terdiam karenanya. “He, Senapati. Apakah kau masih dapat beibicara?”
“Ampun Tuanku. Hamba akan mencoba.”
“Katakan, apa yang sudah terjadi. Cepat sebelum kau tidak mampu lagi berbicara.”
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman menarik
nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan pula mereka berdesah. Ternyata Sri
Baginda sedang dicengkam oleh kebingungan, sehingga kadang-kadang
tindakannya kurang dapat dimengerti. Bukan saja Mahisa Walungan dan
Gubar Beleman, tetapi semua orang yang melihat keadaan Senapati muda itu
menjadi berdebar-debar.
Tetapi Senapati yang keras hati itu masih
sempat menceriterakan apa yang dilihatnya. Ia masih sempat mengatakan,
bahwa selama ini ia telah salah memilih pihak.
“Tuanku,” berkata Senapati itu dengan
suara yang terputus-putus, “Ternyata Pujang Warit tidak jujur. Ia
membiarkan pasukan di sebelah Utara Ganter itu hancur, agar ia dapat
berdiri di atas tumpukan mayat dari ke dua belah pihak untuk
kepentingannya.”
“He,” sorot mata Sri Baginda tiba-tiba telah menyala, “kau berkata sebenarnya?”
“Di saat hidup hamba yang terakhir ini,
hamba tidak akan berdusta.” suaranya menjadi semakin lirih, sejalan
dengan tubuhnya yang semakin lemah, sehingga akhirnya ia tidak kuat lagi
bertelekan kedua tangannya. Dengan lemahnya Senapati yang masih duduk
itu mencoba menahan tubunnya dengan sikunya.
Barulah Sri Baginda menyadari apa yang
dihadapinya. Tiba-tiba saja ia berteriak, “He, apakah kalian sudah gila?
Kenapa kalian membiarkan saja Senapati yang terluka ini? Cepat. Bawalah
Senapati ini untuk segera mendapat pengobatan.”
Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Namun Sri Baginda membentak, “Cepat. Apakah kalian menunggu orang ini mati.”
Maka beberapa orang bersamaan telah
bergeser maju. Di antaranya adalah kedua penasehat Sri Baginda yang
berpihak kepada Pujang Warit. Namun leher mereka segera berkerut ketika
Sri Baginda membentaknya, “Kau berdua tetap di sini.”
Darah keduanya seakan-akan telah membeku
di dalam jantung, sehingga nafas mereka-pun seolah-olah tidak lagi mau
mengalir lewat lubang hidung mereka.
Dalam pada itu maka beberapa orang segera memapah Senapati muda itu, tepat ketika ia tidak lagi dapat mempertahankan duduknya.
Namun sebelum ia meninggalkan paseban ia
masih sempat berkata, “Ampun Tuanku. Kediri harus diselamatkan. Ternyata
bahwa Adinda Sri Baginda dan Menteri Gubar Baleman tidak bersalah
menurut penilaian hamba. Hanya mereka berdua sajalah, bersama-sama para
Senapati dan prajurit, akan dapat mempertahankan Kediri dari banjir
bandang yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.”
Sri Baginda berdiri tegak seperti patung. Dipandanginya Senapati yang semakin lemah itu kemudian diusung keluar paseban.
Ketika mereka telah hilang di balik
pintu, maka Sri Baginda itu-pun menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia melangkah mondar-mandir. Kepalanya menunduk
dalam-dalam.
Tiba-tiba Sri Baginda berkata dengan suara yang lemah, “Kita sudah dilepaskan oleh Yang Maha Agung karena keangkuhan kita.”
Tidak seorang-pun yang menjawab. Namun
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman dapat menangkap apa yang tersirat di
dalam hati Sri Baginda. Sri Baginda yang memiliki pandangan yang tajam,
telah dapat melihat dengan mata hatinya, apa yang kira-kira bakal
terjadi di Kediri.
“Selama ini hatiku telah digelapkan oleh
kebanggaan dan harga diri yang berlebihan,” desisnya. Namun tiba-tiba
Sri Baginda berhenti. Dipandanginya Mahisa Walungan dan Gubar Baleman
dengan tatapan mata yang suram.
“Apakah benar yang dikatakan oleh Senapati muda itu bahwa kau berdua benar-benar tidak akan memberontak?”
“Sudah hamba katakan Sri Baginda,” sahut
Gubar Baleman, “apa yang hamba berdua lakukan semata-mata atas dasar
kesetiaan hamba kepada Kediri dan Sri Baginda.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Aku minta maaf kepada kau berdua. Biarlah aku menanggung kutuk
atas sikapku ini. Aku telah menelan kembali ludahku. Sabda Pandita
Ratu. Namun aku akan tetap mencabutnya. Kalian aku bebaskan dari segala
hukuman.”
“Ampun kakanda,” suara Mahisa Walungan
tersendat-sendat, “tetapi yang lebih penting daripada itu, apakah hamba
diperkenankan kembali kepada pasukan hamba.”
“Aku tidak dapat memerintahkan kau
kembali ke pasukanmu, karena aku telah membuat kesalahan ini. Tetapi
kalau kau memaafkan aku, dan kau memang ingin membaktikan dirimu.
terutama Kepada Kediri, bukan kapadaku, aku akan sangat berterima kasih
kepadamu.”
“Kakanda Baginda,” Mahisa Walungan
tiba-tiba menengadahkan wajahnya, “Hamba mohon diri. Hamba akan pergi ke
pasukan hamba. Mudah-mudahan hamba tidak terlambat.”
Sri Baginda menganggukkan kepalanya. Dan
yang terdengar adalah uara Gubar Baleman, “Hamba-pun mohon diri pula,
Tuanku. Seandainya hamba masih berkesempatan, hamba alan menyerahkan
segala-galanya buat Kediri.”
Sri Baginda menjadi lemah, “Pergilah. Pergilah. Aku berdoa buat kau berdua dan buat Kediri.”
Mahesa Walungan dan Gubar Baleman tidak
menunggu lebih lama lagi. Sekali lagi mereka mohon diri, kemudian dengan
tergesa-gesa meninggalkan paseban. Di depan pintu ia masih sempat
memperhatikan wajah-wajah para Senapati yang memandanginya. Wajah-wajah
itu terasa banyak berbicara kepada mereka.
Penjaga pintu paseban mengerutkan
keningnya melihat Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Mereka tidak
mendengar jelas pembicaraan di dalam paseban, sehingga mereka menjadi
ragu-ragu dan bertanya-tanya di dalam hati, kenapa keduanya dibiarkan
keluar.
Namun sejenak kemudian seorang Senapati
muncul pula di belakang keduanya. Katanya kepada Mahisa Walungan, “Aku
mendapat perintah Sri Baginda untuk mengikuti kalian berdua, agar kalian
tidak mendapat kesulitan dari para penjaga di halaman ini.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Walungan singkat.
Dengan tergesa-gesa mereka segera pergi
ke halaman belakang. Mereka segera mencari kuda untuk mempercepat
perjalanan mereka bersama para prajurit yang telah mereda bawa dari
sebelah Utara Ganter.
Karena mereka tidak mendapat sejumlah
kuda sebanyak yang mereka perlukan maka ada di antara mereka, terpaksa
mempergunakan seekor kuda untuk dua orang prajurit.
Demikianlah akhirnya Mahisa Walungan dan
Gubar Baleman memacu kudanya secepat dapat dilakukan untuk mencapai
pasukan yang mereka tinggalkan di sebelah Utara Ganter.
Mereka sama sekali tidak memperhatikan
apa yang akan diakukan oleh Pujang Warit. Yang ada di dalam angan-angan
mereka, adalah banjir bandang yang datang dari Singasari melanda pasukan
mereka yang seakan-akan sedang kehilangan pegangan.
Demikianlah yang sedang terjadi di
sebelah Utara Ganter. Pasukan Singasari benar-benar bagaikan banjir yang
tidak tertahankan. Pasukan Kediri yang ada di perbatasan dengan susah
payah berhasil mundur sampai ke pertahanan pasukan Kediri. Tetapi karena
mereka seakan-akan kehilangan pegangan ketidak-tentuan di dalam tingkat
teratas dari pimpinan keprajuritan dan bahkan pemerintahan, maka
prajurit Kediri seakan-akan telah kehilangan sebagian dari kekuatannya.
Meskipun demikian pasukan Kediri telah
bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri, mempertahankan negeri
dan rajanya. Dengan sekuat-kuat tenaga mereka bertahan agar pasukan
Singasari tidak dapat maju lagi selangkah-pun dari sebelah Utara Ganter.
Namun Kediri tidak bertempur dengan
seluruh kekuatan. Beberapa ratus tonggak dari pertempuran itu . Pujang
Warit dengan pasukannya sedang menunggu. Mereka mengharap bahwa kedua
pasukan yang bertempur itu akan menjadi luka parah, sehingga
pasukannyalah yang akan dapat menguasai medan yang penuh dengan mayat
bergelimpangan dan bergelimang darah.
Matahari yang terik memanjat langit
semakin tinggi. Peperangan di sebelah Utara Ganter itu-pun berlangsung
dengan dahsyatnya. Pasukan Kediri yang ada telah bertempur dengan gagah
berani melawan pasukan Singasari yang menusuk langsung ke pusat gelar
mereka.
Namun pasukan Kediri itu hampir tidak
percaya ketika mereka melihat ujung pasukan lawan. Mereka semula tidak
menduga sama sekali, kalau pasukan itu terdiri dari orang-orang Kediri
sendiri. Namun di dalam pertempuran yang kemudian terjadi, lambat laun
satu dua dari mereka segera mengenal lawannya. Dan pengenalan mereka
itu-pun lambat laun telah menjalar keseluruh pasukan.
Bersambung ke jilid 55.
No comments:
Write comments