“Hamba Tuanku”.
Witantra pun kemudian meninggalkan Akuwu
seorang diri menimang busurnya, untuk menyiapkan sebuah rombongan kecil
yang akan mengikuti Akuwu Tunggul Ametung pergi berburu. Ketika di
halaman belakang ia bertemu dengan Ken Arok, maka dengan nada berat ia
berkata, “Jangan kau hiraukan lagi kata-kata Akuwu. Ia sendiri akan
segera melupakannya. Mungkin lain kali kau akan mendapat kesempatan
untuk ikut bersama dengan Akuwu pergi berburu”.
Kepala Ken Arok tertunduk. Dengan wajah
yang muram ia menjawab, “Aku menyangka bahwa kata-kataku akan
menimbulkan kemarahan. Aku akan berkata dan bersikap jujur. Seandainya
aku berkata bahwa aku dapat memanah dengan baik, namun ternyata
sebaliknya, aku akan dimarahinya juga. Apalagi, tanpa aku sadari aku
telah menyinggung busur yang baru itu”.
“Besok Akuwu akan melupakan apa yang terjadi hari ini” berkata Witantra.
“Aku belum pernah dimarahi oleh Akuwu
seperti ini. Itulah sebabnya aku merasa, bahwa aku seakan-akan telah
melalaikan suata kesalahan yang maha besar”.
Witantra tersenyum, Jawabnya, “Kau adalah
seorang hamba istana yang bertanggung jawab. Kau selalu berbuat seperti
seharusnya kau lakukan, Apa yang terjadi sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan tugasmu. Itu hanyalah sekedar salah paham yang tidak akan
berpengaruh apa-apa”.
“Mudah-mudahan” desis Ken Arok.
“Percayalah. Besok ia pasti sudah akan lupa, apa yang dikatakannya sendiri”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya
dengan wajah yang muram. Tetapi, ketika Witantra kemudian
meninggalkannya, sekali lagi ia tersenyum dan berkata kepada diri
sendiri, “Witantra hampir sama dungunya dengan Akuwu Tunggul Ametung”.
Beberapa lama kemudian Ken Arok berdiri
di balik sebatang pohon ketika Akuwu bersama pengawalnya berpacu
meninggalkan istana. Tetapi, ketika Akuwu sudah lampau, maka Ken Arok
segera melangkah ke samping sambil menganggukkan kepalanya kepada
Witantra.
Witantra tersenyum sambil mengangkat
tangannya. Kemudian hilang di balik regol samping istana. Yang tinggal
hanyalah kepulan debu yang putih.
Ken Arok berpaling ketika ia mendengar seorang prajurit bertanya, “He, kenapa kau bersembunyi?”
Ken Arok mengangkat keningnya, tetapi ia
tidak menjawab. Sambil menggelengkan kepalanya ia pun kemudian pergi
meninggalkan prajurit itu di tempatnya.
Sepeninggal Akuwu dan beberapa orang
pengawalnya, istana ini serasa menjadi lengang. Ken Arok adalah seorang
hamba istana yang mendapat kepercayaan karena berbagai jasa. yang telah
ditunjukkannya. Itulah sebabnya, maka ia seolah-olah mendapat
kepercayaan untuk memasuki setiap ruang di dalam istana ini. Apalagi
kedudukannya memang memungkinkannya untuk berbuat demikian.
Tetapi, Ken Arok yang telah matang dengan
rencananya itu tidak bertindak dengan tergesa-gesa. Ia harus
menggunakan akal dan nalarnya. Tidak sekedar membiarkan perasaan dan
nafsunya melonjak-lonjak tidak terkendali. Itulah sebabnya, maka tidak
seorang pun yang menaruh curiga terhadapnya. Sikapnya adalah sikap Ken
Arok yang mereka lihat sehari-hari, karena mereka, para hamba istana dan
para prajurit, tidak melihat, apa yang tersimpan di dalam dada anak
muda, pelayan dalam istana Tumapel itu.
Pada hari itu, Ken Arok melakukan
tugasnya seperti biasa. Tidak ada kesan perubahan apa pun, dalam
pandangan mata orang-orang lain yang berada di istana itu pula.
Setiap orang menganggap, bahwa wajar
sekali apabila suatu ketika Ken Arok itu bertemu dengan Permaisuri Ken
Dedes yang sedang turun ke halaman, untuk pergi ke taman. Karena Akuwu
Tunggul Ametung tidak ada, maka Ken Dedes ingin mencari kesibukan dengan
para emban di taman istana.
Dengan hormatnya Ken Arok menganggukkan
kepalanya dalam-dalam. Sambil menunduk Ken Arok bertanya dengan
sopannya, “Ampun Tuan Puteri, apakah Tuan Puteri akan pergi ke taman?”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi, suaranya agak gemetar, “Ya Ken Arok. Aku akan pergi ke taman”.
“Hamba Tuan Puteri” sahut Ken Arok
kemudian, “hamba telah membawa beberapa jenis bunga-bungaan dari taman
yang hamba buat di Padang Karautan”.
Langkah Ken Dedes tiba-tiba berhenti.
Dipandanginya wajah Ken Arok untuk sesaat. Dan tanpa disangka-sangka Ken
Arok mengangkat wajahnya sehingga tatapan mata mereka bertemu. Tidak
seorang pun yang memperhatikan peristiwa sekejap itu. Tidak seorang pun
yang melihat wajah Permaisuri menjadi semburat merah. Dan tidak seorang
pun yang melihat, bahwa sesuatu yang telah tumbuh di dalam hati
permaisuri itu berkembang tanpa dapat dihindarkannya lagi.
Karena itu, maka sesaat Permaisuri itu
seakan-akan terbungkam. Kepalanya pun kemudian menunduk dalam-dalam.
Sekejap ia kehilangan kesadaran diri, sehingga ia tidak berbuat sesuatu,
selain berdiri sambil memandangi ujung ibu jari kakinya.
Para emban tidak ada yang menaruh
prasangka apa pun. Mereka hanya menyangka, bahwa Permaisuri sedang
mengingat-ingat sesuatu. Mungkin tentang bunga yang dikatakan oleh Ken
Arok, di bawa dari Padang Karautan.
Dan ternyata bahwa yang pertama-tama
dikatakan oleh Permaisuri itu kemudian adalah benar-benar tentang bunga.
Katanya, “Manakah bunga itu, Ken Arok. Apakah kau dapat menunjukkan?”
Ken Arok tergagap sejenak. Ia tidak
menyangka bahwa Permaisuri akan minta kepadanya untuk menunjukkan bunga
itu, yang sama sekali tidak pernah ada di dalam taman. Jangankan bunga
yang dibawanya dari Padang Karautan, sedang bunga yang ada di dalam
taman itu pun sama sekali tidak mendapat perhatiannya. Namun demikian ia
menjawab, “Baiklah Tuan Puteri. Tetapi, sudah agak lama hamba tidak
melihat, apakah bunga itu masih ada dan dapat hidup baik untuk
seterusnya”.
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pergilah. Berjalanlah di depan”.
“Ampun Tuan Puteri, hamba akan berjalan di belakang”.
“Berjalanlah di depan”.
Ken Arok tidak dapat membantah lagi.
Meskipun terasa punggungnya seolah-olah dijalari oleh segenggam ulat
yang paling gatal, namun ia berjalan juga di depan Permaisuri.
Ketika mereka memasuki taman, keringat
Ken Arok menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak tahu, kemana ia harus
pergi untuk menunjukkan bunga yang dibawanya dari Padang Karautan,
sehingga untuk sesaat ia berdiri membatu di regol taman.
Ken Dedes yang kemudian berdiri
dibelakangnya terhenti juga. Setelah sejenak Ken Arok berdiri diam,
terpaksa Permaisuri itu bertanya, “Manakah bunga itu?”
Ken Arok berpaling. Kemudian
dibungkukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun sementara itu ia melihat,
bahwa para emban tidak berdiri terlampau dekat dengan permaisuri.
Sejenak Ken Arok dicengkam oleh
kebimbangan. Apakah ia akan mencoba menjajagi perasaan Permaisuri saat
itu juga, justru ketika Permaisuri itu bertanya tentang bunga kepadanya?
Dan justru bahwa bunga yang sesungguhnya tidak ada.
Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar,
dan bahkan jantungnya serasa akan meledak ketika sekali lagi Permaisuri
bertanya, “Kenapa kau berhenti, Ken Arok?”
Dalam keadaan yang demikian, maka
tiba-tiba tumbuhlah kedirian Ken Arok yang sebenarnya. Seorang anak yang
paling liar di seluruh Tumapel. Meskipun kini ia berdiri dengan kepala
menunduk dalam-dalam, meskipun ia berpakaian seperti seorang pelayan
dalam, namun ia tidak berhasil membuat hati dan jantungnya sewarna
dengan pakaian lahiriahnya.
Karena itu, seperti api yang tersekap
dalam sekam, maka ketika Ken Arok tidak mampu lagi menahan dirinya,
meledaklah perasaan yang selama ini membakar dadanya.
Meskipun kepalanya masih menunduk, namun
Ken Arok kemudian berkata sangat lambat, sehingga hanya dapat di dengar
oleh Permaisuri itu sendiri, “Ampun Tuan Puteri, ternyata hamba tidak
memindahkan bunga dari Padang Karautan, tetapi hamba memindahkan bunga
dari Padepokan Panawijen, dan sama sekali tidak hamba tanam di dalam
taman ini”.
Sepercik pertanyaan membayang di wajah
Permaisuri itu. Ia tidak segera menangkap arti kata-kata Ken Arok,
sehingga sesaat ia berdiri saja membisu sambil memandang wajah Ken Arok
yang tertunduk.
“Jadi?” bertanya Permaisuri itu kemudian, “Di manakah kau tanam bunga itu”.
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian ia memutuskan, “Matilah, aku sekarang kalau aku akan mati.
Buat apa aku hidup lebih lama lagi, kalau semua impianku itu tidak akan
dapat terwujud? Seharusnya aku memang segera mengetahui, apakah berguna
untuk berbuat seterusnya, atau aku harus menghentikannya sekarang,
kemudian membunuh diri”.
Permaisuri itu menjadi bingung karena Ken
Arak tidak segera menjawab. Karena itu, untuk melepaskan kegelisahannya
ia mendesak, “Di mana kau tanam bunga itu Ken Arok?”
Kini Ken Arok telah sampai pada tangga
terakhir dari pengkhianatannya. Karena ilu, maka dengan dada
berdebar-debar dan jantung yang serasa meledak ia berkata, “Ampun Tuan
Puterri, bunga itu ada di dalam dada ini”.
Jawaban Ken Arok itu serasa petir yang
meledak di dalam telinga Permaisuri Ken Dedes. Sejenak ia tegak seperti
patung yang membeku. Namun kemudian darahnya seakan-akan berhenti
mengalir.
Taman bunga yang telah berada beberapa
jengkal dihadapannya, serasa berputaran mengelilinginya. Semakin lama
menjadi semakin cepat. Semakin cepat dan semakin cepat.
Permaisuri Ken Dedes itu seakan-akan
kehilangan keseimbangannya. Sejenak ia terhuyung-huyung. Lamat-lamat
bibirnya bergerak dan memanggil, “Emban, emban”.
Emban yang berdiri beberapa langkah
daripadanya tidak mendengar panggilan itu, sehingga Ken Dedes
mengulanginya, “Emban, kemarilah”.
Tetapi, emban itu juga belum
mendengarnya. Mereka berdiri sambil berbisik-bisik di antara mereka.
Mereka tidak melihat, bahwa wajah Permaisuri menjadi terlampau pucat,
dan keringat dinginnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
Ken Arok menyadari keadaan itu, sehingga dengan serta-merta ia memanggil, “He, emban, lihatlah Tuan Puteri itu”.
Emban yang masih berbisik-bisik diantara
mereka itu terkejut. Segera mereka berlari-lari mendapatkan
Permaisurinya yang sudah hampir kehilangan keseimbangan sama sekali.
Melihat Ken Dedes yang pucat dan
berkeringat itu, para emban menjadi bingung. Beberapa orang di antara
mereka segera berusaha menahan agar Ken Dedes tidak terjatuh. Namun
beberapa orang yang lain hanya kebingungan saja tanpa berbuat sesuatu.
“Ampun Tuan Puteri, kenapa Tuan Puteri?”
Ken Dedes tidak menyahut. Ia berusaha berpegangan kepada dua orang emban yang berdiri di kedua sisinya.
“Aku akan kembali ke istana emban” desis Permaisuri.
“Tetapi, kenapakah sebenarnya Tuan Puteri?” Ken Dedes menggeleng, “Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku merasa pening”.
“Marilah Tuan Puteri”. berkata salah seorang dari emban itu, “Hamba antar Tuan Puteri kembali ke istana”.
Kedua emban yang masih sempat berpikir
itu segera memapah Ken Dedes kembali ke istana. Sementara yang lain
masih saja kebingungan.
Sementara itu, Ken Arok masih berdiri
tegak seperti patung. Ia sadar, bahwa keadaan Permaisuri itu adalah
akibat dari kata-katanya. Tetapi, ia belum tahu pasti, apakah tanggapan
Permaisuri itu sebenarnya.
Tetapi, tekat Ken Arok sudah tidak dapat
diredakan. Ia bergumam di dalam hatinya, “Hanya ada dua pilihan, mukti
atau mati. Kalau aku harus mati, biarlah itu cepat terjadi. Besok atau
lusa, kalau Akuwu kembali dari berburu, Permaisuri pasti akan
mengatakannya, bahwa aku telah berkhianat. Pada hari itu juga aku akan
di gantung di depan regol samping istana, atau di tengah alun-alun.
Tetapi, apabila besok atau lusa Akuwu Tunggul Ametung kembali, dan aku
tidak segera harus menjalani hukuman mati, maka itu suatu pertanda bahwa
Permaisuri Ken Ddes tidak marah kepadaku. Aku akan berjalan terus
sesuai dengan rencanaku”.
Ken Arok itu pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih melihat emban pemomong Ken
Dedes yang kebetulan tidak ikut pergi ke taman berlari-lari menyongsong
momongannya. Kemudian membantu memapahnya masuk ke dalam istana.
Dengan penuh kasih sayang emban tua itu
membawa Ken Dedes berbaring di pembaringannya. Kemudian dibelainya
keningnya dan di pijit-pijitnya pundaknya.
“Kenapa Tuan Puteri?” dengan sareh ia bertanya, “Apakah Tuan Puteri sakit?”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Sekilas terbayang wajah pelayan dalam yang masih muda itu berdiri sambil
tersenyum. Tiba-tiba pula teringat olehnya, pergaulan masa kecilnya.
Kemudian pada saat ia tumbuh menjadi dewasa.
Sepercik kenangan telah membayang di
rongga matanya, tentang seorang anak muda yang bernama Wiraprana. Tanpa
sesadarnya Ken Dedes itu mulai memperbandingkannya. Dan tiba-tiba saja
ia berkata di dalam hatinya, “Kenapa kedua mempunyai beberapa persamaan?
Tetapi, aku tidak dapat mengatakan, dimanakah letak persamaan itu”.
Permaisuri itu terkejut ketika ia mendengar suara embannya, “Apakah Tuanku menjadi pening sekali?” Ken Dedes mengangguk.
“Kenapa Tuan Puteri? Apakah Tuan Puteri terkejut, atau cemas atau tiba-tiba saja teringat akan sesuatu?”
Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Tidak bibi?”
“Lalu, kenapa Tuanku tiba-tiba saja menjadi hampir pingsan?”
Permaisuri itu menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak tahu bibi. Tiba-tiba saja mataku menjadi berkunang-kunang,
dan taman itu seolah-olah berputar. Badanku menjadi sangat dingin,
tetapi peluhku serasa terperas dari tubuh”.
“Mungkin Tuan Puteri terlampau lelah.
Atau Tuan Puteri mempunyai suatu keinginan yang tidak terucapkan. Apakah
Tuan Puteri ingin ikut berburu?”
Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Tidak bibi. Aku tidak mempunyai keinginan apa pun juga”.
Emban tua itu tidak bertanya lagi. Kini
ia memijit lengan dan pergelangan Permaisuri yang menjadi dingin sekali.
Ketika seorang emban membawa minyak kelapa dan brambang, maka segera
diulaskannya pada telapak kaki Ken Dedes supaya menjadi hangat.
“Tidurlah Tuan Puteri” berkata emban tua itu, “Kalau Tuanku dapat tidur, maka Tuan Puteri pasti akan segera sembuh”.
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Dipejamkannya matanya dan dicobanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.
“Aku salah dengar” berkata Permaisuri itu kepada diri sendiri di dalam hatinya, “Mudah-mudahan aku salah dengar”.
“Tetapi,” suara itu terdengar pula di relung jantungnya, “Ia bersungguh-sungguh. Aku pasti, ia telah mengatakannya”.
Ken Dedes menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ditutupnya wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Permaisuri itu terkejut ketika embannya bertanya pula, “Apakah ada yang mengganggu perasaan Tuan Puteri?”
“Oh, tidak bibi, tidak”. jawabnya dengan serta-merta.
“Aku hanya merasa terganggu sekali, bahwa aku tidak dapat segera tidur. Aku ingin beristirahat, dan tidur dengan nyenyak”.
“Tuanku harus meletakkan semua beban
perasaan” sahut embannya, “Mudah-mudahan Tuanku segera dapat tidur.
Hamba akan berada di luar pintu”.
Ken Dedes tidak menyahut, tetapi ia mengangguk-angguk kecil.
Emban tua itu pun segera meninggalkan Ken
Dedes seorang diri berbaring di dalam biliknya. Namun kesendiriannya
itu agaknya telah memberi kesempatan kepadanya, kepada angan-angannya,
untuk menyelusuri dunia yang mengambang. Pikirannya jauh menerawang ke
alam yang tidak dapat disentuhnya. Dan dalam dunia yang asing itulah
terjadi benturan yang dahsyat antara perasaan keperempuanannya dengan
pikiran wajarnya.
“Aku seorang Permaisuri” suara itu
terdengar melengking di dadanya. Namun kemudian terdengar suara yang
lain, “Tetapi, aku belum pernah meneguk betapa manisnya memadu cinta.
Aku telah kehilangan masa remajaku, dan aku terlempar ke dalam sangkar
emas yang mengurungku kini”.
Berganti-ganti membayang di dalam
angan-angannya wajah-wajah Kuda Sempana, wajah Tunggul Ametung, Mahendra
dan Wiraprana. Terbayang pula wajah-wajah lain yang pernah
disebut-sebut oleh ayahnya dahulu ingin melamarnya.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Terasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat berdetak.
“Aku berhak menikmati cinta itu” desisnya, “Seperti anak-anak muda yang lain, yang kawin dengan laki-laki yang mereka cintai”.
Demikianlah, dada Ken Dedes itu serasa
terbakar oleh benturan perasaan yang tidak dapat dikendalikan, sehingga
akhirnya ia tidak dapat menahan hatinya lagi.
Pemomongnya yang berada di luar pintu
menjadi cemas, ketika ia mendengar Ken Dedes itu sama sekali tidak
tertidur, namun justru menangis. Karena itu, maka perlahan-lahan ia
bangkit dan berjalan memasuki bilik itu dengan hati-hati. Supaya tidak
mengejutkan Permaisuri yang sedang menangis itu, emban pemomongnya
terbatuk-batuk kecil di depan pintu.
Emban tua itu pun kemudian duduk
bersimpuh di samping pembaringan Permaisuri itu sambil bertanya
perlahan-lahan, “Apakah sebenarnya yang telah mengganggu perasaan Tuan
Puteri? Sejak Tuanku masih kecil hamba selalu melayani Tuan Puteri. Tuan
Puteri tidak pernah menyimpan rahasia kepada hamba. Kini agaknya
sesuatu sedang mengganggu hati Tuan Puteri. Apakah salahnya kalau Tuan
Puteri bersedia membaginya dengan hamba. Mungkin hamba dapat membantu
mencari jalan untuk menyelesaikan kesulitan yang agaknya sedang Tuanku
sandang”.
Tetapi, Ken Dedes yang sekarang bukan Ken
Dedes yang dahulu. Perlahan-lahan Permaisuri itu menggeleng, “Aku tidak
apa-apa bibi. Tetapi, kepalaku terlampau pening”.
Namun emban tua itu pun menggelengkan kepalanya pula. Katanya, “Hamba melihat sesuatu yang menyesak di dalam hati Tuanku”.
“Tidak bibi, sungguh tidak”.
Emban itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dibelainya Ken Dedes itu seperti ia membelainya di masa
kanak-kanak. Dengan suara yang lembut emban itu berkata, “Tuanku, sejak
Tuanku kecil aku selalu, melayani Tuanku. Dalam keadaan yang
bagaimanapun juga. Pada saat-saat Tuanku berada di dalam kesulitan, yang
betapa pun juga, Tuanku selalu mengatakannya kepada hamba. Bahkan pada
saat ayahanda Tuan Puteri menerima lebih dari sepuluh lamaran
bersama-sama. Ternyata Tuan Puteri tidak menghendaki seorang pun
diantara mereka. Tetapi, Tuanku tidak berani mengatakannya. Bukankah
Tuanku ingat bahwa Tuanku mengatakannya kepada hamba, bahwa Tuan Puteri
telah mempunyai pilihan”.
“Jangan, jangan bibi” tangis Ken Dedes
justru menjadi semakin keras. Sambil memeluk pemomongnya ia berkata
terus, “Jangan kau katakan lagi tentang hal itu bibi. Kau akan
mengungkit luka yang masih membekas di dalam hati, yang justru kini
seakan-akan telah menjadi parah kembali”.
Emban tua itu mengerutkan keningnya.
Jawaban itu wajar sekali. Agaknya Ken Dedes tidak mau mengenang
masa-masa yang baginya terasa terlampau pahit itu. Namun yang menyentuh
jantung emban tua itu adalah pengakuan Ken Dedes, “yang justru kini
seakan-akan telah menjadi parah kembali”.
Emban tua itu menjadi berdebar-debar.
Apakah yang sebenarnya sedang mengganggu hati pemomongnya ini? Apakah
kenangan lama itu justru sedang tumbuh di dalam hatinya dan menimbulkan
kejutan yang hampir membuatnya pingsan?
“Tentu ada rangsang apapun yang menuntun
kenangannya terbang kembali kemasa-masa itu” berkata emban itu di dalam
hatinya. Dan itu terjadi terlampau tiba-tiba. Tadi, sebelum emban itu
meraba ke dalam dunia yang hanya dikhayalkan saja oleh Ken Dedes, dan
yang membuatnya semakin terisak, emban itu menduga bahwa sebenarnya Ken
Dedes tiba-tiba saja menjadi pening dan mungkin gangguan pada
bagian-bagian tubuhnya. Tetapi, kini ia berpikir agak lain.
“Sebelum Akuwu meninggalkan istana,
Permaisuri sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala yang demikian”
berkata emban itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, emban itu sama
sekali tidak mempunyai petunjuk, ke arah mana ia harus mencari jawaban.
Di hari berikutnya, Permaisuri tampak
lebih banyak merenung. Namun setelah matahari memanjat agak tinggi,
tiba-tiba Permaisuri itu berminat untuk pergi ke taman.
“Kali ini kau harus ikut bibi” berkata Permaisuri itu kepada pamomongnya.
“Hamba Tuanku. Apa perintah Tuanku, akan baik untuk hamba”.
Permaisuri itu kemudian segera berkemas.
Beberapa kali ia menukar pakaiannya dan beberapa kali pemomongnya
membantunya menyanggul rambutnya.
“Aneh” desis emban itu di dalam hati,
“Tuan Puteri tidak pernah berpakaian demikian rapinya untuk sekedar
pergi ke taman”. Tetapi, emban tua itu tidak berani bertanya.
Dengan beberapa yang lain, Permaisuri itu
pun kemudian pergi ke taman. Suatu kebiasaan baru baginya. Biasanya
Tuan Puteri Ken Dedes berjalan-jalan ke taman di sore hari. Jarang
sekali terjadi, Ken Dedes turun ke taman di pagi hari.
“Mungkin Tuan Puteri kesepian karena
Akuwu belum kembali dari berburu” desis beberapa emban dan palayan yang
melihatnya. Namun selanjutnya mereka sama sekali tidak mempersoalkannya
lagi.
Para emban itu juga tidak menghiraukan,
kenapa Tuan Puteri berjalan terlampau lambat. Mereka tidak
memperhatikannya, bahwa Permaisuri itu selalu menebarkan pandangan
matanya ke segenap sudut-sudut halaman. Diamat-amatinya setiap prajurit,
pelayan dalam dan para pengawal yang sedang bertugas. Namun setiap kali
ia menjadi kecewa dan menarik nafas dalam-dalam.
Hanya emban tua pemomongnyalah yang
memperhatikan semua itu. Dengan persoalan yang semakin membelit hatinya
ia melihat kelainan yang tiba-tiba saja menghinggapi Permaisuri
momongannya itu, meskipun masih terlampau sukar untuk diselusuri
sebab-sebabnya.
Seperti seorang ibu yang mengamat-amati
tabiat dari anak tercinta. Demikianlah, emban tua pemomong Ken Dedes itu
mencoba melihat apakah yang sebenarnya telah menarik perhatian
Permaisuri itu. Emban tua itu selalu memandang apa yang di pandangi oleh
Permaisuri dan mengamat-amati olehnya. Setiap lembar daun yang di
sentuh oleh Permaisuri itu tidak luput dari sentuhan tangannya pula. Ia
ingin mencari sebab kemurungan hati Permaisuri itu, dan apakah yang
telah menyeretnya pagi ini pergi ke taman.
Emban tua itu mengerutkan keningnya
ketika ia melihat tiba-tiba saja permaisuri itu tertegun beberapa
langkah di depan regol taman. Sejenak ia melihat sepercik sinar yang
aneh memancar di wajah itu. Namun sejenak kemudian wajah itu pun
tertunduk dalam-dalam.
Wajah emban tua itu pun dengan tiba-tiba
telah menegang, wajahnya memandang ke tempat yang telah membuat wajah
Permaisuri berubah dengan tiba-tiba.
Wajah emban tua itu pun dengan tiba-tiba
telah menengang. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sejenak kemudian
ia menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kemudian wajah Permaisuri
yang menunduk.
Orang tua itu seakan-akan tidak percaya
akan yang telah dilihatnya. Sebagai seorang tua ia mempunyai tanggapan
atas peristiwa yang terjadi hanya sekejap itu.
Ketika ia sekali lagi mengangkat wajahnya
dan memandang ke dalam taman, hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Ia melihat seorang anak muda yang seolah-olah membantu sambil
menundukkan kepalanya pula. Seorang anak muda dalam pakaian seorang
pelayan dalam. Ken Arok.
Tiba-tiba tubuh emban tua itu menjadi
gemetar, seperti Permaisuri Ken Dedes. Namun dengan susah payah pemomong
itu berhasil mempertahankan keseimbangan nalarnya. Dengan sepenuh
kesadaran ia berhasil menguasai dirinya. Sehingga kemudian dengan sareh
ia bertanya, “Tuan Puteri, kenapa Tuan Puteri berhenti di sini?”
“O” Ken Dedes tergagap, “Tidak bibi, tidak apa-apa”.
“Apakah Tuan Puteri akan memasuki taman?”
“Ya, ya” sahut Ken Dedes yang perlahan-lahan telah berhasil menguasai dirinya, “Aku akan pergi ke taman”.
“Marilah Tuan Puteri”.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia
berjuang untuk tidak hanyut lagi dalam arus goncangan perasaan seperti
kemarin, yang dengan tiba-tiba ia telah dihempaskan ke dalam suatu
keadaan yang tidak disangka-sangka, sehingga ia tidak mempunyai
persiapan apapun untuk menghadapinya.
Kini ia berada dalam keadaan yang lebih
baik dari kemarin, meskipun dadanya masih juga terasa terguncang.
Pengakuan Ken Arok tentang bunga yang dipindahkannya dari Panawijen ke
dalam dadanya membuatnya hampir-hampir kehilangan kesadaran.
Ken Dedes itu mengangguk ketika sekali lagi emban pemomongnya mendesak, “Marilah Tuanku”.
“O” Permaisuri itu berdesah. Kemudian dengan berat diangkatnya kakinya dan melangkah maju memasuki taman.
Para emban yang lain sama sekali tidak
memperhatikan peristiwa yang terjadi tidak terlampau lama itu. Mereka
hanya menyangka bahwa Ken Dedes menjadi ragu-ragu karena teringat
keadaannya kemarin. Atau semula mereka menjadi agak cemas jangan-jangan
Permaisuri akan terserang penyakitnya yang kemarin itu pula.
Tetapi, ketika Permaisuri itu kemudian
melangkah maju, mereka sama sekali sudah melupakannya. Mereka sudah
mulai berbisik-bisik lagi di antara mereka. Mereka mulai memperkatakan
diri mereka sendiri. Ada pula yang memperkatakan jenis-jenis bunga yang
menjadi semakin banyak, dan ada pula yang menjadi heran, apa saja kerja
pelayan dalam yang cakap itu di dalam taman sepagi ini? Tetapi, mereka
tidak melihat sorot mata Ken Arok yang seolah-olah akan membakar tubuh
Permaisuri Ken Dedes itu.
Dengan kaki gemetar Ken Dedes memasuki
taman. Segera ia pergi ke arah yang barlawanan dari tempat Ken Arok
berdiri mematung. Permaisuri itu tidak membalas dan bahkan seakan-akan
tidak melihat, ketika dengan penuh hormat Ken Arok menganggukkan
kepalanya dalam-dalam.
“Hem” Ken Arok itu berdesah di dalam dadanya, “Burung-burung akan menjadi gila melihat kecantikannya di cemerlangnya pagi”.
Dan matanya hampir-hampir tidak berkedip
melihat Permaisuri yang kemudian membelakanginya. Ken Arok itu pun tidak
melihat, bahwa sepasang mata wanita tua selalu memperhatikannya dengan
saksama.
Di sudut taman itu kemudian Permaisuri
berhenti dan duduk di atas sepotong kayu yang di alasi dengan kulit
domba yang lunak. Dicobanya untuk memandangi ujung dedaunan yang sedang
bersemi dan kuncup-kuncup yang hampir mekar. Namun matanya seolah-olah
tidak melihatnya. Pandangannya yang kosong bergerak-gerak tidak menentu,
sama sekali tidak sejalan dengan rabaan ujung jarinya yang lentik.
Emban tua pemomongnya duduk bersimpuh di
atas rerumputan meskipun masih basah oleh embun. Terasa getar di dadanya
seolah-olah menjadi semakin cepat. Sekali-kali ia masih mencoba
memandangi Ken Arok yang masih berdiri di tempatnya, tanpa menghiraukan
dua orang juru taman yang lewat di mukanya sambil menjinjing parang
menyabit rumput.
Ken Arok pun sama sekali tidak melihat
juru taman itu kemudian menghilang di balik regol butulan, karena ia
tidak dapat meneruskan pekerjaannya justru di dalam taman itu sedang
hadir Permaisuri Ken Dedes.
Betapapun pahitnya, namun emban tua itu
telah memberanikan diri berkata kepada dirinya sendiri, “Inilah agaknya
yang telah membuat Permaisuri menjadi murung”. Namun sebuah pertanyaan
telah terselip di dadanya pula, “Tetapi, kenapa dengan tiba-tiba.
Perasaan yang demikian akan tumbuh dengan perlahan-lahan karena mereka
telah sering betemu. Ken Dedes tidak baru kemarin melihat anak muda yang
bernama Ken Arok itu dan sebaliknya”.
Emban itu tidak segera dapat menemukan
jawabnya. Tetapi, sesuatu yang hampir pasti, “Ken Dedes telah
dipengaruhi oleh perasaan seorang perempuan atas seorang laki-laki”.
Tangkapan emban tua itu atas sikap Ken
Dedes telah membuatnya sangat prihatin. Meskipun ia belum yakin akan
kebenarannya, namun ia condong pada dugaan itu. Ia tidak melihat alasan
lain yang dapat dipakainya untuk menilai keadaan Permaisuri.
Ternyata Ken Dedes juga tidak lama berada
di dalam taman. Ia tidak berjalan-jalan melihat-lihat seperti biasanya,
dan memetik kuncup bunga untuk di bawa ke dalam biliknya. Ia hanya
sekedar duduk dan termenung. Kemudian berdiri dan berkata kepada
pemomongnya, “Kita akan kembali emban”.
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Marilah Tuan Puteri”.
Permaisuri itu pun kemudian berjalan
perlahan-lahan meninggalkan tempat duduknya. Sejenak matanya beredar ke
seluruh taman. Agaknya ia sedang mencari sesuatu.
Emban tua itu masih saja selalu
memperhatikannya. Ken Arok memang sudah tidak berdiri di tempatnya lagi.
Tetapi, emban tua itu tahu pasti, bahwa Ken Arok tidak akan pergi
terlamapau jauh. Ia pasti berada beberapa langkah saja dari regol.
Dugaan emban tua itu tepat. Begitu
Permaisuri melangkahkan kakinya keluar regol taman, langkahnya itu pun
tertegun. Wajahnya kemudian menjadi pucat, dan keringat dingin mengembun
di keningnya.
Sekilas pandangan matanya berbenturan
dengan tatapan mata Ken Arok yang seolah-olah telah membakar jantungnya.
Kemudian pandangan matanya itu pun jatuh di atas tanah yang di tumbuhi
oleh rerumputan yang hijau.
Permaisuri itu menjadi bingung ketika Ken
Arok membungkukkan kepalanya dalami sambil bertanya perlahan-lahan,
“Ampun Tuanku. Tuanku hanya sebentar sekali berada di dalam taman”.
Keringat dingin semakin banyak mengalir
di kening dan punggungnya. Terbata-bata ia menjawab, “Ya, ya. Aku sudah
terlampau lelah”.
“Bukankah Tuanku baru saja datang ke dalam taman ini?”
“Ya” Ken Dedes mengangguk.
“Dan sekarang Tuanku telah kembali ke istana?”
“Ya“.
Ken Arok pun menjadi bingung, apa yang
akan dikatakannya. Namun sekali lagi ia mencoba memandang wajah
Permaisuri itu walaupun hanya sekilas, kemudian berkata pula, “Silahkan
Tuanku”.
“Oh” Ken Dedes tergagap. Sambil meremas tangannya sendiri, ia berkata, “Aku akan kembali ke istana”.
Ken Arok tidak menyahut lagi. Sambil
membungkuk dalam-dalam ia melangkah surut, seolah-olah memberi
kesempatan kepada Permaisuri untuk berlalu.
Ken Dedes pun tidak mengucapkan sepatah
kata lagi. Dengan dada yang berdebar-debar ia berjalan langsung masuk ke
dalam biliknya. Hanya emban pemomongnya sajalah yang mengikutinya
sampai ke dalam bilik. Yang lain segera berkumpul di ruang belakang.
Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi apa yang telah terjadi.
Mereka telah mulai lagi berbicara tentang diri mereka sendiri. Saling
mengganggu dan mengejek.
Sementara itu, Ken Dedes langsung
berbaring di pembaringannya tanpa berganti pakaian. Permaisuri itu
hampir-hampir tidak tahu, bahwa emban pamomongnya duduk bersimpuh di
sampingnya, apabila emban itu tidak bertanya, “Apakah Tuanku tidak akan
berganti pakaian dahulu?”
“Oh” Permaisuri itu berpaling, “Aku terlampau lelah bibi. Nanti sajalah”.
Emban tua itu menggigit bibirnya. Sambil
mengangguk-angukkan kepalanya ia bertanya, “Apakah hamba diperkenankan
untuk meninggalkan bilik Tuanku?”
“Tunggu bibi” jawab Permaisuri itu sambil
bangkit dari pembaringannya. Namun sejenaik kemudian ia berkata, “Ah,
baiklah. Aku kira tidak ada yang harus kau lakukan pagi ini”.
“Hamba Tuanku. Kalau begitu, hamba akan mohon diri”.
Dahi Ken Dedes itu berkerut. Agaknya ia
sedang memikirkan sesuatu. Namun kemudian ia mengangguk, “Baiklah emban.
Tetapi, jangan pergi. Mungkin aku memerlukanmu”.
Emban tua itu pun segera meninggalkan
bilik itu. Tetapi, ia tidak pergi seperti pesan Permaisuri. Ia duduk
saja di depan bilik itu sambil merenung.
Tiba-tiba, pandangan mata emban tua itu
menjadi kabur. Ketika ia mengusap matanya, terasa tangannya menjadi
hangat. Setitik air telah melelah dari mata yang tua itu.
Satu-satu terbayang berbagai macam
kenangan masa lampau. Sejak ia merawat seorang gadis padepokan yang
masih kecil. Gadis yang kemudian mekar menjadi sekuntum bunga di lereng
Gunung Kawi. Namun ketika bunga itu mulai kembang, seakan bertiup badai
yang kencang, mengguncang-guncangnya dan menghentak-hentakkannya tanpa
belas kasihan.
Terbayang kembali di dalam angan-angan
emban tua itu, betapa ia mencoba melindungi gadis itu dari renggutan
tangan Kuda Sempana. Terbayang pula sepasukan prajurit di bawah pimpinan
Tunggul Ametung sendiri merampas gadis itu. Yang terakhir, Ken Dedes
adalah seorang Permaisuri dari Akuwu Tunggul Ametung.
Terkilas pula seleret kenangan tentang Wiraprana, dan kemudian tentang anaknya sendiri Mahisa Agni.
“Hem” emban tua itu berdesah. Dicobanya untuk mengusir kenangan yang telah mengganggu ingatannya itu.
“Tidak ada gunanya” katanya kepada diri
sendiri ”Semuanya itu sudah berlalu. Yang sekarang dihadapi oleh Ken
Dedes adalah suatu masa yang terlampaui di masa remajanya. Sepeninggal
Wiraprana, maka ia merasa kehilangan hari-hari yang penuh dengan
angan-angan tentang masa depan. Perkembangan keadaan telah
melemparkannya ke dalam istana. Dengan susah payah Ken Dedes berusaha
untuk menyesuaikan dirinya dengan menekan semua perasaannya, dengan
berusaha melupakan masa-masa yang hilang itu. Namun agaknya kini
tiba-tiba saja, masa itu tumbuh kembali dalam hatinya yang semula telah
menjadi hambar. Agaknya anak muda yang berpakaian seperti pelayan dalam
itulah yang telah melemparkannya kembali ke dalam dunia angan-angan,
seorang gadis remaja”.
Sekali lagi emban tua itu mengusap
matanya yang menjadi panas. Dan sekali lagi terasa setitik air mata
telah pecah di pelupuknya.
“Apakah akan jadinya apabila perasaan ini
berkembang terus di dalam hatinya?” berkata orang tua itu kepada diri
sendiri, “Apalagi, menilik sikap Ken Arok yang pasti akan menanggapinya”
emban itu berdesah, “Ya, laki-laki manakah yang akan menolak tumpahan
kasih dari seorang perempuan secantik Ken Dedes?”
Emban tua itu kemudian bangkit berdiri
dan menjengukkan kepalanya dari pintu yang tidak digerendel. Ia menarik
nafas dalam-dalam ketika dilihatnya Permaisuri Ken Dedes itu tidur
dengan nyenyaknya. Bibirnya yang tipis membayangkan sebuah senyuman yang
aneh.
Karena Permaisuri itu tidur, maka emban
itu pun kemudian meninggalkannya setelah pintunya di tutup rapat. Kepada
seorang emban yang lain, ia berpesan untuk menungguinya di luar pintu
apabila Permaisuri itu memerlukan seseorang untuk membantunya.
“Mudah-mudahan Akuwu segera kembali”
emban itu mengharap di dalam hatinya, “Apabila suaminya ada, maka
Permaisuri itu akan tidak mendapat kesempatan untuk berpikir tentang
hal-hal lain yang dapat menyeretnya ke dalam malapetaka”.
Tetapi, ternyata hari itu pun Akuwu masih
belum kembali. Karena itu, maka Ken Dedes masih mendapat kesempatan
yang luas untuk merenungkan mimpinya yang indah.
Ketika emban tua itu kembali ke bilik Ken
Dedes di sore hari, sekali lagi hatinya berguncang. Permaisuri yang
masih belum mandi, tetapi masih mengenankan pakaian yang dipakainya
turun ke taman, sedang bercakap-cakap dengan Ken Arok di tangga serambi
belakang.
Meskipun anak muda itu bersikap terlampau
hormat kepada Ken Dedes, namun emban tua itu tidak dapat menyangsikan
lagi menilik tatapan mata keduanya.
“Betapa malang nasib anak itu, apabila ia tidak berhasil merenggut dirinya dari tangan iblis ini” desisnya.
Tetapi, emban tua itu tidak segera dapat berbuat sesuatu.
Kehadirannya agaknya telah mengganggu
percakapan kedua orang itu, sehingga dengan hormatnya Ken Arok
membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Ampun Tuan Puteri. Hamba akan
melanjutkan tugas hamba, mengelilingi istana di bagian dalam”.
“Pergilah” jawab Ken Dedes sambil
tersenyum. Sepeninggal Ken Arok, Ken Dedes kembali masuk ke biliknya,
dan kembali ia meletakkan tubuhnya di pembaringan.
“Tuan Puteri” berkata emban tua itu, “Apakah Tuan Puteri tidak hendak mandi dahulu?”
“Sebentar lagi emban. Aku baru saja bangun tidur”.
“Apakah tidak dilayankan makan siang bagi Tuan Puteri?”
“Aku baru bangun bibi. Aku memang belum makan”.
“O, kalau begitu, Tuan Puteri sebaiknya
mandi dahulu. Kemudian hamba persilahkan untuk bersantap. Kalau Tuan
Puteri terlampau lambat makan, mungkin Tuan Puteri akan menjadi tidak
sehat badan hari ini”.
Permaisuri itu tersenyum sambil bangkit
dari pembaringannya. Ditepuknya bahu emban tua itu. Katanya, “Kau
terlampau baik bibi. Baiklah, aku akan mandi”.
“Biarlah hamba menyuruh menyediakan air
hangat dahulu Tuan Puteri, sementara Tuan Puteri melepaskan sanggul.
Nanti hamba tolong melepaskan pakaian Tuan Puteri”.
Ken Dedes tertawa. Jawabnya, “Baiklah”.
Emban tua itu pun segera memanggil seorang emban yang lain, dan memberitahukan bahwa Permaisuri akan mandi.
“Oh, tentu air panas itu belum tersedia. Tidak menjadi kebiasaan Tuan Puteri mandi terlampau cepat”.
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Ditengadahkan wajahnya ke langit sambil bergumam, “Mengapa terlampau cepat?”
“Matahari masih terlampau tinggi. Tetapi, agaknya langit disaput oleh mendung”.
“Tidak apa. Permaisuri akan mandi sekarang” emban itu mengangguk. Kemudian ditinggalkannya emban tua itu dalam keragu-raguan.
“Apakah aku benar-benar telah menjadi
pikun, atau memang aku sudah hampir menjadi gila” desisnya, “Aku sudah
tidak mengenal waktu lagi. Tetapi, lebih baik mandi dahulu baru makan,
daripada makan sekarang, kemudian sebentar lagi terus mandi” gumamnya.
Emban tua itu menggeleng-gelengkan
kepalanya ketika ia melihat, Permaisuri itu setelah mandi, segera
berkemas. Bukanlah menjadi kebiasaannya pula untuk bersolek demikian
lamanya, apalagi sekedar untuk pergi ke ruang makan.
Agaknya apa yang terjadi, telah cukup
bagi emban tua itu untuk meyakinkan tangkapannya atas hubungan antara
Permaisuri dengan pelayan dalam yang tampan itu. Meskipun demikian emban
tua itu sama sekali tidak segera dapat berbuat sesuatu. Meskipun ada
niatnya untuk mencegah Ken Dedes semakin hanyut ke dalam arus
perasaannya, namun ia masih belum menemukan waktu yang tepat untuk
melakukannya.
Ternyata kehadiran Akuwu di hari
berikutnya memberikan harapan bagi emban tua itu. Satu dua hari,
Permaisuri telah mencoba mengisi kekosongan hatinya bersama Akuwu yang
baru saja pulang dari berburu dengan hasil yang membuatnya terlalu
bangga dan gembira. Akuwu berhasil membawa dua helai kulit harimau
loreng, kijang dan beberapa jenis binatang buruan yang lain.
Tetapi, harapan emban tua itu kemudian
menjadi pecah berserakan, seperti asap tertiup angin, ketika tiba-tiba
saja ia melihat pertemuan seperti yang pernah dilihatnya. Meskipun tidak
menumbuhkan kesan apapun bagi mereka yang tidak memperhatikan
perkembangan keadaan Permaisuri saat-saat terakhir, namun bagi emban
pemomong yang mengenal Ken Dedes seperti ia mengenal dirinya sendiri
itu, menangkap semua persoalan dengan hati yang pedih.
“Akuwu memang terlampau mementingkan
dirinya sendiri. Kesenangan sendiri terlalu banyak mendapat
perhatiannya, sehingga Permaisurinya kadang-kadang merasa terlampau
dikesampingkan. Dan Permaisuri itu adalah seorang perempuan yang
merindukan kasih sayang”.
Emban tua itu melihat perkembangan
keadaan Ken Dedes seterusnya seperti melihat seorang bayi yang
merangkak-rangkak di pinggir sumur yang dalam. Namun ia tidak mempunyai
cukup keberanian untuk mencegahnya, sehingga yang dapat dilakukan adalah
hanya sekedar mengelus dada.
Selagi Akuwu semakin tenggelam ke dalam
kesenangan sendiri, maka Ken Dedes pun menjadi semakin jauh terdorong ke
dalam dunia yang hitam.
Setiap kali Akuwu melupakan waktu dan
isterinya apabila ia sudah berada di dalam lingkaran sabung ayam.
Kemudian membenamkan diri ke dalam biusan minum tuak bersama beberapa
pemimpin Tumapel yang lain. Mereka berebut mendapatkan hati Akuwu dengan
caranya masing-masing, sehingga kadang-kadang Akuwu tidak menyadari
bahwa dirinya semakin jauh terseret ke dalam kehidupan yang dapat
membahayakan dirinya dan bahkan Tumapel. Ketidak-puasan telah merajalela
hampir di segenap kalangan.
Yang paling berprihatin dari semua orang
terdekat dengan Akuwu adalah Witantra. Ia melihat Akuwu yang sekarang
ini, agak berbeda dari Akuwu beberapa saat yang lampau. Meskipun Akuwu
sejak ia menduduki tempatnya bukan orang pemimpin yang sempurna, namun
pada waktu itu, masih ada harapan bahwa Akuwu, berkembang ke arah yang
baik, namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Witantra tidak tahu, apakah sebabnya. Tetapi, akibat yang terjadi membuatnya cemas.
Hubungan antara Akuwu dan Permaisurinya
pun semakin lama menjadi semakin aneh. Akuwu merasa bahwa Ken Dedes
bersikap terlampau dingin sehingga ia memerlukan isi dari kekosongan
hidupnya dengan berbagai macam kesenangan. Tuak, sabung ayam, berburu
dan mengadakan pertemuan-pertemuan makan bersama dengan para pemimpin
Tumapel yang lain.
“Aneh” kata Witantra kepada diri sendiri,
“Semuanya seolah-olah terjadi menurut rencana yang telah tersusun lebih
dahulu. Kedudukan Akuwu yang meluncur ke dalam keadaan yang sulit.
Seolah-olah ada golongan di dalam istana yang dengan sengaja menyeret
Akuwu ke dalam kesulitan. Sedang di luar istana ada golongan yang
meniup-niupkan ketidak puasan atas keadaan yang sekarang ini berlaku”.
Tetapi, Witantra tidak dapat mengetahui, jaring-jaring yang sebenarnya memang sudah terpasang di dalam dan di luar istana.
Tidak seorang pun dari para pemimpin yang
menyadari saluran manakah sebenarnya yang telah mengalirkan segala
macam kabut yang buram ke dalam istana dan seluruh wilayah Tumapel ini.
Witantra kadang-kadang menjadi heran,
dari manakah kemewahan yang akhir-akhir ini tampak membanjiri istana
Tumapel. Adalah tidak masuk di akalnya bahwa setiap kali satu dua orang
pemimpin pemerintahan Tumapel itu datang memberikan pisungsung berupa kelengkapan dari sebuah bujana mewah.
Kesimpulan Witantra adalah, “Pasti ada
pihak yang sengaja menjerumuskan Akuwu ke dalam kesulitan. Tetapi, untuk
mencarinya di perlukan waktu dan ketekunan. Jalur-jalur itu agaknya
dikemudikan oleh seorang yang luar biasa”.
Kesimpulan itu telah membuat Witantra
menjadi semakin waspada. Seolah-olah ia tidak sampai hati melepaskan
Akuwu seorang diri tanpa pengawasannya meskipun hanya sekejap. Namun,
Witantra tentu tidak akan dapat berbuat sepanjang waktu. Suatu ketika ia
harus pulang ke rumah, dan suatu ketika Akuwu berada di bilik
Permaisurinya sehingga Akuwu itu pada saat-saat tertentu terlepas dari
pengawasannya.
Tetapi, agaknya kesempatan bagi Witantra
untuk mengawasi Akuwu itu pun menjadi semakin terbatas karena Akuwu
sendiri agak menjauhkannya dari pergaulan istana. Bahkan kadang-kadang
Akuwu itu dengan kasar berkata kepadanya, “Kau adalah pemimpin pasukan
pengawal Witantra. Aku hanya memerlukan kau dalam keadaan yang
berbahaya. Aku tidak perlu pengawalanmu selagi aku tidur, makan dan
minum bersama para pemimpin Tumapel”.
Witantra hanya dapat mengelus dadanya. Tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Aku tidak mengerti guru” berkata
Witantra kepada gurunya pada suatu ketika, “Tetapi, keadaan berkembang
ke arah yang tidak seharusnya”.
“Ya Witantra” sahut gurunya, “Aku juga melihat ketidakpuasan tersebar dimana-mana”.
“Itulah yang membuat aku prihatin.
Tetapi, Akuwu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mencari sumber
dari malapetaka yang dengan perlahan-lahan menerkam Tumapel”.
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Agaknya ia masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian bahkan ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Witantra melihat sesuatu tersirat di
wajah gurunya, tetapi ia tidak berani bertanya.
“Witantra” berkata gurunya, “Kau harus
bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Awan yang hitam memang sedang
menyelubungi Tumapel”.
“Apakah yang harus aku lakukan guru?”
“Sudah tentu, bahwa kau dapat mulai
dengan dirimu sendiri. Sudah datang waktunya bagimu Witantra, bahwa kau
harus menyempurnakan ilmumu. Selagi aku masih hidup dan masih cukup
tenaga untuk membimbingmu”.
“Tetapi guru, aku tidak dapat meninggalkan istana untuk waktu yang lama pada saat ini”.
“Kau tidak perlu meninggalkan tugasmu.
Aku memerlukan kau di setiap malam untuk beberapa hari saja. Di siang
hari kau tetap dalam tugasmu” gurunya berhenti sejenak, “Sudah tentu
bahwa kau tidak akan segera menjadi sempurna dengan cara itu. Tetapi,
setidak-tidaknya kau memiliki beberapa bekal yang lebih banyak dari
bekalmu sekarang. Apabila kau mempunyai waktu kelak, kau harus mengurung
dirimu untuk waktu yang agak lama”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Inilah yang dapat dilakukan untuk sementara. Selagi asap yang hitam
kemelut di atas Tumapel, pemimpin pasukan pengawal itu telah menempa
dirinya sendiri.
Namun dengan demikian, jarak antara Akuwu
Tunggul Ametung dengan Witantra pun menjadi semakin jauh. Witantra
memerlukan waktu untuk kepentingannya sendiri, sehingga apabila tidak
diperlukan oleh Akuwu ia tidak membuang waktunya hadir dalam
pertemuan-pertemuan yang diadakan di istana.
Witantra lebih senang pergi ke padang agak jauh di luar kota Tumapel bersama gurunya, mesu diri untuk mendapatkan kelengkapan yang lebih banyak lagi dari ilmunya.
Tetapi, pada suatu kali Witantra terkejut
ketika gurunya berkata kepadanya, “Witantra, apakah kau tidak
memperhatikan adikmu akhir-akhir ini?”
“Siapakah yang guru maksudkan? Mahendra atau Kebo Ijo?”
“Mahendra telah melepaskan diri dari
persoalan yang menyangkut istana dan pemerintahan. Ia lebih senang
bekerja sendiri pada dunianya. Ia lebih senang memelihara tanahnya dan
berternak yang agaknya dapat memberinya kepuasan”.
“Jadi Kebo Ijo yang guru maksud?” Gurunya menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana dengan Kebo Ijo?”
“Aku melihat beberapa perubahan. Bukan
pada watak dan sifatnya yang dibawanya sejak lahir dan akan dibawanya
pula mati kelak. Tetapi, pada kehidupannya. Aku melihat yang kurang
wajar padanya. Ia memiliki kekayaan yang tidak mungkin didapatkannya
dengan cara yang wajar”.
“Ah, “Witantra mengerutkan keningnya, “Apakah guru yakin?”
“Seharusnya kau lebih dekat dengan anak itu daripada aku”.
Witantra mengerutkan keningnya. Sambil
menggelengkan kepalanya ia berkata, “Anak itu memang anak yang bengal.
Tetapi, aku yakin bahwa ia tidak akan melakukan kejahatan dengan
kesadarannya. Ia memang anak yang sombong dan terlampau tinggi hati,
sehingga ia kadang-kadang lupa diri apabila ia mendapatkan pujian.
Tetapi, dengan sengaja melakukan kejahatan, aku kira tidak guru”.
“Mudah-mudahan kau benar Witantra” jawab
gurunya, “Tetapi, lihatlah pada suatu ketika. Mungkin kau akan tertarik
untuk mengetahui, dari manakah ia mendapat semuanya itu”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik guru. Aku akan berusaha”.
Ternyata keterangan gurunya itu selalu
mengganggu pikiran Witantra. Ia benar-benar berkeinginan untuk pada
suatu ketika berkunjung ke rumah adik seperguruannya itu, dan
menanyakan, bagaimanakah keadaannya sekarang.
“Kalau benar kata guru, aku memang harus
menyelidikinya. Apakah ia hanyut juga dalam arus yang agaknya kini
sedang melanda Tumapel”.
Dalam kemelutnya kabut yang kelam, yang
lambat laun namun pasti, semakin mencengkam Tanah Tumapal itu, Ken Dedes
seolah-olah mendapat cukup kesempatan untuk setiap kali bertemu dengan
Ken Arok. Seorang anak muda yang seakan-akan dapat menemukan kembali
buatnya, apa yang pernah hilang. Masa remaja yang terlampaui dalam
perjalanan hidupnya itu, kini seakan-akan telah didapatnya kembali.
Dengan demikian maka suami isteri Tunggul
Ametung itu telah terjerumus ke dalam suatu pusaran lingkaran kegelapan
yang tidak berujung pangkal. Akuwu Tunggul Ametung menenggelamkan
dirinya dalam berbagai macam kesenangan, sabung ayam, tuak dan makan
minum bersama para pemimpin Tumapel yang lain, karena ia ingin mengisi
waktunya. Permaisurinya terlampau dingin dan sama sekali tidak
memberinya kegairahan. Tetapi, Permaisuri merasa bahwa ia seakan-akan
memang sudah tidak diperlukan lagi oleh Akuwu Tunggul Ametung, karena
kesenangannya itu, sehingga ia menjadi dingin. Dan bahkan dicarinya
sandaran bagi hatinya yang lemah.
Demikianlah Tumapel perlahan-lahan telah meluncur ke dalam suatu keadaan yang paling membahayakan kelangsungan hidupnya.
Di arena sabung ayam, dalam samar-samar
mabuk tuak, Akuwu sama sekali tidak ingat apa-apa lagi selain dirinya
sendiri. Sama sekali tidak diingatnya lagi Permaisurinya yang
ditinggalkannya sendiri. Sama sekali tidak diingatnya lagi, bagaimana ia
pernah terpesona melihat cahaya yang memancar dari tubuh gadis
Panawijen yang dilarikan oleh Kuda Sempana itu.
Dan yang paling parah, bahwa ia kini sama
sekali tidak mengetahui bahwa Permaisurinya sedang terjerat oleh
kesepian dan kelemahannya.
Ken Arok melihat perkembangan Tumapel
dengan hati yang berdebar-debar. Ia hanya mempunyai waktu lima bulan
sejak ia mulai. Dan yang lima bulan itu kini telah hampir habis sama
sekali. Tetapi, sebagian besar dari rencananya telah dapat dilakukannya.
Tidak seorang pun yang melihat ia pergi
hilir mudik ketengah-tengah hutan tempat ia menyembunyikan harta
kekayaan yang tidak terkira banyaknya, yang telah bertahun-tahun
dikumpulkan oleh sekawanan perampok yang dahsyat. Yang menjelajahi tidak
saja telatah Tumapel, tetapi juga telatah Kediri yang lain.
Juga tidak ada seorang pun yang menaruh
prasangka, bahwa setiap kali Permaisuri Ken Dedes sempat berbicara
tentang harapan-harapan di masa datang dengan anak muda yang tampan itu.
Namun, masih ada satu orang yang melihat
perkembangan keadaan Ken Dedes dengan hati yang pedih. Ialah emban tua
pemomong Ken Dedes yang dibawanya dari Panawijen. Bahkan kadang-kadang
ia menangis seorang diri di dalam biliknya. Apakah akan jadinya dengan
Permaisuri dan bahkan dengan Tumapel.
Dalam kepedihan itu selalu dikenangnya
anaknya, Mahisa Agni yang masih saja berada di Padang Karautan. Anaknya
yang sama sekali tidak menghiraukan kemewahan istana Tumapel. Mahisa
Agni telah membakar dirinya dalam terik panas matahari di Padang
Karautan untuk kepentingan orang banyak.
“Alangkah jauh jaraknya” desis perempuan tua itu.
Dan tiba-tiba saja kerinduannya kepada
anaknya telah membakar dadanya. Tetapi, ia tidak mendapat kesempatan
untuk menengoknya. Apalagi dalam keadaan serupa ini. Tanpa dirinya di
samping Ken Dedes, keadaan Permaisuri itu pasti akan menjadi semakin
parah.
Emban tua itu sama sekali tidak mempunyai
tempat untuk menumpahkan kepepatan perasaannya. Tidak seorang pun yang
dapat dibawanya berbincang mengenai keadaan yang mendebarkan jantung
itu. Sedangkan Ken Dedes sendiri, kini seolah-olah menjadi acuh tidak
acuh saja kepadanya, meskipun kadang-kadang Permaisuri itu masih
memerlukannya. Tetapi, tidak seperti dahulu. Kini Permaisuri baginya
merupakan sebuah bilik yang tertutup. Kalau dahulu, ia dapat melihat,
apa yang tersimpan di lubuk hatinya, kini Permaisuri itu merupakan
sebuah rahasia baginya.
Namun, akhirnya emban itu tidak dapat
lagi menahan dirinya. Kerinduannya kepada anaknya, kepepatan hati yang
membuat dadanya serasa akan bengkah, dan seribu macam persoalan yang
lain. Sehingga akhirnya pada suatu hari diberanikannya dirinya menghadap
kepada Permaisuri dan mohon diri untuk beberapa hari saja.
“Kau akan pergi ke mana bibi?” bertanya Permaisuri.
“Hamba tidak dapat menahan rindu untuk
mengunjungi Panawijen Tuanku. Panawijen yang lama dan yang baru, yang
telah berkembang di tengah-tengah Padang Karautan”.
“Kenapa tiba-tiba saja kau merindukannya?”
“Hamba tidak tahu Tuanku. Tiba-tiba saja hamba merindukannya. Mungkin juga karena hamba ingin beristirahat barang sepekan”.
Permaisuri itu mengerutkan keningnya, dan
sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah bibi. Aku beri kau ijm untuk
beberapa hari pulang mengunjungi kampung halaman. Salamku buat
kawan-kawan sepermainan di masa kanak, salam buat kakang Mahisa Agni dan
tetangga-tetangga yang baik di Panawijen”.
“Hamba Tuanku. Dan apakah Tuanku tidak berpesan apapun untuk Ki Buyut?”
“O, aku lupa bibi. Ya, salamku kepadanya. Mudah-mudahan ia berhasil memimpin Rakyat Panawijen untuk seterusnya”.
“Hamba Tuanku. Semua pesan akan hamba sampaikan”.
Permaisuri itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi, kemudian ia bertanya, “Tetapi, apakah kau dapat
menempuh perjalanan sedemikian jauhnya?”
Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan ke Panawijen tidak dapat ditempuh dalam satu hari.
“Biarlah aku minta dua orang prajurit
mengantarmu bibi” berkata Permaisuri itu pula, “Prajurit itu akan
menunggu kau sampai kau nanti kembali ke istana. Aku tidak akan
membatasi masa istirahatmu. Karena kau sudah menjadi semakin tua, maka
adalah wajar sekali apabila kau memerlukan waktu untuk beristirahat”.
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terasa bahwa bagi Permaisuri, kepergiannya akan merupakan peluang yang
lebih baik. Agaknya tidak akan ada orang lain yang selalu membayanginya
seperti dirinya.
“Terima kasih Tuanku” jawab emban itu,
“Tetapi, prajurit itu tidak perlu menunggu hamba kembali. Besok akan
hamba minta angger Mahisa Agni untuk mengantar hamba, apabila masa
istirahat hamba telah selesai”.
Tiba-tiba wajah Permaisuri itu berkerut.
Dengan ragu-ragu ia berkata, “Itu tidak perlu bibi. Kau jangan
menyusahkannya. Kakang Mahisa Agni mempunyai kewajiban yang berat di
padukuhannya. Karena itu, lebih baik bagimu untuk membawa dua orang
prajurit yang akan mengawanimu. Atas perintahku, kau dapat minta kepada
kedua prajurit itu untuk melakukan apa saja yang kau perlukan di
perjalanan. Bahkan di Panawijen sampai kau kembali lagi ke istana ini.
Aku akan memberi mereka bekal yang cukup selama mereka berada di
Panawijen”.
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Bagi emban yang sudah cukup umur itu, segera dapat menangkap kesan dari
sikap Permaisuri itu. Ia tidak ingin bertemu dengan Mahisa Agni dalam
keadaan seperti itu. Mahisa Agni akan menjadi penghalang pula baginya
apabila kelak anak muda itu mengetahui, apa yang sudah terjadi di istana
ini.
“Bukankah lebih baik begitu bibi?” bertanya Permaisuri itu.
Emban tua itu tidak dapat menjawab lain
kecuali menganggukkan kepalanya dan berkata, “Hamba Tuanku. Titah Tuanku
akan hamba junjung”.
“Nah begitulah. Kasihan kakang Mahisa
Agni. Ia diperlukan di Padang Karautan setiap saat. Waktunya akan
hilang, apabila kau minta ia mengantarmu”.
“Hamba Tuanku”.
“Dan kapan kau akan berangkat bibi?”
“Secepatnya Tuanku ijinkan”.
“Terserahlah kepadamu”.
“Besok pagi Tuanku”.
Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian
ia berkata, “Baiklah. Besok dua orang prajurit itu akan siap
mengantarmu kembali ke Panawijen”.
Ketika fajar menyingsing di pagi harinya,
dua orang prajurit telah siap untuk mengantar emban tua itu kembali ke
Panawijen. Dengan bekal secukupnya, mereka pun segera minta diri kepada
Permaisuri yang ternyata sudah bangun.
“Atas ijin Tuanku Akuwu Tungaul Ametung,
dua orang prajurit itu akan mengantarmu. Atas ijin Tuanku Akuwu pula,
kau dapat minta kepadanya untuk menolongmu apa saja yang kau perlukan.
Dua prajurit itu diberi waktu tanpa batas menunggumu di Panawijen”.
“Terima kasih Tuanku”.
“Kau adalah emban pemomongku. Engkau
adalah orang terdekat dengan aku sejak aku kanak-kanak. Karena itu, kau
mempunyai beberapa kesempatan yang lebih baik dari orang lain”.
“Terima kasih Tuan Puteri. Kini perkenankanlah hamba berangkat. Hamba tidak akan terlalu lama”.
“Ambillah waktu secukupnya bibi. Aku
tidak akan dapat memaksamu untuk bekerja terlalu keras. Kau sudah cukup
tua, dan memang sudah waktunya uintuk banyak beristirahat”.
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Terasa jantungnya seakan-akan tergores oleh tajamnya sembilu. Meskipun
tampaknya Permaisuri itu memberinya kesempatan sebaik-baiknya, tetapi
emban tua itu merasa bahwa ia memang sudah tidak diperlukan lagi.
“Ken Dedes sudah berubah” berkata emban
itu di dalam hatinya. Namun tiba-tiba kepalanya menunduk semakin dalam.
Dikenangnya masa remajanya sendiri.
“Hidupku sendiri tidak sebersih kapas”
emban itu berdesis kepada dirinya sendiri, “Bukan hanya satu nama
laki-laki yang pernah menyangkut di hatinya, sehingga justru akhirnya
keduanya tidak dimilikinya. Tetapi, aku mempunyai Mahisa Agni”.
Emban tua itu pun kemudian berangkat meninggalkan istana. Ia tidak dapat menahan lagi ketika air matanya titik satu-satu.
Ken Dedes masih berdiri di tangga serambi
belakang ketika emban itu hilang di balik regol. Setelah menarik nafas
dalam-dalam, Ken Dedes kemudian melangkah kembali ke dalam biliknya.
Baru ketika ia duduk di pembaringannya,
terasa bilik itu menjadi sepi. Emban pemomongnya yang hampir setiap saat
mengawasinya, kini telah pergi, tanpa diketahui lagi apakah ia akan
segera kembali justru karena pesannya sendiri yang mendorong emban itu
untuk berbuat demikian.
Ken Dedes mengerutkan keningnya.
Terbayang wajah perempuan tua itu. Perasaan iba terungkit di dalam
hatinya. Namun sejenak kemudian perasaan yang lain telah mendorongnya
kesamping, “Emban tua itu hanya akan mengganggu saja di istana”.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Tanpa sesadarnya ia bangkit dan melangkah keluar. Dari sela-sela pintu
ia melihat cahaya matahari pagi memercik di halaman belakang. Tiba-tiba
saja ia melihat sinar itu terlampau cerah.
Sementara itu, emban tua pemomong Ken
Dedes berjalan tertatih-tatih meninggalkan istana diantar oleh dua orang
prajurit. Dengan sabarnya kedua orang prajurit itu mengikuti langkahnya
yang lamban. Sekali-sekali emban tua itu berpaling, tetapi ia hanya
dapat melihat dinding-dinding batu di sebelah menyebelah jalan.
“Bibi” salah seorang dari kedua prajurit
itu bertanya, “Kenapa bibi yang sudah tua ini masih juga berhasrat
menempuh perjalanan sejauh ini?”
“O, aku adalah orang Panawijen Ngger.
Justru aku sudah tua aku ingin melihat kampung halaman. Panawijen pasti
sudah jauh berubah. Panawijen lama kini pasti sudah menjadi padang
rumput yang kering dan Padang Karautan akan menjadi padukuhan yang
subur”.
Prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ya, begitulah” berkata prajurit itu, “dalam saat-saat
terakhir, kita sering merindukan kampung halaman. Tetapi, apakah bibi
masih juga akan kembali ke Tumapel?”
“Ya ngger. Bibi memang ingin kembali ke
Tumapel. Tuanku Permaisuri, bagiku sama nilainya dengan Padukuhan dan
Padepokan Panawijen”.
“Berapa lama bibi akan tinggal di Panawijen?”
“Ijin Tuanku Permaisuri tidak terbatas Ngger. Tetapi, apakah Angger berdua tergesa-gesa kembali ke Tumapel?”
“O, tidak, tidak bibi. Ijin buat kami
berdua pun tidak terbatas. Semakin panjang semakin baik, karena dengan
demikian kami tidak usah bekerja apapun. Tidak usah bertugas jaga di
malam hari dan tidak usah nganglang di siang hari”.
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Tetapi, bagaimana dengan keluarga Angger berdua?”
“Kami keduanya belum berkeluarga bibi”.
“O”.
“Kami masih belum mampu untuk memberi makan isteri dan apa lagi anak-anak nanti”.
“Ah. Aku tidak percaya” sahut emban itu, “Penghasilan Angger pasti cukup baik”.
Kedua prajurit itu tertawa, dan emban itu pun tersenyum pula.
Dengan demikian, maka perjalanan itu
tidak terasa terlampau melelahkan. Meskipun demikian, emban tua itu
tidak dapat berjalan terlampau cepat karena ketuaannya. Namun emban tua
itu bukan sekedar perempuan tua kebanyakan. Betapapun tipisnya, ia masih
juga memiliki beberapa kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain.
Meskipun tidak terlampau mengagumkan, tetapi perempuan tua itu pernah
mengisi kekosongan hidupnya dengan olah senjata, sehingga kemampuan
jasmaniahnya masih juga berpengaruh sampai di hari tuanya.
Pengaruh itulah yang agaknya menolong
emban tua itu dalam perjalanannya meskipun lambat. Kedua prajurit yang
tidak mengenal emban itu sebelumnya menjadi heran, bahwa perempuan setua
itu masih juga mampu melakukan perjalanan yang begitu jauh.
Dalam kemelutnya asap hitam di atas
Tumapel, Ken Arok merasa tersiksa karena ia harus menunggu hari-hari
yang ditentukan oleh Empu Gandring. Semua rencananya dapat berjalan
sebaik-baiknya tanpa menumbuhkan kecurigaan meskipun ia harus selalu
berhati-hati menghadapi Witantra. Tetapi, Witantra agaknya tidak banyak
mempunyai kawan. Bahkan Kebo Ijo, adik seperguruannya, tidak lagi
terlampau dekat dengan perwira pengawal itu. Kebo Ijo yang merasa kawan
terdekat Ken Arok, menjadi semakin sombong dan merasa dirinya lebih
besar dari kawannya yang lain. Sikap itu agaknya memang diusahakan oleh
Ken Arok. Sedikit demi sedikit, sambil membuat Kebo Ijo itu menjadi
seorang yang berkecukupan.
Dengan demikian, maka kebencian orang
terhadapnya menjadi semakin meruncing. Sehingga kawan-kawannya menjadi
pening memikirkan keanehan itu. Kenapa Ken Arok yang ramah dan rendah
hati itu dapat berkawan demikian eratnya dengan Kebo Ijo?
Namun hari pun merambat betapa lambatnya.
Siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Satu-satu perputaran waktu
pun telah dilampaui, sehingga bulan yang satu meloncat ke bulan yang
lain.
Beberapa hari sepeninggal emban pemomong
Ken Dedes, Ken Arok menjadi semakin gelisah. Bulan ke empat telah lewati
dan ia sudah berada di bulan yang kelima. Bulan yang dijanjikan oleh
Empu Gandring.
Pada saat-saat terakhir itu Ken Arok
membuat penilaian kembali atas semua usahanya membentuk keadaan.
Ternyata semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencananya, sehingga
waktunya memang telah matang untuk melakukan niatnya.
Maka pada saat yang telah
dinanti-nantikan, setelah lima bulan penuh ia menunggu, sampailah
saatnya ia pergi ke Lulumbang untuk mengambil kerisnya.
Tetapi, tidak seorang pun yang tahu, apa
yang akan dikerjakannya, Ken Dedes pun tidak. Meskipun Ken Arok minta
diri pula kepada Permaisuri itu bahwa ia akan pergi untuk beberapa hari,
tetapi ia tidak berterus terang, apakah yang akan dilakukannya.
Setelah mendapat ijin dari Akuwu, maka
Ken Arok pun segera meninggalkan istana pergi ke Lulumbang. Meskipun
pada mulanya ia disentuh pula oleh keragu-raguan, namun kemudian ia
menggertakkan giginya sambil berkata, “Semua sudah terlanjur. Aku sudah
menyeberang sampai ke tengah-tengah. Terus atau kembali, aku sudah
terlanjur basah. Karena itu, aku kira sudah tidak ada gunanya berpikir
lagi”.
Dan Ken Arok pun menjadi semakin mantap.
Permaisuri yang cantik itu selalu membayanginya. Apalagi cahaya yang
memancar dari tubuhnya. Perempuan dari Panawijen itu ternyata memiliki
suatu kelengkapan yang tidak ada bandingnya.
Sebagai seorang perempuan kecantikannya
tanpa cacat, dan sebagai seseorang yang bercita-cita maka Ken Dedes akan
dapat memberikan suatu kedudukan yang paling tinggi diatas bumi.
Karena itu, untuk mendapatkannya, apapun
akan dikorbankannya. Siapapun yang harus disingkirkan, akan
disingkirkan. Siapa yang dapat menjadi penghalang pasti harus
dimusnakan. Harga Ken Dedes tidak dapat diperbandingkan dengan siapapun,
sebab Ken Dedes adalah suatu lambang dari kesempurnaan seorang
perempuan. Ia akan memberikan kecantikannya dan bumi seisinya.
Dengan pendirian yang matang Ken Arok
dengan tergesa-gesa pergi ke Lulumbang. Semakin cepat semakin baik.
Tetapi, harus di jaga bahwa rahasianya tidak akan diketahui oleh
siapapun juga. Tidak boleh seorang pun menjadi saksi atas segala
perbuatannya itu.
Sementara itu emban tua pemomong Ken
Dedes telah sampai pula di Padang Karautan. Hampir saja ia tidak dapat
menahan gejolak di dadanya ketika ia melihat Mahisa Agni menyongsongnya.
Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil menangis, bagaimanapun juga ia
mencoba menahannya. Tetapi, setitik-titik air matanya menetesi dada
Mahisa Agni.
Mahisa Agni tidak mengerti, kenapa
tiba-tiba saja ibunya menangis. Ibunya adalah seorang perempuan yang
tabah. Hampir tidak pernah ia melihat keadaan perempuan itu demikian,
sejak ia kanak-kanak. Sejak ia belum mengenal bahwa perempuan itu adalah
ibunya.
Kedua prajurit yang mengantarkannya pun
menjadi heran. Kenapa emban tua itu menangis ketika ia bertemu dengan
Mahisa Agni. Sedang tangisnya pun mempunyai kesan yang menyentuh
langsung pusat jantung.
Setelah mereka duduk, di dalam sebuah
rumah yang kecil, yang telah dibangun oleh Mahisa Agni di tengah-tengah
pedukuhannya yang baru, maka barulah Mahisa Agni dapat bertanya tentang
keselamatan emban tua itu, dan tentang keselamatan Ken Dedes. Meskipun
masih terisak, namun perempuan tua itu pun sempat pula bertanya tentang
Mahisa Agni dan tentang Padang Karautan yang telah menjadi sebuah
padukuhan yang subur.
“Kami senang tinggal di sini bibi”
berkata Mahisa Agni kepada perempuan tua itu, “Kami tidak merasa berada
di tempat yang asing, karena kami bersama-sama seluruh pedukuhan pindah
ke tempat ini. Kami mencoba membuat pedukuhan pindah ke tempat ini. Kami
mencoba membuat pedukuhanan kami yang baru ini seperti pedukuhan yang
kami tinggalkan. Atas persetujuan kami bersama, kami telah membuat
jalan-jalan di dalam pedukuhan ini seperti jalan-jalan di dalam
pedukuhan yang kami tinggalkan. Kami membuat seolah-olah tempat tinggal
kami yang baru ini, seiauh mungkin mencerminkan tempat yang kami
tinggalkan meskipun tidak dapat sesuai benar”.
Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku mengharap kalian berbahagia di tempat yang baru ini”.
“Tentu bibi. Tanah di sini adalah tanah
yang baru saja ditanami. Tanah yang sebelumnya belum pernah dihisap
makanannya kecuali oleh rerumputan liar dan gerumbul-gerumbul perdu”.
“Tentu kalian merasa senang tinggal di sini”.
“Tentu bibi. Kami merasa senang. Kami merasa berbahagia seperti Ken Dedes merasa berbahagia di dalam istana”.
“O” perempuan itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi, diurungkannya kata-katanya. Bahkan kemudian ia
berkata, “Aku sudah rindu untuk bertemu dengan tetangga-tetangga dan
penghuni Padepokan Empu Purwa. Para emban dan cantrik. Apakah mereka
juga tinggal di padukuhan ini?”
“Tentu bibi” sahut Mahisa Agni, “Seperti
pada saat mereka tinggal di Panawijen, maka di sini pun mereka telah
membangun sebuah padepokan”.
“Siapakah yang tinggal di dalam padepokan itu?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak ada bibi. Selain para emban dan cantrik”.
“Kau?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi, kemudian ia berkata, “Aku tinggal di sini. Namun setiap kali aku
juga berada di padepokan itu. Aku kira belum waktunya aku tinggal di
dalam padepokan dalam suasana yang terlampau tenang. Aku masih harus
mengikuti gejolak perkembangan pedukuhan ini. Aku masih harus melihat
banjir yang melanda bendungan itu, dan aku masih harus berpikir, untuk
memperbaiki jalan-jalan padukuhan ini, memperbaiki saluran air dan
jalan-jalan. Kami masih belum berpindah dalam arti keseluruhan”.
Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, “Ya, aku mengerti. Kau merasa belum waktunya
menempuh kehidupan seperti gurumu. Bukankah begitu?”
“Bukan saja belum waktunya bibi, tetapi apakah aku dapat menempuh cara hidup seperti itu?”
Perempuan itu tidak menjawab. Ditatapnya
mata Mahisa Agni tajam-tajam, seolah-olah ia ingin melihat langsung ke
dalam hatinya. Tetapi, sejenak kemudian perempuan itu menundukkan
kepalanya. Berbagai macam perasaan bercampur-baur di dalam dadanya.
Apalagi apabila dikenangnya, bahwa anaknya itu, Mahisa Agni, pernah
menyangkutkan hatinya kepada gadis puteri gurunya itu. Namun perasaan
itu direndamnya di dalam lubuk hatinya, sehingga Ken Dedes sama sekali
tidak mengetahuinya. Yang diketahui oleh gadis itu adalah, bahwa Mahisa
Agni adalah kakak angkatnya, yang dikasihinya seperti kakaknya sendiri
dan yang mengasihinya seperti adiknya sendiri.
Tetapi, emban tua itu tidak
mengucapkannya. Bahkan kemudian, apa yang terendam di dalam hatinya
seperti merendam duri di dalam daging, sama sekali tidak terucapkan
pula.
Bukan karena kedua prajurit itu ikut pula
mendengar, tetapi pada kesempatan-kesempatan berikutnya, ketika ia
berada berdua saja bersama anaknya itu, semuanya yang dibawanya dari
Tumapel, tetap disimpannya di dalam hati.
Kadang-kadang memang terasa dadanya
seakan-akan hendak retak menahan semuanya itu di dalam diri.
Kadang-kadang memang tumbuh suatu keinginan untuk memuntahkannya keluar
dan mengatakannya kepada Mahisa Agni untuk mengurangi kepepatan di dalam
dadanya itu. Namun setiap kali mulutnya serasa terbungkam. Tidak
sepatah katapun yang dapat diucapkannya tentang Ken Dedes dan tentang
Ken Arok.
Dengan demikian, maka beban itu masih
tetap disimpannya rapat-rapat. Rahasia yang seakan-akan tidak dapat
merembes barang setitik pun.
“Aku harus mendapat saluran yang lain,”
desis perempuan itu, “Aku tidak mungkin mengatakannya kepada Mahisa
Agni, yang terlibat langsung dalam persoalan ini. Kalau ia tahu apa yang
terjadi, maka sakit hatinya pasti akan terangkat kembali”.
Sehingga akhirnya perempuan tua itu mengambil keputusan untuk tidak mengatakannya kepada Mahisa Agni.
Tetapi, ia masih tetap memerlukan saluran
untuk menumpahkan segala macam kepepatan di dalam hatinya. Karena itu,
maka pada suatu ketika ia berkata kepada Mahisa Agni, “Mahisa Agni.
Apakah kau bersedia membawaku kepada pamanmu Empu Gandring?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Permintaan ibunya itu bukan suatu permintaan yang berlebih-lebihanan.
Adalah wajar sekali bahwa keduanya itu saling merindukannya. Sehingga
Mahisa Agni pun ternyata tidak berkeberatan sama sekali.
“Kapan bibi akan pergi?”
“Secepatnya Agni. Waktuku tidak terlampau panjang. Aku harus segera kembali ke Tumapel”.
“Baiklah bibi, aku akan meyediakan sebuah
pedati. Kita pergi bersama-sama di dalam pedati itu, sehingga kita akan
dapat membawa bekal pula secukupnya”.
Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Baiklah, dengan pedati aku tidak akan kelelahan. Tetapi,
bagaimana dengan kedua orang prajurit itu?”
“Biarlah mereka menunggu bibi di sini”.
Perempuan tua itu menggelengkan
kepalanya, “Tidak Agni. Biarlah mereka pergi bersama kita. Dari
Lulumbang aku akan terus pergi ke Tumapel. Aku tidak dapat terlampau
lama meninggalkan Tuan Puteri sendiri”.
“Bukankah ada berpuluh-puluh emban di istana, dan bukankah ada suaminya, Tunggul Ametung”.
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia berdesah, “Ya. Tetapi, kadang-kadang Permaisuri itu
memerlukan aku. Aku adalah pemomongnya sejak kanak-kanak”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Sokurlah kalau Ken Dedes masih selalu mengingat masa
kecilnya. Mudahkan ia tidak menjadi mabuk dibuai oleh kebahagiaan hidup
di dalam istana yang mewah”.
Dada emban tua itu berdesir. Serasa
sebuah goresan telah menambah luka di dinding jantungnya. Tetapi, ia
tidak berkata apapun juga.
Mahisa Agni pun kemudian mempersiapkan
sebuah padati yang dilengkapinya dengan bekal di perjalanan. Ia sendiri
membawa seekor kuda. Kelak, apabila sampai saatnya ibunya kembali ke
Tumapel, ia akan mengantarkannya pula bersama salah seorang cantrik
pamannya. Pedati itu akan ditinggalkannya di Lulumbang. Sehingga cantrik
itulah yang akan membawanya kembali ke padepokan pamannya. Dan ia akan
kembali ke Padang Karautan dengan kudanya. Pamannya pasti memerlukannya.
Sebuah pedati dengan sepasang, lembu yang baik.
Pada pagi hari berikutnya, Ki Buyut
Panawijen, beberapa orang perempuan tua dan bebahu padukuhan itu, telah
mengantarkan ibu Mahisa Agni sampai kepinggir desa. Mereka melepaskan
emban tua itu dengan lambaian tangan dan senyum yang tulus. Sedang Ki
Buyut Panawijen berpesan kepada Mahisa Agni, “Jangan terlampau lama di
perjalanan Ngger. Tanah yang baru ini masih memerlukan kau”.
Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, “Aku hanya akan meninggalkan tempat ini dalam beberapa hari saja Kiai”.
“Sokurlah. Aku sendiri masih harus
mondar-mandir antara padang yang telah menjadi hijau ini dan Panawijen
lama. Apabila kelak semuanya telah berpindah kemari, maka pekerjaan kita
akan menjadi semakin ringan”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sekali lagi ia minta diri untuk mengantarkan emban tua itu ke Lulumbang.
Sementara itu, Ken Arok telah berada pula
di perjalanan. Dengan seekor kuda yang besar dan tegar ia berpacu ke
Lulumbang. Kali ini ia tidak memakai kain panjang yang kumal dan kusut,
apalagi berbekas darah. Tetapi, ia datang dalam pakaian yang lengkap
sebagai seorang hamba istana.
Namun satu hal yang masih akan
diulanginya. Ia ingin datang ke rumah Empu Gandring pada malam hari,
dimana sudah tidak terlampau banyak orang yang melihatnya.
Dengan dada yang berdebar-debar Ken Arok
termenung di atas punggung kudanya. Sekali-kali diamatinya pakaiannya.
Pakaian seorang hamba istana. Tetapi, sama sekali bukan pakaian seorang
pelayan dalam. Yang dipakainya adalah pakaian yang lain, pakaian seorang
prajurit pengawal.
Setiap kali Ken Arok masih harus
menggeretakkan giginya untuk mengusir keragu-raguannya. Ia sudah hampir
sampai pada tujuannya. Karena itu ia sudah tidak ada pilihan lain
daripada berjalan terus. Menyingkirkan semua hambatan dan menghilangkan
jejak yang mungkin akan timbul.
Ternyata perhitungan Ken Arok cukup baik.
Ia harus sampai di padepokan Empu Gandring pada malam hari. Dan
sebenarnya ia telah memasuki padukuhan Lulumbang ketika matahari telah
tenggelam.
Dalam kegelapan malam Ken Arok
memperlambat langkah kudanya. Bahkan beberapa lama ia berhenti di
tikungan. Sekali lagi ia berusaha untuk meyakinkan dirinya, bahwa tidak
mungkin ia melangkah surut. Ia harus berjalan terus.
Sambil menggeretakkan giginya Ken Arok
maju lagi mendekati regol padepokan Empu Gandring. Ketika ia sudah
berada di depan regol maka segera ia meloncat turun. Ken Arok menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat seorang cantrik berdiri di samping
regol yang masih terbuka beberapa cengkang.
“Apakah regol itu memang dijaga?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi, belum lagi ia sempat menemukan
jawabnya, cantrik itu telah melangkah mendekatinya sambil bertanya,
“Apakah tuan akan singgah di padepokan ini?”
Ken Arok mengangguk, “Ya. Aku akan singgah di padepokan ini. Apakah Empu Gandring ada?”
“Ada tuan. Empu Gandring ada di sanggarnya. Baiklah aku memberitahukan kepadanya”.
“Jangan” cegah Ken Arok, “aku akan datang ke sanggarnya saja. Dimanakah letak sanggar itu?”
Cantrik itu menjadi heran. Tetapi, ia menjawab juga ”Di situ tuan, di sebelah kiri pendapa”.
“Di gandok?”
”Di ujung gandok, tuan akan menjumpai sebuah rumah kecil menghadap ke Timur. Itulah sanggar Empu”.
“Terima kasih. Tolong jaga kudaku. Aku
hanya sebentar. Aku adalah utusan Akuwu Tunggul Ametung. Aku seorang
prajurit pengawal istana”.
Cantrik itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Selempang tali berwarna kuning yang menyilang di dada anak
muda itu sangat menarik perhatiannya. Tali itu berjuntai di arah
lambung, kemudian ujungnya terikat pada ikat pinggang di bawah keris
yang tersisip di punggung. Tali itu adalah salah satu ciri pakaian
seorang prajurit pengawal istana.
Cantrik itu sama sekali tidak
membayangkan bahwa prajurit yang gagah itu adalah seorang yang pernah
datang ke padepokan ini lima bulan yang lalu dengan pakaian yang kumal
dan kotor.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran
cantrik itu menerima kendali kuda Ken Arok. Dengan mulut ternganga ia
melihat Ken Arok melingkari melintasi halaman langsung menuju ke ujung
gandok. Seperti kata cantrik yang berdiri di regol sambil memegang
kendali kudanya, Ken Arok melihat sebuah ruangan di ujung gandok dengan
pintu tersendiri menghadap ke Timur. Itulah sanggar Empu Gandring.
Dengan hati-hati Ken Arok mendekat.
Kemudian menyelinap dalam kegelapan. Dari celah-celah dinding ia
mengintip ke dalam. Dilihatnya Empu Gandring duduk tepekur sambil
memejamkan matanya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia
sadar bahwa Empu Gandring adalah seorang yang sakti. Namun, rencananya
harus berjalan seperti yang dikehendakinya.
Sekali lagi Ken Arok mencoba mengintip. Selain Empu Gandring di dalam sanggar itu dilihatnya sebuah perapian yang padam. Sebuah paron dan beberapa perlengkapan yang lain. Agaknya di dalam sanggar itulah Empu Gandring bekerja membuat keris.
Dada Ken Arok berdesir ketika tiba-tiba
saja ia mendengar Empu Gadring itu berkata perlahan-lahan, “Siapa di
luar? Masuklah. Aku masih belum tidur”.
Ken Arok justru tertegun sejenak. Dengan
hati-hati sekali ia mendekati sanggar itu, bahkan dengan kaki
berjingkat. Ditahankannya jalan pernafasannya, dan dicobanya untuk tidak
menimbulkan suara apapun. Ternyata Empu Gandring dapat mendengar desir
yang betapapun lembutnya.
“Marilah, pintu masih terbuka”.
Ken Arok tidak dapat berbuat lain daripada berjalan ke pintu yang meskipun sudah tertutup namun tidak terkancing.
Perlahan-lahan Ken Arok mendorong pintu lereg itu ke samping. Sambil menjengukkan kepalanya ia berkata lirih, “Aku Empu. Aku Ken Arok”.
“Oh” Empu Gandring terkejut. Dengan serta-merta ia berdiri menyongsong tamunya, “Marilah Ngger, marilah”.
Ken Arok pun kemudian melangkah masuk
sambil berjalan terbungkuk-bungkuk. Dengan senyum yang membayang
dibibirnya ia berkata, “Maaf Empu. Aku datang tidak pada waktu yang
sepantasnya”.
“Marilah Ngger. Pintuku selalu terbuka kapan saja ada seorang tamu. Apalagi Angger Ken Arok”.
“Terima kasih Empu”.
Ken Arok pun kemudian duduk menghadap
Empu Gandring yang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ramahnya orang
tua itu bertanya tentang keselamatan tamunya selama ini dan sebaliknya.
Ternyata ujung dari pertemuan itu telah memberikan kesan kepada Empu
Gandring, bahwa Ken Arok yang sekarang agaknya telah berada dalam
keadaannya yang wajar. Ramah, berwajah jernih dan rendah hati.
Memang Ken Arok telah berusaha
sejauh-jauhnya untuk tidak merubah sifat dan kebiasaannya. Empu Gandring
harus mendapat kesan, bahwa ia tidak sedang diburu-buru oleh suatu
pekerjaan yang menegangkan syarafnya. Karena itulah, maka Ken Arok
justru telah berada dalam kewajarannya kembali setelah lima bulan yang
lalu datang kepadanya dengan sikap yang aneh.
“Apakah Angger datang dari Tumapel?” bertanya Empu tua itu, “Atau telah singgah kemanapun juga?”
“Tidak Empu. Aku sengaja datang kemari dari Tumapel”.
“Angger datang terlampau malam, sehingga
aku tidak dapat segera menjamunya. Tetapi, baiklah aku lihat, barangkali
para endang masih belum tidur”.
“Terima kasih Empu, terima kasih. Aku hanya sebentar saja”.
“Ah” Empu Gandring terkejut, “Angger selalu membuat aku bertanya-tanya seperti lima bulan yang lalu”.
Ken Arok tertawa, katanya, “Tidak Empu.
Kedatanganku kali ini berbeda dengan kedatanganku lima bulan yang
lampau. Saat itu aku sedang diburu oleh ketegangan syaraf setelah aku
bertempur menghadapi beberapa orang perampok. Aku merasa bahwa aku
benar-benar tidak berdaya menghadapi salah seorang dari mereka.
Seolah-olah kulitnya kebal dan tidak mampu dilukai oleh senjata biasa.
Pedangku sama sekali tidak mampu menyobek kulitnya, apalagi
tulang-tulangnya. Karena itulah, dengan meninggalkan sopan santun aku
telah berani memesan sebilah keris kepada Empu Gandring, didorong oleh
ketegangan syaraf yang tidak teratasi”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa prasangka apapun ia mendengarkan ceritera yang memang masuk akal itu.
“Kemudian, kedatanganku kali ini Empu”
Ken Arok meneruskan, “Sekedar memenuhi janjiku saat itu untuk datang
lima bulan lagi. Sebenarnya aku sudah tidak begitu memerlukannya
sekarang Empu. Meskipun demikian, aku masih tetap ingin memilikinya,
seandainya pada suatu ketika aku bertemu dengan orang itu, aku tidak
perlu lagi lari tunggang langgang. Sudah tentu sebagai seorang prajurit
aku akan malu sekali, kalau ada seseorang yang melihatnya saat itu. Lari
terbirit-birit seperti dikejar hantu”.
Empu Gandring tersenyum mendengar ceritera Ken Arok itu, dan bahkan Ken Arok sendiri tertawa.
“Angger Ken Arok telah berhasil
mengendapkan perasaannya” berkata Empu Gandring di dalam hatinya,
“Karena itu, aku kira ia sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian,
aku harus melihat, apakah dalam waktu yang dekat ia tidak dirangsang
lagi oleh ketegangan syaraf seperti lima bulan yang lalu. Karena itu,
sebaiknya Ken Arok masih harus menunggu lagi beberapa hari”.
“Tetapi,” Empu Gandring kemudian berkata, “kenapa Angger sekarang begitu tergesa-gesa”.
“Aku tidak mendapat istirahat kali ini
Empu. Karena itu, aku mempergunakan waktu yang sedikit itu untuk datang.
Aku berangkat hari ini, dan besok aku harus sudah berada dalam tugasku
lagi, supaya Tuanku Akuwu tidak marah kepadaku”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi Angger datang kemari sekedar mengambil pesanan Angger itu?”
“Ya Empu. Meskipun aku tidak begitu
memerlukannya lagi, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk datang lagi
memenuhi waktu yang sudah aku katakan, meski dalam keadaan apapun juga
aku pada saat itu”.
Empu Gandring tertawa. Katanya, “Angger benar seorang yang bertanggung jawab atas segala kata-kata yang telah terucapkan”.
Ken Arok pun tertawa pula, “Tetapi, aku memang ingin mempunyai kenang-kenangan yang berkesan dari Empu Gandring”.
“Baiklah Ngger. Aku akan memenuhinya”.
Empu Gandring menjadi ragu-ragu sejenak. Di dalam hatinya ia berkata,
“Agaknya Ken Arok telah membuang waktu yang baginya pasti sangat
berharga untuk mengambil keris itu sekedar karena ia sudah mengatakan
untuk kembali dalam waktu lima bulan lagi. Tetapi, ternyata bahwa keris
itu sengaja belum aku siapkan karena kecurigaan itu. Tetapi, apaboleh
buat”.
Betapapun beratnya akhirnya Empu Gandring
terpaksa berkata terus terang, “Tetapi, maaf Ngger. Sebenarnya keris
itu masih belum siap”.
Seleret ketegangan menyambar wajah Ken
Arok, bahkan rasa-rasanya darahnya pun telah berhenti mengalir. Namun
sesaat kemudian kesan itu pun segera dapat dikuasainya. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Sayang Empu. Aku ragu-ragu
apakah aku pada suatu saat yang dekat akan dapat datang lagi kemari.
Mungkin aku akan segera mendapat tugas yang lain”.
“Aku minta maaf Ngger. Biarlah aku
berterus terang. Sebenarnya aku memang meragukan Angger pada saat itu.
Sebenarnya membuat keris tidak memperlukan waktu terlampau lama. Tetapi,
aku sengaja membuat jarak vang cukup panjang. Menurut perhitunganku
waktu itu, seandainya Angger sedang bingung, maka dalam waktu lima bulan
Angger telah mendapatkan ketenangan. Dan ternyata harapanku itu
terjadi”.
“Tetapi, bukankah yang lima bulan telah lampau?” bertanya Ken Arok sambil tersenyum.
Empu Gandring pun tersenyum pula, “Ya,
Ngger. Yang lima bulan memang telah lampau. Tetapi, aku belum melihat
keadaan Angger. Kalau aku tahu Angger telah mendapatkan ketenangan itu,
maka keris itu pasti sudah aku siapkan. Karena aku masih ragu-ragu, maka
aku memang ingin bertemu dengan Angger dahulu. Kalau aku yakin bahwa
Angger sudah tidak berbahaya, maka keris itu akan segera aku siapkan
dalam sehari dua hari. Paling lama sepekan sesudah ini”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seolah-olah ia tidak kecewa sama sekali karena keris itu belum jadi.
Sambil tersenyum ia kemudian berkata, “Tetapi, apakah aku boleh melihat
keris itu Empu. Meskipun masih belum siap”.
“O, tentu-tentu. Keris itu sendiri sudah
siap, tetapi aku belum memberinya, hulu yang baik. Aku baru sekedar
memberinya untuk sementara”.
“Apabila Kiai tidak berkeberatan, aku minta ijin untuk melihatnya sebentar Kiai”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun demikian ia tampaknya masih juga ragu-ragu. Karena
itu ia tidak segera beranjak dari tempatnya.
Ken Arok melihat keragu-raguan yang
membayang di wajah Empu Gandring. Maka katanya sambil tersenyum pula,
“Mungkin ada pantangan Empu, bahwa keris yang masih belum siap benar,
tidak boleh dilihat oleh calon pemiliknya”.
“Ah tidak Ngger, tidak” jawab Empu
Gandring dengan serta merta, “sudah aku katakan sebenarnya keris itu
sudah siap. Aku tinggal menghaluskannya sedikit dan membuat hulunya”.
Empu Gandring pun kemudian berdiri dan melangkah ke sudut sanggarnya. Dari dalam geledeg bambu diambilnya sebilah keris yang masih belum diberinya wrangka. Tangkainya masih sangat sederhana karena hulu yang sebenarnya masih belum dipasangnya juga.
Melihat keris itu hati Ken Arok menjadi
berdebar-debar. Meskipun ia belum merabanya, namun kilatan wilahannya
telah membuatnya yakin, bahwa keris itu adalah keris yang pilih tanding.
Perlahan-lahan Empu Gandring berjalan ke
tempatnya kembali. Diamat-amatinya keris itu. Kemudian katanya, “Aku
masih harus memandikannya sekali lagi. Kemudian memberinya hulu yang
sesuai dengan nilai keris ini. Aku telah memilih baja yang paling baik
yang ada padaku”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun tampaknya ia masih duduk saja dengan tenang, namun keringat
dingin telah mengaliri seluruh punggungnya. Tangannya yang gemetar
seolah-olah ingin segera merebut keris itu dari tangan Empu Gandring
yang masih asyik mengamat-amatinya.
“Mudah-mudahan keris ini sesuai dengan
kau Ngger. Seorang prajurit yang gagah berani, yang tidak mengenal takut
menghadapi kesulitan apapun”.
“Ya Kiai” jawab Ken Arok pendek.
“Sudah lama aku ingin membuat keris
serupa ini. Dan sekarang aku telah berhasil. Seandainya yang datang
sekarang ini Angger Ken Arok lima bulan yang lalu, maka aku kira keris
ini tidak akan aku tunjukkan. Bahkan mungkin pada saatnya aku akan
memberikan keris yang lain lagi. Tetapi, Angger kini telah meyakinkan
aku. Karena itu maka keris ini akan aku serahkan kelak apabila sudah
siap sekali”.
Ken Arok mengumpat-umpat di dalam hati. Seakan-akan ia ingin meloncat menerkam keris itu.
Tetapi, ia masih tetap harus bersikap
tenang dan tidak mencurigakan. Selama keris itu masih di tangan Empu
Gandring, maka ia masih harus menahan dirinya sejauh-jauh dapat
dilakukan. Ia tidak boleh menimbulkan kecurigaan pada orang tua itu,
supaya Empu Gandring tidak mengurungkan niatnya, menunjukkan keris itu
kepadanya. Karena itu, betapa dadanya berguncang-guncang, namun ia masih
saja duduk dengan tenangnya sambil tersenyum-senyum.
Dalam pada itu Empu Gandring masih saja
mengamat-amati kerisnya dengan saksama. Kepuasan terbayang di wajahnya
yang telah dihiasi dengan garis ketuaannya. Seakan-akan begitu sayangnya
ia kepada keris itu untuk menyerahkannya ke tangan Ken Arok.
Sementara Ken Arok dicengkam oleh
kegelisahan yang hampir-hampir tidak tertanggungkan, di jalan yang
menuju Lulumbang, dari arah Padang Karautan, sebuah pedati berjalan
perlahan-lahan seperti seekor siput raksasa yang merayap mendekati
padepokan Empu Gandring.
Seorang perempuan tua duduk bersandar
tiang pedati itu sambil terkantuk-kantuk, sedang dua orang prajurit yang
duduk bersamanya di dalam pedati itu sudah lama tertidur sambil
bersandar dinding pedati. Dipaling depan duduk Mahisa Agni memegang tali
kendali sepasang lembu yang besar. Di belakang pedati itu terikat
seekor kuda yang berjalan dengan malasnya.
Gemetaran roda pedati di atas tanah
berbatu-batu kadang-kadang telah membangunkan orang-orang yang sedang
tidur di dalamnya. Kadang-kadang tubuh mereka terguncang-guncang untuk
beberapa saat. Namun kedua prajurit itu segera tertidur kembali.
“Apakah bibi perlu beristirahat?” bertanya Mahisa Agni.
Emban tua yang duduk di dalam pedati itu
menggelengkan kepalanya, “tidak usah Agni. Aku ingin segera sampai ke
Lulumbang. Entahlah, aku tidak pernah dicengkam oleh perasaan rindu
serupa ini. Aku ingin segera bertemu dengan pamanmu Empu Gandring”.
“Ya, bibi sudah terlampau lama tidak bertemu”.
“Bukan itu saja soalnya. Entahlah. Aku ingin segera sampai. Kalau saja pedati ini dapat berjalan lebih cepat”.
Mahisa Agni tersenyum. Dicobanya melecut
lembunya yang malas. tegapi lembu itu hanya sekedar berpaling, dan
Manisa Agni pun tidak melecutnya lagi.
Malam yang gelap terbentang dihadapan
pedati itu, sebuah obor yang kecil terpancang di sisi. Cahayanya yang
terayun-ayun diguncang-guncang oleh angin malam kadang-kadang membuat
obor itu hampir padam.
Bagi Mahisa Agni, perjalanan itu memang
terasa menjemukan. Ia akan lebih senang berpacu dengan kudanya. Tetapi,
sudah tentu ibunya tidak akan mungkin berkuda untuk jarak yang cukup
jauh. Dari Padang Karautan ke Lulumbang, kemudian kembali lagi ke
Tumapel. Apalagi ibunya bukannya seorang yang memang dapat berkuda
dengan baik.
Betapa lambatnya, maka pedati itu merayap
juga semakin dekat dengan Lulumbang. Dalam pada itu, hati perempuan tua
itu menjadi semakin berdebar-debar. Serasa ada sesuatu yang tidak wajar
bakal terjadi.
Kadang-kadang perempuan tua itu menjadi
cemas, kalau-kalau ada gangguan di perjalanan. Tetapi, apabila
dilihatnya Mahisa Agni duduk di depan, kemudian dua orang prajurit yang
meskipun saat itu baru tidur mendekur, hatinya menjadi tenang.
Sekali-sekali perempuan tua itu mencoba
untuk tidur barang sejenak, di dalam pedati itu. Tetapi, matanya
terlampau sulit di pejamkan. Bukan karena roda pedati yang bergemeretak
dan mengguncang-guncang pedati itu, tetapi juga karena kegelisahan yang
mencengkam jantung tanpa diketahui sebab-sebabnya.
Tiba-tiba perempuan itu tersentak. Dengan kedua tangannya dipeganginya dadanya yang berdebar-debar.
“Agni” berkata perempuan tua itu, “Aku
kira memang terjadi sesuatu dengan pamanmu. Hatiku menjadi sangat
berdebar-debar. Jantungku serasa berhenti mengalir”.
“Ibu membayangkan yang bukan-bukan” sahut Mahisa Agni.
“Tidak Agni. Aku tidak membayangkan
apapun” jawab ibunya, “apakah aku telah mendapat suatu firasat yang
kurang baik tentang pamanmu?”
“Bukankah hari telah jauh malam bibi? Aku kira bibi telah mengantuk dan bermimpi dalam sekejap”.
“Tidak Agni. Aku yakin”. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Agni” berkata ibunya, “Apakah kau mau mendahului perjalanan pedati yang terlampau lambat ini?”
“Maksud bibi?”
“Pergilah berkuda. Kau akan cepat mencapai Lulumbang. Hatiku menjadi semakin tidak enak”.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi, ia tidak ingin mengecewakan ibunya, sehingga karena
itu ia menjawab, “Baik ibu. Aku akan mendahului”.
Mahisa Agni pun kemudian membangunkan
kedua prajurit yang sedang tidur itu. Katanya, “Aku akan mendahului.
Terserahlah kepada kalian keselamatan bibi sampai ke Lulumbang”.
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya meskipun sambil bersungut-sungut. Mereka lebih senang tidur
dari pada mengemudikan pedati itu.
“Kalau kalian masih mengantuk” berkata
Mahisa Agni, “Kalian dapat bergantian. Yang seorang tidur, yang seorang
memegang tali kemudi”.
“Baiklah” sahut salah seorang dari kedua
prajurit itu. Kemudian katanya kepada kawannya yang seorang lagi,
“Peganglah tali itu lebih dahulu, aku akan tidur. Nanti segera
bergantian, aku tidur dan kau memegang tali itu”.
“Hus” desis yang lain.
“Terserahlah kepada kalian” Mahisa Agni terpaksa tersenyum, “Sekarang aku akan mendahului perjalanan ini”.
Mahisa Agni pun segera melepaskan kudanya
dan meloncat naik ke punggungnya. Sejenak kemudian suara derap
kaki-kaki kuda itu gemeretak di sepanjang jalan, mendahului perjalanan
pedati yang sedang merayap.
Sebenarnya mula Mahisa Agni tidak
mempunyai perasaan apapun tentang pamannya di Lulumbang. Namun desakan
ibunya telah membuatnya mulai berpikir. Apakah sebabnya?
“Memang kadang-kadang sentuhan yang
sangat halus telah menggerakkan hati seseorang untuk menangkap persoalan
yang tidak kasat mata. Tetapi, tali yang menghubungkan getaran yang
bersamaan, yang memancar dari dalam diri, akan dapat saling
mempengaruhi” desis Mahisa Agni itu sambil berpacu, sehingga tiba-tiba
saja Mahisa Agni pun menjadi cemas. Katanya, “Mungkin benar-benar telah
terjadi sesuatu atas paman di Lulumbang”.
Dengan demikian maka Mahisa Agni pun segera melecut kudanya dan berpacu semakin cepat.
Dalam pada itu sambil tersenyum Empu Gandring masih memandangi kerisnya. Berkali-kali diusapnya janggutnya yang telah memutih.
“Apakah ada yang masih belum sempurna
Empu?” bertanya Ken Arok. Betapapun kegelisahan melanda dinding
jantungnya namun ia masih tetap duduk sambil tersenyum.
“Tidak Ngger” Empu Gandring menggelengkan
kepalanya, “Aku kira keris ini telah siap. Kekurangan kecil itu sama
sekali tidak akan berpengaruh apa-apa. Hanya bentuknya sajalah yang
masih akan aku sempurnakan. Tetapi, isi dari keris ini telah penuh. Aku
telah menganggap keris ini keris yang telah jadi”.
Ken Arok bergeser setapak maju.
Ditunjukkannyalah sikap ingin tahunya. Bahkan kadang-kadang ia telah
mengangkat tangannya untuk menerima keris itu.
Tetapi, Empu Gandring tidak segera memberikannya. Serasa ada sesuatu yang menahannya.
Ketika terpandang oleh Empu tua itu ujung
kerisnya yang runcing, seruncing taring Naga Taksaka, hatinya berdesir.
Tanpa diketahuinya, apakah sebabnya, tangannya tiba-tiba menjadi
gemetar.
Dilihatnya di sela-sela pamor yang memang
dikehendaki, tiga buah bintik kecil berwarna kekuning-kuningan. Sekilas
melintas di dalam angan-angannya ujung keris yang pernah dilihatnya,
keris sakti yang bernama Kiai Naga Singkik buatan Empu Sekadi. Keris
yang maksudnya disiapkan untuk membasmi kejahatan, namun jatuh ke tangan
orang yang tidak dikehendakinya, sehingga keris itu telah menelan
terlampau banyak korban yang sia-sia.
Hati Empu Gandring menjadi
berdebar-debar. Ia adalah seorang ahli membuat keris. Bahkan seorang
Empu yang seakan-akan hidup matinya ada di dalam sanggar kerisnya. Namun
sekali ini ia telah membuat suatu kesalahan.
“Aku tidak dapat menyebutnya lagi bahwa
keris ini berpamor Manggada” berkata Empu Gandring di dalam hatinya,
“Aku rasa aku telah mengulangi kesalahan Empu Sekadi”. Namun sejenak
kemudian Empu Gandring mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk
menenangkan hatinya sambil bergumam di dalam dadanya, “Aku terlampau
terpengaruh oleh keris Naga Singkik. Setiap orang dapat saja membuat
kesalahan. Tetapi, kalau aku mencemaskan akibat kesalahan itu tanpa
dasar, agaknya aku keliru”. Tetapi, kemudian di relung hatinya terdengar
suara, “Bukanlah sesuatu kebetulan, persamaan yang jarang sekali dapat
terjadi”.
Dengan demikian Empu Gandring masih saja
memegangi kerisnya dengan dada yang berdebar-debar. Sementara Ken Arok
mengumpat-umpat di dalam hatinya meskipun ia masih juga tampak
tersenyum-senyum.
“Apakah ada sesuatu yang membuat Empu
menyesal atas keris itu?” bertanya Ken Arok ketika dilihatnya wajah Empu
Gandring menjadi berkerut-merut.
“Oh, tidak, tidak Ngger. Aku sudah puas sama sekali dengan keris ini”.
“Sokurlah” sahut Ken Arok, “keris itu
akan menjadi kenang-kenangan yang paling baik bagiku”. Tetapi, Ken Arok
berhenti sejenak, “Tetapi, apakah aku dapat melihatnya sejenak?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Apakah Angger tidak menunggu kelak apabila keris ini telah
siap sama sekali? Nanti Angger kecewa melihat ukiran yang masih belum
siap. Sebab menurut rencana kami ukirannya masih harus diganti dengan
hulu yang lebih baik”.
Ken Arok tersenyum. Jawabnya, “Tidak
Empu. Aku tidak akan kecewa, sebab aku sudah tahu bahwa keris itu memang
belum siap. Seandainya ada kekurangannya, maka dalam lima atau enam
hari, keris itu sudah akan siap”.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Ditatapnya wajah Ken Arok dengan tajamnya, keragu-raguan di dalam
hatinya semakin lama menjadi semakin dalam.
“Tetapi, aku tidak melihat kesan apapun
di wajah anak muda ini” berkata Empu Gandring di dalam hatinya,
“wajahnya jauh lebih cerah dari pada lima bulan yang lalu. Agaknya
Angger Ken Arok benar-benar telah berhasil mengendapkan diri”. Dengan
demikian maka Empu Gandring menganggap bahwa keragu-raguan di dalam
hatinya itu sama sekali tidak beralasan. Desisnya di dalam hati, “Aku
sangat terpengaruh oleh kedatangan Angger Ken Arok lima bulan yang
lampau serta bintik-bintik di ujung keris, di sela-sela pamornya”. Empu
Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian, “Tidak baik aku
terlampau berprasangka. Hal itu justru akan menimbulkan kesan yang jelek
pada Angger Ken Arok”.
Karena itu, maka Empu Gandring pun kemudian memutuskan untuk memberikan kerisnya kepada Ken Arok, “Anak ini agaknya sudah baik”.
“Baiklah Ngger” berkata Empu Gandring
selanjutnya, “Marilah. Tetapi, jangan kecewa lebih dahulu, karena aku
masih akan memperbaikinya nanti”.
Ken Arok bergeser maju. Diangkatnya kedua
tangannya untuk menerima keris itu. Dengan hati-hati Empu Gandring
menyerahkan kerisnya. Ketika keris itu menyentuh tangan Ken Arok, Empu
Gandring merasa bahwa tangan itu gemetar, sehingga tiba-tiba dadanya pun
menjadi gemetar pula.
Kini keris itu telah berpindah ke tangan
Ken Arok. Sebenarnyalah bahwa tangan Ken Arok menjadi gemetar.
Diamat-amatinya keris itu dengan saksama, seolah-olah setiap garis dan
lekuk pamornya dinilainya dengan saksama. Meskipun ia bukan ahli keris,
tetapi terasa bahwa keris yang sedang dipegangnya itu adalah keris yang
jarang ada bandingnya.
“Rencanaku tidak boleh tertunda” Ken Arok
itu menggeram di dalam hatinya. Namun tiba-tiba dadanya seolah-olah
bergejolak dengan dahsyatnya. Sekali-kali dipandanginya wajah Empu
Gandring yang sejuk lunak, seperti sejuknya embun di pagi hari. Di wajah
itu sama sekali tidak terbayang permusuhan yang bagaimanapun bentuknya.
Di wajah itu sama sekali tidak terbayang sama sekali sifat-sifat yang
dapat memperkuat niat Ken Arok melakukan rencananya. Dengan demikian
maka dada Ken Arok seolah-olah telah dibakar oleh benturan yang semakin
lama menjadi semakin dahsyat. Benturan antara rencana yang sudah matang
tersusun, dengan tanggapannya atas orang yang kini sedang dihadapi.
“Apakah aku sampai hati melakukannya” ia bertanya kepada diri sendiri dengan penuh keragu-raguan.
Tangan Ken Arok yang gemetar itu menjadi semakin gemetar. Bahkan ujung keris itu kemudian seolah-olah terkulai menunduk.
Empu Gandring melihat keadaan Ken Arok
dengan heran. Apakah yang sebenarnya terjadi atas anak muda itu.
Keragu-raguan yang sejak semula mencengkamnya, tiba-tiba menjadi semakin
mengganggu perasaannya.
Tetapi, tiba-tiba ia mendengar Ken Arok
berkata, “Empu, keris ini terlampau baik. Terlampau baik buatku.
Seandainya Empu benar-benar akan memberikan keris ini kepadaku, maka aku
akan mengucapkan beribu terima kasih”.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ah, kau terlampau memuji Ngger. Mudah-mudahan kau puas dengan keris itu”.
“Tentu Empu. Aku terlampau puas. Keris itu terlampau baik”.
Ketika Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya dengan sebuah senyum yang tergores di bibirnya, hati Ken Arok
seakan-akan menjadi runtuh.
“Tidak. Aku tidak dapat berbuat gila atas orang tua yang terlampau baik ini”.
Ketika Ken Arok menggeleng-gelengkan kepalanya Empu Gandring bertanya, “Apakah ada yang tidak berkenan dihatimu Ngger?”
“Tidak Empu. Keris ini terlampau
sempurna” jawab Ken Arok, “memang hulunya masih harus diganti,
disesuaikan dengan kerisnya itu sendiri. Tetapi, hulu keris sebenarnya
tidak begitu penting dibandingkan dengan nilai keris itu sendiri”.
Empu Gandring tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara dada Ken Arok menjadi semakin
bergemuruh oleh kebimbangan yang hampir tidak tertahankan.
Sementara itu gemuruh derap kaki-kaki
kuda yang dipacu oleh Mahisa Agni menjadi semakin bergemeretakan.
Semakin cepat kuda itu berpacu, hati anak muda itu menjadi semakin
bergetar. Bahkan kini seakan-akan ia sendiri merasakan, betapa pamannya
itu sedang terancam bahaya.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun semakin
mempercepat lari kudanya, beberapa kali ia menyentuh perut kuda itu.
Namun langkahnya serasa masih terlampau malas.
Di dalam dinginnya malam terasa keringat
mengalir di punggung Mahisa Agni, sehinga punggungnya menjadi basah
seperti sedang kehujanan.
Punggung Ken Arok pun menjadi basah
seperti sedang kehujanan. Berbagai macam pikiran berbenturan dan
bergolak di dalam dadanya. Sekali-kali dipandanginya ujung keris yang
runcing tajam, kemudian wajah Empu tua yang berkerut-merut.
Empu Gandring melihat kegelisahan yang
sangat membayang di wajah Ken Arok. Ia melihat tangan yang menggenggam
keris itu menjadi semakin gemetar dan ujung keris itu pun menjadi
semakin menunduk.
Hati Ken Arok yang semakin luluh itu pun
seakan-akan meronta-ronta di dalam dadanya. Apakah ia harus melaksanakan
rencananya atau mengurungkannya.
Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba Ken
Arok menggeretakkan giginya. Ia seakan-akan sedang mencari kekuatan.
Dengan kekuatan terakhir ia mencoba menggeram di dalam dadanya, “Harus.
Aku harus melakukannya sekarang. Kalau aku melepaskan kesempatan ini,
maka aku tidak akan pernah menemukan kesempatan yang lain”, sehingga
semua rencana yang telah disusunnya dan yang sebagian telah berjalan itu
akan gagal. Gagal sama sekali. Dengan demikian berarti bahwa ia tidak
akan dapat mencapai cita-citanya. Tidak akan ada perubahan yang akan
terjadi pada dirinya.
Terbayang sekilas wajah Permaisuri Ken
Dedes yang cantik yang memancarkan cahaya yang cemerlang. Kemudian
terbayang wajah Akuwu Tunggul Ametung yang terlampau mementingkan
dirinya sendiri dari pada kepentingan Tumapel.
“Tidak. Aku tidak boleh mundur. Betapapun
banyaknya korban yang harus jatuh. Tetapi, aku harus melaksanakan.
Korban-korban itu adalah rabuk bagi kesuburan Tanah Tumapel.
Memang mungkin korban-korban itu tidak bersalah. Dan korban yang
demikian itulah yang akan membuat Tumapel menjadi besar” ia menggeram di
dalam hatinya.
Dengan demikian, maka dada Ken Arok
menjadi semakin berdebar-debar. Benturan yang dahsyat seolah-olah akan
memecahkan jantungnya, sehingga tangannya menjadi semakin bergetar pula.
Empu Gandring akhirnya tidak dapat
melihat sambil berdiam diri. Dengan herannya ia bertanya, “Kau kenapa
Ngger? Apakah kau menjadi kecewa melihat keris itu, atau kau mempunyai
sesuatu pendapat atau apapun?”
Ken Arok tidak tahu, bagaimana menjawab
pertanyaan itu.. Namun sekenanya saja ia berkata, “Empu, aku melihat
tiga buah bintik yang membuat aku menjadi berdebar-debar. Bintik yang
mempunyai warna dan ciri yang lain dari keseluruhan pamor keris ini”.
Jawaban itu membuat dada Empu Gandring
berdesir. Ia tidak menyangka bahwa Ken Arok akan memperhatikan ketiga
bintik yang dilihatnya itu. Memang sebenarnya bahwa bintik itu mempunyai
warna yang berbeda dari warna keseluruhan dari pamor keris itu.
“Empu” berkata Ken Arok kemudian,
“Lihatlah, betapa bintik-bintik ini membuat keseluruhan pamor keris ini
menjadi sebuah teka-teki yang aneh. Aku tidak mampu menebak, apakah
maksud Empu dengan ketiga bintik-bintik ini, dan memberinya warna yang
lain dari keseluruhan pamor keris ini, sehingga ketiga bintik ini
seakan-akan terlepas dari hubungannya dengan bentuk keseluruhan”.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Kenapa baru kali ini ia sendiri melihat bintik-bintik itu? Sejak keris
itu berbentuk, ia selalu mengamat-amatinya. Hampir setiap saat ia duduk,
di dalam sanggar ini, ia selalu menimang-nimang keris itu. Tetapi,
kemarin ia masih belum melihat ketiga bintik-bintik itu. Sehingga
bintik-bintik itu seolah-olah timbul begitu saja dengan tiba-tiba.
“Memang aneh” ia berdesis di dalam hatinya.
“Empu” berkata Ken Arok kemudian, “Apakah
dengan sengaja Empu memberikan bintik-bintik ini? Seandainya demikian
apakah maksudnya?”
Empu Gandring menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Tidak Ngger. Aku sama sekali tidak sengaja menempatkan ketiga
bintik-bintik kecil itu”.
“Ah” desis Ken Arok, “Adalah mustahil
sekali, Empu adalah seorang ahli membuat keris. Karena itu, Empu
menguasai segala macam bentuk dan watak dari setiap keris yang Empu
buat”.
“Kau benar Ngger. Tetapi, tidak mustahil
bahwa seseorang membuat kesalahan. Selama aku adalah manusia biasa, maka
aku pasti masih akan membuat kesalahan-kesalahan”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh tubuhnya. Desakan di
dalam dadanya sudah tidak tertahankan lagi untuk melakukan rencananya,
tetapi perasaannya masih dibayangi oleh gambaran-gambaran yang aneh.
“Harus, harus. Lakukanlah sekarang” terdengar perintah itu di dalam dadanya.
Sekali lagi Ken Arok mencari kekuatan
sambil mengepalkan tangannya, menggenggam hulu keris itu keras-keras.
Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Lihat Empu, aneh. Bintik-bintik ini
dapat bergerak”.
Empu Gandring terkejut mendengarnya.
Tiba-tiba saja ia bergeser maju tanpa prasangka apapun. Dengan mata
terbelalak ia mengamat-amati ujung kerisnya.
Namun tiba-tiba uiung keris itu bergetar dan bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan tatit yang menyambar di langit. Ujung keris itu tiba-tiba saja telah menghujam memecahkan dadanya.
Sejenak Empu Gandring membeku di tempatnya. Seakan-akan ia tidak percaya, bahwa hal itu telah terjadi dan dialaminya sendiri.
Tetapi, sejenak kemudian, Empu tua itu
menyadari keadaannva. Ternyata keris buatannya sendiri itu telah
tertancap di dadanya. Ketika tangannya meraba hulu keris yang masih
melekat di dada itu, terasa tangannya menjadi hangat oleh darah yang
memerah.
Terasa dada itu menjadi pedih bukan
kepalang. Kerisnya adalah keris yang benar-benar pilih tanding. Keris
yang jarang dicari duanya di dunia.
Empu Gandring bukan saja seorang Empu
yang terpilih di antara golongannya. Tetapi, ia adalah seorang yang
pilih tanding dalam oleh kanuragan. Empu Gandring adalah seseorang yang
dapat melawan Kebo Sindet dan dapat disejajarkan dengan Empu Purwa dan
Panji Bojong Santi. Namun menghadapi keadaan yang tidak
disangka-sangkanya itu, ia tidak dapat mengelakkan diri.
Tubuh orang tua itu pun segera menjadi
gemetar. Ternyata ujung keris yang telah dibuatnya sendiri itu telah
menyentuh jantungnya. Dengan demikian, maka kekuatannya dan segenap
kemampuan yang sukar dicari bandingnya itu pun segera susut dengan
cepatnya. Karena betapapun juga, kemampuan manusia pasti pada suatu
ketika akan sampai pada batasnya. Demikian juga Empu tua yang sakti itu.
Sesaat ia masih dapat duduk di tempatnya
tanpa bergerak sama sekali. Kedua tangannya masih menggenggam hulu
kerisnya, sedang tatapan matanya yang menyorotkan beribu macam
pertanyaan lelah menghunjam langsung ke dada Ken Arok.
Ken Arok, yang telah mengerahkan segenap
kekuatan lahir dan batinnya untuk menaikkan keris itu ke dada Empu
Gandring, menjadi gemetar pula. Dengan tajam dipandanginya Empu tua yang
masih saja duduk di tempatnya menahan pedih di dadanya. Sekali-kali
terdengar Empu Gandring berdesis. Namun yang paling tajam merobek-robek
perasaannya adalah kejapan matanya yang semakin lama menjadi semakin
sayu.
Tiba-tiba Ken Arok itu bertiarap di depan
Empu Gandring yang telah menenggang nafas itu. Dengan suara
tertahan-taham ia berkata, “Tidak. Tidak. Itu tidak boleh terjadi”.
Empu Gandring mencoba menarik nafas dalam-dalam. Setiap hembusan nafasnya telah mendorong darahnya untuk melelah dari lukanya.
“Ampunkan aku Empu, ampun” Ken Arok
merengek seperti kanak-kanak yang ditinggal ayahnya pergi merantau, “Aku
tidak menginginkannya. Itu bukan maksudku”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya perlahan-lahan. Dengan sisa tenaganya ia menghentakkan keris
itu dari dadanya. Demikian ia berhasil mencabut keris itu, maka darahnya
pun menjadi semakin banyak mengalir dari lukanya.
Sejenak diamat-amatinya keris yang sudah
berlumuran darah itu. Tetapi, matanya yang menjadi semakin kabur telah
tidak lagi dapat melihat tiga buah bintik yang asing baginya, meskipun
ialah yang telah membuat keris itu.
Ketika Ken Arok melihat Empu Gandring
telah berhasil menarik keris itu, tiba-tiba ia berkata setengah meratap,
“Empu, bunuhlah aku sebelum aku benar-benar menjadi semakin gila.
Tolonglah aku Empu. Bunuhlah aku”.
Tetapi, tubuh Empu Gandring sudah menjadi
semakin lemah. Ketika terlihat olehnya kilasan mata Ken Arok, maka Empu
tua itu mencoba untuk berkata, “Kau telah membuat suatu kesalahan
Ngger?” nafas Empu Gandring mengalir semakin cepat, “Selama ini kau
adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi, Ken Arok sebagai seorang
prajurit yang baik, agaknya telah mati bersama kematianku”.
Terasa dada, Ken Arok tergores oleh
kata-kata itu demikian parahnya. Terngiang kembali kata-kata Lohgawe
yang serupa dengan kata-kata yang diucapkan oleh Empu Gandring itu.
“Aku menyesal Empu. Karena itu, bunuhlah aku supaya nafsu ini tidak menjalar ke seluruh Tumapel”.
Empu Gandring menggelengkan kepalanya.
“Aku telah mencoba membunuh Empu, adalah wajar apabila Empu membunuhku”.
Sekali lagi Empu Gandring menggelengkan kepalanya, “Sudah saatnya aku kembali kepada Yang Maha Agung, Ngger”.
“Tetapi, Empu harus membunuh aku lebih
dahulu. Dengan demikian Empu telah mebuat kebaikan di saat terakhir
Empu. Ketahuilah Empu, dengan keris itu aku akan membunuh Akuwu Tunggul
Ametung. Aku akan memperisteri Ken Dedes, dan aku ingin menjadi seorang
Akuwu, bahkan seorang Maharaja. Karena itu, sebelum nafsu itu membakar
Tumapel, sebaiknya Empu membunuhku”.
Wajah Empu Gandring meniadi semakin
pucat. Tenaganya memadi semakin lemah, sehingga keris ditangannya itu
pun terkulai di atas tikar yang meniadi kemerah-merahan oleh darahnya.
“Angger Ken Arok” suara Empu tua itu
menjadi semakin lemah, “Kalau kau menyesal, maka aku berpesan kepadamu,
hancurkan sajalah keris itu, karena keris itu akan meminta korban dan
korban. Akan datang saatnya keris itu membunuh Akuwu Tunggul Ametung,
tetapi juga orang-orang lain. Karena itu, sebaiknya keris itu, kau
tiadakan saja, ternyata aku telah mengulangi kesalahan Empu Sekadi”.
“Empu” hampir saga Ken Arok memekik.
Dengan gerak naluriah kedua tangannya menutup mulutnya, ketika ia
melihat Empu Gandring itu menunduk. Semakin lama semakin dalam, meskipun
ia masih tetap duduk. Akhirnya tubuh itu diam. Diam sama sekali.
“Empu” bisik Ken Arok. Dengan tangan
gemetar ia merayap maju. Ketika dirabanya tangan Empu Gandring, tangan
itu seakan-akan telah membeku.
Dada Ken Arok hampir meledak karenanya.
Tiba-tiba dengan penyesalan yang luar biasa ia mengambil keris itu
perlahan-lahan dari tangan Empu Gandring. Kemudian ia meloncat berdiri
sambil menggeram, “Keris ini harus aku hancurkan. Harus”.
Mata Ken Arok menjadi nanar. Dipandanginya setiap benda yang ada di dalam sanggar itu.
Dalam kegelapan hati, hampir saja ia
membunuh dirinya. Tetapi, dengan demikian ia tidak mungkin dapat
memenuhi pesan Empu Gandring. Kalau keris itu ditusukkannya ke dadanya
sendiri, maka keris itu masih akan tetap utuh. Sehingga orang lain akan
dapat mempergunakannya untuk membunuh sesamanya.
“Tidak” ia menggeram, “Aku harus memusnakan keris itu lebih dahulu”.
Ketika terlihat olehnya sebuah paron, maka hatinya berdesir.
“Dengan paron itulah agaknya Empu
Gandring menempa keris-kerisnya” katanya di dalam hati, “Karena itu, di
atas paron itu pula keris ini akan aku hancurkan”.
Dengan hati yang berdebar-debar Ken Arok
mendekati paron itu. Kemudian dikerahkannya segenap kekuatan dan
kemampuan yang ada padanya. Diangkatnya keris itu tinggi-tinggi. Sekejap
kemudian dengan cepatnya keris itu terayun. Seperti lidah api yang
meloncat di langit, keris itu menyambar paron.
Ken Arok merasakan tangannya menjadi
pedih. Terdengar benturan yang dahsyat, dan ia melihat bunga api
memercik. Tetapi, tiba-tiba matanya terbelalak. Keris yang digenggamnya
ternyata masih utuh. Dan yang lebih mengherankan; sehingga hampir ia
tidak percaya kepada penglihatannya, ternyata bahwa paron itulah yang
menjadi hancur.
“Luar biasa. Keris ini memang luar biasa” desisnya.
“Bukan keris ini yang luluh tetapi paron itulah yang hancur”.
Ken Arok berhenti sejenak. Matanya
menjadi nyalang. Sekejap dipandanginya keris di dalam genggamannya, dan
sekejap ditatapnya paron yang sudah pecah berserakan itu.
“Keris ini tidak ada duanya di dunia”.
Dan tiba-tiba Ken Arok itu menggeram, “Sayang, kalau keris sesakti ini
harus aku hancurkan. Hanya dengan keris yang demikian inilah Tunggul
Ametung dapat aku binasakan”.
Tiba-tiba saja Ken Arok itu meloncat
menghambur keluar sanggar setelah mengganti kerisnya sendiri dengan
keris Empu Gandring itu. Ia sudah tidak ingat lagi Empu Gandring yang
meninggal di dalam sanggarnya. Ia sudah tidak ingat lagi untuk
menghancurkan keris itu, dan apalagi untuk membunuh diri. Ditutupnya
pintu sanggar itu rapat-rapat, kemudian seperti tidak pernah terjadi
sesuatu ia berjalan ke pintu regol.
Ia masih melihat cantrik yang memegangi
kendali kudanya. Bahkan ia duduk di pinggir regol bersama seorang
kawannya. Seorang cantrik yang lain.
Ketika terlihat oleh mereka prajurit yang menitipkan kuda itu, maka merekapun segera berdiri.
Ken Arok tersenyum. Diterimanya kendali
kudanya. Katanya, “Aku akan segera kembali ke Tumapel. Tugasku masih
cukup berat. Terima kasih kalian telah menjaga kudaku”.
“Terima kasih kembali” jawab cantrik ini, “Apakah tuan sudah bertemu dengan Empu?”
“Sudah, aku sudah bertemu. Persoalanku sudah selesai”.
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Tetapi, kenapa tuan begitu tergesa-gesa”.
Ken Arok tertawa, “Sudah aku katakan,
tugasku masih banyak. Terlampau banyak. Sebagai seorang prajurit
pengawal istana dan pengawal Akuwu, aku harus selalu berada di samping
Akuwu hampir dalam segala hal”.
“Oh” cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah. Aku minta diri”.
“Silahkan”.
Ken Arok menuntun kudanya keluar regol.
Namun belum lagi ia meloncat naik, tiba-tiba ia mendengar lamat-lamat
derap seekor kuda berlari kencang semakin lama semakin dekat.
“Siapa?” dadanya berdesir. Namun ia tidak
mau terlambat. Siapapun yang datang, ia tidak boleh lengah. Kalau orang
yang datang itu sudah mengenalnya, maka semua rencananya akan rusak.
Apalagi kalau orang yang datang itu tidak mampu dibinasakannya.
Dengan demikian, maka segera ia meloncat
ke punggung kudanya. Tanpa berkata sepatah katapun lagi, maka kudanya
pun segera berpacu menjauh. Ken Arok menyadari, bahwa ia harus memilih
jalan sehingga ia tidak akan berpapasan dengan kuda yang mendatang itu.
Sejenak kemudian kuda Ken Arok pun telah
keluar dari padukuhan Lulumbang. Semakin lama kudanya berpacu semakin
cepat. Seandainya kuda yang datang itu kemudian memasuki padepokan Empu
Gandring dan mengetahui apa yang telah terjadi, maka kudanya sendiri
sudah menjadi sedemikian jauhnya, sehingga tidak mungkin akan terkejar.
Dalam pada itu, kuda yang mendatang itu
pun menjadi semakin dekat pula. Cantrik yang baru saja menyerahkan kuda
Ken Arok masih berdiri di samping regol. Sejenak mereka saling
berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Siapa lagi yang akan datang? Bukankah kita di sini tidak biasa menerima
tamu di malam hari?”
Kawannya menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi, mereka menunggu saja di muka regol, kalau-kalau kuda itu
benar-benar mendatangi pedepokan Empu Gandring.
Ternyata dugaan mereka benar. Sejenak
kemudian mereka melihat seseorang berhenti di depan regol. Kemudian
menuntun kudanya memasuki halaman.
“Siapa?” bertanya Cantrik yang masih berdiri di sisi regol.
Orang itu agaknya terkejut. Jawabnya, “He, kalian masih berada di halaman? Karena itu aku melihat regol itu masih terbuka”.
“Ya, baru saja aku mengantarkan seorang tamu. Tetapi, siapakah tuan?”
“Mahisa Agni. Kemanakan Empu Gandring”.
“O,. mari, marilah. Baru saja Empu menerima tamu dari Tumapel. Baru saja”.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Ditatapnya wajah cantrik itu, seolah-olah ia tidak percaya pada
keterangannya, bahwa di malam hari begini tamu Empu Gandring itu baru
saja meninggalkan padepokan.
“Berapa orangkah tamu itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Satu orang”.
“Siapakah namanya?”
Cantrik itu mengerutkan keningnya.
Kemudian ia menggeleng, “Aku tidak tahu, dan aku tidak bertanya siapakah
namanya. Tetapi, ia adalah seorang prajurit”.
“Prajurit?”
“Ya, seorang prajurit”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, katanya, “Baiklah, aku akan bertanya kepada paman, siapakah tamunya itu”.
“Silahkanlah”.
Mahisa Agni pun kemudian menuntun kudanya melintasi pendapa. Kemudian mengikatkannya pada sebatang pohon di depan gandok.
“Empu berada di sanggarnya” berkata salah
seorang cantrik yang mengikutinya dibelakang, “di sanggar itu pula Empu
menerima tamunya”.
“Baiklah” sahut Mahisa Agni, yang segera
pergi ke pintu sanggar. Beberapa saat yang lampau, ketika ia mengunjungi
pamannya, ia sering juga melihat pamannya bekerja di sanggar itu.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengetuk pintu. Tetapi, tidak ada jawaban.
“Apakah paman sudah tidur?” desisnya.
Sekali lagi ia mengetuk pintunya. Sekali lagi dan sekali lagi. Namun sama sekali tidak terdengar jawaban.
Mahisa Agni menjadi heran. Seandainya
Empu Gandring sudah tidur sekalipun, ia pasti akan terbangun. Apalagi
ketukan pada daun pintu yang sedemikian kerasnya. Sedangkan desir
langkahnya pun pasti sudah didengarnya.
Karena itu, dadanya pun menjadi
berdebar-debar. Ia mencoba melihat ke dalam lewat lubang-lubang dinding,
tetapi ia sama sekali tidak dapat melihat sesuatu.
Dalam kegelisahan Mahisa Agni mengetuk sekali lagi. Lebih keras. Tetapi, masih juga tidak terjawab.
“Paman telah masuk ke dalam” gumamnya. Namun tanpa disadarinya tangannya mendorong pintu lereg itu ke samping. Hatinya berdesir ketika ternyata bahwa pintu itu tidak dikancing.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Sanggar itu tampaknya terlampau sepi. Perlahan-lahan Mahisa Agni naik ke
tangga dan melangkahi tlundak.
Tiba-tiba, serasa darahnya berhenti
mengalir. Ia melihat Empu Gandring duduk sambil menundukkan punggungnya
seakan-akan sedang mencium lututnya.
“Paman” hampir saja ia berteriak. Dengan
sekali loncat Mahisa Agni telah berjongkok di samping pamannya. Ketika
dengan serta-merta ia meraba tubuh pamannya, maka tubuh itu pun telah
membeku.
Sejenak Mahisa Agni serasa kehilangan
nalar. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan, sehingga karena itu,
Mahisa Agni masih saja berjongkok di samping pamannya tanpa berbuat
sesuatu.
Baru sejenak kemudian anak muda itu
tersadar akan keadaannya. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian
dipandanginya setiap sudut sanggar itu. Matanya seolah-olah tanpa
berkedip mengamat-amati setiap benda yang ada di sekitarnya.
Tatapan matanya itu pun kemudian
membentur kepingan-kepingan paron yang tergolek di lantai. Dengan
tegangnya diamatinya kepingan itu sambil bergumam, “Apakah yang telah
memecahkan paron ini? Hanya senjata yang pilih tanding sajalah yang
dapat membelah bungkalan baja pilihan ini. Dan senjata yang demikian itu
tidak akan banyak jumlahnya”.
Nafas Mahisa Agni menjadi terengah-engah.
Kembali ia berjongkok di samping pamannya. Terlihatlah kini olehnya
darah yang sudah membeku di tikar di arah bawah dada pamannya. Darah itu
tidak begitu banyak sebagaimana luka-luka yang lazim menembus dada.
“Senjata yang dahsyat. Pasti senjata ini
pulalah yang telah membelah paron itu. Senjata ini pasti senjata yang
luar biasa. Benar-benar luar biasa. Tetapi, juga senjata yang sangat
berbahaya”.
Debar jantung Mahisa Agni pun menjadi
kian bertambah cepat. Ia tiba-tiba meloncat ketika ia melihat sebilah
keris terkapar di lantai sanggar. Tatapi ia segera menjadi kecewa.
Keris, itu pasti bukan keris yang dipakai untuk menusuk dada Empu
Gandring karena keris itu sama sekali tidak membekas darah dan menurut
pengamatan Mahisa Agni, keris itu bukanlah keris yang dapat dibanggakan.
Apalagi untuk membelah paron di dalam sanggar keris Empu Gandring.
Meskipun demikian keris itu disimpannya
juga di dalam geledeg Empu Gandring, “Mungkin suatu saat keris ini
diperlukan”. Setelah menyimpan keris itu, Mahisa Agni pun segera pergi
keluar mencari cantrik yang ditemuinya di regol halaman. Kemudian
digandengnya cantrik itu pergi ke sanggar Empu Gandring.
“Kenapa aku ini?” bertanya cantrik itu.
Mahisa Agni tidak menjawab. Dituntunnya cantrik itia menaiki tangga sanggar kemudian melangkah masuk.
“Lihat, apa yang terjadi dengan Empu Gandring!”
Cantrik itu sejenak berdiri membeku,
kemudian terpekik keras-keras, “Empu, Empu. Empu Gandring”. Dan cantrik
itu pun terduduk dengan lemahnya di samping mayat Empu Gandring.
Mahisa Agni yang berdiri di sampingnya
kemudian memegangi pundaknya sambil bertanya, “Katakan, bagaimanakah
ujud prajurit itu menurut ingatanmu”.
Cantrik itu mencoba mengingat-ingat.
Kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Seorang yang bertubuh sedang,
tampan dan memakai pakaian seorang prajurit”.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ada
lebih dari seratus orang prajurit yang bertubuh sedang dan berwajah
tampan. Memang terlampau sukar untuk dapat memilih salah seorang dari
sekian banyak prajurit Tumapel.
Namun tiba-tiba Mahisa Agni bertanya, “Apakah ciri pakaiannya yang paling kau ingat?”
Cantrik itu mengingat-ingat sebentar, kemudian jawabnya, “Sebuah selempang tali yang berwarna kuning keemasan”.
“Pasukan pengawal” tanpa sesadarnya Mahisa Agni berdesis.
“Ya, pasukan pengawal istana. Demikian ia menyebut dirinya sendiri”.
“Ia dapat menyebut dirinya dengan sebutan
apapun. Tetapi, pakaian itu telah mengatakan, bahwa ia sebenarnya dari
pasukan pengawal” geram Mahisa Agni.
Kalau saja ia tidak ingin menunggu ibunya
datang dan memberi keseimbangan apabila terjadi goncangan perasaan,
maka Mahisa Agni pasti sudah berpacu ke Tumapel. Demikian ia menyadari
keadaan pamannya, maka segera ia teringat pada derap kaki-kaki kuda yang
menjauh pada saat ia datang.
“Belum terlampau jauh” ia menggeram,
“Tetapi, untuk menyusulnya sudah tidak mungkin lagi. Yang dapat
dilakukan adalah mencarinya di seluruh bagian Tumapel. Di barak-barak
dan rumah-rumah prajurit Pengawal Istana”.
Namun, Mahisa Agni tidak dapat segera
pergi. Ia tidak sampai hati membiarkan ibunya sendiri menghadapi keadaan
pamannya. Karena itu, maka betapapun desakan di dalam dirinya untuk
segera berpacu ke Tumapel, terpaksa ditahankannya sampai keadaan ibunya
menjadi bertambah baik.
Karena itu, dengan gelisah Mahisa Agni
menunggu ibunya di dalam hirup pikuk para cantrik dan endang. Keluarga
terdekat Empu Gandring dan orang-orang yang bergaul setiap hari. Mereka
menyesal tiada taranya bahwa hal itu terjadi. Apalagi cantrik-cantrik
yang terdekat. Cantrik yang memegangi kuda Ken Arok merasa, bahwa ialah
orang yang paling bersalah. Kenapa ia tidak bertanya siapakah nama tamu
itu, dan kenapa dibiarkannya Empu Gandring menemuinya seorang diri?
Padahal kehadiran tamu yang tidak pada waktunya itu sudah harus
menumbuhkan kecurigaan padanya.
Tetapi, semua sudah terjadi. Mereka hanya dapat menyesal dan menyalahkan diri sendiri.
Kehadiran sebuah pedati yang membawa ibu
Mahisa Agni menambah pedepokan Empu Gandring menjadi kian basah oleh air
mata. Seperti terperas dari pelupuk matanya, perempuan tua itu menangis
sejadi-jadinya. Sekian lama mereka berpisah, dan kesempatan yang
terakhir, perempuan tua itu hanya dapat melihat mayatnya yang telah
terbujur tidak bergerak.
Padepokan Lulumbang benar-benar sedang disaput oleh kepedihan.
Ketika orang-orang Lulumbang sudah dapat
mengatur perasaan mereka dan jenazah Empu Gandring telah mulai
dibersihkan, untuk diselenggarakan sebagaimana seharusnya, maka Mahisa
Agni tidak dapat menahan diri lagi. Setelah minta diri kepada ibunya,
dan menyerahkan perempuan tua itu kepada dua orang prajurit yang
bertugas mengantarkannya, maka Mahisa Agni pun segera berpacu ke Tumapel
tanpa menunggu pagi.
Dalam remang-remang cahaya kemerahan
fajar, Mahisa Agni dengan dada yang berdebar-debar berusaha untuk
secepat-cepatnya sampai ke Tumapel. Apapun yang akan dihadapinya tidak
dihiraukannya. Bahkan dipunggungnya pun telah terselip sebilah keris
yang diambilnya dari sekian banyak perbendaharaan keris pamannya. Dan
keris itu adalah keris yang sering dipakai langsung oleh pamannya
sendiri, sebilah keris yang besar yang bersilang di punggungnya.
Terasa oleh Mahisa Agni, betapa kudanya
berlari terlampau lambat, seolah-olah sengaja bermalas-malasan, sehingga
berkali-kali Mahisa terpaksa mencambuknya. Namun bagaimanapun juga ia
berusaha, kecepatan lari kudanya itu pun sangat terbatas.
Tetapi, betapapun lambatnya, namun
Tumapel semakin lama menjadi semakin dekat. Sehingga dada Mahisa Agni
pun menjadi semakin berdebar-debar. Ia hanya berhenti beberapa kali
untuk memberi kesempatan kudanya minum air dan beristirahat sejenak.
Tetapi, ia sendiri sama sekali tidak bernafsu untuk makan dan minum.
Yang menyesak di dadanya hanyalah kemungkinan-kemungkinan, untuk dapat
menemukan orang yang membunuh pamannya.
“Paman pasti dibunuh dengan cara yang
paling curang Agaknya paman sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
membela diri. Betapapun saktinya seseorang, tetapi paman Empu Gandring
adalah seorang yang pilih tanding. Seandainya beberapa orang sekaligus
datang kepadanya, tidak mungkin mereka dapat membunuh paman dengan
begitu mudahnya apabila paman memang menyadari bahwa ia sedang diancam
bahaya”.
Karena itulah, maka kemarahan di dada
Mahisa Agni menjadi semakin mendidih. Seandainya pamannya terbunuh dalam
perang tanding yang jujur, ia tidak akan berbuat apapun juga. Tetapi,
yang dijumpainya adalah lain. Pamannya dibunuh dengan cara yang sangat
licik.
Beberapa saat setelah matahari melampaui
puncak langit, Mahisa Agni telah memasuki telatah kota Tumapel. Sejenak
ia menjadi ragu-ragu, namun kemudian dengan bulat ia bertekad untuk
menemui pemimpin tertinggi pasukan pengawal istana. Witantra.
Witantra yang saat itu ada dirumahnya
menjadi terkejut bukan buatan melihat kehadiran Mahisa Agni yang agaknya
begitu tergesa-gesa. Karena itu, setelah mereka duduk di atas sehelai
tikar, Witantra segera bertanya, “Aku melihat sesuatu yang tidak wajar
telah terjadi. Benarkah?”
“Ya” sahut Agni, “Paman Empu Gandring terbunuh?”
“He?” Witantra pun terkejut mendengarnya, dan bahkan hampir ia tidak percaya, “benarkah begitu?”
“Aku baru datang dari padepokannya” jawab Mahisa Agni.
Sejenak Witantra terdiam. Tetapi,
terjadilah pergolakan yang dahsyat di dalam dirinya. Meskipun Empu
Gandring tinggal jauh dari Tumapel, namun persoalannya agaknya memang
bersangkut-maut dengan kekisruhan yang dilihatnya di istana Tumapel
kini.
“Apakah kau tahu siapa yang membunuhnya?” bertanya Witantra kemudian.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Aku tidak mengetahui dengan pasti.
Tetapi, para cantrik yang melihatnya, dapat menyebutkan orang yang baru
saja datang ke padepokan itu sesaat sebelum Empu Gandring terbunuh.
Ketika orang itu pergi, maka Empu Gandring terdapat telah tebunuh di
dalam sanggarnya”.
“Siapa?”
“Seorang prajurit Tumapel”.
“Hanya begitu?”
“Prajurit itu memakai ciri khusus. Sebuah selempang tali yang berwarna kuning keemasan”.
“He” mata Witantra terbelalak, “Pengawal istana”.
“Begitulah menurut para cantrik yang melihatnya”.
Witantra merenung sejenak. Pergolakan di
dalam dadanya menjadi semakin ribut. Kalau yang terbunuh itu bukan
seorang Empu Gandring, maka persoalannya tidak akan begitu berat
baginya. Tetapi, kali ini yang terbunuh adalah seorang Empu yang tidak
ada duanya di Tumapel.
“Kalau benar penglihatan cantrik itu, siapakah diantara praiurit pengawal yang mampu membunuh Empu Gandring?” berkata Witantra.
“Paman Empu Gandring dibunuh dengan
curang. Paman sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan,
bahkan paman pasti sama sekali tidak menaruh kecurigaan apapun” lalu
diceriterakannya keadaan pamannya seperti saat diketemukannya di dalam
sanggar itu.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya” desisnya, “Apabila demikian, maka pembunuhan itu adalah pembunuhan
yang sudah direncanakan sebelumnya dengan teliti”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu, “Di dalam sanggar itu aku menemukah sebilah keris.
Tetapi, keris itu sama sekali tidak mempunyai cirri-ciri yang menarik.
Keris itu adalah keris kebanyakan”.
“Apakah keris itu juga yang dipergunakannya”.
“Tentu bukan. Keris itu sama sekali tidak membekas darah”.
“Pembunuhan yang keji dan curang”. Lalu
Witantra menggeram, “Aku akan mencari diantaran para pengawal, siapakah
yang baru saja meninggalkan Tumapel”.
Mahisa Agni menatap wajah Witantra
sejenak. Kemudian katanya, “Aku mengucapkan terima kasih, kalau kau
bersedia menolong aku membantu mencari pembunuh itu”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Aku memang berkepentingan. Tumapel sendiri memang sedang dihangatkan
oleh keadaan yang belum diketahui ujung pangkalnya. Namun tiba-tiba saja
semuanya telah berubah”.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah persoalan yang kita hadapi ini memang bersangkut paut?”
“Mungkin” jawab Witantra, “Sekarang, tinggallah disini. Aku akan mencari siapakah orang itu, selagi belum terlampau kasip”.
“Terima kasih. Mudah-mudahan kau
berhasil”. Witantra pun segera pergi meninggalkan rumahnya untuk mencoba
menemukan seorang prajuritnya yang baru saja datang ke Lulumbang.
Seandainya tidak seorang pun yang akan mengaku telah pergi ke padepokan
Empu Gandring, maka diantara sekian banyak prajuritnya, ia harus
memisahkan, siapakah yang semalam tidak ada di rumah atau di dalam
baraknya.
Sepeninggal Witantra, Mahisa Agni duduk
merenung seorang diri. Isteri Witantra mengawaninya sejenak, namun
kemudian ditinggalkannya Mahisa Agni duduk di pendapa rumahnya.
Ketika Mahisa Agni sedang asyik merenung,
tiba-tiba ia terkejut ketika terdengar suara seorang perempuan yang
lembut dari balik pintu, “Kenapa kau ributkan kematian Empu Gandring
itu?”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dilihatnya seorang gadis muncul dari balik pintu dan bersandar pada sisi pintu itu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu adalah Ken Umang.
“Kenapa, Mahisa Agni?” bertanya Ken Umang
itu pula. Kini ia tidak lagi berdiri bersandar sisi pintu, tetapi ia
melangkah mendekat, lalu duduk di samping anak muda itu.
Mahisa Agni bergeser setapak tanpa
dikehendakinya sendiri. Dan tiba-tiba saja ia terkejut ketika ia
mendengar Ken Umang tertawa, “Kenapa kau takut duduk di dekat seorang
gadis, he?” suara tertawanya mengeras, “Memang anak-anak padesan
terlampau tebal dicengkam oleh perasaannya”.
Mahisa Agni tidak menjawab.
“Tetapi, berbeda dengan perempuan yang
kini menjadi Permaisuri itu. He, bukankah ia adikmu? Perempuan itu sama
sekali tidak usah malu-malu untuk langsung tinggal di istana” berkata
gadis itu seterusnya.
Dada Mahisa Agni berdesir, tetapi ia tidak menyahut.
“Seharusnya kau tinggal di kota Tumapel,
Agni” berkata Ken Umang selanjutnya, “Kau tidak pantas untuk seterusnya
tinggal di Padang Karautan. Aku kira kau akan lebih menarik apabila kau
mengenakan pakaian seorang prajurit._Apalagi seorang pengawal seperti
kakang Witantra. Kau akan menjadi seorang anak muda yang gagah. Dan kau
akan digilai oleh gadis-gadis di seluruh Tumapel”, suara tertawa Ken
Umang meninggi, sehingga tiba-tiba tubuh Mahisa Agni menjadi meremang,
seolah-olah ia mendengar suara hantu betina yang menemukan mangsanya.
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun
seakan-akan justru terbungkam. Yang diharapkannya adalah agar Witantra
segera pulang, berhasil atau tidak berhasil. Apabila ia terlampau lama
duduk berdua saja dengan Ken Umang, maka ia akan kehilangan
keseimbangan, sehingga mungkin ia akan berbuat atau berkata sesuatu yang
dapat menyakitkan hati gadis itu.
“Kau terlampau pendiam Agni” berkata Ken
Umang seterusnya, “Jawablah, bagaimana pendapatku? Kau tinggal saja di
Tumapel. Kakang Witantra akan dapat menolongmu, sehingga dengan mudah
kau akan diterima menjadi seorang prajurit”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
tetap mencoba untuk tidak menyakiti hati gadis itu. Sebab, menurut
penilaiannya, Ken Umang akan dapat berbuat apa saja apabila hatinya
terluka. Ia akan dapat menjadi sangat marah dan bahkan mungkin dapat
mengatakan hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam. Karena itu,
sekuat-kuat hatinya, ia berusaha untuk tidak melukai hati gadis itu.
“Bagaimana Agni? Apakah kau setuju?”
“Aku belum dapat menjawab Ken Umang.
Sampai saat ini Padang Karautan masih sangat memerlukan aku. Apalagi aku
sama sekali tidak berkepandaian apapun selain memelihara sawah dan
ladang. Untuk menjadi seorang prajurit, aku harus mampu olah senjata
atau mempunyai kecakapan khusus yang lain. Dan itu sama sekali tidak aku
miliki”.
“Bohong” Ken Umang memotong, “Kakang
Witantra sering menyebut-nyebut namamu. Namun seandainya benar-benar kau
tidak memiliki kemampuan khusus, biarlah kakang Witantra mengajarimu.
Kemudian kau diterima menjadi seorang prajurit pengawal”. Ken Umang
berhenti sejenak, lalu, “Kau tidak usah bingung, dimana kau akan
bertempat tinggal. Kau dapat tinggal saja di rumah ini. Setuju? Akulah
yang akan mengatakannya kepada kakang Witantra”.
“Entahlah untuk lain kali Ken Umang, tetapi sekarang aku belum mempunyai keputusan begitu”.
Suara tertawa Ken Umang menggeletar lagi.
Semakin meninggi. Katanya, “Memang anak-anak padesan sering merasa
terlampau rendah diri. Tetapi, sebenarnya kau tidak perlu merasa
sedemikian tidak berharga”.
“Aku sekarang sedang dibingungkan oleh kematian pamanku” desah Mahisa Agni kemudian.
“Kenapa mesti dirisaukan? Aku mendengar
ceriteramu tentang Empu Gandring. Biarlah yang mati sudah terlanjur
mati. Tetapi, hiruk pikuk dunia ini tidak akan berhenti karenanya.
Tumapel akan berkembang terus, dengan atau tidak dengan seorang penghuni
yang bernama Empu Gandring. Dan kau harus menyesuaikan dirimu dengan
arus perputaran jaman. Jangan berhenti karena pamanmu meninggal dunia”.
“Kau benar Ken Umang. Tetapi, aku yang
tidak dapat membuat arak di dalam diriku sendiri, tidak semudah itu
untuk melakukannya. Aku dapat menasehatkannya kepada orang lain, seperti
pada saat tetangga kematian orang tuanya. Tetapi, untuk melakukannya
sendiri, agaknya terlampau sulit”.
Suara tertawa Ken Umang tiba-tiba saja
meledak tidak tertahankan, diantara derai tertawanya ia berkata, “Oh,
kau adalah searang perasa. Melampaui lembutnya perasaan seorang gadis.
Kau memang tidak pantas untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi, kau
dapat mencari jabatan yang sesuai dengan sifat dan kebiasaanmu itu”.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia
telah benar-benar dicengkam oleh kejemuan. Tetapi, ia tidak berdaya
untuk mengusir gadis itu.
Namun tiba-tiba Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Ia mendengar suara Nyai Witantra memanggil adiknya,
“Dimana kau Umang?”. Ken Umang mengangkat wajahnya, kemudian desisnya,
“Aku telah dipanggil. Jangan pergi dahulu sebelum kakang Witantra
kembali. Aku akan segera mengawani kau lagi”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandanginya saja gadis itu kemudian berdiri dan berjalan meninggalkannya menyusup ke balik pintu.
Sepeninggal Ken Umang, kembali Mahisa
Agni merenung. Dengan gelisah ia menunggu kedatangan Witantra yang
berusaha untuk membantunya mencari seorang prajurit pengawal jang datang
ke Lulumbang semalam.
Dengan cepat Witantra berhasil
mengumpulkan para perwira di dalam lingkungannya, yang sebagian besar
melihat perkembangan Tumapel dengan cemasnya. Ketika mereka mendengar
berita kematian Empu Gandring dan cara yang dilakukan oleh pembunuhnya,
mereka menarik nafas dalam-dalam.
“Aku harus segera mendapat laporan”
berkata Witantra, “Semua prajurit pengawal harus dilihat, apakah mereka
pada saat terakhir tidak ada di Tumapel. Setiap orang yang meragukan,
harus segera dibawa kepadaku”.
Para perwira itu pun segera bertindak ke
dalam lingkungan masing-masing. Prajurit pengawal istana memang tidak
terlampau banyak, sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan dengan
saksama. Setiap perwira telah .menyebarkan bawahannya di dalam
lingkungannya untuk menghubungi langsung setiap prajurit tanpa ada
kecualinya. Merekapun harus melaporkan apabila mereka melihat salah
seorang kawan mereka yang baru saja kembali dari perjalanan kemana pun.
Sambil menunggu laporan Witantra pun
kemudian kembali ke rumahnya. Kepada para perwiranya ia berpesan, agar
hal ini untuk sementara harus dirahasiakannya.
Dengan berdebar-debar Mahisa Agni
menunggu keterangan terakhir dari usaha itu di rumah Witantra. Meskipun
mereka mencoba untuk mengisi waktu mereka, namun terasa betapa lamanya
meeka harus menunggu.
Waktu serasa berjalan begitu lambat, meskipun mereka telah berusaha untuk melupakannya.
Namun akhirnya, seorang demi seorang,
para perwira itu pun datang ke rumah Witantra. Tetapi, tidak seorang pun
dari mereka yang dapat berkata dengan pasti, “Aku telah menemukan
orangnya”.
Hampir semuanya mengatakan kepada
Witantra bahwa tidak seorang pun yang diketemukan baru saja datang dari
Lulumbang. Bahkan tidak seorang pun yang baru saja datang dari mana
saja. Ketika seorang perwira melaporkan bahwa dua orang prajuritnya baru
saja datang dari sebuah perjalanan. Mahisa Agni tergeser maju. Tetapi,
perwira itu kemudian melanjutkan, “Namun kedua orang itu masing-masing
mempunyai saksi bahwa mereka berada di rumah orang tua masing-masing
yang jauh dari Lulumbang pada saat-saat yang menentukan itu”.
“Dan menurut pengamatan saja, keduanya tidak akan mempunyai kepentingan apapun dengan Empu Gandring, “berkata perwira itu.
Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Mahisa Agni yang kecewa. Katanya, “Agni, aku kira, memang
tidak seorang pun dari prajuritku yang akan berbuat demikian. Aku
yakin”.
“Tetapi, para cantrik itu, pasti bahwa
yang membunuh Empu Gandring adalah seorang prajurit yang memakai
selempang kuning keemasan”.
( bersambungke jilid-48)
No comments:
Write comments