Itulah sebabnya, maka pada puncak
pertempuran itu, Mahisa Walungan yang kemudian terkejut bukan buatan.
Hampir ia tidak dapat mempercayai tangkapan matanya sendiri. Di dalam
cahaya matahari yang semakin tinggi, ia melihat bayangan yang
kemerah-merahan membara di atas kepala Ken Arok. yang bergelar Sri
Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Dalam kemarahan yang memuncak, maka warna
merah itu-pun menjadi semakin nyata, meskipun hanya dapat ditangkap
oleh orang-orang tertentu yang mempunyai sentuhan indera yang lebih baik
dari orang-orang kebanyakan, seperti Mahisa Walungan.
Namun akhirnya, Mahisa Walungan yang
mempunyai pandangan yang jauh dan matang terhadap dunia raya di
sekitarnya dan dunia kecil pada dirinya, segera dapat menanggapi
keadaan. Sebenarnyalah bahwa lawannya bukannya manusia kebanyakan. Di
sini ia melihat siapakah yang sebenarnya kekasih Yang Maha Agung. Bukan
karena lawannya Sri Rajasa adalah Sang Amurwabumi adalah orang yang
paling dikasihi oleh dewa-dewa. Tetapi orang itu, hanya sekedar alat
untuk menumbangkan ketamakan yang selama ini telah mencengkam Kediri.
“Bukan kakanda Sri Kertajaya,” berkata
Mahisa Walungan di dalam hatinya, “agaknya Kakanda Sri Kertajaya justru
telah dikutuk oleh dewa dengan perantaraan orang ini.”
Namun meskipun demikian, Mahisa Walungan
tidak menghentikan perlawanannya. Tetapi mata hatinya seolah-olah telah
melihat akhir dari peperangan ini. Karena itulah maka ia justru menjadi
tenang. Dihadapinya lawannya dengan penuh kesungguhan namun pasrah
kepada penciptanya Yang Maha Agung. Siapapun yng telah menggerakkan Sri
Rajasa, lahiriah maupun batiniah, namun semua itu pasti merupakan
pengejawantahan dari kehendak Yang Maha Tunggal, pusar dari semua
perputaran langit dan bumi, yang besar yang meliputi alam raya dan yang
kecil di dalam dirinya, namun juga yang menjadi sumber dari segala gerak
dan kehendak dewa-dawa di langit yang menjadi peraganya dalam segala
susunan dan kejadian.
Dalam pada itu, Gubar Baleman-pun telah
bertempur dengan sekuat tenaganya. Sebagai seorang Senapati tertinggi di
samping Mahisa Walungan, maka Gubar Baleman-pun adalah seorang yang
pilih tanding. Berpuluh tahun ia berguru di samping latihan-keprajuritan
yang matang, sehingga di dalam dirinya telah tersimpan bekal yang
rangkap untuk melakukan tugasnya. Dan kini ternyata bahwa ia adalah
Senapati yang mumpuni.
Di dalam peperangan ini ternyata ia
menjumpai seorang Senapati Singasari yang tidak disangkanya. Sebelumnya,
sebagai seorang Senapati tertinggi di kerajaan Kediri, ia mengenal
beberapa orang pemimpin Tumapel pada saat-saat Tunggul Ametung memegang
kekuasaan, karena Tumapel termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang
besar. Tetapi Gubar Baleman belum pernah mengenal orang ini. Bersamaan
dengan timbulnya Ken Arok di dalam tampuk pimpinan pemerintahan Tumapel
yang kemudian menyebut dirinya Kerajaan Singasari, ternyata telah timbul
pula beberapa orang perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Gubar Baleman telah mendengar pula, bahwa
Witantra telah tersisihkan. Namun ia tidak menyangka, bahwa telah lahir
seorang Senapati yang melampui kemampuan Witantra yang saat itu
merupakan orang yang paling disegani di Tumapel di samping Tunggul
Ametung sendiri.
Tetapi kini yang dihadapinya adalah
seorang Senapati yang bernama Mahisa Agni, yang pasti agak lebih muda
dari Witantra sendiri. Namun menurut penilaian Gubar Baleman, orang yang
bernama Mahisa Agni ini telah memiliki kemampuan puncak di dalam olah
kanuragan.
Dengan demikian maka perang di antara
kedua pasukan yang dipimpin oleh Senapati-senapati yang tangguh itu
menjadi semakin sengit. Hanya karena jumlahnya yang tidak seimbang
sajalah yang membuat pasukan Kediri selalu terdesak.
Sementara, api peperangan membakar medan
di sebelah Utara Ganter, pasukan yang berada di pinggir kota, yang
ditinggalkan oleh Pujang Warit menjadi gelisah. Mereka mengerti bahwa
Kediri terancam oleh bahaya yang benar-benar mencemaskan. Tetapi kini
mereka dibiarkan duduk bertopang dagu sambil menunggu.
“Apakah yang dilakukan oleh Pujang Warit di istana?” bertanya salah seorang dari para prajurit itu.
“Tidur. Mungkin ia tertidur.”
“Lalu apa yang dapat kami lakukan di sini.”
“Juga tidur.”
Mereka-pun terdiam. Beberapa orang
Senapati berjalan hilir mudik tidak menentu. Sekali-kali dipandanginya
sepasukan prajurit yang bertebaran di jalan-jalan dan di halaman-halaman
rumah. Sedang para penghuninya hanya berani mengintip dari celah-celah
daun pintu yang merenggang. Mereka menjadi sangat cemas karena mereka
mendengar bahwa api peperangan telah berkobar di sebelah Utara Ganter.
“Apa kerja mereka di sini?” bertanya seorang perempuan kepada suaminya yang telah sama-sama tua.
Suaminya menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Aku tidak tahu. Dahulu ketika aku muda, sepengetahuanku,
prajurit-prajurit itu berada di medan perang. Tetapi kini
prajurit-prajurit berada di jalan-jalan dan di halaman-halaman sambil
bertiduran.”
Tetapi mereka tidak berani bertanya, kenapa prajurit-pra-pint itu tidak berada di medan.
“Aku akan menyusul,” berkata seorang
Senapati di antara para prajurit yang gelisah itu, “sejak semula aku
sudah tidak setuju, bahwa pasukan ini ditarik dari medan. Sekarang, apa
yang harus kita lakukan? Kalau kita harus menyusun pertahanan terakhir,
kenapa kita dibiarkan saja tanpa perintah apapun?”
“Jangan,” kawannya memperingatkan, “lebih
baik kita ambil alih pimpinan selama Pujang Warit tidak ada. Kita susun
sendiri pertahanan di dalam dinding kota. Kita siapkan semua kekuatan
yang sekarang ada, sambil menunggu pasukan cadangan yang masih akan
berkumpul.”
“Aku tidak tahu, apakah kita telah
melakukan sesuatu yang benar dipandang dari sudut keprajuritan. Menurut
penilaianku, kalau kita gabungkan kekuatan kita dengan pasukan Adinda
Sri Baginda, maka kita pasti akan dapat membendung pasukan Singasari
itu.”
“Itu bukan persoalan kita.” jawab kawannya, “marilah kita manfaatkan waktu yang tersia-sia ini.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, “Siapakah yang tertua di antara kita, kami akan tunduk
pada pimpinannya.
Para prajurit yang dibawa oleh Pujang
Warit masuk ke kota itu-pun kemudian mengatur diri mereka sendiri di
bawah pimpinan seorang Senapati yang mereka anggap tertua. Bagaimana-pun
juga, namun jiwa prajurit Kediri yang mengalir di dalam dada mereka
telah memaksa mereka untuk berbuat sesuatu, justru pada saat Kediri
terancam.
Sementara itu, Pujang Warit yang berada
di istana sedang melakukan perang tanding melawan Sri Baginda Kertajaya.
Meskipun ia tidak pernah berangan-angan bahwa pada suatu ketika ia
medapat kehormatan untuk melakukannya namun di saat-saat ia tersudut di
dalam suatu keharusan, maka ia-pun benar-benar telah bertekad untuk
melakukan perang tanding sebaik-baiknya. Kalau ia kalah, ia pasti
benar-benar akan mati. Tetapi kalau ia mendapat kesempatan memenangkan
perang tanding itu, maka sudah tentu janji yang dibuat Sri Baginda akan
ditaati oleh para Senapati bawahan yang ada di lingkaran perang tanding
itu.
Demikianlah, maka perang tanding itu-pun
segera dimulai. Sri Baginda Kertajaya dengan pedang prajuritnya, melawan
Pujang Warit yang mempergunakan pedang pusakanya sendiri.
Mula-mula memang terasa canggung bagi
Pujang Warit untuk berkelahi melawan Sri Baginda. Tetapi Sri Baginda
yang melihat kecanggungan itu-pun berkata, “Perang tanding ini harus
adil. Karena itu jangan segan, sebab kalau pedangku menusuk dadamu, kau
akan benar-benar mati. Bukan sekedar berpura-pura mati.”
Pujang Warit menggeretakkan giginya untuk
mendapatkan keberanian sepenuhnya. Sejenak ia berusaha menghilangkan
segala macam kesan dan anggapannya terhadap Sri Baginda, “Ia manusia
biasa seperti aku.” geramnya di dalam hati.
Dengan demikian maka perlahan-lahan Pujang Warit dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengungkungnya.
Perang tanding itu-pun semakin lama
menjadi semakin seru. Ternyata Sri Baginda telah berusaha membangkitkan
nafsu pada lawannya untuk melawannya dengan sungguh-sungguh.
Ketika tangan Pujang Warit telah mulai
dibasahi oleh keringat maka tandangnya-pun menjadi semakin bebas.
Ternyata bahwa Pujang Warit memang seorang Senapati muda yang mempunyai
beberapa kelebihan. Gerakannya yang lincah dan tangguh, ayunan
senjatanya yang mantap dan serangannya yang cepat, telah meyakinkan para
prajurit yang melihat perang tanding itu, bahwa Pujang Warit bukanlah
seorang prajurit yang hampa.
Sri Baginda-pun semakin lama semakin
menyadari, bahwa lawannya memang mempunyai beberapa kelebihan dari para
Senapatinya yang lain. Dan kelebihan-kelebihan inilah agaknya yang telah
membuat Pujang Warit menjadi congkak, sehingga kehilangan keseimbangan.
Senapati muda ini merasa bahwa ia mempunyai kemampuan yang cukup untuk
memegang jabatan tertinggi di dalam tata keprajuritan di Kediri.
Tetapi Sri Baginda Kertajaya adalah
seorang raja yang perkasa. Itulah sebabnya, maka betapapun Pujang Warit
berusaha menekan Sri Baginda dengan serangan-serangan yang mengalir
seperti banjir, namun serangan-serangan itu hampir tidak berpengaruh
sama sekali atas kedudukan Sri Baginda.
Setelah perang tanding itu berjalan
beberapa lama, maka tampaklah perbandingan dari keduanya. Betapapun juga
Pujang Warit mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, namun ia sama
sekali tidak akan darat menembus pertahanan Sri Baginda yang serapat
perisai baja.
Debar di dada Pujang Warit semakin lama
menjadi semakin cepat. Ternyata bahwa Sri Baginda benar-benar seorang
raja yang tidak saja pandai memerintah, tetapi juga memiliki kemampuan
untuk memaksakan perintahnya.
“Jangan sekedar bermain-main Pujang
Warit. Aku bersungguh-sungguh. Anggaplah bahwa aku adalah pemangku
jabatan penglima tertinggi pasukan Kediri yang kau inginkan itu, karena
sebenarnyalah bahwa Mahisa Walungan tidak ada bedanya dengan aku
sendiri. Kami adalah saudara kandung dan saudara seperguruan. Ilmuku
sama dengan ilmu Mahisa Walungan. Kemampuannya sama dengan kemampuanku.
Bahkan ia agak lebih muda daripadaku, sehingga kekuatan jasmaniahnya
masih lebih baik daripadaku.”
Pujang Want menggeram. Kelincahannya tidak berhasil menembus putaran pedang Sri Baginda.
“Aku tidak akan dapat mengalahkannya dengan wantah,” katanya di dalam hati.
Sekilas terlintas di angan-angannya
kekuatan yang oleh gurunya diturunkannya kepadanya. Kekuatan yang
melampaui kekuatan jasmaniah yang tampak. Gurunya telah memberikan ilmu
kepadanya, untuk membangunkan segenap kekuatan yang ada di dalam
dirinya. Tenaga cadangan yang tersimpan, yang tidak pada setiap orang
dapat dikuasai dan dipergunakan, pada Pujang Warit kekuatan itu sudah
dapat dibangunkannya.
Itulah sebabnya, maka ketika ia merasa
bahwa ia tidak lagi berpengharapan untuk memenangkan perang tanding itu
dengan cara yang wajar, maka ia-pun telah bertekad untuk membangunkan
ilmu yang dimilikinya dari perguruannya.
“Aku tidak mau mati,” katanya di dalam
hati, “seandainya setelah memenangkan perang tanding ini para Senapati
pengawal tidak mentaati taruhan Sri Baginda, apa boleh buat. Tetapi
tanpa berbuat begitu-pun aku akan mati pula di arena ini. Sedang mati
itu tidak akan dapat terulang sampai dua kali.”
Dengan demikian, maka Pujang Warit-pun berketetapan hati untuk mengakhiri perang tanding itu dengan ilmunya yang dahsyat.
Sejenak kemudian Pujang Warit itu-pun
melangkah surut. Sekejap ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan
batinnya, sehingga tampaklah seakan-akan dari ubun-ubunnya mengepul uap
yang putih. Demikian mapannya ia menguasai ilmunya, sehingga ia sama
sekali tidak membuang waktu terlampau banyak. Ketika kemudian ia
menggeretakkan giginya. maka kekuatan pamungkasnya itu-pun sudah
terbangun dan mengulir di seluruh tubuhnya.
Sri Baginda yang memiliki ilmu hampir
sempurna segera melihat, bahwa lawannya telah membangunkan ilmunya yang
tertinggi. Ungkapan segenap kekuatan yang ada di dalam diri, agaknya
benar-benar akan merupakan kekuatan yang luar biasa, sehingga dengan
demikian Sri Baginda tidak akan dapat melawannya dengan kekuatan
wajarnya.
Tetapi Sri Baginda Kertajaya, Maharaja di
Kediri, yang bahkan pernah merasa dirinya titisan dewa itu-pun memiliki
kemampuan yang melampaui kemampuan manusia kebanyakan, di saat-saat ia
merasa bahwa ia tidak akan mungkin melawan puncak kekuatan dan ilmu
lawannya dengan tenaga wajarnya itulah maka Sri Baginda-pun segera
membangunkan ilmunya yang dirasanya akan dapat melindungi dirinya.
Sri Baginda Kertajaya masih belum tahu
dengan pasti, betapa jauh Pujang Warit sudah berhasil menguasai dirinya
sendiri. menguasai segala kekuatan yang ada pada dirinya. Karena itu,
maka Sri Baginda tidak akan mau menjadi korban penjajagannya. Itulah
sebabnya, maka Sri Baginda Kertajaya-pun segera mengerahkan segenap
kemampuan dan kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Apalagi Sri Baginda yang telah berperang
tanding beberapa waktu itu kemudian berkata kepada diri sendiri, “Memang
aku harus segera mengakhiri perang tanding ini, agar aku mendapat
kesempatan untuk memikirkan medan di sebelah Utara Ganter itu. Pujang
Warit ternyata memang sudah tidak dapat diharapkan lagi. Supaya anak ini
tidak akan menjadi penghalang untuk seterusnya, maka sebaiknya anak ini
harus segera disingkirkan.”
Pada saat itulah, Pujang Warit yang kini
sudah menyandang aji pamungkasnya itu-pun meloncat sambil berteriak
nyaring. Pedangnya terayun deras sekali langsung mengarah kepundak Sri
Baginda Kertajaya. Ayunan pedang yang dilambari oleh kekuatan yang
hampir tidak terkatakan, betapa besarnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat serangan
yang datang dengan kekuatan raksasa itu. Karena itu, maka ia-pun segera
bergeser selangkah. Untuk mengetahui kekuatan Pujang Warit, maka Sri
Baginda-pun mengajunkan pedangnya pula, membentur pedang Pujang Warit.
Sekejap kemudian terjadilah benturan itu. Benturan antara dua kekuatan raksasa yang dahsyat.
Para Senapati dan prajurit yang
melingkari arena itu berdiri dengan mulut ternganga menyaksikan apa yang
telah terjadi. Para Senapati yang menjadi saksi utama dari perang
tanding itu-pun tegak mematung dengan tatapan mata yang tidak berkedip.
Benturan itu ternyata telah menaburkan bunga api yang memercik dari kedua senjata yang sedang beradu itu.
Namun ternyatalah kemudian bahwa kedua
bilah pedang itu memang berbeda. Pujang Warit yang kemudian meloncat
setapak surut sambil menyeringai karena sengatan yang pedih di
tangannya, masih berhasil mempertahankan pedangnya. Dengan wajah yang
tegang ia melihat Sri Baginda Kertajaya berdiri termangu-mangu sambil
memandangi senjatanya. Ternyata pedang yang ada di dalam genggaman Sri
Baginda itu telah patah di tengah.
Pedang yang patah itu agaknya telah
mengejutkan semua orang yang ada di sekitar arena. Para Senapati yang
menjadi saksi dari perang-tanding itu tiba-tiba menjadi pucat. Mereka
menyadari ketentuan yang berlaku, bahwa seseorang yang kehilangan
senjatanya di dalam perang tanding, tidak akan mendapatkan senjata
pengganti.
Dan kini ternyata pedang Sri Baginda Kertajaya itu telah patah.
Pujang Warit memandangi pedang yang patah
itu sejenak. Sekilas tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa
seandainya pedang Sri Baginda itu tidak patah, maka pedangnya sendirilah
yang akan terloncat dari genggaman karena benturan kekuatan itu.
Bagaimana-pun juga Pujang Warit harus
mengakui, bahwa kekuatan Sri Baginda masih belum dapat diimbanginya.
Meskipun ia telah mengerahkan segenap kekuatan dan kekuatan cadangan
yang telah dikuasainya, namun ternyata Sri Baginda masih jauh lebih
perkasa.
Tetapi kini pedang Sri Baginda itu telah patah.
Bersamaan waktunya dengan patahnya pedang
Sri Baginda, pasukan Kediri di medan perang Ganter telah terdesak jauh
kebelakang. Betapa para prajurit Kediri berjuang tanpa mengenal
menyerah, tetapi semakin lama semakin tampak, bahwa Singasari mempunyai
cukup kemampuan untuk mendesak dan perlahan-lahan tetapi pasti
menghancurkan pasukan Kediri.
Mahisa Walungan yang ada di ujung
pasukan, dan sedang bertempur melawan Sri Rajasa, menjadi sangat
berprihatin atas korban yang berjatuhan tak terhitung lagi. Tetapi ia
tidak dapat berbuat apa-apa karena lawannya sendiri adalah seorang yang
aneh. Bahkan Gubar Baleman-pun kemudian menjadi cemas. Apakah pasukan
Kediri benar-benar akan pecah?
Sebagai seorang prajurit Gubar Baleman
telah berbuat sebaik-baiknya. Seorang melawan seorang Gubar Baleman
ternyata dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Agni yang perkasa. Mahisa
Agni yang telah berhasil menempatkan dirinya, sejajar dengan gurunya dan
dengan orang-orang yang berada di dalam lapisan tertinggi dari ilmu
olah kanuragan.
Tetapi ternyata Senapati Kediri itu-pun
memiliki kemampuan yang seimbang. Sehingga dengan demikian pertempuran
itu-pun menjadi semakin lama semakin seru. Darah menjadi semakin banyak
mengalir, membasahi tanah yang berdebu.
Panas yang semakin terik telah membakar
padang yang merah oleh darah. Tetapi keringat yang membasahi tubuh para
prajurit itu bagaikan minyak yang menitik ke dalam api, dan membuat
nafsu mereka semakin menyala-nyala. Hanya ada dua kemungkinan di dalam
peperangan, membunuh atau dibunuh.
Sri Baginda Kertajaya. meskipun tidak
menyaksikan peperangan itu, namun ia dapat membayangkan apa yang telah
terjadi. Karena itu ia merasa wajib untuk segera membantu. Tetapi kini
pedangnya justru patah.
Pujang Warit yang melihat pedang Sri
Baginda patah, dan setelah pedih di tangannya oleh benturan kedua
senjata itu menjadi berkurang, tiba-tiba saja merasa bahwa ia sudah
berdiri di ambang pintu kemenangan. Selangkah lagi ia maju maka ia akan
dapat memenangkan perang tanding ini. Perang tanding yang mempertaruhkan
segala-galanya yang paling berharga di Kediri.
Karena itu oleh perasaannya yang
meluap-luap, tiba-tiba Pujang Warit kehilangan pengamatan diri. Ia
merasa seolah-olah ia sudah menggenggam taruhan yang disediakan oleh Sri
Baginda. Karena itu, maka Senapati muda itu mengacukan pedangnya dengan
tangan kanan ke arah Sri Baginda, sedang tangan kirinya bertolak
pinggang sambil tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia
berkata, “Nah. Sri Baginda Kertajaya. Jangan menyesal bahwa hari-hari
akhirmu sudah tiba. Kau ternyata telah ditelan oleh ketamakanmu sendiri.
Kau yang merasa dirimu titisan dewa tertinggi, kini harus bersimpuh di
hadapanku. Sebagai seorang Maharaja kau tidak dapat mengingkari apa yang
sudah kau katakan. Taruhan dari perang tanding ini bukan saja nyawa
kita, tetapi juga kekuasaan Tunggal di Kediri.”
Sri Baginda Kertajaya sejenak diam
mematung melihat sikap Pujang Warit. Dengan penuh keheranan ia
menyaksikannya tertawa terbahak-bahak sambil bertolak-pinggang.
“Apakah anak ini sudah menjadi gila?” bertanya Sri Baginda di dalam hatinya.
“Kertajaya,” Pujang Warit berteriak,
“sebaiknya kau menyerah. Aku tidak akan membunuhmu dengan
sewenang-wenang. Aku akan melaksanakan hukuman matimu dengan cara yang
paling terhormat. Sedang saudara-saudara perempuanmu tidak akan menjadi
tersia-sia. Tetapi kalau kau tetap berkeras hati melawan aku dan
melanjutkan perang tanding ini, maka kau akan mati di tengah-tengah
arena sebagai seekor ayam yang kalah dalam aduan.”
Keheranan Sri Bagmda kemudian telah
memuncak. Perlahan-lahan perasaan heran itu telah berubah menjadi
kemarahan yang semakin membakar dadanya. Sikap Pujang Warit tiba-tiba
menjadi degsura. Tidak lagi sebagai sikap seorang Senapati terhadap
rajanya.
“Apa katamu Kertajaya?”
Sri Baginda memandang berkeliling sesaat. Dilihatnya wajah-wajah yang tegang dan cemas menyaksikan perang-tanding itu.
“Aku tidak tahu. kenapa kau tiba-tiba
saja mengigau Pujang Warit?” berkata Sri Baginda kemudian, “kenapa
tiba-tiba saja kau menganggap bahwa perang tanding ini sudah selesai,
sedang aku masih berdiri tegak di sini? Kalau karena pedangku patah, kau
mengambil kesimpulan bahwa aku tidak akan mampu melawanmu lagi, agaknya
kau keliru. Bukankah pedangku masih separo? Tentu yang separo ini
justru menjadi lebih kuat. Karena daun pedang ini lebih pendek, maka ia
pasti tidak akan patah lagi. Nah, daripada kau mengigau, marilah, kita
lanjutkan saja perang tanding ini.”
“He,” Pujang Warit yang sedang dicengkam
oleh mabuk kemenangan itu menyahut, “kenapa kau tidak mau melihat
kenyataan ini? Dengan pedang yang utuh kau tidak dapat memenangkan
perang tanding ini. Apalagi dengan pedang buntungmu itu.”
“Jangan banyak bicara,” Sri Baginda
akhirnya kehilangan kesabaran, “marilah kita lihat akhir dari perang
tanding ini. Aku tidak mempunyai banyak kesempatan lagi melayani orang
yang sedang mabuk seperti kau ini. Sementara ini aku harus segera pergi
ke Utara Ganter untuk menolong Mahisa Walungan dan Gubar Baleman.”
Pujang Warit mengerutkan keningnya. Ia
tidak melihat kecemasan membayang di wajah Sri Baginda. Dan para
Senapati serta para prajurit-pun menjadi heran. Sri Baginda masih tetap
tenang dan sama sekali tidak terpengaruh oleh pedangnya yang patah.
“Apakah kau akan berbuat curang?”
bertanya Pujang Warit, “apakah kau berhasrat mengganti senjatamu? Itu
tidak dibenarkan oleh ketentuan perang tanding bagi para kesatria.”
“Siapa yang bilang bahwa aku akan
mengganti senjataku? Aku akan mempergunakan senjataku yang patah ini.
Ini justru akan lebih baik bagiku,” jawab Sri Baginda.
Mata Pujang Warit yang kemerah-merahan
menjadi semakin merah dibakar oleh kemarahan di dalam dadanya. Sri
Baginda Kertajaya yang sudah kehilangan senjatanya itu masih juga berani
menengadahkan dadanya. Karena itu, maka sambil menggeretakkan giginya
ia berkata, “Maharaja Kertajaya yang sudah kehilangan wahyu. Kau sudah
tidak berhak lagi untuk menengadahkan wajahmu di hadapan rakyat Kediri.
Sudah sampai waktunya kau berlutut sambil menundukkan kepalamu. Akulah
yang akan memotong lehermu di hadapan para Senapati dan prajurit
pengawal.”
Kemarahan Sri Baginda-pun hampir-hampir
tidak tertahankan lagi. Tetapi sebagai seorang Maharaja, ia tidak dapat
berbuat sekasar Pujang Warit. Karena itu maka ia hanya dapat menjawab,
“Marilah kita buktikan.”
Pujang Warit yang masih berdiri bertolak
pinggang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia-pun terpaksa
berkepanjangan untuk melepaskan kemarahannya yang menyesak, “kau memang
seorang raja yang paling bodoh yang pernah aku kenal.”
Sri Baginda tidak menyahut. Tetapi justru
karena kemarahan yang memuncak, maka seluruh kekuatan yang ada di dalam
dirinya telah terungkat. Dengan tangan gemetar menggenggam pedangnya
yang patah Sri Baginda melangkah setapak demi setapak maju. Ditatapnya
Pujang Warit dengan tajamnya. Namun kemudian ia membentak, “Pujang
Warit. Jangan lengah.”
Suara Pujang Warit-pun segera terputus. Ia melihat Sri Baginda menjadi semakin dekat.
Kini Pujang Warit menghadap kepada Sri
Baginda. Wajahnya menjadi semakin menyala, sedang pedangnya kini
terjulur lurus ke depan. Sejenak ia memandang Sri Baginda, namun sejenak
kemudian ia-pun meloncat maju menyerang dengan garangnya.
Sri Baginda menyadari bahwa Pujang Warit
masih berada di dalam puncak kekuatannya. Ia masih mempergunakan aji
pamungkasnya. Karena itu, maka Sri Baginda-pun harus menyesuaikan
dirinya pula.
Ternyata kemudian, bahwa meskipun pedang
Sri Baginda tinggal sepotong, namun Sri Baginda masih dapat
mempergunakannya dengan baik. Sambil memiringkan tubuhnya Sri Baginda
memukul ujung pedang Pujang Warit kesamping.
Sekali lagi sebuah benturan yang dahsyat
telah terjadi. Sekali lagi bunga-api memercik keudara. Namun pedang yang
tinggal sepotong itu memang tidak patah lagi.
Pujang Warit yang merasa senjatanya masih
utuh, segera melakukan serangan beruntun. Kalau ia ingin menang, maka
ia harus segera mengakhiri perang-tanding itu, selagi Sri Bnginda masih
dicengkam oleh keadaan yang mengecilkan hati itu.
Namun ternyata bahwa pedang yang patah itu sama sekali tidak berpengaruh apapun kepadanya.
Maka sejenak kemudian perang tanding
itu-pun berlangsung semakin sengit. Kini mereka mempergunakan
puncak-puncak dari ilmu mereka sehingga setiap gerak dan ayunan senjata
mereka, tampak menjadi lebih garang dan lebih dahsyat.
Tidak seorang-pun berani mendekati arena.
Sebenarnya bukan hanya Pujang Warit sajalah yang mampu menampakkan ilmu
yang dahsyat yang tersimpan pada diri mereka. Tetapi ternyata bahwa
Pujang Warit mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan di dalam dirinya
itulah yang telah membuatnya menjadi sombong.
Dengan demikian, kini di arena itu sedang
bertempur dua orang yang telah dicengkam oleh ketamakannya
masing-masing. Sri Baginda Kertajaya, meskipun di saat-saat terakhir ia
menyadarinya, betapa ia telah kehilangan pegangan, melawan Pujang Warit.
Namun bagi mereka yang memiliki
pengamatan yang tajam, segera dapat melihat, bahwa meskipun Sri Baginda
mempergunakan pedang yang patah, namun kemampuan Pujang Warit masih
belum dapat menyamainya. Apalagi apabila keduanya mempergunakan senjata
yang seimbang. Maka Pujang Warit akan segera merasai kesulitan dari
perang tanding itu.
Sri Baginda yang mempergunakan pedang
yang patah itu-pun kemudian telah berusaha untuk segera mengakhiri
perang tanding. Geraknya menjadi semakin cepat, dan serangannya menjadi
semakin garang.
Pujang Warit mengumpat-umpat di dalam
hati. Meskipun lawannya hanya mempergunakan pedang yang patah, namun ia
masih mampu bertempur seperti seekor burung garuda.
Betapa Pujang Warit mempergunakan aji
pamungkasnya namun kekuatan manusia memang terbatas. Demikian pula
kekuatan yang ada di dalam dirinya. Setelah beberapa saat ia memeras
segenap tenaga yang ada di dalam dirinya, bahkan segenap tenaga
cadangannya, namun masih belum juga berhasil mengalahkan lawannya,
tampaklah bahwa kekuatan yang ada di dalam dirinya menjadi semakin lama
semakin surut.
Dengan demikian maka Pujang Warit-pun
menjadi semakin terdesak pula karenanya, sehingga pada suatu saat Pujang
Warit merasa bahwa kemenangan yang sudah terbayang itu-pun menjadi
semakin kabur kembali, sejalan dengan nalarnya yang menjadi semakin
kabur pula, sehingga susunan tata perkelahiannya-pun menjadi semakin
kehilangan arah.
Sejenak kemudian Sri Baginda merasa bahwa
saatnya telah tiba. Apalagi ingatannya tentang pasukan di sebelah Utara
Ganter yang pasti memerlukan bantuan. Karena itulah, maki betapa
beratnya hati Sri Baginda, namun ia harus mengakhiri perang tanding itu.
Maka dengan garangnya Sri Baginda-pun
menyerang lawannya dengan segenap kemampuannya yang meskipun sudah susut
pula, namun masih jauh melampaui kekuatan Pujang Warit. Kedua senjata
yang masih saja tetap berbenturan itu, menjadi semakin nyata bahwa
Pujang Warit hampir-hampir tidak berdaya lagi melawan kekuatan Sri
Baginda, meskipun pedang Sri Baginda patah dan tajamnya telah kikis.
namun di saat-saat terakhir senjata itu bagaikan paruh burung rajawali
yang mengitari dahi Pujang Warit.
Ketika Pujang Warit terdorong oleh
benturan kedua senjata itu. dan terhuyung-huyung beberapa langkah surut
Sri Baginda meloncat maju.
Pujang Warit tidak dapat berbuat lain
karena keseimbangannya terganggu. Yang dilakukan kemudian adalah
menjulurkan pedangnya lurus-lurus. Ia merasa bahwa senjatanya itu lebih
panjang dari senjata Sri Baginda, sehingga Sri Baginda tidak akan dapat
mencapainya dengan senjata patah itu.
Tetapi Sri Baginda berhasil menggeliat
dan mengekang diri. Dengan daun pedangnya yang separo itu ia memukul
Pedang Pujang Warit yang belum berhasil menguasai keseimbangannya
sepenuhnya itu, sehingga Pujang Warit berputar setengah lingkaran.
Sri Baginda tidak menunggu lebih lama
lagi. Dengan sebuah loncatan panjang ia menjulurkan pangkal pedangnya ke
atas lambung lawannya.
Namun Pujang Warit tidak menyerah begitu
saja. Ia tidak membiarkan lambungnya berlubang oleh pangkal pedang.
Karena itu, justru ia membanting dirinya untuk menghindari tusukan
lawannya.
Sri Baginda terkejut melihat cara Pujang
Warit menghindar. Dengan tangkasnya Sri Baginda meloncat memburu Pujang
Warit yang sedang berguling. Tetapi langkahnya-pun tertegun karena
sambil berbaring Pujang Warit mengayunkan pedangnya mendatar.
Sri Baginda yang berdiri selangkah dari
Pujang Warit terpaksa meloncat menghindari sambaran pedang pada mata
kakinya itu. Ternyata bahwa Pujang Warit masih berusaha melawan
sekuat-kuat tenaganya.
Serangan itu agaknya telah memberi
kesempatan Pujang Warit untuk sekali lagi berguling kemudian melenting
dengan tangkasnya, berdiri di atas kedua kakinya.
Namun begitu kedua kakinya menjejak tanah, maka terasalah sesuatu menyengat lambungnya, sehingga ia-pun menyeringai karenanya.
Pujang Warit tidak sempat berbuat apapun
ketika pedang Sri Baginda yang tinggal separo itu menghunjam di
lambungnya. Geraknya yang terlampau cepat, telah berhasil menembus
pertahanan Senapati muda yang masih menggenggam pedang.
Tetapi Pujang Warit tidak sempat lagi
mengayunkan pedangnya yang masih belum cacad sama sekali itu. Ketika Sri
Baginda menarik pedangnya yang patah itu, darah menyembur dari luka di
lambung Pujang Warit.
Senapati muda itu masih mencoba untuk
berdiri. Tetapi kekuatannya serasa telah larut. Namun demikian justru di
saat-saat terakhir itu ia benar-benar telah menjadi mabuk. Pujang Warit
sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang terjadi atas dirinya.
Selama ini ia sudah merasa menggenggam kemenangan, bahkan seakan-akan ia
sudah menerima taruhan yang dijanjikan oleh Sri Baginda, kekuasaan
tertinggi di Kediri.
Kalau tiba-tiba pedang Sri Baginda
menembus lambungnya, itu adalah suatu kejutan yang tidak masuk di
akalnya, sehingga meskipun kekuatannya telah lenyap, namun ia sama
sekali tidak mau menerima kenyataan itu.
Di saat-saat tubuhnya sudah demikian
lemahnya, sehingga ia jatuh berjongkok di atas lututnya dan bersandar
pada ke dua belah tangannya, ia masih berteriak, “He, Kertajaya,
menyerahlah. Akulah yang akan menjadi Maharaja di Kediri. Ayo kalian
prajurit, berlutut. Berlutut.”
Para prajurit yang berdiri mengitari
arena itu diam mematung. Mereka memandang mata Pujang Warit yang merah
dan liar. Namun demikian, tumbuhlah perasaan iba dan kasihan di hati
mereka melihat akhir yang sama sekali tidak dikehendaki dan tidak
diduga-duga sama sekali.
Perlahan-lahan Sri Baginda maju
selangkah. Ditatapnya wajah Pujang Warit yang kian menjadi pucat.
Tubuhnya-pun kemudian menjadi semakin menggigil. Sehingga sejenak
kemudian ia sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk berjongkok pada
lututnya.
Perlahan-lahan tubuh Pujang Warit itu-pun terkulai di tanah. Darah yang merah masih saja mengalir dari lambungnya.
“He. He,” ia masih mencoba berteriak, “akulah Maharaja Kediri sekarang.”
Sri Baginda berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ya, kaulah Sri Maharaja di Kediri.”
“Ayo berjongkok di hadapanku.”
“Aku sudah berjongkok.”
Pujang Warit mencoba mengangkat wajahnya
dan membuka matanya yang semakin merah. Dilihatnya Sri Baginda
berjongkok di sampingnya.
Setiap dada berdesir karenanya, ketika
mereka melihat Pujang Warit itu tersenyum. Perlahan-lahan kepalanya
terangguk-angguk. Namun kemudian kepala itu-pun menjadi semakin lemah.
Perlahan-lahan Pujang Warit meletakkan kepalanya yang sudah tidak
terangkat lagi oleh lehernya. Dan sekejap kemudian, maka terdengarlah
tarikan nafasnya yang terakhir. Pujang Warit telah terbunuh di arena
perang tanding oleh ketamakannya sendiri.
Sri Baginda Kertajaya-pun kemudian
berdiri perlahan-lahan. Untuk pertama kalinya ia melakukan perang
tanding melawan seorang Senapatinya sendiri, karena hukuman yang
dijatuhkannya kepada dirinya sendiri.
“Singkirkan orang ini,” berkata Sri
Baginda, “kuburkan ia baik-baik. Nafsunya telah menjerumuskannya ke
dalam kesulitan. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh
Kediri.”
Ketika Sri Baginda kemudian memalingkan
wajahnya dan memandang dua orang penasehatnya yang telah memberi
kesempatan kepada Pujang Warit untuk merampas kedudukan keprajuritan
yang tertinggi dengan nasehat-nasehatnya yang menyesatkan, maka kedua
orang itu merasa, seolah-olah seluruh tulang belulangnya telah dicopoti.
Keduanya sama sekali tidak mempunyai perisai apapun juga selain Pujang
Warit. Dan kini Pujang Warit telah terbunuh.
Sambil berlutut mereka merayap ke hadapan
Sri Baginda sambil menyembah, “Ampun Tuanku. Ampunkan kami. Kami telah
menyadari segala kesalahan kami.”
Sri Baginda memandang keduanya dengan
sorot mata yang seakan-akan membara. Dengan suara yang parau Sri Baginda
berkata, “Kalian adalah pengecut yang paling licik, masih lebih
menghargai Pujang Warit yang berani mempertanggung jawabkan kesalahannya
sebagai seorang jantan. Tetapi kalian?”
“Ampun Tuanku. Yang dapat hamba lakukan hanyalah mohon kasihan Tuanku.”
Sri Baginda termenung sejenak. Kemudian
katanya kepada penasehatnya yang lain, “Apakah kata paman tentang kedua
orang kawan paman ini?”
Penasehat yang tertua menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Tuanku keduanya telah mencemarkan nama baik para penasehat Tuanku.”
“Hukuman apakah yang pantas dijatuhkan atas mereka?”
Penasehat itu tidak menyahut.
Sejenak kemudian Sri Baginda berpaling
kepada Senapati yang menjadi saksi utama dalam perang tanding ini.
Katanya, “Keduanya adalah pengkhianat. Akibatnya terasa oleh seluruh
rakyat Kediri.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya.
“Hukuman apakah yang pantas bagi keduanya aku serahkan kepada kalian.”
“Ampun Tuanku. Ampun,” keduanya berteriak hampir berbareng.
Tetapi Sri Baginda tidak menghiraukannya.
Karena tiba-tiba saja Sri Baginda berkata lantang, “Sediakan kudaku.
Ambillah pusakaku. Aku akan menangani sendiri pasukan yang telah
diracuni oleh Pujang Warit. Aku akan membawa mereka ke sebelah Utara
Ganter. Akulah yang paling pantas untuk melawan Akuwu Tumapel yang telah
memberontak dan menamakan dirinya Sri Rajasa Batara Sang Amurwa-bumi
itu.”
Beberapa orang Senapati saling
berpandangan. Tetapi tidak seorang-pun yang beranjak dari tempatnya,
sehingga Sri Baginda harus mengulanginya, “Ambil kudaku.”
“Tetapi tuanku,” seorang Senapati memberanikan diri untuk bertanya, “apakah Tuanku sendiri akan maju ke medan perang?”
“Ya,” jawab Sri Baginda.
“Tuanku. Kami masih ada di halaman istana
ini. Apakah Tuanku tidak memerintahkan saja kepada kami, agar kami
berangkat ke peperangan?”
“Aku sendiri akan menguasai lebih dahulu orang-orang Pujang Warit supaya tidak timbul persoalan baru.”
“Tuanku dapat memerintah kami. “
“Kali ini aku sendiri akan pergi. Cepat. Ambil kudaku.”
Para Senapati itu tidak dapat membantah
lagi. Namun demikian salah seorang yang lain berkata, “Apakah Tuanku
berkenan, kami ikut serta bersama dengan Tuanku?”
Sri Baginda berpikir sejenak. Lalu,
“Baiklah. Tetapi kalian harus mengatur diri, sehingga sebagian dari
kalian tetap berada di dalam halaman istana ini.”
“Hamba Tuanku. Kalau begitu perkenankanlah kami mempersiapkan diri.”
Sejenak kemudian halaman istana itu-pun
segera menjadi sibuk. Beberapa orang pengawal telah mempersiapkan diri
mereka untuk mengikuti Sri Baginda kepinggir kota.
Ketika mereka sudah siap dengan kuda masing-masing, maka Sri Baginda-pun segera berkata, “Marilah, kita tidak mau terlambat.”
Maka Sri Baginda-pun segera meloncat ke
punggung kudanya. Dengan sebuah sentuhan cemeti, maka kuda itu-pun
segera meloncat berlari sekencang-kencangnya diikuti oleh para Senapati
dan prajurit pengawal istana.
Derap kuda-kuda itu-pun segera menggema
di jalan-jalan raya. Sri Baginda kali ini hampir tidak ditandai oleh
kelengkapan kebesarannya, selain pusakanya yang berbentuk tombak dengan
sehelai panji-panji kecil, sebuah panji-panji yang terikat pada tunggul
yang berwarna keemasan, berbentuk seekor gajah dengan belalainya yang
mencuat keatas dan sebuah payung pusaka, yang juga berwarna kuning
keemasan, masing-masing dibawa oleh seorang Senapati pengiring.
Beberapa orang yang melihat-lihat
iring-iringan itu menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Ciri-ciri itu
adalah ciri kebesaran Sri Baginda meskipun tidak lengkap.
“Apakah Sri Baginda sendiri turun ke medan perang?” mereka menjadi saling bertanya.
“Ya. Aku pasti. Yang paling depan adalah Sri Baginda.”
“Bukan. Bukan yang paling depan,” bantah
yang lain, “yang paling depan adalah seorang Senapati pengiring. Sri
Baginda memang ada di dalam pasukan berkuda itu, tetapi yang nomor dua
dari depan. Bukan yang paling depan.”
“Yang membawa tombak.” sahut yang lain.
“Pasti bukan, yang membawa tombak, panji-panji dan sosong itu adalah Senapati pengiring.”
“Oh, kita tidak akan dapat melihat Sri
Baginda,” berkata yang lain, “Baginda adalah titisan dewa-dewa. Kita
pasti akan selalu berselisih pendapat, karena sebenarnya Sri Baginda
tidak dapat kita ketahui dengan pasti, karena Sri Baginda mampu
mengaburkan dirinya sendiri dalam segala bentuk.”
Yang lain tidak menyahut lagi. Sebagian
dari mereka percaya bahwa Sri Baginda adalah titisan dewa, sehingga ia
dapat menyamar dirinya dalam bentuk apapun yang dikehendaki.
Demikianlah maka kuda-kuda itu-pun
kemudian berderap dengan cepatnya di atas tanah berbatu-batu melemparkan
debu yang putih, mengepul di belakang kaki-kaki kuda yang sedang
berpacu itu.
Di pinggir kota pasukan yang ditinggalkan
Pujang Warit telah benar-benar dicengkam oleh kegelisahan yang semakin
memuncak. Mereka kini sudah tidak tahu lagi. apa yang harus mereka
kerjakan. Padahal mereka tahu pasti, bahwa sebagian prajurit Kediri
sedang bertempur mati-matian melawan prajurit, Singasari yang lebih
besar jumlahnya.
Yang dapat mereka lakukan adalah membangun pertahanan sementara sambil menunggu kedatangan Pujang Warit.
Ketika seorang pengawas melihat beberapa
ekor kuda berderap mendekati pasukan, maka segera ia berteriak, “Mungkin
yang datang itulah Senapati Pujang Warit.”
Senapati tertua di antara mereka, bersama
beberapa orang Senapati yang lain segera berlari-lari untuk melihat
mereka yang baru datang. Namun tiba-tiba salah seorang berkata, “Kau
lihat songsong pusaka yang berwarna kuning emas?”
“Ya,” desis kawannya, “baru saja aku akan melihatnya.”
“Apakah Sri Baginda sendiri?”
“Atau Pujang Warit sudah mendapat
wewenang? Kalau demikian maka songsong pusaka itu bernilai lebih tinggi
dari songsong kebesaran yang dipergunakan oleh Mahisa Walungan, sehingga
Pujang Warit berhak memimpin segenap pasukan Kediri. Mahisa Walungan
dan Gubar Baleman harus tunduk di bawah perintahnya.”
“Tetapi kau lihat panji-panji kecil pada tombak pusaka itu, dan sekaligus panji-panji pada tunggul Kiai Gajah?”
“Itu adalah kelengkapannya.”
“Tetapi itu sama sekali bukan Pujang Warit,” berkata seorang prajurit.
“Sri Baginda, Sri Baginda sendiri,” berkata seseorang hampir berteriak.
Semua-pun segera terdiam. Mereka kini
melihat, bahwa orang yang berkuda di paling depan, didampingi oleh
Senapati pengapit itu adalah Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Darah para prajurit itu-pun serasa hampir
membeku. Ada beberapa persoalan yang bergolak di dada mereka. Namun
salah seorang dari mereka bergumam, “Apakah Pujang Warit dianggap
bersalah dan Sri Baginda sendiri datang kemari? “
“Atau Pujang Warit ada juga di dalam pasukan kecil itu?”
Sejenak kemudian semua orang justru terdiam. Meleka melihat iring-iringan itu menjadi semakin dekat.
Ketika kuda-kuda itu berhenti beberapa
langkah dari mereka, maka para Senapati itu-pun menganggukkan kepala
mereka dalam-dalam. Salah seorang yang dianggap tertua dari mereka
berkata sambil menundukkan kepalanya, “Sri Baginda sendiri berkenan
datang ke tempat ini.”
“Ya,” jawab Sri Baginda, “aku ingin melihat apa yang telah terjadi.”
Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian diberani-beranikan dirinya untuk bertanya dengan hati-hati,
“Ampun Tuanku. Beberapa saat yang lampau, Tuanku telah memanggil Pujang
Warit untuk menghadap.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya, “Ya.
Aku telah memanggil Pujang Warit. Tetapi jangan hiraukan dia. Aku
sendiri akan memimpin pasukan Kediri. Nah, siapa yang tetap setia
kepadaku akan serta bersamaku.”
Senapati yang ada di tempat itu-pun mulai
meraba apa yang telah terjadi dengan Pujang Warit. Tetapi mereka tidak
sempat untuk berpikir terlampau lama karena Sri Baginda segera berkata
lantang, “Siapa yang menolak kehadiranku sebagai pemimpin dan Senapati
tertinggi dari pasukan Kediri sekarang, aku beri kesempatan untuk
menyingkir?”
Dada para Senapati itu-pun terguncang
karenanya. Namun tidak seorang-pun yang menolak kepemimpinan Sri Baginda
Kertajaya sendiri.
“Nah, kalau kalian menerima kehadiranku
sebagai pemimpin kalian, maka kalian harus bersiap. Kita tidak akan
menunggu di sini. Kita akan berangkat ke sebelah Utara Ganter. Hari ini
kita harus menggabungkan diri ke dalam pasukan itu. sebelum Tumapel
berhasil memecah pasukan Kediri yang lemah karena kalian berada di
sini.”
“Kami berada di sini atas perintah Pujang Warit Tuanku.”
“Aku tahu. Cepat. Kalian persiapkan prajurit-prajurit kalian masing-masing.”
Para Senapati itu-pun segera berlari ke
pasukannya masing-masing. Mereka dengan singkat telah menyampaikan
perintah Sri Baginda, bahwa mereka akan segera pergi ke medan di bawah
pimpinan Sri Baginda sendiri.
Terasa darah para prajurit itu semakin
cepat mengalir. Mereka telah mendapat kehormatan, bertempur di bawah
pimpinan Sri Baginda sendiri.
Dengan penuh kesungguhan mereka-pun
kemudian mempersiapkan diri mereka. Pertahanan yang sudah mereka susun
sementara itu-pun segera terurai. Pasukan-pasukan yang sudah menebar di
sepanjang dinding kota di sekitar regol induk itu-pun kemudian berkumpul
kembali untuk segera berangkat kegaris perang di sebelah Utara Ganter.
Setelah semua persiapan selesai, maka
Senapati tertua itu-pun segera menghadap Sri Baginda sambil berkata,
“Ampun Tuanku. Seluruh pasukan telah siap menjalankan perintah Tuanku.”
“Bagus, kita akan segera berangkat.”
“Kami sudah bersedia.”
Sri Baginda-pun kemudian menempatkan
dirinya di ujung barisan, bersama para Senapati pengiring dan para
Senapati yang membawa tanda-tanda kebesarannya yang tidak lengkap.
Sebuah songsong pusaka, tombak pusaka dan sebuah panji pada tunggul Kiai
Gajah.
“Kita berangkat,” teriak Sri Baginda
Kertajaya itu sejenak kemudian yang disambut oleh para Senapati dengan
memberikan aba-aba kepada pasukan masing-masing.
Namun ketika pasukan itu mulai bergerak,
Sri Baginda Kertajaya mengangkat tangannya sehingga dengan tiba-tiba
pasukan itu-pun tertegun.
“Kau lihat debu itu?” bertanya Sri Baginda kepada Senapati pengapit yang ada di sampingnya.
“Hamba Tuanku.”
“Seekor kuda.”
“Hamba Tuanku.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya. “Seorang penghubung dari medan.”
“Hamba Baginda. Seorang penghubung dari medan.”
“Kita tunggu sebentar. Mungkin ia membawa berita penting tentang peperangan.”
Sejenak kemudian maka kuda yang berderap
itu-pun semakin lama menjadi semakin dekat. Para Senapati yang melihat
penghubung itu menjadi berdebar-debar. Apalagi Sri Baginda sendiri.
Darahnya serasa berhenti mengalir ketika ia melihat penghubung yang
berlumuran darah itu membawa payung kebesaran Mahisa Walungan yang
tangkainya telah patah di tengah.
“He, kemarilah,” teriak Sri Baginda tidak sabar.
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia-pun terkejut ketika dilihatnya Sri Baginda sendiri yang ada di ujung barisan.
“Ampun Tuanku,” penghubung itu-pun segera
menarik kendali kudanya dan meloncat turun. Dengan serta-merta ia
berjongkok di sisi kuda Sri Baginda.
“Berdirilah, cepat katakan apa yang terjadi.”
“Ampun Tuanku,” dengan ragu-ragu orang
itu berdiri terhuyung-huyung. Dari seluruh tubuhnya yang terluka parah,
mengalir darah yang merah hitam. Seorang Senapati segera menghampirinya
dan membantunya berdiri.
“Cepat, katakan apa yang terjadi,” teriak Sri Baginda.
“Tuanku. Hamba membawa songsong kebesaran Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan yang telah patah.”
“Ya. aku sudah melihat.”
“Ampun Tuanku. Adinda Sri Baginda telah gugur di medan peperangan.”
“He. Mahisa Walungan telah gugur?” suara
Sri Baginda melengking tinggi menggetarkan udara yang sedang dibakar
oleh terik matahari.
Setiap dada tergetar mendengar berita
gugurnya Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan. Meskipun orang-orang Pujang
Warit sebelumnya menganggap bahwa Adinda Sri Baginda itu telah
berkhianat seperti yang pernah dikatakan oleh Pujang Warit, namun kini
mereka-pun menyadari, siapakah sebenarnya yang telah berkhianat.
Sejenak Sri Baginda Kertajaya merenung.
Sri Baginda adalah seorang prajurit yang berhati jantan. Sebagai seorang
Maharaja ia berhati sekeras baja. Tetapi ketika ia mendengar adik
kandungnya gugur di peperangan setelah ia sendiri melukai hati adiknya
itu, terasa kerongkongannya menjadi panas.
“Siapa yang telah membunuh Mahisa Walungan?” suara Sri Baginda hampir tidak terdengar.
Penongsong yang telah membawa payung
kebesaran Mahisa Walungan itu menjawab dengan suara yang
tersendat-sendat, “Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”
Terdengar Sri Baginda menggeretakkan giginya. Kemudian terdengar suaranya lantang, “Aku sendiri aku melawannya di peperangan.”
Dengan kedua kakinya Sri Baginda
menyentuh perut kudanya. Namun sebelum kuda itu meloncat maju,
penongsong yang sudah terlampau lemah itu masih berusaha meloncat
memegang tali kendali kuda Sri Baginda sambil berkata, “Ampun Tuanku.
Jangan pergi sekarang.”
Kuda Sri Baginda melonjak karena kejutan
di perut dan tali kendalinya, sehingga penongsong yang terluka itu
terseret beberapa langkah.
Senapati yang menolongnya berdiri tidak
menyangka bahwa hal itu akan terjadi, sehingga dengan tergesa-gesa ia
berlari-lari menolong orang yang terlempar itu, sedang Senapati yang
lain memegangi tali kuda Sri Baginda yang melonjak-lonjak dan berusaha
menenteramkannya.
“Kenapa kau halangi aku, he?” teriak Sri Baginda.
“Ampun Tuanku,” penongsong itu menjadi
semakin lemah, sedang darah masih mengalir dari luka-luka di tubuhnya,
“ampun Tuanku. Pasukan Kediri sedang terdesak. Sebaiknya Sri Baginda
sendiri tidak pergi ke peperangan tanpa pasukan yang lengkap.”
“Di sini ada pasukan segelar sepapan.”
“Kalau Sri Baginda pergi bersama pasukan
ini, hamba akan ikut pula. Tetapi kalau Sri Baginda mendahului di atas
punggung kuda ini, maka Sri Baginda akan berada dalam bahaya.”
Sri Baginda Kertajaya merenung sejenak.
Namun ia kemudian berkata, “Justru pasukan itu ada dalam kesulitan. Aku
harus secepatnya pergi ke medan.”
“Tetapi medan terlampau berbahaya saat ini.”
Tiba-tiba seorang Senapati maju sambil
membungkukkan kepalanya, “Biarlah kami yang saat ini berada di atas
punggung kuda pergi mendahului. Meskipun kami tidak terlampau banyak,
tetapi kami akan dapat sekedar membantu, sementara Sri Baginda membawa
pasukan segelar sepapan ini ke medan.”
Sri Baginda merenung sejenak, dan Senapati itu mendesaknya, “Waktu terlampau sempit Sri Baginda.”
Sri Baginda Kertajaya tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya.
Isyarat itu tidak usah diulanginya.
Senapati itu mengangguk dalam-dalam kemudian ia-pun segera berlari
meloncat keatas punggung kudanya sambil berteriak, “Kita yang berada di
punggung kuda diperkenankan mendahului pasukan. Keadaan sangat gawat di
medan perang.”
Senapati itu segera memacu kudanya tanpa
menunggu kawan-kawannya. Namun sejenak kemudian setiap kuda-pun segera
berlari menyusulnya berderap di atas jalan berbatu-batu. Maka kemudian
debu yang kelabu-pun berhamburan di atas jalan yang menuju ke Ganter.
Bukan saja pasukan pengawal yang telah
memacu kudanya ke medan perang. Prajurit-prajurit yang ada di pinggir
kota sebagian telah berusaha mendapatkan kuda-kuda yang ada di dalam
pasukan itu. Kuda-kuda penghubung dan kuda-kuda bagi para pimpinan.
Bahkan satu dua di antara mereka telah masuk ke padukuhan terdekat.
Membuka kandang-kandang kuda yang mereka ketemukan, dan memakainya untuk
menyusul para prajurit yang sudah terdahulu.
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas
dalam-dalam. Baru kali ini pasukan Kediri menghadapi lawan dalam keadaan
tercerai berai, seolah-olah bukan lagi sebuah pasukan dari negara yang
besar. Dengan hati yang pedih Sri Baginda melihat beberapa ekor kuda
masih saja berlari-larian saling menyusul. Lima ekor, tiga, dua dan
bahkan seekor kuda berderap ke medan. Namun dengan demikian Sri Baginda
melihat kesetiaan yang sebenar-benarnya dari prajurit-prajuritnya kepada
Kediri.
Setelah kuda yang terakhir hilang di
balik kepulan debu. barulah Sri Baginda berkata, “Siapkan prajurit yang
tersisa. Kita akan menyusul ke medan perang.”
Senapati pengapit yang masih tinggal,
segera memimpin pasukan yang masih ada. Beberapa kelompok telah
kehilangan Senapatinya, yang dengan tidak tersusun telah pergi ke medan
oleh luapan perasaan yang tidak tertahankan setelah mereka mendengar
bahwa Adinda Sri Baginda Mahisa Walungan telah gugur.
Namun sejenak Sri Baginda tertegun ketika
ia melihat penongsong Mahisa Walungan yang hampir tidak mampu berdiri
lagi, dilayani oleh seorang prajurit.
“Luka-lukanya parah,” desis Sri Baginda, “bawalah ia ke rumah yang terdekat. Usahakan pertolongan sementara.”
Tetapi orang itu menggeleng lemah, “Ampun
Sri Baginda,” suaranya sudah hampir tidak terdengar, “biarlah aku mati
di antara para prajurit ini.”
“Kau akan hidup.”
Sekali lagi orang itu menggeleng lemah.
Nafasnya semakin deras mengalir. Hampir tidak dapat didengar lagi apa
yang dikatakannya, “Hati-hatilah Sri Baginda. Lawan datang seperti
banjir bandang.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam.
Dalam keadaan yang wajar, Sri Baginda Kertajaya sudah tentu akan
membentak prajurit yang mencoba mengajari dan memperingatkannya atas
suatu keadaan.
Tetapi kini Sri Baginda merasa bahwa
prajurit itu benar-benar mengucapkannya dari dasar hatinya, di saat-saat
nyawanya sendiri sudah di ambang pintu. Hanya didorong oleh kesetiaan
yang tulus, maka penongsong itu berani mengatakan, apa yang sebenarnya
telah terjadi di medan.
Ketika Sri Baginda akan memerintahkan
sekali lagi untuk merawat penongsong itu, maka setiap kepala-pun
kemudian ditundukkan. Prajurit itu telah menarik nafas yang terakhir di
hadapan Sri Baginda dipapah oleh seorang prajurit yang lain.
“Serahkan kepada prajurit penjaga gerbang
ini, supaya orang ini mendapat perawatan sebaik-baiknya,” berkata Sri
Baginda, “ia telah gugur dalam menunaikan tugasnya, seperti juga Mahisa
Walungan telah gugur pula.”
Demikianlah maka pasukan Kediri itu-pun
segera bersiap untuk berangkat ke medan perang, dipimpin oleh Sri
Baginda Kertajaya sendiri.
Dalam pada itu. di medan perang di
sebelah Utara Ganter, pasukan Kediri benar-benar telah hampir tercerai
berai. Beberapa orang Senapati dengan tanpa menghiraukan keselamatan
diri sendiri, berusaha menyingkirkan jenazah Mahisa Walungan yang telah
gugur di peperangan melawan Sri Rajasa.
Pada saat senjata Sri Rajasa mengenai
dada kiri Mahisa Walungan, sebuah tombak telah menyerang penongsongnya.
Tanpa dapat berbuat sesuatu dengan gerak naluriah penongsong itu
menangkis ujung tombak itu dengan tangkai payung yang dibawanya. Tetapi
ternyata tangkai payung itu-pun patah di tengah.
Sorak prajurit Singasari serasa akan
memecahkan selaput telinga. Mereka meneriakkan kemenangan Sri Rajasa,
dan meneriakkan kematian Adinda Sri Baginda Kertajaya.
Namun pada saat itu Sri Rajasa sendiri
berdiri termangu-mangu memandang Mahisa Walungan yang terhuyung-huyung
beberapa langkah surut.
“Kau memang seorang Raja yang sakti,”
desis Mahisa Walungan, “aku akui kemenanganmu. Tidak seorang-pun yang
mampu melawan Aji Sangga Langit dan Aji Songkok Sari sekaligus. Tetapi
kau sama sekali tidak terguncang oleh kedua Aji pamungkasku. Itu
pertanda bahwa Sri Rajasa memang kekasih dewa-dewa.”
Sri Rajasa tidak menjawab. Direnunginya
Mahisa Walungan yang menjadi semakin lemah. Ia sama sekali tidak berbuat
apa-apa ketika beberapa orang Senapati Kediri berusaha menyelamatkan
Mahisa Walungan. Tetapi mereka hanya dapat mengangkat tubuhnya yang
sudah tidak bernafas.
Ketika beberapa orang prajurit Singasari
mencoba menghalang-halangi prajurit Kediri yang berusaha menyingkirkan
Jenasah itu. Sri Rajasa membentak mereka dengan marahnya, “Biarkan
jenazah itu. Ia pantas mendapat penghormatan, sehingga jenazahnya pantas
mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Ia adalah seorang pahlawan
besar. Pahlawan terbesar di saat ini.”
Tidak seorang-pun yang kemudian
mengganggu para Senopati Kediri membawa jenazah itu pergi. Tetapi Sri
Rajasa tidak sempat memperhatikan, penongsong Mahisa Walungan yang
menjadi luka parah oleh senjata orang-orang Singasari. Tetapi prajurit
yang membawa payung kebesaran itu-pun berhasil menyingkir dan
mendapatkan seekor kuda dari para penghubung.
Sri Rajasa seolah-olah tersadar ketika
sorak para prajurit Singasari semakin membelah langit. Mereka berhasil
semakin mendesak pasukan Kediri yang telah kehilangan agul-agul. Yang
ada kini tinggallah Gubar Baleman.
Berita gugurnya Mahisa Walungan telah
memukul dada Gubar Baleman, sehingga sejenak ia kehilangan pengamatan
diri. Tetapi karena senjata Mahisa Agni yang menyentuh pundaknya, maka
Gubar Baleman-pun menyadari, bahwa kini justru seluruh tanggung jawab
ada di atas pundaknya.
Karena itu, maka Gubar Baleman-pun
menggeretakkan giginya. Dengan lantang suaranya mengatasi sorak sorai
prajurit Singasari, “Adinda Sri Baginda telah gugur sebagai seorang
pahlawan. He. prajurit Kediri, apa yang dapat kalian serahkan kepada
Tanahmu ini?”
Prajurit Kediri yang terguncang karena
kematian Mahisa Walungan tiba-tiba seperti yang bangkit dari tidur yang
diganggu oleh mimpi yang menakutkan. Serentak prajurit Kediri menyambut
teriakan Menteri Gubar Baleman dengan gemeretak gigi dan nyala di dalam
dada.
Sambil berteriak nyaring, mereka segera menemukan gairah perjuangan mereka kembali.
Tetapi pasukan Singasari ternyata semakin
mendesak mereka. Jumlah yang besar, dan nafsu yang melonjak karena
gugurnya Mahisa Walungan membuat pasukan Singasari berhasil menguasai
segala bagian medan yang dahsyat itu.
Gubar Baleman-pun akhirnya melihat,
betapa korban berjatuhan tanpa dapat dihitung lagi. Sebagai seorang
pemimpin ia merasa kematian yang tidak terbilang masih akan terjadi.
Tetapi seperti Mahisa Walungan, maka
Gubar Baleman-pun seorang Senapati jantan. Itulah sebabnya maka ia
sendiri telah berusaha untuk bertempur sekuat-kuat tenaganya. Semua
kemampuan. Aji dan ilmunya telah dicurahkannya.
Namun ternyata bahwa Mahisa Agni yang
memiliki Aji Gundala Sasra dan Kala Bama sekaligus itu mampu melawan
setiap ilmu yang dilontarkan oleh Gubar Baleman.
Namun ada sesuatu yang telah mengganggu
segenap pemusatan kekuatan lahir dan batin dari Menteri Gubar Baleman
yang berani itu. Ia tidak dapat menutup mata dan telinga, bahwa keadaan
pasukannya telah menjadi semakin terdesak. Terbayang sekilas di
kepalanya, bahwa pasukan Kediri sebentar lagi pasti akan pecah, dan akan
lenyaplah Kerajaan Kediri yang besar itu.
Dan keprihatinan Gubar Baleman itu telah
dicurahkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan Gubar Baleman
sama sekali sudah tidak menghiraukan keselamatan dirinya lagi.
Ketika pasukannya semakin lama menjadi
semakin terdesak, maka Gubar Baleman tidak dapat lagi menahan hati.
Kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka semua prajurit Kediri yang ada di
peperangan ini pasti akan tumpas. Tidak seorang-pun yang akan berusaha
atau berniat menyelamatkan dirinya, sedang Kediri yang dipertahankan
pasti juga akan runtuh.
Gubar Baleman memang terharu melihat
kesetiaan prajurit Kediri kepada Tanah Kelahiran. Tetapi Gubar Baleman
masih mencoba mempergunakan nalarnya. Karena itu, maka kepada kedua
Senapati pengapitnya ia memberikan perintahnya sebagai Senapati
Tertinggi, “Tarik pasukan. Hubungi Pujang Warit di dalam kota. Apapun
yang dikehendaki, kita harus menyerahkannya. Tetapi Kediri harus
dipertahankan sekuat tenaga. Aku masih berpengharapan, bahwa Pujang
Warit akan bersedia menjadi Senapati Agung pasukan Kediri. Namun dengan
demikian kekuatan yang ada padanya dapat dikerahkan bagi medan.”
Senapati pengapitnya mengerutkan
keningnya. Tetapi ia mendengar perintah itu dengan jelas, seperti juga
Mahisa Agni mendengarnya.
Sekilas terbersit pertanyaan di hati
Mahisa Agni, “Apakah yang sebenarnya terjadi atas prajurit-prajurit
Kediri? Agaknya Kediri benar-benar telah dihancurkan oleh perpecahannya
sendiri.”
Ketika salah seorang Senapati pengapit
yang menerima perintah itu mundur dari medan. Mahisa Agni menjadi
termangu-mangu sejenak. Apakah yang sebaiknya dilakukan? Agaknya Kediri
masih menyimpan tenaga cadangan. Tetapi tenaga cadangan itu sama sekali
tidak dapat dikuasai, baik oleh Mahisa Walungan maupun oleh Gubar
Baleman.
Namun ternyata bahwa Gubar Baleman sama
sekali belum mendengar berita kematian Pujang Warit oleh tangan Sri
Baginda Kertajaya sendiri.
Senapati pengapit yang mendapat perintah
dari Gubar Baleman itu-pun segera berusaha mendapatkan seekor kuda untuk
meninggalkan medan. Betapa berat hatinya, namun ia tidak dapat berbuat
lain. Ia harus menghubungi Pujang Warit. Sedang Senapati pengapit yang
lain masih belum menemukan jalan, bagaimana ia akan menarik pasukan yang
sedang bertempur demikian dahsyatnya.
Karena Senapati pengapitnya masih belum
berbuat apa-apa, maka Gubar Baleman mengulangi perintahnya, “Tarik
pasukan. Kalau hubungan dengan Pujang Warit dapat diadakan, maka
pertahanan yang kuat akan disusun. Kita akan mundur sampai pertahanan
yang sudah tersusun itu.”
Senapati itu kini mengerti. Pasukannya
harus berusaha untuk mengundurkan diri sampai pertahanan berikutnya yang
akan disusun oleh Pujang Warit.
“Tetapi bagaimana kalau Pujang Warit benar-benar telah menjadi gila?” pertanyaan itu sekilas melontar di dada Senapati itu.
Namun memang tidak ada jalan lain. Itu
adalah jalan satu-satunya. Pasukan Kediri tidak akan dapat bertahan
lebih lama lagi menghadapi pasukan Singasari yang besar ini.
Karena itu. maka Senapati itu-pun segera
berusaha mengatur sisa-sisa pasukannya. Bersama beberapa orang
penghubung, Senapati itu memerintahkan setiap pimpinan kelompok mengikat
pasukannya, betapapun kecilnya yang tersisa, untuk menarik diri.
Pasukan yang sudah parah ini tidak boleh pecah. Meskipun mereka harus
menghindari peperangan, tetapi dengan teratur mereka harus dapat
menempatkan diri pada pertahanan berikutnya. Apabila Pujang Warit tidak
bersedia melakukannya, maka jalan terakhir adalah musna bersama-dengan
musnanya Kediri.
Demikianlah maka kini pasukan Kediri
berada di dalam keadaan yang sangat gawat. Menarik pasukan dari medan
yang demikian dahsyatnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi pasukan
yang akan mengadakan pertahanan di belakang garis perang ini-pun masih
belum dapat diperhitungkan dengan pasti.
Dalam gerakan inilah Gubar Baleman
menunjukkan dirinya, sebagai seorang Senapati yang benar-benar
bertanggung jawab. Ia sama sekali tidak berkisar dari tempatnya, selama
para Senapati bawahannya mengatur diri. Sebagai seorang prajurit yang
mumpuni ia tetap bertahan di tempatnya. sehingga Mahisa Agni tidak
segera dapat mengatur pasukannya untuk mendesak maju. Dalam keadaan yang
demikian, maka beberapa orang Senapati yang lain segera mengambil
sikap, mendesak dan mencegah gerakan mundur pasukan Kediri.
Tetapi selain Mahisa Agni, ternyata di
barisan Singasari masih ada Sri Rajasa sendiri yang kini tidak mempunyai
lawan lagi yang seimbang. Namun demikian ternyata Sri Rajasa bukanlah
seorang yang terlalu kejam. Ia tidak melawan orang-orang Kediri seperti
menebas daun ilalang, meskipun ia dapat melakukannya apabila
dikehendakinya.
Dalam keadaan yang demikian Sri Rajasa
kini benar-benar berdiri sebagai seorang panglima. Ia hanya meneriakkan
aba-aba untuk mengatur pasukannya.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Sri
Rajasa sebagai panglima yang berdiri tanpa lawan itu-pun segera dapat
memusatkan perhatiannya pada perang yang sedang dilakukan, melawan Gubar
Baleman.
Sekali lagi Sri Rajasa menjadi kagum
melihat sikap Gubar Baleman, seperti juga Mahisa Agni mengaguminya.
Senapati-senapati Kediri yang demikian inilah yang agaknya membuat
Kediri pada saatnya menjadi sebuah negara yang besar.
Ketika pasukan Kediri mengalami kesulitan
untuk menarik diri itulah, terdengar derap kaki-kaki kuda yang berpacu
menuju ke medan peperangan. Mereka adalah pasukan pengawal berkuda yang
telah mendahului Sri Baginda Kertajaya maju ke peperangan.
Kedatangan pasukan berkuda yang tidak
merupakan suatu barisan yang teratur itu telah mengejutkan
prajurit-prajurit di peperangan itu. Sebagai seorang Senapati yang
berpengalaman, maka Gubar Baleman segera mengetahui, bahwa pasukan itu
telah menyusul ke medan dengan sangat tergesa-gesa, sehingga mereka
tidak sempat menyusun barisan yang teratur.
Tetapi bagaimana-pun juga kehadiran
pasukan berkuda itu telah memberi harapan bagi Gubar Baleman. Bukan
suatu harapan untuk mengusir pasukan Singasari yang ternyata terlampau
kuat. Tetapi pasukan berkuda itu akan dapat membantu melindungi
pasukannya yang sedang bergerak mundur.
Dengan demikian maka melalui
penghubungnya Gubar Baleman-pun segera menyampaikan perintah itu kepada
seorang Senapati yang datang paling depan.
Senapati itu mengerutkan keningnya. Ia
tidak menyangka bahwa pasukan Kediri sudah menjadi sedemikian parahnya.
Apalagi sepeninggal Mahisa Walungan. Karena itu, maka Senapati itu-pun
segera menyampaikan perintah Gubar Baleman lewat mulut kemulut, sehingga
akhirnya perintah itu-pun merata di antara para pengawal berkuda itu.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda itu-pun
segera terjun ke peperangan. Mereka mencoba untuk menyesuaikan diri
dengan perintah Gubar Baleman. Salah seorang dari mereka berhasil
mendekati pemimpin tertinggi pasukan Kediri itu dan mengatakan bahwa
pasukan yang lebih besar akan segera datang dipimpin oleh Sri Baginda
Kertajaya sendiri.
“Bagus,” sambut Gubar Baleman. Namun ia
masih berpikir, berapa besarnya pasukan yang akan datang itu. Apakah
mereka dapat menahan arus pasukan Singasari yang demikian dahsyatnya.
Apabila pasukan itu gagal, maka taruhannya adalah Sri Baginda Kertajaya
sendiri dan Kediri seluruhnya.
Demikianlah maka kini gerakan mundur dari
pasukan Kediri itu agak terlindung oleh pasukan berkuda yang kecil.
Namun kuda-kuda yang menjadi seakan-akan liar itu berloncatan di medan
perang, menghalau prajurit-prajurit Singasari yang berusaha mengejar
prajurit Kediri.
Namun dengan kenyataan itu, para pemimpin
prajurit Singasari terpaksa membuat perhitungan-perhitungan baru.
Berita tentang pasukan yang dipimpin langsung oleh Sri Baginda Kertajaya
itu segera sampai pula ke telinga Sri Rajasa, sehingga dengan demikian
maka ia-pun segera mengambil sikap. Dengan lantangnya Sri Rajasa
perintahkan seluruh prajuritnya untuk bertindak lebih cepat. Katanya,
“Jangan menunggu kalian masuk perangkap. Hancurkan pasukan lawan.”
Perintah itu-pun segera mendapat
tanggapan. Pasukan Singasari mendesak semakin maju. Selain pasukan
berkuda yang kecil itu. Gubar Baleman sendiri berusaha untuk tetap
bertahan. Bahkan seakan-akan ia-pun berusaha melindungi para prajurit
yang sedang bergerak mundur. Dengan demikian maka sebagian perhatiannya
kini dicurahkan kepada gerakan prajurit Kediri, selain lawannya yang
tangguh, Mahisa Agni.
Namun dengan demikian, maka perlawanannya
atas Mahisa Agni itu-pun tidak dapat dilakukan sepenuh kemampuannya,
karena Gubar Baleman tidak dapat membiarkan pasukannya menjadi tercerai
berai.
Suasana peperangan itu-pun menjadi
semakin kalut. Pasukan Singasari semakin mendesak maju, sedang korban di
pihak Kediri menjadi semakin banyak meskipun pasukan berkuda yang kecil
itu berusaha sekuat-kuat tenaga mereka untuk melindungi.
Mahisa Agni yang harus mengerahkan
segenap kemampuannya untuk mencoba mendesak lawannya, tetap mengaku,
bahwa Gubar Baleman adalah seorang Senapati yang pilih tanding. Yang
tidak saja menghiraukan dirinya sendiri. bahkan keselamatannya, namun
baginya keselamatan prajurit-prajuritnyalah yang dianggapnya lebih
penting.
Dalam saat yang demikian itulah Mahisa
Agni justru merasa berdiri di persimpangan jalan. Dalam kekalutan itu ia
melihat beberapa kesempatan untuk menembus pertahanan Gubar Baleman.
Namun setiap kali ia tertegun. Kekagumamnya kepada Senapati Kediri itu
membuatnya termangu-mangu. Setiap kali serasa ada sesuatu yang
memberatkan perasaannya.
“Apakah aku harus melakukannya?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Namun ketika terngiang kembali laporan
peghubung Kediri yang mengatakan bahwa pasukan Sri Baginda Kertajaya
sudah berada di perjalanan maka Mahisa Agni-pun segera menggeletakkan
giginya. Teringat pula olehnya putera Mahkota Singasari, Anusapati
putera Ken Dedes dari Akuwu Tunggul Ametung. Kalau Kediri dapat di
kalahkan maka hari depan Anusapati itu-pun akan menjadi semakin
cemerlang. Ia akan menjadi seorang raja yang besar, yang tidak saja
meliputi daerah Singasari sekarang tetapi kesatuan dari daerah-daerah
yang lebih luas akan membuat kerajaan itu lebih kuat.
Akhirnya Mahisa Agni menghentakkan
perasaannya. Ia sadar, bahwa ia memang harus berbuat sebagai seorang
Senapati di peperangan, sehingga ia tidak boleh hanyut dalam arus
perasaannya.
Karena itu, ketika terbuka kesempatan
padanya, ia segera mendesak lawannya. Gubar Baleman yang lagi terbelah
perhatiannya oleh beberapa orang prajuritnya yang terdesak dan
kehilangan sebagian dari kesempatan untuk melindungi diri, terkejut
mendapat serangan yang tiba-tiba saja menyentuh tubuhnya.
Senapati Kediri itu menggeram sambil
meloncat surut. Sejenak ia memusatkan perhatiannya menghadapi Mahisa
Agni. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di antara mereka-pun
menjadi semakin dahsyat.
Tetapi ketika terdengar pekik kesakitan
dan lengking seekor kuda yang terbanting jatuh, perhatian Gubar Baleman
kembali terbagi. Bahkan Gubar Baleman berusaha untuk sekali lagi
meloncat surut menjauhi Mahisa Agni.
Pada saat itu Sri Baginda Kertajaya
sedang berada di perjalanan menuju ke medan perang. Meskipun Prajurit
Kediri sudah berjalan secepat-cepat dapat mereka lakukan, bahkan ada di
antara mereka yang terloncat-loncat, namun terasa pasukan itu maju
terlampau lamban.
Di langit matahari merambat semakin ke
Barat. Cahayanya yang terik serasa membakar kulit. Sekali-kali sehelai
awan yang putih hanyut dibawa angin yang lambat.
Sri Baginda Kertajaya menengadahkan
kepalanya. Terasa dadanya berdesir tajam. Tiba-tiba saja dari arah
Tenggara segumpal awan yang hitam terbang dengan cepatnya, seakan-akan
ingin mengejar matahari yang terik.
“Sri Baginda Kertajaya tidak pernah
memperhatikan awan di langit. Tetapi tiba-tiba kini perhatiannya
tertarik oleh awan yang hitam dan tebal. Selama ini langit tampak cerah
kebiruan, sehingga awan yang tebal itu begitu tiba-tiba saja sudah ada
di atas Kediri.
Awan yang hitam itu seakan-akan kemudian
mekar memenuhi udara. Semakin lama semakin rata. sehingga sejenak
kemudian maka matahari-pun telah ditelannya.
Langit yang biru kini menjadi berangsur
gelap. Begitu cepatnya. Apalagi sejenak kemudian terdengar guruh yang
lamat-amat mengumandang di sepanjang cakrawala.
Sri Baginda merasakan sesuatu yang aneh. Tetapi Sri Baginda Kertajaya tidak mengatakannya kepada siapapun juga.
Namun tiba-tiba langkah pasukan Kediri
itu tertegun. Dari kejauhan mereka melihat kuda berderap seperti angin.
Belum lagi Sri Baginda melihat siapakah yang datang itu, namun sesuatu
sudah terasa melonjak di hatinya.
Sejenak, kemudian kuda itu-pun menjadi semakin dekat. Dan hati setiap prajurit Kediri-pun menjadi semakin berdebar-debar.
“Apa yang sudah terjadi?” belum lagi kuda itu berhenti Sri Baginda sudah tidak sabar lagi.
Dengan nafas terengah-engah Senapati
penghubung itu meloncat dari kudanya. Ditundukkannya kepalanya
dalam-dalam Kemudian katanya, “Ampun Sri Baginda. Menteri Gubar Baleman
telah gugur pula?”
“Gubar Baleman,” Sri Baginda berteriak sambil membelalakkan matanya.
“Hamba Tuanku.”
Sejenak Sri Baginda justru terbungkam. Pasukan Kediri itu sama sekali sudah tidak mempunyai pengikat lagi.
Namun tiba-tiba Sri Baginda Kertajaya itu menggeretakkan giginya.
“Cepat,” geramnya, “kita harus segera mencapai medan.”
“Tuanku,” berkata Senapati penghubung
itu, “pasukan Kediri sedang dalam gerakan mundur. Itu-pun dalam keadaan
yang payah. Sebaiknya Tuanku tidak maju ke medan. Tetapi justru
mempersiapkan pertahanan yang lebih baik di batas kota.”
“Gila,” teriak Sri Baginda, “apakah aku
akan membiarkan prajurit yang sedang berada di medan itu tumpas dibantai
oleh orang-orang Singasari.”
“Tuanku, kita berharap bahwa mereka akan
dapat mencapai batas kota. Tetapi di gapura itu, kita dapat mengerahkan
semua tenaga. Setiap prajurit akan kita tarik ke medan.”
“Kapan akan kau lakukan itu?”
“Sekarang Tuanku. Selagi Tuanku kembali
surut ke dinding kota, hamba akan mempersiapkan pertahanan itu. Setiap
laki-laki yang dapat dikerahkan harus dikerahkan.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam.
“Tuanku, waktu terlampau sempit. Sebenarnyalah keadaan medan sudah sangat parah.”
Tanpa sesadarnya Sri Baginda
menengadahkan wajahnya ke langit. Awan yang hitam kelam kini sudah
memenuhi udara. Sekali-kali guruh terdengar meledak di kejauhan.
“Apakah Tuanku memperkenankan hamba
melakukannya? Itulah pesan terakhir dari Menteri Gubar Baleman, karena
hambalah yang telah berusaha menyingkirkan jenazahnya.”
Sri Baginda masih termenung sejenak. Namun akhirnya Sri Baginda menganggukkan kepalanya, “Apa boleh buat.”
Senapati penghubung itu-pun segera memacu
kudanya ke dinding kota, sedang Sri Baginda menarik pasukannya mundur
kembali memasuki regol.
Kotaraja Kediri segera berada di dalam
keadaan yang gawat. Suara tengara telah bergema di seluruh kota. Setiap
laki-laki yang merasa dirinya memiliki kemampuan sekedarnya untuk
bertempur, segera menyambar senjata mereka apa saja yang dapat mereka
pergunakan. Tombak, pedang, canggah, bindi, parang, keris dan lain-lain
yang dapat mereka ketemukan.
Dengan hati yang berdebar-debar
mereka-pun segera berlari-lari ke dinding kota. Mereka tahu benar, bahwa
pasukan lawan pasti akan memasuki kota lewat regol itu.
Sejenak kemudian di sepanjang dinding
kota itu telah bertebaran laki-laki bersenjata dari segala penjuru kota.
Mereka sama sekali bukan prajurit. Tetapi mereka yang memiliki
keberanian, telah terjun di gelanggang untuk mempertahankan Kotaraja. Di
antara mereka terdapat beberapa orang prajurit penjaga regol. Kemudian
berdatangan beberapa orang prajurit yang lain dari setiap sudut kota
mereka. Mereka adalah para pengawal yang tinggal untuk mengamankan kota
mereka. Tetapi kini mereka telah ditarik seluruhnya untuk melawan
pasukan Singasari.
Sejenak kemudian pasukan Sri Baginda
Kertajaya-pun telah berada di tempat itu pula. Mereka telah
mempersiapkan diri untuk menyongsong kedatangan pasukan Singasari yang
melanda Kediri seperti banjir bandang.
Dengan dada yang berdebar-debar Sri
Baginda yang telah turun dari kudanya, berdiri tegak di tengah-engah
regol. Ditatapnya jalan yang membujur panjang di bawah kakinya.
Seolah-olah jalan itu adalah jalan yang langsung memanjat sampai ke
batas langit.
Sekilas terbayang kedua orang yang selama
ini telah menjadi sapu kawat kerajaannya yang sedang goncang. Mahisa
Walungan dan Guber Baleman. Kini keduanya telah gugur di peperangan oleh
kesetiaan mereka terhadap Kediri, meskipun keduanya hampir saja mati
terbunuh oleh pengkhianatan Pujang Warit.
“Keduanya tidak melihat, bahwa Pujang
Warit telah terbunuh,” desisnya didalam hati, “meskipun barangkali Gubar
Baleman sempat mendengarnya.”
Dada Sri Baginda serasa menjadi sesak.
Namun kemudian tumbuh suatu pertanyaan di
dalam hatinya, “Betapa saktinya para Senapati Singasari itu. Mereka
mampu membunuh Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Kalau Mahisa Walungan
terbunuh oleh Sri Rajasa, maka pastilah bahwa Sri Rajasa adalah seorang
yang pilih tanding. Sedang Senapati yang mampu membunuh Gubar
Baleman-pun pasti Senapati yang mumpuni.
“Dengan Senapati-senapati yang tangguh
itulah agaknya Singasari akan merambat ke puncak kejayaannya, sementara
Kediri akan menjadi semakin surut.” gumamnya di dalam hati.
Meskipun melonjak pula penyesalan di
dalam hati, tetapi ada semacam perasaan pasrah pula pada diri Sri
Baginda Kertajaya. Namun demikian, ia masih tetap berdiri di ujung
pasukan, menggenggam senjata sebagai seorang Senapati.
Pada saat itu, dengan susah payah pasukan
Kediri berusaha menarik diri dari medan. Dengan korban yang tidak
terhitung lagi pasukan itu berusaha untuk mencapai dinding kota. Mereka
sudah mendapat kabar, bahwa Sri Baginda sendiri telah menyusun pasukan,
untuk mempertahankan Kediri di batas Kotaraja. Karena itu maka gairah
perjuangan mereka-pun semakin melonjak pula. Dengan sepenuh hati, mereka
berusaha menarik pasukannya, bukan karena mereka takut mati terbunuh di
peperangan. Tetapi sebagai seorang prajurit mereka memperhitungkan,
bahwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki kekalahan.
“Kita tidak boleh mati sia-sia,” teriak seorang Senapati, “karena itu atur dirimu baik-baik.”
Sementara beberapa orang yang masih
berada di punggung kudanya selalu berusaha melindungi gerakan mundur
yang banyak menemui kesulitan itu.
Betapapun sulitnya, namun akhirnya
pasukan Kediri itu berhasil mendekati dinding kota. Dari kejauhan mereka
sudah melihat, sebuah songsong pusaka, tombak, dan umbul-umbul yang
merekat pada tunggul Kiai Gajah.
“Sri Baginda ada di dinding kota,” teriak salah seorang Senapati.
Setiap hati prajurit Kediri-pun tergetar.
Betapapun mereka menjadi lemah, tetapi tekad mereka telah menyala
kembali. Sepeninggal Mahisa Walungan dan kemudian Gubar Baleman, pasukan
Kediri seakan-akan sudah tidak bertenaga sama sekali. Namun kini, pada
tubuh yang lemah itu, seakan-akan telah tersiram air yang sejuk,
menyegarkan.
Sri Baginda yang melihat pasukan terdesak
hatinya serasa telah menyala. Hampir tidak sabar lagi ia menunggu
pasukannya sampai ke batas. Tetapi ia tidak dapai maju menyongsong
pasukan Singasari dalam keadaan serupa itu. Menurut perhitungan nalar ia
harus memanfaatkan dinding kota itu untuk bertahan.
Tetapi, Sri Baginda yang mempunyai
pengalaman yang cukup itu, setelah melihat perimbangan kedua pasukan,
berkata di dalam hati. “Pasukan Singasari memang tidak akan dapat
dibendung. Akulah orang yang paling bodoh di antara para prajurit
Kediri.” dan penyesalan itu datang lagi, “kalau aku mendengarkan nasehat
Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. aku tidak akan terjerumus ke dalam
kesulitan seperti ini. Tetapi kini keduanya telah gugur. Maka tidak ada
penyelesaian yang lebih baik bagiku. Mengusir prajurit Singasari, atau
gugur sama sekali di medan ini.”
Sejenak kemudian, maka Sri Baginda-pun
segera mengirimkan sepasukan yang akan menjadi mulut regol kotanya.
Pasukan yang akan membantu pasukan Kediri yang sedang bergerak mundur.
Sementara pasukan yang akan menjadi penutup regol-pun telah siap pula.
Apabila pasukan Kediri yang mundur itu sudah memasuki regol, maka
pasukan yang telah disediakan itulah yang akan menahan pasukan lawan,
sedangkan para prajurit yang telah menyiapkan senjata jarak jauh. telah
siap di atas dinding dengan busur di tangan.
“Pertempuran ini akan menjadi pertempuran
yang paling dahsyat di sepanjang sejarah perkembangan Kediri,” berkata
Sri Baginda kepada Senapati pengapitnya.
“Hamba Tuanku,” sahut Senapati itu.
Sejenak kemudian maka barisan Kediri yang
mundur itu berhasil mencapai regol. Bahwa pasukan itu tidak pecah dan
tercerai berai itu adalah karena ikatan yang kuat dan keberanian yang
tiada taranya dari para prajurit Kediri itu.
Laju pasukan Singasari-pun kemudian
tertahan oleh anak panah yang bagaikan hujan yang jatuh dari langit.
Mereka yang berperisai, segera mempergunakan perisai mereka untuk
melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi juga melindungi
kawan-kawannya yang sedang mendesak maju.
Sejenak kemudian kedua pasukan itu telah
bergulat di depan regol dinding istana. Pasukan Kediri yang parah,
dengan susah payah menyusup di antara prajurit Kediri yang masih segar
masuk ke dalam dinding, sedang pasukan yang memang sudah dipersiapkan
telah mencoba menahan pasukan Singasari.
Sri Rajasa dan Mahisa Agni yang tidak
mempunyai lawan itu-pun kini sempat berdiri berdampingan sambil
membicarakan kemungkinan yang mereka hadapi.
“Kita pecah dinding kota,” berkata Sri Baginda.
“Dinding ini terlampau tebal Tuanku,” sahut Mahisa Agni.
“Kita akan memanjat.”
“Berbahaya sekali.”
“Beberapa orang akan saling menyusun diri bersama. Sementara yang lain mecoba melindungi mereka.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi cara
yang disebut oleh Sri Rajasa itu adalah cara yang berbahaya sekali.
Dengan mudah sekali orang yang berada di atas dinding kota yang tebal
itu dapat menyerang mereka yang sedang mencoba memanjat naik.
Tetapi cara lain memang sulit sekali
diketemukan. Masuk melalui gerbang adalah hampir tidak mungkin. Gerbang
yang tidak terlampau lebar itu telah tersumbat oleh pertempuran yang
sengit. Prajurit yang sudah terlanjur bertempur di mulut regol itu,
pasti tidak akan lagi dapat keluar. Maju mereka akan berhadapan dengan
ujung senjata prajurit Kediri, sedang prajurit Singasari yang lain
mendesak dari belakang, sementara prajurit Kediri-pun mempertahankan
jalan masuk itu mati-matian.
Akhirnya perintah Sri Rajasa-pun segera mengumandang di seluruh medan, dan segera pula ditanggapi oleh para Senapati.
Dengan cepatnya pasukan Singasari itu-pun
menebar dan berloncatan melekat dinding. Setiap jengkal seorang
prajurit berdiri bertelekan pada dinding kota. Seorang kawannya yang
lain memanjat di pundaknya dan kawan yang lain lagi harus meloncat pula
naik. Kalau prajurit yang paling bawah merasa terlampau berat, maka
seorang yang lain membantunya menahan berat tubuh orang yang ada di
atasnya.
Orang yang ketiga sudah akan dapat
meloncat dinding apabila ia dapat mengatasi serangan yang datang
bertubi-tubi dari para prajurit Kediri yang berada di atas dinding.
Sehingga, karena itulah maka orang ketiga yang akan naik adalah para
prajurit yang mengenakan perisai atau yang bersenjata tombak panjang,
sedang prajurit yang lain melindunginya dengan panah atau tombak-tombak
pendek yang dilontarkan dari luar.
Demikian banyaknya prajurit Singasari
yang melekat dinding kota itu, sehingga pada suatu saat terdapat juga
bagian-bagian yang lemah dari para prajurit Kediri yang berada di atas
dinding, sehingga ketika beberapa orang Singasari sempat naik keatas
dinding, maka seolah-olah mereka telah membukakan pintu bagi
kawan-kawannya yang lain.
Dengan demikian maka lambat laun,
beberapa orang prajurit Singasari-pun segera berhasil meloncat memasuki
bagian dalam Kotaraja yang sedang dipertahankan.
Dalam kekalutan itu seorang Senapati
bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah sebagian dari kita diperkenankan
memasuki Kotaraja dari pintu-pintu gerbang yang lain.?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya,
“Kita pusatkan seluruh kekuatan di sini. Gerbang-gerbang itu pasti juga
sudah ditutup, dan beberapa orang prajurit pasti sedang menjaganya.
Tanda-tandanya di sini kita akan segera dapat menyelesaikan pekerjaan
ini.”
Perhitungan Mahisa Agni itu-pun ternyata
tidak jauh meleset. Selagi ke dua belah pihak bertempur dengan
dahsyatnya di regol kota, maka beberapa kelompok pasukan Singasari
berturut-turut telah berhasil meloncati dinding.
Ternyata bahwa beberapa kelompok prajurit
itu mempunyai pengaruh yang besar bagi pertempuran yang terjadi di
mulut regol. Kehadiran pasukan Singasari dari arah samping telah
mengejutkan prajurit-prajurit Kediri yang berada di dalam dinding.
Dengan demikian maka pertempuran-pun
menjadi semakin meluas. Pasukan Kediri tertarik untuk melawan prajurit
Singasari yang masuk meloncati dinding, sehingga pertahanan di mulut
regol-pun menjadi semakin berkurang, sedang prajurit Singasari yang
memasuki dinding semakin lama menjadi semakin banyak.
Sementara itu langit yang kelam oleh
mendung yang tebal menjadi semakin kelam. Sekali-sekali guntur meledak
di langit. Semakin lama menjadi semakin sering. Sementara matahari di
balik mendung yang tebal itu-pun merayap terus semakin ke Barat.
Sebenarnyalah bahwa pasukan Kediri yang
terakhir itu-pun tidak mampu lagi membendung pasukan Singasari.
Kemenangan demi kemenangan membuat seiap prajurit Singasari menjadi
semakin berbesar hati.
Kematian Mahisa Walungan dan Gubar
Baleman, dua pahlawan yang gagah berani itu, membuat para prajurit
Singasari menemukan kejakinan, bahwa Kediri pasti akan dapat
ditundukkan.
Di pertahanan yang terakhir inilah
pasukan Kediri dan rakyat yang tetap setia kepada Kotanya, telah
berjuang dengan sekuat tenaga mereka. Peperangan ini tidak hanya sekedar
menentukan nasib Kotaraja Kediri itu sendiri, tetapi apa yang terjadi
di pusat pemerintahan Kerajaan Kediri yang Agung ini, akan menentukan
suatu bentuk pemerintahan dari sebuah wilayah yang luas sekali.
Perang yang semakin lama menjadi semakin
dahsyat itu ternyata telah mendesak prajurit Kediri mundur semakin dalam
memasuki Kotaraja. Prajurit-prajurit yang berjuang di regol-regol
kota-pun sudah tidak mampu lagi bertahan, sehingga sejenak kemudian,
pasukan Singasari yang masih ada di luar regol berhasil mendorong
pasukan Kediri dan menguasai pintu gerbang. Dengan demikian maka
pecahlah bendungan yang menahan arus banjir bandang dari Singasari itu.
Dengan demikian, maka medan perang kini
telah berada di dalam kota. Sri Baginda Kertajaya sendirilah yang
memimpin sisa-sisa dari pasukannya. Luka yang parah pada pasukannya,
telah membuat Sri Baginda Kertajaya menjadi semakin garang, seperti
seekor harimau yang terluka di bagian tubuhnya sendiri.
Mahisa Agni yang berada di pusat pasukan
Singasari melihat Sri Baginda Kertajaya mengamuk. Pusakanya berputar
seperti angin pusaran. Setiap sentuhan dari ujung senjata itu, pasti
akan berakibat maut.
“Kemarahan Sri Baginda Kertajaya harus
mendapat pelayanan,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “kalau tidak,
maka prajurit Singasari akan menjadi bosah-baseh.”
Tetapi ketika Mahisa Agni meloncat maju
untuk menyongsong Sri Baginda Kertajaya, terasa punggungnya digamit
seseorang. Ternyata Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, dibayangi oleh
songsong kebesarannya telah siap pula maju melawan Sri Baginda di
Kediri.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Di medan ini akan bertemu dua orang raja yang besar, yang memiliki
kelebihan yang sukar dicari tandingnya. Sri Baginda Kertajaya dan Sri
Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
“Apakah Tuanku akan menghadapi Sri Baginda Kertajaya sendiri?” bertanya Mahisa Agni di luar sadarnya.
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya, “Ya.
Aku akan melawannya. Menurut pendengaranku, Sri Baginda Kertajaya adalah
seorang Raja yang besar, yang sakti dan tidak ada duanya.”
Mahisa Agni tidak menjawab.
“Aku akan mencoba melawannya.”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri.
“Agni,” desis Sri Rajasa kemudian, “kalau
aku gagal, maka kau adalah orang yang paling terpercaya di seluruh
Singasari. Kau adalah kakak Permaisuriku. Karena itu, seandainya aku
tidak dapat keluar dari peperangan ini karena Sri Baginda Kertajaya,
maka kaulah yang wajib mengatur pemerintahan sampai Pangeran Pati dapat
mengemudikan Kerajaan.”
“Siapakah Pangeran Pati itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Bukankah aku sudah menentukan?”
“Anusapati?”
“Ya. Tidak ada orang lain.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
melihat kesungguhan memancar di wajah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa
itu. Sekilas terbayang sikap Sri Rajasa yang tidak adil atas kedua
puteranya, Anusapati dan Tohjaya. Kedua putera yang lahir dari ibu yang
berbeda dan sebenarnyalah dari ayah yang berbeda pula, karena Anusapati
adalah putera Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi dalam saat yang genting ini Sri Rajasa telah, menyebut nama Anusapati.
Sejenak Mahisa Agni diam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia terperanjat ketika Sri Rajasa berkata, “Aku akan mulai.”
“O,” Mahisa Agni mengangkat wajahnya.
Selama itu pasukan Singasari berhasil mendesak terus. Tetapi tidak
seorang-pun dari para Senapati yang berani mendekati Sri Baginda
Kertajaya seorang diri. Di dalam kelompok yang terdiri dari Senapati
pilihan, prajurit Singasari mencoba membendung kemarahan Sri Baginda
Kertajaya. Tetapi korban masih berjatuhan terus.
Sejenak, kemudian maka Sri Rajasa-pun
melangkah maju di bawah songsong kebesarannya. Selangkah demi selangkah.
Ditatapnya Sri Baginda Kertajaya yang mengamuk sebagai harimau luka.
Siapa yang mendekat pasti akan tersobek dadanya oleh ujung pusakanya.
Tetapi Ken Arok tidak menjadi gentar.
Sejak kecil ia sudah ditempa untuk menghadapi bermacam-macam bahaya.
Sekilas terngiang di telinganya sebuah suara yang memancar dari
ketiadaan, selagi ia memanjat pohon tal ketika ia dikejar-kejar orang.
“Kalau aku memang akan binasa, binasalah
aku saat itu. Tetapi Yang Agung masih melindungi aku,” berkata Ken Arok
di hatinya. “Meskipun pada saat itu ia tidak tahu sama sekali, siapakah
yang telah menunjukkan jalan pelepasan itu. Namun dari Empu Purwa ia
mendengar untuk pertama kali, bahwa Yang Agung adalah sumber dari segala
bentuk kehidupan.”
Kini Ken Arok telah menerjunkan dirinya kekancah peperangan melawan Sri Baginda Kertajaya.
Para prajurit dan Senapati, seakan-akan
telah menyibak ketika mereka melihat Sri Rajasa sendiri maju menghadapi
Sri Baginda Kertajaya, sehingga di sekitar mereka berdua, para prajurit
seakan-akan tidak sempat lagi untuk saling bertempur. Mereka menjadi
ternganga-nganga melihat kedua Raja besar itu bertemu di peperangan.
Dalam kancah peperangan yang riuh, di
mana pasukan Singasari berhasil mendesak pasukan Kediri yang parah maka
kedua rajanya sedang berhadapan untuk menentukan, siapakah di antara
mereka yang akan menguasai telatah yang besar ini, telatah yang sampai
saat itu masih bernama Kerajaan Kediri. Kerajaan yang diperintah oleh
seorang Maharaja yang bernama Kertajaya.
Sejenak kedua raja itu saling berhadapan.
Tetapi mereka agaknya tidak perlu untuk saling bertanya, karena mereka
masing-masing telah mengetahui, dengan siapa mereka berhadapan.
Dengan demikian, maka keduanya segera
menggerakkan senjata masing-masing. Sri Baginda Kertajaya dengan
pusakanya, sebatang tombak dan Sri Rajasa mempergunakan sehelai pedang
dan sebuah perisai kecil memanjang, terbuat dari kepingan baja yang
tipis.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat
dalam perang yang dahsyat, senjata mereka saling beradu, memancarkan
bunga api di udara, sedang guntur di langit masih juga meledak-ledak
tidak hentinya.
Selagi keduanya terlibat dalam perang
tanding yang dahsyat, maka pasukan Singasari berhasil mendesak pasukan
Kediri, sehingga mereka perlahan-lahan semakin terdesak mundur ke dalam
kota. Karena itulah maka Sri Baginda Kertajaya-pun kadang-kadang
terganggu pula karenanya.
Meskipun gerakan maju pasukan Singasari
masih juga tidak dapat secepat di saat-saat pasukan Kediri kehilangan
Gubar Baleman setelah mereka kehilangan Mahisa Walungan, namun untuk
dapat bertahan di dalam kota, agaknya akan terlampau sulit.
Dalam keadaan yang kalut itulah Sri
Rajasa berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk mendesak Sri Baginda
Kertajaya. Namun ternyata Sri Baginda Kertajaya memiliki kemampuan yang
lebih matang dari Mahisa Walungan. Meskipun pada dasarnya ilmu mereka
didasari oleh bahan yang sama, tetapi umur Sri Baginda yang lebih tua,
ternyata berpengaruh pula atas kematangan ilmu pada kedua kakak beradik
itu.
Itulah sebabnya, maka menghadapi Sri Baginda Kertajaya, Sri Rajasa mengalami beberapa kesulitan.
Namun ketika Mahisa Agni mendekati arena
pergulatan dari dua orang yang berilmu raksasa itu, Sri Rajasa
berteriak, “Menyingkir kau Agni.”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni surut
selangkah. Dengan hampir tidak berkedip ia memandang pertempuran yang
semakin lama menjadi semakin seru.
Mahisa Agni sendiri adalah seorang
raksasa di dalam olah kanuragan, sehingga dengan demikian ia dapat
melihat imbangan kekuatan antara kedua Raja yang sedang bertempur itu.
Dalam pada itu, maka pertempuran antara
ke dua belah pihak semakin dahsyat pula. Prajurit Singasari mendesak
lawannya semakin jauh.
Dengan demikian maka timbullah jarak
antara prajurit-prajurit Kediri itu dengan rajanya, sehingga pada suatu
saat, Sri Baginda Kertajaya itu-pun terpisahlah dari para prajuritnya.
Beberapa orang Senapati yang tetap
berusaha mengitari Sri Baginda, seorang demi seorang telah tersingkir.
Bahkan penongsong Sri Baginda Kertajaya-pun telah menjadi terluka parah
dan tidak mampu lagi untuk tetap mengangkat payung pusaka Sri Baginda.
Dengan tenaganya yang terakhir, penongsong itu telah mencoba menancapkan
tangkai bendera itu di tanah. Kemudian perlahan-lahan ia jatuh
terduduk.
Tanpa disadarinya, kini Sri Baginda
Kertajaya telah terkepung di dalam lingkungan pasukan Singasari. Namun
demikian Sri Baginda Kertajaya sama sekali tidak menjadi berkecil hati.
Dengan tekad yang bulat ia tetap bertempur dengan gigihnya. Yang masih
tetap mendampinginya meskipun tubuhnya telah basah oleh darah adalah
Senapati Kediri yang memanggul panji-panji yang terikat pada sebuah
tunggul yang bernama Kiai Gajah.
Ketika Sri Rajasa melihat, bahwa lawannya
telah terpisah dari pasukannya, serta beberapa orang Senapati Singasari
telah mengepung arena, maka Sri Rajasa itu-pun kemudian berteriak,
“Jangan ganggu kami. Kami akan menyelesaikan peperangan ini sebagai
laki-laki.”
Seperti Mahisa Agni. maka para Senapati
itu-pun kemudian melangkah surut, membentuk suatu lingkaran yang
membatasi arena perang tanding antara dua orang raja yang besar.
Ketika Sri Kertajaya menyadari
keadaannya, maka ia-pun kemudian berkata, “Kau memang seorang Raja yang
besar dan jantan. Dengan sebuah perintah yang pendek, maka Sanapatimu
dapat beramai-ramai membunuhku. Tetapi kau bermaksud untuk menyelesaikan
pertempuran ini dengan perang tanding.”
“Ya,” sahut Sri Rajasa, “aku ingin menyelesaikan pertempuran ini dengan perang tanding. Apapun yang akan mengakhirinya.”
Tantangan Sri Rajasa itu telah membuat
dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia, sebagai seorang yang
memiliki ilmu yang hampir mumpuni itu-pun dapat menilai, bahwa Sri
Rajasa memang berada di dalam kesulitan. Meskipun demikian Mahisa Agni
masih belum dapat mengatakan bahwa Sri Rajasa akan dapat di kalahkan
oleh Sri Baginda Kertajaya.
Perang yang berkecamuk antara prajurit
Kediri dan prajurit Singasari masih berlangsung terus. Prajurit Kediri
semakin jauh terdesak masuk ke dalam kota.
Sementara itu prajurit Kediri menjadi
cemas ketika mereka menyadari bahwa Sri Baginda Kertajaya tidak mau
menarik diri bersama pasukan yang bergerak mundur itu.
Beberapa orang Senapati Kediri yang setia
segera berusaha menembus jaringan gelar pasukan Singasari. Tetapi
sampai orang yang terakhir, mereka tidak dapat mencapai Sri Baginda
Kertajaya.
Sedang prajurit-prajurit Singasari
sendiri tidak kalah cemasnya menyaksikan perang tanding yang menjadi
semakin seru itu. Namun setiap Senapati Singasari yang sempat
menyaksikan perang tanding itu merasa bahwa kemampuan ilmu Sri Baginda
Kartajaya agak lebih tinggi dari Sri Rajasa. Ketangkasan Sri Kertajaya
benar mengagumkan. Sri Baginda mampu melontarkan tubuhnya dengan
kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan pandangan mata wadag.
Bukan saja ketangguhan ilmu seperti Mahisa Walungan. tetapi kematangan
dan ketetapan penggunaan setiap unsur dari ilmunya itu.
Dengan demikian semakin lama menjadi
semakin jelas bahwa ilmu Sri Baginda Kertajaya memiliki beberapa
kelebihan dari Sri Rajasa yang sulit untuk dimengerti, ilmu apakah yang
telah dipergunakannya.
Setiap kali Sri Rajasa selalu terdesak.
Meskipun Sri rajasa masih selalu sempat menangkis setiap serangan ujung
tombak Sri Kertajaya, tetapi kecepatan gerak Sri Kertajaya kadang-kadang
telah membingungkannya.
Namun demikian, Sri Rajasa masih tetap
segar seperti permulaan dari perang tanding itu. Meskipun ia harus
memeras segenap tanaganya, tetapi tenaganya sama sekali tidak menjadi
susut.
Dengan tabah ia menghadapi setiap
serangan lawannya. Dengan memutar pedangnya dan perisai kecilnya, Sri
Rajasa masih selalu sempat menghindarkan dirinya dari ujung tombak
lawannya.
Dalam pada itu, Sri Baginda Kertajaya
menjadi heran. Menurut perhitungannya, setiap kali Sri Rajasa kehilangan
kesempatan untuk menghindar atau menangkis serangannya, karena geraknya
yang cepat tidak dapat diikuti oleh lawannya. Tetapi apabila Sri
Baginda Kertajaya hampir memastikan bahwa serangannya akan berhasil
menembus dada Sri Rajasa, tiba-tiba saja, ujung tombaknya itu telah
menyentuh perisai lawannya atau tersentuh oleh pedangnya ke samping.
“Aku tidak mengerti, ilmu apakah yang
dipergunakannya,” desis Sri Kertajaya. Namun karena itulah maka Sri
Baginda itu telah, mengerahkan segenap ilmunya. Apalagi ketika ia sadar,
bahwa ia tidak lagi berada di dalam lingkungan prajuritnya yang telah
terdesak semakin jauh.
Tetapi keheranan Sri Baginda Kertajaya
itu-pun segera terjawab ketika Sri Rajasa-pun telah mengerahkan segenap
kemampuannya pula, meskipun ia sama sekali tidak dapat mengimbangi
kecepatan bergerak Sri Baginda Kertajaya.
Ketika Sri Rajasa sudah sampai pada
puncak pengerahan kekuatan lahir dan batinnya tanpa disadarinya sendiri,
maka Sri Baginda Kertajaya-pun terkejut. Seperti Mahisa Walungan,
ia-pun mampu menangkap sasmita yang memancar di atas kepala Sri Rajasa.
Cahaya yang kemerah-merahan, yang hanya dapat ditangkap oleh indera
seseorang yang berilmu mumpuni.
Mahisa Agni yang berada di luar arena
itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya yang membuat Sri
Rajasa mampu melakukan rencananya, karena ia mempunyai kelebihan yang
tidak ada duanya. Dikasihi oleh dewa-dewa.
Demikianlah maka pertempuran itu-pun
menjadi semakin seru. Tetapi juga seperti Mahisa Walungan Sri Baginda
Kertajaya telah pasrah akan nasibnya kepada Yang Maha Agung. Tetapi ia
sama sekali tidak menyesal, seandainya ia tidak dapat keluar lagi dari
perang tanding ini. Bahkan ada sepercik kebanggaan yang menyentuh
perasaannya, bahwa dewa-dewa sendirilah yang telah mengatur akhir dari
hidupnya.
Namun demikian Sri Baginda Kertajaya
tidak menjadi kendor. Ia masih bertempur dengan sekuat tenaga. Di saat
terakhir ia berkeinginan untuk melihat, apakah yang ada di dalam diri
Sri Rajasa itu selanjutnya.
Para Senapati yang tidak mempunyai indera
setajam Sri Baginda Kertajaya dan Mahisa Agni, tidak dapat melihat
cahaya yang kemerah-merahan itu. Karena itu, mereka-pun menjadi semakin
cemas, bahwa Sri Rajasa seakan-akan menjadi semakin terdesak.
Namun yang tidak dapat mereka mengerti,
dalam keadaan yang betapapun sulitnya, Sri Rajasa pasti dapat
menyelamatkan diri. Seolah-olah mereka telah menyaksikan peristiwa yang
tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi yang tidak mungkin itu ternyata
benar-benar telah mereka lihat.
Bahkan sekali-kali Sri Rajasa itu
terdorong demikian kerasnya, sehingga terbanting jatuh. Namun demikian
cepatnya pula ia meloncat bangkit. Tidak hanya sekali dua kali. Tetapi
berkali-kali. Namun demikian, tenaga Sri Rajasa sama sekali tidak
kelihatan susut. Bantingan yang keras, desakan-desakan serangan yang
membingungkan, sama sekali tidak mempengaruhi. Ia masih saja bertempur
dengan gigih dan mantap. Para Senapati Singasari yang tidak ikut di
dalam pengejaran pasukan Kediri itu menjadi heran, seperti juga pemandi
panji-panji pusaka dari Kediri yang masih berdiri mematung menyaksikan
pertempuran itu. Sejenak kemudian justru Sri Baginda Kertajaya lah yang
tampak menjadi lelah. Keringatnya telah terperas dari seluruh wadah
kulitnya, dan nafasnya-pun telah mulai menjadi semakin cepat mengalir.
Perang tanding itu memang hampir tidak
dapat masuk di akal setiap orang yang menyaksikannya. Meskipun demikian,
mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Semakin lama Sri Baginda
Kertajayalah yang justru kehilangan sebagian dari tenaganya.
Namun Sri Baginda Kertajaya-pun sama
sekali tidak menjadi cemas. Ia menyadari dengan siapa ia berhadapan.
Apapun yang akan terjadi atasnya adalah kehendak dari Yang Maha Agung.
Dalam pada itu langit-pun menjadi semakin
lama semakin gelap. Matahari yang terlindung itu-pun menjadi semakin
rendah di ujung Barat, sehingga sinarnya sama sekali tidak dapat lagi
menembus lapisan awan yang gelap.
Guntur dan guruh saling bersahutan di langit dan lidah api-pun meloncat-loncat dengan dahsyatnya.
Beberapa orang prajurit dan Senapati yang
tanggap akan sasmita alam itu-pun mulai mereka-reka apa yang kira-kira
akan terjadi. Karena itu maka prajurit Kediri-pun menjadi semakin
berkecil hati. Apalagi pasukan Singasari benar-benar telah mendesak
mereka tanpa memberi kesempatan untuk mengatur diri di dalam gerakan
mundur.
Para Senapati di ke dua belah pihak, kini sudah meyakini, bahwa pasukan Kediri pasti akan pecah.
Di saat-saat guntur meledak di langit,
dan di saat titik-titik air hujan jatuh satu-satu, tampaklah, bahwa Sri
Kertajaya seakan-akan telah kehabisan tenaga. Meskipun demikian wajahnya
masih tetap bening dan segar, bahkan sorot matanya yang pasrah telah
membuatnya menjadi semakin tenang.
Dan akhirnya yang sudah diperhitungkan
itu terjadilah. Di saat-saat terakhir, justru Sri Baginda Kertajaya lah
yang selalu terdesak. Bukan karena ilmu Sri Rajasa melampaui kematangan
ilmu Sri Baginda Kertajaya. tetapi kekuatan yang tersembunyi, yang hanya
tampak oleh Sri Baginda sendiri dan Mahisa Agni itulah yang telah
menentukan akhir dari pertempuran itu.
Sejenak Mahisa Agni teringat, bagaimana
pertama-tama ia bertemu dengan Ken Arok di padang Karautan. Di saat itu
hantu itu sama sekali masih belum mengenal ilmu apapun juga. Namun
sebagai seorang murid Empu Purwa yang terpercaya, ia sama sekali tidak
berhasil mengalahkannya.
Tanpa disadarinya Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Agaknya saat itu guru-pun telah melihat cahaya yang kemerah-merahan itu,” katanya di dalam hati.
Di saat-saat itulah teringat olehnya
pusaka yang diterimanya dari gurunnya. Sebuah Trisula kecil. Kecil saja.
Namun di saat ia mempergunakan trisula itu, Ken Arok yang lebih dikenal
dengan julukan Hantu Karautan, sama sekali tidak berdaya melawannya.
Trisula yang menurut gurunya langsung diterima dari langit.
Ternyata bahwa senjata kecil itu telah
membuat orang yang dikasihi oleh dewa-dewa ini menjadi silau, sehingga
ia sama sekali tidak dapat memberikan perlawanan.
Terngiang suara Hantu Karautan saat itu, “Kau curang.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba terbersit di hatinya, “Betapapun saktinya Sri Rajasa, namun
aku memiliki sesuatu yang dapat mengimbanginya.”
Dalam pada itu, pertempuran yang dahsyat
itu-pun sudah mendekati pada saat-saat terakhir. Sri Baginda Kertajaya
adalah seseorang yang memiliki tenaga yang tidak terkirakan besarnya.
Namun melawan Sri Rajasa, tenaga itu seakan-akan begitu cepatnya
terhisap.
Karena itulah maka sejenak kemudian, kekuatannya sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk melawan sambaran pedang Sri Rajasa.
Dengan kekuatan yang tidak terduga-duga besarnya, maka pedang itu-pun terayun dengan derasnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat juga ayunan
senjata itu. Tetapi tangannya seakan-akan telah membeku, sehingga
dengan pasrah ia sama sekali tidak berbuat sesuatu.
Dengan demikian, maka pedang itu-pun segera terhunjam di dadanya. Dada Sri Baginda Kertajaya.
Terdengar Sri Baginda berdesis. Namun
kemudian ia tersenyum sambil bertelekan pada tangkai tombaknya. Katanya,
“Kau adalah lantaran dewa-dewa untuk memusnakan ketamakan kerajaan
Kediri. Kaulah yang akan menyasikan, Kediri yang di saat ini akan
runtuh. Karena itu, ingat-ingatlah Sri Rajasa. Jangan mengulangi
kesalahan Kerajaan Kediri. Ketamakan, keangkuhan dan lupa diri. Tidak
ada manusia yang dapat menyamai Yang Maha Agung. Aku ternyata juga
tidak. Kau-pun tidak Sri Rajasa.” Baginda Kertajaya berhenti sejenak.
Tetapi tampaklah bahwa ia menjadi semakin lemah, “Karena itu,
pergunakanlah kehidupan Kediri yang lampau sebagai cermin bagi
pemerintahanmu yang bakal datang.”
Sri Baginda tidak dapat berdiri tegak
lagi. Sejenak ia terhuyung-huyung. Senapati yang setia, yang masih
memegang panji-panji pusaka pada tunggul Kiai Gajah, mencoba untuk
melangkah maju. Tetapi ternyata bahwa tubuhnya sendiri telah terlampau
lemah, karena darah yang terlampau banyak mengalir dari luka-lukanya
yang arang kranjang.
“O,” desis Sri Baginda yang masih bertelekan pada tangkai tongkatnya sambil terhuyung-huyung, “kau masih di situ?”
“Ampun Tuanku, hamba tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”
“Terima kasih atas kesetiaanmu,” desis Sri Baginda, “sebentar lagi aku akan mati, kembali ke alam asal mulaku.”
“Hamba juga akan serta tuanku.”
Sri Baginda tersenyum. Kemudian ia
berpaling kepada Sri Rajasa, “Sri Rajasa. Di saat-saat terakhir aku
mempunyai permintaan kepadamu, apakah kau mengijinkan?”
Sejenak Sri Rajasa terdiam. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Sebutkan permintaan itu Sri Baginda Kertajaya.”
“Apakah kau mau melepaskan orang ini?”
Sri Rajasa tidak segera menjawab.
“Biarlah ia menghadap adik-adikku di
istana. Adik-adik perempuan. Biarlah ia memberikan kabar kepada mereka,
bahwa aku telah mati di peperangan. Mati sebagai seorang prajurit.”
Dada Sri Rajasa tersentuh juga mendengar
permintaan itu. Sebagai seseorang yang berjiwa besar maka Sri Rajasa-pun
menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak berkeberatan.
Tetapi apakah Senapatimu itu masih mampu mencapai istana?”
Sri Baginda Kertajaya ragu-ragu sejenak. Namun Senapati itu berkata, “Hamba akan mati bersama tuanku.”
“Terima kasih. Tetapi aku akan lebih
berterima-kasih lagi kalau kau dapat mengatakan kepada adik-adikku,
kepada Dewi Amisani, Dewi Hasin dan Dewi Paya.”
Senapati itu menundukkan kepalanya. Namun
kemudian ia berkata, “Kalau itu perintah Tuanku, hamba akan
melakukannya. Sudah tentu apabila tuanku kehendaki, apapun yang akan
terjadi, aku pasti akan sampai ke istana.”
Sri Baginda mengerutkan keningnya. Katanya terputus-putus, “terima kasih. Pergilah.”
Namun sebelum orang itu beranjak dari
tempatnya, Sri Rajasa berkata, “Kau akan melalui medan yang pasti masih
gawat dan berbahaya. Karena itu, biarlah ia dikawal oleh dua orang
Senapati Singasari.”
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Pantaslah bahwa kau akan dapat menjadi seorang
Maharaja yang besar dan bijaksana. Aku sangat berterima kasih atas
kesempatan ini.”
Senapati Kediri itu-pun kemudian
menyerahkan tunggul Kiai Gajah kepada Sri Kertajaya yang sudah tidak
dapat berdiri tegak lagi. Ternyata bahwa Sri Rajasa telah mengijinkan
Senapati itu diantar dengan naik kuda penghubung, menuju ke istana
Kediri.
Ketika kuda-kuda itu berlari meninggalkan
Sri Baginta Kertajaya. maka Sri Baginda itu sudah tidak kuat lagi
berdiri. Hampir saja ia terjatuh, kalau Mahisa Agni tidak cepat
menyambarnya.
“Terima kasih,” desis Sri Baginda Kertajaya, “aku sudah tidak kuat lagi.”
Perlahan-lahan Mahisa Agni-pun
melayaninya dan dibaringkannya Sri Baginda itu di tanah, sedang
kepalanya diletakkannya di atas lengannya.
“Ternyata orang-orang Singasari adalah orang-orang yang baik,” desisnya, “tetapi, kaukah yang bernama Mahisa Agni?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
“Pantas, kau mampu membunuh Gubar
Baleman,” suaranya menjadi semakin lambat, “tetapi kalian adalah kekasih
dewa-dewa. Peliharalah kerajaan Singasari yang sudah kalian rintis itu
dengan baik, supaya kalian tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang
serupa seperti yang dialami oleh Kediri.”
Sri Rajasa-pun kemudian berjongkok pula
di sampingnya. Sambil mengangguk ia berkata, “Ya. Aku akan menjaga
Singasari dengan sebaik-baiknya.”
Sri Baginda tersenyum sejenak. Namun
kemudian matanya-pun terkatub rapat-rapat. Tarikan nafasnya yang
terakhir telah membuat kepala Mahisa Agni dan Sri Rajasa tertunduk
dalam-dalam.
“Seorang Raja yang besar telah gugur,” desis Mahisa Agni.
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Seperti pada saat gugurnya Mahisa Walungan, maka Sri
Rajasa-pun memerintahkan agar jenazah Sri Baginda Kertajaya
diselenggarakan sebaik-baiknya seperti lazimnya bagi para pahlawan yang
mempertahankan keyakinannya.
Demikianlah maka Sri Baginda Kertajaya
yang semula merasa dirinya sebagai pengejawantahan Dewa-dewa tertinggi
di langit. pada saat-saat terakhirnya telah berhasil melihat ke dalam
dirinya sendiri, bahwa bagaimana-pun juga kurnia yang diterimanya. namun
ia tidak akan dapat menyamai Yang Maha Agung, yang melimpahkan kurnia
itu kepada manusia.
Dalam pada itu. Senapati Kediri yang
telah terluka itu-pun berpacu dilayani oleh seorang Senapati Singasari,
dan dikawani oleh Senapati Singasari seorang lagi.
Ketika di hadapan mereka tampak debu yang
mengepul tinggi. Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Di medan
itulah-prajurit di ke dua belah pihak sendang bertempur mati-matian.
Dalam pada itu ketika tiba-tiba hujan
tercurahkan dari langit Senapati Kediri yang sudah lemah itu-pun
berpaling. Perlahan-lahan ia berdesis, “Sri Baginda Kertajaya pasti
telah gugur.”
“Darimana kau tahu?”
“Hujan yang tercurahkan dari langit bukan pada musimnya, guruh yang meledak-ledak dan awan yang hitam ke labu.”
Senapati Singasari itu-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak menjawab.
Ketika kuda-kuda itu mendekati medan,
tiba-tiba beberapa orang prajurit Singasari datang menyergap. Namun
mereka tertegun ketika mereka melihat bahwa di antara mereka yang
berkuda itu adalah Senapati Singasari sendiri. Bahkan ada di antara para
prajurit itu yang sudah mengenalnya.
“Aku mengemban perintah Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi,” teriak salah seorang Senapati itu. sehingga, para
prajurit itu-pun kemudian menarik diri.
Demikianlah setiap kali mereka harus
menyatakan perintah itu, sehingga pada akhirnya mereka melampaui medan,
yang dikuasai oleh pasukan Singasari.
Namun di seberang medan itu, prajurit
Kediri yang terluka itulah yang setiap kali menghalau prajurit-prajurit
Kediri yang mencoba menghalanginya, “Dengarlah,” katanya, “ini adalah
perintah terakhir dari Sri Baginda Kertajaya.”
“Kenapa terakhir?”
Senapati itu merenung sejenak, namun
kemudian ia memutuskan bahwa tidak ada gunanya lagi merahasiakan
gugurnya Sri Baginda Kertajaya. Karena menilik medan yang semakin
bergeser itu. keadaan prajurit Kediri sudah menjadi, semakin payah.
“Sri Baginda telah gugur.”
“He?”
Senapati itu tidak menyahut lagi. Tetapi dilanjutkannya perjalanannya menuju ke istana.
Kedatangan Senapati yang luka parah,
diantar oleh orang-orang Singasari itu menimbulkan persoalan pada para
pengawal. Tetapi akhirnya mereka tidak dapat menolak, ketika dengan dada
tengadah para Senapati Singasari itu melepaskan senjata mereka sambil
berkata, “Kalau kalian meragukan niat baik kami.”
Dengan demikian, maka prajurit Kediri yang luka itu-pun dipapah oleh para prajurit Singasari sampai mereka masuk ke keputren.
Beberapa orang hamba istana menyaksikan
hal itu dengan herannya. Selagi di medan yang dahsyat ke dua belah pihak
bertempur dengan dahsyatnya, bahkan saling membunuh, namun di sini
kedua prajurit Singasari itu memapah orang-orang Kediri seperti melayani
kawan mereka sendiri.
“Itulah buktinya, bahwa perang bukanlah
tujuan para prajurit. Pada suatu saat, mereka akan mengenakan pribadi
mereka masing-masing. Manusia dan kemanusiaan,” berkata salah seorang
hamba istana yang berambut putih.
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Di sini mereka melihat dua dunia yang terpisah dari golongan
yang sama. Prajurit yang berperang, dan prajurit yang berpelukan dan
saling menyatakan sikap kemanusiaan mereka.
Adik-adik Sri Baginda terkejut melihat
kedatangan prajurit itu. Sejenak mereka menjadi ketakutan. Tetapi
akhirnya mereka mengenal bahwa yang seorang itu adalah seorang Senapati
Kediri, pengawal Sri Baginda Kertajaya yang setia.
Sebelum prajurit itu mengatakan sesuatu. Dewi Amisani telah berlari-lari kepadanya sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Ampun tuan Puteri, hamba mengemban perintah Sri Baginda.”
“O. jadi Kakanda Baginda masih selamat?”
Senapati itu tidak menjawab.
“Tetapi siapakah orang-orang ini?”
“Mereka adalah para Senapati dari Singasari.”
“He,” Dewi Amisani terkejut, “kenapa mereka kau bawa kemari?”
“Merekalah yang membawa hamba kemari Tuan Puteri, karena hamba sudah tidak berdaya lagi.”
Dewi Amisani dan adik-adiknya yang telah mendekat menjadi heran mendengar jawaban itu.
“Hamba sudah terluka parah. Dan hamba harus menyampaikan pesan kakanda Sri Baginda Kertajaya.”
“Tetapi, tetapi bukankah Kakanda Baginda selamat,” bertanya Dewi Paya, adik bungsu Sri Baginda.
“Di manakah sekarang Kakanda Baginda?” bertanya pula Dewi Hasin.
Senapati yang terluka itu menjadi
termangu-mangu. Sejenak dipandanginya wajah Senapati-senapati dari
Singasari itu. Tetapi, mereka menundukkan kepala mereka. Di peperangan
mereka, selalu behadapan dengan mata sambil menengadahkan dadanya.
Tetapi di sini mereka tidak berhadapan dengan maut itu, tetapi dengan
kemanusiaan.
Baik para Senapati itu, maupun ketiga
puteri Adinda Sri Baginda Kediri, sejenak dicengkam oleh kebekuan.
Masing-masing saling berpandangan, tetapi seakan-akan mereka tidak dapat
mengatakan sesuatu.
Baru sejenak kemudian justru salah
seorang Senapati dari Singasarilah yang berkata sambil menundukkan
kepalanya, “Ampun Tuan Puteri, sebenarnya bahwa Senapati ini membawa
pesan terakhir Sri Baginda Kertajaya.”
“Kenapa terakhir?” hampir bersamaan ketiga puteri itu bertanya serentak. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan tegang.
“Berkatalah,” desis Senapati Singasari
itu sambil mengguncang tubuh Senapati Kediri yang masih tergantung pada
dua orang Singasari. Tetapi Senapati itu masih berdiam diri sambil
menundukkan kepalanya dalam.
“Berbicaralah,” desis Senapati Singasari
yang lain. Tetapi keduanya menjadi termangu-mangu sejenak. Tubuh itu
serasa menjadi semakin berat tergantung di pundak mereka.
Ketika salah seorang dari mereka mencoba
memandangi wajahnya yang pucat, maka Senapati Singasari itu terkejut.
Prajurit Kediri sudah terlampau lemah.
“Berbicaralah,” desis Senapati Singasari
itu. Dengan lemahnya ia menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya
lirih sekali, “Aku tidak sampai hati mengatakannya.”
“Tetapi harus. Kau harus mengatakan.”
“Ya. katakanlah,” sahut Dewi Amisani, “katakanlah apa yang sudah terjadi dengan Kakanda Baginda.”
“Tuan Puteri,” suara itu sudah hampir tidak terdengar, “hamba, hamba ……”
“Ya, katakan,” desis Amisani yang mendekatinya sambil mendekatkan telinganya kemulut Senapati itu.
“Ampun Tuan Puteri. Sri Baginda telah gugur di peperangan.”
“Gugur?” dewi Amisani hampir menjerit.
Prajurit itu mengangguk dengan lemahnya. lalu lemah pulalah seluruh tubuhnya.
“Prajurit ini-pun sudah meninggal,” desis salah seorang Senapati Singasari.
“O,” Dewi Amisani menutup mulutnya yang
hampir berteriak. Tetapi tiba-tiba saja kedua adiknyalah yang berteriak
serempak, sehingga para emban menjadi terkejut karenanya, dan
berlari-lari mendekatinya.
Kalau para emban tidak menangkapnya, maka
kedua puteri itu pasti sudah jatuh di lantai. karena tubuh mereka
menjadi lemah seperti tidak bertulang lagi.
“O,” Dewi Amisani kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, “Kakanda Baginda telah gugur.”
“Kalian pembunuh,” tiba-Dewi Paya, adik
Sri Baginda Kertajaya yang bungsu berteriak nyaring, “kalian,
orang-orang Singasari telah membunuh Kakanda Baginda dan utusannya.”
Dada kedua Senapati itu berdesir tajam, tetapi mereka tidak menjawab sama sekali.
Tiba-tiba saja puteri yang sudah hampir
kehilangan kekuatannya itu meloncat berlari, menyambar tombak yang
terpancang di sudut ruangan.
“Kubunuh kau. Kubunuh kau yang telah membunuh Kakanda Baginda.”
Kedua Senapati terimangu-mangu sejenak.
Untunglah para emban berhasil mencegahnya, dan Dewi Amisani mencoba
menenteramkannya, “Paya. Sadarilah dirimu. Kakanda Baginda gugur di
peperangan sebagai seorang pahlawan.”
“Tetapi orang-orang Singasari adalah pembunuh.”
Dewi Amisani mengusap dadanya. Ia sendiri
menjadi sangat bersedih karena kematian Sri Baginda Kertajaya. Tetapi
agaknya ia sudah lebih matang, menanggapi keadaan daripada kedua
adik-adiknya. Karena itu. maka didapatkannya adiknya yang bungsu itu.
Sambil membelai rambutnya yang ikal ia berkata, “Jangan menjadi bingung
adikku. Adalah menjadi salah satu pilihan dari para prajurit. Menang
atau gugur di peperangan. Kali ini kanda telah gugur sebagai seorang
pahlawan. Jangan menyalahkan lawan.”
“Kakanda Puteri,” Dewi Paya meloncat
memeluk Dewi Amisani seperti anak-anak, sambil meledakkan tangisnya yang
tidak tertahan lagi.
Dewi Amisani masih membelai rambut
adiknya yang kini ada di dalam pelukannya. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Dewi Hasin-pun duduk sambil menutupi wajahnya yang basah oleh
air mata.
“Adik-adikku,” berkata Dewi Amisani, “marilah, ikutlah aku masuk keruang dalam.”
“Tetapi, bagaimana dengan kakanda Sri Baginda?” bertanya Dewi Hasin.
“Kakanda Baginda telah kembali kealam dewa-dewa.”
“Lalu. bagaimanakah dengan kita kakanda Puteri?”
“Marilah, ikutlah aku. Aku akan berbicara dengan kalian.”
Ketiga Puteri itu-pun pergi meninggalkan
ruangan itu tanpa berkata apapun kepada kedua prajurit Singasari yang
masih berdiri termangu-mangu.
Setelah kedua puteri itu hilang, maka diletakkannya prajurit Kediri yang telah gugur itu, dan dibaringkannya di lantai istana.
“Apakah yang akan dikerjakan oleh ketiga puteri itu?” desis salah seorang Senapati Singasari itu.
Senapati yang lain mengerutkan keningnya,
“Mereka akan memuja untuk arwah Sri Baginda. Tetapi mungkin juga untuk
keperluan yang lain.”
Senapati yang pertama
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa dadanya menjadi
berdebar-debar. Katanya, “Kita menunggu sejenak. Mungkin mereka
memerlukan bantuan kita.”
“Ya,” sahut yang lain, “agaknya mereka menjadi sangat bersedih atas kematian Sri Baginda Kertajaya.”
“Sudah tentu. Mereka adalah adik-adik Sri Baginda.”
Senapati yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi terasa sesuatu menyentuh jantungnya. Ia tidak
merasakan getaran seperti saat itu, di dalam keadaan yang paling gawat
sekali-pun.
Sejenak kedua Senapati dari Singasari itu
berdiri termangu-mangu. Namun adik-adik Sri Baginda Kertajaya itu tidak
menampakkan diri lagi. Meskipun demikian, kedua Senapati itu tidak
segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Dalam pada itu, ketiga puteri itu-pun
segera memasuki ruang dalam istana. Setelah berbicara sejenak, maka
mereka-pun segera pergi kepakiwan.
“Waktu kita tinggal sedikit,” berkata
Dewi Amisani, “kita harus segera selesai. Aku tidak sudi menerima
siapapun masuk ke dalam istana ini, apalagi berhubungan dengan mereka
dalam bentuk apapun.”
“Aku sependapat dengan keputusan itu,” hampir bersamaan kedua adik-adiknya menyahut.
“Marilah adik-adikku,” ajak Dewi Amisani.
“Marilah kakanda Puteri.”
Mereka-pun kemudian mengurai
rambut-rambut mereka yang hitam dan panjang. Kemudian menyiramnya dengan
air yang diberinya wewangian dan bunga-bunga.
“Tuan Puteri,” bertanya seorang emban yang melayani ketiga puteri itu, “apakah yang akan Tuanku lakukan?”
“Aku adalah Adinda Sri Baginda Kertajaya dan adinda kakanda Mahisa Walungan.”
“Ya. demikianlah yang hamba ketahui.”
“Keduanya telah gugur di medan peperangan.”
“Lalu?”
“Tidak ada yang pantas mengganti kedudukan mereka, sebagai Senapati Agung, selain kami bertiga.”
“Tuan Puteri. Tuanku adalah Puteri. Puteri yang tidak pernah mengenal tajamnya senjata.”
“Sudahlah emban. Sediakan apa yang aku perlukan.”
“Tuanku.”
Dewi Amisani tersenyum, meskipun senyumnya adalah senyum yang penuh dengan rahasia.
Emban yang melayaninya tidak bertanya
lagi meskipun masih juga selalu dibayangi oleh keheranan. Beberapa orang
emban yang lain-pun menjadi bertanya-tanya di dalam hati, apakah
sebenarnya yang akan dilakukan oleh ketiga puteri itu.
Sejenak kemudian, setelah ketiganya
selesai dengan membasahi rambut mereka dengan wewangian dan
bunga-bungaan. maka mereka-pun kemudian masuk ke dalam bilik mereka.
“Tunggulah di luar emban,” berkata Dewi Amisani.
Embannya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak berani memaksa untuk ikut serta masuk ke dalam bilik itu.
Di dalam bilik, ketiga puteri itu-pun
kemudian mengemasi diri mereka. Mereka mengenakan pakaian mereka. Bukan
pakaian yang gemerlapan dihiasi dan disulami dengan benang-benang emas.
tetapi mereka telah mengenakan pakaian mereka yang serba putih.
Sejenak kemudian mereka-pun telah selesai
berpakaian. Dengan tanpa ragu-ragu mereka-pun kemudian mengambil
beberapa helai pusaka istana, dan mengenakan di lambung mereka.
Masing-masing sebilah patrem.
Ketika mereka keluar dari dalam bilik,
maka para emban-pun menjadi semakin cemas. Salah seorang dari mereka
memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan Puteri. apakah yang akan tuan
Puteri lakukan?”
Dewi Amisanilah yang menjawab, “Sudah aku
katakan bukan. Tidak ada orang lain yang wajib mengangkat diri menjadi
Senapati Agung, selain kami bertiga.”
“Tetapi, tetapi ……”
Sekali lagi emban itu melihat senyum yang tersungging di bibir Dewi Amisani.
“Kami akan ke Sanggar Pamujan sejenak. Setelah itu, barulah kami akan melakukan kewajiban kami.”
Ketika ketiga Puteri itu berjalan ke
Sanggar Pamujan, maka para emban itu-pun mengikutinya. Semakin lama
semakin banyak. Bahkan hamba-hamba istana yang lain-pun mengikutinya
pula di belakang.
Sejenak kemudian maka keliga Puteri
itu-pun telah memasuki Sanggar Pamujan. Dengan khusuk mereka
mengheningkan cipta, mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung.
Setelah mereka selesai dengan pemujaan itu, maka mereka-pun segera keluar pula dari dalam sanggar.
Di depan pintu sanggar ketiga puteri itu
menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya emban-emban yang selama
ini telah melayani mereka dengan baik. Mengawani mereka di dalam suka
dan duka.
“Tuan Puteri,” seorang emban tiba-tiba
saja telah memeluk kaki Dewi Amisani, “ke manakah Tuan Puteri akan
pergi? Jangan tinggalkan kami. Peperangan bukanlah tempat Tuan Puteri
bermain. Karena itu sebaiknya Tuan Puteri tinggal di istana ini saja
bersama kami.”
“Emban,” jawab Dewi Amisani, “kedua
kakak-kakak kami telah gugur di peperangan. Kakanda Kertajaya dan
kakanda Mahisa Walungan. Sebentar lagi pasukan Singasari pasti akan
memasuki telatah Kotaraja dan sudah tentu akan memasuki istana ini. Maka
apakah pantas bagi kami bertiga, sepeninggal kakak-kakak kami, kemudian
kami menerima orang-orang Singasari itu?”
“Jadi maksud Tuanku?”
“Apakah aku harus mengulangi keputusanku?”
“Tuanku,” emban itu-pun kemudian menangis
sejadi-jadinya. Bahkan beberapa emban yang lain-pun telah menitikkan
air mata pula. Apalagi ketika mereka memandang wajah puteri bungsu. Dewi
Paya. Puteri yang masih terlampau muda. Sedang pada wajahnya
seakan-akan terbayang kebeningan hati seorang gadis remaja yang sedang
meningkat dewasa.
Seorang emban yang gemuk tidak dapat
menahan hati lagi. Tiba-tiba saja berlari dan memeluk kedua Puteri
terkecil. Dewi Paya dan Dewi Hasin. Dengan air mata yang
berlinang-linang ia berkata, “Ampun Dewi. Hamba tidak sampai hati
melihat Tuan Puteri berdua yang sedang bersedih.”
Kedua puteri itu-pun saling berpandangan.
Pandangan dua orang gadis yang bersih seolah-olah tanpa cacat, sehingga
justru sikapnya itu telah membuat emban yang gemuk itu semakin iba.
Tetapi Dewi Amisani kemudian berkata,
“Marilah kita bersikap sebagai keluarga terdekat dari Maharaja Kediri,
Jangan cengeng seperti anak-anak. Saat ini bukanlah waktunya,” Dewi
Amisani berhenti sejenak, lalu, “sebentar lagi pasukan Singasari pasti
sudah akan memasuki ruangan ini dan setiap ruangan di dalam istana. Kami
bertiga akan menunggu mereka di paseban. dan akulah yang akan duduk di
singgasana.”
“Dewi,” para emban itu berdesah.
Tetapi Dewi Amisani sudah berkeras hati
untuk pergi keruang paseban dalam. Ruang yang selalu dipakai oleh Sri
Baginda antuk berbincang dengan lingkungan yang agak terbatas.
Ketika ketiga puteri itu memasuki
paseban. maka beberapa orang emban akan mengikutinya. Namun Dewi Amisani
berkata, “Biarlah kami bertiga saja yang akan menemui mereka apabila
pemimpin mereka memasuki ruang ini.”
Tidak seorang emban dan hamba istana-pun
yang berani memaksa. Mereka dengan gelisah menunggu di luar pintu
bersama dua orang prajurit Kediri yang sedang bertugas. Sedang di
ruangan lain dua orang Senapati Singasari berdiri termangu-mangu. Mereka
tidak tahu apakah yang sebaiknya mereka lakukan atas ketiga puteri adik
Sri Baginda Kertajaya itu. Yang dapat mereka perbuat hanyalah menunggu.
Sebah mereka-pun yakin. bahwa pasukan Singasari pasti akan memasuki
istana ini meskipun seandainya hari akan disaput oleh gelapnya malam.
Seisi istana itu menjadi berdebar-debar
oleh guntur yang sahut menyahut di udara. Hujan yang lebat-pun kemudian
seolah-olah tercurah dari langit, sehingga suasana di seputar istana itu
menjadi suram, sesuram hati ketiga puteri yang kini sudah memasuki
paseban dalam.
Dalam curahan hujan yang deras, dan senja
yang mendatang, maka pasukan Singasari telah merayap maju memasuki
seluruh bagian kota. Para prajurit Kediri tidak dapat lagi bertahan
setelah orang-orang kebanggaan mereka gugur di peperangan. Karena itu,
maka suatu saat perlawanan para prajurit Kediri benar-benar telah patah.
Demikianlah, maka di saat-saat gelap
malam mulai menyentuh bumi Kediri yang pernah menguasai daerah yang
luas, pasukan Singasari telah memenuhi seluruh Kota Raja. Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi sendirilah yang memimpin induk pasukannya bersama
dengan Mahisa Agni memasuki gerbang istana Kediri. Beberapa orang
petugas di pintu-pintu gerbang tidak dapat berbuat apa-apa selain
menyerahkan senjata-senjata mereka.
Kedua Senapati Singasari yang telah
berada di halaman istana itu-pun segera menyongsong pasukan Singasari
yang basah kuyup namun memanggul kemenangan itu.
Sri Rajasa yang melihat kedua Senapati
itu-pun segera bertanya, “He, apakah pesan Sri Baginda Kertajaya sudah
disampaikan kepada adik-adiknya?”
“Hamba Tuanku,” jawab salah seorang dari kedua Senapati itu.
“Di mana Senapati Kediri itu sekarang?”
“Sayang, ia-pun telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya-pun terangguk-angguk.
“Di mana keluarga Sri Kertajaya yang
terdekat itu sekarang? Aku ingin menemui mereka. Aku harus menjelaskan,
bahwa tidak ada permusuhan di antara kita. Bahwa Singasari terpaksa
menyerang Kediri adalah karena cita-cita penyatuan dari daerah yang
menjadi terpecah belah karena kekeliruan sikap dan tindakan Sri
Kertajaya.”
“Mereka ada di dalam istana. Tuanku.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. Bersama pimpinan tertinggi Singasari mereka-pun kemudian memasuki
pusat bangunan istana setelah mereka melampaui beberapa longkangan dan
gerbang-gerbang di setiap bagian.
“Apakah mereka berada di Keputren?” bertanya Sri Rajasa.
“Mungkin Tuanku. Tetapi mungkin pula tidak. Mereka meninggalkan kami dan tidak muncul kembali.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Tetapi
sejenak kemudian ia menunjuk kesuatu sudut yang agak terang, “Kau lihat
beberapa orang emban yang berkumpul itu?”
“Hamba Tuanku.”
“Panggillah mereka.”
Senapati itu-pun kemudian memanggil
beberapa emban yang berdesak-desakan karena ketakutan. Prajurit-prajurit
lawan yang memasuki istana dengan membawa kemenangan kadang-kadang
bertingkah laku kasar dan mengerikan. Tetapi justru yang memimpin para
prajurit itu Sri Rajasa sendiri, maka para prajurit-pun tidak berani
berbuat sekehendak hati mereka.
Bersambung jilid ke 57
No comments:
Write comments