Betapa terasa berat, Ken Arok mengangkat
tangannya pula. Kemudian setelah ia berbelok di tingkungan, maka
langkahnya pun menjadi kian cepat. Ia tidak mau berpaling lagi.
Ditatapnya jalan berdebu yang membujur panjang dihadapan kakinya.
Sementara matahari telah menjadi kian tinggi di langit.
Ketika Ken Arok telah lepas dari padukuhan Karuman, barulah ia menyadari dirinya, kemana ia akan pergi.
“Hem.“ Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam, “aku masih mempunyai waktu beberapa hari lagi. Kalau aku
segera kembali ke Tumapel, maka aku akan tenggelam ke dalam angan-angan
karena tidak ada sesuatu yang aku kerjakan. Jika demikian, maka aku akan
dapat terbakar karenanya.“ Ken Arok berhenti sejenak. Dipandanginya
langit yang bersih terhampar di atas kepalanya. “Tetapi aku akan pergi
kemana?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Ketika tangannya meyentuh hulu pedangnya, maka tiba-tiba ia teringat
kepada seseorang. Seorang yang dikenalnya dengan baik. Seorang ahli
keris yang termashur, Empu Gandring dari Lulumbang.
“Aku akan pergi ke Lulumbang.” Desisnya, “Mungkin aku memerlukan pusaka sebagai sipat kandel.”
Pikiran yang tiba-tiba saja muncul itu
agaknya sangat menarik bagi Ken Arok, sehingga tanpa sesadarnya ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mempercepat langkahnya.
Matahari masih belum sampai kepuncak
langit. Burung-burung liar masih berkeliaran di atas rerumputan mencari
bilalang. Kemudian meloncat ke atas dahan-dahan pohon yang rindang.
Bertengger sambil bersiul riang, seolah-olah mengucapkan, “selamat
jalan” kepada Ken Arok yang tampak menjadi tergesa-gesa.
“Aku harus bermalam semalam di
perjalanan.” Katanya di dalam hati. “Besok sebelum senja aku akan sampai
ke Lulumbang apabila perjalananku tidak terhalang apapun.”
Maka Ken Arok pun mempercepat langkahnya.
Ia tidak ingin mengkaitkan diri dengan persoalan apapun sepanjang
perjalanannya, supaya ia dapat sampai ke tempat tujuan tepat pada
waktunya. Sebab ia harus segera kembali ke Tumapel, karena waktu
istirahatnya habis.
Namun Ken Arok tidak dapat menutup
matanya di sepanjang perjalanan. Dilihatnya tanaman-tanaman yang kurus
dan kering di sawah-sawah yang kurang mendapat saluran air. Meskipun
hujan sudah sering turun, tetapi tanah yang mengandung pasir itu tidak
cukup baik untuk ditanami.
Di seputar sawah yang tandus itu, Ken
Arok menjumpai beberapa padukuhan yang miskin. Satu dua ia melihat rumah
yang pantas, tetapi selebihnya adalah rumah-rumah kecil yang miring.
“Daerah ini terlampau miskin.” desisnya.
Dan tanpa, disadarinya ia bergumam, “Tanah Tumapel sama sekali tidak
memberikan banyak harapan kepada orang-orang Ini. Sebagian dari tanah
ini adalah tanah yang subur dan berlimpah-limpah, tetapi sebagian
merupakan tanah yang kering kerontang semacam ini.”
Tiba-tiba terbayang di kepala Ken Arok,
Panawijen lama yang mati. Panawijen lama yang menjadi kuning seolah-olah
terbakar oleh teriknya matahari karena tidak ada air. Dengan demikian
maka rakyatnya harus berbuat sesuatu dipimpin oleh Mahisa Agni, membuat
bendungan dan membuka Padang Karautan.
“Tanpa bantuan prajurit Tumapel pekerjaan
itu terlampau berat bagi rakyat Panawijen. Mereka pasti kekurangan
perbekalan dan peralatan.“ Ken Arok itu mengangguki sendiri. Tetapi
tiba-tiba keningnya berkerut.
“Tetapi Akuwu benar-benar tidak jujur.“
katanya kemudian kepada diri sendiri, “karena Panawijen telah melahirkan
Ken Dedes, maka Akuwu menaruh minat kepada padukuhan itu. Tatapi kenapa
Akuwu tidak pernah tertarik untuk memperhatikan tanah di daerah ini?”
Namun ternyata kata-kata itu telah
mengejutkannya. Yang terbayang kemudian bukan padukuhan Panawijen lama,
tetapi menyempit kepadepokan Empu Purwa. Ketika ia ikut bersama Akuwu
Tunggul Ametung mengantar Kuda Sempana mengambil Ken Dedes.
“Gila.“ Ken Arok itu bergumam semakin
keras, “semua memang telah gila. Kuda Sempana, Akuwu Tunggul Ametung …”
suara Ken Arok terputus oleh telapak tangannya yang membungkam mulutnya
sendiri. Tetapi ia tidak dapat membungkam suara hatinya yang berkata
seterusnya, “dan yang terakhir adalah kau, kau sendiri telah menjadi
gila pula Ken Arok.”
“Ah.“ Ken Arok berdesah. Kata-kata hatinya itu telah mendebarkan jantungnya sehingga langkahnya tertegun karenanya.
Dengan susah payah ia berusaha untuk
menenangkan debar di dadanya. Ketika ia melihat seseorang berjalan di
pematang, maka ia pun bertanya sekedar untuk mengurangi ketegangan
denyut nadinya, “He, kakek, apakah yang kau kerjakan?”
Laki-laki tua yang berjalan di pematang itu menjadi heran. Meskipun demikian ia menjawab, “Menyiangi tanaman ini anak muda.”
“Tanahmu terlampau kering.”
Laki-laki tua itu mengangguk, “Ya, tanah ini memang terlampau kering.”
“Apakah tidak ada sungai yang melampaui daerah ini?”
Orang itu semakin heran, “Ya, ada.”
“Apakah sungai itu kering juga?”
Laki1 itu menggeleng, “Tidak. Sungai itu cukup deras.”
“Kenapa kau tidak mengambil air dari sungai itu?”
Laki-laki itu menjadi semakin heran,
“Maksudmu, kami harus menyirami tanaman sekian luasnya dengan mengambil
air dari sungai itu?”
“Ya.“ sahut Ken Arok.
Tiba-tiba laki-laki itu melangkah
mendekati Ken Arok sambil berkata lirih, “Kau aneh anak muda. Aku kira
sepanjang sisa hidupku, aku tidak akan pernah melihat tanaman-tanamanku
menjadi basah.”
“Maksudmu mengambil air dengan bumbung
sepasang? Oh, kakek tua, kenapa kau tidak berpikir untuk membuat
bendungan dan menaikkan air ke sawahmu?”
“Bendungan?“ orang, tua itu menjadi
semakin heran, kemudian tersenyum betapapun wajahnya membayang kesuraman
hidupnya, “kau bermimpi anak muda.”
“Tidak kakek. Aku tidak bermimpi.
Mulailah membuat bendungan. Kemudian mintalah kepada Akuwu Tunggul
Ametung agar mengirimkan sepasukan, prajurit untuk membantu kalian
seperti yang pernah berlaku atas padukuhan Panawijen. Orang-orang
Panawijen telah membuka padukuhan baru di tengah-tengah Padang Karautan,
menaikkan air dan membuat sebuah telaga buatan.”
Laki-laki tua itu menjadi semakin terheran-heran. Perlahan-lahan ia berdesis, “Maksudmu Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel?”
“Tentu, bukankah daerah ini termasuk dalam wilayah Tumapel.”
“Ya, ya ngger.” jawab laki-laki tua itu,
“tetapi hubungan antara daerah ini dan Tumapel hampir tidak ada sama
sekali. Padukuhan kami tidak pernah mendapat perhatian apapun selain
keharusan untuk menyampaikan bulu-bekti sekadarnya. Hanya itu.
Orang-orang daerah kami hampir tidak mengenal Akuwu Tunggul Ametung.
Satu dua di antara kami yang tua-tua memang pernah mendengar namanya.
Hanya namanya.”
Jawaban itu ternyata membuat Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar.
Ternyata kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung
di daerah terpencil ini tidak begitu terasa. Dan itu pula agaknya yang
menyebabkan orang-orang Karuman bertindak sendiri atas Bango Samparan.
Mereka tidak dapat mengharap bantuan dari orang-orang lain, dari
prajurit-prajurit Tumapel atau petugas-petugas yang lain.
“Tetapi.“ berkata Ken Arok tiba-tiba, “kalian dapat mencoba. Seperti orang-orang Panawijen.”
Orang tua itu menggeleng, “Kami tidak melihat manfaatnya.”
“Jadi kalian akan hidup dengan cara ini sepanjang umur kalian bahkan anak cucu kalian?”
Orang tua itu termenung sejenak. Namun
kemudian ia berkata, “Aku tidak tahu, apakah anak cucu kami kelak akan
melanjutkan cara hidup kami, atau mereka dapat berbuat lebih baik lagi.”
“Tetapi anak cucumu akan mengutukmu kelak.”
“Kenapa?” orang tua itu heran.
“Karena kalian tidak berbuat apapun untuk kepentingan hari-hari mendatang. Untuk kepentingan anak cucumu.”
Orang tua itu menjadi semakin heran, “Kami bekerja siang dan malam untuk mendapatkan sesuap nasi bagi anak-anak kami.”
“Hidupmu adalah hidup hari ini. Makan
untuk sehari. Tetapi kalian tidak berjuang untuk hidup yang layak
dikemudian, bagi anak cucu. Kalau kau bangun bendungan itu, maka hari
depan kalian bersama anak cucu kalian akan menjadi baik.”
Orang tua itu menarik nafas panjang.
Sekilat dilihatnya pedang yang tergantung di lambung Ken Arok. Kemudian
laki-laki tua itu berdesis, “Aku akan melanjutkan kerjaku.”
Ken Arok menganggukkan kepalanya. “Silahkan kakek.”
Dengan pandangan matanya Ken Arok
mengikuti orang tua itu turun kembali ke sawahnya yang kering, menyiangi
tanaman palawija yang kurus.
Sejenak kemudian Ken Arok pun melangkah
pergi melanjutkan perjalananya. Dilewatinya padukuhan kecil di sebelah
sawah yang sedang kering. Agaknya orang-orang padukuhan inilah yang
memiliki sawah yang kurang memberikan hasil bagi mereka. Tetapi mereka
tidak berbuat sesuatu. Mereka menerima nasib mereka dengan tawakal.
Namun sayang bahwa mereka tidak berusaha apapun.
”Nasib mereka akan menjadi semakin
jelek.” desis Ken Arok. Namun ternyata kalimat yang diucapkan diluar
sadarnya itu telah mengejutkannya. Tiba-tiba tumbuhlah pertanyaan di
dalam hatinya, “Bagaimana dengan nasibku sendiri? Kalau aku tidak
berbuat sesuatu, maka nasibku pun akan tetap seperti sekarang. Seorang
Pelayan Dalam. Mungkin aku akan mendapat penghargaan dan kenaikan
pangkat. Namun itu akan sangat perlahan-lahan sekali, seperti seekor
siput yang merayap di atas pasir yang kering.”
Dan terngianglah ditelinganya kata-kata Bango Samparan, “Nasibmu memang terlampau baik, Ken Arok.”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Tetapi
justru di telinganya terdengar bukan saja suara Bango Samparan. Tetapi
suara ibu angkatnya, suara Panji Bawuk, melingkar-lingkar mengetuk
dinding hatinya, “Nasibmu memang terlampau baik Ken Arok.”
Ken Arok menggeram. Tetapi suara di
hatinya justru menyahut, “Ya, nasibmu memang terlampau baik. Karena itu
berbuatlah sesuatu untuk merubah keadaanmu.”
“Tidak, tidak.” Ken Arok menggeram pula.
Namun kini yang terngiang adalah suara
yang lain, suara seorang pendeta yang baik, bahkan terlampau baik
baginya, Lohgawe. “Perempuan yang memancarkan cahaya dari tubuhnya
adalah perempuan yang menyimpan derajat yang tiada berbatas. Siapa yang
memperisterikannya, akan menjadi seorang yang berpangkat
setinggi-tingginya.”
“Ah.” Ken Arok mengeluh. Tetapi justru
terdengar kembali suara Bango Samparan ketika ia berkunjung ke Padang
Karautan. “Aku bermimpi Ken Arok, bahwa kau menjadi seorang Akuwu, ah
tidak, kau menjadi seorang Maharaja.”
“Tidak. Tidak.” Ken Arok terkejut sendiri
mendengar suaranya. Dengan demikian, maka ia pun segera berpaling
menebarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. “Syukurlah, tidak ada
orang.” desisnya, “kalau seseorang melihat, mungkin aku disangkanya
telah gila. Tetapi agaknya aku memang telah menjadi gila.” Ken Arok
berhenti sejenak, namun kemudian kembali ia bergumam, “Iblis Kerutinan
yang telah melepaskan Bango Samparan sekeluarga, kini menerkam dan
menguasai perasaanku.”
Tiba-tiba Ken Arok itu terhenyak di bawah
sebatang pohon rindang dipinggir jalan. Panas matahari yang semakin
tinggi, terasa menggatalkan kulitnya.
Sambil memandangi ujung dedaunan yang
bergerak-gerak disentuh angin, Ken Arok bersandar pada pokok kayu yang
melindunginya dari terik matahari. Namun dengan demikian angan-angannya
telah membubung tinggi ke langit. Terbayang di kelopak matanya
berturut-turut ayah angkatnya, ibu angkatnya, Lohgawe, Akuwu Tunggul
Ametung dan dirinya sendiri di masa ia meningkat dewasa. Ken Arok
sebagai seorang gembala yang jahat, kemudian terusir dari pergaulan dan
bersembunyi di Padang Karautan sebagai hantu Karautan yang ditakuti
orang. Akhirnya ia terdampar keistana Tumapel sebagai Pelayan Dalam.
“Nasib telah mempertemukan aku dengan Ken
Dedes.“ tiba-tiba ia berseru di dalam hatinya, “kalau itu bukan
kehendak nasib, maka mustahillah aku akan sampai ke istana pada saat
Kuda Sempana ingin mengambil gadis itu dari Panawijen, kemudian
memisahkannya dari Kuda Sempana dan meninggalkannya di istana bersama
Akuwu. Itu pun agaknya hanya sekedar sarana untuk mempertemukan gadis
itu dengan aku. Kalau kemudian Akuwu Tunggul Ametung itu tidak ada, maka
aku akan dapat merebut kedudukannya, karena kekuasaan atas istana
Tumapel telah berada di tangan Ken Dedes.”
Tiba-tiba Ken Arok itu meloncat, bangkit
berdiri dengan tegapnya di atas kakinya yang renggang. Dengan suara
bergetar ia berkata lirih kepada diri sendiri, “Aku harus mengubah
nasibku. Aku tidak boleh menghindari korban yang akan jatuh, seperti
matinya ibu angkatku, meskipun ibu sama sekali tidak bersalah.”
Meskipun kata-kata itu hanya didengar
oleh Ken Arok sendiri, namun terasa seakan-akan telah menumbuhkan
prahara di dalam dirinya lendiri. Seakan-akan hanyutlah segala sifatnya
yang selama ini telah berhasil ditanamkannya kedalam dirinya. Hantu
Karautan dan iblis Karuman telah menerkamnya dan membuat Ken Arok itu
menjadi setan yang paling mengerikan.
“Ibu angkatku juga telah menjadi korban
tanpa berbuat kesalahan. Namun akibat dari pengorbaaannya adalah
keselamatan keluarga Bango Samparan, dan hubungan yang baik kembali
dengan orang-orang Karuman.” Ken Arok itu menggeram, “Demikian pula
hendaknya Tumapel. Tanah ini harus menelan korban, meskipun seandainya
tidak bersalah. Hubungan antara pimpinan pemerintahan, perbaikan nasib
rakyatnya, kemauan untuk maju dan ikatan yang lebih erat bagi rakyat
Tumapel dari ujung sampai ke ujung yang lain.“ Ken Arok berhenti
sejenak, lalu, “Tumapel harus menemukan dirinya. Tumapel harus berwajah
baru. Semuanya itu tidak akan dapat dilakukan tanpa pengorbanan. Dan
korban itu adalah orang terpenting di Tumapel.”
Kata-kata itu pun menggelegar di antara
suara prahara di dalam dada Ken Arok. Namun yang terbayang paling kuat
di dalam kelopak matanya sama sekali bukan Tumapel yang besar, bukan
Tumapel yang hijau dari ujung ke ujung, bukan rakyat Tumapel yang makmur
merata, tetapi yang terbayang di kelopak mata Ken Arok adalah seorang
perempuan yang tubuhnya bercahaya, seorang perempuan yang cantik seperti
wajah bulan purnama, bermata cemerlang, seperti bintang senja dan
berkulit kuning teperti kulit langiat.
Namun dalam kegilaannya Ken Arok
mendengar suara lamat-lamat di dasar hatinya, suara Lohgawe, “Ken Arok,
jika demikian, maka itu berarti bahwa seorang pemimpin Tumapel yang
mempunyai harapan di hari depan telah mati. Ken Arok yang selama ini
telah berbuat sebagai seorang kesatria telah mati. Lahirlah Ken Arok
yang baru, yang serakah dan tamak.”
Tiba-tiba terasa tubuh Ken Arok itu
menjadi gemetar. Pandangan matanya menjadi berkunang-kunang. Sesaat ia
mencoba bertahan, namun seperti orang yang ditimpa oleh kesakitan yang
dahsyat Ken Arok tidak dapat bertahan berdiri di atas kedua kakinya.
Perlahan-lahan ia menggerakkan kakinya dan membanting dirinya di bawah
pohon yang rindang sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya.
“Tidak. Tidak.” terdengar ia berdesis,
“yang baik tidak boleh mati. Aku tidak mau. Aku tidak mau.” dan Ken Arok
itu berteriak keras-keras, “aku tidak mau. Aku tidak mau mati.”
Tubuh Ken Arok menjadi lemas. Ia pun
kemudian tersandar pada pohon tempatnya berlindung. Perlahan-lahan
dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ketika ia menyadari keadaannya,
maka ditariknya nafas dalam-dalam.
“Setan-setan itu mencoba mengerumuni dan
mencengkam jantungku.” Desisnya, “aku harus segera sampai ke Lulumbang,
supaya Empu Gandring membantu aku menegakkan kebenaran di hati yang
lemah ini.”
Perlahan-lahan Ken Arok itu pun berdiri.
Dengan langkah yang berat ia melanjutkan perjalanannya ke Lulumbang. Ia
mengharap bahwa Empu Gandring akan dapat membantunya, menegakkan
perasaannya yang lemah, yang diombang-ambingkan oleh nafsu.
Beberapa langkah kemudian ia terhenti,
dan tanpa sesadarnya ia berpaling. Ketika ia memandangi pohon rindang
tempatnya berteduh maka dilihatnya beberapa ekor burung bertengger pada
rantingnya yang jarang.
Matahari kini telah semakin tinggi,
melampaui puncak langit. Awan yang putih terbang perlahan-lahan
dilanjutkan oleh angin yang silir.
Maka Ken Arok pun kemudian mempercepat langkahnya, supaya ia segera sampai ke rumah Empu Gandring.
Namun bagaimanapun juga ia berusaha, ia
tidak dapat melepaskan diri dari kejaran bayangan di dalam dadanya
sendiri. Setiap kali terbayang mayat ibu angkatnya yang terbujur di
tangannya dengan tubuh yang hampir hangus. Kemudian wajah orang-orang
Karuman, ayah angkatnya dan kekek tua ditengah sawah yang kering.
“Persetan.“ ia menggeram, “semuanya itu bukan tanggung jawabku.”
Terdengar Ken Arok itu mengeretakkan
giginya. Kemudian untuk melupakan semuanya, dan untuk melupakan panas
yang menyengat kulit anak muda itu menghentak-hentakkan kakinya.
Kemudian meloncatlah dari mulutnya suara lagu yang sumbang. Semakin lama
semakin keras. Tetapi lagunya sama sekali tidak menyegarkan telingannya
sendiri. Bahkan burung-burung kecil yang hinggap pada pepohonan ditepi
jalan pun berterbangan dengan hati yang kecut.
Sejalan dengan suaranya yang semakin
keras, maka langkah Ken Arok pun menjadi semakin cepat. Kini ia telah
berada di antara pepohonan yang semakin rapat, pada hutan yang tidak
terlampau lebat. Pada musim kering, daun-daunnya menjadi kuning dan
berguguran di tanah. Tetapi pada permulaan musim basah, tampak
daun-daunnya telah mulai semi. Hijau kekuning-kuningan.
“Hujan tidak terlampau banyak.” Desisnya,
“bahkan amat sedikit dibandingkan dengan musim hujan tahun yang lewat.“
Ken Arok itu mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Suatu pertanda bagi kemunduran bagi Tumapel. Mungkin akan segera datang
musim yang paling buruk bagi Tanah ini. Musim basah yang kering, angin
pusaran dan hujan yang jarang tetapi membawa prahara. Prahara yang akan
menumbangkan kekuasaan Tunggul Ametung yang ternyata hanya mementingkan
dirinya sendiri. Perhatiannya sebagian terbesar hanya tercurah kepada
perempuan Panawijen itu dengan segala kepentingannya. Bendungan di
Karautan, kemudian soal kakak dari perempuan itu, Mahisa Agni, dan
persoalan-persoalan yang tidak berarti sama sekali bagi Tumapel. Apakah
artinya sendang buatan yang menelan tenaga dan biaya yang tidak sedikit
itu?”
Ken Arok menghentakkan tangannya ketika
tangannya itu tersentuh duri. Tiba-tiba saja ia merasa terganggu
karenanya, sehingga dengan marahnya ia menarik pedang dan monebas pohon
yang telah menyetuhnya dengan durinya.
Kemudian sambil bersungut-sungut
ditinggalkannya batang berduri itu terbujur diam di tanah, tanpa dapat
berbuat apapun. Dan Ken Arok pun kemudian tidak berpaling lagi. Cepat ia
melangkah menyusup kedalam hutan yang semakin lama menjadi bertambah
lebat.
Batang-batang yang kering, yang telah
roboh, melintang di depan kakinya, di antara semak-semak dan
gerumbul-gerumbul liar. Sekali-sekali Ken Arok harus menyusup di bawah
pohon-pohon merambat yang berkepanjangan, seolah-olah merangkai pohon
yang satu dengan yang lain.
Tiba-tiba dada Ken Arok menjadi
berdebar-debar. Pengenalannya yang tajam segera melihat, bahwa tempat
ini adalah tempat yang terlampau sering dikunjunginya semasa
kanak-kanak. Semasa ia masih menjadi seorang anak yang liar, terlampau
liar.
Karena itu, maka langkah Ken Arok pun
menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian ia berlari menyusup rimbunnya
dedaunan, seolah-olah dikejar-kejar oleh hantu yang membayanginya dengan
kenangan masa muda yang hitam itu.
Langkahnya terhenti ketika ia menginjak
jalur-jalur jalan sempit yang membelah hutan yang tidak terlampau lebat
itu. Bahkan kemudian ia menjadi heran. Jalan ini belum pernah
dilihatnya.
“Kemanakah tujuan jalan.“ ia bardesis,
“jalan ini pasti terlampau jarang dilalui orang. Tetapi jelas, bahwa ada
kesengajaan untuk membuat jalan di tengah-tengah hutan ini.”
Namun tiba-tiba ia menggeram, “Persetan dengan jalan ini.”
Meskipun demikian tanpa sesadarnya Ken
Arok melangkahkan kakinya menyelusur jalan itu. “Kalau aku menuju ke
arah ini, aku pasti akan sampai juga ke Lulumbang.“ desisnya. Dan Ken
Arok itu pun berjalan terus. Ia tidak memilih jalan tertentu. Ia
berjalan saja ke arah Lulumbang, meskipun ia harus menerobos hutan dan
kini menjusur jalan yang tidak dikenalnya.
Namun langkah Ken Arok itu tiba-tiba
tertegun. Meskipun ia belum pernah melihat jalan itu, tetapi ia mengenal
daerah di sekitarnya. Agaknya hutan itu benar-benar telah pernah
dijalajahi sehingga seakan-akan tidak ada sebatang pohon pun yang tidak
dikenalnya.
“Jalan ini menuju kegoa itu.“ tiba-tiba ia berdesis. Sejenak ia berdiri tegang. Hatinya menjadi berdebar-debar.
Goa itu pernah menjadi tempat
persembunyiannya ketika ia harus melarikan diri dari kejaran orang-orang
yang membencinya saat itu, tetapi jalan yang dilaluinya itu belum ada.
“Aneh, apakah goa itu kini dipergunakan
oleh seseorang.“ kata-kata itu meluncur tanpa disadarinya, “kalau benar,
maka orang-orang yang tinggal di sana pasti bukan orang baik-baik.”
Kesimpulan itu telah menumbuhkan
keinginan di hati Ken Arok untuk mengetahui lebih banyak tentang goa
itu. “Aku tidak memerlukan waktu banyak.“ desisnya.
Ken Arok pun kemudian mempercepat
langkahnya menyusur jalan sempit itu menuju kesebuah goa. Goa yang
pernah dikenalnya, bahkan pernah dihuninya.
Semakin dekat, maka hatinya pun menjadi
semakin berdebar-debar. Menurut tanda-tanda yang dilihatnya, maka
meskipun jarang, namun goa itu pernah dikunjungi orang. Bahkan mungkin
merupakan tempat persembunyian.
Karena itu, maka Ken Arok pun menjadi
semakin berhati-hati. Beberapa puluh langkah di muka goa itu, ia
meninggalkan jalur jalan sempit itu, berbelok melalui semak-semak dan
pohon-pohon perdu liar, supaya ia tidak langsung sampai kegoa itu dari
arah depan.
Dengan penuh kewaspadaan Ken Arok
mendekati lambung goa itu. Sebuah goa yang tidak begitu dalam pada
lereng sebuah puntuk kecil. Namun goa itu kemudian menghunjam masuk ke
dalam tanah, dan merupakan tempat persembunyian yang cukup baik.
Tetapi goa itu terlampau sepi. Ken Arok
tidak melihat dan mendengar bahwa ada seseorang di dalamnya. Karena itu
Ken Arok melangkah semakin dekat, meskipun ia masih tetap sangat
berhati-hati. Bahkan kemudian Ken Arok itu telah berdiri di depan mulut
goa. Dipasangnya telinganya tajam-tajam, kalau-kalau ia dapat mendengar
teriakan nafas seseorang. Tetapi ia tidak mendengar apapun.
Kini ia didorong oleh keinginannya untuk
mengetahui, apakah ada sesuatu di dalam goa itu. Maka perlahan-lahan ia
membungkuk, kemudian menyusup masuk ke dalamnya.
Seperti dahulu, goa itu lembah dan gelap.
Bahkan di beberapa bagian sisinya terasa basah oleh titik-titik air
yang mengembun dari akar pepohonan. Goa itu tidak pernah menjadi kering
menurut pengalamannya dahulu, betapa panjang musim kering membakar hutan
itu. Bahkan selagi hutan itu serasa hangus, namun goa itu masih juga
tetap basah.
Karena Ken Arok tidak menjumpai sesuatu,
maka ia melangkah semakin dalam. Dengan hati-hati ia menuruni semacam
tangga yang licin di dalam goa yang gelap itu. Semakin lama semakin
dalam. Ia telah mengenal bahwa di bawah ada sebuah ruangan yang agak
lebar. Ruangan yang terlampau gelap. Namun mata Ken Arok adalah setajam
mata burung malam.
Ketika ia sampai di ruang bawah, maka
segera ia meraba-raba keadaan di sekelilingnya. Dinding yang basah, batu
karang yang runcing. Namun tiba-tiba ia terkejut. Ia merasakan sesuatu
yang lain. Agaknya tangannya meraba bagian dinding goa yang menjorok
masuk. Tetapi lubang itu agaknya dibuat oleh seseorang.
Ken Arok menjadi semakin berhati-hati.
Dicobanya untuk melihat menembus di dalam gelap. Tetapi semuanya
hanyalah bayangan yang hitam. Memang terbayang di dalam kehitaman itu
berbagai bentuk. Namun bentuk-bentuk itu sama sekali tidak jelas.
Ken Arok menjadi semakin terperanjat
ketika tangannya kemudian menyentuh sesuatu di dalam relung itu. Bukan
sebuah batu karang, tetapi sebuah kotak yang agak besar.
Sejenak Ken Arok berdiri termangu-mangu.
Kotak di dalam goa itu sudah tentu sangat mencurigakan. Dengan demikian,
ia menjadi kian terjerat oleh rasa ingin tahunya.
“Aku akan membawanya keluar.“ desisnya,
“meskipun agak berat dan sulit. Di luar aku dapat melihat dengan jelas,
apakah isi kotak kayu ini.”
Maka dengan susah payah Ken Arok mencoba
menarik kotak kayu itu. Ternyata bahwa kekuatan Ken Arok benar-benar
bukan sekedar kekuatan orang kebanyakan. Betapa beratnya maka akhirnya
peti itu setapak demi setapak beringsut dari tempatnya.
Dengan sepenuh tenaga Ken Arok menarik peti itu, melalui tangga yang licin naik ke mulut goa.
Ketika peti itu sudah berada di luar goa
yang gelap, maka Ken Arok itu pun menarik nafas dalam-dalam. Meskipun
hanya beberapa saat saja ia bekerja, tetapi peluhnya serasa terperas
tuntas dari tubuhnya.
Sambil memegangi kedua belah lambungnya dengan sepasang tangannya ia menggeliat.
“Berat sekali.” desisnya.
Kemudian ditariknya pedangnya untuk mengungkit tutup peti itu, sehingga perlahan-lahan terbuka.
Dengan berdebar-debar Ken Arok menarik
tutup peti yang sudah mulai terbuka itu. Beberapa keping besi tipis
terkait dengan erat, sehingga Ken Arok harus mengerahkan segenap
tenaganya kembali. Namun agaknya kayu penutup kotak itulah yang kemudian
pecah, sehingga hentakan yang tiba-tiba itu telah membuat Ken Arok
terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja ia jatuh terlentang. Untunglah
bahwa dengan tangkasnya ia memperoleh keseimbangannya kembali. Namun
dengan demikian peti itu sudah terbuka.
Perlahan-lahan Ken Arok melangkah maju.
Dari sela-sela pecahan tutup kotak itu ia melihat ke dalamnya. Hampir
saja ia terlonjak ketika sekilas ia melihat sesuatu yang gemerlapan di
dalamnya.
“He, apakah benar aku melihat permata?”
pertanyaan itu tiba-tiba saja melonjak di dalam hatinya. Dengan demikian
maka segera ia meloncat maju dan menghentakkan sisa-sisa kayu penutup
kotak itu.
Ken Arok kemudian tertegun seperti orang
kebingungan. Ia berdiri tegak seperti patung dengan mata terbelalak.
Nafasnya seolah-olah terhenti dan darahnya pun tidak mengalir lagi
keseluruh urat nadi.
“Apakah aku tidak bermimpi?” desisnya
perlahan-lahan pula tangannya bergerak meraba benda-benda yang berkilat
di dalam peti itu.
“Tidak, aku memang tidak bermimpi.”
Dan tiba-tiba saja Ken Arok menjurukkan kedua belah tangannya ke dalam onggokan permata di dalam peti itu.
“Ya, semuanya barang-barang berharga.
Emas, intan dan berlian. Perhiasan-perhiasan yang sangat mahal dan
jarang-jarang terdapat.“ Ken Arok berkata kepada diri sendiri.
Namun sejenak kemudian ia menyadari
keadaannya. Perlahan-lahan ia melangkah surut sambil bergumam, “Siapakah
yang memiliki perhiasan ini?”
Kini Ken Arok mulai berusaha untuk
menguasai perasaannya yang untuk sesaat terguncang melihat kilauan
permata di dalam peti itu. Perlahan-lahan ia maju lagi, namun kini
dengan sepenuh kesadaran ia melihat satu demi satu barang-barang
berharga yang ada di dalam peti yang telah menganga.
Ken Arok itu kemudian mendapat kesimpulan
bahwa isi peti itu pasti bukan berasal dari seseorang yang menyimpan
atau menyembunyikan kakayaannya. Berbagai macam barang bercampur baur di
dalamnya. Dari barang-barang yang paling berharga, sampai barang-barang
yang tidak begitu mahal.
“Orang-orang jahat agaknya telah menyimpannya di dalam goa itu,“ detis Ken Arok.
Namun dengan demikian dada Ken Arok
menjadi semakin pepat. Kini ia melihat suatu kenyataan yang tidak dapat
diingkari lagi. Dengan suara, yang berat ia bergumam, “Ini adalah
gambaran Tumapel di bawah pemerintahan Tunggul Ametung. Pasti bukan
sekedar satu dua, bahkan sepuluh dua puluh orang yang telah dirampok
oleh penjahat ini. Ternyata Tumapel sama sekali tidak aman tenteram
seperti yang dibayangkan dikota Tumapel. Agaknya di luar kota Tumapel
keadaan menjadi semakin lama semakin parah. Sedang Tunggul Ametung
hanya sibuk melayani kesenangan dirinya sendiri. Perempuan Panawijen itu
dan kalau ia keluar istana, maka ia langsung masuk ke dalam hutan
perburuan.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Keadaan ini harus berubah. Tunggul Ametung tidak boleh sekedar hidup
untuk Permaisurinya dan sebaliknya. Ia adalah pemimpin tertinggi untuk
daerah Tumapel.”
Terasa guratan kebenciannya kepada Akuwu
Tunggul Ametung menjadi semakin dalam di dinding jantungnya. Namun
sejalan dengan itu, wajah Ken Dedes semakin terukir di dalam
angan-angannya. Ken Dedes membuatnya silau seperti permata di dalam
kotak itu. Dengan Ken Dedes, maka setiap laki-laki akan dapat mengusai
Tanah Tumapel dan bahkan akan menjadi seorang Maharaja yang besar.
“Aku sama sekali tidak bernafsu untuk
menuruti kata hati dan nafsuku sendiri.“ Ken Arok tiba-tiba berkata
kepada diri sendiri, seolah-olah sedang mengingkari suatu tuduhan,
“kalau aku ingin tampil kedepan, semata-mata untuk kepentingan Tumapel.
Kilau Ken Dedes aku perlukan itu pun bukan karena nafsuku yang melonjak
kekepala, tetapi aku memerlukan bantuannya untuk menjadi orang
terpenting yang dapat membuat tanah ini menjadi baik, tenteram dan
memberi harapan bagi penghuninya. Tidak lagi dibayangi oleh ketakutan,
keputus asaan seperti kakek tua yang mati di dalam hidupnya, tidak
teperti orang-orang Karuman yang menjadi liar dan tidak seperti
orang-orang yang telah menjadi korban perampokan di sini.”
Ken Arok berhenti sejenak. Sekali lagi
ditatapnya permata yang berkilauan di dalam peti itu. Cahaya matahari
yang telah condong ke barat, telah membuat permata-permata itu
seakan-akan membara.
“Hem.“ ia berdesah, “aku harus menguasai permata ini. Kalau aku tahu siapa pemiliknya, maka aku harus meyerahkannya kembali. Tetapi aku tidak tahu, siapakah orang-orang itu. Meskipun demikian, barang-barang itu tidak boleh tetap di dalam penguasaan para penjahat itu. Aku harus menyembunyikannya.”
“Hem.“ ia berdesah, “aku harus menguasai permata ini. Kalau aku tahu siapa pemiliknya, maka aku harus meyerahkannya kembali. Tetapi aku tidak tahu, siapakah orang-orang itu. Meskipun demikian, barang-barang itu tidak boleh tetap di dalam penguasaan para penjahat itu. Aku harus menyembunyikannya.”
Namun kemudian terpercik pertanyaannya, “Apakah barang-barang itu tidak dapat dimanfaatkan?”
Ternyata pertanyaan itu telah mengguncang
dada Ken Arok. Sejenak ia tegak ditempatnya dengan tegarnya. Ditatapnya
perhiasan-perhiasan berharga yang berkilau-kilauan di dalam peti itu.
Perlahan-lahan Ken Arok menggelengkan
kepalanya. Desisnya, “Perhiasan itu harus kembali kepada pemiliknya.”
Namun kemudian ia bertanya kepada diri sendiri, “Tetapi siapakah
pemiliknya?”
Yang terjadi kemudian di dalam dada anak
muda itu adalah benturan perasaan yang semakin lama semakin dahsyat.
Namun cahaya matahari yang terpantul pada permata-permata di dalam peti
itu berkeredipan seakan-akan mengejeknya.
“Apakah salahnya.“ kemudian ia menggeram,
“kalau memang tidak seorang pun yang dapat membuktikan bahwa permata
itu adalah miliknya, maka barang-barang ini akan menjadi milik negara.
Aku harus menyerahkannya kepada pimpinan pemerintahan.“ Ken Arok
berhenti sejenak, kemudian, “tetapi tidak kepada Tunggul Ametung.
Penemuan ini harus bermanfaat bagi Tumapel, tidak untuk seseorang.
Apabila barang ini jatuh ketangan Tunggul Ametung, maka sudah pasti
bahwa barang-barang ini akan menjadi milik pribadi raja. Menjadi milik
Permaisurinya.”
Ken Arok berhenti tejenak. Tiba-tiba ia
menjadi terlampau gelisah. Dengan nanar dipandanginya keadaan di
sekitarnya. Terlalu sepi.
“Barang-barang itu harus disembunyikan. Pada saatnya baru dapat aku manfaatkan untuk kepentingan Tumapel.”
Tiba-tiba terbayang dirongga mata Ken
Arok, Permaisuri Tumapel yang memancarkan cahaya yang kemilau dari
tubuhnya pada keadaan-keadaan tertentu. Cahaya itu adalah pertanda bahwa
ia memancarkan derajat yang setinggi-tingginya, bahkan akan berpengaruh
pula kepada suaminya. Dan sesaat kemudian ditatapnya permata di dalam
peti yang bercahaya karena pantulan sinar matahari itu.
“Perpaduan dari keduanya, adalah alat
yang sebaik-baiknya untuk menemukan tempat yang setinggi-tingginya.“ Ken
Arok itu berdesis, “Perempuan Panawijen itu dan permata-permata ini.
Aku akan dapat memanfaatkannya, membiayai segala macam usaha untuk
membuat Tumapel menjadi semaki besar. Melampaui kebesaran Kediri.“ ia
berhenti sejenak, “tetapi akulah yang harus mengemudikannya. Bukan
Tunggul Ametung. Dan akulah orang yang harus dapat menjadikan Tumapel
besar sekaligus memegang pimpinan. Tidak seorang yang berjiwa kerdil
seperti Tunggul Ametung.” Tubuh Ken Arok tiba-tiba menjadi gemetar.
Terngiang kembali kata-kata Bango Samparan, “Nasibmu terlampau baik Ken
Arok, kemudian aku bermimpi kau menjadi seorang Maharaja yang besar.”
Ken Arok menggeram. Tanpa disadarinya ia
berkata, “Nasibku memang terlampau baik. Tidak ada seorang pun yang
memberi aku petunjuk, bahwa di sini ada seonggok permata yang dapat
bermanfaat bagiku. Bagi perjuanganku untuk mencapai kedudukan yang
setinggi-tingginya, untuk mendapat kesempatan mengatur tanah ini.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sekali lagi ia berdesis, “Aku harus menyembunyikannya.”
Ken Arok itu pun kemudian memungut
kepingan-kepingan papan tutup kotak yang telah pecah itu. Dipasangnya
lagi tutup itu sekeping demi sekeping. Kemudian ditariknya peti itu ke
samping goa. Namun sejenak kemudian Ken Arok berhenti. Perlahan-lahan ia
bergumam, “Dimana aku akan menyembunyikannya. Sudah tentu tidak dalam
goa itu lagi.”
Sambil memandang berkeliling kemudian la bergumam, “Aku akan menanamnya. Tetapi sebaiknya agak jauh dari goa ini.”
Ken Arok pun segera menarik peti itu
semakin jauh, ke balik gerumbul-gerumbul yang agak lebat. Di bawah
sebatang pohon yang akan dapat dipakainya sebagai tanda pengenal, maka
Ken Arok mulai menggali sebuah lubang yang dalam. Dengan sepotong kayu
yang diruncingkan dengan pedangnya, Ken Arok bekerja secepat dapat
dilakukannya.
Tetapi tiba-tiba Ken Arok tertegun
sejenak. Lamat-lamat didengarnya suara tertawa. Tidak hanya satu orang,
tetapi dua tiga orang.
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar.
“Siapakah orang-orang yang terperosok masuk ke dalam hutan yang sepi
ini? Mungkin beberapa orang pemburu.“ desisnya. Namun dengan demikian ia
menjadi semakin berdebar-debar. Apakah yang akan dikatakannya, apabila
orang-orang itu melihat ia menanam peti perhiasan itu.
“Aku harus segera menimbunnya sebelum
mereka sampai kemari.” desisnya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa
Ken Arok memasukkan peti itu ke dalam lubang dan menutupnya rapat-rapat
dengan cabang kayu silang menyilang, untuk melindungi tutupnya yang
telah pecah. Kemudian lubang itu pun segera ditimbunnya dengan tanah.
Ketika pekerjaan itu masih belum selesai,
Ken Arok terpaksa berhenti sejenak. Ternyata suara tertawa itu telah
menjadi semakin dekat, dan kemudian berhenti dimuka mulut goa.
“Siapakah mereka itu?” desisnya.
Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun
sejenak kemudian Ken Arok mendengar salah seorang dari mereka berkata,
“He, lihat. Bekas sesuatu diseret di atas tanah dan rerumputan liar.”
Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar.
Baru kini ia menyadari bahwa ia masih belum sempat menghapus bekas peti
yang diseretnya saja di atas tanah.
“Hem.“ ia berdesah, “suatu kebodohan.
Mereka pasti akan menyelusur bekas peti itu dan akan menemukannya di
sini. Tetapi siapakah mereka?”
Kemudian timbullah keinginan Ken Arok
untuk mengetahui orang-orang itu. Karena itu, maka ditinggalkannya
pekerjaannya sejenak, untuk mengintip orang-orang yang kini berdiri di
depan mulut goa.
“Tidak ada gunanya aku menyelesaikannya
dengan tergesa-gesa. Mereka pasti akan menemukannya. Aku harus tahu
siapakah mereka itu, supaya aku dapat segera mengambil sikap. Apakah aku
akan bersembunyi terus, atau aku harus menyelamatkan peti itu.”
Ken Arok pun kemudian dengan hati-hati
merangkak disela-sela rerumputan dan gerumbul-gerumbul liar. Semakin
lama semakin dekat dengan suara orang-orang yang agaknya menjadi ribut
di muka goa itu.
“Cepat, lihat ke dalam.“ berkata salah seorang dari mereka dengan lantangnya, “apakah peti itu masih di tempatnya.”
Ketika Ken Arok sempat mengintip mereka
dari balik dedaunan, ia masih melihat seseorang menyusup masuk ke dalam
goa yang gelap itu.
Dada Ken Arok pun menjadi semakin
berdebar-debar karenanya. Sebentar lagi orang-orang itu pasti akan
segera tahu, bahwa pasti simpanannya telah hilang. Dan sebentar kemudian
mereka pasti akan segera mencarinya, menyelusur bekas peti yang
diseretnya itu.
“Mereka pasti akan menemukan tempat itu.”
desis Ken Arok. Dan tiba-tiba saja tanpa sesadarnya ia mulai
menghitung. “Kalau yang masuk ke dalam goa itu hanya seorang, maka
semuanya hanya berjumlah empat orang. Empat orang perampok yang bukan
perampok kebanyakan, ternyata dari simpanannya yang sudah begitu banyak.
Mereka pasti orang-orang yang pilih tanding, sehingga mereka sempat
mengumpulkan hasil rampokannya sekian banyak.”
Dalam pada itu Ken Arok mendengar salah
seorang dari orang-orang yang berdiri dimulut goa itu berteriak, “He,
bagaimana dengan peti itu.”
Sejenak tidak ada jawaban. Namun sejenak
kemudian orang yang masuk ke dalam goa, yang ternyata memang hanya
seorang itu pun maloncat keluar sambil menggeram, “Peti itu telah
hilang.”
“He.“ hampir berbareng ketika orang yang
menunggu di luar itu berteriak, “setan alas. Setan manakah yang dapat
menemukan persembunyian kita ini?”
“Bekas ini. Pasti belum lama.”
“Ya.“ sahut yang lain, “marilah kita cari.”
Ken Arok menahan nafasnya. Namun dadanya
menjadi semakin tegang. Sejenak ia dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah
ia akan berbuat sesuatu, atau dibiarkannya saja orang-orang itu
menemukan perhiasan yang sudah ditanamnya.
“Mereka adalah perampok-perampok yang
tidak berhak atas barang-barang itu.“ desisnya di dalam hati, “karena
itu tidaklah sewajarnya kalau mereka memilikinya.“ Namun kemudian
terdengar suara yang lain, “Jangan cari perkara, kau pun tidak berhak
atas barang-barang itu.”
Tetapi suara itu dibantahnya sendiri,
“Tetapi aku tidak ingin memiliki untuk diriku sendiri. Aku akan
memanfaatkannya untuk kepentingan Tumapel. Tumapel yang besar dan kuat.
Tidak seperti Tumapel yang kerdil kini, sekerdil Akuwu yang sedang
berkuasa.”
Benturan yang dahsyat telah membuat Ken
Arok menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak ia duduk di belakang
gerumbul-gerumbul yang rimbun sambil bergulat di dalam dirinya sendiri.
Sementara itu, ia melihat dari sela-sela rimbunnya dedaunan, keempat
orang yang kehilangan petinya itu sedang membungkuk-bungkuk mencari
jejak.
Ternyata pekerjaan itu tidak terlampau
sukar. Jejak peti yang diseret itu masin terlampau jelas, sehingga
selangkah mereka berjalan kearah yang benar.
“Persetan.“ Ken Arok tiba-tiba menggeram,
“aku harus menyelamatkan lebih dahulu peti itu. Apakah yang akan aku
lakukan kemudian, adalah soal nanti. Tetapi peti itu tidak boleh jatuh
ketangan para perampok itu. Sudah tentu bahwa mereka bukanlah
orang-orang sekeluarga yang kaya raya yang manyimpan harta kekayaan
sendiri, atau harta warisan untuk mereka.”
Keputusan itulah yang kemudian diambil
oleh Ken Arok. Sehingga karena itu, maka Ken Arok pun dengan hati-hati
mengikuti orang-orang yang sedang mencari jejak hilangnya peti mereka.
“Ini, di sini.” berkata salah seorang
dari mereka sambil menunjuk rerumputan liar yang seakan-akan terlindas
oleh roda yang amat lebar.
Keempatnya kemudian berjalan menjusur
jejak itu. Dan mereka memang tidak memerlukan waktu terlampau lama.
Akhirnya mereka sampai ke bawah sebatang pohon, tempat Ken Arok menanam
peti itu.
“Inilah.” teriak mereka hampir berbareng.
Salah seorang dari mereka berdiri
bertolak pinggang sambil menggeram, “Pasti baru saja terjadi. Pencuri
itu masih belum selesai sama sekali.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang yang lain berkata, “Mungkin masih ada di sekitar tempat ini.”
“Nanti kita akan mencarinya. Sekarang, kita selamatkan dahulu peti ini.”
“Cepat gali.“ teriak yang paling besar
diantara mereka. Agaknya orang itu adalah pemimpin atau setidak-tidaknya
orang yang paling kuat diantara mereka.
Dua orang diantara mereka segera menggali
lubang yang masih belum selesai ditimbun oleh Ken Arok dengan tangan
mereka. Tetapi agaknya seorang yang lain menemukan potongan kayu runcing
yang dipergunakan oleh Ken Arok, sehingga kayu itu dapat mereka
pergunakan pula.
Dengan susah payah, akhirnya mereka
berhasil menemukan peti mereka kembali. Meskipun tutupnya sudah pecah
namun agaknya mereka menjadi cukup puas.
“Mungkin ada satu dua yang telah hilang.“
desis yang paling besar diantara mereka, “tetapi tidak apa. Sebagian
terbesar telah kita ketemukan kembali.”
“Kita akan mencari setan yang telah
mencuri peti itu.“ berkata yang lain, “kalau kita dapat menemukannya
maka kita tidak perlu berpikir lagi untuk mencari persembunyian yang
lain karena goa kita sudah dikenal orang.”
“Ya, kita harus mencarinya.” sahut yang
besar, “kalau kita tidak menemukaanya dan membunuhnya sama sekali, orang
itu akan kembali lain kali.”
“Kita berpencar. Seorang menunggui peti itu di sini yang lain mencari sampai ketemu.”
“Baik.” hampir bersamaan yang lain
menyahut. Kemudian, salah seorang dari mereka ditunjuk untuk menunggui
peti itu, sedangkan yang lain telah siap untuk pergi mencari Ken Arok.
Tetapi mereka terkejut bukan buatan
ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa perlahan-lahan.
Dekat sekali, di belakang sebatang pohon yang besar.
“Jangan pergi berpencaran.“ berkata suara dari balik pohon itu, “supaya aku tidak bersusah payah mencari kalian satu demi satu.”
Kata-kata itu ternyata telah menggetarkan
jantung keempat orang yang merasa memiliki peti berisi perhiasan dan
permata itu, seolah-olah isi dadanya meledak berserakan. Serentak mereka
berloncat menghadap kearah suara di belakang pohon. Yang paling besar
diantara mereka tiba-tiba bertanya, “He, siapakah kau?”
“Aku adalah pemilik perhiasan yang telah kau sembunyikan itu.“ jawab suara itu.
“Setan alas.“ teriak orang yang paling besar, “jawab pertanyaanku. Siapa kau. Jangan mencoba bergurau.”
“Aku tidak bergurau. Aku berkata sebenarnya.”
“Sebut namamu.“ teriak orang yang paling besar itu tidak sabar lagi.
Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa. Suara tertawa yang sangat menyakitkan hati.
“Sudah aku katakan.“ berkata suara itu,
“aku adalah pemilik peti itu. Karena itu, maka cepat tinggalkanlah peti
itu di tempatnya. Jangan mencoba menyentuh lagi.”
Keempat orang itu tidak dapat menahan
kemarahan mereka lagi, sehingga dengan berteriak-teriak mereka bertanya
kasar, “Sebut namamu he, cepat sebelum kau aku kubur di lubang itu.”
“Nama itu tidak penting bagi kalian
seperti aku tidak memerlukan nama kalian. Yang penting bagiku adalah
peti itu. Cepat, tinggalkan. Aku akan mengambilnya.”
Tiba-tiba orang yang paling besar di
antara mereka itu mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya in berkata, “Baik, baiklah. Ambillah petimu. Aku tidak
memerlukannya lagi.”
Ketigakawan-kawannya terkejut. Serentak
mereka berpaling. Namun sejenak kemudian mereka mengerti maksud orang
yang paling besar diantara mereka itu.
Tetapi terdengar jawaban, “Aku tidak akan mengambilnya. Yang aku ingini adalah, kalian pergi meninggalkan peti itu.”
Hampir bersamaan keempat orang itu
menggeram. Dan tiba-tiba saja orang yang paling besar itu berteriak
kepada seorang kawannya. “He, kau tunggui peti itu. Kami bertiga akan
menangkap kelinci itu.”
Serentak, maka ketiga orang di antara
mereka meloncat berlari kearah suara di balik pohon. Dengan kemarahan
yang hampir meledakkan dada mereka, mereka mengepung arah suara yang
telah mengganggu mereka itu.
“Kau tidak akan dapat lari lagi.“ geram orang yang paling besar di antara mereka.
Orang yang berdiri di belakang pokon itu,
yang tidak lain adalah Ken Arok, mengerutkan keningnya. Ternyata
keempat orang itu bukanlah orang-orang kebanyakan. Gerak mereka yang
begitu cepat dan lincah, telah memperingatkan kepada Ken Arok, bahwa ia
harus berhati-hati. Dalam waktu sekejap ketiganya telah berhasil
mengepung rapat-rapat tempat persembunyiannya dengan tepat.
“Kau tidak akan dapat bersembunyi dan main hantu-hantuan lagi.“ salah seorang dari mereka berkata dalam nada datar tetapi berat.
Ken Arok tidak segera menjawab. Ternyata
ia tidak berhadapan dengan sekelompok pencuri ternak, tetapi ia
benar-benar berhadapan dengan sekawanan perampok yang tangguh.
“Aku tidak akan bersembunyi.“ jawab Ken
Arok kemudian sambil melangkah perlahan-lahan dari balik sebatang pohon,
“kalau aku sengaja bersembunyi, aku tidak akan bersuara.”
“Sebut namamu.“ sekali lagi orang yang paling besar diantara mereka itu mendesaknya.
“Aku tidak akan menyebut siapa aku. Tetapi kalian harus mengembalikan permata itu.”
“Kami bukan orang-orang gila yang dapat
kau takut-takuti dengan ceritera semacam itu. Baiklah aku yang berterus
terang lebih dahulu.” berkata orang yang paling besar itu. Kemudian,
“kami telah mengumpulkannya dalam waktu yang cukup lama. Lebih dari
tujuh kali kami berpindah tempat untuk menyembunyikan barang-barang kami
yang sangat berharga itu. Setiap kali ada orang yang menemukannya, maka
orang itu tidak akan lagi dapat melihat matahari. Kini nasibmulah yang
sedang malang. Agaknya kau tidak sengaja telah menemukan barang-barang
itu. Dengan demikian, maka kau pun akan kami bunuh dan kami tanam di
dalam lubang yang telah kau gali itu sendiri.”
“Aku tidak dengan kebetulan menemukan
barang-barang itu.” jawab Ken Arok, “aku memang mencarinya. Dan nasibku
memang terlampau baik, sehingga aku berhasil menemukannya di sini.”
“Jangan mengigau tentang perhiasan itu.
Itu sama sekali bukan milik seseorang. Aku kira sudah lebih dari seratus
orang yang kami bunuh atau kami lumpuhkan. Mereka yang melawan kami
penggal lehernya, sedang yang dengan suka rela menyerahkannya kepada
kami, kami memang menaruh belas kasihan.”
Kata-kata itu telah membuat dada Ken
Arok menjadi berdebar-debar. Ternyata orang-orang itu telah melakukan
pembunuhan besar-besaran untuk mendapatkan kekayaan sebanyak itu,
sehingga Ken Arok menjadi muak karenanya. Tiba-tiba saja ia menggeram,
“Nah, aku akan berbuat serupa seperti yang pernah kau lakukan. Kalau
kalian melawan, maka aku terpaksa memenggal leher kalian. Tetapi apabila
kalian menyerahkannya dengan suka rela, maka aku akan menaruh belas
kasian kepada kalian.”
“Setan.“ hampir berbareng ketiganya bertetiak, “ayo, berlutut kami ingin membunuhmu dengan cara kami.”
“Akulah yang akan membunuh kalian.“ sahut Ken Arok, “atau cepat tinggalkan tempat ini.”
Orang yang paling besar itu pun tidak
dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menerkam Ken Arok
dengan kedua belah tangannya.
Ternyata orang itu memang luar biasa.
Geraknya sangat cepat apalagi tidak terduga-duga. Namun meskipun
demikian, Ken Arok masih sempat menghindarinya. Bahkan ia masih sempat
tertawa sambil berkata datar, “Kau sudah mulai lebih dahulu. Jangan
menyesal. Aku tidak akan sekedar bermain-main. Kalau kalian
bersungguh-sungguh, maka aku pun akan bersungguh-sungguh pula.”
Tetapi kata-kata Ken Arok itu terputus,
ketika tiba-tiba saja serangan berikutnya hampir saja menetak dadanya.
Untuk menghindarinya Ken Arok harus menggeser tubuhnya selangkah
kesamping. Namun agaknya kedua orang lainnya tidak membiarkannya. Belum
lagi Ken Arok sempat meletakkan sebelah kakinya yang lain, maka
serangan-serangan berikutnya datang beruntun. Ketiganya bergerak dalam
saat-saat yang seolah-olah telah diatur dengan rapihnya.
“Bukan main.“ berkata Ken Arok di dalam
hatinya sambil menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali “ternyata
mereka bukan perampok jalanan.”
Dan tepat pada saat Ken Arok melenting berdiri, maka serangan-serangan mereka pun telah mengalir seperti banjir bandang.
“Hem.“ Ken Arok menggeram. Ternyata
mereka adalah saudara seperguruan. Mereka mempunyai kerja sama yang
hampir sempurna. Tidak ada kelemahan yang dapat dilihat oleh Ken Arok
untuk memulai dengan serangan pembalasannya.
Ketiga orang itu pun menyerang dengan garangnya. Berturut-berturut, satu demi satu, namun terus menerus tidak putus-putusnya.
Ken Arok hampir tidak mendapat kesempatan untuk bernafas. Setiap kali kakinya menyentuh tanah, maka segera ia harus meloncat dan menghindar. Tidak henti-hentinya.
Ken Arok hampir tidak mendapat kesempatan untuk bernafas. Setiap kali kakinya menyentuh tanah, maka segera ia harus meloncat dan menghindar. Tidak henti-hentinya.
Namun kecepatan bergerak Ken Arok,
menghindari serangan ketiga lawannya yang datang beruntun seperti badai
itu ternyata telah menumbuhkan kekaguman pada lawan-lawannya. Tidak
pernah seorang pun yang dapat lolos dari serangan yang demikian. Seorang
lawan seorangpun, hampir tidak pernah ada orang yang dapat mengimbangi
salah seorang dari ketiganya. Kini tiba-tiba ketiganya menyerang
bersama-sama. Namun Ken Arok masih tetap hidup dan mampu menghindar,
betapapun sulitnya.
“Ternyata kau benar-benar anak iblis.”
teriak orang yang terbesar dari ketiga lawan Ken Arok itu, “seharusnya
kau sudah mati. Tetapi kau masih juga hidup.”
Ken Arok tidak sempat menjawab. Ia harus meloncat kian kemari, seakan-akan tidak berjejak lagi di atas tanah.
“Tak ada ampun lagi.” teriak lawannya
yang terbesar. Sesaat kemudian maka Ken Arok pun melihat, setiap orang
dari ketiganya telah menggenggam sepasang pedang pendek. Pendek tetapi
cukup besar.
“Senjata macam apa itu.” desis Ken Arok di dalam hatinya, “apakah manfaatnya senjata sependek dan sebesar itu.”
Namun Ken Arok ternyata tidak
berteka-teki terlampau lama. Segera ia menyadari, betapa berbahayanya
ketiga pasang senjata itu dalam lingkaran perkelahian bersama. Agaknya
mereka sengaja mempergunakan senjata yang pendek, agar mereka dapat
mengurung lawan mereka dalam jarak yang tidak terlampau jauh karena
ayunan senjata mereka sendiri. Tetapi sepasang senjata yang pendek pada
setiap orang, akan memberi kesempatan mereka berkelahi rapat
berpasangan.
“Tetapi senjataku cukup panjang.“ desis
Ken Arok kemudian. Dan sebelum tubuhnya tersentuh oleh pedang-pedang
pendek itu, maka pedangnya sendiri telah berputar melindungi dirinya.
Perkelahian itu pun kemudian menjadi
semakin dahsyat. Kini tiga pasang pedang pendek dan sehelai pedang
panjang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang semakin condong
ke barat. Agaknya ketiga orang yang berkelahi bersama-sama melawan Ken
Arok itu, terlampau percaya akan kekuatan tubuh mereka, sehingga setiap
kali mereka mencoba membenturkan senjata mereka. Mereka berusaha untuk
menjepit pedang Ken Arok dengan setiap pasang pedang, sedang yang lain
berusaha menyerang lambung dan punggung.
Namun ternyata Ken Arok cukup cepat
bergerak melayani mereka, meskipun setiap kali ia harus berusaha,
memecahkan kepungan lawan-lawannya dan meloncat menjauh. Meskipun
demikian, setiap kali ia sudah berada di tengah-tengah lingkaran pedang
lawan-lawannya kembali.
Ken Arok itu pun kemudian menggeram. Ia
hampir tidak mendapat kesempatan sama sekali, Lawan-lawannya itu
bukanlah orang-orang Karuman yang ketakutan melihat Ken Arok melontarkan
sepotong cabang beserta ranting-rantingnya dan daunnya yang rimbun.
Tiba-tiba Ken Arok menjadi lelah dan
kesal menghadapi ketiganya. Meskipun ia sudah memutar pedangnya,
seakan-akan menjadi tabir gumpalan asap yang melindungi tubuhnya, namun
setiap kali bahaya hampir-hampir menyentuhnya. Apalagi ketika tiba-tiba
terasa sebuah sengatan di pundaknya. Ketika tangan kirinya meraba, maka
dadanya berdesir. Setitik warna merah telah melapisi telapak tangannya.
Darah.
“Kau sudah terluka.“ teriak orang yang paling besar.
“Kau sudah di ambang pintu maut.“ teriak yang lain.
“Menyerahlah, supaya kau mati dengan tenang.“ berkata yang lain.
Namun bagi Ken Arok, darah adalah
pertanda bahwa ia harus mulai benar-benar berkelahi. Kemarahan,
kebencian dan bahkan kemudian dendam yang terpendam di dalam dadanya,
tiba-tiba terungkat kembali. Sekilas terbayang luka yang semakin banyak
melubangi tubuhnya. Namun yang paling mendebarkan jantungnya adalah
bayangan tubuh ibu angkatnya yang terluka bakar, sehingga meninggal di
tangannya. Selama itu ia berusaha menekan dendam itu dalam-dalam di
dasar dadanya. Tetapi tiba-tiba dadanya itu serasa meledak. Dan dendam
itu ikut meledak pula bersamanya.
Ketika sebuah luka tergores lagi di
lengan kirinya, maka Ken Arok sudah tidak mampu lagi menahan
kemarahannya. Tiba-tiba ia meloncat menembus kepungan ketiga orang yang
berkelahi bersama-sama itu. Tetapi agaknya mereka tidak ingin melepaskan
korban yang telah terluka itu. Segera mereka memburunya sambil
berteriak keras-keras. Darah di tubuh Ken Arok membuat ketiganya semakin
buas dan bahkan seolah-olah menjadi liar, seperti serigala mencium bau
bangkai. Tendang mereka kian kasar dan keras.
Namun lawan mereka kini telah kehilangan
pertimbangannya. Meskipun ditangannya tergenggam pedang istana Tumapel,
namun tandangnya sama sekali bukan tandang seorang prajurit lagi.
Kebuasan dan kekasaran ketiga lawannya yang telah berhasil melukainya,
telah membuat Ken Arok lupa diri.
Dengan demikian, maka Ken Arok yang telah
terluka itu pun menjadi semakin kasar pula. Darahnya telah membuatnya
mata gelap, sehingga mereka yang berkelahi melawannya menjadi heran.
Seolah-olah tiba-tiba saja Ken Arok telah berubah.
Ketiga orang perampok yang berkelahi
melawan Ken Arok itu adalah orang-orang yang liar dan buas.
Senjata-senjata mereka pun bergerak-gerak dengan liarnya. Namun tanpa
mereka sangka-sangka, kini mereka mendapat lawan yang tidak kalah liar
dan buas. Ken Arok itu, dalam kemarahan, dendam dan kebenciannya telah
berubah menjadi Hantu Karautan.
Karena itulah, maka seandainya ada
seseorang yang cukup waskita dan mempunyai ilmu yang lengkap, tidak saja
dalam olah kanuragan, tetapi juga mempunyai mata batin yang tajam, maka
akan tampaklah bayangan warna mereka di atas ubun-ubun Ken Arok. Suatu
pertanda bahwa Ken Arok telah berada dalam taraf tertinggi dari ilmunya.
Ilmu yang pada dasarnya tidak pernah dipelajarinya dari siapa pun. Yang
karena pengaruh cara hidupnya di masa kanak-kanak dan masa mudanya,
ilmu itu telah mendapat bentuk yang terlampau kasar dan buas.
Maka perkelahian yang terjadi kemudian
adalah perkelahian yang dahsyat, seperti bertempurnya empat ekor hari
mau liar dalam satu arena. Pergulatan yang mengerikan telah menaburkan
debu yang putih mengepul tinggi. Kulit mereka yang basah oleh keringat
menjadi keputih-putihan dilekati oleh debu yang kotor.
Namun mereka bertempur terus, semakin lama semakin dahsyat.
Tiga pasang pedang pendek ketiga perampok
itu bagaikan sekumpulan ular yang sedang mengepung seekor burung
rajawali yang sangat buas dan kuat.
Dentangan senjata-senjata mereka pun
menjadi semakin sering. Kini Ken Arok tidak membiarkan dirinya selalu
berada di dalam kepungan. Kakinya membawa dirinya melontar-lontar tidak
berkeputusan. Sekali pedangnya terajua menyambar lawannya, kemudian
bergulung-gulung melindungi dirinya. Sambil berteriak-teriak mengerikan
ia menyerang lawannya beruntun seperti angin ribut, namun lawannya itu
mampu melawannya sambil berputaran seperti angin pusaran. Benturan
senjata-senjata mereka meledak-meledak seperti guntur di langit,
memencarkan bunga-bunga api yang kemerahaan.
Ternyata ketiga orang perampok itu pun
memiliki ilmu yang tangguh. Apalagi mereka bergabung dalam satu gerakan
yang isi-mengisi, seolah-olah ketiga pasang tangan dan kaki mereka
bersumber gerak pada satu otak.
Tetapi kekuatan Ken Arok dalam
keadaannya, seolah-olah sudah bukan kekuatan manusia wajar lagi. Ketika
kemarahannya menjadi semakin memuncak, maka tenaganya semakin terperas
pula. Itulah sebabnya ayunan pedang Ken Arok menjadi semakin mengerikan.
Sehingga dalam benturan-benturan selanjutnya, lawan-lawannya menjadi
terperanjat. Setiap sentuhan telah membuat tangan lawannya menjadi nyeri
seperti tergores sembilu. Setiap kali pedang-pedang pendek itu nyaris
terlempar dari genggaman. Bahkan semakin lama, kekuatan Ken Arok
seolah-olah menjadi semakin berlipat-lipat.
“Iblis manakah yang telah merasuk ke
dalam anak ini.“ desis salah seorang dari ketiga perampok itu. Tangannya
terasa kini seolah-olah menggenggam bara api. Setiap kali menjadi
semakin panas, sehingga benturan yang menentukan, pedangnya telah
terlepas dari tangannya.
“Setan alas.“ ia menggeram. Kini ia tinggal membawa satu pedang pendek.
Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain
berbuat cepat untuk menolong jiwanya. Mereka berbareng melakukan
serangan beruntun, sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk memungut
sebelah pedangnya kembali. Namun perkelahian yang berikutnya ketiga
kawanan perampok itu terpaksa bergeser semakin surut, karena
serangan-serargan Ken Arok semakin membadai.
Tetapi orang yang paling besar di antara
ketiga orang itu bukan orang yang bodoh. Mereka bergeser semakin lama
semakin mendekati peti yang telah mereka pertahankan mati-matian. Ketika
mereka telah berada beberapa langkah dari padanya, maka orang yang
paling besar itu berteriak kepada seorang kawannya yang menunggui pati
itu, “He, kemarilah. Kelinci ini terlampau liar.”
Dada Ken Arok berdesir. Lawannya akan berarti bertambah dengan satu orang lagi.
Orang yang menunggui peti itu menjadi
heran sesaat. Tiga orang kawannya tidak segera dapat mengalahkan
lawannya yang hanya seorang itu. Namun ketika ia melihat cara Ken Arok
mempertahankan diri dan menyerang, tiba-tiba orang yang termasuk orang
yang kasar dan buas itu mengerutkan keningnya. Terasa bulu-bulu kuduknya
meremang. Tanpa disadarinya ia berdesis, “Iblis manakah yang berkelahi
dengan cara yang demikian buas dan kasar itu?”
Dengan demikian, maka ia dapat
menempatkan dirinya. Sebelum ia meloncat masuk ke dalam arena, kedua
tangannya telah menggenggam pula sepasang pedang pendek.
Sejenak kemudian lawan Ken Arok telah
bertambah dengan satu orang yang masih segar. Geraknya terlampau cepat
di antara gerak ujung senjata kawan-kawannya. Dengan tenaganya yang
baru, ia berusaha mengisi kelemahan dari ketiga kawan-kawannya yang
telah menjadi kelelahan.
Kemarahan Ken Arok menjadi semakin
memuncak. Ketika tangan kirinya tersentuh ujung pedang pendek orang baru
itu, dan menitikkan darahnya pula, maka geraknya sudah tidak terkekang
lagi. Nalarnya pun telah tidak dapat dikendalikan lagi. Sejalan dengan
itu, maka tenaganya yang seolah-olah tidak akan kering-keringnya itu
bahkan menjadi semakin dahsyat pula.
Dengan teriakan nyaring, Ken Arok memutar
ujung pedangnya semakin cepat dan kuat. Menyambar-nyambar, seolah-olah
berdesingan di setiap telinga. Semakin lama semakin cepat dan semakin
dekat.
Dan debu yang kering pun semakin banyak mengepul di udara.
Keempat lawan-lawannya menjadi semakin
tidak mengerti, dengan siapa mereka itu berkelahi. Menilik pedang dan
pakaiannya, maka ia adalah orang biasa. Mungkin seorang pengawal
padukuhan atau seorang pemburu atau seorang prajurit. Tetapi tandangnya
benar-benar melampaui setan yang baru bangkit dari kuburan.
Para perampok itu tidak mempunyai
kesempatan terlampau banyak untuk berteka-teki. Sejenak kemudian
terdengar Ken Arok itu berteriak nyaring. Pedangnya terayun deras
sekali, seperti sambaran petir di langit. Ketika dua pasang pedang
pendek mencoba menangkisnya, maka terdengar suara keluhan pendek. Empat
buah pedang pendek terlempar dari tangan dua orang dari keempat
lawan-lawannya. Dan sebelum kedua orang itu menyadari keadaannya, maka
mereka pun terpekik. Sebuah sabetan pedang telah menyobek dada mereka
memanjang dalam satu ayunan.
Kedua kawannya yang lain terbelalak
melihat dua buah luka di dada kedua kawannya itu menganga. Darah yang
merah memancar, membasahi tangan-tangan mereka yang meraba luka itu.
Hanya sejenak, karena sejenak kemudian keduanya roboh tidak berdaya.
Mati.
Kematian kedua orang itu telah
menggoncangkan dada kedua orang yang lain. Mereka sudah mengalami
perkelahian yang dahsyat bersama empat orang sekaligus. Tetapi mereka
sama sekali tidak berdaya melumpuhkan. Apalagi ketiga kedua orang dari
antara mereka sudah terbunuh. Maka sudahlah pasti bahwa mereka tidak
akan dapat membela diri lebih lanjut. Karena itu, menyadari keadaan
mereka, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri, dari pada lari.
Lari menjauhi lawannya yang bertempur seperti iblis itu.
Keduanya memang bukan dua orang jantan
yang mempertaruhkan nyawa di atas kehormatannya. Mereka adalah perampok
yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang luar biasa. Tetapi tidak
memiliki keteguhan hati seorang jantan. Bahkan kalau perlu mereka dapat
berbuat licik dan pengecut.
Karena itu, maka seperti berjanji
keduanya meloncat mundur. Lari adalah jalan yang paling baik. Kalau
mereka masih hidup, maka mereka masih mempunyai harapan untuk menemukan
harta yang mereka kumpulkan bertahun-tahun itu. Mungkin mereka dapat
menghubungi orang-orang yang dapat mereka percaya, atau saudara-saudara
seperguruan yang lain.
Melihat kedua lawannya melangkah turut Ken Arok menggeram. Dugaannya memang tepat. Orang-orang itu akan melarikan diri.
Ketika benar-benar ia melihat keduanya
meloncat berlari ke arah yang berbeda, Ken Arok menjadi ragu-ragu
sejenak. Sesaat ia tertahan oleh kata hatinya, “Biarlah mereka berlari.“
Tetapi tiba-tiba terngiang kata-kata Bango Samparan, “Selesaikan setiap
pekerjaan sampai tuntas, supaya tidak ada persoalan lagi dikemudian.”
Kata-kata itu seakan-akan mempunyai
kekuatan yang tak terlawan yang telah menggerakkan tangan Ken Arok yang
seolah-olah menyimpan tenaga yang ajaib. Tiba-tiba saja Ken Arok
membungkuk memungut sebilah pedang pendek. Dengan sepenuh tenaga, pedang
itu dilontarkannya kepada salah seorang yang sedang berlari
menyelamatkan diri itu. Akibatnya adalah terlampau mengerikan. Orang itu
sama sekali tidak sempat menyerit, ketika dari punggungnya tembus ke
dadanya dilubangi oleh pedang pendek yang dilontarkan Ken Arok, sampai
kepangkalnya.
Sejenak kemudian orang itu pun roboh tertelungkup. Mati.
Ken Arok tidak sempat melihat darah orang
itu mengalir membasahi tanah yang berdebu. Sekejap kemudian ia telah
meloncat mengejar seorang lagi yang berlari ke arah lain.
Hati orang itu telah benar-benar
berkeriput sekecil biji kemangi. Kegarangannya sebagai seorang perampok
yang telah membunuh beberapa orang korbannya, telah lenyap sama sekali.
Ken Arok baginya bukanlah orang biasa. Tetapi seolah-olah ia benar-benar
berhadapan dengan hantu maut yang paling mengerikan.
Apalagi ketika ia sadar, bahwa Ken Arok
mengejarnya setelah membunuh seorang kawannya yang sempat melarikan
diri. Serasa punggungnya sendiri telah tembus pula oleh lemparan pedang
pendek kawannya yang telah mati. Karena itu, maka setiap kali ia
berpaling sambil berlari sekencang dapat dilakukan.
Tetapi langkah Ken Arok jauh lebih cepat
dari langkahnya. Kaki Ken Arok tampaknya tidak berjejak lagi di atai
tanah. Benar-benar seperti sesosok hantu yang sedang terbang
menyambarnya.
Ketakutan yang dahsyat telah menerkam
jantungnya, mendahului tangan Ken Arok yang sudah mengembang, dengan
pedang terayun-ayun. Itulah sebabnya, maka ia kehilangan segala macam
nalar dan perhitungan. Sekali-sekali ia berpaling, kemudian mencoba
berlari lebih cepat lagi. Seperti orang gila ia berteriak-teriak tidak
menentu. Tetapi suaranya hilang ditelan oleh hutan yang semakin dalam
semakin lebat.
Tiba-tiba suaranya hilang seperti
tertahan di kerongkongan. Pada saat ia berpaling sambil meloncat,
tiba-tiba kepalanya telah membentur sebatang pohon yang berdiri dengan
kukuhnya. Yang terdengar adalah tubuhnya yang terbanting jatuh di atas
tanah.
Ketika Ken Arok sampai ditempat itu, maka
yang ditemuinya adalah sesosok tubuh yang terbaring menelentang.
Dahinya pecah oleh benturan yang tidak dapat dihindarinya lagi, sehingga
darahnya mengalir membasahi wajahnya.
Ken Arok sejenak berdiri tegang
ditempatnya. Tiba-tiba ia menunduk dan meraba dahi yang pecah itu.
Kemudian dipandangnya warna merah yang memulas jari-jarinya.
Wajahnya yang tegang menjadi semakin
tegang. Bahkan kemudian wajah itu menjadi kian mengerikan. Wajah itu
adalah wajah hantu Karautan yang telah menyentuh darah korbannya.
Tiba-tiba terdengar Ken Arok itu
menggeram, “Tangan ini sudah dikotori dengan darah. Aku sudah mulai. Aku
sudah mulai.“ Dan suaranya kemudian meninggi melengking diantara
dedaunan rimba yang menjadi semakin suram, “Aku sudah mulai. Aku sudah
mulai melangkahkan kakiku menuju ke Singgasana Tumapel. Aku sudah mulai
dan akan menyelesaikan pekerjaan ini hingga tuntas, hingga rampung.
Aku akan membunuh semua orang yang mencoba menghalangi jalanku menuju
ke singgasana yang paling tinggi di seluruh negeri di muka bumi, di
bawah bentangan langit yang dibatasi oleh cakrawala.”
Mata Ken Arok menjadi temakin liar.
Dipandanginya mayat yang terbaring dihadapannya. Kemudian ditatapnya
darah yang telah menodai tangannya. Sejenak kemudian maka disarungkannya
pedangnya. Sambil menggeram diseretnya mayat itu, kemudian
dikumpulkannya keempat-empatnya dan dilemparkannya ke dalam goa.
Dengan mata yang menjadi merah Ken Arok
memandang berkeliling, seolah-olah takut kalau semua perbuatannya itu
diintip oleh seseorang. Ketika ia jakin bahwa tidak seorang pun yang
melihatnya, maka ia pun segera berlari ke peti permata yang masih
teronggok di samping lubang yang sudah tergali.
“Persetan.“ ia menggeram. Sekali lagi ia memasukkan peti itu, dan menimbunnya rapat-rapat.
“Tidak ada orang lain yang berhak atas
harta kekayaan ini selain Ken Arok. Aku akan mempergunakannya untuk
membuat jalan ke singgasana seorang Maharaja.”
Tiba-tiba Ken Arok itu tertawa. Semakin
lama semakin keras. Suaranya meninggi, seperti luara iblis yang kepuasan
setelah menghisap darah korbannya. Ken Arok telah benar-benar menjelma
kembali menjadi hantu Karautan. Namun hantu Karautan yang sekarang
adalah hantu yang telah cukup dewasa menghadapi dunia yang terbentang di
bawah kakinya.
“Aku harus segera sampai ke tempat Empu
Gandring.“ ia berdesis, “aku harus mempunyai sebilah keris pusaka yang
maha sakti. Yang tidak akan dapat dilawan oleh senjata macam apapun dan
yang akan mampu membunuh setiap orang yang aku kehendaki.”
Suara Ken Arok menjadi semakin meninggi,
sehingga dedaunan bergetar karenanya. Yang sudah menguning, dan tidak
mampu lagi berpegangan ranting-rantingnya, maka daun-daun itu berguguran
satu demi satu.
“Aku harus segera sampai kerumah Empu
Gandring.“ tiba-tiba suara tertawanya berhenti. Sekali lagi ia mencoba
memandang berkeliling. Cahaya matahari yang sudah terlampau lemah, tidak
lagi mampu menembus daun-daun rimba yang meskipun tidak terlampau
padat. Sehingga dalam keremangan senja, Ken Arok yang berdiri dengan
tangan bertolak pinggang di atas timbunan petinya, bagaikan iblis yang
tertawa di atas onggokan tanah pekuburan.
Tiba-tiba Ken Arok itu merendah. Dan satu
hentakkan telah melemparkannya ke dalam kegelapan. Dengan meninggalkan
getar tertawanya yang mengerikan Ken Arok itu berlari menembus hutan
yang semakin gelap, semakin lama semakin cepat, seperti bayangan yang
terbang tidak menyentuh tanah.
Binatang-binatang hutan terperanjat
mendengar suara yang asing di telinga mereka. Burung-burung yang telah
hinggap disarang masing-masing beterbangan menghindari suara yang
menggetarkan dada mereka. Binatang-binatang buas mengangkat wajah-wajah
mereka, mencoba mencium bau apakah yang telah dilontarkan oleh mahluk
yang memperdengarkan suara yang mengerikan itu.
Ketika seekor harimau loreng mengaum
mengimbangi suara Ken Arok, maka suara tertawa itu berhenti. Tiba-tiba
terdengar ia menggeram, “Setan manakah yang berani mentertawakan Ken
Arok?”
Tetapi suara aum harimau itu sudah tidak
didengarnya lagi, sehingga Ken Arok berteriak, “He, siapakah yang berani
mencoba melawan Ken Arok?”
Tidak ada jawaban, dan hutan menjadi kian sepi.
Ken Arok mengumpat-umpat. Kemudian
diteruskannya langkahnya, memintas memotong arah, langsung ke Lulumbang,
kerumah Empu Gandring.
Tetapi kemudian gelap malam telah
mengganggunya. Langkahnya menjadi semakin lambat, karena gelap malam di
tengah hutan itu bagaikan tabir hitam yang menghalangi jalannya.
“Hem.” Ken Arok berdesah, “gelap malam
ini benar-benar mengganggu.“ Tetapi sebenarnya bukan gelap malam itu
saja. Terasa juga otot-ototnya menjadi lelah. Karena itu maka ia pun
menggeram, “Aku harus beristirahat. Aku akan tidur di cabang pohon itu,
dan besok sebelum fajar aku harus meneruskan perjalanan ini.”
Maka Ken Arok pun segera memanjat
sebatang pohon yang tidak terlampau besar. Mencari tempat yang
sebaik-baiknya untuk beristirahat. Di atas sebatang cabang ia duduk
bersandar, untuk melepaskan lelahnya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat
tidur barang sekejappun. Pikirannya selalu hilir mudik tidak menentu.
Sekilat dikenangnya segala peristiwa yang pernah dialaminya, dan
kemudian terbang tinggi ke langit tingkat ketujuh.
Ketika seekor burung hantu berbunyi
dikejauhan, Ken Arok pun menggeram. Suara burung yang ngelangut itu
terasa mengganggu telinganya.
Kini semua kekangan di dalam dirinya
seolah-olah menjadi semakin kendor. Bahkan seolah-olah sudah tidak
berarti lagi. Kendali yang selama ini berhasil dipasangnya sendiri,
tiba-tiba telah diputuskannya.
“Aku bukan orang gila yang membiarkan
diriku dikekang oleh kendali yang dicocokkan ke dalam hidungku. Aku
barus melepaskan diri. Selama aku masih merasa berhutang budi kepada
pihak, maka aku benar-benar telah menjadi budak yang tidak akan dapat
menemukan keadaan yang lebih baik dari keadaanku kini.”
Sekali lagi Ken Arok menggeram sambil
mengepalkan tinjunya. Seolah-olah ia dapat bersabar lagi menunggu cahaya
merah yang membayang di langit.
Tetapi akhirnya, cahaya fajar mewarnai langit di ujung Timur, betapapun lambatnya.
Dengan demikian, maka Ken Arok pun segera
meloncat turun. Meskipun masih gelap, namun mata Ken Arok yang tajam,
telah dapat melihat jalan yang harus dilaluinya, di sela-sela
pepohonan dan gerumbul-gerumbul liar.
Sebenarnyalah bahwa pada pagi itu Ken
Arok telah mulai dengan perjalanannya. Perjalanan yang jauh. Tidak saja
menuju ke Lulumbang, kerumah Empu Gandring, tetapi ia menuju kedaerah
mimpi yang pernah dikatakan oleh Bango Samparan kepadanya. Semua
kekangan, hambatan dan keragu-raguan, berangsur-angsur telah terpatahkan
oleh nafsunya yang bergolak kembali, setelah beberapa lama dapat di
endapkannya.
Meskipun kadang-kadang masih juga
terdengar suara Lohgawe di dalam lubuk hatinya, namun suara itu semakin
lama menjadi semakin lemah dan hampir tidak berarti sama sekali.
Ia menggeram ketika seolah-olah terdengar
Lohgawe berbisik di telinganya, “Kini matilah seorang pemimpin yang
baik. Berbarerg dengan lahirnya seorang yang membiarkan nafsunya
menggelepar di dalam dadanya.”
“Persetan, persetan.“ Ken Arok menggeram,
“seorang yang telah berputus asa seperti Lohgawe, dan sudah tidak
mempunyai cita-cita lagi buat hari depannya, memang sebaiknya
mengasingkan dirinya. Orang macam Lohgawe lah yang sebenarnya sudah mati
di dalam hidupnya. Hari-harinya sebenarnya telah berhenti. Dan
sebaiknya ia telah mempersiapkan api pembakaran buat dirinya sendiri.”
Ken Arok pun berjalan semakin lama
semakin cepat. Sebelum tengah hari ia telah keluar dari hutan yang tidak
terlampau lebat, kemudian memasuki daerah gerumbul-gerumbul liar dan
padang rumput yang kuning. Sejenak kemudian ia telah melewati pategalan
yang gersang dengan tanaman-tanaman palawija yang kurus meskipun
sebenarnya musim hujan telah datang. Namun musim hujan yang terlampau
kering.
Ternyata hasrat yang tidak tertahan-tahan
lagi telah mendorong Ken Arok berjalan semakin cepat. Ia tidak
mengacuhkan lagi apapun yang dijumpainya di jalan. Ia tidak mengacuhkan
dirinya sendiri pula. Pakaian yang kusut, rambut yang tidak teratur dan
jari-jari yang bernoda darah.
Ken Arok tidak memperdulikan,
berpuluh-puluh pasang mata yang memandanginya di sepanjang jalan ke
Lulumbang. Yang terpateri dihatinya adalah, “segera sampai ke Lulumbang,
dan segera mendapat sebuah pusaka yang maha sakti dari Empu Gandring.”
Namun tiba-tiba terbersit pertanyaan, “Apakah aku akan berterus terang, ataukah aku harus merahasiakan maksud sebenarnya?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi langkahnya sama sekali tidak terganggu.
“Lebih baik aku berterus terang.“
katanya, “dengan demikian tidak akan ada persoalan dikemudian hari. Empu
Gandring tidak akan terkejut lagi apabila aku mempergunakan kerisnya
kelak.“ Namun Ken Arok kemudian menjadi ragu-ragu. Dibantahnya sendiri,
“Empu Gandring adalah seorang yang tidak lebih baik dari Lohgawe.
Seorang yang lemah hati dan tidak bercita-cita. Ia memiliki keahlian
yang hampir tidak ada duanya di Tumapel bahkan di seluruh Kediri. Tetapi
ia tetap mengasingkan diri di padepokannya. Dan selamanya sampai
matinya ia hanya sekedar seorang Empu yang tidak berarti bagi Tumapel,
apalagi bagi Kediri. Akuwu Tumapel dan apabila Maharaja di Kediri tidak
akan pernah menyebut namanya, apabila mendengarkan pendapatnya.”
Dan tiba-tiba ia menggeram, “Orang-orang
yang demikian pada saatnya tidak akan berarti lagi. Baik bagi Tumapel,
bagi Kediri maupun bagi kelurusan jalanku untuk mencapai cita-cita.
Orang-orang yang lemah hati dan tidak berpendirian atas cita-cita yang
gemilang dihari depan hanya akan menambah jumlah rintangan bagi kemajuan
tanah ini. Pada suatu ketika mereka memang harus disingkirkan.”
Ken Arok menghentakkan lakinya ketika
tumbuh berbagai masalah yang saling berbenturan di dalam dirinya. Tetapi
ia berusaha untuk menegakkan pendiriannya. Ia mencoba untuk berpijak
pada alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. “Untuk kepentingan
Tumapel dan seluruh tanah Kediri. Untuk kepentingan kebesaran yang
sungguh-sungguh. Bukan sekedar kebesaran beberapa orang yang kebetulan
berada di sekitar singgasana. Tetapi mereka membiarkan tanah-tanah
menjadi kering dan perampokan merajalela.”
Seolah-olah Ken Arok telah mendapat
keputusan yang mantap. Dan karena itu maka langkahnya pun menjadi
semakin mantap pula. Lulumbang.
Ternyata Ken Arok tidak sulit untuk
sampai ke padepokan Empu Gandring. Dari jarak beratus-ratus patok, orang
sudah mengenal, bahwa seorang Empu Tua bernama Gandring, tinggal dalam
sebuah padepokan yang sepi dan menyendiri, bersama keluarga kecilnya
yang hidup damai.
Kedatangan Ken Arok telah mengejutkan Empu Tua itu. Dengan tergopoh-gopoh ia berlari-lari menyongsongnya.
“Siapa?“ bertanya orang tua itu kepada seorang cantrik yang menyampaikan kedatangan Ken Arok.
“Ken Arok, namanya Ken Arok.”
“O, ia benar-benar datang.“ Lalu kepada para cantrik ia berkata, “nyalakan lampu.”
Memang tepat pada saat lampu dinyalakan
Ken Arok memasuki halaman rumah Empu Gandring. Halaman yang luas dan
tenang, ditumbuhi oleh pepohonan yang tampak hijau segar. Beberapa
batang kelapa gading tampak menghiasi petak-petak yang ditanami
pohon-pohon bunga yang rimbun.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Halaman yang terbentang di depan matanya, tiba-tiba terasa menyentuh
perasaannya. Bukankah kedamaian yang sejuk ini dapat memberikan
ketenteraman hidup. Hidup yang tenteram damai itu pun merupakan
cita-cita. Cita-cita bagi sebagian besar manusia di dunia ini.
Tiba-tiba Ken Arok menggeram, “Itu
terlampau mementingkan diri sendiri. Damai dan ketentraman hidup tidak
akan mendorong perbaikan yang menyeluruh bagi Tumapel. Hidup memang
harus bergerak. Seperti perahu yang tenang di sebuah teluk yang damai.
Tetapi ia tidak akan sampai ke pulau-pulau impian di seberang lautan
yang penuh dengan gelombang yang dahsyat. Aku tidak boleh menghindar.
Aku harus menempuh kedahsyatan gelombang dan arus lautan. Yang akan
tetap tinggal di teluk yang tenang damai, akan tertinggal jauh di
belakang.”
Ken Arok terperanjat ketika ia mendengar
suara terbata-bata menyapanya, “Marilah Ngger, marilah. Akhirnya kau
datang juga. Marilah.”
Ternyata sapa yang ramah itu telah
menghentak dada Ken Arok yang sedang dipenuhi oleh gejolak yang dahsyat.
Sejenak ia berdiri tegang dengan jantung yang berdebar-debar.
Dengan demikian maka Ken Arok tidak
segera menjawab sapa Empu Gandring. Seperti bermimpi ia melihat bayangan
seseorang yang berjalan tertatih-tatih mendekatinya. Seandainya Ken
Arok belum pernah mengenal Empu Gandring maka sama sekali tidak akan
terlintas di dalam kepalanya, bahwa orang itu mampu mengimbangi
keganasan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
“Marilah ngger.“ Empu Gandrirg mengulangi.
“Terima kasih Empu.“ jawab Ken Arok gemetar, seperti jantungnya yang semakin cepat berdebaran.
Orang tua itu kini menjadi semakin dekat.
Dalam keremangan senja Ken Arok masih melihat orang tua itu tersenyum.
Kemudian melangkah semakin dekat lagi. Dengan keramahan yang tulus Empu
Gandring mengembangkan tangannya dan menangkap kedua lengan Ken Arok
yang kokoh seperti baja.
Sentuhan tangan Empu Gandring itu membuat dada Ken Arok berdesir. Tanpa sesadarnya ia melangkah surut.
Sikap Ken Arok itu benar-benar telah
mengejutkan Empu tua itu. Apalagi telapak tangannya yang telah menyentuh
tubuh Ken Arok merasakan bahwa tubuh anak muda itu menjadi gemetar.
Sejenak Empu Gandring pun terdiam. Dipandanginya saja wajah Ken Arok yang tegang.
“Maaf Empu.“ tiba-tiba Ken Arok berkata
dengan suara terputus-putus. Ketika ia menyadari keadaannya, maka
dicobanya untuk menekan perasaannya kuat-kuat. Dicobanya untuk mengerti
sepenuhnya, keadaan yang kini sedang dihadapi. “Aku terlampau kotor
setelah aku menempuh perjalanan dua hari penuh.”
Tiba-tiba Empu Gandring yang keheranan
itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah suara tertawanya
yang lunak. Katanya, “Oh, aku mula-mula heran melihat sikapmu Ngger.
Ternyata kau merasa dirimu terlampau kotor.”
Dada Ken Arok tergetar mendengar
kata-kata Empu Gandring itu. Tanpa disadarinya dipandanginya tangannya.
Hampir-hampir saja ia berteriak, bahwa ia sama sekali tidak kotor. Apa
yang dilakukannya adalah untuk kepentingan tanah ini.
Namun tiba-tiba diingatnya kata-katanya
sendiri. Ia sendirilah yang mengatakan bahwa dirinya terlampau kotor
setelah dua hari dalam perjalanan. Tubuhnyalah yang terlampau kotor
Badaniah, dan sama sekali Empu Gandring tidak akan menuduhnya, bahwa
batinyalah yang kotor.
Ken Arok pun mencoba untuk dapat tertawa. Tetapi suaranya terlampau sumbang dan bergetar.
Empu Gandring adalah seorang yang
bijaksana. Karena itu, maka segera ia menangkap ketidak wajaran pada
sikap Ken Arok. Tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan, betapa hatinya
talah dililit oleh berbagai macam pertanyaan.
“Marilah Ngger, silahkan masuk. Bukankah Angger tidak hanya akan berdiri di regol halaman saja?”
“Oh.“ Ken Arok tergagap, “terima kasih
Empu, terima kasih.“ Namun ketika ia melangkah semakin dekat dengan
pendapa, semakin dekat dengan lampu minyak, Ken Arok menyadari bahwa
sebenarnyalah tubuhnya terlampau kotor. Bahkan jari-jarinya telah
dilekati oleh noda-noda darah yang kering.
“Maaf, Empu.“ berkata Ken Arok tiba-tiba,
“aku lebih baik pergi ke perigi lebih dahulu. Aku akan mandi dan
membersihkan diri. Aku memang terlampau kotor oleh debu.”
“Ah.“ desah Empu Gandring, “aku pun
selalu dikotori oleh debu dan tanah becek apabila aku bekerja di sawah.
Marilah, beristirahatlah dahulu. Tidak baik mandi selagi peluhmu belum
kering.”
“Tidak Empu, aku lebih baik mandi saja dahulu, supaya aku dapat duduk tenteram dan tidak gelisah.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pertanyaan di dalam dadanya semakin tajam tergores di dinding
jantung. Tetapi sebagai seorang tua yang mapan akan kedudukannya, ia
berkata, “Baiklah Ngger. Kalau kau ingin mandi lebih dahulu.”
“Terima kasih Empu.”
Kemudian Empu Gandring memanggil seorang cantrik untuk mengantarkan Ken Arok ke pakiwan.
“Bawalah lampu, Ngger.“ berkata Empu Gandring.
“Terima kasih Empu.”
Ken Arok pun kemudian mandi di pakiwan di
belakang rumah Empu Gandring. Sebuah lampu minyak yang redup di
letakkannya di atas sebuah batu. Dalam keremangan cahayanya yang
kemerah-merahan Ken Arok melihat noda-noda yang melekat pada dirinya.
Karena itu, maka segera ia menimba air. Diguyurnya seluruh tubuhnya.
Tidak hanya satu dua timba air, tetapi sepuluh bahkan dua puluh. Namun
setiap kali ia merasa bahwa tubuhnya masih saja dilekati oleh kotoran
yang tidak dapat dibersihkannya.
“Noda ini seperti meresap ke dalam
kulit.“ ia menggeram sambil menggosok-gosokkan tangannya pada sebuah
batu. Tetapi setiap kali ia memandanginya pada cahaya lampu, seolah-olah
ia masih melihat noda darah itu melekat ditangannya.
“Setan.“ desisnya sambil menggosokkan
tangannya. Sekali legi ia melihat telapak tangan itu pada nyala lampu
pelita. Dan noda itu masih juga dilihatnya.
Sekali lagi Ken Arok menggosokkan
tangannya sambil menggeretakkan giginya. Kini semakin keras. Tetapi ia
bahkan terkejut ketika kemudian dilihatnya noda darah itu menjadi
semakin merah, bahkan kini seolah-olah mengalir.
Sebuah desir yang tajam tergores
dihatinya. Cepat-cepat digujurnya tangannya dengan air. Sesaat terasa
pedih menyengat tangannya.
Ken Arok mengumpat sejadi-jadinya.
Ternyata darah itu mengalir dari tangannya sendiri, karena ia terlampau
keras menggosokkan pada batu, sehingga kulitnya terkelupas.
“Untunglah, bahwa luka ini baru sedikit.“
gumamnya, “agaknya aku benar-benar telah menjadi gila.“ Namun kemudian
dihentakkannya tangannya di atas batu itu sambil menggeram, “Tidak. Aku
tidak gila.”
Ken Arok itu pun kemudian menyambar
pakaiannya. Ia tidak mempunyai pakaian lain kecuali yang dipakainya itu,
karena bungkusan yang dibawanya dari Tumapel ikut pula terbakar di
rumah Bango Samparan. Karena itu, ia harus memakai pakaiannya yang telah
kotor itu kembali.
Namun ternyata, meskipun ia telah
berusaha membersihkan dirinya, dengan mengguyur air sebanyak-banyaknya,
tetapi ia masih juga merasa dirinya masih dilumuri oleh debu yang bahkan
menjadi semakin tebal.
Dengan nanar ia mengamat-amati dirinya. Mengkibas-kibaskan tangannya yang pedih, meskipun sudah tidak mengalirkan darah lagi.
“Persetan.” tiba-tiba ia menggeram, “bersih atau tidak bersih, aku tidak peduli.”
Ken Arok itu pun kemudian menggeretakkan
giginya. Ia tidak mau dibayangi lagi oleh kecemasan dan kegelisahan
tentang dirinya. Karena itu, maka kemudian dicobanya untuk menengadahkan
dadanya sambil berjalan menuju ke pendapa.
Empu Gandring menunggunya dengan
teka-teki yang mengganggu pikiranya. Apa sajakah yang telah terjadi
dengan Ken Arok di sepanjang perjalanannya, sehingga ia menjadi gemetar,
gelisah dan bahkan seolah- olah kebingungan.
Ketika Empu Gandring melihat anak muda
itu melangkah mendekati pendapa, segera ia bangkit. Suaranya yang ramah
telah memecah kesepian, “Marilah Ngger.”
“Terima kasih Empu.” jawab Ken Arok. Tetapi langkahnya justru menjadi semakin lambat. Bahkan kemudian berhenti di bawah tangga.
“Marilah, kenapa Angger ragu-ragu.”
Ken Arok mencoba menekan perasaannya
sedalam-dalamnya. Didalam hatinya ia mencoba menenteramkan dirinya.
“Kenapa aku takut melihat wajah hantu tua itu?“ ia menggeram di dalam
hatinya, “seandainya ia tahu apa yang akan aku lakukanpun, aku tidak
akan mundur.”
Ken Arok terkejut ketika sekali lagi suara yang ramah itu terdengar, “Marilah, marilah Ngger.”
“Terima kasih Empu.“ jawab Ken Arok.
Dengan ragu-ragu ia melangkah naik ke
pendapa, sementara Empu Gandring menyongsongnya. “Silahkan duduk. Tetapi
lebih baik kita masuk ke pringgitan. Angin malam di Lulumbang
kadang-kadang membuat tubuh menjadi terlampau dingin.”
“Terima kasih Empu, aku lebih baik duduk
diluar, di pendapa saja.” jawab Ken Arok, “udara terlampau panas.
Apalagi di dalam pringgitan.”
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Sikap Ken Arok benar telah membuatnya bertanya-tanya di dalam hati.
Tetapi pertanyaan itu tidak diucapkannya. Namun sebagai seorang tua yang
bijaksana ia tidak memaksa Ken Arok untuk masuk ke pringgitan, sehingga
diterimanya anak muda itu diatas tikar pandan yang terbentang di sudut
pendapa, di bawah remang-remang pelita minyak yang kemerah-merahan.
“Sudah cukup lama aku menunggu
kedatanganmu Ngger, akhirnya kau telah memerlukan datang mengunjungi
aku.” berkata Empu Gandring, “kemana saja kau selama ini?”
“Aku tetap berada di Tumapel Empu. Setelah pekerjaanku di Padang Karautan selesai.”
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ditanyakannya keselamatan Ken Arok selama itu,
Mahisa Agni dan orang-orang lain di Padang Karautan.
“Baik Empu, semuanya baik.”
“Agni pernah juga datang kemari Ngger, setelah ia lepas dari tangan iblis itu.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi pembicaraan itu sebenarnya sama sekali tidak menarik baginya.
Karena itu, ia menanggapinya sepatah-sepatah saja. Yang ada di kepalanya
adalah sebuah pusaka yang tidak ada duanya di muka bumi ini.
Sekali lagi Empu Gandring dapat menangkap
ketidak wajaran pada anak muda itu. Selama ia mengenal Ken Arok, maka
sikap dan tanggapannya terhadap orang lain terlalu baik. Anak itu segera
menarik hati dan perhatian bagi mereka yang baru mengenalnya. Tetapi
agaknya Ken Arok itu kini telah berubah.
Meskipun demikian Empu Gandring mencoba
menyesuaikan dirinya dengan keadaan tamunya. Ia mencari kemungkinan yang
paling baik, untuk membuat tamunya merasa senang di rumahnya.
Sebentar kemudian beberapa orang cantrik
menghidangkan makanan dan makan malam. Nasi putih yang masih berasap,
daging ayam panggang dan sayur bening.
“Marilah Ngger. Bukankah Angger terlampau lama berada di perjalanan?”
Dengan kaku Ken Arok mengangguk, “Terima kasih Kiai.”
Sebenarnyalah Ken Arok memang sedang
lapar. Karena itu, maka suguhan Empu Gandring itu terasa terlampau enak
dan bahkan berlebih-lebihan. Namun demikian Ken Arok tidak dapat makan
sebanyak yang dilakukannya sehari-hari. Kepalanya selalu saja dipenuhi
oleh nafsunya untuk memiliki sebilah keris pusaka yang paling sakti.
Karena itu, tidak ada masalah lain yang dapat menarik perhatiannya.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tetap seorang tuan rumah yang mencoba berbuat sebaik-baiknya.
“Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.“ berkata Empu Gandring di
dalam hatinya, “sekian lama kami tidak bertemu. Tatapi sikapnya sama
sekali tidak mencerminkan hubungan kami yang begitu baik disaat-saat
yang lampau.”
Sementara itu Ken Arok menyuapi mulutnya
dengan kepala tunduk. Ia sedang mereka-mereka, apakah alasan yang akan
diberikannya untuk mendapatkan pusaka itu dari Empu Gandring.
“Bodoh sekali.” katanya di dalam hati,
“aku dapat mengatakan, bahwa pusaka itu dapat aku pergunakan sebagai
tanda mata dari padanya.” tetapi dibantahnya sendiri, “jika demikian,
kenapa harus yang paling sakti di dunia.”
Sikap Ken Arok itu benar-benar membuat
Empu Gandring kebingungan. Apakah yang sebaiknya dilakukan? Semua
pembicaraan agaknya tidak menarik dan apalagi menyenangkan hati tamunya.
Akhirnya sebagai seorang tua, Empu
Gandring tidak dapat menahan pertanyaannya lagi. “Apakah salahnya?“
katanya di dalam hati, “mungkin aku dapat membantunya.”
Karena itu, maka ketika mereka telah
selesai makan, dengan hati-hati Empu Gandring mencoba bertanya, “Angger
Ken Arok, sebelumnya aku minta maaf. Tetapi aku tidak dapat lagi menahan
keinginanku untuk mengetahui, apakah sebabnya angger Ken Arok tampak
begitu gelisah. Apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Maksudku,
mengganggu perasaanmu.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar
pertanyaan itu. Dengan serta merta ia menjawab lantang, “Aku tidak tahu
apakah yang kau tanyakan, Empu. Aku tidak apa-apa. Ken Arok yang
sekarang adalah Ken Arok yang dahulu, eh, maksud ku Ken Arok seorang
Pelayan Dalam Tumapel. Apakah anehnya?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Justru dengan demikian ia melihat ketidak wajaran pada anak muda itu
menjadi semakin jelas.
“Aku orang tua ngger. Mungkin aku dapat membantu Angger apabila angger mempunyai sebuah teka-teki yang sulit.”
“Oh, aku bukan seorang penganggur yang
malas, yang sempat berpikir tentang teka-teki. Aku tidak akan pernah
punya waktu. Karena itu aku harus berbuat cepat tidak terlampau banyak
pertimbangan-pertimbangan yang tidak akan berarti apapun.”
Jawaban itu membuat Empu Gandring menjadi
semakin bingung. Ditatapnya wajah Ken Arok yang bersungguh-sungguh.
Ketika terpandang olehnya kilatan mata Ken Arok, orang tua itu
terperanjat. Mata itu bukan mata Ken Arok beberapa saat yang lampau.
Tiba-tiba Empu Gandring teringat
saat-saat mereka berdua, Empu Sandring dan Ken Arok, harus berkelahi
melawan Kebo Sidet dan Wong Sarimpat. Tandang anak muda itu sama sekali
bukan sikap seorang Pelayan Dalam istana Tumapel. Dalam keadaan yang
sulit melawan kekasaran sikap lawannya, Ken Arok pun mampu
mengimbanginya dengan sikap yang kasar dan buas.
Sepercik kebimbangan telah melanda dada
Empu Gandring. Tiba-tiba timbullah pertanyaan di hatiaya. “Siapakah
sebenarnya anak muda ini?”
Meskipun demikian, Empu Gandring, masih
juga mencoba bertanya, “Aku kira Angger sedang dilanda oleh persoalan
anak-anak muda yang sudah dewasa ngger. Apakah begitu? Hal itu adalah
wajar sekali. Seandainya bukan masalah itu, dan seandainya bukan suatu
rahasia, aku ingin dapat membantu Angger memecahkan masalah yang agaknya
sedang mengganggu perasaan Angger itu.”
“Sudah aku katakan, tidak ada apa-apa
Empu. Tidak ada apa-apa.“ jawab Ken Arok cepat-cepat. Ia tidak mau
mendengar pertanyaan serupa itu lagi. Pertanyaan yang membuat dadanya
semakin berdebar-debar dan keringat dinginnya semakin banyak mengalir.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi niatnya untuk bertanya lebih lanjut ditundanya.
“Mungkin aku akan mendapat kesempatan yang lebih baik.“ katanya di dalam hati.
Namun sementara itu, Ken Arok pun agaknya
sudah tidak dapat menahan nafsunya lagi untuk segera memiliki sebuah
pusaka yang dahsyat. Meskipun ia belum tahu, apakah yang segera akan
dilakukan dengan pusaka itu, namun sebuah bayangan yang hitam telah
membersit di hatinya.
“Setiap orang yang menjadi penghalang,
akan aku singkirkan. Karena itu, aku harus mempunyai sebuah pusaka yang
sakti, yang dapat membinasakan orang-orang yang memiliki kelebihan dari
orang-orang biasa dengan tidak usah mengulangi dengan beberapa tusukan
lagi.“ geramnya di dalam hati.
Karena itu, maka ketika dadanya menjadi
kian pepat, ia tidak dapat menjimpannya lebih lama lagi. Sejenak ia
beringsut mendekat, kemudian dengan ter-bata-bata ia berkata, “Empu,
sebenarnyalah aku memerlukan bantuan Empu.”
Empu Gandring mengerutkan keningnya,
kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata, “Nah, begitulah Ngger. Aku adalah orang tua.
Meskipun aku tidak memiliki kepandaian apapun, namun barangkali aku
dapat menyumbang ceritera-ceritera tentang pengalamanku yang panjang.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya
meskipun ia sudah tidak mendengar kata-kata Empu Gandring itu, karena
begitu besar nafsunya untuk segera menyampaikan hasratnya.
“Ya, Ya Empu.“ katanya, “sebelumnya aku
mengucapkan terima kasih.“ Ken Arok berhenti sejenak menelam ludahnya.
Keringatnya telah benar-benar membasahi seluruh tubuhnya. “Aku
memerlukan sesuatu Empu.”
Empu Gandring tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah Ken Arok yang kemudian menunduk.
“Apakah yang kau perlukan itu?”
“Sebuah pusaka. Pusaka yang maha sakti.”
“He.“ Empu Gandrirtg terperanjat, “pusaka yang maha sakti? Sebilah keris maksudmu?”
“Ya Empu. Aku ingin mempunyai sebilah keris.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi dada-dadanya kian berdebar-debar. Berbagai pertanyan
dan pertimbangan mengambang di dadanya. Sedang sementara itu Ken Arok
merasa telah meledakkan bisulnya yang paling sakit. Ketika, keinginannya
itu sudah terucapkan, maka serasa dadanya menjadi lapang. Selapang
padang Karautan. Namun demikian ia tidak dapat menghindari cengkaman
kegelisahan, yang membuatnya cemas.
“Apakah Angger ingin memiliki sebilah keris?“ sekali lagi Empu Gandring bertanya, seolah-olah ia ingin meyakikan pendengarannya.
Ken Arok mengangguk kaku. “Ya Empu. Sebilah keris.”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Keinginan Ken Arok untuk memiliki sebuah keris dalam keadaan serupa itu,
membuat Empu Gandring menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga untuk
sesaat orang tua itu terdiam mematung.
Ken Arok pun tidak segera berkata sesuatu. bahkan kemudian kepalanya itu pun menunduk dalam-dalam.
Dengan demikian maka pendapat itu pun ditelan oleh kesepian. Lampu minyak yang redup bergetar disentuh angin malam yang dingin.
Karena Empu Gandring tidak berkata
sesuatu, maka Ken Arok yang gelisah itu pun menjadi semakin gelisah.
Rasa-rasnya Empu Gandring sedang melihat, apakah yang tergores di
dinding hatinya. Seakan-akan Empu Gandring sedang membuat pertimbangan,
apakah ia akan memberinya keris itu atau tidak.
Dalam kegelisahan itu tiba-tiba ia memecah kesepian dengan suara parau, “Bagaimana Empu? Aku memerlukan sebilah keris.”
“Oh.“ Empu Gandring seakan-akan tersadar dari mimpinya, “ya, ya. Kau memerlukan sebilah keris anak muda?”
“Ya Empu.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia bergumam seolah-olah kepada diri sendiri,
“Baiklah.Aku akan membuat keris itu untukmu.”
“He.“ Ken Arok terkejut, “Empu Gandring masih akan membuat keris itu?”
“Ya ngger. Aku akan membuat untukmu.”
“Ah.” desah Ken Arok, “kenapa Empu
membuat diri sendiri terlampau sulit? Aku tidak memerlukan keris yang
baru Empu. Aku minta keris yang sudah ada. Tetapi yang paling sakti di
dunia. Bukankah Empu memiliki selumbung keris yang sudah siap?”
Empu Gandring menjadi semakin heran
melihat sikap itu. Sebenarnya ia memang mempunyai keris yang cukup
banyak, cukup baik dan memenuhi keinginan Ken Arok. Tetapi justru karena
sikap Ken Arok itu, maka ia menjadi ragu-ragu. Empu Gandring telah
berjanji untuk memberikan kenang-kenangan kepada anak muda itu dahulu.
Bahkan sudah ada beberapa keris yang disediakan, seandainya Ken Arok
benar datang dan memerlukannya. Tetapi tidak dalam keadaan yang
demikian. Itulah sebabnya, maka Empu Gandring tidak memberikannya.
Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Pasti ada suatu yang tidak wajar
telah terjadi. Adalah berbahaya sekali kalau aku memberikan keris itu
sekarang. Biarlah aku menundanya untuk sesuatu waktu. Barangkali hatinya
dapat mengendap, sehingga aku yakin bahwa keris itu tidak akan
dipakainya untuk maksud-maksud yang kurang wajar.”
Karena Empu Gandring tidak segera
menjawab, maka Ken Arok itu pun mendesaknya pula, “Empu, bukankah Empu
pernah berjanji, apabila aku datang kemari, maka Empu akan memberi aku
sebuah kenang-kenangan.”
“Tentu ngger, aku akan memberi kau sebuah
kenang-kenangan.“ jawab Empu Gandring, “tetapi aku tidak pernah
berpikir, bahwa yang angger inginkan adalah keris yang paling sakti di
dunia.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tanpa
sesadarnya ia menyahut, “Jadi keris apakah yang Empu maksudkan? Sebuah
keris mainan atau sebuah pisau dapur yang diberi wrangka ukiran?”
Empu Gandring tidak segera menyahut.
Ditatapnya mata anak muda itu. Mata itu benar-benar lain dengan mata Ken
Arok yang pernah dikenalnya. Dan tiba-tiba saja orang tua itu bertanya,
“Untuk apakah sebenarnya keris yang paling sakti di dunia itu, ngger?”
Pertanyaan itu telah menghentak dada Ken
Arok. Karena itu, maka dengan tanpa terkendali lagi ia menjawab lantang,
“He, apakah Empu mengira bahwa aku akan berbuat jahat dengan keris itu?
Apakah Empu mengira bahwa aku akan membunuh seseorang? Omong kosong.
Tanpa keris yang betapapun saktinya, tanganku cukup kuat untuk
mematahkan leher siapapun juga. Buat apa aku memerlukan sebilah keris
yang paling sakti?”
“Tetapi dapatkah kau berbuat demikian
terhadap setiap orang? Dapatkah kau mematahkan leher orang-orang yang
katakanlah setingkat dengan Kebo Sindet?”
“Aku tidak memerlukan keris untuk membunuhnya. Aku mempunyai sebilah pedang.”
“Jadi untuk apa keris itu?”
“Hanya satu dua orang saja yang tidak terluka oleh senjata biasa.”
Dan Empu Gandring menyahut, “Terhadap orang-orang yang demikian itukah keris itu akan dipergunakan?”
Ken Arok terkejut. Empu Gandring
seolah-olah telah menuduhnya, bahwa ia akan mempergunakan keris itu
untuk membunuh. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata lantang, “Apakah
Empu menyangka aku akan berbuat jahat? Begitu?”
Empu Gandring tidak segera menjawab. Dan Ken Arok berkata selanjutnya, “Jadi apakah yang sebenarnya akan Empu berikan kepadaku?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
“Sebilah keris Ngger. Tetapi aku menyediakan untukmu sebilah keris
sebagai perhiasan. Bukan sebagai senjata. Aku yakin bahwa tanpa senjata
semacam itu, Angger akan dapat mengatasi segala kesulitan.”
“Oh. Aku bukan anak-anak yang hanya memerlukan barang mainan Empu. Aku memerlukan sebilah keris yang paling sakti.”
“Itulah yang belum ada padaku ngger.”
“Bohong Bohong.“ Ken Arok berteriak.
Namun tiba-tiba disadarinya dirinya, bahwa ia berhadapan dengan Empu
Gandring. Tidak lagi berhadapan dengan Bango Samparan. Ia berhadapan
dengan orang tua yang menyimpan ilmu tiada taranya di dalam dirinya.
Karena itu maka kemudian ditundukannya kepalanya sambil berkata,
“Maafkan aku Empu. Aku tidak berniat membuat Empu marah.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini semakin nyata baginya bahwa Ken Arok benar-benar sedang
diliputi oleh sebuah kegelapan hati. Justru kanena itulah maka ia
menjadi semakin hati-hati.
“Aku pun minta maaf Ngger. Senarnyalah bahwa aku belum mempunyai keris seperti yang kau maksudkan itu.”
Bagaimanapun juga, jawaban itu telah
sangat mengecewakan Ken Arok. Ia ingin malam itu juga mendapat sebilah
keris yang tidak ada duanya di dunia. Kemudian ia akan segera dapat
berbuat apa saja yang dikehendakinya.
Kalau saja ia tidak berhadapan dengan
Empu Gandring, maka ia akan mencari sendiri ke dalam rumah, Tetapi
terhadap Empu Gandring ia tidak dapat berbuat demikian. Ia tahu benar,
bahwa ia tidak akan dapat memaksa orang tua itu dengan cara apapun.
Dengan cara yang halus maupun dengan kasar. Bahkan apabila ia mencoba
memaksanya, maka harapannya untuk mendapat keris itu akan lenyap sama
sekali.
Sejenak Ken Arok mencoba membuat
pertimbangan yang sebaik-baiknya. Apakah yang harus dilakukannya. Dan
sejenak kemudian, maka ia tidak dapat memilih jalan lain kecuali
membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Empu, jadi apakah yang harus
aku lakukan supaya aku mendapatkan keris itu?”
“Aku dapat membuat keris yang kau inginkan itu Ngger.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Membuat keris memerlukan waktu yang tidak terlalu pendek.
“Berapa lama aku harus menunggu, Empu.”
Empu Gandring termenung sejenak. Waktu
itu harus cukup panjang, supaya hati Ken Arok cukup waktu untuk
mengendap. “Kalau anak itu mendapat kesempatan untuk menimbang-nimbang,
aku kira ia akan menyadari apa yang akan dilakukannya. Karena itu, aku
harus menundanya untuk waktu yang cukup lama.”
Ken Arok yang tidak sabar menunggu, mendesaknya, “Kapan aku dapat kembali mengambil keris itu Empu.”
Empu Gandring mengangguk-angguk sambil berkata lirih, “Ya, sebaiknya Angger kembali dalam waktu satu tahun.”
“Satu tahun.“ Ken Arok terperanjat.
Hampir saja ia kehilangan akal dan berbuat diluar sadarnya. Untunglah,
bahwa segera ia berhasil mengekang dirinya. Meskipun demikian ia tidak
dapat menghilangkan kesan ketidak sabarannya. “O, Empu, dalam waktu
setahun dunia sudah akan berganti wajah. Aku sudah bertambah tua dan
Tumapel pun telah menjadi semakin pikun pula.”
“Tetapi aku tidak dapat membuat lebih
cepat lagi Ngger. Dan bukankah waktu yang satu tahun itu tidak akan
berarti apapun buat umur kita, dan apalagi buat Tumapel.”
“Orang-orang yang hidupnya telah
berhenti sampai batas. Kini memang berpendirian demikian. Tetapi aku
masih muda Empu. Aku harus berbuat sesuatu. Aku harus membuat hari
depanku jauh lebih baik dari hari ini. Aku harus membuat Tumapel jauh
lebih besar dari Tumapel yang seolah-olah terah tidur dalam pelukan
Permaisuri yang cantik itu.”
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Sayang, aku sudah tua. Aku
benar-benar hampir pikun Ngger. Karena itu aku memerlukan waktu untuk
membuat sebilah keris yang baik yang teramat baik seperti yang kau
kehendaki.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis “Bagaimana kalau sebulan Empu.”
Empu Gandring menggelengkan kepalanya.
“Tidak mungkin Ngger. Tidak mungkin. Aku baru dapat menemukan bahannya
dalam waktu sebulan itu. Bahkan mungkin belum. Aku harus mendapatkan
baja yang paling baik untuk membuat keris yang paling baik pula.”
“Tetapi setelah bahan itu ada, maka tidak ada setengah hari Empu akan dapat menyelesaikannya.”
“Kalau aku membuat parang pembelah kayu,
memang Ngger. Aku dapat membuatnya hampir secepat aku makan. Tetapi
tidak demikian membuat sebilah keris.”
“Jadi berapa lama aku harus menunggu?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
“Baiklah ngger. Aku akan berusaha untuk dapat menjelesaikannya dalam
waktu sebelas bulan.”
“Ah, terlampau lama. Bagaimana kalau dua bulan?”
Empu Gandring menggeleng “Tidak mungkin. Cobalah lihat setelah sepuluh bulan.”
“Tiga bulan akan aku ambil keris itu.”
“Paling cepat Sembilan bulan. Itu pun aku belum pasti.“
“Empat bulan. Aku sudah kehilangan waktu
sekian lamanya buat menunggu keris itu. Hati ini akan menjadi hambar dan
aku akan kehilangan kesempatan dan gairah.”
“Maaf ngger. Itu tidak mungkin. Baiklah
aku akan mengesampingkan semua pekerjaanku. Dalapan bulan lagi angger
dapat mencoba menengoknya kemari.”
“O, aku dapat menjadi gila. Sepanjang
waktu itu aku akan disiksa oleh penderitaan batin yang tiada taranya.
Empu tolonglah aku. Bagaimanakah caranya, aku tidak mangerti.
Bagaimanakah yang dapat Empu lakukan, agar keris itu dapat lebih cepat
disiapkan.”
Sekali lagi Empu Gandring menarik nafas.
Betapapun juga, namun ia menaruh iba juga melihat Ken Arok yang
kebingungan itu. Karena itu maka jawabnya, “Aku akan mencoba untuk
menjelesaikannya lebih cepat ngger. Tetapi aku tidak dapat dikejar oleh
waktu. Membuat sebilah keris yang baik, jauh berbeda dengan membuat
keris yang tampaknya baik. Kalau yang Angger maksud keris yang mempunyai
kekuatan yang dapat diandalkan, maka aku memerlukan waktu. Aku tidak
dapat membuatnya dengan tergesa-gesa.”
“Meskipun demikian tetapi bukankah Empu dapat memberikan batas waktu.”
“Sudah aku katakan, datanglah dalam waktu kira-kira delapan atau tujuh bulan lagi.”
“Lima bulan. Aku memberi waktu lima bulan.”
“Kenapa kau memberi waktu lima bulan? Kau
tidak dapat memberi aku waktu. Akulah yang akan membuat keris itu.
Bukan kau ngger. Karena itu, akulah yang dapat mengira-ngirakan waktu
yang diperlukan.”
“Tidak.“ Ken Arok hampir kehilangan
kesabaran, “aku tidak mau menunggu lebih dari lima bulan. Lima bulan,
itu pun sebenarnya terlampau lama bagiku. Aku mengharap, bahwa sebelum
waktu yang ditentukan aku sudah dapat mengambil keris itu.”
Kening Empu Gandring menjadi semakin
berkerut merut. Ditatapnya wajah Ken Arok dengan seksama. Semakin lama
menjadi semakin jelas, bahwa memang ada sesuatu yang tidak wajar pada
anak muda itu.
“Bagaimana Empu.“ desak Ken Arok, “aku tidah mau menunggu lebih dari lima bulan.”
Empu Gandring merenung sejenak. Namun
kemudian ia berkata, “Kalau angger tidak dapat menunggu waktu yang telah
aku tetukan baiklah.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Maksud Empu.“ ia bartanya.
“Maksudku, apabila Angger terlampau tergesa-gesa maka aku persilahkan Angger berhubungan dengan orang lain.”
Sebuah desir yang tajam tergores di
dinding jantung Ken Arok. Setapak ia teringsut maju. Dengan wajah merah
membara ia berteriak, “Jadi Empu mau ingkar?”
“Apa yang aku ingkari?”
“Empu sendiri berjanji akan membuat keris itu untukku.”
“Ya, aku berjanji untuk waktu yang aku tentukan sendiri. Bukan oleh orang lain.”
“Aku bukan orang lain. Aku adalah orang yang berkepentingan dengan keris itu.”
“Aku yang akan memberimu. Terserah
kepadaku, kapan aku sedia. Sebulan atau setahun atau bahkan sepuluh
tahun lagi. Aku lagi sibuk dengan pesanan-pesanan keris yang terdahulu.
Aku masih harus menyiapkan lima puluh keris yang baik. Aku akan
mengerjakan yang lima puluh itu lebih dahulu, karena sebagian upahnya
telah aku terima.”
“O, itukah yang menjadi sebab? Baik, aku
akan membayar berapa saja Empu kehendaki. Aku dapat membayarnya dengan
sepuluh atau dua puluh lima butir berlian sebesar biji jagung. Atau apa
saja yang kau minta, asal keris itu cepat dapat aku ambil. Aku akan
menukarnya dengan segenggam permata, kalau dalam waktu satu bulan aku
dapat mengambilnya.”
Serasa sepercik bara api menyentuh
telinga Empu tua itu. Tetapi ia tetap menyadari dirinya. Sebagai seorang
tua yang menyimpan pengalaman yang terlampau banyak, maka ia pun cukup
bijaksana menanggapi keadaan.
“Angger Ken Arok.” berkata orang tua itu,
“aku adalah orang tua. Aku mempunyai pertimbangan yang cukup atas
segala keputusan yang aku ambil. Termasuk waktu yang aku perlukan untuk
menyiapkan keris itu. Kalau aku sekedar memerlukan segenggam permata,
apapun caranya, seperti cara yang nista seperti yang kau katakan, maka
aku akan segera menjadi kaya. Kalau kau bersedia memberi aku segenggam
permata untuk sebilah keris yang maha sakti, dan bahkan jarang ada
duanya, maka orang lain akan menukarnya dengan segerobag permata yang
paling baik. Bahkan orang yang lain lagi akan menyediakan apa yang
dimilikinya, seandainya ia mempunyai Tanah Tumapel ini, maka Tanah ini
pasti akan diberikannya. Nah, apakah kau sanggup bersaing dengan mereka.
Kalau mereka memesan seperti apa yang kau pesan ngger, maka aku akan
membuat bagi mereka itu lebih dahulu karena mereka memberi lebih banyak
dari yang angger sanggupkan.”
“O, Empu keliru.” sahut Ken Arok dengan
serta merta. “Aku sanggup memberi jauh lebih banyak lagi. Aku mempunyai
apa saja yang Empu inginkan. Seandainya Empu memerlukannya sekarang, aku
akan mengambilnya.”
Empu Gandring tidak segera menjawab.
Ditatapnya saja wajah anak muda itu. Ia menjadi semakin tidak mengerti,
dengan siapa ia berhadapan. Karena itu maka kemudian ia bertanya dengan
nada yang dalam namun penuh tekanan, “Angger Ken Arok, darimanakah
angger mendapat semua yang angger sanggupkan itu?”
Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan
hati Ken Arok. Sejenak ia terbungkam. Ia tiba-tiba saja telah terlempar
dalam suatu kesadaran tentang dirinya. Permata yang dikatakannya itu
sebenarnya sama sekali bukan haknya.
Tiba-tiba pula wajah Ken Arok itu pun
tertunduk dalam-dalam. Dengan nada yang berat ia berkata terpatah-patah,
“Maaf Empu. Maafkan aku. Sebenarnya aku sama sekali tidak mempunyai
apapun. Sudah tentu aku tidak akan dapat memberi apapun kepada Empu
seperti apa yang aku katakan itu. Agaknya aku telah terdorong oleh
keinginanku yang hampir tidak terkekang lagi untuk mememiliki sebilah
keris yang baik.”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak dipandanginya wajah Ken Arok yang tunduk itu. Semakin lama
semakin tunduk. Akhirnya pandangan mata Ken Arok tidak beranjak dari
ujung jari kakinya sendiri.
Sekali lagi Empu Gandring yang tua itu
telah disentuh oleh perasaan iba. Ia tidak tahu apakah yang sebenarnya
bergolak di dalam dada anak muda itu. Karena itu, maka ia pun tersudut
ke dalam suatu kesulitan untuk mengambil suatu sikap.
“Kasihan anak itu.” katanya di dalam
hati, “ia pasti sedang dibelit oleh goncangan perasaan. Tetapi aku tidak
akan membiarkannya hanyut semakin jauh. Kalau aku memberinya keris yang
sudah ada maka perasaan itu sama sekali tidak akan sempat mengendap.
Namun biarlah aku mencoba melihatnya setelah lima bulan mendatang.”
Karena itu maka Empu Gandring itu pun
kemudian menjawab, “Angger Ken Arok. Baiklah kita tidak mempersoalkan
waktu lagi. Coba saja angger datang kemari setelah lima bulan mendatang.
Meskipun aku belum dapat memastikan, apakah keris itu sudah jadi, namun
apakah salahnya angger berkunjung kemari lagi?”
Wajah Ken Arok menjadi semakin tunduk.
Kemudian dengan lemahnya ia menjawab, “Baiklah Empu Aku akan datang lima
bulan lagi. Memang tidak ada salahnya, seandainya keris itu belum siap,
aku berkunjung sekali lagi kerumah ini. Bukan sekali lagi, aku akan
selalu datang Empu. Tetapi permohonanku, mudah-mudahan dalam wakta lima
bulan keris itu benar-benar telah siap.”
“Aku tidak berjanji ngger, tetapi cobalah.”
“Terima kasih Empu.“ jawab Ken Arok, “aku yakin bahwa Empu akan selalu membantu aku.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi hatinya masih saja dibelit oleh berbagai macam
pertanyaan tentang anak muda yang kini duduk tepekur dihadapannya.
Kadang-kadang ia merasa iba, namun kadang-kadang ia merasa cemas dan
kawatir.
Empu Gandring yang tua itu menjadi
terkejut bukan buatan ketika ia mendengar Ken Arok tiba-tiba berkata,
“Empu. Sekarang aku minta diri.”
Empu Gandring serasa tidak percaya kepada pendengarannya sehingga sejenak ia termenung diam memandangi wajah Ken Arok.
Ken Arok pun menjadi gelisah melibat
pandangan mata Empu Gandring yang keheranan itu. Sehingga tanpa
sesadarnya ia berkata, “Aku minta diri Empu.”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia pun berdesah. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia
berkata, “Aku tidak mengerti.”
“Apa yang tidak Empu mengerti?” bertanya Ken Arok.
“Kau membingungkan aku ngger.“ jawab Empu Gandring.
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Kenapa
Empu?“ Ken Aroklah yang kemudian bertanya, meskipun di dalam hatinya
sendiri ia bergumam, “Aku pun menjadi bingung tentang diriku sendiri.”
“Angger Ken Arok.“ berkata Empu Gandring
perlahan-lahan, “kedatanganmu kali ini telah menimbulkan teka-teki
bagiku. Kau datang dengan sikap yang lain dari sikapmu yang pernah aku
kenal. Kau kemudian menyatakan kinginanmu untuk mempunyai sebilah keris
sebagai senjata yang paling baik dan jarang ada duanya. Begitu
tergesa-gesa sehingga kau tidak sabar menunggu keris itu lebih dari lima
bulan. Sekarang, seperti orang bermimpi kau minta diri.” orang tua itu
berhenti sebentar memandang wajah Ken Arok yang tunduk, “Aku benar-benar
tidak mengerti.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.
“Aku mengharap kau bermalam di rumah ini ngger. Bahkan aku menyangka bahwa kau akan tinggal di sini dua atau tiga hari.”
“Sayang Empu.“ jawab Ken Arok dengan
suara bergetar, “aku harus segera kembali ke Tumapel. Aku tidak
mempunyai waktu lagi. Aku harus segera berada di dalam tugasku.”
“Tetapi kehadiranmu disini benar-benar seperti sebuah mimpi saja. Atau aku memang sedang bermimpi?”
“Tidak Empu. Empu tidak bermimpi. Aku benar-benar datang dan memerlukan keris itu.”
Empu Gandring mengangguk-angguk. Katanya,
“Ya. Kalau aku bermimpi maka aku tidak akan membuat apapun juga. Aku
tidak akan membuat keris yang akan kau lihat setelah lima bulan lagi.”
“Dan aku sangat memerlukannya Empu.”
“Itulah yang membuat aku ragu-ragu.“ desis Empu Gandring.
Ken Arok terkejut mendengarnya meskipun
Empu Gandring seolah-olah mengucapkannya dengan acuh tidak acuh. Anak
muda itu mencoba melihat kesan apakah yang tersirat dari kata-kata Empu
tua itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Selain tangkapan menurut
perasaannya sendiri yang sedang diliputi oleh suatu rahasia. Kecurigaan.
“Empu Gandring telah mencurigai aku.“
desisnya di dalam hati. Namun kemudian, “Persetan. Aku tidak boleh
terpengaruh oleh sikap orang tua yang keras kepala ini.”
Satelah sejenak mereka berdiam diri, maka sekali lagi Ken Arok berkata, “Aku terpaksa minta diri Empu.”
“Aneh sekali.“ desis Empu Gandring.
Ken Arok mengumpat di dalam hatinya.
Tetapi dipaksanya bibirnya tersenyum dan berkata, “Maaf Empu. Waktuku
sangat terbatas. Aku adalah seorang hamba istana. Aku harus tunduk
kepada setiap peraturan yang ada.”
“Apakah kau hanya mendapat waktu sehari ini?”
“Empat hari Empu. Aku harus memperhitungkan waktu di perjalanan, setelah aku kehilangan satu malam di rumah seorang kawan.”
Betapa lancarnya Ken Arok mengucapkan
kata-kata itu, tetapi Empu Gandring menjadi sulit untuk mempercayainya.
Kelainan sikap Ken Arok telah membuat pandangan orang tua itu
terhadapnya menjadi berubah pula. Tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat
memaksa Ken Arok untuk tinggal lebih lama lagi dirumahnya. Sehingga
kemudian orang tua itu pun berkata, “Baiklah ngger. Apabila aku sudah
tidak dapat mencegahnya lagi. Hati-hatilah di jalan. Dimalam hari
kadang-kadang kita dapat bertemu dengan bahaya. Mungkin bukan bahaya
lahiriah yang akan mencelakai kita, tetapi justru sebaliknya.
Kadang-kadang kita bertemu dengan suatu keadaan yang tidak
disangka-sangka sehingga kita harus berbuat sesuatu yang tidak kita
kehendaki. Bahaya yang demikian itulah yang akibatnya akan lebih besar
bagi kita dari pada bahaya yang pada umumnya ditakuti oleh orang-orang
lain.”
Sebuah desir yang tajam tergores di dada
Ken Arok, sehingga sekali lagi ia mengumpat, “Orang tua ini terlampau
banyak bicara.” Namun Ken Arok itu menundukkan kepalanya sambil berkata,
“Terima kasih Empu. Aku akan berhati-hati.”
Empu Gandring itu pun kemudian melepas
tamunya dengan berbagai macam pertanyaan tergores di dinding jantungnya.
Diantarkannya Ken Arok sampai ke regol halaman. Kemudian anak muda itu
melangkah masuk ke dalam gelapnya malam. Sinar lampu minyak yang redup
bergetar disentuh angin malam ketika Ken Arok berpaling di dekat
tikungan. Di bawah cahaya yang kemerah-merahan Ken Arok melihat wajah
Empu Gandring yang dijaluri oleh kerut ketuaannya.
Terasa sesuatu bergetar di dada anak muda
itu. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah
sebenarnya yang telah aku lakukan ini?”
Tiba-tiba ia berdesis perlahan, “Aku
telah benar-benar menjadi gila. Aku telah kehilangan kemampuan untuk
mengamati tingkah lakuku sendiri.”
Ken Arok berhenti sejenak. Ia masih
melihat Empu Gandring berdiri di regol halamannya di bawah lampu minyak
yang redup. Secercah tumbuh penyesalan di dalam dirinya.
Seolah-olah ia telah didorong untuk melangkah kembali kepada orang tua itu.
Tetapi Ken Arok itu menghentakkan
kakinya. Ia tidak mau menyerah. Ia sudah mulai memilih jalan, bahkan
telah mulai melangkahkan kakinya, masuk ke dalam jalur jalan itu. Jalan
yang akan dilaluinya. Dan ia tidak akan berputar kembali.
“Persetan dengan orang tua itu.“ katanya di dalam hati, “lima bulan lagi aku harus mendapatkan keris itu.”
Ken Arok pun kemudian menggeretakkan
giginya Seolah-olah ia mencari sandaran kekuatan untuk meneruskan
langkahnya. Dengan tangan mengepal ia melangkah cepat-cepat meninggalkan
tempat itu tanpa berpaling lagi.
Ketika Ken Arok hilang ditikungan, Empu
Gandring menutup pintu regolnya dan berjalan sambil menundukkan
kepalanya melintasi halaman rumahnya yang gelap. Hanya sinar yang redup
tergapai-gapai mengusap dedaunan yang hijau kehitaman.
“Aneh.” berkali-kali orang tu itu
berdesis. “Lima bulan lagi ia akan datang.” Empu Gandring kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku akan menyiapkan sebilah keris yang
baik. Tetapi lima bulan lagi aku akan meyakinkan diri, apakah Ken Arok
telah menemukan kesadarannya atau justru menjadi semakin parah.”
Dalam pada itu Ken Arok berjalan semakin
lama semakin cepat menembus gelapnya malam. Tetapi ia sendiri tidak
tahu, kemana ia akan pergi. Sebenarnya tidak ada suatu keharusan baginya
untuk segera kembali ke Tumapel. Ia masih mempunyai waktu beberapa hari
lagi. Sebenarnya ia dapat tinggal sehari atau dua hari di rumah Empu
Gandring. Tetapi rasa-rasanya tikar tempatnya duduk itu terlampau panas,
sehingga ia tidak betah lagi tinggal lebih lama. Bukan saja pendapa
Empu Gandring terasa terlampau panas, tetapi setiap kata yang diucapkan
Empu Gandring, serasa ujung duri yang menyentuh jantungnya.
Karena itu, maka ia harus segera pergi. Pergi dari rumah itu. Entah, kemana saja ia akan pergi.
Ken Arok berjalan terus menyusur jalan
padukuhan Lulumbang. Kemudian ditinggalkannya pedukuhan itu, dan
dilaluinya sebuah bulak yang panjang. Bulak yang sepi, apa lagi di malam
hari. Disisi jalan sebelah menyebelah, batang-batang padi sedang
menghijau. Seolah-olah sebuah permadani sedang dibentangkan dari ujung
cakrawala sampai ke ujung yang lain. Dari kaki langit sampai ke kaki
langit. Hijau kehitaman, dihiasi dengan gemerlipnya kunang-kunang yang
tidak dapat dihitung dengan bilangan, seperti bintang yang bergayutan di
langit.
Ken Arok yang sedang berjalan itu
berjalan terus. Secepat-cepatnya ia ingin menjauhi Lulumbang.
Rasa-rasanya Empu Gandring selalu mengikutinya sambil bertanya, “Angger
Ken Arok, untuk apakah sebenarnya keris itu? Untuk apa?”
“Itu urusanku.” Ken Arok menggeram sambil menghentakkan kakinya.
Tetapi pertanyaan itu terus mengikutinya. “Untuk apa? Untuk apa? Kenapa kau minta keris yang tidak ada duanya di muka bumi?”
“Itu urusanku.“ sekali lagi ia menggeram semakin keras.
“Tetapi akulah yang akan membuat keris
itu. Aku harus tahu dengan pasti, untuk apa keris itu akan
dipergunakan.“ suara itu mengejarnya.
“Jangan bertanya lagi. Jangan bertanya lagi.” Tetapi seolah-olah suara itu menjadi semakin keras pula.
“Kalau kau tidak berkata berterus terang, aku tidak akan membuat keris itu.”
Jantung Ken Arok menjadi semakin cepat
berdentangan di dalam dadanya. Semakin lama semakin cepat. Sehingga
akhirnya ia menggeram dengan sepenuh perasaannya. “Aku akan
mempergunakannya. Aku akan membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan
memperisteri Ken Dedes. Perempuan yang paling cantik di seluruh Tumapel
dan bahkan perempuan yang menyimpan derajat tertinggi bagi suaminya.
Akulah orang yang melihat cahaya itu. Akulah yang akan menjadi suaminya
dan memegang derajat tertinggi. Seperti mimpi Bango Samparan. Aku akan
menjadi Maharaja Kediri.”
Suara itu seperti guntur yang menggelegar
di dalam diri Ken Arok. Seolah-olah yang tertimbun di dadanya, kini
telah meledak. Meledak, sedahsyat ledakan Gunung Berapi yang tersumbat
kepundannya.
Namun ternyata suara itu telah
menghentakkan perasaan Ken Arok. Sejenak ia tertegun ditempatnya.
Kemudian terasa dadanya menjadi pepat.
Ken Arok benar-benar telah menjadi hampir
gila. Direbahkannya dirinya di pinggir jalan, di atas rerumputan sambil
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan suara gemetar
ia berkata kepada dirinya sendiri, “Tidak. Tidak mungkin. Aku bukan
pengkhianat.“ Kemudian seperti orang yang sedang merintih terdengar
suaranya, “Maafkan hamba Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Maafkan hamba
Tuan Puteri. Hamba telah menjadi gila dan tidak mengerti apa yang hamba
perbuat.”
Ken Arok tidak tahu berapa lama ia duduk
di tempatnya. Bahkan kemudian, tanpa sesadarnya ia berbaring sambil
menekankan kedua tangannya di dadanya. Sehingga tanpa diketahuinya, maka
ia pun terlena dalam belitan mimpi. Mimpi yang mengerikan, seolah-olah
ia sedang membongkar sebuah gunung yang sedang terbakar.
Ken Arok terbangun karena ia dikejutkan oleh suara ledakan gunung yang sedang terbakar itu.
Ketika Ken Arok membuka matanya, maka
dilihatnya langit masih hitam. Namun seleret cahaya merah telah
membayang di kaki langit. Dengan mengusap matanya ia bangkit berdiri.
Sama sekali tidak ada suara apapun. Sama sekali tidak ada gunung yang
meledak dan sama sekali tidak ada apapun juga selain angin malam yang
gemerisik disela-sela batang-batang padi.
“Aku telah tertidur.“ desisnya. Namun ia masih ingat dengan jelas, gangguan-gangguan yang mencengkam perasaannya.
Tertatih-tatih Ken Arok kemudian meneruskan langkahnya tanpa tujuan dengan beban yang terlampau berat di hati.
Dicobanya untuk melupakan apa yang telah
membuatnya gila dengan memandangi batang-batang padi yang hijau. “Di
sini agaknya air tidak terlampau sulit didapat.“ desisnya.
Namun setiap persoalan yang bergetar di
dadanya, selalu bergeser masuk ke dalam lingkaran angan-angannya yang
gila itu. Padi yang subur itu pun telah menggerakkan hatinya untuk
mengumpat, “Ini adalah bukti ketidak mampuan Akuwu Tunggul Ametung.”
Wajah Ken Arok menjadi tegang kembali. Ia
sudah lupa akan dirinya kembali. Penjesalan yang seakan-akan telah
menyentuh perasannya itu, bagaikan selembar awan yang hanjut oleh angin
yang kencang. Pecah berhamburan dan hilang ditelan langit.
Yang ada di dalam dirinya kini adalah cita-citanya yang gila itu, yang dipacu oleh nafsu yang tidak terkendali lagi.
“Akuwu Tunggul Ametung memang tidak mampu
memerintah Tanah Tumapel. Selamanya tanah ini tidak akan maju.“ Ken
Arok itu pun menggeram. “Disini aku melihat sawah yang hijau, tetapi
kemarin aku melihat tanah yang kering kerontang. Sekering padepokan
Panawijen. Tetapi untuk Panawijen, Akuwu telah bersusah payah
mengirimkan sepasukan prajurit, untuk membantu Mahisa Agni membuat
bendungan. Namun ternyata semua itu bukan karena kecintaannya kepada
rakyatnya, tetapi semua itu di dorong oleh kepentingan dirinya sendiri.
Karena Ken Dedes berasal dari Panawijen itulah, maka Akuwu telah
bersusah payah membuat bendungan itu, supaya Permaisurinya tidak selalu
merengek-rengek. Persoalan Mahisa Agni pun sama sekali bukan usaha Akuwu
untuk melindungi rakyatnya, tetapi justru karena Mahisa Agni itu adalah
kakak Ken Dedes.”
Ken Arok itu menggeram tidak
henti-hentinya. Dicarinya alasan sebanyak-banyaknya supaya ia dapat
meyakinkan dirinya yang seolah-olah sedang mencari-cari di dalam
kegelapan. Supaya dirinya dapat menemukan alas yang kuat, apalagi
apabila dapat diyakinkannya bahwa apa yang dilakukan itu adalah benar.
Tanpa disadarinya, maka matahari pun
kemudian menjenguk dari punggung bukit. Cahayanya yang kemerah-merahan
mulai terlempar merata di atas batang-batang padi yang hijau.
Ketika Ken Arok memandang ujung kainnya,
barulah ia sadar, bahwa pakaiannya itu telah terlampau kotor dan kusut.
Tetapi ia sama sekali tidak mempunyai pakaian yang lain untuk
menggantinya.
“Aku akan kembali ke Tumapel.“ desisnya,
“aku harus mempersiapkan diri. Tak ada pilihan lain. Semuanya harus
berjalan sebaik-baiknya. Aku sudah memutuskan.”
Maka tiba-tiba langkah Ken Arok itu pun menjadi mantap. Kini ia berjalan dengan pasti. Kembali ke Tumapel.
“Usaha yang besar ini memerlukan
persiapan. Aku harus tahu benar, apakah aku mempunyai harapan.
Seandainya Akuwu Tunggul Ametung terbunuh, apakah aku dapat mengharapkan
Ken Dedes untuk membantuku?”
Sekali-kali masih tersisip keragu-raguan
di dalam hatinya. Kadang-kadang ia masih merasa, bahwa apa yang
dilakukan itu adalah suatu pengkhianatan. Tetapi sambil menggeretakkan
giginya ia berkata, “Demi Tanah Tumapel.”
Perjalanan Ken Arok kemudian sama sekali
tidak menarik lagi baginya, meskipun ia sendiri sangat menarik perhatian
orang-orang yang bertemu di jalan. Rambut dan pakaiannya yang kusut,
wajah yang suram dan mata yang kuyu. Sebuah pedang tergantung di
lambungnya.
Tetapi Ken Arok tidak mempedulikan sama
sekali. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Tak ada niatnya untuk
berhenti sama sekali meskipun matahari serasa membakar punggung. Bahkan
ketika matahari itu kemudian terbenam di ujung Barat, Ken Arok masih
juga berjalan terus.
“Aku harus masuk Tumapel di waktu gelap.” berkata Ken Arok di dalam hatinya.
Justru ketika ia menemukan kemantapan
akan sikapnya di dalam perjalanan itu, maka perlahan-lahan ia berhasil
mengatur perasaannya. Semuanya itu sudah benar-benar mantap baginya.
Dengan sekuat tenaga ia mengusir setiap pcrcikan keragu-raguan,
betapapun kecilnya.
Maka setelah di dalam dirinya tidak ada
persoalan lagi, persoalan antara warna-warna di dalam dirinya sendiri,
Ken Arok menjadi semakin tenang.
Perlahan-lahan pikirannya mulai bekerja
di dalam kehitamannya. Dan dengan demikian, maka ia mulai dapat menilai
dirinya sendiri dengan seluruh kedaannya.
“Pakaianku terlampau kusut.” katanya
kemudian, “karena itu, tidak boleh seorang pun yang melihat keadaan ini.
Aku harus sampai di barak sebelum pagi.”
Ken Arok itu pun segera mempercepat langkahnya, supaya ia dapat sampai seperti rencananya.
Ternyata kekerasan hati Ken Arok itu
benar-benar dapat membantunya. Langkahnya menjadi semakin cepat seperti
tidak lagi menginjak tanah meskipun ia tidak berlari. Dipilihnya
jalan-jalan yang memintas, bahkan pematang-pematang sawah dan
lorong-lorong sempit di tengah-tengah hutan-hutan yang rindang. Anak
muda itu sama sekali tidak mengenal cemas. Apapun yang akan merintangi
jalannya, harus disingkirkan.
Demikianlah, maka ketika Ken Arok itu
mulai menginjakkan kakinya di kota Tumapel menjelang fajar, hatinya
menjadi berdebar-debar. Sejenak ia berdiri tegak memandangi kota yang
masih tidur dengan nyenyaknya itu.
Sebelum ia melangkah memasukinya, maka
diaturnya perasaannya sebaik-baiknya. Dan secercah keragu-raguannya yang
terakhir telah ditindasnya sama sekali.
Dengan demikian, maka kini ia harus
menempatkan dirinya dalam jalur jalannya. Ia tidak boleh berlaku bodoh,
dan tidak boleh berbuat seperti orang yang gila dicengkam oleh
keragu-raguan. Ia harus mantap.
Demikianlah Ken Arok memasuki Tumapel
dengan sebuah senyum di bibirnya. Dibenahinya pakaiannya yang melekat di
tubuhnya supaya tidak terlampau menarik perhatian, terutama para
penjaga di baraknya nanti. Sambil mengangguk-anggukkan kepala ia berkata
kepada diri sendiri. “Tidak boleh seorang pun menaruh curiga kepadaku.
Aku tidak boleh berubah. Ken Arok yang sekarang harus tetap bersikap
seperti Ken Arok pada saat ia meninggalkan Tumapel beberapa hari yang
lampau.”
Ken Arok pun kemudian melangkah dengan
pasti. Wajahnya sudah tidak dibayangi oleh kemurungan dan kebimbangan.
Seperti pada saat ia pergi, ia pun datang kembali di antara
kawan-kawannya, Pelayan Dalam, para pengawal istana, para prajurit dan
hamba-hamba istana yang lain. Ia tertawa ketika seorang penjaga di regol
baraknya bertanya dengan heran, “He, Kakang Ken Arok, kenapa pakaianmu
demikian kotor dan kusut?”
“Pakaianku hanyut ketika aku menyeberang sungai yang sedang banjir. Aku tidak mempunyai ganti pakaian lagi.”
Penjaga itu tidak menaruh curiga apapun.
Dan ia tidak bertanya lagi, meskipun ia tidak mengerti kenapa Ken Arok
datang pada pagi-pagi buta setelah beberapa hari ia pergi.
Seorang prajurit yang tinggal bersamanya
dalam barak itu juga, yang kebetulan keluar dari biliknya untuk pergi ke
belakang, bertanya, “He, Ken Arok. Kau datang di pagi-pagi begini?”
“Aku memang sengaja memasuki kota di pagi
hari.“ jawab Ken Arok, “aku malu dilihat orang karena pakaianku yang
kotor dan kumal ini?”
“Kenapa begitu?”
“Seluruh pakaianku yang aku bawa ketika aku berangkat hanyut ketika aku menyeberang sungai yang banjir.”
Tetapi prajurit itu mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa lubang dipakaian itu. Bekas jilatan api.
“Tetapi darimana kau dapatkan api ini?”
Pertanyaan itu membuat Ken Arok berdesir. Diamat-amatinya pakaiannya yang memang tersentuh api meskipun hanya sedikit.
Tetapi segera ia mendapat jawaban, “Aku
tidur ditepi perapian di sebuah hutan kecil. Entahlah, apa sebabnya aku
tidak mengerti, ketika aku tertidur agaknya kainku tersentuh bara.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia langsung masuk ke dalam
biliknya dan kembali meletakkan dirinya di pembaringannya.
Ken Arok pun segera menyelinap pula ke
dalam biliknya yang telah beberapa lama ditinggalkannya. Langsung
diambilnya beberapa potong pakaian dari dalam geledeg bambu. Dengan
tergesa-gesa ia pergi keperigi, dan dengan segarnya ia menyiram tubuhnya
dengan air yang dingin.
“Alangkah segarnya air dari Tumapel.
Dengan beberapa guyuran, aku telah merasa bersih.” katanya di dalam
hati, “berbeda dengan air dari Lulumbang. Agaknya air di Lulumbang
tercampur dengan lempung.”
Sejenak kemudian Ken Arok pun telah
berpakaian. Pakaiannya yang kotor itu pun kemudian dilemparnya
ketimbunan sampah di kebun belakang baraknya. la tidak mau diganggu lagi
oleh bermacam-macam ingatan. Ia sudah memutuskan di dalam hatinya,
bahwa ia akan berjalan terus menuju ketempat yang setinggi-tingginya.
Ketika dipagi hari, kawan-kawannya bangun dari tidur, mereka terkejut ketika mereka melihat Ken Arok telah ada di antara mereka.
Dengan lancar Ken Arok berceritera
tentang perjalanannya. Tentang desa-desa yang dikunjunginya. Bahwa ia
menyeberangi sungai yang sedang banjir, kemudian pakaiannya hanyut tanpa
dapat diselamatkannya sama sekali. Adalah malang sekali baginya, karena
ketika ia membuat api untuk mengurangi dinginnya malam setelah ia
berendam dalam banjir, pakaiannya menyentuh api pula.
Seperti kawan-kawannya yang terdahulu,
tidak seorang pun yang menaruh curiga. Mereka mendengar dengan penuh
minat. Setelah selesai berceritera, maka mulai kawan-kawannya
mengganggunya.
“Kenapa bukan rambutmu saja yang terbakar, he?” teriak salah seorang dari kawan-kawannya.
Ken Arok tertawa, “Bahkan jari-jarikulah yang terbakar.”
Yang lain pun tertawa. Tetapi tidak
seorang pun yang membayangkan apakah yang sebenarnya telah terjadi
dengan anak muda itu. Bahkan tidak seorang pun yang dapat melihat
kepusat jantungnya, bahwa warna yang membayang di dalam dada itu, sama
sekali sudah jauh berbeda. Bahkan sudah menjadi bertolak belakang.
Tumapel kini bagi Ken Arok tidak ubahnya dengan Padang Karautan
dimasa-masa lampau. Tempat ia memburu mangsanya tanpa belas kasihan.
Tetapi Ken Arok kini telah bertambah masak. Ken Arok kini telah
menyimpan pengalaman jauh lebih banyak dan beraneka ragam. Ia kini sudah
dapat mengerti watak dan tabiat orang-orang yang hidup dilingkaran
istana, tetapi ia juga mengerti, apakah yang ada diseputar Padang
Karautan. Ia juga pernah melihat kehidupan di desa-desa, di sudut-sudut
daerah Tumapel. Tanah yang subur, tetapi juga tanah yang kering.
Ken Arok yang masih juga tersenyum-senyum
itu ternyata telah berubah sama sekali. Yang masih sama adalah bentuk
lahiriahnya saja, justru karena Ken Arok telah matang dengan rencananya.
Ia memang membuat dirinya tidak berubah. Dengan penuh kesadaran kini ia
memaksa bibirnya tersenyum-senyum, wajahnya berseri dan sikapnya yang
ramah.
Dengan demikian Ken Arok menjadi semakin
banyak mendapat tempat di hati para prajurit, para pengawal dan Pelayan
Dalam. Dimana-mana ia mendapat sambutan yang ramah dan menyenangkan
tanpa prasangka apapun juga.
Demikianlah Ken Arok dihari-hari
mendatang. Ketika saat istirahatnya telah habis, maka mulailah ia
bekerja dengan tekun dan rajin. Dengan rendah hati ia melakukan segala
macam tugasnya dengan baik. Kadang-kadang seolah-olah tidak disengaja,
ia menunjukkan beberapa kelebihannya dari prajurit-prajurit yang lain.
Sehingga Ken Arok menjadi semakin banyak dikenal oleh semua golongan di
istana Tumapel.
Juga oleh Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Ken Dedes.
Suasana yang demikian agaknya telah
memberikan banyak sekali bantuan kepada Ken Arok. Satu-satu ia menyusun
langkah yang harus diambil. Satu-satu ia mulai memilih korban yang akan
dijatuhkannya, bahkan yang akan dipakainya alas tempat berpijak.
Dengan tekun Ken Arok mengamati keadaan. Apakah yang dapat dilakukannya sebagai persiapan untuk menjalankan maksudnya.
Yang menjadi pilihannya adalah seorang
prajurit yang memiliki sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan. Dengan
perhitungan yang masak Ken Arok harus dapat memakainya sebagai perisai
yang baik.
Itulah sebabnya, maka selanjutnya
pergaulan Ken Arok dengan Kebo Ijo menjadi sangat baik. Mereka berdua
selalu tampak bersama-sama didalam waktu-waktu senggang mereka. Meskipun
kadang-kadang beberapa orang heran melihat tabiat mereka satu demi
satu. Ken Arok adalah seorang anak muda yang ramah, rendah hati dan
sopan, sedangkan Kebo Ijo adalah seorang yang angkuh, sombong dan
pembual.
Namun tidak banyak orang yang mempersoalkannya. Mereka menganggap bahwa hal itu adalah persoalan mereka berdua.
Dengan licin, Ken Arok pun berusaha untuk
menjajagi hati Ken Dedes. Ia harus mematangkan waktu yang lima bulan
itu. Apabila pada saatnya keris itu sudah siap, maka rencananya harus
berjalan sebaik-baiknya.
Hati Ken Arok menjadi berdebar-debar
ketika pada suatu kali, ketika ia sedang bertugas di dalam istana, ia
melihat Akuwu Tunggul Ametung sedang berkemas. Tanpa sesadarnya ia
berdiri saja memandang dari kejauhan, bagaimana Akuwu sedang menimang
busurnya sambil tersenyum-senyum.
Namun tiba-tiba Ken Arok itu terkejut ketika ia mendengar Akuwu membentaknya, “He, Ken Arok apa kerjamu di situ?”
Dengan serta merta Ken Arok menjatuhkan
dirinya, duduk bersimpuh. Kepalanya menunduk dalam-dalam sambil berkata
lirih, “Ampun Tuanku. Hamba sedang bertugas hari ini.”
“Tetapi kenapa kau berdiri di situ, he?”
“Ammpun Tuanku. Hamba tidak sadar sama
sekali. Hamba sedang memperhatikan betapa baiknya busur yang sedang
Tuanku timang, sehingga hamba lupa suba sita.”
“Apakah busurku ini baik?” bertanya Akuwu itu kemudian.
“Sesungguhnya busur Tuanku teramat baik.”
“Kemarilah.” Akuwu itu
memanggilnya. Dengan berjongkok Ken Arok maju, naik tangga keruang
tengah. Kemudian ia duduk bersila sambil membungkukkan kepalanya
dalam-dalam.
“Mendekatlah.” panggil Akuwu.
Ken Arok bergeser maju, Ia kini duduk di belakang Witantra.
“Lihat, apakah busurku ini cukup baik?”
“Hamba Tuanku, busur itu amat baik.” sabut Ken Arok.
“Bohong.” tiba-tiba Akuwu itu berteriak sehingga Ken Arok terperanjat, bahkan Witantra pun terkejut pula.
“Kau bohong ya. Kau menundukkan kepalamu. Dari mana kau tahu bahwa busurku ini baik.”
Ken Arok tergagap sejenak, namun
kemudian ia menjawab, “Hamba sudah melihatnya tadi Tuanku, justru hamba
terpaku sehingga hamba tetap saja berdiri membatu.”
Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Sekarang kau mendapat kesempatan untuk melihat dari dekat.”
Ken Arok mengangkat wajahnya.
Dipandanginya busur Akuwu Tunggul Ametung yang dibuat dari kayu berlian,
digosok dengan angkup nangka sehingga menjadi mengkilap. Di beberapa
bagian, membelit benang-benang berwarna merah dan hijau, membuat
garis-garis melingkar yang manis sekali.
“Bukan main.“ Ken Arok bergumam.
“Nah, peganglah. Bagaimana menurut pertimbanganmu, apakah busur itu terlampau berat, apakah terlampau ringan?”
Ken Arok ragu-ragu sejenak. Namun kemudian diterimanya busur itu dari tangan Akuwu Tunggul Ametung.
“Bukan main.“ desis Ken Arok, “hamba belum pernah melihat busur yang demikian bagusnya.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak terlampau berat dan tidak terlampau ringan. Rentangan talinya cukup keras dan tidak terlampau berat tarikannya.”
“Ternyata kau mengerti juga tentang busur dan agaknya juga tentang anak panah. Apakah kau pandai juga memanah?”
Ken Arok ragu-ragu sejenak.
“Kalau kau mampu juga memanah,
kau akan aku perkenankan ikut serta berburu bersama kami. Maksudku, aku,
Witantra dan beberapa orang pengawal.”
Ajakan itu membuat Ken Arok
berbangga untuk sesaat. Ternyata ia mendapat kepercayaan untuk mengikuti
Akuwu berburu. Jarang sekali para hamba istana mendapat kesempatan itu.
Tetapi ketika mulutnya sudah hampir mengucapkan terima kasih atas
kesempatan itu, tiba-tiba ia mendapat pikiran lain. Bukankah Akuwu akan
pergi berburu?
“Bagaimana he?”
Akuwu Tunggul Ametung itu
mengerutkan keningnya ketika ia kemudian melihat Ken Arok menundukkan
kepalanya. Dengan penuh penyesalan Ken Arok berkata, “Sayang, hamba
belum pernah mempelajari dengan sungguh-sungguh bagaimana caranya
memanah. Sebenarnya hamba ingin sekali untuk dapat ikut serta, apabila
Akuwu memperkenankan. Dengan busur ini mungkin hamba akan dapat belajar
sebaik-baiknya.”
“Apa he, apa kau bilang?“
tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung berteriak sambil merebut busurnya dari
tangan Ken Arok. “Busur ini adalah busur istana. Aku baru saja
memesannya. Kau sangka kau anak cucuku, sehingga kau dapat memakai busur
kerajaan? Gila. Kau sungguh gila.”
Ken Arok menjadi gemetar. Kepalanya kini ditundukkannya lagi. Lebih dalam.
“Pergi, pergi sebelum aku pukul kepalamu. Tidak pantas kau ikut berburu bersamaku.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sejenak dipandanginya saja Ken Arok yang gemetar.
“Pergi, cepat pergi.“ Akuwu berteriak-teriak.
Ken Arok menjadi semakin gemetar. Mulutnya berkumat kumit, tetapi tidak sepatah kata pun yang terucapkan.
“Pergi.“ sekakali lagi Akuwu berteriak sambil melangkah mendekati Ken Arok yang ketakutan.
Ken Arok pun kemudian beringsut
surut. Kemudian hampir merangkak ia meninggalkan ruangan itu dan turun
ke serambi belakang istana, ia masih mendengar beberapa patah kata,
Akuwu mengumpat-umpat.
Ketika ia sudah sampai di serambi
belakang, kemudian turun kehalaman tengah, maka Ken Arok itu pun
berdiri tegak sambil menggeliat. Hilanglah segala kesan ketakutan dan
kecemasannya. Bahkan kemudian ia tersenyum. “Aku tidak inzin ikut pergi.
Aku ingin tinggal di istana yang sepi ini.”
Sorot yang aneh kemudian memancar
dari sepasang matanya. Sekali ia berpaling, namun ia tidak melihat apa
yang terjadi kemudian di ruang dalam.
(bersambungke jilid-47)
No comments:
Write comments