WITANTRA
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan
ingkar. Kalau benar katamu, itu adalah tanggung jawabku. Untuk
seterusnya, sampai pembunuhnya itu diketemukan, aku akan selalu
berusaha. Bahkan apabila perlu, kau dapat membawa cantrik itu kemari,
untuk melihat sendiri, siapakah orang yang dicurigainya. Aku atau
perwira-perwira yang aku percaya akan membawanya berkunjung ke setiap
orang, terutama yang pantas dicurigai. Apabila pada suatu saat ia
bertemu dengan orangnya, maka ia akan segera mengenalnya”.
“Terima kasih Witantra”.
“Untuk sementara, aku kira lebih baik kau
tinggal di Tumapel. Aku akan mengadakan penyelidikan terus-menerus.
Mudah-mudahan aku dapat membantumu dalam waktu yang singkat. Aku harus
segera membersihkan nama baik pasukanku. Kalau benar aku dapat menemukan
di dalam lingkunganku, maka ia harus menerima hukuman yang
seberat-beratnya”.
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Sebenarnya
ia senang sekali mendapat tawaran Witantra untuk tinggal di Tumapel.
Tetapi apabila sekilas terbayang wajah adik ipar Witantra itu, terasa
bulu-bulu tengkuk Mahisa Agni meremang.
“Bagaimana Agni? Apakah kau bersedia?
Pada suatu saat aku mungkin akan memerlukanmu untuk menghubungi cantrik
yang melihat sendiri wajah prajurit itu”.
Mahisa Agni tidak segera menyahut, ia
berdiri di antara dua masalah yang sama-sama berat baginya, ia memang
ingin tinggal di Tumapel untuk sementara. Dengan demikian, ia akan ikut
membantu menemukan pembunuh pamannya. Tetapi rumah itu serasa didiami
oleh sesosok hantu betina.
”Bagaimana?” desak Witantra.
Namun bagaimanapun juga akhirnya Mahisa
Agni menganggukkan kepalanya. Ia menganggap kematian pamannya adalah
masalah yang penting yang harus dapat dipecahkannya. Apabila ternyata ia
tidak dapat tinggal di rumah Witantra, ia akan mencari tempat yang
lain, yang mungkin dapat ditempatinya untuk sementara.
Dalam pada itu, tiba-tiba sekilas
meloncat di dalam angan-angannya seorang yang bernama Ken Arok. Seorang
yang pernah dikenalnya dengan baik, yang menurut pendengarannya, telah
membantunya dan membantu pamannya pada saat-saat ia berada di dalam
kekuasaan Kebo Sindet. Bahkan Ken Arok saat itu tidak memperhitungkan
keselamatannya sendiri.
“Tetapi anak muda itu tidak tinggal di
rumahnya. Ia tinggal di dalam barak. Sudah tentu aku tidak dapat tinggal
bersamanya” katanya di dalam hati.
“Nah, apabila demikian” terdengar suara
Witantra, ”Kau akan tinggal di gandok kanan. Setiap saat kau dapat
keluar dan memasukinya tanpa terganggu, karena gandok kanan mempunyai
pintu masuk ke dalam bilik-biliknya tersendiri”.
“Terima kasih Witantra” sahut Mahisa
Agni. Witantra kemudian membawa Mahisa Agni ke dalam bilik yang
diperuntukkannya. Tetapi begitu Witantra meninggalkannya di dalam bilik
itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Dimuka pintu bilik itu berdiri
seorang gadis sambil tersenyum, “Bukankah kakang Witantra cukup baik
terhadapmu?”
“Mudah-mudahan kau kerasan tinggal di sini”.
“Mudah-mudahan”.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, “Ya, aku sangat berterima kasih”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar suara tertawa gadis itu menjauh. Kemudian, hilang perlahan-lahan.
Atas persetujuan Witantra, Mahisa Agni
pada suatu kesempatan telah pergi menemui Ken Arok di baraknya. Dengan
penuh harapan Mahisa Agni ingin menyampaikan persoalannya kepada anak
muda yang baik itu. Ia yakin, bahwa Ken Arok pasti tidak akan
berkeberatan untuk membantunya.
Ternyata kedatangan Mahisa Agni telah
sangat mengejutkan anak muda itu, sehingga sejenak ia berdiri dengan
tegangnya seperti melihat hantu yang sangat menakutkan.
“Apakah kedatanganku terasa aneh bagimu Ken Arok?” bertanya Mahisa Agni tanpa prasangka apapun.
“Tidak, tidak” Ken Arok tergagap, “Aku
senang sekali mendapat kunjunganmu. Apakah kau baru saja datang dari
Karautan atau Panawijen lama?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak Ken Arok. Aku baru saja datang dari Lulumbang”.
Terasa darah Ken Arok berguncang di dalam
jantungnya. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sejenak kemudian
terasa dadanya menjadi seakan-akan pepat. Berbagai prasangka telah
timbul di dalam hatinya. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri dan
berbuat sesuatu di luar sadarnya. Untunglah bahwa ia masih berhasil
mengekang dirinya. Ia masih berhasil menahan hati, seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu dengan dirinya, betapapun berat tekanan di
dadanya.
Bahkan kemudian Ken Arok
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tenangnya ia bertanya, “Apakah
kau baru mengunjungi pamanmu? Dan apakah Empu Gandring baik-baik saja?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesah, “Pamanku bernasib kurang baik”.
“Kenapa?” Ken Arok tampak terkejut.
“Pamanku telah mati terbunuh”.
“He” Ken Arok menjadi tegang sejenak.
Namun dadanya menjadi semakin lapang. Dengan demikian, jelas baginya
bahwa Mahisa Agni sama sekali tidak menaruh prasangka apapun
terhadapnya.
“Aku datang kerumahnya di malam hari, tetapi aku tinggal menemukan mayatnya di dalam sanggarnya”.
“Aneh” jawab Ken Arok, “Empu Gandring adalah seorang yang pilih tanding dalam olah kanuragan”.
“Ya, tetapi ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Mahisa Agni menceriterakan apa yang dilihatnya.
“Pengecut” Ken Arok menggeram, “Apakah pamrih orang itu dengan membunuh Empu Gandring?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Dan tidak seorang pun yang tahu”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Apakah tidak ada ciri-ciri yang dapat menunjukkan siapakah pembunuh itu?”
“Ada” sahut Mahisa Agni, “Seorang prajurit dengan selempang tali berwarna kuning keemasan”.
“Prajurit pengawal istana” ia berseru.
“Ya, pengawal istana”.
“Apakah kau sudah bertemu dengan Witantra?”
“Aku tinggal di rumahnya, sementara aku
mencari siapakah pembunuh pamanku itu. Witantra sedang menyelidiki semua
anak buahnya. Mudah-mudahan akan segera diketemukan”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, “Aku akan membantumu Mahisa Agni. Aku akan berusaha
untulk ikut mencari siapakah orangnya di dalam lingkungan prajurit
pengawal. Meskipun aku bukan dari lingkungan itu, tetapi karena aku
seorang pelayan dalam, maka tugas-tugasku hampir bersamaan dengan para
pengawal. Dengan demikian aku banyak mengenal mereka bahkan seperti
lingkungan sendiri. Dengan tidak langsung aku akan berusaha menemukan
orang-orang yang pada saat terbunuhnya Empu Gandring tidak berada di
tempatnya”.
“Terima kasih Ken Arok. Aku memang mengharapkan bantuanmu dan bantuan segala pihak. Mudah-mudahan segera berhasil”.
“Baiklah. Tetapi, sampai kapan kau berada di Tumapel?”
“Aku tidak tahu”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Tetapi hati-hatilah Mahisa
Agni. Agaknya pembunuhan itu telah direncanakan untuk maksud tertentu.
Kehadiranmu di sini pasti akan menjadi perhatian prajurit itu”.
“Aku sudah memperhitungkan” jawab Mahisa Agni, “Tetapi aku tidak mempunyai jalan lain”.
“Sebenarnya kau tidak perlu berada di
Tumapel. Kau dapat kembali ke Karautan atau ke Lulumbang. Serahkan
persoalanmu di sini kepadaku dan kepada Witantra. Setiap saat aku atau
Witantra akan menghubungimu di mana kau tinggal”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Sementara aku akan tinggal di Tumapel.
Tetapi sudah tentu tidak terlampau lama, karena pekerjaanku sendiri.
Apabila orang itu masih belum dapat kita ketemukan, maka pada suatu saat
aku harus meninggalkan kota ini. Aku berterima kasih sebelumnya
kepadamu dan kepada Witantra atas semua bantuan yang akan kalian berikan
kepadaku”.
“Itu sudah menjadi kuwajibanku. Juga
menjadi kuwajiban Witantra. Ia harus bertanggung jawab atas
orang-orangnya, meskipun seandainya orang itu masih mempunyai sangkut
paut dengannya”.
“Ya, Witantra memang tidak ingkar”.
“Aku percaya. Bukan watak Witantra untuk
mengingkari tanggung jawabnya. Tetapi, aku pesan kepadamu Agni. Sungguh.
Agar kau berhati-hati. Pembunuh pamanmu adalah seorang yang kejam dan
yang paling berbahaya, ia seorang yang licik”.
“Aku menyadari. Karena itu aku akan tetap
berhati-hati. Dan atas perhitungan semacam itu pulalah, aku
mempersiapkan diriku sebaik-baiknya. Aku membawa senjata paman yang
paling terpercaya. Mungkin sewaktu-waktu berguna bagiku”.
Dada Ken Arok berdesir mendengar
keterangan itu. Senjata Empu Gandring yang terpercaya. Senjata itu pasti
senjata yang paling baik yang pernah dibuatnya, karena senjata itu
dipergunakannya sendiri. Ia tidak akan membuat senjata yang lain yang
akan melampaui senjatanya sendiri.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni pun
segera minta diri untuk segera kembali ke rumah Witantra. Setelah sekali
lagi ia mengucapkan terima kasih, maka ia pun meninggalkan barak anak
muda anggauta pelayan dalam Istana Tumapel itu.
Ken Arok yang masih berdiri di regol
halaman memandangi Mahisa Agni sampai hilang di tikungan. Namun sesaat
kemudian ia menggeretakkan giginya, “Kenapa kau ikut campur persoalan
pamanmu Agni. Dengan demikian, maka kau pun harus dimusnahkan. Sayang,
kau masih terlampau muda untuk mati. Tetapi apa boleh buat”.
Ken Arok menghentakkan kakinya. Kemudian
menggeram. Ia merasa sangat terganggu atas kehadiran Mahisa Agni di
Tumapel. Ia pasti akan bekerja sama dengan Witantra, dan apalagi apabila
Mahisa Agni kemudian berhubungan dengan Ken Dedes. Mungkin Permaisuri
itu tidak akan dapat menahan hatinya untuk mengatakan rahasianya kepada
kakaknya, satu-satunya keluarganya. Apabila demikian, maka Mahisa Agni
pasti akan mencari hubungan atas segala peristiwa yang telah terjadi.
Kepergiannya, sikap dan tindak tanduknya, pasti akan dapat mengarahkan
kecurigaan Mahisa Agni dan Witantra.
“Adalah salahmu sendiri anak yang malang,
apabila suatu ketika mayatnya terkapar di tengah jalan di kota Tumapel
tanpa ada seorang pun yang mengetahui sebab-sebabnya” gumam Ken Arok
kepada diri sendiri.
Sejenak kemudian Ken Arok pun segera
masuk ke dalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya di pembaringannya sambil
mereka-reka apakah yang seharusnya dilakukan.
Dihari-hari berikutnya, selama Mahisa
Agni masih berada di Tumapel, ia selalu menghubungi Witantra dan Ken
Arok dalam segala tindakannya. Sehingga kedua orang itu jelas
mengetahui, apakah yang sedang dilakukan oleh Mahisa Agni pada suatu
saat.
“Aku sama sekali belum dapat mengatakan tentang kemungkinan untuk menemukan pembunuh itu” berkata Witantra pada suatu ketika.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, “Pada suatu ketika, kita harus melihat keluar
lingkungan pasukan pengawal. Siapa saja yang pada saat-saat itu tidak
berada di Tumapel dan di rumah masing-masing”.
Tetapi Witantra menggeleng, “Tidak
mungkin Agni. Terlampau, banyak orang yang harus dihubungi. Dan waktu
pun sudah melangkah semakin jauh dari peristiwa itu”.
Mahisa Agni menyadarinya, tetapi ia masih
belum berputus asa. Katanya kemudian, “Aku akan minta tolong kepada Ken
Arok, untuk melakukan penyelidikan di luar lingkungan Pengawal Istana”.
“Memang hal itu dapat diusahakan. Tetapi
hasilnya sangat kecil untuk diharapkan. Meskipun demikian, aku akan
membantumu mengusahakannya”.
“Terima kasih”.
Dengan demikian Mahisa Agni masih akan
tinggal beberapa hari lagi di Tumapel. Ia masih belum puas dan masih
merasa belum selesai, apabila ia harus meninggalkan kota pada saat itu.
Karena itu, maka ia masih tetap berusaha untuk berbuat sesuatu.
Dalam kepepatan hati, kadang-kadang
Mahisa Agni berjalan saja tanpa tujuan di malam hari di sepanjang jalan
Tumapel. Kadang-kadang sendiri dan kadang-kadang bersama Witantra.
Bahkan kadang-kadang juga di siang hari. Menyusuri jalan tanpa tujuan.
Kadang-kadang ia singgah di barak Ken
Arok untuk berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Tetapi Mahisa Agni tidak pernah mendapatkan petunjuk yang dapat
memberinya jalan terang.
“Kita akan berusaha terus Agni” berkata
Ken Arok, “Tetapi sampai kapan, dan sampai sejauh mana, aku tidak dapat
mengatakan. Karena itu, apa tidak lebih baik bagimu untuk menyerahkan
persoalan ini kepada Witantra. Aku akan embantunya sekuat-kuat
tenagaku”.
Mahisa Agni yang merasa sudah terlampau lama tinggal di Tumapel mengerutkan keningnya.
“Aku akan mempertimbangkannya” jawabnya.
Sepeninggal Mahisa Agni, Ken Arok menjadi
gelisah. Tiba-tiba ia mengenakan pakaian seorang prajurit. Dibawah
kainnya disembunyikannya sebuah tali berwarna kuning keemasan. Kemudian
dengan diam-diam ia meninggalkan baraknya, melalui pintu butulan lewat
saat matahari terbenam.
Sementara itu Mahisa Agni berjalan sambil
merenung, menyusuri jalan yang telah menjadi semakin sepi, karena malam
menjadi semakin dalam. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak
menghiraukannya. Hanya sekali-kali dikerlingnya lampu-lampu yang
dipasang di regol-regol halaman, dan di sudut-sudut simpang jalan.
Tetapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Karena itu, maka ia berjalan
saja dengan kepala menunduk.
Sementara itu sapasang mata yang jalang,
selalu mengawasinya. Diikutinya saja langkah anak muda itu dengan
hati-hati. Dengan kemampuan yang tinggi, orang itu mengikuti langkah
Mahisa Agni pada jarak yang tidak terlampau jauh.
Namun ternyata Mahisa Agni memiliki
ketajaman indera di luar dugaan orang yang mengikutinya. Orang itu sama
sekali tidak tahu, bahwa justru di dalam tangan Kebo Sindet, Mahisa Agni
telah menemukan inti dari ilmunya, bahkan bergabung dengan ilmu yang
didapatinya dari Empu Sada dan kekerasan jasmaniah yang disadapnya dari
tata gerak Kebo Sindet.
Dengan demikian, maka ketajaman inderanya
yang terlatih itu segera mengetahui, bahwa seseorang telah
mengikutinya. Desir dedaunan, gemerisik rumput-rumput kering tersentuh
kaki, telah menyentuh telinganya.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera
memberikan tanggapan. Meskipun dadanya menjadi berdebar-debar, namun ia
tidak merubah sikapnya. Bahkan ia mengharap, mudah-mudahan terjadi
sesuatu, ia pasti bahwa yang akan terjadi itu ada hubungannya dengan
kehadirannya di Tumapel seperti yang dikatakan oleh Keri Arok.
Langkah Mahisa Agni pun semakin lama
menjadi semakin mendekati rumah Witantra. Sebelum sampai ke rumah itu,
ia akan melewat suatu halaman yang masih belum digarap, meskipun sudah
dipagari.
“Aku harus berhati-hati” desisnya,
“Mungkin orang itu akan berbuat sesuatu, apabila aku lewat di dekat
halaman yang masih kosong itu. Ia pasti menghindari agar tidak seorang
pun yang akan ikut campur dalam persoalan ini”.
Dengan demikian maka Mahisa Agni pun
menjadi semakin berhati-hati. Dipasangnya pendengarannya baik-baik untuk
mengetahui, apakah desir lembut yang didengarnya itu masih saja
mengikutinya.
Sejenak Mahisa Agni sempat memandang
bintang-bintang yang bergayutan di langit. Selembar mega yang putih
hanyut dibawa oleh arus angin ke Utara.
Sejenak kemudian dadanya berdesir.
Gemersik di pinggir halaman menjadi semakin jelas baginya. Dan apalagi
ketika ia telah sampai di depan halaman yang masih kosong itu.
Ternyata bayangan yang mengikuti Mahisa
Agni itu un telah siap untuk menerkam korbannya. Agaknya ia tidak akan
bekerja tanggung-tanggung. Ditangannya telah tergenggam sehelai keris
yang luar biasa, yang seakan-akan bercahaya kebiru-biruan di dalam
gelapnya malam. Namun diantara cahayanya yang biru itu terdapat beberapa
bintik warna kekuning-kuningan.
Dengan susah payah orang itu menahan
nafasnya. Ia memang menunggu Mahisa Agni sampai di depan halaman kosong
itu, supaya apabila timbul beberapa keributan, suaranya tidak segera
didengar oleh rumah di sebelah jalan.
“Aku harus membunuhnya pada tikaman yang
pertama” desis bayangan itu di dalam hatinya. Karena itu, maka ia
berusaha untuk semakin dekat dengan Mahisa Agni, “Ia tidak boleh
mendapat kesempatan untuk melawan”.
Ketika saat yang ditunggunya itu tiba,
maka dengan serta-merta sosok tubuh yang mengikuti Mahisa Agni itu pun
meloncat dari dalam kegelapan. Demikian cepatnya, seakan-akan meluncur
dari langit yang kehitam-hitaman. Sebelah tangannya mengembang, sedang
tangannya yang lain, siap menghujamkan senjatanya ke dada Mahisa Agni.
Namun agaknya Mahisa Agni pun telah
menunggu saat itu pula. Ia mengerti dan menyadari sepenuhnya apa yang
akan terjadi. Karena itu, maka ia tidak terkejut ketika ia mendengar
desir loncatan seseorang menerkamnya.
Mahisa Agni ternyata tidak kalah
tangkasnya dari bayangan yang menerkamnya itu. Sebagai seorang anak muda
yang menyimpan ilmu yang matang, maka Mahisa Agni sama sekali tidak
menjadi bingung. Dengan sigapnya ia meloncat sambil merendahkan dirinya,
sehingga tangan bayangan yang mengembang itu tidak sempat menyentuhnya.
Namun dengan demikian, maka tiba-tiba tangannya yang lain terayun deras
sekali, dalam usahanya menyentuh Mahisa Agni dengan senjatanya yang
mengerikan itu.
Sekali lagi Mahisa Agni harus bergeser.
Kali inipun ia berhasil menghindari sambaran senjata itu. Namun ketika
senjata itu meluncur beberapa cengkang dari kulitnya, hatinya berdesir
tajam. Terasa udara yang panas menyambarnya, dan dilihatnya cahaya
kebiru-biruan di dalam gelapnya malam. Dan dilihatnya pula,
bintik-bintik yang kekuning-kuningan itu.
“Bukan main” ia berdesis, “Senjata ini
bukan senjata kebanyakan. Senjata ini adalah senjata yang luar biasa.
Pasti buatan seorang Empu yang nggegirisi”.
Dan Mahisa Agni seterusnya tidak sempat
untuk merenungi kedahsyatan lawannya. Gabungan antara gerak yang
demikian cepatnya dan senjata yang pilih tanding. Karena sejenak
kemudian ia mendengar geram yang berat dan serangan yang mengejutkan.
Untunglah, bahwa Mahisa Agni telah
berhasil menguasai ilmu gurunya hampir sempurna. Dalam olah kanuragan
Mahisa Agni sudah tidak kalah lagi dari Empu Purwa, Empu Sada, Panji
Bojong Santi dan orang-orang sejajarnya. Itulah sebabnya, maka meskipun
ia harus melawan seseorang yang luar biasa dengan senjata yang luar
biasa pula, ia masih mampu untuk bertahan.
Sementara itu, bayangan yang menerkam
Mahisa Agni itu pun ternyata terkejut bukan buatan melihat tata gerak
Mahisa Agni. Ia tidak menyangka, bahwa Mahisa Agni mampu menghindar dan
untuk kemudian menghindari pula ayunan senjatanya yang nggegirisi itu, sehingga dengan demikian usahanya untuk membunuh Mahisa Agni pada serangannya yang pertama ternyata telah gagal.
“Untunglah aku mengenakan pakaian ini” desis bayangan itu di dalam hatinya.
Dan ternyata Mahisa Agni yang kini telah
siap menghadapi setiap kemungkinan itu melihat, bahwa lawannya adalah
seorang prajurit yang memakai selempang tali berwarna kuning keemasan.
Dengan segera Mahisa Agni menemukan
hubungan yang hampir pasti, bahwa orang inilah yang telah membunuh
pamannya. Namun yang dihadapinya itu ternyata tidak mau menampakkan
wajahnya yang sebenarnya. Orang itu ternyata telah menutup sebagian
besar wajahnya dengan selembar kain berwarna gelap.
Dengan demikian maka nafsu Mahisa Agni
untuk menemukan pembunuh pamannya seolah-olah seperti api dihembus
angin. Ia yakin bahwa orang ini harus ditangkap. Seandainya bukan orang
ini yang melakukannya, namun pasti ada hubungan yang erat antara orang
ini dan pembunuh pamannya. Tetapi menilik kelengkapan yang ada pada
orang itu, maka hampir dapat dipastikan, orang ini sendirilah yang telah
membunuh pamannya. Keris yang berwarna kebiru-biruan itu, selempang
berwarna kuning keemasan, adalah tanda yang meyakinkan. Apalagi usaha
orang itu untuk membunuhnya. Kalau tidak ada sangkut paut apapun maka
sudah tentu tidak akan ada usaha pembunuhan ini.
“Benar juga peringatan Ken Arok itu”
berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “Tetapi adalah kebetulan sekali
aku dapat bertemu. Dengan senjata yang demikian inilah agaknya ia
berhasil membunuh Empu Gandring, dan senjata ini pulalah agaknya yang
telah dipakainya untuk memecah paron itu”.
Sedang orang yang merasa gagal untuk
membunuh Mahisa Agni pada serangannya yang pertama itu pun menjadi
semakin bernafsu pula untuk segera menyelesaikan pekerjaannya.
Dengan demikian maka keduanya segera
terlibat dalam perkelahian yang sengit. Orang yang menyerang Mahisa Agni
itu mempergunakan sebilah keris yang berwarna kebiru-biruan berbintik
kuning, sedang Mahisa Agni pun segera mencabut kerisnya pula. Keris
pamannya yang besar, yang menyilang di punggungnya.
Namun ternyata kedua keris itu telah
membuat keduanya terkejut. Keris Mahisa Agni pun ternyata berwarna
kebiru-biruan di dalam gelapnya malam.
“Oh” desis orang itu di dalam hatinya, “Keris itu pun berwarna kebiru-biruan”.
Keduanya pun kemudian menjadi sadar,
bahwa di tangan lawannya tergenggam senjata-senjata yang luar biasa.
Kelengahan yang paling kecil pun dapat membuat mereka kehilangan
kesempatan untuk mempertahankan hidup mereka.
Meskipun, perkelahian itu menjadi semakin
lama semakin sengit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat berkelahi
pada puncak kemampuan masing-masing.
Orang yang ingin membunuh Mahisa Agni itu
harus bertempur sambil berusaha menyembunyikan kediriannya. ia harus
berbuat dan bersuara sedemikian, sehingga Mahisa Agni tidak akan segera
dapat mengenalnya. Ia harus menyembunyikan tata gerak perkelahian yang
dimilikinya, kebiasaannya dan berbagai macam ciri yang ada padanya. Ia
harus berkelahi dengan tata gerak yang disaputnya dengan tata gerak yang
dibuat-buat. Kadang-kadang ia hampir kehilangan kendali apabila
nafsunya telah membakar jantungnya. Tetapi setiap kali ia berusaha untuk
menjaga dirinya. Pada dasarnya tata-gerak yang dimilikinya adalah
tata-gerak yang kasar dan keras. Dalam keadaan yang memaksa ia menjadi
buas dan liar, sebuas binatang di dalam hutan dan seliar hantu di Padang
Karautan. Tetapi ia tidak dapat berbuat demikian melawan Mahisa Agni.
Itulah sebabnya, maka ia tidak berada di puncak kemampuannya.
Sedang Mahisa Agni pun harus
berhati-hati. Ia sadar, bahwa keris pamannya itu adalah sebilah keris
yang dahsyat. Kalau ia menyentuh tubuh lawannya, maka sulit baginya
untuk mengharapkan lawannya itu dapat bertahan untuk hidup. Padahal ia
ingin menangkap lawannya itu hidup-hidup. Ia ingin mendengar keterangan
tentang pamannya. Apakah latar belakang dari pembunuhan yang keji dan
licik itu.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun harus menjaga dirinya. Ia ingin mengalahkan lawannya, tetapi tidak membunuhnya.
Padahal keduanya adalah orang-orang yang
aneh. Mahisa Agni, dalam umurnya yang semuda itu, ternyata telah
memiliki ilmu yang sukar dicari tandingnya. Sama sekali tidak diduga
oleh lawannya itu, bahwa Mahisa Agni ternyata adalah seorang yang pilih
tanding. Tetapi. lawannya itu pun adalah orang yang aneh. Ia memiliki
ketahanan tubuh dan kecepatan bergerak yang luar biasa. Meskipun
kadang-kadang ia menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus
dilakukan. Apabila demikian, maka ia pun segera meloncat dengan loncatan
yang aneh, mengambil jarak dari lawannya.
Meskipun, Mahisa Agni mempunyai kelebihan
dari lawannya, bahwa senjatanya lebih panjang, namun ia kurang dapat
memanfaatkannya, karena ia tidak ingin mambunuh lawannya. Yang bergetar
di dalam dadanya, ialah suatu keinginan untuk menangkapnya hidup-hidup.
Ia akan membawanya kepada Witantra dan menuntut diadilinya sesuai dengan
keharusan seorang prajurit. Namun disamping itu, maka latar belakang
pembunuhan itu pun pasti akan segera dapat diungkapkannya.
Tetapi untuk menangkap orang itu sama
sulitnya seperti menangkap angin. Apalagi di tangan orang itu pun
tergenggam sebilah keris yang mengerikan.
Meskipun demikian, tetapi Mahisa Agni
berusaha sekuat tenaga dan kemampuannya. Dikerahkannya ilmunya, untuk
memungkinkannya menangkap orang itu hidup-hidup. Sedangkan, orang itu
pun mengerahkan segenap kemampuannya, untuk bertahan dengan tetap
menyembunyikan kediriannya.
Justru dengan demikian maka keduanya pun
menjadi terlampau tegang. Keduanya berusaha menahan diri agar mereka
tidak terlanjur melakukan kesalahan yang akibatnya akan sangat merugikan
diri masing-masing. Apabia orang yang menyerang Mahisa Agni itu
terbunuh, maka Mahisa Agni akan merasa kehilangan jalur pengamatannya
untuk seterusnya. Sedang orang yang menyerangnya itu pun harus tetap
bertahan untuk tidak melepaskan kemampuannya yang sebenarnya. Sebab
dengan demikian maka Mahisa Agni pasti akan segera mengenalnya sebagai
hantu yang pernah berkeliaran di Padang Karautan.
Tetapi betapapun juga, keduanya pasti
tidak mau terkalahkan. Itulah sebabnya maka mareka masih saja berkelahi
semakin seru, sehingga keringat merekapun seakan-akan telah terperas
dari dalam tubuh mereka. Sedang debu yang berhamburan oleh kaki-kaki
merekapun telah melekat pula pada tubuh yang basah itu.
Ternyata kedua-duanya telah dihinggapi
oleh perasaan heran tiada taranya. Lawan Mahisa Agni menjadi heran,
bahwa anak muda itu kini mempunyai kemampuan yang luar biasa, sedang
Mahisa Agni menjadi heran, bahwa ia pun tidak segera dapat menangkap
orang itu.
“Aku pernah bertempur melawan Kebo
Sindet, dan akupun masih tetap hidup” desis Mahisa Agni di dalam
hatinya, “Tetapi sekarang aku tidak dapat menangkap prajurit pengawal
ini. Adalah aneh sekali bahwa seorang prajurit pengawal memiliki
kemampuan yang sedemikian tinggi dalam tata-gerak yang kurang dikenal,
dan bahkan agak kabur. Apabila setiap prajurit pengawai memiliki
kemampuan setinggi prajurit ini, maka Tumapel pasti akan menjadi sangat
kuat”.
“Tetapi menurut pengamatanku, kemampuan
Witantra sendiri pun tidak akan setinggi prajurit ini, kecuali apabila
disaat-saat terakhir ia sempat menempa dirinya”.
Tetapi Mahisa Agni telah memutuskan di
dalam hatinya, bahwa ia harus menangkap orang itu hidup-hidup. Ia harus
mendengar dari mulutnya sebuah pengakuan, kenapa Empu Gandring
dibunuhnya. Sedang orang yang menyerangnya itu pun telah memutuskan di
dalam hatinya, bahwa Mahisa Agni harus dibunuh.
Namun bahwa orang itu mempergunakan
menutup wajah, telah sangat menarik perhatian Mahisa Agni. Ia menjadi
semakin bernafsu untuk mengetahui, siapakah orang yang tiba-tiba saja
telah menyerangnya dan yang menurut dugaannya, telah membunuh Empu
Gandring itu pula.
Semakin sengit keduanya bertempur, maka
semakin terasa oleh orang yang bertutup muka itu, bahwa ia tidak akan
dapat mengalahkan Mahisa Agni. Seandainya ia tidak harus menyembunyikan
dirinya dalam tata gerak sekalipun, belum pasti ia dapat menang, apalagi
selama ia masih belum dapat mencurahkan segenap kemampuannya.
“Kenapa aku harus merahasiakan diri”
kadang-kadang tumbuh pertanyaan itu di dalam hatinya, “Bukankah aku akan
membunuhnya? Meskipun ia mengerti siapa aku, namun ia tidak akan dapat
berkata lagi kepada siapapun, karena ia akan segera terkapar di tanah.
Mati”. Tetapi ternyata ia manjadi ragu-ragu sendiri, “Apakah aku dapat
melakukannya?”
Ternyata kemudian bahwa Mahisa Agni
memang seorang yang luar biasa. Apalagi di tangannya tergenggam senjata
yang dahsyat pula. Sehingga akhirnya lawannya pun harus mengakui, bahwa
tidak akan mungkin untuk memenangkan perkelahian itu.
“Aku memang harus tetap merahasiakan diriku” gumam orang itu.
Mahisa Agni pun semakin lama menjadi
semakin bernafsu. Bahkan terbersit pertanyaan di dalam hatinya,
“Bagaimana kalau aku tidak dapat menangkapnya hidup-hidup?”
“Tidak ada pilihan lain” gumam Mahisa
Agni di dalam hatinya, “Kalau aku tidak dapat menangkapnya hidup, aku
akan menangkapnya mati. Meskipun aku tidak akan mendapat keterangan
apapun tentang pembunuhan itu, tetapi aku akan dapat membuktikan, bahwa
pembunuhan itu memang seorang pengawal istana. Dan Witantra pasti akan
mengenalnya. Bahkan mungkin akupun dapat mengenalnya apabila tutup
wajahya itu dapat aku singkapkan”.
Dengan demikian, maka tata gerak Mahisa
Agni pun menjadi semakin mantap. Bahkan kadang-kadang ia tidak lagi
mengendalikan dirinya. Apalagi katika semakin lama tangannya menjadi
semakin basah oleh keringat, dan hatinya menjadi semakin terbakar oleh
kemarahannya.
Tetapi, sejalan dengan itu, maka orang yang menyerangnya dengan tiba-tiba itu pun menjadi semakin menyadari dirinya.
Sehingga kemudian berkembang pendirian di
dalam hatinya, “Gila. Aku tidak akan berhasil membunuhnya. Bahkan
apabila aku tidak segera berbuat sesuatu, akulah yang pasti akan mati
terbunuh. Bukan saja semua rencanaku gagal, tetapi setiap orang akan
mengatakan, bahwa akulah pembunuh Empu Gandring yang telah menyamar
memakai pakaian seorang prajurit pengawal”.
Memang orang itu sama sekali tidak dapat
mengingkari kenyataan bahwa Mahisa Agni tidak dapat dibunuh semudah ia
sangka. Bahkan setelah barkelahi beberapa lama, menjadi semakin nyata
bahwa Mahisa Agni memang memiliki kemampuan yang luar biasa.
“Pantaslah, bahwa Mahisa Agni telah
bertekat untuk mencari pembunuh pamannya. Ternyata ia memang seorang
yang luar biasa. Yang barangkali sudah setingkat dengan pamannya itu”
berkata orang itu di dalam hatinya. Yang akhirnya, ia mengambil
kesimpulan untuk mengurungkan niatnya betapapun beratnya.
“Aku harus menghindar. Kalau tidak aku
akan mati, namaku akan menjadi sama sekali tidak bernilai, melampaui
kotornya sampah di pinggir jalan”.
Maka setelah keputusan itu tidak berubah
lagi, maka dengan serta-merta, ia pun segera meloncat surut. Kemudian
dengan cepatnya ditinggalkannya arena parkelahian itu.
Mahisa Agni terkejut. Tetapi ia sudah
bertekat untuk tidak melepaskan lawannya, sehingga karena itu, maka ia
pun melompat pula mengejarnya.
Ketika orang itu menyusup ke dalam
halaman yang kosong itu, maka Mahisa Agni pun mengejarnya pula.
Pandangan matanya serta pandengarannya yang tajam, telah menuntunnya
kemana arah buruannya berlari.
Tetapi ternyata buruannya, adalah buruan
yang paling liar. Buruannya adalah orang yang memiliki pengalaman luar
biasa dalam hal itu. Apalagi yang mengejarnya hanya seorang diri. Ia
pernah dikejar oleh orang-orang sepadukuhan sekaligus. Dan ia pernah
pula dikejar oleh prajurit Tumapel selagi ia berkeliaran di Padang
Karautan. Apalagi kini ia mempunyai keuntungan. Ia mengenal medan jauh
lebih baik dari Mahisa Agni, sehingga dengan demikian, ia mampu membuat
Mahisa Agni kebingungan, dan betapapun tajam pendengaran dan pengamatan
matanya, namun pada suatu saat ia menjadi bingung dan kehilangan
buruannya.
Mahisa Agni menggeram. Sejenak ia berdiri
mematung sambil berusaha menangkap setiap bunyi yang paling lembut
sekalipun. Tetapi usahanya ternyata sia-sia. Lawannya yang menyadari
dengan siapa ia berhadapan, berusaha untuk menghilangkan segala macam
jejak. Dipergunakannya segala kemampuannya, untuk manghindarkan dirinya
dari pengamatan lawannya.
“Apakah ia mampu melenyapkan dirinya
seperti asap” geram Mahisa Agni, “Tidak mungkin ia lari. Aku tidak
mendengar langkah itu, namun aku tidak mendengar desah nafasnya”.
Mahisa Agni masih juga diam membeku di
tempatnya. Ia menunggu sejenak. Namun ia tidak dapat menangkap isyarat
apapun yang dapat memberinya jalan untuk menemukan lawannya di dalam
gelapnya malam.
Yang didengarnya adalah gemersik angin
yang silir menggerakkan dedaunan, dan derik cengkerik di mulut liang.
Selainnya tidak ada sesuatu pun yang didengarnya.
“Luar biasa” desisnya, “Orang itu dapat
menghilang seperti hantu. Aku yakin ia masih ada di sekitar tempat ini.
Tetapi aku tidak dapat menemukannya”.
Meskipun Mahisa Agni masih menunggu
sejenak di tempatnya, namun ia tidak berhasil menemukan sesuatu,
sehingga akhirnya ia menjadi jemu.
“Sayang” katanya di dalam hati, “Kalau
aku tidak gagal, aku akan dapat membuka tabir pembunuhan itu sekarang.
Tetapi sayang sekali. Orang itu berhasil lolos”.
Mahisa Agni pun kemudian tidak menunggu
lebih lama lagi. Dengan hati-hati ia meninggalkan tempatnya. Kerisnya
masih ada di dalam genggamannya. Ia masih harus tetap bersiap menghadapi
setiap kemungkinan apabila dengan tiba-tiba saja lawannya itu
menyerangnya.
Namun tidak seorang pun lagi yang
ditemuinya di sekitar tempat itu. Sehingga ketika ia berjalan lagi di
jalan yang dilaluinya semula, keris itu disarungkannya. Ia tidak mau
menarik perhatian orang lain yang sama sekali tidak berkepentingan,
apalagi para peronda yang sedang nganglang di malam hari.
Ceriteranya tentang prajurit yang
tiba-tiba menyerangnya itu sangat menarik perhatian Witantra. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis, “Benar-benar mengherankan.
Tetapi sepengetahuanku, tidak ada seorang pun prajurit pengawal yang
memiliki kemampuan begitu tinggi. Meskipun demikian aku akan
menyelidikinya. Aku akan meneliti setiap prajurit sampai perwira yang
paling tinggi”.
“Terima kasih” jawab Mahisa Agni, “Mudah-mudahan aku akan dapat menjumpai orang itu lagi pada kesempatan lain”.
“Mudah-mudahan, dan aku pun akan mencari kesempatan untuk itu pula”.
Maka sejak itu, Mahisa Agni menjadi
semakin sering keluar di malam hari. Ia mencari kesempatan seperti
kesempatannya yang hilang itu. Tetapi beberapa hari kemudian tidak
terjadi sesuatu pada dirinya.
Pada suatu ketika, maka diperlukannya datang kepada Ken Arok untuk menceritakan apa yang telah terjadi atasnya.
“Gila” Ken Arok mengumpat, “Itu sudah keterlaluan. Untunglah bahwa kau masih mampu menghindarinya”.
“Aku akan selalu berhati-hati Ken Arok”.
“Nah, apa kataku. Bukankah orang itu
terlampau licik?” Ken Arok berhenti sebentar, lalu, “Agni. Orang itu
akan melakukannya sekali lagi dan sekali lagi. Di kesempatan lain ia
akan berbuat lebih licik dan lebih kasar. Mungkin ia memakai panah atau
tulup beracun atau apapun karena ia tidak mungkin mengalahkan kau dalam
perkelahian. Ia akan mengintipmu, dan dengan tiba-tiba menyerangmu dari
jarak yang cukup jauh, dengan berbagai macam cara dan Senjata”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Aku sudah bertekat untuk menemukan
pembunuh itu Ken Arok. Apapun yang akan aku hadapi. Aku memang sudah
mempersiapkan diriku sejak aku berangkat dari Lulumbang”.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian, “Kalau kau memang sudah memutuskan untuk melakukannya,
apa boleh buat. Tetapi kau harus berhati-hati”.
“Terima kasih Ken Arok. Mungkin setiap
saat aku memerlukan bantuanmu. Mungkin aku tidak hanya berhadapan dengar
satu dua orang. Tetapi dengan sebuah gerombolan yang aku tidak dapat
menduga jumlahnya. Apabila demikian, maka aku mengharap kau dan Witantra
langsung membantuku”.
“Oh, jangan cemas. Witantra adalah
seorang pemimpin pasukan pengawal istana. Ia dapat menggerakkan
sekaligus sepuluh atau duapuluh orang apabila diperlukan. Meskipun
demikian, aku sama sekali tidak akan berkeberatan, apabila suatu ketika
aku pun harus membantumu”.
“Terima kasih” jawab Mahisa Agni, “Pada
suatu ketika aku ingin dapat berbicara dengan kalian berdua
bersama-sama. Apakah kau tidak berkeberatan apabila pada suatu
kesempatan kau datang berkunjung ke rumah Witantra?”
“Tentu tidak Agni. Tetapi di dalam tata
keprajuritan, jarak antara aku dan Witantra agak jauh. Meskipun secara
pribadi Witantra sangat baik kepadaku”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
tidak pernah berpikir tentang jenjang kepangkatan karena ia sendiri
bukan seorang prajurit. Karena itu, maka katanya, “Pergilah bersama aku.
Aku tidak pernah menghiraukan jenjang semacam itu”.
Ken Arok berpikir sejenak. Lalu,
“Baiklah. Aku akan ikut bersamamu pergi ke rumah Witantra. Sekarang aku
sedang tidak mempunyai kerja apapun. Aku akan pergi bersamamu sekarang”.
“Bagus” sambut Mahisa Agni, “Marilah, kita pergi menemui Witantra”.
Keduanya pun kemudian pergi ke rumah
Witantra. Witantra menyambut kedatangan Ken Arok dengan senang hati.
Bahkan dengan jujur ia menyatakan kesulitannya mengenai masalah Empu
Gandring itu. Sampai saat terakhir Witantra belum menyatakan persoalan
itu secara terbuka. Ia masih berusaha untuk mencari jejak dengan
diam-diam sebelum ia mengambil jalan yang lain.
Baik Witantra, maupun Mihisa Agni sama
sekali tidak berprasangka apapun terhadap Ken Arok, sehingga dengan
demikian, maka pembicaraan itu pun berjalan dengan sepenuh minat. Mereka
tidak menyadari arti yang tersirat di dalam setiap tarikan nafas Ken
Arok dan di setiap anggukan kepalanya.
Pembicaraan itu terhenti ketika seorang
gadis keluar dari ruang dalam sambil menjinjing nampan berisi mangkuk
air hangat, sehangat sikap gadis itu sendiri.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Setiap ia melihat Ken Umang hatinya selalu bergetar. Bukan karena ia
tertarik kepada gadis itu, tetapi justru sebaliknya. Kadang-kadang ia
manjadi ngeri melihat sikapnya yang berlebih-lebihan.
Ken Arok pun pernah melihat gadis itu
apabila ia berkunjung ke rumah Witantra meskipun jarang-jarang sekali.
Tetapi ia pun kurang menaruh perhatian atas gadis itu. Apalagi setelah
seluruh perhatiannya dicurahkannya kepada Ken Dedes. Maka seolah-olah
tidak ada perempuan lain di dunia ini kecuali Permaisuri itu.
Tetapi, kali ini sikap Ken Umang
terlampau menyentuh perhatiannya, sehingga mau tidak mau Ken Arok
menatapnya juga untuk sejenak.
Adalah aneh sekali, bahwa Ken Arok itu
kini tiba-tiba telah berubah. Seakan-akan ia telah terlempar kembali ke
dalam dunianya yang gelap. Hampir setiap saat ia terdorong untuk
melakukan berbagai macam kejahatan. Dan hampir setiap kali ia bertemu
dengan perempuan dan gadis-gadis, nafsunya tidak dapat terkendali lagi.
Sebelum ia melakukan rencananya yang
berlumuran darah, maka ia merasa, bahwa penyakitnya itu pun telah sembuh
seperti kegemarannya berburu harta benda di Padang Karautan. Tetapi
tiba-tiba sejalan dengan titik-titik darah yang membasahi tangannya,
maka nafsunya itu pun seakan-akan terangkat kembali.
Ken Dedes baginya adalah perempuan
idaman. Ia adalah puncak dari segala cita-cita. Tetapi ia tidak tahu,
kenapa gadis yang pernah sekali dua kali dilihatnya ini, tiba-tiba telah
menarik perhatiannya pula.
“O, aku benar-benar telah menjadi gila. Gila segala-galanya”.
Tetapi sudah tentu bahwa Ken Umang bukanlah Ken Dedes.
”Ken Dedes adalah seorang perempuan yang
halus dan lembut. Seorang perempuan lambang dari cita-cita yang agung.
Sedang Ken Umang adalah lambang dari dunia ini. Dunia dengan segala
macam warnanya yang cemerlang. Dunia tempat kita meneguk airnya. Bukan,
bukan sekedar meneguk airnya, tetapi kita harus meneguk kegembiraannya
sampai tuntas. Dan aku memerlukan kedua-duanya” Ken Arok bergumam di
dalam hatinya, namun kemudian, “O, itu adalah perbuatan yang sangat
bodoh. Aku harus menyelesaikan rencanaku lebih dahulu. Kalau aku
memalingkan perhatianku, maka aku akan terlempar jatuh ke dalam
bencana”.
Tetapi pancaran mata Ken Umang yang
seakan-akan bara api yang menyentuh jantungnya, tidak dapat
dilupakannya. Namun Ken Umang tidak duduk bersama mereka, karena di
antara mereka ada Witantra. Ia hanya meletakkan mangkuk-mangkuk minuman,
kemudian meninggalkan mereka dengan langkah yang menyentuh hati. Hati
Ken Arok.
“Gadis ini pasti dapat menghangatkan
kehidupan. Sedang Ken Dedes adalah sumber dari cinta dan cita-cita.
Namun untuk memperjuangkan cita-cita aku memerlukan gairah yang
menyala”.
Tetapi Ken Arok tidak dapat
berangan-angan terlampau lama. Sejenak kemudian Mahisa Agni dan Witantra
telah terlibat dalam pembicaraan, sehingga mau tidak mau, Ken Arok pun
harus memperhatikannya pula.
Namun, Ken Arok tidak lama lagi duduk
bersama mereka. Sejenak kemudian ia minta diri dengan berbagai macam
alasan. Dengan demikian, maka Mahisa Agni dan Witantra tidak dapat
menahannya lagi.
Sepeninggal Ken Arok, maka Witantra pun
mempersilahkan Mahisa Agni bersitirahat di biliknya, karena ia pun akan
pergi untuk sesuatu keperluan.
“Beristirahatlah” berkata Witantra, “Pekerjaan kita masih terlampau banyak”.
“Terima kasih” sahut Mahisa Agni.
Maka sepeninggal Witantra, Mahisa Agni
pun segera pergi ke biliknya. Langkahnya lambat, sedang kepalanya
tertunduk dalam-dalam. Berbagai persoalan tersangkut di kepalanya.
Sedang persoalan pamannya masih terlampau gelap baginya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Langkah kuda Witantra sudah tidak terdengar lagi. Yang kini terdengar
tinggallah tarikan nafasnya sendiri.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menarik daun
pintu biliknya Tetapi ketika ia menjengukkan kepalanya, maka tiba-tiba
saja darahnya serasa berhenti. Sama sekali tidak terlintas di dalam
benaknya, bahwa hal itu dapat terjadi, sehingga dengan demikian sesaat
ia berdiri saja membeku di depan pintu.
Dengan dada serasa retak, Mahisa Agni
melihat Ken Umang berbaring di pembaringannya. Ketika pintu itu terbuka,
maka gadis itu berpaling. Namun seperti acuh tak acuh saja ia berdesis,
“Masuklah Agni”.
Agni masih tegak di luar pintu. Kakinya seakan-akan menjadi beku sehingga ia tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukannya.
“Masuklah” sekali lagi ia mendengar suara Ken Umang. Namun suara itu bagaikan ringkik iblis betina yang mengerikan.
“Kenapa kau berdiri saja di situ?
Masuklah Agni. Tidak ada orang lain di rumah. Kakang Witantra baru saja
pergi, sedang isterinya pun tidak ada di rumah pula. Apa lagi yang kita
segani sekarang?”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Nafasnya menjadi semakin memburu. Namun kakinya masih merasa membeku di tempatnya.
Yang terdengar kemudian adalah suara
tertawa gadis itu. Disela-sela tertawanya ia berkata, “Kemarilah anak
Panawijen. Adikmu telah menjadi seorang Permaisuri. Tidak sepantasnya
masih kau saja tetap menjadi seorang pemalu seperti anak-anak padesan
yang lain”.
Dada Mahisa Agni benar-benar serasa
menjadi bengkah. Tetapi ketika Ken Umang itu memandanginya, sorot mata
gadis itu seakan-akan telah memukaunya, sehingga ia tidak berdaya untuk
meninggalkan tempatnya.
Sebagai seorang laki-laki muda, maka
darahnya pun telah mulai merangkak ke kepalanya. Sikap dan tatapan mata
Ken Umang seakan-akan bara yang telah memanasi darahnya yang selama ini
dingin membeku.
Sejenak Mahisa Agni berdiri seperti patung. Terasa dadanya berguncang-guncang, seperti air laut dihempas angin prahara.
“Kenapa kau ragu-ragu?” terdengar suara Ken Umang. Seulas senyum telah membuat jantung Mahisa Agni menjadi semakin panas.
Namun, tiba-tiba Mahisa Agni
menggeretakkan giginya. Ia adalah seorang anak muda yang hampir
sepanjang umurnya berada di padepokan seorang pendeta. Ia telah terlatih
untuk menggunakan nalar di samping perasaannya. Sehingga dengan
demikian ia dapat menimbang budi dengan pandangan yang wening.
Demikian juga ketika ia kini seakan
terbentur pada suatu keadaan yang hampir tidak dapat dihindarinya
sebagai seorang laki-laki muda. Maka dengan sekuat keteguhan hatinya, ia
berhasil manguasai dirinya, dalam keweningan budi. Karena itu,
perlahan-lahan Mahisa Agni berhasil menenangkan hatinya. Ia mulai dapat
melihat jalan yang harus dilaluinya. Ia mulai menyadari bahwa rumah ini
adalah rumah Witantra, dan gadis tu adalah adik iparnya. Apabila
terjadi sesuatu atas gadis itu, meskipun sebagian adalah karena
kesalahannya sendiri, apakah yang harus dikatakannya?
Mahisa Agni menjadi ngeri memikirkannya, dan kengerian yang demikian itu ditanggapinya dengan ucapan syukur.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia masih mendengar Ken Umang memanggilnya, “Agni, Agni”.
Mahisa Agni kini telah menjadi tenang.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Apakah kau menyadari
apa yang kau lakukan, Ken Umang?”
Pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu
serasa membakar telinga gadis itu. Tiba-tiba saja ia terloncat berdiri.
Wajahnya menjadi merah membara. Sejenak ia berdiri saja di tempatnya
tanpa berbuat sesuatu. Namun tampaklah sinar matanya yang seakan-akan
ingin menusuk pusat jantungnya.
”Udara terlampau panas” berkata Mahisa Agni, “Aku akan berada di halaman”.
Ken Umang masih berdiri membeku, ia tidak
menyangka sama sekali, bahwa anak muda itu sama sekali tidak
memperhatikannya. Tetapi sebelum Ken Umang berbuat sesuatu Mahisa Agni
telah melangkahkan kakinya, turun ke halaman. Tanpa tujuan ia berjalan
saja sambil menjinjing keris yang masih belum dikenakannya di
punggungnya.
Sekali-kali ia menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, Ken Umang pun segera
berlari keluar dari bilik Mahisa Agni. Wajahnya yang merah itu serasa
menjadi panas, sepanas hati di dalam dadanya.
”Setan yang bodoh” ia mengumpat, “Pada
suatu saat kau akan bersimpuh di bawah kakiku. Aku adalah Ken Umang.
Seribu kali aku akan membalas sakit hatiku. Setiap anak-anak muda
menangis-nangis dihadapanku. Dan kau membuat hatiku serasa terbakar”.
Ken Umang itu pun langsung masuk ke dalam
biliknya sendiri. Dihempaskannya dirinya di pembaringannya. Tetapi ia
tidak mau menangis. Justru dendam yang membara telah mewarnai matanya.
Peristiwa itu telah membuat Mahisa Agni
menjadi bingung. Usahanya untuk menemukan pembunuh pamannya belum
berhasil. Tetapi apakah ia dapat bertahan beberapa hari lagi tinggal di
rumah Witantra? Kalau Witantra tidak ada di rumah, ia pasti merasa
seakan-akan rumah itu menjadi rumah hantu. Sebagai manusia Mahisa Agni
menyadari, bahwa dadanya tidak berlapis baja. Betapa kerasnya batu
hitam, tetapi titik air yang terus-menerus, pasti akan membuat lekuk di
permukaannya. Dan Mahisa Agni merasa dirinya masih juga bernafas seperti
manusia biasa. Masih juga makan nasi dan meneguk air. Itulah sebabnya,
ia merasa rumah Witantra tidak aman lagi baginya. Pada suatu saat ia
akan terperosok ke dalan suatu bencana yang akan membuat namanya hancur
tanpa arti. Dan dengan demikian ia akan kehilangan semuanya. Ia tidak
akan berhasil menangkap pembunuh pamannya, dan sekaligus ia akan
kehilangan namanya. Karena ia adalah saudara Permaisuri Ken Dedes, maka
Ken Dedes pun pasti akan tersangkut pula.
Mahisa Agni menjadi semakin bingung.
Sudah tentu ia tidak akan dapat tinggal bersama Ken Arok, karena Ken
Arok pun hanya sekedar mendapat sebuah pembaringan di baraknya.
“Apakah aku dapat menemui Ken Dedes?”
pertanyaan itu telah terbersit di hatinya. Namun kemudian ia
menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak akan mengganggunya dengan
perkara-perkara yang tidak bersangkut paut apapun dengan dirinya”.
“Tetapi lalu apa yang akan aku lakukan?” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Namun akhirnya ia tidak dapat menemukan
jalan apapun. Tinggal di rumah Witantra akan sangat berbahaya baginya,
sedang tempat yang lain tidak dapat diketemukannya.
Ketika Witantra pulang, barulah Mahisa
Agni mengikutinya masuk ke pendapa. Meskipun demikian hatinya sama
sekali sudah tidak tenteram. Setiap kali ia menjadi gelisah. Apalagi
ketika malam menjadi semakin malam, dan Witantra minta diri untuk
beristirahat.
Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni masuk ke
dalam biliknya, dan dengan tergesa-gesa pula ia menyelarak pintu dari
dalam. Baru ia dapat menarik nafas dalam-dalam. Disangkutkannya kerisnya
pada dinding biliknya di atas pembaringannya. Perlahan-lahan ia
berbaring. Namun tiba-tiba ia bangkit. Sesuatu terasa menusuk hidungnya.
Bau yang sangat harum. Bau bunga yang ternyata terjatuh dari sanggul
Ken Umang yang tadi berbaring di pembaringan itu.
Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa
Agni memungut bunga itu. Bunga melati yang diuntai dalam suatu rangkaian
yang panjang. Dan bunga itu kini berada di tangan Mahisa Agni.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Terasa pengaruh bau bunga itu menggetarkan jantungnya. Sekali lagi
terseret oleh perasaan seorang laki-laki muda.
Namun sekali lagi Mahisa Agni berhasil
menghentakkan dirinya dari pengaruh parasaannya itu. Bahkan kemudian ia
menjadi semakin menyadari keadaannya, bahwa sebenarnyalah hatinya adalah
hati yang lemah.
“Aku memang harus segera meninggalkan
rumah ini” ia berdesis, “Kalau tidak, maka sentuhan di hati mudaku, akan
mencelakakan aku, apabila aku pada suatu ketika kehilangan kemudi”.
Demikianlah, maka Mahisa Agni justru
mengambil keputusan, bahwa ia harus meninggalkan rumah itu secepatnya.
Meskipun ia masih menimang untaian bunga itu di tangannya, namun ia
tetap berada dalam kesadarannya. Nalarnya masih tetap utuh bekerja di
dalam dirinya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni itu pun
kemudian melangkah ke sudut biliknya dan menyangkutkan untaian bunga itu
di dinding. Sekali lagi ia memandang bunga itu. Namun kemudian ia
kembali ke pembaringannya dan perlahan-lahan diletakkannya pula tubuhnya
di pembaringan itu.
Meskipun kemudian, matanya dipejamkannya,
namun ia lidak dapat menghapus angan-angannya yang hilir mudik
dikepalanya. Bayangan tentang pamannya, ibunya yang masih tinggal di
Lulumbang, Ken Dedes, Ken Arok, Witantra dan Ken Umang, serasa
berganti-ganti mengganggunya, sehingga ia tidak segera dapat tertidur.
Namun lambat laun, kesadaran Mahisa Agni pun menjadi semakin, sehingga akhirnya ia tertidur nyenyak.
Ia terbangun pada saat ayam jantan
berkokok untuk yang terakhir kalinya. Setelah membenahi pakaiannya, maka
ia pun segera membuka pintu biliknya perlahan-lahan. Dengan hati-hati
ia menjengukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang mengintai musuh di
medan peperangan. Ketika tidak terlihat olehnya seorang pun, maka ia pun
segera melangkah keluar dari biliknya. Namun ia masih tetap
berhati-hati seperti sedang berada di peperangan. Kerisnya, pusaka
peninggalan Empu Gandring itu dijinjingnya di tangan kanan.
“Kalau keris ini tertinggal di dalam bilik itu, aku akan dijebaknya dengan keris ini” ia bergumam.
Meskipun masih samar-samar, namun langit
telah menjadi agak cerah. Burung-burung liar berkicau, seolah-olah
sedang mendendangkan kidung yang gembira menyambut matahari pagi.
Mumpung masih agak gelap, Mahisa Agni pun
segera mandi. Alangkah segarnya. Dan ia merasa bahwa ia tidak akan
dapat berlama-lama menghirup segarnya udara pagi di rumah itu. Karena
apabila kesegaran pagi ini telah lewat, seperti embun yang menguap
karena sentuhan panas matahari. Maka udara pun akan segera menjadi panas
pengab. Dan ia tidak akan tahan terpanggang di dalamnya.
“Hari ini adalah hariku yang terakhir”
gumam Mahisa Agni, “Dan nanti malam aku akan minta diri. Meskipun
tugasku belum selesai, dan aku belum menemukan pembunuh paman. Namun
untuk sementara aku harus menghindar dari rumah ini”.
Demikianlah, maka pada hari itu Mahisa
Agni sama sekali tidak berada di rumah Witantra. Ia minta diri ketika
matahari naik. Kemudian berjalan saja menyusuri kota, dari satu lorong
ke lorong lain tanpa tujuan. Ketika matahari kemudian bergeser turun di
sebelah Barat, maka ia pun singgah ke barak Ken Arok untuk minta diri.
“Kenapa tiba-tiba saja kau memutuskan untuk meninggalkan Tumapel” bertanya Ken Arok dengan curiga.
“Tidak apa-apa Ken Arok” jawab Mahisa
Agni, “Aku sudah terlampau lama di sini. Tetapi aku mengharap bahwa pada
suatu ketika aku dapat berada di sini kembali”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan sejenak kemudian ia berkata, “Apakah kau telah melepaskan niatmu
untuk mencari pembunuh pamanmu?”
“Tentu tidak. Sampai sepanjang umurku aku akan tetap mencarinya” jawab Mahisa Agni.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, “Kau mendendamnya bukan, Agni?”
“Mungkin aku memang mendendam, Ken Arok”
jawab Mahisa Agni, “Tetapi yang lebih membuatku hampir gila adalah
alasan apakah yang membuat orang itu membunuh paman Empu Gandring. Kalau
aku kemudian mengetahui alasan itu, aku kira aku tidak akan menjadi
sepanas sekarang”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Mahisa Agnilah yang kemudian berbicara.
Katanya, “Seperti nasehatmu Ken Arok, aku akan menyerahkan persoalanku
kepada Witantra sebagai pemimpm tertinggi dari pasukan pengawal. Dan aku
akan minta kepadamu untuk membantunya apabila kau tidak berkeberatan”.
“Tentu Agni. Aku sama sekali, tidak berkeberatan”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Setelah mengucapkan terima kasih, maka Mahisa Agni pun
kemudian minta diri untuk kembali ke rumah Witantra.
Ketika ia telah berada beberapa langkah
dari rumah Witantra itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia melihat
sesosok tubuh berdiri di regol bersandar dinding.
Mahisa Agni menarik nafas. Ketika ia
menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sudah menjadi semakin
rendah. Bahkan telah menyentuh punggung bukit di ujung Barat.
Mahisa Agni tidak dapat melangkah surut.
Kalau ia berbelok, atau kembali ke arah yang berlawanan, pasti akan
sangat menyakitkan hati. Karena itu, meskipun tengkuknya meremang
seperti disentuh hantu, ia berjalan terus.
Dadanya menjadi kian berdebar-debar ketika ia menjadi semakin dekat dan melihat gadis itu tersenyum.
“Darimana kau sehari-harian Agni?” terdengar suara gadis itu semanak.
Terasa jantung Mahisa Agni berdetak
semakin cepat. Dengan suara yang datar ia menjawab, “Berjalan-jalan Ken
Umang. Aku ingin melihat wajah kota ini saluruhnya sebelum uku kembali
ke Panawijen”.
Ken Umang tertawa. Katanya, “Kau hanya
melihat wajah kota ini di siang hari. Apakah kau tidak ingin melihat
kehidupan kota ini di malam hari?”
“Sudah Ken Umang. Aku sudah sering
berjalan-jalan di malam hari bersama Witantra. Tetapi kota ini tertidur
nyenyak apabila matahari telah terbenam”.
Ken Umang tertawa. Katanya, “Kalau kau
berjalan-jalan dengan kakang Witantra, memang, kau hanya akan melihat
bayangan lampu-lampu di regol halaman. Tetapi apakah kau pernah
menyusuri jalan-jalan di tengah-tengah padukuhan di kota ini? Apakah kau
pernah pergi ke banjar-banjar di sudut-sudut kota? Nah, apabila kau
ingin melihat gadis-gadis berlatih menari, marilah, pergilah bersama
aku. Aku akan menunjukkan kepadamu, bagaimana kami, gadis-gadis,
berlatih menari”.
Sejenak Mahisa Agni berdiri mematung. Ia
benar-benar berdiri di simpang jalan. Hati laki-laki mudanya
mendorongnya untuk menerima ajakan itu. Bahkan sebuah alasan telah
memperkuatnya. Katanya di dalam sudut hatinya, “Mungkin aku akan bertemu
dengan orang yang sedang aku cari itu”.
Namun tiba-tiba ia menggelengkan
kepalanya sambil berkata, “Terima kasih Ken Umang. Mungkin aku akan
pergi melihatnya lain kali. Tetapi kini aku terlampau lelah setelah aku
berjalan hampir sehari penuh”.
“Salahmu. Dan perjalananmu yang melelahkan itu pasti tidak akan melihat apapun yang berarti”.
Mahisa Agni tidak menyahut.
“Tetapi kalau kau mau pergi bersamaku,
kau tidak akan menjadi kian lelah. Justru sebaliknya. Kau akan menjadi
segar. Dan semalam kau akan dapat tidur dengan nyenyak”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, “Terima kasih Ken Umang. Mungkin tidak malam ini”.
Wajah Ken Umang yang cerah sudah mulai
menjadi muram. Senyumnya sudah tidak menghiasi bibirnya lagi. Katanya,
“Mahisa Agni. Kau jangan menyakitkan hatiku. Kalau kau tidak angin
berjalan-jalan, sudahlah. Tetapi apakah kau bersedia mengantar aku malam
ini? Hari ini adalah hari latihan. Aku akan berlatih di banjar. Lima
hari lagi akan datang hari Aditya ketiga di bulan Palguna ini? Nah, Ki
Buyut akan merayakan hari lahirnya pada windu yang kesembilan”.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas.
Namun ia menjadi makin menyadari keadaannya, sehingga justru ia bertahan
semakin kuat. Jawabnya, “Maaf Ken Umang. Kali ini aku benar minta maaf.
Mungkin lain kali aku akan mengantarkanmu”.
Semua sisa-sisa senyum di wajah Ken Umang
seakan-akan telah tersapu bersih. Wajah itu kini menjadi tegang. Dan
gadis itu pun kini berdiri gemetar.
“Kau terlampau sombong anak Panawijen.
Kau tidak melihat ke dirimu sendiri. Kalau kau mau bercermin di
permukaan belumbangmu, kau akan melihat, bahwa kau sama sekali tidak
berarti apapun bagi Tumapel. Kesempatan ini terlampau baik bagimu Mahisa
Agni. Tetapi agaknya kau tidak dapat melihat ke masa depan yang baik
selain sawah-sawahmu. Memang kau sepantasnya berada di terik matahari di
belakang bajak-bajakmu. Kau telah menyia-nyiakan belas kasihanku,
ingat, aku adalah adik Pimpinan Tertinggi Pasukan Pengawal Istana
Tumapel. Dan kau adalah seorang anak padesan yang tidak berarti apa-apa.
Kalau sekarang kau masih sempat menyombongkan dirimu, suatu ketika kau
akan mencium ujung jari kakiku. Kau sangka aku tidak dapat berbuat jauh
lebih banyak dari yang aku lakukan sekarang? Kau sangka bahwa aku tidak
akan dapat menjadi seorang Permaisuri seperti adikmu, gadis yang dungu
itu?”
Terasa dada Mahisa Agni berguncang.
Tetapi ia berusaha untuk tetap mengendalikan perasaannya. Ken Umang
ternyata adalah seorang gadis yang tidak selembut wajahnya. Karena itu,
maka gadis itu pasti akan dapat berbuat apa saja untuk memuaskan sakit
hatinya. Dan dada Mahisa Agni menjadi kian berdebar-debar ketika ia
mendengar Ken Umang berkata, “Nah, baiklah. Tetapi kembalikan untaian
bungaku yang terjatuh d ibilikmu kemarin”.
Sejenak Mahisa Agni terbungkam. Ia berdiri mematung. Namun dadanya serasa menjadi semakin berdentangan.
“Supaya kau tidak berprasangka, bahwa aku
akan mengambil barang-barangmu, nah antarkan aku masuk ke dalam bilikmu
itu untuk mengambil bunga itu”.
Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Sayang Ken Umang, bunga itu sudah tidak ada di dalam bilikku”.
“He” Ken Umang membelalakkan matanya, “Di mana kau letakkan bunga itu?”
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab.
Ia merasa keadaannya menjadi semakin sulit. Sudah tentu ia tidak akan
dapat mengantarkan Ken Umang masuk ke dalam biliknya dengan alasan
apapun. Menilik kekerasan hati gadis itu, maka banyak hal akan dapat
terjadi. Karena itu, maka ia pun tidak segera dapat menjawab.
“Kau apakan bunga yang kuuntai hampir sehari penuh itu?” desak gadis itu.
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Ia
tidak segera menemukan jawabnya. Apalagi ketika dilihatnya sekilas mata
Ken Umang yang seakan-akan telah menyala itu.
“Kau apakan hai anak padesan yang sombong?” bentak Ken Umang.
Mahisa Agni kini mengangkat wajahnya. Ia
tidak senang mengalami perlakukan yang demikian. Untunglah bahwa ia
masih tetap menyadari, bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis.
“Ken Umang” berkata Mahisa Agni kemudian,
“Kau jangan bersikap terlampau berlebih-lebihan. Mungkin kau dapat
menghina aku, dan mungkin aku tidak akan berbuat apa-apa, karena kau
seorang perempuan. Tetapi apakah sikap yang demikian itu baik bagimu?
Bagi seorang gadis kota yang seharusnya lebih banyak mengenal
unggah-ungguh daripada anak-anak padesan?”
Tetapi ternyata kemarahan yang membakar
dada Ken Umang tidak mereda, justru menjadi kian membara. Kini sorot
mata gadis itu langsung menusuk ke dadanya. Katanya dengan suara yang
gemetar, “Kau mau apa? Kalau kau ingin berbuat sesuatu lakukanlah”.
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Aku
akan melakukan kesalahan yang sangat besar apabila aku melakukan
sesuatu atasmu dalam keadaan ini”.
Gigi gadis itu menjadi gemeretak.
Tiba-tiba ia berlari masuk ke halaman, menyusup dibawah pintu regol
sambil berkata, “Aku akan mencari bungaku di dalam bilikmu. Aku akan
merusak apapun yang kau punyai di dalam bilik itu. Kalau kau tidak rela,
cegahlah aku”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Sudah tentu ia tidak berani menyusul gadis itu ke dalam biliknya. Gadis
yang sendang sakit hati itu dapat saja berteriak, dan menyebutnya apa
saja. Dengan demikan, maka ia akan kehilangan semua kesempatan di dalam
rumah itu.
Karena itu, maka Mahisa Agni sama sekali
tidak pergi ke dalam biliknya. Ia langsung naik ke pendapa dan masuk ke
pringgitan. Setelah sejenak ia duduk, maka Witantra pun kemudian keluar
pula dari ruang dalam.
Kesempatan itu, dipakai oleh Mahisa Agni
untuk menyatakan maksudnya, meninggalkan Tumapel, meskipun ia belum
berhasil menemukan pembunuh pamannya.
“Aku harus segera kembali ke Padang Karautan Witantra” berkata Mahisa Agni.
“Tetapi bukankah kau berhasrat untuk menemukan pembunuh Empu Gandring?”
“Ya, sebenarnya demikian”.
“Tetapi, apakah ada sesuatu yang membuat kau mendapat kesulitan? Mungkin ancaman dari seseorang atau dari sesuatu pihak?”
“Aku kira, aku tidak akan menghindari ancaman apapun juga Witantra. Tetapi……” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Tetapi, apakah ada persoalan lain?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Namun
kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku
mempunyai banyak kewajiban di Padang Karautan Witantra. Aku tidak dapat
meninggalkan mereka terlampau lama. Selain Padang Karautan, akupun harus
singgah dahulu di Lulumbang. Aku harus memberikan laporan kepada
keluarga Empu Gandring”.
“Apa yang akan kau katakan kepada mereka? Kau sama sekali belum berhasil menemukan pembunuh itu”.
“Itulah yang akan aku laporkan, bahwa aku
belum dapat menemukan pembunuh itu. Tetapi aku telah bertemu dengan
orang yang aku cari itu, meskipun aku tidak berhasil menangkapnya”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Waktu yang aku perlukan tidak terbatas”
berkata Mahisa Agni kemudian, “Karena itu, aku akan pulang lebih dahulu.
Namun demikian, aku akan tetap minta bantuanmu Witantra. Apabila kau
menemukannya, tolong, tanyakan kepadanya, apakah alasannya maka ia
membunuh paman Empu Gandring. Selebihnya, terserah kepada peraturan yang
ada. Apakah hukuman orang yang membunuh orang lain tanpa sebab dan
tidak dalam suatu perkelahian yang adil”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apabila mungkin” berkata Mahisa Agni
kemudian, “Aku mengharap seseorang memberitahukan kepadaku. Mungkin Ken
Arok akan bersedia melakukannya”.
“Baiklah, Aku akan mencobanya. Dan aku kira Ken Arak memang akan bersedia memberitahukan hal itu kepadamu”.
“Aku akan menunggu di Padang Karautan.
Apabila dalam suatu kesempatan aku tidak terlampau sibuk dengan
pekerjaan-pekerjaan seorang petani, maka aku akan datang berkunjung
kemari”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kapankah kau akan berangkat ke Panawijen atau ke Lulumbang?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Kalau ia
menunggu esok, maka malam ini sesuatu akan dapat terjadi atasnya,
apabila Ken Umang benar-benar telah disilaukan oleh sakit hatinya.
Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain daripada menjawab,
“Sekarang Witantra”.
“Sekarang?” Mahisa Agni mengangguk.
“He, apakah kau sedang bermimpi?”
“Aku memang lebih senang menempuh
perjalanan di malam hari. Tidak panas dan tidak terlampau banyak
berpapasan dengan orang-orang lain, yang kadang-kadang membuat persoalan
tanpa kita kehendaki. Karena itu, aku akan berangkat sekarang”.
Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Kedatanganmu memberikan persoalan kepadaku. Sekarang
kepergianmu pun memberikan kesan yang aneh kepadaku. Seolah-olah ada
sesuatu yang tidak kau katakan. Apakah kau mendapat petunjuk-petunjuk
yang lain tentang pembunuhan itu?”
Mahisa Agni menjadi bingung, bagaimana
menjawab pertanyaan itu. Agaknya Witantra dapat melihat sikapnya, bahwa
sebenarnya ada sesuatu masalah yang telah memaksanya meninggalkan rumah
itu. Tetapi bagaimanapun juga, maka sudah barang tentu, ia tidak akan
mengatakannya.
“Tidak ada petunjuk lain dan bahkan
petunjuk apapun Witantra, dan juga tidak ada sebab apapun, selain
kuwajibanku yang telah memanggil aku di Padang Karautan”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Sokurlah, kalau tidak ada persoalan-oersoalan yang lain, yang justru
akan dapat menghambat persoalan yang masih belum selesai itu”.
“Tidak Witantra” Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.
“Tetapi sebaiknya kau menunggu sampai esok”. Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Terima kasih”.
“Dalam waktu dekat, aku akan segera datang lagi ke Tumapel”.
Witantra sudah tidak dapat menahan Mahisa
Agni lagi. Karena itu, maka dilepaskannya saja Mahisa Agni itu kemudian
meninggalkan rumahnya.
Katika ia minta diri kepada isteri
Witantra maka Nyai Witantra itu pun terkejut pula. Bahkan ia bertanya,
“Apakah pelayanan kami mengecewakan?”
“Oh tidak. Tidak” jawab Mahisa Agni
dengan serta-merta, “Aku berterima kasih sekali. Dan aku tidak akan
melupakan kebaikan hati kalian”.
Ketika Mahisa Agni menuntun kudanya ke
regol halaman, dan ketika kuda itu meringkik, maka Ken Umang yang masih
berada di dalam bilik Mahisa Agni terkejut. Ternyata Maliisa Agni
benar-benar tidak mau masuk ke dalam biliknya. Dengan tergesa-gesa Ken
Umang itu meloncat keluar dan dari celah-celah daun pintu mengintip ke
halaman. Dilihatnya Mahisa Agni diantar oleh kakaknya suami isteri
sampai ke regol halaman. Kemudian Mahisa Agni itu pun hilang dibalik
dinding halaman dan kegelapan malam.
“Kemanakah anak itu?” desisnya.
Ketika kemudian kakak perempuannya masuk ke ruang dalam, ia bertanya, “Kemanakah tamu itu malam-malam begini?”
“Pulang”.
“Pulang? Kemana?”
“Kerumahnya, Padang Karautan”.
Dada Ken Umang berdesir. Tetapi segera ia meredakan luapan perasaannya, sehingga tidak berkesan di wajahnya.
Namun kemudian ia pergi ke dalam biliknya, menjatuhkan diri di pembaringan sambil mengumpat-umpat di dalam hati.
“Anak desa yang dungu. Aku telah
kehilangan harga diriku sebagai seorang gadis karena aku tergila-gila
kepada ketampanan dan kejantanan yang memancar dari dirinya. Tetapi aku
dicampakkanya tanpa belas kasihan”. Tetapi hanya sejenak kemudian ia
sudah bangkit sambil menggeretakkan giginya. Dengan penuh dendam ia
berkata, “Aku telah dihinakannya. Aku harus membalas dengan cara
apapun”.
Sementara itu Mahisa Agni telah memacu
kudanya disepanjang jalan Tumapel. Sekali-kali ia berpaling, namun malam
yang gelap sajalah yang dilihatnya memutarinya.
Sebenarnya ia masih saja dicengkam oleh
keragu-raguan meninggalkan kota ini. Ia masih selalu dibayangi oleh
tugas yang telah ditetapkannya sendiri di atas pundaknya. Mencari
pembunuh pamannya. Tetapi ternyata ia tidak berhasil. Bahkan ia
hamper-hampir saja jatuh ke dalam kesulitan, apabila ia tidak segera
menghindar dari rumah Witantra.
Seluruh keluarga Empu Gandring menjadi
kecewa, ketika mereka menerima kedatangan Mahisa Agni dengan tangan
hampa. Namun mereka masih tetap berpengharapan, bahwa suatu ketika
pembunuhan itu akan dapat tersingkap. Apalagi ketika mereka mendengar,
bahwa seseorang telah mencoba membunuh Mahisa Agni dengan curang.
Sementara itu, sepeninggal Mahisa Agni,
Witantra sama sekali tidak menghentikan usahanya, mencari pembunuh Empu
Gandring. Tetapi usahanya selalu sia-sia. Tidak ada tanda-tanda sama
sekali bahwa salah seorang anak buahnya telah melakukannya.
Setiap kali Witantra selalu berusaha
menghubungi Ken Arok. Namun bagaimanapun juga, rahasia pembunuhan itu
masih tetap gelap sama sekali. Sama sekali tidak ada petunjuk secercah
pun yang dapat dipakai untuk merintis jalan, mencari pembunuh yang licik
itu.
Maka lambat laun, usaha pencaharian itu
pun menjadi semakin kendor. Baik Witantra, maupun Ken Arok, telah hampir
tidak pernah membicarakannya lagi.
Ketika pada suatu ketika Mahisa Agni
datang lagi ke Tumapel untuk mengantarkan ibunya bersama dua orang
prajurit yang memang mendapat tugas untuk itu, Witantra dengan menyesal
mengatakan, bahwa usahanya sama sekali belum berhasil.
“Bagaimanapun juga, aku mengucapkan
beribu terima kasih Witantra” berkata Mahisa Agni, “Mudah-mudahan pada
suatu ketika orang itu diketemukan. Aku yakin, bahwa tuntutan keadilan
tidak akan dapat dihindarkannya”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Begitulah hendaknya”.
Dalam pada itu, ketika hampir semua orang
telah melupakan peristiwa pembunuhan yang menggemparkan itu, Ken Arok
berkunjung ke rumah sahabatnya, seorang prajurit pengawal yang masih
muda, Kebo Ijo.
Kunjungan itu sendiri sama sekali tidak
menarik. Setiap kali Ken Arok memang sering berkunjung ke rumahnya dan
sebaliknya, Kebo Ijo pun selalu datang ke baraknya.
Namun kunjungan Ken Arok kali ini telah
sangat menarik perhatian Kebo Ijo. Ken Arok yang datang dengan pakaian
lengkap seorang Pelayan Dalam, membawa sebilah keris yang terselip di
punggungnya. Keris yang agak lain dari keris yang pernah dilihatnya.
“He, Ken Arok. Apakah kau mendapat sebilah keris baru?”
Ken Arok tidak segera menjawab. Diputarnya kerisnya yang terselip di punggung itu, sehingga hulunya kini berada di lambungnya.
Kebo Ijo menjadi semakin tertarik. Ia pun
kemudian menjadi semakin dekat di belakang Ken Arok, “He, kerismu itu
agak aneh” katanya.
“Kenapa?” bertanya Ken Arok.
“Hulu kerismu bukanlah ukiran biasa”.
Ken Arok tertawa. Katanya, “Memang
kerisku sangat menarik perhatian. Mungkin di seluruh Tumapel, bahkan di
seluruh dunia, tidak akan ada yang serupa”.
“Lihat, apakah kerismu itu benar-benar sebilah keris atau hanya sekedar mainan anak-anak”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Jangan menghina” katanya.
“Tetapi hulu itu”.
Ken Arok menarik keris dan sarungnya sama
sekali dari lambungnya. Ditimangnya sejenak, lalu .katanya, “Aku
membuat hulu keris mi dengan caraku”.
“Bagaimana?”
“Aku mengambil sebatang dahan hidup. Begitu saja aku jadikan hulu kerisku ini. Kayu cangkring”.
“Tetapi dengan demikian kerismu menjadi
sangat menarik Ken Arok” Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ketika tangannya terjulur, Ken Arok menarik keris itu, “Jangan. Hanya
orang-orang yang bijaksana saja yang boleh memakai keris ini”.
“Omong kosong” jawab Kebo Ijo, “Lihat, aku ingin melihat wilahan keris itu”.
“Keris ini bukan keris mainan, Kebo Ijo”.
“Dan aku bukan anak-anak yang baru dapat bermain-main” jawab Kebo Ijo.
Akhirnya Ken Arok tidak dapat mencegahnya
lagi. Dengan hati-hati sekali Kebo Ijo menarik keris itu dari
wrangkanya. Demikian ia melihat wilahan keris itu, maka dengan
serta-merta ia bergumam, “Bukan main, bukan main”.
Setelah diangkatnya keris itu di atas
kepalanya, maka dengan seksama diperhatikannya setiap lekuk pada
wilahannya. Pamor yang seakan-akan bercahaya kebiru-biruan di atas besi
baja pilihan.
Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang tidak lazim terdapat pada wilahan keris.
“Ken Arok, apakah mataku yang kurang baik, atau memang terdapat pada wilahan keris ini?”
“Apa yang kau lihat?”
“Bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian,
jawabnya, ”Itulah letak kelebihan keris itu dari keris-keris yang lain.
Meskipun mungkin ada seorang Empu yang sanggup membuat keris dengan
dapur dan pamor yang sama, tetapi tidak akan ada seorang Empu pun yang
sanggup membuat bintik-bintik yang seolah-olah menyala, apalagi di dalam
kegelapan. Warna kuning itu akan memancar seperti kunang-kunang emas”.
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Keris itu agaknya sangat menarik perhatiannya.
“Ken Arok, dari manakah kau mendapat keris ini?”
“Keris itu adalah keris peninggalan”.
Kebo Ijo mengerutkan keningnya, “Tetapi
bukankah hulu keris ini baru dan pada beberapa bagian aku melihat,
seolah-olah keris ini baru saja dibuat”.
“Apakah kau sudah melihatnya dengan
teliti?” Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat jalur-jalur yang
aneh pada pamor keris itu. Meskipun Ken Arok telah membersihkannya,
namun ada juga noda-noda yang masih tersangkut pada lekuk-lekuk yang
lembut pada wilahan keris itu. Tetapi Kebo Ijo tidak dapat
menyebutkannya, bahwa jalur-jalur yang aneh itu, adalah bekas darah yang
telah menjadi kering, yang masih tinggal ketika keris itu dibersihkan.
Tetapi keseluruhan dari keris itu, menurut tangkapan mata Kebo Ijo adalah keris yang paling sempurna yang pernah dilihatnya.
Karena itu, terdorong oleh wataknya, maka
Kebo Ijo itu pun berkata, “Ken Arok, apakah keris ini merupakan pusaka
warisan bagimu?”
“Ya, keris itu adalah keris peninggalan. Satu-satunya warisan yang aku miliki dari orang tuaku”.
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kau ini? Kalau orang
tuamu memberikan warisan serupa ini, maka orang tuamu pasti seorang yang
memiliki keahlian dalam menilai keris. Aku memang mempelajarinya serba
sedikit. Meskipun belum sempurna benar, tetapi aku dapat membedakan dan
dapat mengerti bahwa keris ini adalah keris yang luar biasa”.
Tetapi Ken Arok menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Orang tuaku adalah orang kebanyakan, seorang patani yang miskin”.
Kebo Ijo tidak mendesaknya. Ia menganggap bahwa Ken Arok sengaja merahasiakannya.
“Tetapi” berkata Kebo Ijo kemudian, “Aku
belum pernah melihat kau mempergunakan keris ini. Kau selalu membawa
keris yang lain, yang menurut penilaianku, keris yang sama sekali tidak
bernilai apapun. Baik sebagai senjata maupun sebagai sipat kandel”.
Ken Arok tertawa. Katanya, “Keris yang
berharga tidak setiap hari dibawa kemana-mana. Hanya apabila perlu dan
penting sajalah keris itu akan disandang”.
“Tetapi sekarang kau membawa keris ini, apakah ada sesuatu, yang penting akan terjadi?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Kali
ini tidak. Aku hanya sekedar ingin memakainya. Aku tidak tahu, apakah
sebabnya. Mungkin karena sudah terlalu lama aku menyimpannya”.
Kebo Ijo memandang wajah Ken Arok dengan
penuh curiga. Kalau keris itu keris pusaka, maka alasan Ken Arok itu
terlampau dibuat-buat. Karena itu, maka Kebo Ijo mendesaknya, “Apakah
kau merahasiakan sesuatu Ken Arok, sehingga kau tidak mau mengatakan
yang sebenarnya”.
“Aku berkata sebenarnya” jawab Ken Arok.
Sekali lagi Kebo Ijo termangu-mangu. Namun kemudian, ia berkata, “Aku
tahu. Agaknya kau hanya ingin memamerkan kerismu itu”.
“Yah. Kalau kau berpendapat demikian,
tidak ada salahnya. Aku memang ingin menunjukkan kepadamu, bahwa aku
mempunyai sebilah keris yang sangat baik”.
Kebo Ijo mengangguk-angguk. Tetapi ia
masih tetap bercuriga. Meskipun demikian, ia bertanya, “Apakah kau tidak
hanya sekedar berpura-pura untuk sesuatu maksud yang tidak aku
ketahui?”
“Tidak Kebo Ijo. Aku tidak mempunyai
maksud apapun. Aku benar-benar hanya ingin mengeluarkan pusaka itu
sekali waktu dari simpanan, kemudian aku memang juga ingin menunjukkan
kepadamu bahwa aku mempunyai pusaka yang yang baik sekali”.
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Betulkah bagitu?”
“Apakah kau tidak percaya?”
Sekali lagi Kebo Ijo mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia berkata bersungguh-sungguh, “Ken Arok.
Selama ini aku belum pernah mempunyai sebilah keris sebagus ini. Apakah
kau tidak berkeberatan apabila keris ini kau berikan kepadaku?”
“He” Ken Arok membelalakkan matanya,
“Mana mungkin. Keris itu adalah keris pusaka, satu-satunya peninggalan
dari orang tuaku. Kepada Akuwu pun tidak akan aku serahkan, apabila ia
menginginkannya”.
“Tetapi, aku bukan Akuwu Tunggul Ametung. Aku adalah sahabatmu”.
“Maaf Kebo Ijo. Keris itu memiliki banyak
sekali kasiat. Ia dapat membuat hati menjadi tenteram. Ketenangan di
dalam keluarga. Tetapi apabila keris itu berada di medan peperangan, ia
akan membakar seluruh kekuatan lawan menjadi abu”.
“Ya, ya. Aku percaya. Aku memang melihat
kelebihan pada keris ini, meskipun aku tidak mengenal bintik-bintik yang
berwarna kekuning-kuningan. Sejak aku belajar mengenal keris, aku belum
pernah melihat bintik-bintik yang demikian itu”.
“Karena itu, keris itu tidak akan dapat aku serahkan kepada siapapun”.
“Ken Arok. Bukankah kau belum berumah
tangga, sehingga kau belum memerlukan ketenteraman di dalam sebuah
keluarga. Tolonglah aku. Isteriku kadang-kadang sering membuat keributan
di dalam rumah. Mungkin keris itu akan dapat berpengaruh”.
“Bohong” jawab Ken Arok, “Aku yakin bahwa
bukan itu maksudmu yang sebenarnya. Aku berani bertaruh, tujuh helai
rambut. Kau pasti akan memamerkan keris itu kepada kawan-kawanmu apabila
keris itu ada padamu”.
“Ah”.
Ken Arok tertawa. Sambil menunjuk wajah
Kebo Ijo yang masih berusaha untuk berkata bersungguh-sungguh, “Jangan
bohong”. Namun kemudian Ken Arok berkata, “Tetapi kalau kau tunjukkan
kepada orang-orang yang mengerti tentang keris, tidak apalah. Mereka
akan memberikan penilaian yang wajar atas keris itu. Kalau ada cacatnya
mereka pasti akan mengatakan cacat itu, sedangkan kalau ada
kelebihannya, mereka akan menyebutkan kelebihan itu pula”.
Tiba-tiba wajah Kebo Ijo menjadi cerah. Dengan serta-merta ia berkata, “Jadi kau berikan keris ini kepadaku?”
“He? Siapa bilang?” potong Ken Arok,
“Sudah aku katakan bahwa keris itu adalah keris pusaka. Tidak akan aku
lepaskan kepada siapapun juga, meskipun kepada Akuwu Tunggul Ametung,
bahkan kepada Maharaja di Kediri”.
“Lalu apa maksudmu?”
“Sejauh-jauhnya keris itu hanya dapat aku pinjamkan untuk sementara”.
“Begitu pun jadilah” sahut Kebo Ijo, “Aku
ingin meminjam kerismu untuk beberapa lama. Mudah-mudahan pengaruhnya
akan memberikan ketenteraman di dalam keluargaku, meskipun aku masih
meragukan bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan itu”.
Dada Ken Arok berdesir. Agaknya Kebo Ijo
memang mengenal keris, sehingga ia dapat melihat kelainan pada kerisnya
karena bintik-bintik yang aneh itu.
“Tetapi” berkata Kebo Ijo kemudian, “Yang
pasti, bahwa keris itu adalah yang luar biasa. Aku melihat kesejukan
memancar dari keris ini. Tetapi aku tidak mengerti, kenapa aku agak
menyayangkan ketiga bintik-bintik yang berwarna kuning ini. Tetapi aku
kira pengaruhnya tidak akan dapat melampaui kemampuan kerismu memberikan
ketenteraman dan kesejukan”. Kebo Ijo berhenti sejenak, lalu, “Namun,
di medan perang kerismu memang mempunyai pengaruh yang luar biasa.
Bahkan aku menjadi cemas, bahwa keris akan dapat membawa malapetakan
bagi lawan”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi” berkata Kebo Ijo, “Semuanya itu
belum merupakan kepastian. Yang sudah pasti, kerismu adalah keris yang
luar biasa. Buatannya halus dan cermat, hulunya yang aneh inipun justru
memberikan warna yang lain daripada keris yang biasa kita kenal”.
“Ya, demikianlah”.
”Jadi, bagaimana? Apakah aku dapat memakai kerismu beberapa lama?”
“Baiklah. Tetapi aku pesan kepadamu.
Seandainya keris itu kau perlihatkan juga kepada orang-orang yang
mengerti tentang keris, jangan sekali-sekali kau sebutkan, bahwa keris
itu adalah kerisku”.
“Kenapa?”
“Kalau keris itu benar-benar keris yang baik, mereka pasti akan membuat aku bertambah pekerjaan dengan melayani mereka”.
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Ia tidak,
segera tahu maksud Ken Arok. Apakah hubungannya, antara keris yang baik
dan pekerjaan Ken Arok yang kian menjadi banyak.
Sehingga karena itu ia terpaksa bertanya, “Kenapa pekerjaanmu menjadi kian banyak dengan pelayanan itu?”
“Mereka tentu akan datang kepadaku dan
bertanya-tanya tentang keris itu” jawab Ken Arok, “Karena itu, aku minta
kau tidak usah mengatakan bahwa keris itu adalah kerisku. Katakan saja
bahwa keris itu kerismu, dan kau terima warisan, dari orang tuamu. Atau
kau katakan apa saja tentang keris itu, asal tidak kau katakan, bahwa
keris itu dari aku”.
Kebo Ijo merenung sejenak. Kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik. Baik. Aku tidak
akan mengatakan apapun tentang keris itu”.
“Baiklah” jawab Ken Arok, “Tetapi ingat.
Kalau kau meminjam keris itu untuk kepentingan apapun, namun jangan
sampai menimbulkan persoalan apapun padaku. Kalau kau menambah persoalan
betapapun kecilnya, maka keris itu akan segera aku ambil kembali”.
“Tentu, tentu. Aku tidak akan membuat persoalan apapun karena keris itu”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Hati-hatilah dengan pusaka itu”.
“Aku bukan anak-anak lagi. Aku adalah seseorang yang pernah mempelajari masalah keris meskipun belum sempurna”.
Sekali lagi Ken Arok mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan sambil minta diri ia bergumam, “Aku titipkan keris itu
kepadamu. Aku akan pulang. Jagalah baik-baik”.
“Tentu, tentu”.
Ken Arok itu pun kemudian meninggalkan
rumah Kebo Ijo. Disepanjang jalan hatinya menjadi berdebar-debar. Ia
harus menunggu perkembangan keadaan. Keris itu memang ditinggalkanya di
rumah Kebo Ijo sebagai kelanjutan rencananya. Kalau rencana ini gagal
maka keseluruhannya pun pasti akan gagal. Bahkan apabila seseorang
mengenal bahwa keris itu adalah buatan Empu Gandring yang terakhir, maka
pasti akan timbul persoalan karenanya. Namun agaknya Ken Arok memang
sudah menyusun rencananya dengan cermat. Dan otaknya yang cerah, agaknya
telah sangat membantunya untuk menyelesaikan rencana itu.
Baru saja Ken Arok keluar, dari pintu
rumah Kebo Ijo. Kebo Ijo ternyata telah dihinggapi oleh penyakitnya. Ia
adalah anak muda yang sombong. Yang terlampau senang dipuji dan
kadang-kadang sifat-sifat itu mendapatkan bentuknya yang
berlebih-lebihan sehingga Kebo Ijo menjadi tidak begitu disukai oleh
orang-orang di sekitarnya.
Demikian pula dengan keris itu.
Belum lagi Ken Arok sampai ke baraknya,
Kebo Ijo telah berpakaian rapi. Kemudian ia pergi berjalan-jalan kemana
saja tanpa tujuan tertentu. Yang penting baginya adalah menunjukkan
bahwa ia mempunyai sebilah keris yang baru.
Memang yang mula-mula didatanginya adalah
orang-orang yang dianggapnya mengerti tentang keris. Mereka yang
disangkanya akan dapat memberikan pujian atas keris itu, dan sudah tentu
kepadanya.
“Darimana kau dapat keris itu Kebo Ijo?” bertanya salah seorang kawannya yang mengagumi keris itu.
“Tentu dari orang tuaku. Keris ini adalah
keris warisan. Ayahku adalah seorang yang banyak menyimpan keris-keris
yang baik serupa ini. Tetapi keris yang diberikan kepadaku adalah keris
yang paling baik”.
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka benar kagum melihat keris itu. Buatannya yang halus
dan cermat. Terlebih-lebih lagi bahwa keris itu seakan-akan mempunyai
kekuatan yang tidak kasat mata. Pamornya yang bercahaya kebiru-biruan,
dan yang sangat menarik perhatian adalah bintik-bintik yang berwarna
kekuning-kuningan sehingga seolah-olah di dalam cahaya yang
kebiru-biruan itu memancar percikan-percikan warna keemasan.
“Bukan main” berkata kawannya yang lain,
“Hanya keris yang tiada taranya dapat memancarkan cahaya yang demikian
cerahnya. Aku memang pernah melihat keris yang seakan-akan menyalakan
warna kebiru-biruan, dan aku pernah juga melihat keris yang bagaikan
bara api di malam hari. Tetapi aku tidak pernah merasakan getar yang
langsung menyusup sampai ke pusat jantung seperti ketika aku menyentuh
tangkai keris ini”.
Kebo Ijo mengangkat kepalanya sambil
tersenyum. Dan ia pun kemudian meninggalkan kawan-kawannya yang sedang
mengaguminya. Ia pergi dari seorang kawan ke kawannya yang lain.
Demikianlah dalam beberapa hari saja,
telah banyak kawan-kawan Kebo Ijo yang mengetahui, bahwa Kebo Ijo
memiliki sebilah keris yang amat bagus.
Tetapi sampai sekian jauh, Kebo Ijo tidak
mau memamerkan kerisnya itu kepada Witantra. Ia takut kalau kakak
seperguruannya itu akan mendesaknya, darimana ia mendapat keris itu.
Kalau ia mengatakannya bahwa keris itu didapatkannya dari ayahnya, maka
Witantra pasti akan bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa warisan itu
baru kini dilihatnya, setelah ia bergaul sekian lama dengan Kebo Ijo
sebagai saudara seperguruan.
Ken Arok yang telah menyusun rencananya
dengan cermat, mengikuti perkembangan keadaan dengan seksama. Hampir
setiap hari ia medengar, kawan-kawan Kebo Ijo mempercakapkan keris yang
pernah dipamerkannya kepadanya.
Namun setelah Kebo Ijo puas dengan
kekaguman beberapa orang kepadanya, maka kawan-kawannya pun telah mulai
melupakannya pula. Sebagian yang lain sudah tidak memperhatikannya lagi.
Adalah soal yang sangat wajar, bahwa seseorang menerima warisan sebilah
keris. Dan Kebo Ijo adalah salah seorang dari mereka yang menerima
warisan serupa itu.
Sedang Kebo Ijo sendiri pun akhirnya
hampir melupakannya pula, bahwa ia masih menyimpan sebilah keris yang
hampir tiada celanya kepunyaan Ken Arok.
Semuanya itu sama sekali tidak terlepas
dari pengamatan Ken Arok. Hampir setiap kejap mata ia mematangkan
rencananya. Tidak seorang pun orang-orang di dalam istana Tumapel yang
terlepas dari pengamatannya. Sejak Akuwu Tunggul Ametung, sampai kepada
jajar dan Juru Taman. Apalagi para emban, juru dang, juru pengangsu,
juru penebah. Semuanya diperhatikannya seorang demi seorang.
Tetapi dari sekian banyak orang yang
diperhatikan oleh Ken Arok, namun masih ada seorang yang terlepas dari
pengawasannya. Seorang yang bagi Ken Arok tidak begitu penting, meskipun
ia selalu dekat dengan Ken Dedes. Yaitu emban tua pemomong Ken Dedes.
Ketika Kebo Ijo telah jemu memamerkan
keris yang dipinjamnya dari Ken Arok, maka Ken Arok merasa, bahwa ia
sudah hampir sampai kepada puncak rencana yang telah disusunnya. Ia
harus bekerja semakin cermat dan kadang-kadang ia harus masih berjuang
melawan segala macam persoalan di dalam dirinya sendiri. Apalagi setiap
persoalan dipikirkan dan dilaksanakannya seorang diri. Ia tidak percaya
kepada siapapun juga. Meskipun ia berusaha membangunkan suasana yang
aneh di dalam istana Tumapel dengan menghambur-hamburkan simpanannya
yang didapatkannya dari beberapa orang perampok, dan yang masih
disimpannya di dalam hutan, namun tidak seorangpun yang tahu, bahwa
sumber dari keadaan yang aneh itu adalah Ken Arok. Yang terjadi di
Istana Tumapel adalah suasana yang diliputi oleh kabut rahasia. Hampir
setiap orang hanya sekedar memikirkan dirinya sendiri. Tidak seorang pun
yang tahu, siapakah yang mulai, membiuskan segala macam asap
kemaksiatan. Kini hampir setiap orang di dalam lingkungan istana telah
dihinggapi oleh penyakit harta dan benda. Suap dan judi. Dan segala
macam kelemahan batin yang lain.
Betapa prihatin Witantra melihat suasana
itu. Tetapi ia kehilangan kesempatan untuk mencarinya. Akuwu Tunggul
Ametung tanpa sesadarnya telah menjauhkan pimpinan pengawal itu dari
padanya. Bahkan beberapa anak buahnya pun telah tidak dapat dipercaya
lagi. Sekali dua kali, Witantra sendiri hampir terjerat dalam keadaan
yang serupa. Namun setiap ia mencoba menyelusur sumber dari segala
kekalutan itu, ia terbentur kepada banyak sekali kesulitan.
Ken Arok melihat suasana itu dengan hati
yang berdebar. Ia tidak boleh meleset. Setiap langkah harus
diperhitungkannya. Dan langkah yang kemudian adalah menyingkirkan Akuwu
Tunggul Ametung.
Tetapi kematian Tunggul Ametung bukanlah tujuan yang terakhir. Tujuan yang terakhir adalah memperisteri Ken Dedes.
Seorang perempuan yang memiliki kelebihan
dari perempuan-perempuan lain. Perempuan yang demikian itulah yang dari
guwa-garbanya kelak akan melahirkan orang-orang besar di Tanah Tumapel,
bahkan di seluruh daerah Kediri dan tanah-tanah di sekitarnya.
Ken Arok yang telah disilaukan oleh
cita-citanya yang membumbung sampai ke langit itu, kemudian sudah tidak
dapat melangkah surut lagi. Empu Gandring telah dikorbankannya. Kemudian
datang giliran Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu yang hanya memikirkan diri
sendiri. Akuwu yang sama sekali tidak dapat mengerti, apa yang sedang
berkembang dan apa yang sedang bergolak di wilayahnya.
Dan saat yang ditunggu-tunggu oleh Ken Arok itu pun telah datang.
Dalam malam yang gelap, Ken Arok berjalan
tersuruk-suruk pergi ke rumah Kebo Ijo. Udara yang pengap panas telah
memeras keringat dari tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya,
dilihatnya langit yang hitam kelam, dilapisi oleh mendung yang tebal.
“Hujan akan turun” desis Ken Arok, “Aku
harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Tetapi hujan yang nanti akan
turun, apabila tidak terlampau cepat, justru akan dapat membantuku”.
Dengan hati-hati Ken Arok berjalan di
dalam kelam, menyusuri jalan sempit yang menuju ke rumah Kebo Ijo. Tidak
lewat jalan yang cukup lebar seperti biasanya, yang akan sampai ke
regol depan, tetapi Ken Arok memilih jalan sempit yang menuju ke butulan
dinding halaman rumah Kebo Ijo.
Dengan mengerahkan segenap kemampuannya,
Ken Arok berusaha untuk memasuki halaman rumah Kebo Ijo dari arah
belakang. Dengan lincahnya ia meloncat seperti seekor tupai tanpa
menimbulkan suara apapun. Kemudian dengan mengendap-endapkan dirinya ia
berjalan mendekati rumah sahabatnya itu. Beberapa saat ia berdiri di
belakang rumah itu untuk memperhatikan keadaan, kalau-kalau masih ada
seseorang pembantu rumah Kebo Ijo yang masih terbangun.
Namun rumah itu telah benar-benar menjadi sepi. Sepi, tanpa sepercik bunyi apapun.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Sebagai seorang sahabat, ia sudah sering datang ke rumah itu. Ia
mengenal semua segi dan sudut-sudutnya seperti ia mengenal rumahnya
sendiri. Namun Ken Arok sadar sesadar-sadarnya, sejak ia bersahabat
terlampau erat dengan Kebo Ijo itu, bahwa pada suatu saat sahabatnya ini
pun harus, diumpankannya. Ia akan menjadi salah satu alas untuk
meloncat mencapai cita-citanya.
Setelah menenangkan hatinya sejenak, Ken
Arok itu pun segera mulai bekerja. Dengan hati-hati ia berusaha membuka
selarak pintu belakang. Ia tidak ingin melakukannya dengan kekerasan,
supaya rencananya dapat berlangsung dengan sempurna.
Ken Arok menahan nafas ketika ia
mendengar selarak itu bergeser dan berderit. Sejenak ia menunggu.
Kalau-kalau seseorang terbangun karenanya. Tetapi agaknya rumah itu
masih tetap sepi.
Maka dengan sangat berhati-hati Ken Arok
kemudian mendorong pintu itu, sehingga perlahan-lahan pintu itu pun
terbuka. Semakin lama semakin lebar, semakin lebar.
Ketika pintu itu kemudian menganga, Ken
Arok menarik nafas dalam-dalam. Sebagian terbesar dari usahanya telah
berhasil, karena seterusnya, pekerjaannya, tidak akan begitu berat lagi.
Dengan tidak mendapat kesukaran apapun juga Ken Arok masuk ke ruang
tengah. Didapatkannya sebuah geledeg dari kayu. Disitulah kerisnya
disimpan oleh Kebo Ijo.
Dengan hati-hati Ken Arok membuka geledeg
itu, kemudian diambilnya kerisnya. Sekali lagi Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam. Ditekankannya keris itu di dadanya sambil berdesis, “Kini
datang lagi saatnya aku memerlukan pertolonganmu” Sejenak kemudian Ken
Arok itu pun dengan hati-hati pula merayap keluar dari ruang tengah. Ia
mengambil jalan seperti pada saat ia masuk. Selarak pintu yang tersandar
miring, dilepaskannya sama sekali, kemudian ditutupnya pintu itu
rapat-rapat kembali, sehingga kesan yang pertama-tama akan dilihat
adalah, bahwa pintu itu lupa tidak diselarak.
Demikianlah, setelah berada di luar, Ken
Arokpun kemudian meloncat dan berlari-lari kecil di dalam gelapnya malam
menuju ke istana. Semuanya harus terjadi malam itu. Malam itu, tidak
dapat ditundanya lagi.
Semakin dekat Ken Arok dengan dinding
halaman istana, Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Kali ini ia
tidak masuk lewat pintu gerbang. Baik pintu gerbang depan maupun
samping. Tetapi Ken Arok ingin meloncati dinding yang cukup tinggi itu.
Tetapi Ken Arok memang seakan-akan telah
menguasai keadaan. Ia mengerti benar-benar, dimanakah tempat-tempat,
sudut-sudut dan bagian-bagian yang dijaga dan mendapat pengawasan
langsung. Karena itu, maka ia dapat memilih tempat yang lepas sama
sekali dari segala pengawasan.
Dengan kemampuan yang ada padanya, Ken
Arok meloncat ke atas dinding yang tinggi itu dengan penuh kewaspadaan.
Kemudian meloncat masuk ke dalam kegelapan. Dengan hati-hati ia berjalan
terbungkuk-bungkuk menyusup dinding. Sebagai seorang pelayan dalam,
maka ia mengenal segala lekuk dan liku Istana Tumapel. Dan ia mengenal
pula, dimanakah Akuwu Tunggul Ametung sedang tidur.
Ken Arok sebenarnyalah memang orang yang
memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Ia ternyata berhasil
menyusup dari sela-sela daerah pengawasan para penjaga, mendekati bilik
tempat tidur Akuwu. Ia merayap setapak demi setapak, dari balik gerumbnl
yang satu ke balik gerumbul yang lain.
Malam pun semakin lama menjadi semakin
dalam. Dan para penjaga pun menjadi semakin letih. Sementara itu, Keri
Arok telah berada beberapa langkah dari serambi belakang Istana Tumapel.
Dengan hati-hati dilihatnya keseluruhan suasana halaman belakang istana
itu dari kegelapan. Sejenak ia berjongkok di balik sebuah gerumbul
bunga. Namun betapapun juga, hatinya, masih juga berdebar-debar.
Dengan cermat Ken Arok memperhitungkan
setiap keadaan. Ia harus sangat berhati-hati. Betapapun ia memiliki
kemampuan yang mengagumkan, namun Istana Tumapel pun berisi banyak
sekali prajurit dan orang-orang yang memiliki kemampuan dan ilmu yang
tidak dapat diabaikannya.
Sehingga akhirnya pada suatu saat Ken
Arok menemukan kesempatan itu. Kesempatan yang ditunggu-tunggunya.
Ketika seorang penjaga baru saja lewat di depan pintu serambi, Ken Arok
justru melangkah dengan tenangnya, masuk ke dalam. Namun begitu ia
berada di dalam serambi, segera ia berlindung di balik sehelai tirai.
Dadanya pun menjadi kian berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja ia menjadi cemas.
“Mudah-mudahan Akuwu sedang berada di
biliknya sendiri. Kalau Akuwu berada di bilik Ken Dedes, maka usahaku
akan gagal, atau aku terpaksa berbuat dengan agak kasar” desisnya di
dalam hati, “Akuwu akan berada di dalam bilik itu semalam penuh”.
Ken Arok menahan nafasnya ketika ia mendengear langkah kecil-kecil lewat di depan tirai itu. Seorang emban.
”Aku harus melihat bilik Akuwu lebih dadulu” ia berkata di dalam hatinya pula.
Sejenak kemudian Ken Arok pun meloncat
dari balik tirai yang satu ke balik tirai yang lain. Kemudian ia turun
ke longkangan dalam. Ketika seorang prajurit lewat, ia segera berjongkok
di balik sebuah arca yang berada di dalam kegelapan, di sudut
longkangan.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika
prajurit itu kemudian hilang dari pintu samping. Dan longkangan itu pun
kembali menjadi sepi. Kalau ia kemudian naik tangga, ia akan memasuki
bagian dalam dari Istana Tumapel. Dan ia akan melampaui beberapa ruangan
sebelum ia sampai ke dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Namun bagian istana yang terpisah satu
dengan yang lain, agaknya mempermudah usahanya untuk mendekati bilik
Akuwu Tunggul Ametung. Kadang-kadang ia masih harus bersembunyi di balik
tirai yang tebal, dan kadang-kadang dibalik daun pintu yang terbuka.
Bahkan kadang-kadang dibalik peti-peti dan kotak-kotak tempat hiasan dan
juga dibalik patung-patung yang berserakan di dalam istana.
Akhirnya Ken Arok sampai juga kedekat
bilik Akuwu Tunggul Ametung. Dengan dada yang berdebar-debar ia
berjongkok di balik sebuah tirai yang gelap. Dicobanya untuk mengatur
perasaannya yang bergejolak. Yang bahkan kadang-kadang masih juga
disentuh oleh keragu-raguan.
Namun setiap kali Ken Arok menggeretakkan
giginya. Ia sudah tidak dapat melangkah surut. Tidak. Tidak dapat. Ia
harus berjalan terus. Dan malam ini semuanya harus dilakukan. Kalau
tidak ia pasti akan gagal. Dan apa yang akan terjadi atasnya, sama
sekali tidak dapat dibayangkannya.
Tetapi dada Ken Arok masih juga
berdebar-debar. Ia memerlukan waktu untuk dapat mengatur perasaannya.
Sehingga akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam.
“Bilik itu sangat sepi” katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan Akuwu Tunggul Ametung tidur di dalamnya”.
Maka sejenak kemudian jatuhlah keputusannya. Ia harus melaksanakan selagi bilik itu masih sepi.
Sesaat kemudian Ken Arok pun berdiri.
Dipasangnya telinganya baik-baik. Karena ia tidak mendengar apapun juga,
maka ia pun menjengukkan kepalanya. Sepi. Benar-benar sepi.
Dengan hati-hati Ken Arok melangkah
mendekati pintu bilik. Perlahan-lahan sekali ia mendorong kesamping. Dan
pintu itu pun mulai terbuka. Seperti kebiasaannya, Akuwu yang merasa
aman di dalam istananya tidak pernah mengancing pintunya, seperti juga
pintu-pintu bilik yang lain.
Dalam Ken Arok menjadi bertambah sesak
ketika ia melihat Akuwu tidur terbujur di pembaringannya dengan
tenangnya. Sejenak ia berdiri diam di luar pintu. Namun tiba-tiba ia
menyadari bahwa setiap saat seorang emban atau seorang Pelayan Dalam
yang sedang bertugas akan lewat di muka bilik ini. Karena itu, maka Ken
Arok pun dengan tergesa-gesa meloncat masuk.
Namun ternyata bahwa Akuwu Tunggul
Ametung adalah seorang yang luar biasa. Betapa pun Ken Arok mencoba
menghilangkan gemerisik yang mungkin timbul oleh langkahnya, dan betapa
halusnya suara loncatannya, ternyata telah menyentuh pendengaran Akuwu
yang sedang tidur nyenyak itu.
Dada Ken Arok bergetar dahsyat sekali, ketika ia melihat Akuwu Tunggul Ametung bergerak, dan bahkan kemudian membuka matanya.
Datanglah suatu saat dimana ia tidak
mampu lagi untuk berpikir. Akuwu Tunggul Ametung telah membuka matanya
meskipun ia masih dipengaruhi oleh suasana yang masih kabur, karena baru
saja ia terbangun.
Tetapi dalam waktu sekejap Akuwu itu
pasti sudah akan bersikap lain. Kalau Akuwu itu menyadari apa yang
dihadapinya, maka ia tidak akan membiarkan dadanya berlubang oleh keris
buatan Empu Gandring itu.
Karena itu, maka dalam keadaan tanpa
pilihan itulah, maka Ken Arok segera meloncat menerkam Akuwu Tunggul
Ametung yang belum menyadari benar keadaannya. Ia hanya melihat sebuah
bayangan seolah-olah terbang menimpanya. Kemudian terasa sesuatu
menghunjam di dadanya.
Dengan gerak naluriah, Akuwu Tunggul
Ametung mencoba membela dirinya. Tetapi semuanya sudah terlambat. Ken
Arok pun bukan orang kebanyakan, sedang keris yang dipakainya pun adalah
sebilah keris buatan Empu Gandring yang hampir tidak ada tara
bandingnya.
Meskipun demikian, hempasan tangan Akuwu
Tunggu Ametung telah mengenai kening Ken Arok. Sesaat matanya menjadi
berkunang-kunang, dan ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat
bertahan lagi ia pun terhempas di atas lantai, sehingga terasa kepalanya
seakan-akan berputar.
Sejenak Ken Arok mencoba bertahan untuk
tidak kehilangan seluruh kesadarannya. Dalam keadaannya ia sempat
melihat, Akuwu Tunggul Ametung bangkit sambil memegang hulu keris yang
masih tertancap di dadanya. Dengan kemarahan yang memancar dari wajahnya
ia memandang Ken Arok yan masih terbaring di lantai.
Namun ketika Akuwu Tunggul Ametung mencoba untuk berdiri, maka ia pun terdorong surut, dan jatuh ke atas pembaringannya.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Akuwu
Tunggul Ametung menghembuskan nafasnya yang terakhir di pinggir
pembaringannya yang menjadi merah oleh darah yang memancar dari lukanya.
Tetapi ternyata darah Akuwu tidak terlampau banyak mengalir. Darah itu
pun segera menjadi biru dan merah beku.
Ken Arok yang masih belum mampu menguasai
keseimbangannya, masih juga terbaring di lantai. Dengan sekuat
tenaganya ia memusatkan segenap kemampuan yang ada padanya sehingga
perlahan-lahan ia berhasil menguasai dirinya. Perlahan pula ia bangkit.
Kemudian memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Semuanya itu hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
Namun dalam waktu yang sangat singkat
itu, bilik Akuwu telah menjadi berubah sama sekali. Kesan yang timbul
bagi mereka yang pertama-tama melihat bilik itu, adalah sesuatu
perkelahian. Karena ternyata letak Akuwu Tunggul Ametung pun tidak lagi
seperti pada saat ia masih tidur nyenyak.
Beberapa macam hiasan yang terdorong oleh
tubuh Ken Arok pun telah tergeser, dan darah yang menitik di beberapa
tempat pada saat Akuwu mencoba bangkit berdiri.
Setelah Ken Arok menjadi sadar
sesadar-sadarnya, maka barulah ia dapat menilai keadaan yang sedang
dihadapinya. Akuwu Tunggul Ametung ternyata telah mati.
Dengan serta-merta, Ken Arok pun kemudian
memutus sehelai tali yang berwarna kekuning-kuningan yang memang telah
dibawanya dari baraknya. Tali itu kemudian dilemparkannya ke sudut
pembaringan. Dan tanpa mengambil kerisnya dari dada Akuwu Tunggul
Ametung, maka Ken Arok pun kemudian barusaha meninggalkan bilik itu
untuk seterusnya keluar dari halaman istana.
Tetapi seperti pada saat ia masuk, maka
ia tidak mengambil jalan melalui regol-regol halaman. Tetapi ia menyusur
tempat yang gelap dan kemudian meloncati dinding halaman, untuk
seterusnya pergi menghilang.
Beberapa puluh langkah dari dinding yang
diloncatinya, Ken Arok berhenti. Dipandanginya dinding yang tegak
membeku itu. Seolah-olah ia ingin melihat, apa yang kini sedang terjadi
di dalam istana. Tetapi istana itu masih sepi. Seandainya seseorang
telah menemukan Akuwu Tunggul Ametung yang terbunuh itu, maka pasti akan
segera terdengar tanda-tanda dari para pengawal.
Maka Ken Arok pun segera meneruskan
langkahnya. Ia ingin segera sampai ke baraknya. Namun sebelum ia bertemu
dengan seorang pun di dalam barak itu, ia harus membersihkan dirinya
lebih dahulu.
Ternyata Ken Arok mampu bekerja dengan
cermat. Ia berusaha, menghilangkan setiap jejak yang mungkin
ditimbulkan. Karena itu, tanpa setahu seorang pun, ia telah berhasil
masuk ke dalam biliknya dan langsung membaringkan dirinya di
pembaringannya.
Tetapi ternyata ia tidak mendapat
kesempatan untuk membuat penilaian tentang peristiwa yang baru saja
dilakukannya. Karena belum lagi ia meluruskan letak kakinya, Tumapel
telah digemparkan oleh suara titir yang menjalar dari sebuah kentongan
ke kentongan lainnya di sudut-sudut padukuhan, di gardu-gardu, di
panggungan-panggungan.
Para Pelayan Dalam yang sedang tidak
bertugas, dan berada di baraknya segera berloncatan dari pembaringan
mereka. Sejenak kemudian mereka telah berada di luar bilik
masing-masing.
Suara titir itu semakin lama menjadi
semakin merata. Kemudian di antara suara titir yang mengumandang di
seluruh kota itu, terdengar perintah setiap pimpinan pasukan agar setiap
orang di dalam pasukannya segera bersiap.
“Sesuatu telah terjadi” bisik setiap orang.
Ken Arok pun kini telah berada di antara
kawan-kawannya. Dengan wajah tegang ia ikut berbisik-bisik pula,
“Sesuatu telah terjadi”.
Ternyata penghubung yang sedang bertugas
di istana telah melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Sekejap kemudian para
pemimpin tertinggi Tumapel telah mendengar, apa yang terjadi di istana.
Orang yang pertama-tama datang, kecuali
para petugas di istana adalah Witantra. Dengan gemetar ia melangkah
masuk dalam bilik Akuwu. Tidak seorang pun yang berani merubah apa yang
ada di dalam bilik itu. Namun demikian Witantra sudah tidak dapat
melihat, bagaimanakah letak Akuwu pada saat diketemukan, karena ketika
ia memasuki ruangan itu, Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung,
menjerit tinggi sambil memeluk jenazahnya. Dan sejenak kemudian Ken
Dedes itu pun telah menjadi pingsan.
“Bawalah ia ke bilik sebelah” perintah Witantra kepada para emban.
Dengan ditangisi oleh para emban, Ken
Dedes kemudian dibawa ke bilik sebelah. Dengan cemas dan gemetar emban
pemomongnya berusaha sedapat-dapat dilakukan untuk membuat pemongannya
itu menjadi sadar.
Namun, demikian Permaisuri itu sadar, maka sekali lagi terpekik dan ia segera menjadi pingsan kembali.
Witantra dan beberapa pemimpin Tumapel
yang lain berdiri termangu-mangu di dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Sekali-kali terdengar Witantra menggeretakkan giginya. Ia adalah
pimpinan pasukan pengawal. Karena itu, sebagian terbesar tanggung jawab
atas peristiwa itu berada di tangannya.
Setelah meneliti sejenak, maka Witantra
segera mengeluarkan perintah, “Tidak seorang pun yang diperkenankan
keluar dari halaman istana. Semua pintu harus dijaga”.
Perintah itu pun dalam sekejap telah merata. Setiap pintu regol pun segera ditutup. Tidak seorang pun yang diperkenankan keluar.
Namun dalam pada itu, para pemimpin
pasukan yang lain pun segera berada di istana. Mereka pun kemudian
berkerumun di depan bilik Akuwu. Tetapi belum seorang pun yang berani
terubah sama sekali, apa yang terdapat di dalam bilik itu.
Di luar istana, para prajurit pun
ternyata telah bersiap pu1a. Mereka pun segera mendengar, bahwa Akuwu
Tunggul Ametung telah terbunuh di dalam biliknya.
Para prajurit yang tidak berada di dalam
barak, tetapi di rumah masing-masing pun segera berlari-larian ke induk
pasukan masing-masing untuk mendengar apa yang telah terjadi. Dan mereka
pun hanya dapat menggeretakkan gigi mereka, setelah mereka mendengar
apa yang telah terjadi atas Akuwu Tunggul Ametung.
Tanpa perintah apapun lagi, maka setiap
pemimpin pasukan telah mengetahui apa yang wajib mereka lakukan. Mereka
telah mempersiapkan pasukan masing-masing dalam kesiap-siagaan
tertinggi. Yang pertama-tama terlintas di dalam kepala mereka, ialah
suatu usaha untuk merebut kekuasaan dari tangan Akuwu yang terbunuh itu
oleh sekelompok orang-orang yang tidak menyukainya. Kesimpulan itu
diambil, karena Tumapel saat itu tidak sedang berada dalam perselisihan
dengan pihak luar yang manapun juga.
Bersama beberapa orang tua-tua dan
pemimpin prajurit, Witantra mulai meneliti satu demi satu, apa yang
terdapat di dalam bilik Akuwu. Karena ternyata letak Akuwu sudah
berubah, ketika dengan serta merta Permaisurinya memeluknya sambil
menjerit, maka Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian diangkat dan
dibaringkan di pembaringannya. Namun keris yang tertancap di dada Akuwu
itu masih belum dilepaskan.
Ternyata Witantra mempunyai pandangan
yang tajam sekali atas apa yang terjadi di dalam bilik itu. Meskipun
beberapa bagian dari hiasan yang ada telah tergeser, dan beberapa titik
darah yang memercik dari luka Akuwu, namun dengan nada yang berat
Witantra berkata, “Akuwu tidak mendapat banyak kesempatan untuk membela
dirinya. Mungkin timbul juga sedikit perkelahian, namun agaknya Akuwu
telah tertusuk selagi ia masih tidur”.
Orang-orang lain yang mendengarnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata,
“Kalau Akuwu mendapat kesempatan, maka ia tidak akan terbunuh. Tidak ada
orang lain yang dapat melawannya, apalagi apabila ia sempat mengambil
pusakanya”.
“Ya, karena itu, maka hal ini dapat
terjadi karena kelengahan” Witantra berhenti sejenak, kemudian, “Setiap
orang yang bertugas malam ini akan dimintai pertanggungan jawab. Mereka
harus segera berkumpul setelah menyerahkan tugasnya kepada giliran
berikutnya”.
Dalam pada itu Ken Arok yang telah siap
pula di dalam baraknya menjadi berdebar-debar ketika pemimpin pasukannya
memerintahkan kepadanya dan beberapa perwira yang terdekat dan
terpandang untuk mengikutinya ke istana.
Sebenarnya baginya, lebih baik tinggal di
baraknya daripada pergi ke istana. Apa yang terjadi di istana itu, akan
dapat menggetarkan jantungnya, apabila ia harus menyaksikannya sekali
lagi. Namun demikian, kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia
telah melakukannya dengan sempurna. Apabila timbul keragu-raguannya yang
demikian, maka justru ia ingi melihat akibat dari perbuatannya itu.
Tetapi ia tidak dapat memilih. Dikehendaki atau tidak, mendapat perintah untuk bersama-sama dengan pimpinannya pergi ke istana.
Dengan dada berdebar-debar Ken Arok
dengan tergesa-gesa bersama-sama dengan beberapa orang terkemuka di
dalam lingkungannya memasuki bagian dalam istana. Kedatangan mereka
telah menambah jumlah para pemimpin yang telah ada di dalam istana itu.
Sejenak kemudian mereka berdiri di luar
bilik. Pemimpin pasukannya itu pun kemudian menemui Pimpinan tertinggi
Pelayan Dalam beserta Witantra. Sejenak mereka bercakap-cakap dan
sejenak kemudian pemimpin pasukannya itu pun memanggil Ken Arok
mendekatinya.
Ken Arok masuk ke dalam bilik itu dengan
ragu-ragu. Namun telah berhasil menekan perasaannya, sehingga tidak ada
kesan lain di wajahnya dari pada ketegangan yang memuncak.
“Bawa sekelompok pasukanmu untuk
mengambil alih tugas Pelayan Dalam yang ada di istana. Mereka yang
bertugas pada saat Akuwu terbunuh harus segera berkumpul seperti yang
dilakukan oleh prajurit Pengawal Istana dan prajurit-prajurit dari
kesatuan-kesatuan yang lain yang sedang bertugas”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk dalam sambil menjawab, “Baik. Akan kami lakukan”.
Ken Arok pun segera kembali ke dalam
kelompok yang dipimpinnya. Ternyata semuanya telah bersiap untuk
melakukan tugas apa saja. Termasuk mengambil alih tugas di dalam istana
malam itu.
Sejenak kemudian semua petugas dari
segala kesatuan dan ikatan telah berkumpul. Mereka akan diperiksa
seorang demi seorang oleh pemimpin pasukan masing-masing.
Ken Arok, yang mendapat perintah untuk
mengambil alih tugas Pelayan Dalam malam itu, telah langsung memimpin
sekelompok pasukannya. Dan ia sendiri telah berada pula dekat bilik
tempat Akuwu dibaringkan.
Ketika kebingungan dan kegelisahan telah
mereda. Serta ketika para pemimpin tertinggi setiap kesatuan sudah siap
untuk meninggalkan bilik itu dan memeriksa bawahan mereka masing-masing,
maka tiba-tiba Ken Arok maju menyusup diantara mereka sambil berkata,
“Apakah aku diperkenankan menyatakan pendapat?”
Witantra mengerutkan keningnya. Ia mengenal Ken Arok secara pribadi. Karena itu maka katanya, “Apakah yang akan kau katakan?”
Ken Arok menahan nafasnya sejenak.
Kemudian diedarkannya tatapan matanya berkeliling. Dipandanginya setiap
wajah yang berada di dalam bilik itu. Satu demi satu. Dan setiap mata
yang tersentuh oleh tatapan mata anak muda itu terasa sebuah getar telah
meronta di dalam dada mereka. Ternyata Pelayan Dalam yang seorang ini,
meskipun bukan pimpinan pasukan, dan apalagi pimpinan tertingginya,
mempunyai perbawa yang luar biasa.
“Sebelum kita mulai memeriksa seorang
demi seorang, segala kesatuan yang bertugas, kemanakah kita harus
memusatkan perhatian kita?” bertanya Ken Arok kepada Witantra.
Pertanyaan itu memang terdengar aneh
sekali. Beberapa orang saling berpandangan. Namun Witantra sendiri
mengetahui arah pertanyaan itu, karena ia masih menimang sehelai tali
yang berwarna kekuning-kuningan yang terputus dan diketemukan di dalam
bilik itu juga. Karena itu maka sambil mengangkat tali berwarna kuning
itu ia menjawab, “Ya, aku sependapat, meskipun tidak mutlak. Bukankah
kau melihat tali ini, sehingga kau mengajukan pertanyaan itu?”
“Ya” jawab Ken Arok, “Dan aku mendengar
dari orang-orang yang telah hadir lebih dahulu, bahwa tali itu
diketemukan di dalam bilik ini juga”.
“Ya” sahut Witantra, “Aku sependapat sepenuhnya, siapakah yang harus mendapat perhatian lebih banyak”.
“Baiklah” berkata Ken Arok, “Selanjutnya,
apakah aku diperkenankan melihat keris yang tertancap di dada Akuwu
Tunggul Ametung itu?”
Witantra mengerutkan keningnya.
Dipandanginya para pemimpin tertinggi dari pasukan-pasukan yang lain,
selain para tetua Pemerintahan Tumapel.
“Nanti dulu Angger Witantra” berkata
seorang tua, “Kita sedang menunggu seorang pendeta untuk mengucapkan doa
dan mantra. Pendeta itulah yang akan mengambil keris itu dari dada
Akuwu Tunggul Ametung. Kita tidak tahu, apakah keris itu mengandung tuah
dan kekuatan yang hitam”.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun Ken Arok menyahut, “Aku tidak dapat menolak kepercayaan itu.
Tetapi kita harus dengan cepat mengetahui, siapakah pembunuhnya, sebelum
ia sendiri sempat melarikan diri. Karena itu, biarlah aku menyediakan
diri untuk melihat keris itu. Seandainya ada kekuatan hitam yang
bagaimanapun juga, aku kira aku akan dapat mengatasinya”.
Orang-orang tua yang ada di dalam bilik
itu mengerutkan kening? mereka yang telah berkerut-merut. Salah seorang
maju kedepan sambil berkata, “Kau masih terlampau muda”.
“Tetapi kita bertanggung jawab. Kalau pembunuh itu sempat melarikan diri, maka kita akan kehilangan jejak”.
“Lalu apakah dengan keris itu kau dapat menemukan pembunuhnya?”
“Belum tentu. Tetapi kadang-kadang kita dapat mengenal keris seseorang. Apalagi keris yang mampu menembus dada Akuwu”.
Witantra tidak segera dapat memberikan
keputusan. Pendapat Ken Arok itu memang dapat diterima oleh akal. Tali
kuning yang dipegangnya itu telah sedikit memberikan arah. Kemudian
apabila keris itu memang dapat berbicara, maka ia akan segera dapat
mencari jejak pembunuhnya.
Orang-orang tua yang berdiri di dalam
bilik itu menjadi bimbang. Mereka sebenarnya masih menunggu seorang
pendeta yang dapat menawarkan pengaruh jahat dari keris itu. Tetapi
agaknya Ken Arok terlampau mendesak. Dan agaknya para pemimpin pasukan
lebih condong untuk melakukannya segera.
Dalam keragu-raguan itu Witantra berkata,
“Baiklah. Kita cabut saja keris itu. Nanti kita lihat bersama-sama,
apakah diantara kita atau siapapun juga, ada yang pernah mengenal,
senjata siapakah yang tertinggal setelah dipakainya untuk membunuh Akuwu
Tunggul Ametung. Mungkin pembunuh itu terlalu tergesa-gesa karena Akuwu
sempat melakukan perlawanan meskipun tidak begitu berarti, sehingga ia
tidak sempat membawa senjatanya”.
Para pemimpin kesatuan prajurit Tumapel mengangguk-anggukkan kepala mereka, sedang orang-orang tua masih juga menjadi ragu-ragu.
“Baiklah. Kita lihat saja keris itu”.
Witantra pun kemudian maju mendekat.
Dengan tangam gemetar diraihnya keris itu. Dan sambil memejamkan
matanya, maka dicabutlah keris yang berlumuran darah yang telah membeku
itu sambil berdesis, “Biarlah aku menanggung segala akibatnya. Bukan
orang lain. Akulah yang paling bertanggung jawab atas kejadian yang
paling memalukan ini, sehingga seorang Akuwu telah terbunuh di dalam
biliknya”.
Ken Arok berdiri tegak ditempatnya.
Ternyata Witantra sendirilah yang melakukannya, mencabut keris itu dari
dada Akuwu Tunggul Ametung.
Tangan Witantra menjadi semakin gemetar
ketika ia kemudian mengangkat keris itu. Dadanya menjadi berdebar-debar.
Ternyata keris itu adalah keris yang luar biasa. Meskipun telah
dilumuri oleh darah yang merah kehitam-hitaman, namun masih juga tampak
cahaya kebiru-biruan memancar dari padanya.
“Keris yang memiliki daya kemampuan yang
luar biasa” ia berdesis. Namun kemudian Witantra itu mengerutkan
keningnya. Ternyata diantara cahaya yang kebiru-biruaa itu terdapat tiga
bintik cahaya berwarna kekuning-kuningan.
Sambil menahan nafasnya, dengan suara
gemetar Witantra itu berkata, “Nah, siapakah yang telah mengenal keris
ini?” Beberapa orang .mengerutkan keningnya. Ketika keris itu masih
tertancap di dada Akuwu mereka tidak begitu banyak berkesempatan untuk
melihatnya dengan jelas karena kesibukan, kebingungan dan memang maksud
yang demikian itu masih belum terlintas di dalam kepala setiap orang
yang ada di dalam bilik itu. Namun kini, segenap perhatian mereka
tertumpah pada keris itu. Pada keris yang bercahaya kebiru-biruan dan
berbintik kuning. Keris yang memiliki kekhususan dan tidak ada duanya.
Karena itu, maka beberapa di antara
orang-orang tua itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata ada beberapa
diantara mereka yang rasa-rasanya telah pernah melihat dan mengenal
keris itu. Satu dua pemimpin pasukan yang ada di dalam bilik itu pun
menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Apakah penglihatan matanya itu
benar.
Tiba-tiba seorang tua maju kedepan.
Dengan wajah yang tegang diamatinya keris itu. Ujungnya, pamornya yang
terbalut oleh darah yang membeku, kemudian hulu keris yang mempunyai
bentuk yang tidak lazim itu.
Dengan bibir gemetar orang tua itu
berkata ”Aku pernah melihat keris ini. Ya, aku pernah melihatnya, ketika
pemiliknya minta pertimbangan tentang nilai dari keris ini”.
Dahi Witantra menjadi berkerut-merut.
“Apakah Angger Witantra belum pernah melihatnya?” bertanya orang tua itu.
Witantra menggelengkan kepalanya, “Belum. Aku belum pernah melihatnya”.
Bibir orang tua itu bergerak-gerak, tetapi sama sekali tidak terdengar suara apapun yang diucapkannya.
“Siapakah yang mempunyai keris ini?” desak Witantra.
Selangkah demi selangkah orang tua itu bergeser mundur.
“Siapa?” desak Witantra.
Tetapi orang tua itu justru menggelengkan kepalanya.
“Siapa? Siapa?” Witantra malangkah maju, “Sebutkan, siapakah yang mempunyai keris ini?”
Orang tua itu masih belum mengucapkan
sesuatu. Bahkan ia berpaling untuk menatap wajah kawan-kawannya, para
tetua Pemerintahan Tumapel.
“Katakan, katakan” Witantra hampir berteriak. Orang tua itu bahkan menjadi gemetar.
Namun dalam pada itu, seorang tua yang
lain melangkah maju. Dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya,
“Apakah Angger Witantra memang belum pernah melihat keris ini”
“Belum, aku memang belum pernah melihatnya”.
Orang tua itu memandang wajah Witantra
dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Sebenarnya kami mengharap bahwa
Angger Witantra sendirilah yang akan menyebut, siapakah yang memiliki
keris ini”.
“Jangan membuat aku menjadi gila.
Katakanlah, siapa yang memiliki keris ini. Aku benar-benar tidak tahu
dan baru kali inilah aku melihat keris ini”.
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya dengan nafas yang terengah-engah, “Terlampau berat
untuk menyebutkannya. Tetapi apaboleh buat kalau Angger menghendakinya”.
”Katakan” Witantra hampir berteriak.
“Keris itu milik perguruan Angger Witantra sendiri, atau setidak-tidaknya milik saudara seperguruan Angger”.
“He?” jawaban orang tua itu serasa ledakan petir di telinga Witantra yang berdiri tegak dengan tubuh gemetar.
Sejenak pemimpin pasukan pengawal istana
itu seolah-olah membeku di tempatnya sambil memandangi keris itu.
Sekali-kali ia menatap orang tua yang mengatakan, bahwa keris itu keris
perguruannya.
Setelah getar di dadanya mereda, maka dengan suara gemetar ia bertanya, “Apakah yang kau maksud sebenarnya?”
“Demikianlah. Keris itu adalah keris yang seharusnya Angger kenal dengan baik”.
”Aku tidak mengenal keris ini.
Perguruanku tidak mengenal pula keris ini”. Witantra berkata dengan
tegas, “Sebutkan, sebutkan, siapakah pemiliknya?”
Orang tua itu menjadi ragu-ragu.
“Sepanjang umurku, aku belum, pernah melihat guruku memiliki keris serupa itu”.
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Memang aku kira keris itu bukan keris yang
temurun dari guru ke murid. Menurut pengakuannya keris itu diterima
sebagai warisan dari ayahnya sendiri”.
“Ya, tetapi kau belum menyebut orangnya”.
“Keris itu pernah, dibawa kepadaku pula,
untuk mendapat penilaian tentang bentuk dan pamornya. Keris itu menang
keris yang luar biasa”.
“Tetapi sebut namanya. Siapa orang yang membawa keris itu?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dan
Witantra berteriak, “Katakanlah. Hanya ada tiga orang murid di
perguruanku, Aku sendiri, Mahendra dan Kebo Ijo. Siapakah diantara kami
yang pernah datang kepadamu dan kepada orang lain untuk memperlihatkan
keris itu?”
“Maaf ngger. Orang itu adalah yang kau sebut terakhir”
“Kebo Ijo?” mata Witantra terbelalak.
Orang itu menganggukkan kepalanya, “Ya,
Angger Kebo Ijo. Aku kira banyak orang yang pernah melihat Angger Kebo
Ijo membawa keris itu. Aku sendiri yakin, bahwa keris itulah yang pernah
dibawa ke rumahku”.
Dada Witantra serasa akan meledak
mendengar keterangan itu. Apalagi ketika terpandang olehnya tali yang
berwarna kuning keemasan yang diketemukannya di dalam bilik itu.
Petunjuk, yang ada memang mendekatkan keterangan itu pada kemungkinan
terjadi.
Ketika ia mendengar Ken Arok berbicara,
maka serasa ruangan.itu akan meledak, “Aku juga pernah melihat keris itu
Witantra. Maaf, memang menjadi sifat Kebo Ijo. Ia memamerkan keris itu
kepada banyak orang, sehingga banyak sekali yang akan dapat menjadi
saksi, bahwa keris itu adalah keris Kebo Ijo. Aku adalah sahabatnya yang
terdekat. Aku tahu benar, bahwa ia sangat berbangga dengan keris itu.
Tetapi aku tidak tahu, bahwa pada suatu saat ia telah mempergunakan
kerisnya”.
Wajah Witantra menjadi merah seperti
darah. Antara terdengar dan tidak ia menggeram, “Tidak mungkin. Betapa
gilanya anak itu, tetapi ia tidak akan melakukannya”. Meskipun demikian
sebagai seorang prajurit ia berkata, “Tangkap anak itu. Bawa ia kemari”.
Seorang pandega pengawal istana menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Akan segera aku jalankan”.
Tetapi sebelum orang itu berangkat, maka
Ken Arok berkata, “Witantra. Mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak
kita kehendaki. Kita mengetahui, bahwa Kebo Ijo bukanlah seorang
kebanyakan dan dapat dianggap ringan. Apalagi ia merasa, bahwa ia telah
berbuat kesalahan. Aku kira akan lebih baik, apabila, dicari jalan lain
untuk membawanya kemari”.
“Maksudmu?”
“Aku akan menemuinya. Aku akan membawanya kemari dengan cara seorang sahabat”.
Witantra mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Kau dapat mencobanya Ken Arok. Pergilah bersama perwira itu”.
Ken Arok mengangguk sambil berkata, “Terima kasih atas kesempatan ini”.
Kemudian kepada perwira pandega pengawal itu ia berkata, “Marilah kita pergi”.
Keduanya pun kemudian meninggalkan
istana. Perwira itu semula ingin membawa beberapa orang terpercaya
apabila terjadi sesuatu, tetapi Ken Arok berkata, “Itu tidak perlu. Aku
akan mencoba membujuknya”.
Keduanya pun kemudian berpacu dia tas
punggung kuda. Dalam sepi malam derap kaki-kaki kuda itu mengumandang
menyusup kesegenap sudut kota.
Sejenak kemudian mereka telah sampai ke
barak pasukan pengawal istana. Semua orang telah bersiap, dan para
perwiranya pun telah hadir pula. Demikian juga para perwira yang tinggal
di rumah masing-masing, diantaranya Kebo Ijo.
Kebo Ijo terkejut ketika ia melihat Ken Arok mencarinya bersama seorang perwira bawahan Witantra.
“Tunggulah di sini” berkata Ken Arok, “Aku akan mencoba membujuknya”.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Ia
melihat Kebo Ijo dalam sikapnya yang wajar. Tidak tampak tanda-tanda
apapun padanya. Bahkan ketika ia melihat kedatangan mereka, ia masih
saja tersenyum dengan tenangnya.
“Anak itu licik seperti setan” desis Ken Arok. Perwira itu menganggukkan kepalanya.
Ken Arok pun kemudian menemui Kebo Ijo
seorang diri. Dibawanya Kebo Ijo menyendiri, meskipun tidak terlampau
jauh, sehingga perwira bawahan Witantra itu dapat mengawasinya apabila
terjadi sesuatu.
“Kebo Ijo” berkata Ken Arok perlahan-lahan agaknya Tumapel sedang disaput oleh kabut yang hitam”.
Kebo lio tertawa pendek , “Kematian Akuwu maksudmu?”
“Ya. Tumapel akan terguncang karenanya.
Akuwu sama sekali belum mempunyai seorang putera yang akan dapat
menggantikan kedudukannya”.
Kebo Ijo tidak segera menyahut.
Dipandanginya wajah Ken Arok yang tampak bersungguh-sungguh itu sejenak.
Kemudian sekali lagi Kebo Ijo tertawa, “Kenapa kau tampak murung
sekali? Bukankah Akuwu Tunggul Ametung itu bukan sanak, bukan kadangmu?”
“Benar Kebo Ijo. Akuwu memang bukan sanak
bukan kadang. Tetapi yang penting bagiku adalah Tumapel. Lalu bagaimana
dengan Tumapel kemudian?”
“Itu bukan urusanmu Ken Arok. Kau tidak usah ikut berpusing kepala”.
“Tentu tidak mungkin Kebo Ijo”. Kebo Ijo tertawa. Kali ini lebih keras.
Dalam pada itu, perwira yang mendapat
tugas bersama Ken Arok menjadi heran melihat sikap Kebo Ijo. Timbulah
perasaan curiga di dalam hatinya, seakan-akan anak itu sama sekali tidak
menghiraukan apa yang telah terjadi. Karena itu, maka ia pun kemudian
mendekatinya.
“Kemarilah” panggil Kebo Ijo, “Jangan seperti orang asing di sini”.
Perwira itu menganggukkan kepalanya. Ia
sudah banyak mengenal tentang Kebo Ijo. Meskipun demikian sikapnya tidak
menyenangkannya.
“Kau juga berduka seperti Ken Arok?” bertanya Kebo Ijo.
“Jagalah mulutmu Kebo Ijo. Sejak dahulu aku telah memperingatkan kau. Apalagi dalam keadaan serupa ini” desis Ken Arok.
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Adalah menjadi kuwajiban kita untuk
memikirkan hari depan Tumapel. Kita tidak dapat berpeluk tangan, acuh
tidak acuh saja menanggapi setiap keadaan. Apalagi puncak dari persoalan
kali ini”.
“Kenapa kau tidak memilih aku saja untuk menjadi seorang Akuwu?” desis Kebo Ijo sambil tersenyum.
“Ah” Ken Arok berdesah, “Kau memang terlalu bodoh”.
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Mungkin, mungkin aku memang terlampau bodoh. Tetapi, apakah sebenarnya
maksudmu menemui aku dalam keadaan yang gawat ini? Apakah kau akan minta
aku untuk mencari pembunuhnya, atau bahkan menjadi Akuwu sama sekali”.
Ken Arok menarik nafas. Kemudian jawabnya, “Aku hanya sekedar utusan Kebo Ijo. Kau dipanggil oleh kakang Witantra”.
“He? Kakang Witantra memanggil aku?”
“Ya”.
“Ada persoalan apa dengan kakang Witantra?”
“Tidak tahu Kebo Ijo. Aku hanya sekedar
seorang utusan. Dalam keadaan serupa ini, mungkin sekali ada tugas-tugas
yang akan dibebankan kepadamu”.
Kebo Ijo mengerutkan dahinya, “Kenapa aku, bukan pimpinan pasukanku atau orang lain”.
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Aku
tidak tahu. Tetapi aku kira, karena kau adalah adik seperguruannya.
Kepercayaannya kepadamu melampaui kepercayaannya kepada siapapun juga.
Apalagi kau pun termasuk di dalam kesatuannya”.
Kebo Ijo berpikir sejurus. Kemudian katanya, “Kalau pimpinan pasukan mengijinkan, aku tidak berkeberatan”.
“Kenapa tidak. Aku datang bersama seorang perwira tinggi dari kesatuanmu yang dapat memberikan perintah Witantra itu”.
“Baiklah. Aku akan segera berkemas.
Temuilah pimpinan pasukanku. Aku orang penting di pasukan ini, sehingga
aku selalu diperlukannya”.
“Ya aku tahu. Kau perwira yang paling terpercaya dalam pasukan ini. Tetapi pimpinanmu tidak boleh berkeberatan”.
“Terserahlah kepada kalian”.
Kebo Ijo pun kemudian meninggalkan mereka
untuk berkemas. Dengan tergesa-gesa ia masuk ke dalam barak pasukannya
untuk mengambil kelengkapan yang diperlukan, sambil menemui pimpinannya
untuk menyampaikan maksud Ken Arok dan perwira bawahan Witantra itu.
“Dimanakah mereka?” bertanya pemimpin pasukan itu.
“Sebentar lagi mereka akan datang kemari”.
Sementara itu Ken Arok dan perwira
Pengawal itu telah masuk ke dalam barak itu pula. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya perwira itu berkata perlahan-lahan,
“Bukan main anak itu. Tetapi sikapnya sudah keterlaluan”.
“Ia mencoba untuk menyembunyikan kesan perasaannya yang mungkin sangat tertekan”.
“Mungkin, mungkin demikian, sehingga sikapnya menjadi bertambah liar”.
”Tetapi aku tidak sampai hati mengatakan maksud Witantra sebenarnya”.
“Itu tidak perlu. Biarlah kakang Witantra mengatakan sendiri kepadanya”.
“Kau benar. Tetapi hal itu akan
mengakibatkan persoalan yang berkepanjangan. Apakah kau yakin, bahwa
Witantra dapat menarik batas antara tugasnya sebagai seorang Manggala
Pasukan Pengawal dan sebagai saudara tua seperguruan?”
“Jadi bagaimana maksudmu?”
“Sebaiknya kau memulainya. Tetapi setelah
agak dekat dari istana. Kita akan mendapat kesan, apakah dugaan kita
itu benar. Kau dapat mengajukan beberapa pertanyaan tentang keris yang
tertancap di dada Akuwu itu”.
Perwira itu tidak segera menyahut. Tetapi
ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa
Witantra adalah kakak seperguruan Kebo Ijo. Apalagi ia telah mendengar
lamat-lamat Witantra berdesis, “Tidak mungkin. Betapa gilanya anak itu,
tetapi ia tidak akan melakukannya”.
“Hal itu tidak mustahil terjadi” katanya
di dalam hati, “Bahwa suatu saat kakang Witantra berdiri di persimpangan
jalan. Betapa teguhnya kakang Witantra, namun suatu ketika ia dapat
tergelincir dalam sikap yang tidak terpuji”.
Karena itu, maka kemudian pandega itu pun
mengangguk-anggukan kepalanya. Ia dapat memulai seperti rencana Ken
Arok itu. Dengan demikian ia akan mendapat kesan, apakah yang sebenarnya
telah terjadi.
“Tetapi, kenapa harus setelah dekat dari istana?” tiba-tiba ia bertanya.
“Tidak banyak kesempatan untuk berbuat
sesuatu” jawab Ken Arok, “Mungkin kita memang terlampau berprasangka.
Tetapi seandainya Kebo Ijo memberontak, kita tidak akan terlampau banyak
mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa Kebo Idjo bukanlah seorang yang
dapat dianggap ringan. Ia adalah saudara seperguruan Witantra. Apalagi
akhir-akhir ini ia mendapat banyak sekali kemajuan di dalam ilmunya. Aku
tidak tahu, apakah hal itu sejalan dengan rencana-rencananya yang lain,
termasuk pembunuhan kali ini”.
Perwira itu tidak menjawab lagi. Kini
mereka telah berada di dalam lingkungan dalam barak itu, dan beberapa
langkah lagi mereka akan naik ke bilik pimpinan pasukan pengawal di
dalam barak itu.
“Aku membawa perintah kakang Witantra” berkata perwira itu.
“Silahkanlah”.
“Kebo Ijo diperlukan di istana”.
“Ya. Aku sudah mendengar dari Kebo Ijo sendiri”.
“Aku memerlukan ijinmu”.
“Baiklah. Aku hanya dapat mentaati perintah itu”.
Sejenak kemudian Kebo Ijo pun telah ikut
bersama Ken Arok dan perwira Pasukan Pengawal itu menuju ke istana.
Tidak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang jalan. Ken Arok hanya
berbicara sepatah-sepatah, apalagi perwira itu. Ia hampir tidak
berbicara sama sekali.
Seperti yang telah mereka rencanakan,
maka setelah mereka menjadi semakin dekat dengan istana, perwira itu
mulai mereka-reka, apakah yang akan dikatakan kepada Kebo Ijo.
Sejenak ia menyambar wajah Ken Arok, dan ketika Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, maka ia segera siap untuk memulainya.
Perwira itu kemudian menempatkan kudanya
dekat di samping Kebo Ijo. Hati-hati ia mulai berkata, “Kebo Ijo, apakah
kau tahu, apakah sebabnya Akuwu itu dibunuh orang?”
“He” Kebo Ijo mengerutkan keningnya, “Pertanyaanmu seperti pertanyaan orang bermimpi”.
“Tidak Kebo Ijo, aku bertanya sebenarnya”.
“Persetan dengan igauanmu”.
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam.
Sifat Kebo Ijo memang tidak disukainya. Ia mengharap lebih baik Ken Arok
saja yang menanyakannya, supaya darahnya sendiri tidak mendidih. Tetapi
Ken Arok sebagai seorang sahabat, menurut pengakuannya sendiri, tidak
sampai hati untuk mempersoalkannya.
“Kebo Ijo” berkata perwira itu, “Apakah
kau menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh para perwira tertinggi dan
para pemimpin pemerintahan kini di istana?”
“Tentu. Seperti yang kalian sedihkan. Kematian Akuwu Tunggul Ametung”.
“Ya, sudah tentu. Tetapi sehubungan
dengan kematian itu. Kami para perwira tertinggi, telah dibingungkan
oleh senjata yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung itu”.
“Kenapa dengan senjata itu? Apakah senjata itu telah menakut-nakuti kalian?”
Perwira itu menjadi semakin menahan hati. Tetapi ia masih mencoba untuk bersabar.
“Seharusnya kau tahu, hubungan antara
perintah Witantra memanggilmu dan senjata yang tertinggal di dada Akuwu
dari pembunuhnya itu”.
“O, kau benar-benar sedang mengingau.
Persetan dengan ingauanmu. Katakan, apakah sebenarnya yang kau
maksudkan. Atau barangkali apakah perintah kakang Witantra yang harus
aku jalankan. Mencari pembunuhnya atau apa?”
“Ya” jawab perwira itu yang hampir
kehilangan kesabaran, “Kakang Witantra memang memerintahkan kepadamu
untuk mencari pembunuhnya”.
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Sementara
Ken Arok mendengarkan percakapan itu dengan dada yang berdebar-debar.
Ia mencoba mendengar setiap pembicaraan itu dengan jelas, karena itu,
maka ia menempatkan dirinya pada sisi Kebo Ijo yang lain. Dengan
demikian maka mereka kini berkuda berjajar tiga. Tanpa mereka sadari
langkah kuda mereka menjadi semakin lambat.
“Biarlah kakang Witantra mengucapkan perintah itu sendiri” Jawab Kebo Ijo kemudian.
Perwira itu menjadi semakin tersinggung,
dan Ken Arok pun mengharap, bahwa Kebo Ijo akan berkata sekenanya,
seperti biasanya juga, dalam persoalan yang gawat ini. Ia mengharap
perwira itu pun akan menjadi marah, dan selanjutnya, ia akan mendapat
kesempatan seperti yang direncanakannya.
“Kebo Ijo” berkata perwira itu, “Kau
memang seorang yang mengagumkan. Kau dapat menahan perasaanmu dan bahkan
menyalurkannya dalam bentuk-bentuk yang tidak disangka-sangka”.
“Apakah maksudmu?”
“Jangan berputar-putar. Katakanlah,
siapakah yang memiliki keris yang berwarna kebiru-biruan, berbintik tiga
buah dengan warna yang kekuning-kuningan? Ciri yang lain, tangkai keris
itu sama sekali bukan sebuah ukiran seperti lazimnya, tetapi sepotong
kayu dalam bentuknya yang khusus”.
“He” mata Kebo Ijo terbelalak mendengar pertanyaan itu.
“Apakah kau mengenal keris itu?”
“Kenapa dengan keris itu?” ia bertanya.
“Kau sebenarnya telah mengerti jawab dari
pertanyaanmu itu. Tetapi biarlah aku menjawab juga. Keris itulah yang
tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung”.
Jawaban perwira itu menyambar telinga
Kebo Ijo seperti tajamnya ujung senjata. Terasa telinganya menjadi panas
dan dadanya berguncang-guncang. Sejenak justru ia terbungkam. Namun,
tanpa sesadarnya ia telah menarik kekang kudanya, sehingga, kuda itu
berhenti karenanya.
“Aku hormati kau sebagai perwira
atasanku” berkata Kebo Ijo sambil menggeretakkan giginya, “Tetapi jangan
mengigau terus menerus. Aku bukan anak-anak lagi dan aku bukan orang
yang paling rendah martabatku di dunia ini, sehingga kau dapat
menghinaku sesuka hatimu”.
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Ia
memang sudah menduga bahwa Kebo Ijo yang berdarah panas itu pasti akan
segera menjadi marah. Dan ia mengharap perwira itu akan marah pula.
Ken Arok pun kemudian menahan nafasnya.
Ia melihat perwira itu menjadi tegang. Sejenak ia diam di atas punggung
kudanya yang telah berhenti pula. Namun agaknya ia masih berusaha untuk
menahan dirinya, betapapun darahnya telah mendidih.
Ketegangan itulah yang diharapkan oleh
Ken Arok untuk mendapat kesempatan berbicara sendiri dengan Kebo Ijo.
Karena itu maka ia pun mendekati keduanya sambil berkata sareh, “Kebo
Ijo. Demikianlah yang benarnya telah kami lihat di istana. Keris yang
dicabut dari dada Akuwu itu adalah keris yang dikatakannya tadi. Banyak
orang yang akan dapat menjadi saksi bahwa keris itu adalah kerismu”.
“Tetapi……… “ Kebo Ijo memotong, tetapi.
Ken Arok mendahuluinya, “Tunggu dulu Kebo Ijo. Kami tidak segera dapat
mengambil keputusan tentang keris itu. Apalagi Witantra yang memang
belum pernah melihatnya”. Ken Arok berhenti sebentar lalu, “Aku
mempunyai cara yang sebaik-baiknya. Bagimu dan bagi orang-orang yang
kini berada di istana. Sebaiknya kau pulang sebentar. Kau lihatlah
kerismu itu. Kalau kerismu itu masih tetap dalam simpanan, maka bawalah
keris itu. Kau sudah membuktikan, bahwa keris itu sama sekali bukan
kerismu”.
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Kini ia
harus berpikir dengan sungguh-sungguh. Agaknya perwira itu dan Ken Arok
tidak sedang bermain-main.
“Tetapi apakah kita biarkan Kebo Ijo pulang dahulu?” bertanya perwira itu.
“Aku akan pergi bersamanya. Aku akan
mempertanggung-jawabkannya. Akulah yang nanti akan membawanya ke istana.
Dengan atau tidak dengan keris itu”.
Perwira pasukan Pengawal istana itu berpikir sejenak. Dalam keragu-raguan ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam.
“Percayakanlah ia kepadaku” desis Ken Arok.
“O, jadi kalian menyangka bahwa aku akan
lari?” peram Kebo Ijo, “Aku bukan pengecut. Seandainya aku sekalipun
yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku akan mengangkat dadaku
dihadapan siapapun juga. Bahkan dihadapan kakang Witantra” Kebo Ijo
menggeretakkan giginya. Katanya kemudian, “Tetapi aku akan
membuktikannya. Aku akan membawa keris itu kepada kalian”.
Perwira itu tidak menyahut. Betapapun
darahnya serasa mendidih, tetapi ia mendapat kesan yang aneh pada Kebo
Ijo yang tampaknya benar-benar tidak tahu menahu sama sekali tentang
pembunuhan itu. Kebo Ijo sama sekali tidak menunjukkan kecemasan, apa
lagi ketakutan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat membahayakan
keselamatannya.
Karena itu maka perwira itu masih saja ragu-ragu.
“Biarlah Kebo Ijo mencoba membuktikan”
berkata Ken Arok, “Aku akan menyertainya. Kembalilah kepada Witantra,
dan katakan bahwa sebentar lagi kami akan menghadap”.
Perwira itu tidak segera menjawab. Ia
masih merenungi keadaan yang dihadapinya. Namun sejenak kemudian ia
berkata, “Semuanya akan tergantung kepadamu Ken Arok, kepada tanggung
jawabmu. Apabila terjadi sesuatu yang tidak menjadi keinginan kakang
Witantra, maka kesalahan itu pasti akan dilimpahkan kepadamu. Aku hanya
mendapat perintah sekedar menyertaimu. Kaulah yang memang mendapat tugas
untuk membawanya ke istana”.
“Tanpa orang lain aku akan menghadap sendiri” sahut Kebo Ijo.
Perwira itu mengerutkan dahinya. Tetapi
ia masih tetap menahan diri, meskipun seandainya hal itu terjadi di
dalam keadaan yang lain, ia pasti sudah bertindak atas kekuasaan yang
ada padanya sebagai seorang perwira tinggi di dalam pasukannya.
Seandainya Kebo Ijo akan melawan sekalipun, pasti ia akan melakukan
kekerasan. Tetapi dalam keadaan kalut itu, ia berusaha untuk tidak
menambah pekerjaan Witantra menjadi semakin sulit. Itulah sebabnya ia
tetap menahan hati untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat
keadaan menjadi kian gelap.
“Nah” berkata Ken Arok, “Marilah Kebo
Ijo. Kau harus membuktikan bahwa bukan kau yang melakukannya. Keris itu
bukan kerismu. Mungkin ada persamaan dalam berbagai hal, dan mungkin ada
orang lain yang dengan sengaja menjerumuskan kau dalam kesulitan. Namun
tidak ada seorang pun yang mampu membuat keris serupa benar dengan
keris asli milikmu itu”.
Kebo Ijo tidak menyahut lagi. Segera ia menarik kekang kudanya, berputar pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok.
Ken Arok yang masih sempat mendekati
perwira itu berbisik, “Percayakan ia kepadaku. Aku adalah sahabatnya,
dan aku tahu, betapa ia licik seperti iblis”.
Perwira itu mengangguk-anggukan kepalanya, “Ya, ia licik seperti demit. Ia licik seperti iblis”.
Sejenak perwira itu memandangi derap kuda
Ken Arok yang berpacu di jalan-jalan kota menyusul Kebo Ijo yang sudah
hampir hilang di tikungan.
“Hem, mudah-mudahan Ken Arok tidak gagal”.
Sekilas tumbuhlah niatnya untuk mengikuti
keduanya. Tetapi niat itu pun kemudian diurungkannya. Ken Arok agaknya
dapat dipercaya untuk membawa Kebo Ijo ke istana.
Perwira itu tidak mau menyinggung
perasaan Ken Arok. Maka ia pun kemudian menggerakkan kudanya, kembali ke
istana. Ia harus segera melaporkan apa yang terjadi. Dengan demikian
maka orang-orang yang menunggunya di istana tidak menjadi gelisah dan
bertanya-tanya.
Mendengar laporan perwira itu, Witantra
mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
bertanya, “Kita menunggu mereka sesaat sebelum mengambil kesimpulan.
Mungkin Kebo Ijo benar-benar dapat membuktikan dengan membawa kerisnya
kemari. Sehingga dengan demikian namanya pun akan menjadi bersih
karenanya”.
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun sekali lagi ia mendapat kesan, bagaimanapun juga Kebo
Ijo adalah adik seperguruan Witantra, sehingga kenyataan yang
dihadapinya akan terasa terlampau pahit.
Sementara itu, Kebo Ijo berpacu
secepat-cepatnya pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok. Tanpa
mengurangi kecepatan derap kudanya ia menyelusur jalan-jalan yang
semakin kecil. Dengan tergesa-gesa ia meloncat turun ketika ia sampai di
muka regol halaman rumahnya yang tertutup. Cepat ia membuka pintu regol
itu dan cepat-cepat pula ia melangkah di halaman, naik ke pependapa dan
mengetuk pintu pringgitan.
“Siapa?” bertanya isterinya.
“Aku. Aku pulang Nyi” sahut Kebo Ijo.
Isterinya terkejut. Dengan tergesa-gesa pula ia membuka pintu. Ketika
dilihatnya Kebo Ijo berdiri tegak dalam kegelapan malam, maka dengan
cemasnya ia bertanya, “Ada apa kakang? Apakah semuanya sudah selesai?”
Kebo Ijo menggeleng, “Belum Nyai. Semuanya masih gelap”.
Isterinya mengangguk-anggukkan kepala, “Tetapi kenapa kakang pulang?”
Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak apa-apa. Ada sesuatu yang tertinggal. Aku bersama Ken Arok”.
“O” kemudian ia mempersilahkan Ken Arok, “marilah, masuklah”.
Ken Arok sudah terlampau biasa memasuki
rumah itu. Hampir setiap hari. Namun tiba-tiba saat itu ia merasa
sehelai garis batas telah terentang dihadapannya. Namun dengan penuh
kesadaran ia menghadapi persoalannya. Bagaimanapun juga perasaannya
bergolak, namun nalarnya tetap mampu mengatasinya, sehingga dengan
demikian tidak ada kesan apapun tersirat di wajahnya. Sambil tersenyum
ia menjawab, “Terima kasih. Kami berdua hanya sebentar. Kalau aku masuk
ke rumah, kau akan menjadi sibuk merebus air”.
“Tidak. Aku tidak akan menjadi sibuk. Tetapi masuklah”.
Ken Arok pun kemudian melangkah masuk.
Dengan dada yang berdebar-debar ia duduk di atas sebuah bale-bale bambu.
Dilihatnya Kebo Ijo sedang membuka geledegnya, lewat pintu yang tidak
tertutup rapat. Derit pintu geledeg di ruang tengah itu serasa menggores
jantung Ken Arok. Perlahan-lahan sekali pintu itu pun terbuka.
Ken Arok melihat Kebo Ijo terperanjat
sekali. Sejenak ia membeku di muka geledeg itu. Peluh yang dingin
satu-satu menitik dari keningnya. Darah Kebo Ijo serasa berhenti
mengalir ketika ia melihat kerisnya sudah tidak berada lagi ditempatnya.
Sejenak Kebo Ijo tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sorot mata aneh ditatapnya wajah Ken Arok yang menjadi tegang.
(bersambung ke jilid-49
No comments:
Write comments