BERBAGAI MACAM
pertanyaan dari Bango Sandaran dan kedua isterinya harus dijawab.
Tentang keadaan dirinya, keadaan istana Tumapel dan bahkan tentang Akuwu
Tunggul Ametung dan Perniaisurinya Ken Dedes.
“Apakah Permaisuri Akuwu Tumapel itu cantik sekali ibu?,“ tiba-tiba Puranti bertanya kepada isteri tua Bango Samparan.
“Aku belum pernah melihatnya” jawab perempuan tua itu, “bertanyalah kepada kakakmu.”
Puranti ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah Permaisuri itu terlampau cantik kakang?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi
tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui bahwa dada anak muda
itu bergeletar dahsyat sekali. Pertanyaan itu benar-benar telah
menyentuh jantungnya yang berdenyut semakin keras.
“Benarkah begitu kakang?”
Ken Arok mengangguk perlahan-laban. Jawabnya, “ya Puranti. Permaisuri itu cantik sekali.”
Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tanpa sesuatu maksud ia berkata, “Kalau kakang kelak menjadi seorang
Akuwu, maka sudah tentu isteri kakang pun akan cantik sekali seperti Ken
Dedes.”
Ken Arok tahu benar, bahwa gadis kecil
itu tidak menyadari apa yang diucapkannya. Karena itu, maka betapa
hatinya bergetar karenanya, namun ia mencoba tersenyum dan menjawab,
“Ah, bagaimana mungkin kakang menjadi seorang Akuwu. Akuwu adalah
pangkat turun-temurun seperti seorang raja. Seperti juga Maharaja dari
Kediri. Kalau lebih kecil dari padanya adalah seperti Ki Buyut di
Karuman ini.”
Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan terdengar lagi pertanyaan kekanak-kanakannya, “Jadi kalau bukan anak
Akuwu, tidak akan mungkin seseorang menjadi Akuwu, atau Maharaja atau
bahkan Buyut sekalipun?”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang tidak mungkin.”
Puranti masih mengangguk-angguk. Namun
terdengar suara Bango Samparan, “Tidak selalu Puranti. Meskipun ia bukan
keturunan Akuwu, seseorang mungkin saja menjadi seorang Akuwu.”
“Ah” desah Ken Arok, “itu tidak mungkin.”
“Kau memperkecil peranan nasib, Ken Arok”
sahut Bango Samparan, “seseorang yang bernasib baik, akan mungkin
sekali meloncat pada suatu jabatan yang tidak terduga-duga. Seperti Ken
Dedes misalnya. Seorang gadis padesan yang selama masa hidupnya ia tidak
akan pernah bermimpi menjadi seorang Permaisuri kalau nasib tidak
merenggutnya dari dunianya yang lama itu, melemparkannya ke singgasana
seorang Permaisuri di Tumapel.
“Tetapi ia tidak menjadi seorang Akuwu.
Adalah mungkin sekali ia menjadi seorang Permaisuri, karena jabatan
seorang Permaisuri bukan jabatan turun-temurun.”
“O” seru Bango Samparan, “kau adalah
seorang prajurit Tumapel. Kau pasti tahu, bahwa seandainya seorang Akuwu
mempunyai anak perempuan dan tidak mempunyai anak laki-laki. Kemudian
anak perempuannya kawin dengan seseorang yang bukan keturunan Akuwu,
maka ia akan menjadi Akuwu.”
“Tidak ayah” jawab Ken Arok, “ia tidak akan menjadi seorang Akuwu selama tidak ada penyerahan secara resmi dari isterinya. Kalau suami itu meninggal, maka jabatan itu akan berpindah dengan sendirinya kepada suaminya yang baru apabila ia kawin lagi.”
“Tidak ayah” jawab Ken Arok, “ia tidak akan menjadi seorang Akuwu selama tidak ada penyerahan secara resmi dari isterinya. Kalau suami itu meninggal, maka jabatan itu akan berpindah dengan sendirinya kepada suaminya yang baru apabila ia kawin lagi.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya, Lalu perlahan-lahan ia bergumam, “Kecuali dengan pemberontakan.”
“Itu, persoalan lain ayah. Pemberontakan
mempunyai akibat yang lain. Memang mungkin seseorang akan dapat merebut
kekuasaan. Tetapi ia harus berdiri di atas timbunan mayat-mayat korban
pemberontakannya di kedua belah pihak.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia berkata lirih, “Jadi, jalan menuju ke jabatan itu
memang sudah buntu. Bagaimanapun juga.”
“Apakah kepentingan kita dengan
jabatan-jabatan serupa itu” desis Ken Arok, “marilah kita berbicara
tentang hal-hal yang lain, yang lebih menarik tentang diri kita sendiri”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih juga berkata, “Tidak selamanya pemberontakan itu salah.”
“Bagaimanapun juga jalan itu adalah jalan
yang paling mengerikan, kebencian akan meledak bercampur baur dengan
dendam dan pamrih pribadi.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan
kepalanya Namun tiba-tiba seperti orang terbangun dari tidurnya ia
berkata lirih, “He, bukankah kekuasaan Tumapel kini ada di tangan Ken
Dedes?”
Pertanyaan itu menyambar dada Ken Arok
seperti hentakan guruh di dalam dadanya. Sejenak ia diam mematung namun
terasa nafasnya menjadi tersengal-sengal.
“Mustahil kalau kau tidak mendengarnya.
Akuwu Tunggul Ametung telah menyerahkan apa saja kepada Permaisurinya.
Kekuasaan atas Tumapel termasuk di dalamnya. Bukankah begitu? Apakah
pendengaranku ini salah?”
Kini, Darah Ken Arok serasa semakin cepat
mengalir. Dadanya berdebaran dan kepalanya menjadi pening, Ia sendiri
tidak tahu, kenapa kata-kata Bango Samparan itu membuatnya terlampau
gelisah.
“Bukankah begitu Ken Arok?” bertanya Bango Samparan pula.
“Aku tidak tahu, aku tidak tahu” jawab Ken Arok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tetapi Bango Samparan justru tertawa. Katanya, “Hal itu bukan merupakan rahasia lagi, Ken Arok.”
Ken Arok mengatupkan bibirnya
rapat-rapat. Sejenak ia diam mematung memandangi lampu minyak yang
bergetar oleh angin yang menyusup dari sela-sela dinding.
“Hampir setiap orang mempersoalkannya dahulu” Bango Samparan meneruskan, “tetapi sekarang orang telah melupakannya.”
“Apa saja yang akab dilakukan oleh Akuwu, bukanlah persoalan kita” sahut Ken Arok tiba-tiba.
Bango Samparan tertawa. Katanya,
“Seandainya, ya, seandainya Akuwu Tunggul Ametung tidak ada lagi, dan
Ken Dedes kemudian kawin lagi, apakah suaminya juga berhak menjadi Akuwu
apabila Ken Dedes bersedia menyerahkan kekuasaan itu dengan resmi.”
“Aku tidak tahu” suara Ken Arok mengeras, “itu bukan urusanku.”
Bango Samparan mengerutkan keningnya.
Tetapi ia masih berkata, “Aku hanya ingin tahu, Ken Arok. Aku hanya
ingin menjawab pertanyaan Puranti, apakah kalau seseorang bukan
keturunan Akuwu untuk selamanya tidak akan dapat menjabat jabatan itu.
Seandainya suami Ken Dedes kelak setelah Akuwu Tunggul Ametung meninggal
dapat menggantikannya, maka ternyata bahwa seseorang dari lingkungan
yang lain, mungkin seorang dari lingkungan pidak pedarakan akan mampu menjadi seorang Akuwu.”
“Tidak ada gunanya kita berbicara tentang hal itu. Tidak ada gunanya. Marilah kita berbicara tentang yang lain?”
“Ya, ya. Kita akan berbicara tentang yang
lain. Namun aku hanya akan sekedar mengatakan, bahwa seseorang dapat
saja dikendalikan oleh nasib menjadi seorang Akuwu. Nasib yang terlampau
baik, seperti kau misalnya. Tidak mustahil bahwa suatu ketika kau
menjadi seorang Akuwu karena sebab-sebab yang tidak langsung. Kau masih
muda dan cukup tampan.”
“Cukup, cukup,” tiba-tiba Ken Arok itu
berteriak sehingga Puranti menjadi terkejut dan meloncat memeluk ibu
tirinya. Dengan dada yang gementar dipandanginya Ken Arok dengan wajah
yang bertanya-tanya.
Ken Arok yang melihat wajah Puranti
menjadi pucat, tiba-tiba menyadari keadaannya. Dengan kepala tunduk ia
berkata perlahan-lahan, “Maafkan aku.”
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, ya. Aku maafkan
kau. Eh, maksudku, aku juga minta maaf. Mungkin kata-kataku tidak
menyenangkan hatimu, atau barangkali kau memang belum pernah
mempertimbangkannya, sehingga kau masih saja menganggap hal yang
demikian itu mustahil.”
Kalau Ken Arok tidak berusaha sekuat
tenaganya, maka ia pasti akan berteriak lagi. Tetapi ditahankannya
kejengkelannya di dalam dadanya, sehingga dada itu serasa menjadi sesak.
“Baiklah” berkata Bango Samparan
kemudian, “kau benar-benar tidak ingin mengetahui tentang nasibmu yang
teramat baik. Aku tidak akan membuatmu kecewa. Sebagai tuan rumah aku
akan berusaha membuat tamuku menjadi senang. Nah, sekarang, apakah yang
akan kita bicarakan.”
Pertanyaan itu justru membuat Ken
Arok terdiam. Tiba-tiba saja ia menjadi kaku dan setiep kali dadanya
menjadi berdebar-debar tanpa sebab.
Karena Ken Arok tidak segera menyahut,
maka Bango Samparan bertanya pula, “Apakah kau mempunyai kesenangan
berbicara tentang sesuatu hal? Tentang kuda misalnya, atau tentang
pusaka atau tentang kukila? Heh, bukankah seorang laki-laki harus memiliki beberapa kelengkapan kejantanannya? Kuda, pusaka, kukila,
dan diantaranya wanita. Mana yang paling kau sukai di antara sembilan
unsur yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki jantan. Seorang
satria?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Tidak ada satu pun. Kejantanan seseorang tidak terletak pada
kelengkapan kesembilan unsur-unsur itu. Tetapi di sini, di dalam dada
ini.”
Bango Samparan tertawa terkekeh-kekeh,
“O, kau memang masih terlampau hijau. Apakah kau kira bahwa kesembilan
unsur itu berbentuk wadag seperti namanya. Kuda misalnya. Apakah kau
kira unsur ini benar-benar seekor kuda yang betapa pun baiknya? Tidak
Ken Arok. Unsur ini adalah unsur gerak, dari seorang laki-laki. Tangkas
dan lincah dalam menanggapi segala persoalan. Demikian juga unsur-unsur
yang lain. Wanita misalnya. Bukan berarti seorang perempuan yang cantik
seperti Permaisuri itu. Tidak, meskipun hal itu juga penting bagi
seseorang. Tetapi eh, barangkali, aku sendiri kurang mengerti, maksudnya
adalah sifat melayani, memelihara dan menjaga. Bukankah begitu?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ternyata
Bango Samparan mengerti juga serba sedikit tentang berbagai macam sifat,
yang pernah juga didengarnya. Tetapi terlampau banyak untuk
mengingat-ingat sembilan macam kelengkapan seorang ksatria. Sehingga Ken
Arok itu pun menjawab, “Ayah, aku tidak ingat lagi, apa saja kesembilan
sifat yang harus dimiliki oleh seorang ksatria dengan melambangkannya
atas berbagai macam ujud itu. Aku memang pernah mendengarnya pula dengan
berbagai macam uraiannya. Tetapi bagiku, yang terlebih penting,
bukanlah sifat-sifat yang dapat dilambangkan dengan berbagai macam ujud
itu. Yang terpenting menurut seseorang yang paling aku percaya yang
selama ini telah mem bimbing aku, sifat seorang ksatria adalah sifat
yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Tidak ada bedanya. Yaitu
kasih. Kasih setulus bati kepada Sumber Hidupnya dengan segala macam
penyerahan yang murni, dan kasih kepada sesama hidupnya. Itu saja.
Tetapi yang dua itu adalah keseluruhan dari hidup ini. Hidup kita, hidup
semesta sebagaimana ia dilahirkan.”
Bango Samparan mendengarkan kata-kata Ken
Arok itu dengan mata tanpa berkedip. Sekali-sekali ia
mengangguk-anggukkan kepalanya dan sekali dahinya berkerut-merut. Ketika
ia berpaling kepada isteri mudanya dan kemudian istri tuanya, tampaklah
kesan kesungguhan di wajah mereka. Sedangkan Puranti yang kecil itu pun
agaknya telah mencoba untuk mengerti kata-kata Ken Arok. Tetapi justru
karena hatinya yang bening, maka agaknya ia cepat menangkap maksudnya
meskipun secara naluriah.
Perlahan-lahan ia bertanya dengan ragu-ragu, “Kalau begitu, bukankah kita tidak boleh saling membenci?”
“Tepat” sahut Ken Arok, “kita tidak boleh saling membenci.”
“Aku juga tidak membenci” anak itu
seolah-olah bergumam untuk dirinya sendiri, “tetapi kawankulah yang
membenci aku karena aku anak ayah Bango Samparan. Kalau begitu mereka
kurang baik menurut penilaian kakang Ken Arok. Bukankah begitu?”
“Ya, ya” Ken Arok mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi sulitlah baginya untuk berkata lebih panjang lagi
dihadapan gadis kecil itu. Ken Arok tahu bahwa anak-anak kawan Puranti
itu pasti mendapat pesan dari orang tua masing-masing, supaya
anak-anaknya tidak bermain-main dengan anak Bango Samparan. Ken Arok
dapat mengerti sikap dan pendirian itu. Tetapi, tidak seharusnya mereka
membenci pula Puranti.
Namun kecemasan mereka adalah wajar
sekali, meskipun bukan itulah yang paling benar. Sebab dengan demikian.
Di dalam hati mereka telah tumbuh pula kebencian Kebencian terhadap
sesamanya yang sedang tersesat. Tetapi, adalah terlampau sulit untuk
dapat menempatkan diri pada landasan yang benar seluruhnya, benar
mutlak. Sebagaimana seharusnya mereka sama sekali tidak boleh membenci
orang semacam Bango Samparan seperti tidak boleh membenci sesamanya.
Justru mereka harus berbelas kasihan kepada mereka yang telah menempuh
jalan sesat.
Dengan demikian bukan berarti bahwa
kebenaran itu harus dilepaskan. Bukan berarti bahwa ada pengecualian
dalam mengetrapkan kasih antara sesama. Apakah sesama itu seorang yang
mulus seputih kapas, ataukah sesama itu telah berlumuran noda yang
seolah-olah tidak terhapuskan. Kepada mereka yang telah tersesat itulah
kita justru harus menunjukkan rasa kasih kita. Kita harus menumpahkan
belas kasihan dan berusaha membimbing mereka. Bukan justru kita
asingkan.
Namun disadari, itu adalah warna tertinggi dari hidup yang sulit ini.
Ken Arok tersadar ketika ia mendengar
Puranti berkata, “Kalau begitu, aku harus memberitahukan kepada mereka,
bahwa mereka tidak boleh membenci aku, sebab aku pun tidak boleh
membenci mereka. Selebihnya kita tidak boleh saling membenci.
“Ah” tiba-tiba isteri tua Bango Samparan
berdesah, “bukan kau yang wajib memberi tahukan kepada mereka, Puranti.
Mereka pasti tidak akan mendengarkannya.
“Bukan salahku ibu. Kalau mereka tidak
mau mendengarkan, itu adalah salah mereka sendiri. Mereka tidak mau
menerima petunjuk arah dari jalan mereka yang salah. Tetapi aku sudah
mencoba.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Pikiran itu adalah pikiran anak-anak yang menarik garis lurus langsung
dari kata-katanya tanpa mempertimbangkan pengaruh dan keadaan.
“Itu baik Puranti” berkata Ken Arok,
“tetapi kau tidak boleh kecewa kalau kata-katamu itu tidak mereka
dengar, dan bahkan mungkin akan mereka tertawakan.”
“Tentu tidak” sahut gadis kecil itu, “tetapi itu akan lebih baik dari pada aku tidak mengatakan apapun kepada mereka.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya perlahan-lahan seperti ditujukan kepada diri sendiri, “Tetapi
ada jalan lain yang lebih baik dari itu, lebih bermanfaat dan akan lebih
cepat berhasil.”
Puranti mengerutkan keningnya, “Apakah jalan itu? Aku akan melakukannya apabila aku dapat.”
Ken Arok menggeleng, jawabnya, “Bukan kau yang harus melakukannya Puranti, tetapi ayah dan ibu.”
Sepercik pertanyaan membayang di wajah
anak itu. Tanpa ditadarinya ditatapnya wajah ayahnya, ibunya dan ibu
tuanya, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan dari orang tuanya.
Bango Samparan menundukkan kepalanya,
terlebih-lebih lagi isteri mudanya, yang seolah-olah ingin
menyembunyikan wajahnya dari sentuhan lampu minyak yang berkeredipan
dibelai angin.’
“Apa yang harus dilakukan oleh ayah dan ibu-ibuku?” bertanya gadis kecil itu.
“Ayah dan ibu-ibumu sudah tahu Puranti” jawab Ken Arok.
Puranti menjadi semakin tidak mengerti. Dengan jujur ia bertanya, “Apakah ayah dan ibu sudah tahu?”
Bango Samparan mengangguk lemah.
Bango Samparan mengangguk lemah.
“Kalau demikian kenapa ayah dan ibu tidak
melakukannya sejak dahulu? Jika demikian aku pasti sudah mempunyai
kawan. Aku tidak akan selalu bermain-main sendiri atau dengan ibu tua
saja.”
Dada Bango Samparan terasa berdentang
keras sekali. Sejenak ia diam membisu. Namun ia berpaling ketika di
dengarnya isteri mudanya terisak.
“Ibu menangis?” bertanya Puranti.
Ibunya menggeleng, “Tidak Puranti.”
Puranti mengerutkan keningnya. Gadis
kecil itu melihat setitik air mata di pelupuk mata ibunya yang tunduk.
Ia mendengar isak yang tertahan. Tetapi ibunya berkata bahwa ia tidak
menangis. Memang Puranti belum pernah melihat ibunya itu menangis.
Perempuan itu terlampau garang baginya. Yang sering dilihatnya menangis
adalah ibu tuanya. Tetapi kali ini ibu tua itu malah tidak menangis.
Yang menangis adalah ibu mudanya, ibunya sendiri.
Sejenak ruangan dalam rumah Bango
Samparan yang kotor itu menjadi sepi. Yang terdengar adalah isak dan
nafas isteri muda Bango Samparan yang serasa memburu di dadanya.
Ken Arok sendiri duduk sambil menundukkan
kepalanya. Tetapi ia merasakan pergolakan yang terjadi di setiap dada
mereka yang berada di dalam ruangan itu.
Diam-diam ia merasa syukur, bahwa
kedatangannya dapat menumbuhkan suatu perkembangan yang baik di dalam
rumah ini. Menilik sikap mereka saat ini, maka sepercik penyesalan telah
melonjak di dalam setiap dada mereka yang merasa bersalah. Bahkan Ken
Arok yakin, bahwa anak-anak Bango Samparan yang lain pun pasti akan
mempertimbangkan peristiwa yang siang tadi telah terjadi.
Sementara itu, maka malam pun merambat
semakin dalam. Di kejauhan terdengar suara burung hantu seolah-olah
memekik-mekik disela-sela derik cengkerik yang berkepanjangan.
Kediaman di dalam rumah Bango Samparan
itu pun kemudian dipecahkan oleh Puranti yang menguap sambil berkata
kepada isteri tua Bango Samparan, “Aku sudah mengantuk ibu.”
“O” sahut ibu tua, “baiklah kau tidur Puranti.”
“Apakah ibu akan berceritera seperti kemarin tentang seorang pangeran yang berpura-pura dungu?”
Isteri tua Bango Samparan tersenyum.
Jawabnya, “Tidak Puranti. Hari telah larut malam. Sebaiknya kau segera
tidur saja. Kalau aku berceritera, kau selalu bertanya-tanya, sehingga
dengan demikian kau tidak tidur-tidur juga.”
“Tetapi aku senang mendengar ceritera itu
ibu, atau barangkali ceritera yang lain? Seorang gembala yang kawin
dengan puteri raja dan kemudian menjadi raja meskipun ia bukan keturunan
raja?”
“Ah” sahut ibunya. Sedang Ken Arok pun menarik nafas dalam-dalam.
“Bukankah gembala itu membunuh seorang raja muda yang seharusnya menjadi suami puteri raja itu?”
“Tidurlah” potong ibu tua.
Puranti sejenak memandang berkeliling. Ketika dipandanginya ayahnya, maka Bango Samparan itu pun berkata, “Tidurlah.”
“Ya tidurlah” sambung ibu muda.
Puranti menguap sekali lagi, lalu katanya, “Aku akan tidur.”
Perlahan-lahan Puranti berdiri, kemudian melangkah ke dalam biliknya. Direbahkannya dirinya di atas pembaringannya, sebuah amben
bambu yang dialasi dengan sebuah tikar yang telah lusuh dan sobek.
Tetapi Puranti tidak memperhatikannya lagi. Setiap malam ia tidur di amben
itu. Kadang-kadang bersama isteri tua Bango Samparan. Tetapi
kadang-kadang ibu tuanya itu tidak berani masuk dan tidur di serambi
belakang. Purantilah yang kadang-kadang mencari ibu tua itu dan tidur
bersamanya di serambi belakang, apabila ibunya sendiri sedang
marah-marah.
Sepeninggal Puranti, maka yang lain-lain
pun telah mulai dirayapi kantuk pula! Ken Arok yang agak lelah telah
tidak bernafsu lagi bercakap-cakap lebih lanjut. Karena itu, maka
katanya, “Aku minta diri untuk beristirahat ayah. Aku sudah terlalu
lelah.”
“O, baik, baiklah” tetapi kemudian Bango Sampar an itu mengerutkan keningnya, “dimana kau akan tidur?”
Sudah tentu Ken Arok tidak dapat menjawab pertanyaan itu sehingga untuk sejenak ia terdiam, bahkan menjadi agak bingung.
“O, seharusnya akulah yang menunjukkan
tempat untukmu” dengan tergesa-gesa Bango Samparan menyambung, “tetapi
aku juga tidak tahu, apakah ada tempat untukmu.”
“Ah” Ken Arok menyahut, “jangan ribut. Aku dapat tidur dimana saja.”
“Tetapi kau tamu disini.”
“Aku pernah menjadi penghuni rumah ini. Aku da pat tidur disini.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah” katanya, “tidurlah disini.”
Sesaat kemudian Ken Arok telah ditinggalkan sendiri di tempatnya. Bango Samparan sendiri pergi keluar rumah dan tidur di emper depan di atas jerami kering, setelah menyingkirkan lampu minyak dan meletakkannya pada ajuk-ajuk di sudut ruangan.
Ken Arok membaringkan dirinya ketika ayam jantan terdengar berkokok untuk yang pertama kalinya.
“Tengah malam” desisnya. Namun justru setelah ia berbaring maka kantuknya seolah terusir dari dirinya.
Tetapi, dalam pada itu, kenangan dan angan-angannyalah yang membubung tinggi menyelusuri bintang-bintang dilangit.
Tiba-tiba ia menggeretakkan giginya
ketika terbayang wajah Permaisuri Tumapel yang pernah dilihatnya
memancarkan nyala dari tubuhnya.
“Hem” ia berdesah. Tetapi bayangan itu
justru menjadi semakin nyata di pelupuk matanya. Bahkan seolah-olah
mencengkamnya dalam satu pesona yang tidak mungkin dihindarinya lagi.
Ketika Ken Arok mencoba memejamkan
matanya, maka bayangan itu menjadi semakin jelas. Wajahnya semakin nyata
dalam warna yang cemerlang. Dan tiba-tiba seperti di dalam mimpi ia
mendengar Permaisuri itu bertanya kepadanya, “Apakah kau akan
berceritera tentang seorang pangeran yang berpura-pura dungu?”
Ken Arok menjadi bingung. Namun bayangan
itu berkata pula sejelas ia mendengar suara kokok ayam di kejauhan,
“Atau barangkali ceritera yang lain? Ceritera tentang seorang gembala
yang kawin dengan puteri raja dan kemudian menjadi raja meskipun ia
bukan keturunan raja.”
Ken Arok menggeram. Tiba-tiba ia berbalik
menelungkup kan dirinya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Tetapi bayangan itu masih jelas dilihatnya.
Tetapi kini yang didengar adalah suara
yang lain. Suara yang seolah-olah bergema di langit yang luas, “Nasibmu
terlampau baik Ken Arok. Nasibmu memang terlampau baik.”
Kegelisahan dihati Ken Arok tiba-tiba
mcmanjat sampai keubun-ubun. Dikatubkannya bibirnya rapat-rapat dan
ditutupnya telinganya dengan kedua ujung jari telunjuknya. Namun suara
itu kini serasa melingkar-lingkar di dalam dadanya, “Nasibmu memang
terlampau baik. Nasibmu memang terlampau baik.”
Dan menggema pulalah suara kecil, “Apakah hanya keturunan raja saja yang dapat menjadi seorang raja?”
“Oh, gila, gila” Ken Arok menggeram. Tiba-tiba ia bangkit dan duduk sambil menggeretakkan giginya.
Ketika ia memutar pandangan matanya, maka
ruangan itu seolah-olah ditabiri oleh warna hitam yang kelam. Dari
dalam bilik di samping ruangan itu membayang warna lampu minyak yang
kemerah-merahan. Agaknya lampu di dalam ruangan itu telah padam.
“Hem” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya ia telah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat
dihindarinya. Ia tidak akan dapat ingkar lagi. Bahwa sebenarnyalah ia
telah jatuh hati kepada Permaisuri Ken Dedes.
Perasaan itu telah mencengkam perasaannya
tanpa dapat dilawannya lagi. Kepergiannya dari Tumapel adalah suatu
usaha untuk menghindarkan diri dari perasaan yang akan berlarut-larut
memukau hatinya. Tetapi agaknya ia tidak dapat lagi menghindar kemana
saja ia pergi.
“O, kenapa ujung-ujung senjata Panji
Bawuk tidak me robek dadaku saja, sehingga aku akan terlepas dari perasa
an ini? Aku akan terlepas dari pengkhianatan meskipun baru di dalam
angan-angan. Karena Ken Dedes adalah isteri Tuanku Akuwu Tunggul
Ametung, isteri junjunganku. Aku tidak akan dapat berbuat apapun
seandainya Ken Dedes itu sekedar isteri seorang kawanku, bahkan isteri
bawahanku sekalipun, karena perbuatan demikian adalah perbuatan yang
terkutuk. Apalagi ia adalah seorang Permaisuri tempat aku menghambakan
diri. Lebih dari pada itu, Tunggul Ametung lah yang telah mengambil aku
dari dalam lumpur kehinaan dan hitam pekat, yang seakan-akan telah
memindah aku dari rumah semacam ini keistana Tumapel yang megah. Bahkan
Tunggul Ametung telah pernah pula menyelamatkan nyawaku, ketika aku
membuka susukan induk di Padang Karautan, ketika bendungannya sedang
dihantam banjir.
Hampir-hampir Ken Arok tidak dapat
menahan diri lagi untuk tetap berada di tempatnya. Seakan-akan sesuatu
telah mendorongnya untuk pergi meninggalkan rumah itu, mengembara
menyelusuri jalan-jalan padesan yang gelap. Mencari-cari persoalan untuk
melupakan Ken Dedes dari angan-angannya.
Ternyata pertanyaan1 Puranti yang kecil
itu telah menuntunnya ke dalam angan-angan yang semakin menakutkan
baginya, Meskipun Ken Arok sadar, bahwa gadis itu sama sekali tidak
bersalah, karena tanpa kesengajaan ia mengucapkan pertanyaan yang
tersimpan di dalam hatinya dengan kejujurannya yang bersih.
“Aku harus dapat melawan perasaan ini”,
sekali lagi Ken Arok menggeram sambil membantingkan dirinya berbaring
di lantai beralaskan sebuah tikar yang kumal.
Dengan sekuat tenaganya ia telah melawan
perasaan yang tiba-tiba saja tumbuh. Tetapi betapa sulitnya. Bahkan
tiba-tiba terngiang di kepalanya suara itu lagi, “Seandainya Tunggul
Ametung sudah tidak ada.”
Ken Arok hampir saja berteriak. Untunglah
tangannya secara naluriah telah membungkam mulutnya sendiri, sehingga
ia tidak mengejutkan seisi rumah di malam yang larut itu.
Tetapi tiba-tiba Ken Arok mendengar
sesuatu berderik di pintu ruangan itu. Semakin lama semakin jelas.
Dengan matanya yang tajam yang seakan-akan mampu menembus kegelapan ia
melihat daun pintu lereg itu bergerak-gerak.
“Ada seseorang di pintu itu” desisnya.
Tetapi sejenak kemudian suara itu diam. Daun pintu itu pun diam pula.
Sesaat Ken Arok dapat melupakan
angan-angannya tentang Ken Dedes. Sepercik kecurigaan telah melonjak di
dalam dadanya. Seolah-olah seseorang telah berusaha membuka pintu dan
berusaha masuk dengan diam-diam.
Dengan demikian mika Ken Arok pun justru
berdiam diri pula. Ia sama sekali tidak bergerak. Hanya tangannya
sajalah yang dituntun eleh naluri keprajuritannya, meraba hulu pedangnya
yang terletak di sisinya.
Ketika sekali lagi pintu itu
berderik-derik lambat, maka Ken Arok pun menjadi semakin diam. Diaturnya
jalan nafas mya, sehingga seolah ia telah tidur nyenyak.
Perlahan-lahan pintu itu bergerak-gerak. Semakin lama semakin nyata bahwa pintu itu sudah mulai terbuka.
“Pintu itu memang tidak diselarak, karena
Bango Samparan tidur di luar.” desis Ken Arok di dalam hatinya, “tetapi
siapakah yang akan masuk dengan diam-diam ini?”
Daun pintu itu semakin lama menjadi
semakin terbuka lebar. Bayangan gelap malam yang hitam, telah memulas
sesoyok tubuh yang berdiri di muka pintu yang kini telah terbuka itu.
Hitam. Hitam seperti bayangan hantu yang perlahan-lahan hendak
menerkamnya
Tetapi ternyata mata Ken Arok benar-benar
bermata yang tajam. Meskipun ia tidak membuka matanya sepenuhnya,
tetapi segera ia mengenal orang yang kini telah melangkah masuk seperti
seorang pencuri itu, Panji Bawuk.
Kecurigaan di dalam dada Ken Arok menjadi
semakin melonjak. Hampir saja ia meloncat dan memilin leher Panji
Bawuk. Namun tiba-tiba niat itu diurungkannya. Dibiarkannya Panji Bawuk
melangkahi tlundak pintu.
Suatu pergolakan yang dahsyat telah
terjadi di dalam dada Ken Arok. Tiba-tiba ia terdorong kedalam suatu
pikiran Sang aneh. Seandainya Panji Bawuk berniat buruk, maka
tanggapan Ken Arok atas hal itu dipengaruhi oleh kegelapan pikirannya.
“Apakah Panji Bawuk akan menjadi lantaran, membebaskan aku dari pengkhianatan ini?”
Dengan demikian maka Ken Arok tidak
segera dapat mengambil sikap. Meskipun tangan kanannya telah menggenggam
hulu pedang di bawah kain panjangnya, namun ia tidak segera dapat
bertindak.
Keragu-raguan yang membayangi perasaannya
telah membuatnya diam tanpa dapat berbuat sesuatu. Sementara Panji
Bawuk melangkah semakin lama semakin dekat.
Tetapi nalar Ken Arok ternyata
benar-benar telah dikaburkan oleh kebingungan yang mencekam dadanya. Di
dalam hatinya ia berkata, “Agaknya akan lebih baik bagiku, apabila aku
sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melakukan, bahkan
berangan-angan tentang pengkhianatan itu.”, Namun tiba-tiba pertanyaan
yang lain tumbuh di hatinya, “Tetapi apakah cara ini adalah cara yang
sebaik-baiknya?”
Selagi Ken Arok dilanda oleh kebimbangan,
sebelum ia menemukan keputusan terakhir, Panji Bawuk telah berdiri
disisinya. Perlahan-lahan anak sulung Bango Samparan itu berjongkok di
samping Ken Arok.
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar.
Begitu dahsyat pergolakan terjadi di dalam hatinya, sehingga tubuhnya
menjadi gemetar. Tetapi betapapun juga, ternyata bahwa ia tidak akan
dapat membiarkan sesuatu atas dirinya. Nalurinyalah yang memaksanya
untuk bersiaga meskipun tampaknya ia masih saja berbaring diam. Tetapi
apabila ia memerlukan untuk menyelamatkan dirinya, maka dengan
melentingkan tubuhnya ia pasti akan terhindar dari bahaya.
Tetapi setelah sesaat Ken Arok menunggu,
Panji Bawuk tidak melakukan sesuatu. Dilihatnya anak muda itu berjongkok
di dalam kegelapan sambil menekurkan kepalanya. Dan tanpa diduga-duga
oleh Ken Arok Panji Bawuk itu kemudian duduk di lantai di samping
tempatnya berbaring.
Keheranan yang tajam telah melanda
dinding jantung Ken Arok. Ia masih berpura-pura memejamkan matanya,
meskipun ia dapat melihat dari sela-sela pelupuk matanya, Panji Bawuk
yang duduk tepekur di sampingnya.
Akhirnya Ken Arok lah yang tidak sabar
menunggu. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya dalam nada yang
dalam sambil berpura-pura menggeliat, “He, siapakah kau?”
Panji Bawuk terkejut sehingga ia bergeser surut.
“Maafkan aku kakang, apakah aku mengejutkan kau?”.
Perlahan-lahan Ken Arok bangkit. Namun ia cukup waspada untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tiba-tiba sekalipun.
“Kenapa kau berada disitu?”
“Ya, aku sudah lama duduk di sini” jawab Panji Bawuk.
Hampir saja Ken Arok membatahnya. Tetapi
segera di urungkannya niatnya. Bahkan ia bertanya, “Apakah maksudmu
menunggui aku tidur disini?”
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia berkata perlahan-lahan, “Kakang.
Aku melihat betapa nyenyaknya kau tidur. Tetapi aku sama sekali tidak
dapat memejamkan mata barang sekejappun.”
Ken Arok memandangi wajah Panji Bawuk
dengan sorot mata keheranan. Ia tidak segera menangkap maksud anak Bingo
Samparan itu. Tetapi ia melihat bahwa mata Panji Bawuk yang liar itu
kini telah menjadi padam.
“Agaknya perasaan kakang telah semeleh, sehingga semuanya telah menjadi bersih seperti air yang memancar dari sumbernya.”
Ken Arok masih belum tahu benar maksud
Panji Bawuk. Namun yang jelas baginya adalah, bahwa Panji Bawuk itu sama
sekali tidak bermaksud jahat kepadanya.
“Aku ternyata masih juga dikuasai oleh
prasangka yang berlebih-lebihan” berkata Ken Arok di dalam hatinya,
“tetapi terhadap anak sebuas Panji Bawuk, sudahlah sepantasnya aku
selalu berhati-hati.”
Namun yang ditanyakannya adalah, “Apakah maksudmu Panji Bawuk?”
Panji Bawuk tidak segera menjawab. Namun tatapan matanya serasa menjadi semakin dalam.
“Apakah kau mendendam?” bertanya Ken Arok kemudian.
Panji Bawuk menggelengkan kepalanya,
katanya, “Tidak. Tiba-tiba saja aku kehilangan segala macam nafsu
dendamku. Aku berterima kasih kepadamu kakang.” Panji Bawuk berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi dengan demikian aku melihat betapa kotornya
diriku. Apakah aku masih sempat untuk menikmati ketenteraman hati dan
tidur nyenyak seperti kau? Aku tahu, bahwa kau pun pernah mengalami
masa-masa penuh dengan noda-noda hitam. Tetapi kini kau menjadi
seolah-olah tanpa cacad. Kau menjadi seputih warna kapas. Itulah
sebabnya kau dapat tidur nyenyak. Tetapi aku tidak. Aku merasa diburu
oleh semua kesalahan yang pernah aku lakukan. Serasa setiap wajah mereka
yang pernah aku lukai apalagi yang terbunuh dalam
pertengkaran-pertengkaran selalu membayangiku malam ini.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar
kata-kata Panji Bawuk itu. Sehingga dengan serta-merta ia menyahut, “Itu
pertanda baik buat hari depanmu Panji Bawuk. Penyesalan memang
menumbuhkah persoalan di dalam dirimu. Kalau kau dapat menanggapi dengan
baik, maka kau akan terdorong kembali ke jalan yang lurus.”
“Tetapi aku tidak dapat meletakkan diri
seperti kau. Kau dapat tidur nyenyak dan menyingkirkan segala macam
dendam dan nafsu. Kau dapat mengekang dirimu untuk tidak membunuh aku
dan adik-adikku. Kau dapat mengekang segala macam nafsu lahiriahmu dan
bahkan seolah-olah dari dalam dirimu memancar cahaya terang, yeng
menerangi jalanku, adik-adikku dan mungkin juga ibu dan ayahku. Apakah
aku juga dapat melakukannya?”
Terasa dada Ken Arok bergetar semakin
dahsyat. Justru kini ia merasa, bahwa kebersihan hatinya selama ini
telah berhasil dicapainya sedikit demi sedikit sedang teruji. Justru
ketika ia berhasil mengangkat keluarga Bango Samparan ke tempat yang
bersih, ia sendiri mulai terseret kedalam arus nafsu lahiriah akan dapat
menodai hidupnya.
Dan seperti guruh di langit ia mendengar
Panji Bawuk berkata, “Kesempatan untuk membersihkan dirimu itulah ciri
dari nasibmu yang paling baik kakang.”
Ken Arok mengatupkan giginya rapat-rapat.
Kali inipun ia sadar, bahwa tidak ada kesengajaan Panji Bawuk untuk
mengorek perasaannya. Agaknya anak muda itu benar-benar melihatnya
berhati bersih seperti yang baru saja dipertunjukkannya. Tetapi Panji
Bawuk tidak melihat bahwa telah terjadi kemelut yang panas membakar
rongga dadanya.
“Kakang” terdengar lagi suara Panji Bawuk, “apakah aku mempunyai kesempatan sebaik kakang pula.”
“Ya, ya” suara Ken Arok tergagap, “semua orang mempunyai kesempatan serupa. Kau pun mempunyai kesempatan seperti aku.”
“Mudah-mudahan” Panji Bawuk seakan-akan
berbisik kepada diri sendiri, “mudah2an aku mendapat kesempatan itu, dan
mudah-mudahan aku tidak dapat terseret lagi ke dalam nafsuku yang tidak
terkendali”. Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “Kakang,
kakang. Aku tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri. Apakah aku
akan dapat memegang teguh kesadaran ini.”
Terasa dada Ken Arok menjadi semakin tegang.
“Aku akan selalu cemas, bahwa pada suatu
saat ke sadaran yang telah tumbuh ini akan menjadi semakin pudar dan
akhirnya padam sama sekali sehingga aku akan terseret lagi kelam duniaku
yang hitam seperti ini.”
Jantung Ken Arok serasa berdentangan
semakin keras. Tetapi ia masih menjawab, “Kau harus selalu berusaha
menjadi dirimu Panji Bawuk. Kau harus selalu ingat, bahwa kau pernah
bangkit dari dalam lumpur,” Ken Arok berhenti sesaat, kemudian,
“sudahlah. Besok kita berbicara lagi. Sekarang aku ingin beristirahat.”
Panji Bawuk naengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ya, beristirahatlah. Kau akan tidur lagi dengan nyenyak dan
aku akan tetap seperti keadaanku. Aku tidak tahu, apakah perasaanku akan
gelisah seperti saat ini untuk waktu yang lama.”
“Kalau kau ikhlas, kau akan tidur dengan nyenyak.”
“Aku ikhlas. Ikhlas sekali Ken Arok.
Tetapi aku adalah seorang yang berhati lemah, seperti yang telah aku
katakan. Mungkin pada suatu ketika aku akan terseret dalam arus yang
dahsyat, yang tidak dapat aku tahankan lagi sehingga hidupku seperti ini
akan terulang, dan bahkan menjadi semakin parah.”
“Itu tergantung kepadamu sendiri” potong Ken Arok dengan nada semakin tinggi.
Panji Bawuk terkejut mendengar jawaban
itu. Tetapi kemudian diendapkaanya hatinya. Mungkin perasaannya sajalah
yang membuat telinganya menangkap suara Ken Arok itu terlampau keras.
Sehingga kemudian sekali lagi ia berkata, “Hatiku terlampau lemah Ken
Arok. Hatiku terlampau lemah.”
Suara itu terngiang di telinga Ken Arok
seperti suara ribuan lebah yang berputar-putar di telinganya, sehingga
hatinya pun menjadi semakin gelisah. Suara itu seolah-olah telah
menyentuh dinding hatinya sehingga semakin lama semakin sering. Sehingga
Ken Arok menjadi ketakutan, bahwa ribuan lebah.itu nanti akan
menyengatnya bersama-sama.
Sehingga akhirnya Ken Arok itu berkata semakin keras, “Pergi, pergilah. Aku akan beristirahat.”
Debar jantung Panji Bawuk menjadi semakin
keras. Setapak ia bergeser surut. Katanya, “maaf, aku telah
mengganggumu Ken Arok. Bukan maksudku. Aku hanya ingin mencari
ketenteraman didekatmu, karena seolah-olah kau memiliki suatu tenaga
yang gaib, yang dapat mempengaruhi perasaanku. Di luar aku merasa dadaku
terlampau panas. Tetapi di sini aku merasakan kesejukan yang memancar
dari hatimu yang putih. Mudah-mudahan aku akan selalu ingat pesanmu,
supaya aku tidak terperosok lagi ke dalam dunia yang penuh dengan
kutukan ini. Semoga aku akan selalu ingat kepada seorang yang telah
berhasil melepaskan dirinya dari dunia yang kelam, dan bahkan telah
menemukan kebersihan hati yang tidak ternilai.” Panji Bawuk berhenti
sejenak. Dadanya menjadi merasa semakin lapang setelah semakin bentak ia
menyatakan isi hatinya, “Mudah-mudahan pula aku dapat menghindarkan
diri dari ketakutan ini, bahwa suatu ketika aku akan kehilangan akal.
Kalau aku melihat harta benda yang tertumpuk, melihat lingkaran
perjudian, melihat apa saja yang dapat menggoncangkan ketabahan hatiku,
aku akan selnlu ingat kepadamu. Juga apabila aku dijerat oleh kelemahan
perasaanku yang paling parah, yaitu wanita cantik. Mudah-mudahan aku
dapat menghindarkan diri dari perbuatan terkutuk itu.”
“Cukup, cukup.” tiba-tiba Ken Arok
memotong keras-keras, sehingga Panji Bawuk terperanjat bukan buatan.
Sejenak ia terdiam sambil memandangi Ken Arok dengan mulut ternganga.
Tetapi sejenak kemudian Panji Bawuk menjadi heran. Ia mendengar Ken Arok itu berkata terbata-bata, “Maafkan aku Panji Bawuk.”
Sementara itu seseorang meloncat masuk ke
dalam ruangan itu dengan sigapnya. Dengan cemas orang itu yang tidak
lain adalah Bango Samparan, bertanya, “apakah yang terjadi?” Kemudian,
“He, apakah kau berbuat gila Panji Bawuk?
Panji Bawuk masih duduk ditempatnya. Ken Arok yang kemudian berdiri menjawab dengan serta-merta, “Tidak. Tidak ayah.”
Tetapi Bango Samparan masih tetap berdiri
di tempatnya. Sebentar kemudian, dari ruangan dalam, isteri muda Bango
Samparan datang dengan membawa lampu minyak.
“Kenapa dengan kalian?” bertanya isteri
muda Bango Samparan yang terkejut pula mendengar suara Ken Arok. Bahkan
bukan saja isteri mudanya, tetapi juga isteri tua Bango Samparan. Ketika
adik Panji Bawuk pun ternyata terbangun juga dan melihat apa yang
terjadi itu dari sela-sela pintu. Sedang Puranti masih juga tidur dengan
nyenyaknya.
“Kau berbuat gila Panji Bawuk?” ulang Bango Samparan.
“Tidak ayah” sekali lagi Ken Arok lah yang menyahut.
“Biarlah anak setan itu menjawabnya”
potong Bango Samparan, “apakah kau tidak menyadari keadaanmu? Untunglah
bahwa Ken Arok tidak sebuas kau atau aku atau adik-adikmu.”
Panji Bawuk tidak segera menjawab.
Ditatapnya wajah ayahnya dengan pasrah. Seolah-olah ia sudah tidak
berhasrat lagi untuk membela dirinya.
“Kenapa kau menjadi begitu gila?” ayahnya masih membentak.
“Anak itu tidak berbuat apa-apa, ayah” sekali lagi Ken Arok mencoba menjelaskan.
“Aku tidak bertanya kepadamu” potong
Bango Samparan, “tetapi jangan dikira aku tuli. Aku terbangun karena
suara ribut. Aku mendengar kau membentak. Pasti Panji Bawuk telah
berbuat gila. Ia ingin melepaskan dendamnya selagi kau tidur.”
“Sama sekali tidak” Ken Arok membantah, “ayah salah tangkap.”
“Jangan kau lindungi anak yang gila itu.”
Bango Samparan menjadi semakin marah, “kau cukup memaafkannya satu
kali. Karena ia masih mencoba membunuhmu, maka tidak ada alasan lagi
untuk memhebaskannya dari hukumannya yang kau kehendaki.”
“Apakah maksud ayah supaya aku
melakukannya sehingga tuntas. Supaya tidak ada persoalan lain dikemudian
hari?” bertanya Ken Arok.
Pertanyaan itu ternyata telah membuat
Bango Samparan terdiam. Sejenak ia merenungi wajah Ken Arok, kemudian
meloncat ke wajah anaknya, Panji Bawuk, yang muram, dan wajah isteri
mudanya yang cemas.
Karena Bango Samparan tidak segera menyahut, maka Ken Arok berkata kepada Panji Bawuk, “Berdirilah. Ber dirilah.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berdiri perlahan-lahan. Hatinya merasa telah menjadi kosong.
Tetapi sikap Panji Bawuk itu benar-benar
telah membuat Ken Arok menjadi heran. Anak itu sama sekali tidak
membantah. Tidak memhela dirinya dan tidak berteriak-teriak atau tertawa
menyakitkan hati. Anak muda itu tiba-tiba menjadi pendiam, tetapi
perlahan-lahan menemukan jalan lurus yang menuju ke dunia yang terang.
Ketika Panji Bawuk telah berdiri, maka
berkatalah Ken Arok, “Lihat ayah. Anak itu sama sekali tidak membawa
senjata. Kalau ia ingin membunuhku, maka pasti ia membawa alat itu. Ia
sadar, bahwa aku mempunyai kelebihan dari padanya. Karena itu, maka ia
tidak akan datang dengan tangan hampa, dan tidak dalam sikap seperti
itu.”
Bango Samparan mengerutkan dahinya.
Memang agaknya Panji Bawuk tidak membawa senjata apapun. Tempat di
sekitar tikar yang masih terbentang itu pun sama sekali tidak
menunjukkan hal-hal yang pantas dicurigainya. Namun tiba-tiba ia
bertanya, “Lalu apa maksudmu datang kemari Panji Bawuk?”
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam.
Sekilas ditatapnya. wajah Ken Arok Lalu lambat-lambat ia menjawab, “aku
ingin minta maaf kepada kakang Ken Arok ayah.”
Jawaban itu pun terdengar aneh di telinga
Bango Samparan. Panji Bawuk tidak pernah berkata sesareh dan sedalam
itu. Meskipun demikian ia masih bertanya, “Tetapi kenapa kau telah
membuat Ken Arok marah dan membentak-bentak sehingga aku terhangun
karenanya?”
Panji Bawuk tidak segera menjawab. Tetapi
ditatapnya wajah Ken Arok, seolah-olah suatu permintaan kepadanya,
supaya ia menjawab pertanyaan itu.
Agaknya Ken Arok pun menanggapinya. Maka
katanya, “Aku tidak marah. Memang bukan maksudku membentak-bentaknya.
Tetapi aku hanya sekedar terkejut. Mungkin aku masih dibayangi oleh
kecemasanku di siang tadi, sehingga tiba-tiba saja aku meloncat dan
berteriak-teriak. Tetapi Panji Bawuk menang tidak berbuat sesuatu selain
duduk di samping tikar tempat aku tidur.”
Keheranan masih saja membayang di wajah
Bango Samparan. Tetapi ia mulai dapat mempercayainya. Ia memang melihat
perubahan yang terjadi pada anak sulungnya. Bukan sekedar perubahan
sikap lahiriah, tetapi perubahan itu agaknya memang terjadi di dalam
dirinya. Di dalam hatinya. Karena itulah, maka ia kemudian percaya bahwa
sebenarnya Panji Bawuk memang tidak berbuat sesuatu.
Karena itu maka katanya kepada anaknya,
“Kalau memang begitu Panji Bawuk, sebaiknya kau tidak mengganggunya
sekarang. Besok kau masih dapat bertemu dengan Ken Arok, sehingga kau
tidak membuatnya terkejut.”
Panji Bawuk mengangguk lemah. Jawabnya
benar-benar membuat Bango Samparan heran, “Ya ayah, aku menyesal bahwa
aku telah mengganggu kakang Ken Arok.”
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam.
Katanya di dalam hati, “Anak ini tiba-tiba saja menjadi seorang anak
yang terlampau baik. Mudah-mudahan tidak hanya sekedar memulas diri.”
“Baiklah aku kembali ke tempatku” berkata Panji Bawuk kemudian, “malam masih cukup panjang.”
Bango Samparan mengangguk, “Ya, tidurlah. Aku pun akan tidur pula.”
Maka Panji Bawuk, Bango Samparan,
isterinya dan anak-anaknya yang mengintip di luar pintu pun segera
kembali ke pembaringannya masing-masing. Ken Arok pun merebahkan dirinya
pula dan mencoba memejamkan matanya. Tetapi, ternyata bukan Panji Bawuk
lah yang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali, karena pada saat
itu Panji Bawuk sambil menarik nafas panjang-panjang bergumam di dalam
dirinya, “Aku harus ikhlas menghadadi semua persoalan. Aku harus
merasakan hidupku seolah-olah baru mulai. Dan aku harus mencoba
menemukan kepercayaan kepada diri sendiri, bahwa aku akan melawan segala
godaan yang akan menyeret aku kembali ke jalan yang sesat.”
Panji Bawuk itu seolah-olah telah
menumpahkan semua yang menyumbat dadanya, sehingga nafasnya serasa
menjadi pepat. Tetapi kini dadanya serasa menjadi lapang, setelah
semuanya ditumpahkannya kepada Ken Arok.
Ketika ayam jantan berkokok untuk yang
terakhir kalinya, justru menjelang fajar, maka Panji Bawuk itu telah
mendengkur di belakang kandang, di atas jerami kering.
Tetapi pada saat itu Ken Arok lah yang
menggeretakkah, giginya. Justru ia kini menjadi terlampau gelisah,
seakan-akan ia tidak mampu lagi bertahan untuk berbaring terus sampai
pagi.
Bahkan nafasnya pun kemudian terasa
menjadi sesak. Kepalanya pening dan nalarnya menjadi seolah-olah tidak
dapat bekerja dengan wajar.
“Apakah setan-setan Karuman telah
meninggalkan hati setiap orang di rumah ini dan kini justru
berramai-ramai masuk ke dalam hatiku.” Ken Arok menggeram di dalam hati
nya.
Begitu tajam kegelisahan
menghentak-hentak dadanya, sehingga tanpa sesadarnya Ken Arok telah
menekan dadanya itu dengan kedua telapak tangannya, seolah-olah menahan
agar dada itu tidak meledak.
Tetapi ia benar-benar tidak dapat
menghindar lagi. Bayangan Ken Dedes benar-benar membuatnya gila. Semakin
lama justru menjadi semakin membayang. Bahkan serasa benar-benar kasat
mata, cahaya yang memancar dari tubuh perempuan itu menerangi hatinya.
“O, gila, gila” Ken Arok mengeluh., “Aku harus melawan semua godaan iblis ini. Aku harus melawan.
Sehingga kemudian Ken Arok pun terpaksa
bergulat melawan perasaannya sendiri, betapapun beratnya. Ia tidak dapat
memaksa matahari segera terbit sehingga ia dapat berbuat sesuatu untuk
melupakan perasaanya itu. Tetapi selagi ia masih harus berbaring diam,
maka angan-angannya sama sekali tidak akan dapat dikendalikannya.
Dan setiap kali terngiang di telinganya
suara Bango Samparan, suara Panji Bawuk, suara ibu Panji Bawuk dan suara
lain yang pernah didengarnya, “Nasibmu memang terlampau baik Ken Arok.”
“Apakah salahku kalau aku mempunyai nasib
terlampau baik” tiba-tiba ia didorong oleh angan-angannya, “bahkan
seandainya nasibku yang baik itu telah menyeretku menjadi seorang
Senapati misalnya, atau bahkan menjadi seorang Akuwu atau Panglima
perang Kerajaan Kediri, atau bahkan menjadi seorang Maharaja? Tidak, aku
kira itu bukan salahku. Sudah sepantasnyalah seseorang mempunyai
cita-cita. Aku pun seharusnya mempunyai cita-cita. Cita-cita yang harus
aku perjuangkan. Aku masih cukup muda. Hari depanku masih panjang. Kalau
aku terlampau puas dengan keadaanku sekarang, maka aku tidak akan
mencapai sesuatu apapun.”
“Tetapi aku telah menjadi gila” Ken Arok
berteriak di dalam hatinya, “aku boleh berangan-angan tentang cita-cita.
Aku boleh mimpi menjadi seorang Akuwu bahkan seorang Maharaja, tetapi
aku tidak boleh berangan-angan untuk melakukan pengkhianatan. Tidak.
Perempuan cantik itupun tidak boleh aku khianati hanya karena tubuhnya
menyala, pertanda bahwa ia akan mendatangkan derajat yang paling
tinggi.”
Ketika pergolakan semakin dahsyat terjadi
di dalam dada Ken Arok, maka ia tidak dapat lagi bertahan berbaring
ditempatnya. Tiba-tiba saja ia bangkit sambil menarik nafas dalam-dalam.
Sambil menyilangkan tangannya di muka dadanya ia duduk tepekur. Ia
berusaha untuk membuat angan-angannya menjadi bening. Namun yang terjadi
adalah sebaliknya. Seolah-olah kepalanya menjadi semakin keruh oleh
beribu macam persoalan yang akjirnya berpusar kepada seraut wajah yang
cantik, Ken Dedes.
Akhirnya Ken Arok tidak dapat bergulat
lebih lama lagi. Ia tidak lagi mampu bertahan. Sehingga kemudian ia pun
tenggelam dalam angan-angannya yang melambung, seorang perempuan yang
serasa melekat di rongga matanya.
Perlahan-lahan Ken Arok berdiri. Masih
juga didengarnya suara hatinya yang bening, “Persetan. Iblis Karuman
benar-benar telah melepaskan Panji Bawuk dan keluarganya, dan kini
menerkam aku tanpa memberi kesempatan untuk membela diri.”
Tetapi, suara itu terlampau lemah. Hanya
kadang-kadang ia berhasil menghentakkan dirinya sesaat. Namun kemudian
mimpi yang paling indah itu telah memeluknya meskipun ia tidak sedang
tidur.
Tanpa sesadarnya, kakinya telah
menyeretnya ke pintu, perlahan-lahan ia membuka pintu itu dan melangkah
tlundak, keluar ruangan ternyata halaman rumah Bango Samparan yang kotor
masih disaput oleh kelamnya malam yang keputih-putihan karena kabut
pagi. Namun, ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya, ia melihat cahaya
kemerah-merahan membayang di ufuk Timur.
Di kejauhan didengarnya suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari satu kandang ke kandang yang lain.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam,
serasa seluruh udara Karuman akan dihisapnya. Ketika ia melepaskan
nafasnya maka dadanya menjadi terlampau lapang.
Di atas sebuah anyaman belarak, ia
melibat Bango Samparan tidur dierami. Nyenyak sekali. Dengkurnya
berbunyi teratur, seperti suara nafas anak-anak yang belum disentuh
dosa.
Tetapi tiba-tiba Ken Arok itu terkejut.
Telinganya yang tajam telah menangkap suara yang aneh baginya. Suara
hiruk pikuk di kejauhan.
“Masih terlampau pagi. Suara apakah itu?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Sejenak ia berdiri diam. Dadanya menjadi
semakin berdebar-debar ketika ia semakin yakin akan pendengarannya.
Tanpa sesadarnya maka ia melangkah masuk ke dalam rumah Bango Samparan,
membenahi pakaiannya dan mengenakan ikat pinggangnya dengan pedang yang
kemudian tergantung di lambung.
Dengan tergesa-gesa ia kembali keluar
pintu. Suara itu kini menjadi semakin nyata dan semakin dekat di
sela-sela suara kokok ayam jantan yang menjadi semakin jarang.
“Apakah terjadi keributan di desa ini?”
katanya di dalam hati, “jika demikian, untunglah, bahwa ayah Bango
Samparan ada di rumah bersama keempat anak-anaknya yang gila itu. Kalau
tidak, maka ia pasti akan dicurigai.”
Namun hati Ken Arok semakin lama menjadi
semakin tidak tenang. Maka perlahan-lahan ia melangkah mendekati Bango
Samparan yang masih tidur mendekur.
“Ayah” desis Ken Arok sambil meraba ujung
ibu jari kakinya. Namun sentuhan itu telah dapat membuat Bango Simparan
terkejut dan meloncat berdiri.
“Oh, desahnya” kau mengejutkan aku.
Ken Arok masih sempat mengangguk-
anggukkan kepalanya melihat sikap Bango Samparan. Ternyata orang tua itu
masih juga mampu bergerak cepat.
“Kenapa kau bangunkan aku?” bertanya Bango Samparan kemudian.
“Apakah ayah tidak mendengar sesuatu?”
Bango Samparan memiringkan kepalanya, sambil memasang pendengarannya setajam-tajamnya.
Setaat kemudian ia berdesis, “Ya, aku mendengar sesuatu. Aku mendengar suara ribut.”
“Benar” sahut Ken Arok, “dan suara itu semakin lama menjadi semakin dekat.”
Tiba-tiba wajah Bango Samparan menyadi
tegang. Dengan suara yang patah ia berkata, “Apakah yang akan dilakukan
oleh setan-setan itu?”
“Kenapa dengan mereka?” bertanya Ken Arok.
“Mungkin mereka tidak dapat menaban diri
lagi. Mereka yang melihat kedatanganku telah menyampaikannya kepada Ki
Buyut. Mungkin ada orang yang dengan sengaja memanaskan keadaan sehingga
mereka akan mengambil suatu sikap kemari.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Suara itu memang semakin dekat, seperti suara anak-anak mengejar tupai.
“O” Bango Samparan tiba-tiba menjadi
gugup, “anak-anak harus tahu.” Dan tiba-tiba sebelum Ken Arok menjawab,
Bango Samparan telah meloncat berlari mencari anak-anaknya.
Sesaat kemudian seisi rumah telah terbangun, Puranti pun ikut dibangunkannya pula.
“Kenapa kita bangun terlampau pagi ayah”
bertanya Puranti dengan nada dalam. Agaknya ia masih terlampau kantuk,
karena semalam ia tidur agak terlambat.
Bango Samparan tidak menjawab. Ketika ia
mengadahkan kepalanya di langit masih bergayutan bintang gemintang yang
berkeredipan dari ujung sampai ke ujung. Namun di timur telah membayang
warna semburat merah.
Suara ribut itu semakin lama menjadi
semakin dekat. Terlampau dekat. Kini mereka dapat melihat beberapa buah
obor yang bergerak-gerak di sela-sela pepohonan.
“Mereka benar-benar datang kemari” suara Bango Samparan bergetar.
Puranti yang kecil itu tidak mengerti,
apa yang bergolak di dalam dada ayahnya, sehingga tanpa prasangka apapun
ia bertanya, “Kenapa mereka datang kemari sepagi ini ayah?”
Bango Samparan tidak menjawab. Tetapi kecemasan yang dahsyat telah mencengkam jantungnya.
Panji Bawuk dan adik-adiknya pun menyadi
berdebar-debar. Dengan suara datar Panji Bawuk bertanya, “Apakah mereka
akan bertindak terhadap kita ayah?”
“Mungkin” lahut Bango Samparan pendek.
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Ia
berpaling ketika Panji Kanengkung, adik laki-lakinya yang paling kecil
meloncat maju dengan senjata di tangan, “Apa yang dapat mereka lakukan
atas kita sekalian ini?”
“Kanengkung” suara Panji Bawuk berat, “singkir kan senjatamu itu.”
Kanengkung terkejut mendengar kata-kata
kakaknya itu. Juga Panji Kumal terperanjat, sehingga dengan serta-merta
ia bertanya, “Kenapa kakang? Apakah kita tidak boleh membela diri
apabila mereka ingin membuat sesuatu atas kita? Di sini sekarang ada
kakang Ken Arok, sehingga mereka akan menjadi semakin tidak berdaya. Ki
Buyut yang mereka andalkan pun tidak akan sekuku ireng dibandingkan
dengan kakang Ken Arok.
Panji Biwuk menggeram. Suaranya menjadi semakin berat, “Singkirkan senjata kalian.”
Sejenak Kanengkung dan Kunal saling
berpandangan. Bahkan Kuncang pun sejenak dicengkam oleh kebimbangan.
Meskipun ia belum menarik senjatanya, tetapi ia membawa senjata juga di
lambungnya. Bahkan Bango Samparan pun menjadi heran dan bertanya,
“Kenapa Panji Bawuk?”
“Senjata-senjata itulah yang akan
menjebak kita ke dalam perbuatan terkutuk. Aku tidak akan mengulangi
lagi. Dengan senjata di tangan, kita akan dapat membunuh masing-masing
lebih dari sepuluh orang. Tetapi apakah gunanya? Sekarang aku tidak
menganggap bahwa senjata adalah alat yang paling penting Kalau benar
mereka akan datang kemari, biarlah aku akan berbicara dengan mereka.
Mereka adalah orang-orang yang baik, cukup sadar, sehingga mereka
memberi kita cukup waktu untuk memperbaiki hidup kita. Kini kita telah
menemukan jalan itu yang bukan karena sekedar terpaksa. Kita sudah
menemukannya di dalam bati kita. Karena itu, biarlah aku mencoba
menjelaskan persoalannya.”
Bango Samparan terdiam sejenak. Ia tidak
menyangka, bahwa anaknya pada suatu saat akan sampai ke jalan yang kini
diinjaknya. Tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, suara hiruk pikuk dan
obor-obor di jalan padesan itu pun menjadi semakin lama semakin dekat.
Beberapa diantara obor-obor itu meluncur cepat di paling depan.
Dugaan mereka ternyata tidak keliru.
Orang-orang itu benar-benar mendatangi rumah Bango Samparan. Beberapa
orang yang memegangi obor berhenti di muka regol halaman depan dengan
senjata di tangan masing-masing. Tetapi tidak seorangpun dari mereka
yang berusaha masuk paling depan.
Bango Samparan berdiri dengan wajah yang
semakin lama semakin tegang memandangi orang-orang yang berdesak-desakan
di luar regolnya yang sudah miring. Di sampingnya berdiri Ken Arok dan
Panji Bawuk. Kemudian di belakang mereka, Isteri muda dan isteri tuanya
membimbing tangan Puranti yang gemetar. Beberapa langkah dari mereka
ketiga anak laki-laki Bango Samparan yang lain berdiri termangu-mangu.
Tetapi, orang-orang yang berlari-lari
dengan tergesa-gesa itu, ketika mereka sudah berdiri di muka regol,
justru berdiri saja tegak mematung. Sejenak mereka saling berpandangan
dan sejenak kemudian mereka berbisik-bisik, “Dimaua Ki Buyut, dimana?”
Baru sejenak kemudian orang yang mereka
tunggu itu pun datang. Seorang yang telah menginjak usia tuanya.
Berambut putih, berkumis putih dan berjanggut putih Namun meskipun
wajahnya telah mulai dibayangi oleh garis-garis umur, tampaklah bahwa ia
adalah orang yang memiliki kemampuan yaag dapat dibanggakan.
Ki Buyut Karuman itu pun sejenak berdiri
tegak di muka regol. Dari pintu regol yang terbuka ia melihat Bango
Samparan dan anak-anaknya telah siap menyongsong mereka, dan di
antaranya adalah anak angkat Bango Samparan yang bernama Ken Arok.
Orang tua yang berambut putih itu pun
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu. Beberapa kali ia
berpaling kepada orang-orangnya yang berdesakan di belakangnya dengan
bermacam-macam senjata di tangan mereka.
“Tunggulah di sini” berkata Ki Buyut, “aku akan menemui mereka.”
“Kami ikut bersama Ki Buyut” desis seseorang, “kami akan menangkap mereka beramai-ramai.”
“Serahkan kepadaku” jawab Ki Buyut.
“Kami akan menghukumrya. Hukuman yang paling berat.”
Ki Buyut memandang orang itu dengan sorot mata yang seolah-olah menusuk langsung ke pusat dadanya, sehingga orang itu tertunduk.
“Sudah aku katakan. Akulah yang akan menyelesaikan.”
“Tetapi kami akan membantu seandainya mereka melawan.” jawab salah seorang dari mereka.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Terlampau sulit untuk mengendalikan sekian banyak orang yang sedang marah.
“Kemarin mereka berkelahi lagi” berkata seseorang entah sudah berapa banyak mayat terkubur di halaman rumah hantu ini.”
“Angan-anganmulah yang menakut-nakutimu”,
berkata Ki Buyut, “tidak ada apa-apa di rumah ini. Jangan mendendam
berlebih – lebihan.”
“Cobalah Ki Buyut bertanya kepada mereka.
Mereka akan mengatakannya dengan bangga, bahwa di bawah pohon kemiri,
di bawah rumpun bambu, di bawah apa lagi, telah terkubur mayat-mayat
mereka yang berani memasuki halaman rumah ini.”
Lalu, tiba-tiba yang lain memotong, “Tetapi pohon kemiri itu telah tumbang.”
Mereka terdiam sejenak. Ki Buyut yang
ragu-ragu itu masih berdiri diam di tempatnya. Baru sejenak kemudian ia
berkata, “Kalian menunggu di luar. Kalau kalian tidak mau, maka aku
tidak akan masuk.”
Orang-orang yang berdesak-desakan itu
saling berpandangan sejenak. Karena kemudian Ki Buyut benar-benar tidak
bergerak, maka salah seorang dari mereka berkata, “baiklah, sillahkan Ki
Buyut masuk. Tetapi hati-hatilah, mereka adalah serigala yang paling
liar.”
Ki Buyut tersenyum., “Aku akan berhati-hati.”
Sejenak kemudian maka Ki Buyut pun melangkah memasuki regol halaman rumah Bango Samparan. Langkahnya tetap dan betapa ringannya.
“Selamat pagi Bango Samparan” sapa Ki Buyut dengan ramahnya.
“Selamat pagi” sabut Bango Samparan
terbata-bata. Dan Ki Buyut yang telah berada beberapa langkah di depan
Bango Samparan itu pun berhenti. Dipandangiuya orang-orang yang berada
di depan rumah itu satu demi satu. Ketika sorot matanya menyentuh wajah
Panji Bawuk, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Ki Buyut., “Anak
inilah yang paling berbahaya” katanya di dalam hati, “tetapi sorot
matanya agak lain dari kebiasaannya. Entahlah, apabila aku sudah dapat
melihatnya dengan terang.”
Panji Bawuk yang merasa menjadi pusat
perhatian Ki Buyut itu pun segera menundukkan kepalanya dalam-dalam
sambil berkata, “Kami mengucapkan selamat datang Ki Buyut.”
Kali ini Ki Buyut benar-benar
terperanjat. Panji Bawuk tidak pernah berbuat demikian. Ia menyangka
bahwa Panji Bawuk akan tertawa menyakitkan hati dan bertanya dengan
penuh hinaan
“Ah, itu pun suatu bentuk penghinaan”
tiba-tiba Ki Buyut mengambil kesimpulan atas sikap Panji Bawuk itu.
Tetapi kesimpulan itu pun segera mengabur lagi ketika Panji Bawuk
melangkah maju sambil berkata, “Ki Buyut, kami minta maaf, bahwa kami
tidak dapat menyambut kedatangan Ki Buyut sebagaimana seharusnya karena
rumah kami tidak pantas untuk menerima seorang tamu.”
“Ah, tidak apa Panji Bawuk” sahut Ki Buyut dengan penuh ragu, “kami memang tidak ingin bertamu”
“Oh” Panji Bawuk mengangguk-anggukkan
kepalanya kami memang sudah menyangka, bahwa Ki Buyut dan
saudara-saudara di luar regol itu tidak akan sudi bertamu. Dan kami pun
seharusnya sudah tahu, kenapa Ki Buyut memerlukan datang kerumah ini
sepagi ini.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Ya, aku memang mengharap bahwa kalian yang ada dirumah ini
dapat mengerti kenapa kami datang di pagi-pagi buta ini.”
Panji Bawuk mengangguk, “Demikianlah Ki
Buyut. Namun kemudian kami masih juga ingin mendengar, apakah Yang akan
Ki Buyut lakukan atas kami. Kami sudah siap untuk melakukan apa saja
perintah Ki Buyut.”
Ki Buyut benar-benar tidak menyangka,
bahwa sikap Panji Bawuk akan menjadi sedemikian lunak. Tetapi ia tidak
boleh kehilangan kewaspadaan. Apalagi ketika ia masih melihat beberapa
pucuk senjata di tangan adik-adik Panji Bawuk.
“Apakah Ki Buyut mencurigai adik-adikku?”
bertanya anak sulung Bango Samparan itu. Dan pertanyaan itu benar-benar
membuat Ki Buyut menjadi tergagap. Sementara itu Panji Bawuk berkata,
“Sudah aku katakan kepada mereka, bahwa mereka harus melepaskan senjata
mereka.” Lalu kepada adik-adiknya ia berkata, “Sudah aku katakan,
letakkan senjata-senjata itu. Di sini, dimuka Ki Buyut.”
Ketiga adiknya masih juga ragu-ragu, sehingga Panji Bawuk mengulanginya, “Letakkan disini.”
Ketiganya sudah tidak dapat membantah
lagi. Perlahan-lahan mereka maju mendekati Ki Buyut sambil manjinjing
senjata masing-masing. Namun dengan demikian kecurigaan Ki Buyut pun
segera timbul. Apakah benar mereka akan meletakkan senjata-senjata
mereka, atau sekedar untuk membuat Ki Buyut itu lengah.
Tanpa sesadarnya, Ki Buyut melangkah
surut. Dengan penuh kesiagaan ia memandangi ketiga anak-anak Bango
Samparan itu melangkah semakin dekat. Namun hatinya menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat kedua anak-anak muda yg paling kecil
benar-benar telah melemparkan senjatanya di tanah, yang sejenak kemudian
disusul oleh Panji Kuncang, betapa dad nya menjadi berdebar-debar.
“Kami berbuat dengan kesungguhan hati, Ki Buyut” berkata Panji Bawuk.
Ki Buyut tidak segera menjawab. Hatinya
merasakan sesuatu yang tidak dapat dikatakannya. Anak-anak yang
dianggapnya begitu liar dan buas itu, ternyata tidak seperti yang
disangkanya.
“Aku pun telah melepaskan senjataku”
berkata Panji Bawuk, “aku sudah merasa, bahwa senjata-senjata itulah
yang membuat kami menjadi manusia-manusia sebuas serigala. Dan kini,
kami adalah orang-orang biasa yang akan menjalani semua keharusan
seperti orang-orang lain.
Perlahan-lahan Ki Buyut
mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia masih harus meyakinkan
pendengaran dan penglihatannya. Sama sekali tidak masuk diakalnya bahwa
tiba-tiba saja Panji Bawuk dan ketiga adik-adiknya telah meletakkan
senjatanya tanpa perlawanan sama sekali. Sedang Bango Samparan sendiri
hanya berdiri saja termangu-mangu.
Namun ternyata Ki Buyut masih melihat
sehelai senjata yang masih tersangkut di lambung. Senjata Ken Arok.
Karena itu, maka kini perhatiannya terpusat kepada senjata-itu.
Ki Bayut terperanjat ketika in mendengar
Panji Bawuk berkata, “Apakah Ki Buyut tertarik kepada pedang di lambung
kakang Ken Arok itu? Sayang Ki Buyut, aku tidak dapat memintanya untuk
melepas pedangnya karena ia seorang jurit. Pedang adalah pakaian seorang
prajurit, bahkan seperti anggauta badannya sendiri. Tetapi percayalah
bahwa senjata di tangan kakang Ken Arok itu sama sekali tidak berbahaya,
seperti gigi di mulutnya. Ia tidak pernah mempergunakannya tanpa
arti, justru ia seorang prajurit.”
Ki Buyut masih juga berdiam diri. Tetapi
orang tua itu pun segera dapat mengenal pula, bahwa pedang itu memang
pedang Istana Tumapel. Tetapi pakaian Ken Arok sama sekali bukan pakaian
seorang prajurit atau bentuk-bentuk pakaian hamba istana yang lain.
“Apakah Ki Buyut ragu-ragu bahwa ia
adalah seorang dalam dari istana Tumapel?” bertanya Panji Bawuk, “memang
ia tidak mengenakan pakaian itu, karena ia mendapat waktu untuk
beristirahat setelah ia bekerja keras di padang Karautan. Apakah Ki
Buyut belum pernah mendengar bahwa di padang Karautan kini telah
dibangun sebuah bendungan dan sebuah pedukuhan?”
Orang tua itu mengangguk-angguk pula.
Kemudian barulah ia berkata, “Aku percaya, Panji Bawuk. Aku sama sekali
tidak menyangka, bahwa kalian akan bersikap begitu baik. Terima kasih.
Aku minta maaf karena aku telah mengejutkan kalian.” Ki Buyut berhenti
sejenak, lalu, “Memang aku sudah menyangka, bahwa kalian tidak sejahat
seperti yang aku dengar. Tetapi kedatangan ayahmu kemarin telah
menumbuhkan ketakutan pada penduduk, sehingga aku memerlukan datang
kemari untuk mendapatkan penjelasan, apakah kalian masih belum,
menyadari diri kalian. Tetapi ternyata apa yang kami harapkan telah
terpenuhi, sehingga tidak ada persoalan lagi bagi kalian.” Sekali lagi
Ki Buyut berhenti berbicara, dan setelah berpikir sejenak ia berkata,
“Namun hari-hari mendatanglah yang akan menentukan penilaian kami atas
kalian. Mudah-mudahan permulaan yang baik ini akan tetap kita
pertahankan.”
“Ya Ki Buyut” jawab Panji Bawuk,
“kedatangan ayah kemarin justru membawa pembaharuan di hati kami, karena
bersama ayah datang pula kakang Ken Arok, yang kini bekerja di Istana
Tumapel.”
“Syukurlah” sahut Ki Buyut, “apabila
demikian, maka tidak ads yang akan aku lskukan atas kalian. Sambutlah
hari yang datang hari ini dengan kecerahan di hati. Aku mengucapkan
selamat.”
“Terima kasih Ki Buyut” sahut Panji Bawuk.
“Nah, sekarang aku akan kembali. Tetapi
perkenankanlah aku membawa senjata-senjata kalian sebagai bukti bahwa
kalian sudah tidak akan bermain-main dengan senjata lagi, meskipun
seandainya tidak demikian kalian pasti akan dengan mudahnya mendapatkan
senjata yang lain.
“Silahkan Ki Buyut” jawab Panji Bawuk.
Ki Buyut berpaling kepada orang-orangnya yang berada di luar regol. Kemudian ia memanggil seseorang dari antara mereka
“Kemarilah kau.”
Orang yang dipanggil oleh Ki Buyut itu
menjadi ragu-ragu Tetapi kemudian ia didorong oleh kawannya sambil
berbisik, “Hati-hati, iblis itu terlampau licik. Agaknya Ki Buyut telah
terjebak dalam akal iblis itu. Aku tidak sependapat. Mereka harus
ditangkap dan mendapat hukuman selayaknya.”
“Bagus” sahut yang lain, “adalah terlalu
menyenangkan buat mereka. Mereka memang terlampau licik. Ketika mereka
melihat kita datang bersama Ki Buyut, mereka berpura-pura menyerah.
Tetapi nanti mereka akan membantai kita seperti membantai ayam.”
“Mereka memang harus ditangkap dan dikerangkeng seperti seekor serigala yeng paling liar.”
“Ya, tangkap saja.”
“Tangkap.”
Ternyata suara itu sampai ketelinga Ki
Buyut dan orang-orang yang berdiri di depan rumah Bango Samparan.
KiBuyut tiba-tiba menjadi tegang dan sekali lagi memanggil orangnya,
“Kemarilah. Bawalah senjata-senjata ini.”
Orang yang dipanggilnya melangkah maju
dengan kebimbangan yang membayang di langkahnya. Namun kawan-kawannya
berkata di belakangnya, “Tangkap saja mereka.”
Bahkan tiba” s,lab seorang dari orang1
Karuman yang marah itu berteriak, “Tangkap saja mereka.” Dan di sambut
oleh yang lain, “Tangkap saja. Tangkap saja.
Bango Sambaran mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi ketiga anak-anaknya yang muda, tampaklah mereka menjadi gelisah. Tetapi agaknya Panji Bawuk sendiri telah benar-benar menemukan ketenangan di dalam dirinya, sehingga suara itu seolah-olah tidak didengarnya.
Bango Sambaran mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi ketiga anak-anaknya yang muda, tampaklah mereka menjadi gelisah. Tetapi agaknya Panji Bawuk sendiri telah benar-benar menemukan ketenangan di dalam dirinya, sehingga suara itu seolah-olah tidak didengarnya.
Wajah Ki Buyut Karuman yang mendengar
teriakan-teriakan itu pun menjadi tegang. Sejenak ia terdiam sambil
memandangi orang-orangnya yang masih berada di luar regol. Satu dua
diantara mereka masih juga memegangi obor meikipun pagi telah meajadi
semakin terang.
Sementara itu suara teriakan di luar regol masih saja terdengar, “Tangkap saja, tangkap saja.”
Dan tiba-tiba saja Ki Buyut yang tua itu berteriak, “Diam, diam.”
Suara Ki Buyut ternyata asih cukup
berpengaruh, meng atasi kegaduhan di luar regol halaman. Ternyata
suara-suara itu pun menjadi terdiam karenanya.
“Akulah yang mengambil keputusan di sini” berkata Ki Buyut.
Orang diluar regol itu masih diam.
“Aku sudah memutuskan, bahwa aku ingin
memberi kesempatan sekali iagi kepada Bango Samparan dan anak-anaknya.”
Ki Buyut itu terdiam sejenak sambil berpaling memandangi Ken Arok.
Kemudian katanya, “Apalagi kedatangan anak angkat Bango Samparan agaknya
benar-benar membawa udara baru. Ia adalah seorang hamba istana. Ia
pasti dapat memberi petunjuk-petunuuk apakah yang sebaiknya dilakukan
oleh bapak angkatnya dan saudara-saudaranya.”
Sejenak, orang-orang di luar regol itu
masih berdiam diri. Namun tiba-tiba salah seorang berbisik, “Anak
angkatnya itu pun dahulu seperti setan juga.”
“Ya” sahut lain, “justru anak angkatnya itu seorang yang paling jahat di antara mereka.”
“Ya, ya anak angkatnya itulah yang terlebih buas lagi.”
Suara itu semakin lama menjadi semakin
keras, sehingga Ki Buyut dan orang-orang yang berdiri di sekitar Bango
Samparan mendengarnya, Ken Arok pun mendengarnya pula.
“Bodoh, bodoh sekali” teriak Ki Buyat,
“apakah kalian tidak pernah mendengar berita tentang Ken Arok ini? Semua
yang telah lalu sama sekali bukan ukuran buat hari ini. Justru hari ini
ia mendapat kepercayaan yang besar dari Akuwu Tunggul Ametung.”
Tanpa disangka-sangka seseorang telah
berani membantah kata-kata Ki Buyut itu, “Tetapi Akuwu Tunggul Ametung
tidaktahu, apakah yang pernah dilakukannya semasa kecilnya.”
“Apakah kesalahan seseorang akan selalu
dibawanya sampai mati?” bertanya Ki Buyut, “itu adalah pikiran yang
paling sesat. Pendapat itu sama kerdilnya dengan dendam yang tiada
putus-putusnya. Ayo, siapakah diantara kalian yang tidak bercacad? Kita
harus mengakui perkembangan pribadi dan watak. Seseorang dapat
bertaubat sampai ke dasar hatinya. Seseorang dapat merubah tingkah
lakunya yang mungkin selama itu tidak disadariuya. Seseorang akan
mungkin dengan tiba-tiba melihat kesalahan diri sendiri dan seterusnya
orang-orang yang demikian itu dapat saja merubah sifat-sifatnya.”
Orang-orang di luar regol itu sejenak
terdiam pula. Namun salah seorang yang lain berbisik, “Tetapi bagaimana
kita tahu perasaan dan pikiran orang lain? Bagaimana kita dapat
membedakan antara penyesalan dan akal yang licik sekedar untuk
menyelamatkan diri?”
“Ya, kita tidak tahu.” dan disahut oleh yang lain,, “ Kita memang tidak akan tahu.”
“Sekarang ternyata Ki Buyut pun telah terjebak dalam akal licik itu.” desis yang lein lagi.
“Tetapi kita tidak. Kita tidak akan terjebak” berkata yang lain pula.
Ki Buyut yang tua itu menjadi
berdebar-debar. Orang-orangnya memang sedang marah. Mereka telah dibakar
oleh kecemasan, dendam, kebencian dan bahkan ketakutan, bahwa suatu
ketika Banpo Samparan atau anak-anak mereka akan menciderainya apabila
mereka masih diberi kesempatan. Ketakutan yang demikian itulah yang
mendorong mereka untuk mengambil suatu sikap selagi mereka kini
bersama-sama menghadapi iblis yang mengerikan itu.
Suara yang semakin lama semakin ribut itu
terdiam sejenak, ketiaka terdengar suara Ki Buyut mengatasi suara
mereka, “Diam. Diam kalian. Serahkan semuanya kepadaku.”
Orang-orang diluar regol itu saling
berpandangan. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang sependapat
dengan kata-kata Ki Buyut itu.
Apalagi ketika kemudian dalam kebimbangan
Ki Buyut berkata, “Sebaiknya kalian tinggalkan rumah ini. Biarlah aku
yang menyelesaikannya.”
Perasaan orang-orang yang sedang marah
itu tiba-tiba justru melonjak. Setelah seorang dari mereka berteriak,
“Kita selesaikan persoalan ini di sini.”
“Ya, kita selesaikan sama sekali.
“Sampai tuntas.” teriak yang lain lagi.
Ken Arok yang berdiri tegak seperti
patung itu pun tergetar hatinya mendengar teriakan yang melonjak dan
seolah-olah menyengat telinganya. Setiap kali ia mendengar suara itu,
“Sampai tuntas.” Dan kali ini pun ia masih juga mendengar teriakan yang
demikian.
“Jangan meninggalkan sisa persoalan buat
hari esok. Kita rampungkan sama sekali pagi ini Ki Buyut. Dengan
demikian kita akan hidup tenteram untuk seterusrya. Iblis-iblis itu
tidak akan dipat mengganggu kita lagi. Mereka tidak akan mengotori nama
Karuman dan seluruh penduduknya.
“Bodoh sekali. Bodoh sekali” Ki Buyut
masih mencoba berteriak, tetapi suaranya kini sudah menjadi semakin
rendah. Suara hiruk pikuk di luar regol menjadi semakin sulit untuk
diatasinya.
Bango Samparan berdiri dengan dada
berdebar-debar. Ia melihat ketiga anak-anaknya yang muda menjadi semakin
gelisah. Sedang Puranti menjadi ketakutan. Gadis kecil itu menggigil di
dalam pelukan ibu tuanya. Yang masih tetap tenang adalah Panji Bawuk
dan Ken Arok. Namun sebenarnya, di dalam dada Ken Arok itu pun telah
tumbuh berbagai macam persoalan, bahkan juga yang hampir tidak ada
hubungannya dengan kehadiran orang-orang itu. Sikap orang-orang Karuman
itulah yang telah tergores di dinding jantungnya. Sikap mereka untuk
menyelesaikan setiap masalah sampai rampung, seperti Bango Samparan,
seperti Panji Bawuk sebelum menemukan kesadaran diri.
Suasana semakin lama menjadi semakin
tegang karena orang-orang di luar regol halaman rumah Bango Samparan itu
semakin lama semakin keras berteriak-teriak. Semakin lama mereka
menjadi semakin kehilangan pengamatan diri, sehingga mereka tidak lagi
mau mendengar suara pemimpin mereka sendiri.
Ki Buyut pun menjadi semakin bingung
pula. Kini satu dua orang telah berdiri di regol sambil
mengacung-acungkan tinju dan senjata-senjata mereka.
“Tangkap saja, tangkap saja dan kita
bantai beramai-ramai. Semuanya, jangan ada yang lolos., “teriak salah
seorang dari mereka yang kemudian disahut oleh yang lain, “Kalau tidak,
maki kitalah yang besok akan dibantai.”
“Bagus, bagus” teriak yang lain sahut-menyahut.
Suasana di halaman itu benar-benar
menjadi tegang. Panji Bawuk yang selama itu masih tenang-tenang saja,
tampak mengerutkan keningnya ketika ia melihat orang-orang yang berdiri
di luar regol itu kini berdesak-desakan mulai masuk. Tetapi mereka tidak
segera maju. Mereka masih berdiri di dekat regol sambil
berteriak-teriak.
Ki Buyut yang tua itu pun menjadi semakin
tegang kemudian menjadi pucat. Ia merasa bahwa kewibawaannya tidak lagi
dapat menguasai orang-orangnya yang sedang marah tidak terkendali.
Ken Arok masih berdiri tegak seperti
patung. Tetapi angan-angannya kini sudah tidak lagi terapung-apung di
alam yang asing. Kini ia melihat orang-orang yang berteriak-teriak
dengan marahnya menuding-nuding dengan berbagai macam senjata ke arah
mereka yang berdiri di muka rumah itu.
Panji Kuncang dan kedua adik-adiknyapun
menjadi semakin gelisah. Ketika orang-orang yang berdiri di muka regol
itu bergerak beberapa langkah maju, maka tanpa mereka sadari, ketiga
anak-anak muda itu meloncat mendekati senjata-senjata mereka yang
tergolek di tanah.
“Jangan” desis Panji Bawuk, “kita sudah bertekad untuk tidak mempergunakan senjata lagi.”
“Tetapi mereka menjadi gila dan akan membunuh kita.”
“Kalau kau sentuh senjata itu, mereka akan menjadi semakin buas. Karena itu, mundurlah.”
Ketiga anak laki-laki Bango Samparan yang
muda-muda itu berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun
melangkah mundur.
Ki Buyut menjadi semakin bingung. Justru
ia semakin yakin bahwa Panji Bawuk benar-benar telah menyesali semua
kesalahan yang telah mereka lakukan bersama keluarga mereka. Tetapi pada
saat yang demikian kemarahan orang-orang Karuman benar-benar telah
memuncak.
“Apakah kita akan membiarkan diri kita benar-benar menjadi lembu bantaian kakang?” bertanya Panji Kenengkung.
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia menjawab, “Kita serahkan nasib kita kepada Ki Buyut. Kita
mempercayainya, dan kita menganggapnya sebagai, tetua pedukuhan ini.”
Namun tanpa disangka-sangka Ki Buyut yang kebingungan menyahut. “Ternyata aku tidak dapat menguaainya lagi.”
“Jadi apakah itu berarti kita harus menjaga keselamatan kita masing-masing” bertanya Kunal.
Ki Buyut menyadi semakin bingung. Tetapi,
ia tidak dapat tinggal diam. Kalau anak-anak Bango Samparan itu
kemudian kehilangan kesabaran dan melakukan perlawanan, maka ia harus
berbuat sesuatu. Tetapi apakah yang sebaiknya? Apakah ia akan berpihak
kepada keluarga Bango Samparan atau kepada orang-orang yang sedang marah
itu.? Atau apakah ia akan lari saja supaya tidak melihat apa yang
tcrjadi.
“Orang-orang itu sudah menjadi gila”
katanya di dalam hati, “seandainya Bango Samparan dan keluarganya
memegang senjata-senjata mereka kembali, maka orang-orang yang
kehilangan akal itu tidak akan lebih baik nasibnya dari padang ilalang.
Bango Samparan akan dapat membabatnya tanpa kesulitan.”
Dalam kebingungan itu sekali lagi Ki Buyut mendengar suara Panji Bawuk, “Jangan kau sentuh lagi senyata-senjata itu.”
Tanpa disengaja Ki Buyut berpaling.
Dilihatnya Panji Kenengkung dan Panji Kunal telah berjongkok untuk
memungut senjata-senjata mereka.
“Lalu apakah yang harus kita kerjakan? Ki
Buyut sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menghadapi orang-orang
yang menjadi buas itu.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Ia
tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Dipandanginya wajah Ki Buyut
yang tegang. Tetapi di dalam wajah itu pun tidak ditemuinya jawaban.
Sejenak kemudian orang-orang yang
seolah-olah telah lupa diri itu mendesak beberapa lagi maju sambil
berteriak-teriak. Meskipun matahari telah hampir melonjak keatas
punggung pegunungan, namun di tangan beberapa orang itu masih tergenggam
obor yang menyala.
Karena orang-orang itu semakin mendesak
maju maka akhirnya Panji Bawuk pun menyadi cemas menghadapi keadaan. Ia
sudah benar-benar tidaik ingin mempergunakan senjatanya lagi. Tetapi
nalurinya pun tidak membenarkannya untuk menyerahkan diri untuk dibantai
beramai-ramai. Karena itu, maka seolah-olah tanpa sesadarnya ia
bertanya, “Apakah yang sebaiknya kami lakukan Ki Buyut?”
Ki Buyut masih saja kebingungan, ia
terharu melihat kesungguhan hati keluarga Bango Samparan itu untuk tidak
mempergunakan senjatanya lagi. Karena itu, maka sudah seharusnya ia
melindungi mereka dan menghindarkan mereka dari bencana, justru pada
saat mereka ingin mulai dengan kehidupan yang baru.
Karena agaknya orang-orang Karuman itu
sudah tidak dapat dikuasainya lagi. maka tiba-tiba Ki Buyut itu
berdesis, “Menyingkirlah. Menyingkirlah. Aku akan berusaha menahan
mereka, supaya mereka tidak mengeyar kalian. Bersembunyilah sampai aku
berhasil menenangkan mereka. Apabila mereka sudah menjadi tenang, maka
aku akan dapat berbicara dengan mereka. Aku sangat berterima kasih
kepada kalian, karena kalian benar-benar sudah berhasrat untuk
meletakkan senjata-senjata kalian. Mudah-mudahan kalian terhindar dari
bencana.”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Sesaat
harga dirinya tergores oleh petunjuk Ki Buyut itu. Kenapa mesti
melarikan diri? Tetapi Panji Bawuk itu segera menyadari keadaannya dan
tekadnya untuk tidak mempergunakan senjata lagi. Karena itu, maka tidak
ada jalan yang lebih baik dari pada untuk sementara menghindar, apabila
masih mung kin.
Orang-orang Karuman yang berdesakan
semakin dekat itu seolah-olah telah kehilangan nalar mereka. Yang tampak
di mata mereka adalah iblis dan hantu yang paling menakutkan, yang
harus segera dibinasakan. Mereka merasakan kecemasan dan ketakutan
mencengkam dada mereka, apabila mereka tidak segera membuat penyelesaian
yang sempurna. Terbayang di dalam angan-angan mereka, bahwa iblis-iblis
itu justru akan menjadi semakin mengganas. Mereka tidak akan dapat
berbuat apa-apa apabila mereka bertemu satu demi satu dengan iblis-iblis
itu. Tetapi kini mereka datang bersama-sama, dan mereka akan menghadapi
bersama-sama pula.
Ketika Panji Biwuk melihat adik-adiknya
menjadi gemetar, bukan oleh ketakutan, tetapi oleh kemarahan yang mulai
monjalar di dada, maka segera ia berkata, “Jangan kau biarkan di damu di
ledakan oleh kebodohanmu itu. Kita memang harus segera menyingkir.
Kalau kita akan melawan mereka, maka kita akan membuat diri kita sendiri
terkutuk sepanjang umur kita. Bahkan kita akan menjadi semakin jauh
dari ketenteraman abadi, yang baru saja dapat kita bayangkan di dalam
hati kita. Sebab, apabila kita sudah terlanjur mengangkat senjata, maka
puluhan orang akan menjadi mayat dihalaman ini. Kita tidak akan
terlampau sulit untuk membunuh sebagian besar dari mereka, seperti kita
merambaas alang-alang. Tetapi kita tidak akan melakukannya. Kita akan
menyingkir.”
“Kakang” potong Panji Kenengkung, tetapi
suara itu terputus, “Bersiaplah. Ccpat. Bawalah ibu masuk ke dalam rumah
dan kemudian kalian harus lari lewat pintu belakang, menembus pintu
butulan di halaman belakang. Aku dan kakang Ken Arok akan segera
menyusul., “berkata Panji Bawuk perlahan-lahan.”
Kenengkung menjadi ragu-ragu sejenak.
Demikian juga kakak-kakaknya. Bahkan Bango Samparan pun menjadi
termangu-mangu, seolah-olah ia kehilangan seluruh kesempatan untuk
mempergunakan akalnya.
“Cepat” bisik Panji Bawuk, “pergilah seperti apa yang dikatakan oleh Ki Buyut.”
Karena adik-adiknya masih berdiri
mematung, Maka Panji Bawuk pun mendesak ayahnya, “Pergilah ayah.
Bawalah, ibu keduanya bersama Puranti dan anak-anak bengal ini.”
Hati Bango Samparan seolah-olah telah
benar-benar kosong. Karena itulah, maka ketika tangan isteri mudanya
menariknya ia sama sekali tidak bersikap apapun. Dengan tergesa-gesa
maka Bango Samparan membawa kedua isterinya dan gadis kecilnya menyusup
masuk ke dalam rumah untuk mencoba melarikan diri mereka dari tangan
orang-orang yang telah kehilangan pengamatan diri itu.
“Kalian juga” desik Panji Bawuk kepada
ketiga adiknya laki-laki, “Pergilah, jangan keras kepala. Tinggalkan
senjata kalian disitu.”
Betapapun beratnya, namun ketiga adik
laki-laki Panji Bawuk itupun, kemudian melangkah pula meninggalkan
halaman masuk ke dalam rumahnya. Betapa terasa dadanya serasa akan
pecah. Namun mereka sama sekali tidak berani membantah perintah
kakaknya. Justru karena mereka mengenal betul sifat kakaknya itu. Tetapi
bahwa mereka harus melarikan diri dan tidak melawan, adalah perintah
yang sama sekali kurang dapat mereka mengerti. Meskipun mereka tahu
pula, bahwa keluarganya kini sedang berusaha untuk mencegah segala
kesalahan bahkan yang mereka lakukan, namun betapa kini mereka harus
mengorbankan harga diri mereka, itulah yang kurang mereka mengerti.
Belum lagi orang yang terakhir hilang
dibalik pintu, terdengar suara orang-orang yang berdesakan maju, “Jangan
biarken mereka lari.” Lalu yang lain berteriak, “Ki Buyut kenapa mereka
diberi kesempatan untuk lari?”
“Aku akan berbicara dengan kalian, Ki
Buyut pun mencoba berteriak. Tetapi suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk
yeng kisruh. Orang-orang itu masih berteriak keras-keras, “Tangkap
mereka semua. Semua.”
Ken Arok berdiri tegak seperti patung. Ia tidak beranjak dari tempatnya ketika orang-orang itu mendesak semakin maju.
Ki Buyut yang kini berdiri semakin dekat
dengan Ken Arok dan Panji Bawuk itu berdesis pula, “Kalian berdua se
baiknya juga menyingkir untuk sementara.”
Ken Arok menarik nafas. Perlahan-lahan ia
menjawab, “Ya, tetapi biarlah kami berdua memperlambat persoalan,
sehingga mereka yang telah lari lebih dahulu, mendapat waktu.”
Ki Buyut tidak mcnjawab. Tetapi
kegelisahan telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Ia merasa bahwa tidak
mungkin lagi mengendalikan orang-orang gila yang sudah tidak dapat
mempergunakan nalar lagi.
“Kenapa Ki Buyut diam saja? Kenapa? Mereka akan segera lari. Mereka akan hilang dan lepas dari tangan kita.”
Ki Buyut tidak menjawab. Kini tugasnya
adalah memperpanjang persoalan seperti yang dikatakan oleh Ken Arok
untuk memberi waktu kepada mereka yang melarikan dirinya. Tetapi
betapapun juga tubuhnya telah basah kuyup oleh keringat dingin yang
seakan-akan terperas dari tubuhnya.
Ken Arok dan Panji Bawuk berdiri tegak
dengan tegangnya. Tetapi mereka masih juga mendengar suara ribut di
dalam rumah. Agaknya ayah-ibunya masih mencoba mengemasi barang-barang
yang dapat mereka kumpulkan untuk bekal mereka memerlukan waktu yang
lama untuk dapat kembali ke rumah ini.
Namun akibat dari kelambatan itu sama
sekali tidak terduga-duga. Orang-orang yang marah itu mendesak semakin
dekat dan berteriak-teriak terus. Sikap Panji Bawuk itu mereka tanggapi
dengan sudut pandangan mereka yang telah mempengaruhi mereka sebelumnya,
seolah-olah Panji Bawuk itu telah siap untuk melawan mereka
bersama-sama dengan Ken Arok.
Mereka tertegun sejenak ketika mereka
melihat Panji Bawuk itu maju selangkah sambil berteriak, “Dengarlah.
Dengarlah saudara-saudaraku Aku telah menyatakan diri untuk tunduk
kepada semua keputusan Ki Buyut Karuman. Aku tidak akan melawan dan aku
tidak akan melanggar janjiku kali ini.”
Sejenak orang-orang Karuman itu terdiam.
Mereka saling berpandangan sesaat. Namun tib-tiba salah seorang dari
mereka berteriak, “Kalau begitu menyerahlah.”
Ternyata teriakan itu seolah-olah
menjalar dari mulut ke mulut, sehingga kemudian setiap mulut telah
meneriakkannya. Sambil mengacu-acukan senjata-senjata mereka, dengan
penuh kebencian orang-orang Karuman itu seperti orang-orang yang
kesurupan mendesak semakin maju.
“Menyerahlah, menyerahlah” teriak
mereka, “kami akan menghukummu sesuai dengan kesalahanmu.” Disahut oleh
yang lain, “Kau harus mendapat hukum picis atau hukum gantung.”
Setitik keringat mengembun di kening Ken
Arok. Ketika dipandanginya wajah Panji Bawuk dan Ki Buyut, maka
wajah-wajah itu menjadi semakin tegang.
“Kami memang akan menyerah” terdengar
jawaban Panji Bawuk, “bukankah hal itu sudah aku katakan? Aku akan
tunduk kepada semua keputusan Ki Buyut.”
“Serahkan kepada kami” teriak orang-orang Karuman itu, “serahkan kepada kami.”
Ki Buyut hampir menjadi putus asa. Namun
ia masih mencoba berteriak, “Jangan menjadi liar. Bukankah kalian masih
mempunyai harga diri dan sedikit kebijaksanaan.”
Tetapi suara yang menyahut adalah, “Ya, serahkan kepada kami. Serahkan kepada kami.”
Ki Buyut yang tua itu menggeram. Tidak
ada harapan lagi untuk mencegah mereka itu. Sehingga sekali lagi ia
berdesis kepada Panji Bawuk dan Ken Arok, “Cepat menyingkirlah.”
Panji Bawuk pun tidak melihat lagi
manfaat dari pembicaraan selanjutnya. Karena itu, maka ia berpaling
kepada Ken Arok sambil mengangguk kecil.
Agaknya orang-orang Karuman dapat menangkap isyarat itu. Dengan penuh kemarahan mereka berteriak, “Jangan lari. Jaugan lari.”
Panji Bawuk melangkah surut untuk
mendekati lubang pintu. Ken Arok pun telah beringsut pula. Mereka harus
cepat-cepat menyusup di bawah pintu dan meninggalkan halaman itu dari
pintu rumah dan regol butulan dihalaman belakang.
Tetapi tanpa disangka-sangka, orang-orang
Karuman segera mendesak maju sambil berteriak penuh kemarahan, “Jangan
lepaskan, jangan lepaskan.”
Tiba-tiba salah seorang dari mereka
melemparkan obor yang masih berada di tangannya. Didorong oleh
kemarahan yang memuncak maka obor itu telah melontar sampai ke atas atap
rumah Bango Samparan.
“He, kalian telah benar-benar menjadi
gila, kalian telah menjadi gila” Ki Buyut berteriak-teriak tidak
terkendali. Sambil mengacu-acukan tangannya ia melangkah maju mendekati
orang-orang yang menjadi kalap. Tetapi tanpa diduga-duga, setiap orang
yang memegang obor ditangannya kemudian melemparkannya pula ke atas atap
rumah Bango Samparan.
Api obor itu pun segera menjilat atap
rumah yang kering itu. Dengan cepatnya api pun berkobar melonjak-lonjak
di atas atap. Cahayanya segera memerah, mewarnai langit yang menjadi
semakin cerah karena matahari telah mulai melonjak ke atas punggung
bukit.
Panji Bawuk dan Ken Arok sama sekali
tidak mendapat kesempatan untuk menahan kegilaan itu. Yang dapat mereka
lakukan kemudian adalah dengan tergesa-gesa menyusup pintu rumahnya dan
berlari ke belakang.
Tetapi betapa mereka menyadi terperanjat
ketika mereka masih melihat Bango Samparan dan istiri mudanya sibuk
membungkus barang-barang mereka. Agaknya mereka telah menyimpan beberapa
macam barang di bawah pembaringan.
“Cepat” teriak Panji Bawuk, “tinggalkan semua itu”
Bango Samparan yang gelisah menyadi semakin gelisah.
“Tinggalkan itu semua, tinggalkan. Kalian
masih belum ikhlas dengan semua barang-barang yang berlumuran dengan
nodaku. Tinggalkan dan cepat pergi.”
Sementara itu api telah semakin berkobar.
Isteri tua Bango Samparan yang tidak tahu menahu tentang barang-barang
itu pun masih berdiri termangu-mangu menunggu suami dan adik-adiknya
selesai. Puranti yang kecil memeluknya dengan tubuh gemetar.
“Marilah bu” tangis gadis kecil itu, “aku takut.”
“Sebentar ngger, tunggu ayah dan ibumu.
“Marilah ayah, marilah ibu” tangis Puranti.
Sementara itu Panji Bawuk dan Ken Arok hampir bersama-sama berteriak, “Cepat, tinggalkan semua itu.”
Panji Bawuk sudah tidak sabar lagi menungguinya. Tangan ibunya segera diraihnya dan ditariknya cepat-cepat keluar
“Tunggu” teriaknya. Meskipun Panji Bawuk
tidak menghiraukannya lagi, namun tangan ibunya masih juga sempat
menjinjing sebungkus barang-barang yang disembunyikannya di bawah
pembaringan. Sementara itu Bango Samparan dengan eratnya menggenggam
perhiasan dan permatanya yang baru saja didapatkannya kemarin.
“Marilah, cepatlah sedikit ibu” desis Ken Arok yang dengan cekatan mendukung Puranti dan membimbing isteri tua Bango Samparan.
Tetapi nasib yang malang agaknya telah
menimpa mereka. Tiba-tiba atap rumah yang terbakar itu pun runtuhlah.
Ken Arok dengan tangkasnya meloncat sambil berusaha menarik ibu
angkatnya. Tetapi api telah menyentuh pakaian perempuan itu, sehingga
tiba-tiba pakaian itu pun terbakar pula.
“Kuncang, Kuncang” teriak Ken Arok memanggil anak muda yang sudah berada di luar.
Kuncang terkejut mendengar panggilan itu. Cepat ia meloncat masuk kembali meskipun api telah semakin menyala
“Dukung adikmu, cepat, tinggalkan rumah
ini. Panji Kuncang segera menerima adiknya dan dengan tidak
menghiraukan apapun lagi, segera ia meloncat berlarian menggalkan rumah
yang kini menjadi seonggok api yang borkobar-kobar dengan buasnya,
sementara Panji Bawuk berusahan menarik ibunya yang masih saja
mengenangkan semua barang-barangnya yang disembunyikannya di dalam rumah
yang terbakar itu.
“Ikhlaskanlah semua itu, seperti aku mengikhlaskannya senjataku.” desis Panji Buwuk.
Di dalam hiruk plkuk itu, isteri tua
Bango Samparan menggeliat di tangan Ken Arok. Terasa tubuhnya menjadi
terlampau panas. Dengan susah payah Ken Arok berusaha memadamkan api
yang menjilat pakaian ibu angkatnya, kemudian mendukungnya seperti
mendukung anak-anak.
Tetapi api sudah menjadi semakin besar. Hampir tidak ada jalan yang dapat dilalui Ken Arok bersama ibu angkatnya itu.
Ken Arok menggeram. Tubuhnya sendiri
merasa betapa panasnya api yang berkobar-kobar di sekitarnya. Sementara
itu, ia masih mendengar suara hiruk pikuk diluar.
Bahkan di luar dugaannya, orang-orang
yang kesurupan di luar itu masih juga belum puas melihat api yang telah
menelan rumah Bango Samparan. Kebencian mereka dibumbui oleh ketakutan
dan kecemasaa akan dendam keluarga itu, telah mendorong mereka untuk
kian bernafsu menghancurkan semuanya. Membinasakan seluruh isi rumah itu
dengan sempurna.
Dalam kebingungan itu, Ken Arok telah
dikejutkan oleh beberapa pucuk senjata yang meluncur di sekitarnya,
Ternyata orang-orang Karuman itu telah melontarkan berbagai macam jenis
senjata ke arah rumah Bango Samparan yang lelah terbakar itu.
“Binasakan saja semuanya,” terdengar mereka berteriak.
Sekali lagi Ken Arok menggeram. Dengan
nanar ia mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri dari dalam
api. Namun agaknya ia benar-benar telah terkepung. Rumah itu telah
menjadi perapian raksasa. Sisa-sia atappun telah mulai berjatuhan di
sekitarnya. Sedang perempuan tua ditangannya itu pun menjadi semakin
payah, karena tubuhnya telah ikut menjadi hangus pula.
Namun ternyata Ken Arok telah membuat
suatu kesalahan. Ia agak terlambat. Ia tidak mengingat perbedaan daya
tahan antara dirinya sendiri dengan perempuan tua di tangannya. Ternyata
tubuh Ken Arok benar-benar tubuh yang luar biasa, Bahkan api pun
seolah-olah tidak dapat melukainya.
Dalam keadaan yang demikian itu, Ken Arok
telah memusatkan segala kemampuan yang ada padanya. Ia ingin menembus
dinding api yang berkobar di sekitarnya. Karena itulah, maka Ken Arok
itu tanpa sesadarnya telah menyalurkan kekuatannya pada anggauta
badannya.
Sama sekali tidak dapat dimengerti, bahwa
seseorang dapat melakukannya. Sama sekali tidak masuk akal bahwa
seseorang masih mampu keluar dari onggokan api yang menjilat-jilat ke
langit.
Bango Samparan dan keluarganya pun
menyangka demikian juga. Panji Bawuk berteriak-teriak seperti orang gila
memanggil nama Ken Arok. Kemudian Bango Samparan dan Puranti yang
kecil. Tetapi yang mereka lihat hanyalah api dan api. Sementara
orang-orang Karuman menjadi semakin buas.
Panji Bawuk dan Bango Samparan menjadi
putus asa. Karena itu, maka segera mereka beerkata hampir bersamaan,
“Marilah kita tinggalkan tempat ini. Sayang, kakang Ken Arok
menjadi korban. Kalau kalian sudah aman, aku akan kembali lagi
Mungkin aku akan berbuat sesuatu, setidak-tidaknya mengambil sisa-sisa
tubuhnya dan ibu tua.”
Bango Samparan masih melihat sisa atap
yang terakhir runtuh sama sekali. Benar-benar tidak ada harapan lagi
baginya untuk menunggu Ken Arok dan istri tusnya. Karena itu, maka
sambil menggenggam barang-barang berharga yang dapat dibawanya, terutama
perhiasan-perhiasan yang diperolehnya setelah ia membunuh bekas
prajurit Kediri, ia pun berlari bersama keluarganya menyingkir lewat
butulan halaman belakang.
Namun sementara itu, orang-orang Karuman
dikejutkan oleh seleret sinar yang melampui cerahnya api, meluncur dari
dalam rumah Bango Samparan yang terbakar itu. Kemudian berloncatan dan
seolah-olah hinggap di atas pagar batu yang memutari halaman Bango
Samparan di bagian belakang. Tetapi yang mereka lihat kemudian adalah
sesosok tubuh yang mendukung seorang perempuan tua yang sebagian
pakaiannya masih menyala, Ken Arok dengan istri tua Bango Samparan di
tangannya.
“Itulah mereka” teriak orang-orang karuman itu, “itulah mereka.”
“Tangkap” teriak yang lain, “tangkap, jangan biarkan mereka lolos.”
Ken Arok menggenggam sambil
menggeretakkan giginya. Namun ia tidak ingin melayani orang-orang
Karuman itu. Ia harus segera mendapatkan Bango Samparan dan keluarganya.
“Mereka telah pergi lebih dahulu – desisnya.
Ken Arok pun kemudian meloncat keluar halaman dan berlari menyusul orang-orang lain yang telah mendahuluinya.
Ternyata ia tidak memerlukan waktu yang
lama. Segera ia melihat Bango Samparan dan keluarganya berlari-lari
menjauhi rumahnya yang telah menjadi bara. Satu-satu asap yang hitam
melonjak di antara warna api, melontarkan abu yg hitam.
Langkah-langkah Ken Arok ternyata telah
mengejutkan Bango Samparan dan keluarganya Ketika mereka berpaling, Ken
Arok telah ada di belakang mereka. Tubuhnya kehitam-hitaman oleh abu dan
arang, sedang tubuh isteri tua Bango Samparan menjadi seakan-akan
hangus disentuh api.
“Ibu” teriak Puranti yang kecil yang meronta-ronta di tangan Kuncang.
“Jangan menggeliat” minta kakaknya, “kau pun terluka.”
“He” Ken Arok membelalakkan matanya, “apakah Puranti juga terluka?”
“Ya, api telah menjilatnya pula.” jawab
Kuncarg. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak boleh
tenggelam dalam kebingungan. Perempuan tua itu harus segera mendapat
obatnya.
“Apakah ada sesuatu pada kalian untuk
mengurangi derita ibu?” bertanya Ken Arok, “tubuhnya hampir terbakar
seluruhnya. Aku terlambat meloncat keluar dari dalam api.”
Bango Samparan menjadi bingung. Sebelum
ia berbuat sesuatu, Panji Bawuk tiba-tiba meloncat memanjat sebatang
pohon kelapa di halaman rumah sebelah, “Aku terpaksa mencuri sekali
lagi” gumamnya, “legen kelapa akan mengurangi rasa sakit itu.”
Dengan tangkasnya Panji Bawuk mengambil
sebumbung legen yang memang belum diturunkan karena hari masih terlampau
pagi, ketika setiap laki-laki meninggalkan rumahnya.
Laki-laki yang memiliki halaman yang
ditumbuhi pohon kelapa itu pun meninggalkan rumahnya terlampau pagi. Ber
sama-sama dengan hampir setiap laki-laki di Karuman, pergi ke rumah
Bango Samparan dengan marahnya.
Dengan legen itulah kemudian tubuh isteri
tua Bango Samparan yang hangus itu dibasahi. Dengan demikian perasaan
nyerinya menjadi agak berkurang.
Tetapi agaknya luka perempuan tua itu
terlampau parah sehingga keadaannya menjadi terlampau berbahaya.
Nafasnya menjadi semakin lemah, dan tenaganya seolah-olah telah menjadi
lenyap.
“Ibu” desis Ken Arok yang menjadi semakin
cemas. Perempuan itu membuka matanya yang sayu. Suaranya seakan-akan
sudah tidak lagi dapat menembus kerongkongannya. Terlampau lambat, “Aku
terlampau parah Ken Arok. Pergilah kalian menyingkir. Tinggalkan saja
aku disini, supaya aku tidak menjadi beban kalian.”
“Tidak” jawab Ken Arok , “ibu akan sembuh.” Perempuan tua itu menggeleng. Suaranya menjadi semakin serak, “Dimana Puranti?”
“Kuncang” panggil Ken Arok, “ibu
menanyakan Puranti. Kuncang segera mendekat sambil mendukung adiknya,
“Inilah Puranti ibu,” desis Kuncang.
Ketika melihat keadaan perempuan tua itu tiba-tiba Puranti meronta-ronta sambil berteriak, “ibu, ibu.”
Jangan meronta-ronta Puranti. Kau sendiri terluka” cegah kakaknya.
Perempuan tua yang terluka itu berdesah menahan sakit Namun terdengar ia bertanya, “Apakah Puranti juga terluka.”
“Tidak ibu” cepat-cepat Ken Arok menyahut, “luka sedikit pada ujung jarinya.”
Kuncang memandangi wajah Ken Arok
sejenak. Tetapi ia tahu benar maksudnya, supaya perempuan tua itu tidak
menyadi semakin gelisah.
“Syukurlah” suara semakin lambat, “kemarilah Puranti.
Puranti yang berada di dalam dukungan
Kuncang telah menjadi semakin dekat. Anak itu menangis sambil
memanggil-manggil, “ibu, ibu.”
“Jangan menangis ngger” bisik isteri tua
Bungo Samparan yang terluka, “baik-baiklah menjaga dirimu. Jangan nakal
anak manis. Kau adalah lembaran yang masih bersih meskipun kau berada di
dalam setumpuk sampah yang kotor. Kau tahu maksudku? Kelak kau akan
mengerti” perempuan itu berhenti sebentar, lalu, “kemarilah anak-anak
dan kau Tirtaja.”
Adik perempuan tua itu, isteri muda Bango
Samparan yang bernama Tirtaja itu pun mendekat bersama anak-anaknya
Bango Samparan dan Panji Bawuk.
“Aku gembira melihat keadaan kalian pada
saat terakhir. Aku melihat perubahan telah terjadi di dalam diri kalian
masing-masing. Selama ini aku hanya dapat berdoa, namun, kehadiran Ken
Arok telah benar-benar menjadi lantaran, terkabulnya doaku itu.
Baik-baiklah kalian bersama anak-anak kalian. Mumpung kalian kini
menyadari keadaan dan diri kalian masing-masing Berbuatlah baik untuk
seterusnya.”
Nafas perempuan itu semakin lama menjadi lambat.
“Ibu” panggil Ken Arok.
Perempuan tua itu tersenyum. Senyumnya
begitu jernih sehingga sama sekali tidak membayangkan derita yang sedang
dialami. Pada wajah itu sama sekali tidak berkesan kepahitan hidupnya
lahir dan batin yang ditanggungkannya selama ini.
“Aku akan mendahului kalian” suaranya terputus-putus-putus
“Ibu, ibu” desis Ken Arok.
Perempuan itu mencoba menggerakkan
tangannya, tetapi kekuatannya sama sekali telah lenyap. Namun senyumnya
masih saja membayang dibibirnya.
“Maafkan aku kak” bisik isteri muda Bango Samparan.
Perempuan tua itu mengangguk lemah.
Senyumnya masih tampak sekilas. Namun kemudian nafasnya berangsur
sendat. Dan sesaat kemudian, maka perempuan tua itu menghembuskan
nafasnya yang penghabisan.
“Ibu, ibu” Ken Arok mencoba
mengguncang-guncang tubuh di dalam dukungannya itu. Tetapi tubuh itu
telah terdiam untuk selama-lamanya.
“Kenapa ibu tua itu?” bertanya Puranti
dengan cemasnya, “kenapa?” dan ketika dilihatnya ibunya sendiri
menangis, maka gadis kecil itu mendesak, “kenapa?
“Ibu telah meninggal” bisik Kuncang.
“O” tiba” gadis kecil itu meloncat dari
dukungan Kuncang dan berlari memeluk perempuan tua yang telah meninggal
di dalam dukungan anak angkatnya.
“Ibu?, ibu” Puranti menangis
melolong-lolong, “ibu, kenapa ibu meninggal? Kenapa?,” Lalu
digoncang-goncangnya tubuh Ken Arok sambil berteriak, “Kenapa kakang
membiarkan ibu meninggal? Kenapa kau diam saja seperti patung? Kakang,
berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun
tangis Puranti itu serasa telah menyobek dadanya. Kematian isteri tua
Bango Samparan itu telah mengguncangkan perasaannya. Ditambah dengan
derita yang dialami lahir dan batin oleh gadis kecil yang tidak tahu
kesalahan apakah yeng telah dilakukan oleh keluarganya.
Mereka yang mengurumuni Ken Arok yang
mendukung ibu angkatnya itu merundukkan kepala merela dalam-dalam. Yang
terdengar adalah isak tangis adik perempuan yang meninggal itu, madunya
sendiri, dan anaknya perempuan, Puranti.
“Kenapa ibu tua mati?” suara Puranti tiba-tiba menurun, namun dalam sekali, seolah-olah bergema di dalam relung hatinya.
“Kita telah berusaha Puranti” jawab Ken Arok berat? “tetapi demikianlah nasib yang harus kita tanggungkan.”
Puranti masih menangis. Luka ditubuhnya sama sekali tidak lagi terasa olehnya.
Namun, suasana itu tiba-tiba pecah,
ketika mereka mendengar suara ribut di kejauhan. Tetapi suara itu
semakin lama menjadi semakin dekat.
“Tangkap, tangkap.”
Bango Samparan dan anak-anaknya
mengangkat wajahnya. Selintas terbayang kebingungan di wajah mereka.
Namun sesaat kemudian terdengar suara Panji Bawuk, “Kita harus
menyingkir lebih jauh lagi sebelum mereka melihat.”
Dan Ken Arok pun menyahut, “Korban telah jatuh. Menyingkirlah.”
Bango Sambaran menjadi ragu-ragu
seyenak, namun Ken Arok mendesaknya, “Cepat, menyingkirlah.” Lalu
kepada Panji Biwuk ia berkata, “Bawalah semuanya menyingkir sampai
memungkinkan kalian kembali setelah Ki Buyut memberi kalian petunyuk.”
“Kau?”
Ken Arok tidak menjawab. Sekilas
dipandanginya tubuh yang masih berada di dalam dukungannya. Tubuh yang
telah tidak bernafas lagi. Justru orang tua yang baik itulah yang harus
menjadi korban.
Ken Arok merasa sesuatu bergolak di dalam
dadanya. Peristiwa itu ternyata telah menyentuh rasa keadilannya.
Hubungan batin antara Bango Samparan dan keluarganya dengan perempuan
tua itu memang tidak begitu erat sebelumnya, sehingga kematiannya tidak
terlampau dalam melukai hati mereka, meskipun disaat-saat terakhir
mereka merasa telah banyak membuat kesalahan terhadap perempuan tua itu.
Tetapi yang paling parah di antara mereka justru adalah Ken Arok
sendiri, dan gadis kecil yang bernama Puranti.
Sementara itu suara di kejauhan manjadi semakin da kat, “Jangan sampai lolos.”
“Cepat” desak Ken Arok, “cepat, bawa mereka pergi.”
Panji Bawuk tidak menjawab. Segera
digiringnya keluarganya untuk dengan cepat-cepat pergi meninggalkan
tempat itu. Tetapi ketika Panji Kuncang akan mendukung Puranti gadis itu
meronta sambil berkata, “Tidak. Aku disini. Aku bersama ibu tua.”
“Pergilah Puranti” berkata Ken Arok, “ibu tua telah meninggal. Aku pun akan segera menyusul.”
“Pergilah Puranti” berkata Ken Arok, “ibu tua telah meninggal. Aku pun akan segera menyusul.”
“Aku pergi bersama kakang dan ibu tua.”
“Aku akan menahan orang-orang gila itu Puranti. Pergilah bersama kakang Kuncang, ayah dan ibu.”
“Tidak, tidak.” Puranti justru memeluk kaki Ken Arok erat*.
Ken Arok menarik, nafas dalam-dalam.
Hatinya menjadi semakin pedih. Namun orang-orang Karuman itu menjadi
kian dekat. Sehingga karena itu maka ia berkata, “Tinggalkan Puranti
bersamaku Kuncang. Cepat menyingkirlah. Kalau orang-orang itu datang,
aku akan mencoba menahan mereka, sampai kalian mendapat kesempatan untuk
melepaskan diri.
Kuncang ragu-ragu sejenak Ia masih mencoba menarik Puranti. Tetapi Puranti berpegangan dengan eratnya.”
“Tinggalkan anak itu padaku” desis Ken
Arok. Dengan ragu-ragu Kuncang pun segera melepaskan Puranti dan
kemudian lari secepat-cepatnya menyusul keluarganya yang telah hilang
dibalik tikungan.
Kini Ken Arok berdiri tegak sambil
mendukung perempuan tua dikedua tangannya. Sedangkan Puranti masih
berpegangan erat-erat pada sebelah kakinya.
“Puranti” berkata Ken Arok, “jangan berpegangan kaki. Berpeganglah ikat pinggangku.”
Puranti segera melepaskan kaki Ken Arok dan menggenggam ikat pinggang yang sebagian telah terbakar.
Sejenak kemudian Ken Arok melihat
orang-orang Karuman muncul dari balik dedaunan. Berlari-lari sambil
mengacu-acukan senjata mereka. Masih terdengar pula mereka
berteriak-teriak dangan penuh kemarahan dan dendam, sehingga mereka
benar-benar telah menjadi kalap dan tidak dapat dikendalikan lagi.
“Itu, itu dia, anak angkat Bango Samparan” teriak beberapa orang yang telah melihat Ken Arok.
Tetapi Ken Arok masih berdiri tegak
seperti batu karang di atas kakinya yang renggang. Di tangannya terbujur
isteri tua Bango Samparan yang hangus, dan di belakangnya seorang gadis
kecil berpegangan ikat pinggangnya dengan eratnya, dan bahkan
ditarik-tariknya sambil merengek, “Mari kita pergi kakang. Aku takut.”
“Jangan takut Puranti” desis Ken Arok.
Tetapi dada Puranti bergetar terlampau keras. Apalagi setelah ia melihat ujung-ujung senjata yang teracu-acu kepada Ken Arok.
Namun ternyata beberapa langkah di
hadapan Ken Arok, orang yang berlari-lari di paling depan menghentikan
langkahnya, sehingga orang-orang yang di belakangnya pun berhenti pula.
Kini mereka berdiri berdesak-desakan sambil menggenggam senjata di
tangan masing-masing.
“Bunuh, bunuh” teriak beberapa di antara mereka, yang disahut oleh yang lain, “Ya, tangkap, jangan dilepaskan lagi.”
Tetapi orang yang berdiri di paling depan tidak juga melangkah maju.
Sorot mata Ken Arok yang tajam menyambar
mereka yang berdiri di bagian terdepan satu demi satu. Semakin banyak ia
menangkap wajah-wajah yang semakin buas itu, maka hatinya pun serasa
menjadi semakin panas. Ketika wajahnya tertunduk, maka pandangan matanya
jatuh pada perempuan tua di dalam dukungannya.
Dada Ken Arok bergolak dahsyat sekali.
Tiba-tiba maka kakinya seolah-olah tergerak tanpa disadarinya. Ken Arok
justru melangkah maju.
“Kakang, kakang” Puranti menarik-narik
dari belakang. Tetapi Ken Arok tidak menghiraukannya. Ia melanglah maju
pula mendekati orang-orang Karuman yang berhenti termangu-mangu.
“Lihat” suara Ken Arok menggelegar, “lihat, perempuan ini telah menjadi korban kebuasan kalian.”
Sejenak orang-orang Karuman terdiam.
Namun di bagian belakang dari kelompok orang-orang yang marah itu
terdengar jawaban., “Seharuinya kalian semua menjadi mayat.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Dicobanya
untuk mencari, siapakah yang telah berteriak itu. Tetapi ia tidak dapat
menemukannya. Karena itu, maka ia berkata dalam nada yang berat,
“Dimana Ki Buyut Karuman?”
Ken Arok tidak segera mendengar jawaban. Sehirgga diulanginya pertanyaannya, “Dimana Ki Buyut Karuman?”
Orang-orang Karunan itu kini berdiri
berdesak-desakan. Pertanyaan Ken Arok telah mencengkam dada mereka.
Tanpa sadar, mereka pun berpaling dan mencari-cari. Memang Ki Buyut
Karuman tidak ada di antara mereka.
Sejenak, hati mereka disentuh oleh
kecemasan. Namun karena mereka bersama-sama dalam jumlah yang besar,
maka segera mereka melupakan Ki Buyut. Tiba-tiba saja salah seorang dari
mereka berteriak, “Jangan mencari perlindungan kepadanya. Kau harus
jatuh ketangan kami.”
“Ya, kau dan seluruh keluarga Bango Samparan harus jatuh ke tangan kami” teriak yang lain.
Namun teriakan mereka itu berhenti ketika
mereka melihat Ken Arok justru melangkah semakin dekat. Matanya
seolah-olah memancarkan api yang menyala di dadanya.
“Apakah kalian masih belum puas?” berkata
Ken Arok dengan lantangnya, “Libat. Perempuan ini adalah justru
perempuan yang paling baik dari keluarga Bango Samparan. Gadis kecil ini
pun adalah gadis yang sangat baik. Tetapi kedua-duanya telah kalian
lukai, dan bahkan perempuan tua ini telah meninggal karena luka-luka
bakarnya. Apakah kalian masih belum puas?”
Sejenak orang-orang Karuman itu terdiam.
Mata-mata mereka dengan nanar memandang tubuh yang hangus di tangan Ken
Arok itu. Namun diantara mereka terdengar, “Kesalahan kalian masih belum
lunas. Bukan hanya perempuan itu, tetapi seluruh keluarga harus musnah
supaya kalian tidak dapat melimpahkan dendam di kemudian hari.”
“Ya, kalian harus binasa dengan sempurna sampai cindil abang.”
Wajah Ken Arok menjadi semakin menegang.
Tetapi justru ia melangkah maju pula. Kemudian dengan lantang ia
berkata, “Ternyata kalian adalah orang-orang yang tidak ada bedanya
dengan Bango Samparan. Kalian membencinya karena perbuatannya. Tetapi
kalian kini akan melakukannya sendiri. Kalian tidak bedanya seperti
hantu yang haus darah.”
Sekali lagi orang-orang Karuman itu
terdiam. Namun sekali lagi salah seorang dari mereka berteriak, “Jangan
dengarkan, jangan dengarkan.” Disahut oleh yang lain, “Binasakan,
binasakan.”
Berdesakan, tetapi lambat sekali
orang-orang Karuman itu maju Sambil mengacu-acukan senjata mereka,
mereka berteriak-teriak. Seolah-olah tidak ada satu kekuatan pun yang
dapat membendung mereka.
Melihat sikap orang-orang Karuman itu Ken
Arok menjadi semakin tegang. Sejenak ia mencoba memperhitungkan, sampai
dimana kira-kira Bango Samparan beserta keluarganya. Namun sejenak
kemudian, ia merasa mempunyai kepentingan yang lain, tidak hanya sekedar
memperpanjang waktu saja.
Karena itu, ketika orang-orang Karuman
itu melangkah semakin maju, Ken Arok pun menyongsong mereka pula. Ia
melangkah satu-satu dengan wajah tengadah mendukung isteri tua Bango
Samparan yang sudah menjadi mayat.
Ketika jarak di antara mereka sudah
semakin dekat, maka Ken Arok pun berhenti. Wajahnya seolah-olah membara,
sedang giginya bergemeretak. Di belakangnya Puranti yang gemetar
berpegangan ikat pinggangnya semakin erat.
“Tangkap, tangkap,” terdengar orang-orang
Karuman itu masih saja berteriak-teriak, lalu disahut oleh yang lain,
“menyerahlah. Jangan banyak tingkah supaya kami tidak menjadi semakin
marah.”
Ken Arok tidak menyahut. Ketika ia
melihat orang-orang itu mendesak lebih dekat, maka tiba-tiba ia
membungkuk perlahan-lahan. Diletakkannya mayat perempuan tua itu
ditengah-tengah jalan, dimuka orang-orang Karuman yang menjadi semakin
gila.
Kemudian setapak ia melangkah surut.
Wajahnya yang membara itu pun kemudian diangkatnya. Dipandanginya
wajah-wajah orang Karuman satu demi satu. Tiba-tiba terdengar suaranya
menggelegar, “Ayo siapa yang akan menangkap Ken Arok.” Ken Arok berhenti
sejenak. Ketika tidak ada suara apa pun maka dilanjutkannya, “Siapa
yang melangkahi mayat ibu angkatku, akan menjadi mayat pula. Aku sudah
muak melihat tingkah laku kalian yang gila dan kekanak-anakan. Apakah
kalian menyangka bahwa kalian dapat menangkap Ken Arok dan apalagi
bersama-sama dengan keluarga Bango Samparan? Ternyata kalian telah
menjadi gila. Kalian tidak lagi dapat mempergunakan otak kalian.
Seharusnya kalian mengerti, kenapa Panji Bawuk tidak lagi mau mengangkat
senjatanya. Kenapa adik-adiknya harus membuang senjata-senjata mereka
pula?. Kalau mereka masih juga menggengam senjata di tangan mereka, maka
kalian akan menjadi mayat seperti perempuan tua itu. Bahkan akan jauh
lebih mengerikan. Dada kalian atau punggung kalian atau lambung, bahkan
mungkin kepala kalian akan terbelah. Apakah kalian tidak percaya? Nah,
sekarang tanpa Panji Bawuk,. Kuncang dan adik-adiknya serta ayah Bango
Samparan, aku sendiri dapat membuktikan. Ayo, siapa yang akan mati lebih
dahulu, langkahilah mayat ibu.
Suara Ken Arok itu menggeletar seperti
suara guruh di udara. Serasa mengguncang setiap dada dan seakan-akan
merontokkan jantung mereka. Sehingga karena itu, maka setiap mulut
seakan-akan terbungkam karenanya.
“Ayo” kini Ken Aroklah yang berteriak, “siapa yang akan mencoba menangkap Ken Arok.”
Kini tidak seorang pun yang bergerak.
“Kalian telah berhasil dengan baik, dan
kalian dapat berbangga bahwa kalian telah dapat membunuh perempuan tua
yang baik itu. Libat, lihatlah mayatnya yang hangus. Bertanyalah kepada
dirimu sendiri, kesalahan apakah yang pernah dilakukan oleh perempuan
tua itu kepada kalian masing-masing. Dan bertanyalah kepada diri kalian
sendiri kesalahan apakah yang pernah dilakukan oleh gadis kecil Ini atas
kalian. Kalau kalian dapat menjawab. dan jawaban kalian dapat
menyakinkan aku, maka akulah yang akan menangkap Bango Samparan
sekeluarga. Tetapi kalau kalian tidak dapat menjawabnya, maka segala
macam dosa dan noda yang pernah dilakukan oleh keluarga Bango Samparan
akan terpercik kepada kalian. Nah, renungkanlah. Aku tidak berkeberatan
apapun keputusan kalian. Apakah aku harus menarik pedangku atau tidak.”
Kata-kata Ken Arok itu ternyata telah
memukau jantung orang-orang Karuman itu. Betapapun hati mereka disaput
oleh kegelapan, oleh dendam dan kebencian mereka terhadap keluarga Bango
Samparan, namun tantangan Ken Arok itu telah membuat mereka menjadi
berdebar-debar. Orang yang berdiri di paling depan, kini sudah tidak
melangkah maju lagi meskipun beberapa orang yang berdiri di belakangnya
mendesaknya. Mereka membeku beberapa langkah saja dari mayat isteri tua
Bango Samparan yang terbujur di tanah.
“Siapa? Ayo, siapa” suara Ken Arok masih menggelepar di udara Namun tidak seorang pun yang bergerak.
“Bukankah kalian ingin menangkap aku dan seluruh keluarga Bango Samparan?
Masih belum ada jawaban.
“Kenapa kalian membisu saja di situ he?”
Orang-orang Karuman itu benar-benar telah
membeku. Hati mereka tiba-tiba berkerut. Sikap Ken Arok telah
menumbuhkan persoalan di dalam hati mereka, sehingga mereka pun telah
dipaksa untuk berfikir sekali lagi.
Namun tiba-tiba dari belakang terdengar
suara lantang, “Jangan takut Jangan takut. Orang itu hanya pandai
berteriak-teriak saja, tetapi ia adalah seorang pengecut. Kami laki-laki
juga seperti anak angkat Bango Samparan itu. Anak itulah yang paling
banyak menyimpan noda dalam dirinya. Sejak masih terlampau muda ia telah
pandai mencuri kelapa. Apalagi kini.”
Tanpa disangka-sangka beberapa orang
menyahut, “Ya, jangan takut. Ia hanya menggertak saja. Hanya setan yang
dapat menyelamatkan dirinya dari tangan kami.”
Teriakan-teriakan itu telak membuat darah
Ken Arok menjadi semakin mendidih. Hampir saja ia kehilangan akal.
Namun bagaimanapun juga, ia masih mencari jalan untuk menghindari
benturan yang dapat membuatnya sama sekali kehilangan pengekangan diri.
Sesaat kemudian ia melihat orang-orang
Karuman itu mulai bergerak-gerak lagi. Berdesak-desakan. Yang berdiri di
belakanglah yang lelah mendesak maju, sehingga mereka yang berdiri di
paling depan pun terpaksa melangkah setapak maju, betapapun di
jantungnya dicengkam oleh ke-ragu-raguan.
“Agaknya mereka telah benar-benar gila” geram Ken Arok di dalam hatinya, “Aku harus berbuat sesuatu.”
Ketika orang-orang itu mendesak maju
lagi, sehingga mereka benar-benar hampir melangkahi mayat isteri tua
Bango Samparan. maka Ken Arok tidak dapat menunda-nunda lagi. Sambil
menggeletakkan giginya ia memusatkan segenap kekuatannya pada telapak
tangannya.
“Bunuh orang itu, bunuh” orang-orang Karuman itu berteriak.
“Langkahi, langkahi saja mayat itu.” Bahkan yang lain berteriak, “injak saja, injak saja.”
Darah Ken Arok serasa telah mendidik
sampai di kepalanya. Hanya kesadaran diri yang terlampau tinggilah, yang
dapat mengekangnya, untuk tidak berbuat gila pula seperti orang-orang
Karuman. Namun ketika orang-orang Karuman itu maju satapak lagi, dan
hampir benar-benar melangkahi mayat ibu angkatnya, Ken Arok itu pun
menggeram. Dikibaskannya tangan kecil Yang memegangi ikat pinggangnya.
Dan sebelum Puranti menyadari keadaannya, Ken Arok telah meloncat tinggi
ke udara. Sepasang tangannya yang kuat, yang telah disaluri kekuatan
aneh di dalam dirinya itu pun segera menangkap sebuah cabang pohon
sebesar pahanya. Dengan hentakan yang luar biasa, maka cabang pohon
itu pun patah bersama dengan seluruh ranting’nya dan segumpal daunnya
yang rimbun.
Suara gemeretak patahnya cabang itu
seolah-olah telah membangunkan orang-orang Karuman yang sedang mabuk.
Sejenak mereka terpaku oleh kemampuan yang tidak disangka-sangka itu.
Bahkan mereka hampir tidak dapat mempercayainya bahwa hal serupa
itu dapat terjadi.
Namun kini mereka benar-benar
menyaksikan Ken Arok itu telah berdiri di atas tanah dengan kakinya
yang renggang. Kedua tangannya terangkat keatas menahan cabang pohon
lengkap dengan ranting dan daunnya.
“Awas” teriak Ken Arok, “aku ingin
melihat, siapakah yang jantan di antara kalian. Sebelum kalian berusaha
menangkap Ken Arok, cobalah tangkap dahulu kayu ini.
Orang-orang Karuman menjadi gemetar
setelah mereka menyadari bahwa mereka bukan sekedar sedang bermimpi.
Yang dilihatnya adalah benar telah terjadi. Ken Arok dengan kekuatan
yang tidak dimengertinya telah mematahkan sebatang cabang bersama
ranting-ranting dan segumpal daun-daunnya yg rimbun.
Sebelum orang-orang Karuman itu sempat
berbuat sesuatu, maka sekali lagi mereka melihat keajaiban dihadapan
matanya. Mereka melihat cabang itu seakan-akan meluncur tinggi, kemudian
terbang mengarah kepada mereka.
Maka hilanglah segala macam keberanian,
kemarahan dan kebencian mereka. Mereka telah diterkam oleh ketakut an
yang luar biasa. Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah katapun,
orang-orang Karuman itu bagaikan burung pipit yang dihalau dari
tengah-tengah sawah. Mereka berlari -larian salang-tunjang.
Sejenak kemudian terdengar gemerasak
cabang pohon yang dilontarkan oleh Ken Arok itu jatuh di tanah, beberapa
langkah melampaui mayat ibunya. Tetapi orang-orang Karuman seolah-olah
telah tersapu bersih, sehingga tidak seorang pun yang masih tinggal.
Mereka berlari tanpa arah, kemana saja asal mereka dapat menjauhi Ken
Arok yang mereka anggap mempunyai kekuatan di luar kekuatan manusia
wajar.
Namun tiba-tiba dada Ken Arok itu
berdesir. Belum lagi hiruk pikuk orang-orang Karuman yang berlari itu
hilang, belum lagi getar daun-daun dan ranting-ranting yang dilemparkan
itu berhenti, dilihatnya sesosok tubuh dengan ringannya meloncat dan
hinggap di atas cabang yang dilontarkannya ke tengah jalan itu.
Sejenak Ken Arok terpesona melihat
kelincahan orang itu, namun kemudian ia berhasil menguasai perasannya.
Ditatapnya orang yang berdiri di dalam rimbunnya dedaunan di tengah
jalan itu.
Orang yang berdiri di atas cabang yang
melintang ditengah jalan itu adalah Ki Buyut dari Karuman. Orang tua itu
membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Kau benar-benar luar biasa Ken
Arok. Kau mempunyai kekuatan lebih dari sepuluh kali lipat kekuatan
orang biasa.”
Ken Arok yang sedang memusatkan segenap
kekuatannya itu, perlahan-lahan menurunkan gelora jantungnya. Apalagi
ketika ia melihat Ki Buyut Karuman itu tersenyum.
“Belum pernah aku melihat seseorang
seperti kau” berkata Ki Buyut itu seterusnya, “Kau bukan saja
mengagumkan karena kekuatan dan kecepatanmu bergerak dan berpikir,
tetapi hatimu ternyata selapang lautan.” Orang tua itu berhenti sejenak.
Setelah menarik nafas delam-dalam ia melanjutkan, “Seandainya bukan kau
Ken Arok, maka orang-orang Karuman pasti akan menjadi timbunan mayat
ditengah-tengah jalan, di samping mayat ibu angkatmu. Tetapi kau tidak
berbuat demikian Kau hanya menghalau mereka seperti kau menghalau
kumpulan kelinc–kelinci liar yang paling bodoh. Sedang aku, orang yang
paling mereka kagumi, tetua padukuhan Karuman, ternyata tidak ada sekuku
irengmu.”
Ken Arok tidak sebera menjawab. Tetapi
getar kekuatannya perlahan-lahan telah mengendap. Meskipun demikian ia
masih tetap bersiaga. Ia masih belum tahu benar, apakah yang akan
dilakukan oleh Ki Buyut itu.
Tetapi ternyata bahwa Ki Buyut tidak akan
berbuat sesuatu. Orang tua itu berkata, “Ken Arok. Dengan demikian,
maka orang-orang Karuman sudah menjadi jera. Kau menundukkan mereka
tanpa pepati, bahkan tanpa setitik darah pun yeng menetes dari luka yang
paling ringan.
“Ki Buyut” tiba Ken Arok memotong,
“lihatlah siapa yang terbujur ditengah-tengah jalan itu. Apakah itu
bukan korban? Bukan sekedar darah yang menitik dari luka, tetapi ibu
angkatku telah benar-benar mati, dan gadis kecil yang tidak tahu menahu
tentang segala macam persoalan inipun telah terluka.”
Ki Buyut mengangguk-aggukkan kepalanya. Dipandanginya gadis kecil yang berdiri gemetar bersandar dinding batu di pinggir jalan.
“Kemarilah Puranti” pinggil Ken Arok yang menjadi semakin kasihan melihat gadis yang menggigil itu.
Perlahan-lahan Puranti melangkah maju. Kemudian meloncat memeluk kaki Ken Arok sambil terisak-isak, “Aku takut kakang.”
“Jangan takut Puranti. Sudah tidak ada
bahaya apapun lagi yang mengancammu” jawab Ken Arok, Tetapi tatapan mata
gadis kecil yang hinggap pada Ki Buyut Karuman, masih membayangkan
kecemasan dan ketakutan.
“Aku tidak apa-apa ngger” berkata Ki
Buyut, “aku tidak apa-apa. Aku akan minta maaf kepada kakangmu Ken Arok
dan kepada ayahmu Bauggo Samparan atas segala peristiwa ini. Atas korban
yang ternyata telah jatuh.
“Ki Buyut ternyata memandang persoalan
ini dari sebelah sisi,” berkata Ken Arok kemudian, “Ki Buyut sama sekali
tidak melibat korban yang terbujur itu. Ki Buyut merasa puas bahwa
tidak ada orang Karuman yang menjadi korban, yang luka-luka apalagi
terbunuh. Tetapi Ki Buyut tidak berkata apapun dari pihak kami. Apalagi
perempuan tua yang baik itu. Coba apakah Ki Buyut dapat menjawab
pertanyaanku, seperti yang aku berikan kepada orang-orang Karuman?
Apakah perempuan tua ini juga bertalak, dan apakah gadis kecil ini juga
bersalah?”
“Ya, ya Ken Arok. Aku mengakui. Bukankah aku telah berkata bahwa korban memang telah jauh, dan aku minta maaf karenanya?”
“Hanya sekedar minta maaf?”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu la bertanya, “Lalu apakah yang harus aku lakukan?”
Pertanyaan itu pun ternyata telah
membingungkan Ken Arok. Sejenak ia berdiam diri, namun tatapan matanya
serasa telah mengetuk langsung dinding jantung Ki Buyut.
“Ken Arok” berkata Ki Buyut, “ibu
angkatmu memang telah menjadi korban, Sekali lagi aku minta maaf dan
menyesal sekali bahwa hal itu telah terjadi. Tetapi kita harus dapat
mengendapkan hati kita yang kecewa. Marilah kita melihat segi yang baik
dari peristiwa ini. Ibumu telah menjadi tumbal dari suatu peristiwa yang
akan merubah hubungan antara keluarga Bango Samparan dengan orang-orang
Karuman. Memang untuk meningkatkan suatu keadaan menjadi semakin baik
kadang-kadang diperlukan tumbal. Tumbal itu sendiri kadang-kadang tidak
tersangkut di dalam persoalan yang sebenarnya. Itu merupakan korban yang
tidak ternilai harganya. Ibu angkatmu adalah orang yang paling baik
dari seluruh keluarga Bango Samparan, demikian juga adikmu yang terkecil
itu. Tetapi justru merekalah yang harus menjadi korban dari persoalan
ini. Maka dengan demikian sempurnalah kebaikan mereka. Tebusan yang
sempurna demikianlah yang sungguh-sungguh bernilai.
Getar di dada Ken Arok serasa menjadi
semakin cepat. Terbata-bata ia berkata, “Apakah itu adil? Ki Buyut.
Apapun anggapan kita, tetapi yang sudah mati itu tidak akan dapat hidup
kembali. Apakah kita akan saling memaafkan, dan apakah orang-orang
Karuman dan keluarga Bango Samparan akan dapat mulai dengan hubungan
yang baru, namun yang mati itu akan tetap mati.”
“Memang kau benar ngger. Itulah yang aku
sebut tumbal. Tumbal yang tidak sia-sia. Bukankah kau rasakan manfaatnya
yang tidak ternilai itu? Tentu saja unsur yang lain ikut pula
menentukan. Seandainya yang berdiri dihadapanku ini bukan kau, mungkin
mayat telah berserakan disini. Tetapi tumbal yang demikian tidak akan
berarti apa-apa, karena yang ada justru dendam dan kebencian. Kau dapat
menundukkan orang-orang Karuman yang tersisa. Tetapi sekedar lahir,
bukan dari dasar hatinya seperti sekarang. Sekarang orang-orang Karuman
akan tunduk kepadamu. Lahir dan batin. Ia akan menerima apapun yang kau
kehendaki. Aku pun demikian juga sebagai pernyataan terima kasihku. Nah,
katakanlah, apakah yang kau kehendaki sekarang.”
Ken Arok tidak segera menjawab.
Dipandanginya saja wajah Buyut tua itu dengan dada yang bergejolak.
Namun Ken Arok tahu benar bahwa Ki Buyut itu dapat mengerti apa yang
sudah terjadi didalam lingkungan keluarga bango Samparan, sehingga ia
pun sudah berusaha untuk mencegah kegilaan orang-orang Karuman. Tetapi
ternyata ia tidak berhasil.
Karena itu, maka Ken Arok tidak akan dapat menyalahkan orang tua itu.
Meskipun demikian terasa sesuatu
tersangkut di dalam dadanya. Kematian isteri tua Bango Samparan yang
tidak bersalah dan Puranti yang terluka bakar pada tubuhnya. Yang dapat
dilakukan Ki Buyut itu hanyalah sekedar minta maaf, sedang yang mati itu
akan tetap mati.
“Tumbal” desisnya. Dan terngiang suara Ki Buyut untuk meningkatkan suatu keadaan memang diperlukan tumbal.
Ken Arok tiba-tiba menggeram. Tetapi ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya.
“Silahkan ngger” berkata Ki Buyut, “katakanlah. Apakah yang kau kehendaki?”
Tiba-tiba Ken Arok menghentakkan
perasaannya yang seakan-akan sedang terkungkung didalam lingkaran yang
gelap. Dengan sepenuh tenaga didorongnya kata-kata dari dalam mulutnya,
“Aku tidak menghendaki sesuatu Ki Buyut. Aku hanya menghendaki, ayah
Bango Samparan dapat tinggal di Karuman dengan baik. Aku mengharap bahwa
keluarga itu telah berubah. Apalagi Panji Bawuk. Kalau terjadi sesuatu
yg kurang menyenangkan, Ki Buyut dapat berhubungan dengan Panji Bawuk.
Aku sendiri akan segera meninggalkan padukuhan ini, kembali ke Tumapel.
“Aku akan menjadi jaminan Ken Arok” jawab Ki Buyut.
Ken Arok mengangguk perlahan-lahan.
Ketika terpandang olehnya mayat ibu angkatnya hatinya berdesir.
Perlahan-lahan ia melangkah maju, berjongkok disamping mayat ibunya
sambil berdesis, “Korban yang paling berharga. Mudah-mudahan korban
ini tidak sia-sia.”
Puranti yang kecil pun berjongkok pula.
Setetes-setetes air matanya jatuh di pangkuannya. Tetapi, gadis kecil
itu mencoba untuk menahan tangisnya. Namun justru dengan demikian
dadanya menjadi sesak oleh isaknya.
“Sudahlah Puranti” Ken Arok mencoba
menenangkan hati gadis kecil itu walaupun hatinya sendiri terasa sakit.
“Marilah kita mencari ayah dan ibu muda. Kalian akan kembali ke
padukuhan ini dengan tenang. Ki Buyut akan selalu melindungi kalian.
Tetapi kalian harus berbuat baik?”
Puranti menengadahkan kepalanya. Sorot
matanya menunjukkan kegelisahan yang melonjak-lonjak. Dan tiba-tiba saja
Ken Arok menyadari kekeliruannya. Seharusnya nasehat itu tidak
diberikannya kepada Puranti, tetapi kepada keluarga Bango Samparan yang
lain, sehingga dengan serta-merta ia menyambung, “Tetapi kau sudah baik
Puranti. Ayah, ibu dan kaka-kakakmu pun sudah baik.”
Puranti tidak menyahut. Tetapi keragu-raguan masih saja membayang di wajahnya.
“Marilah” berkata Ken Arok kemudian, “kita akan mencari ayahmu.”
Puranti mengangguk kecil. Perlahan-lahan ia berdiri sambil memandangi Ki Buyut yg kini telah berdiri di samping mereka.
“Aku minta diri Ki Buyut” berkata Ken Arok kemudian setelah ia mengangkat mayat ibu angkatnya.
“Baiklah Ken Arok” jawab Ki Buyut,
“katakan kepada keluarga Bango Samparan, bahwa aku akan menerima mereka
dengan baik. Dan aku akan menjamin, bahwa tidak akan terjadi sesuatu
selama mereka tidak kambuh lagi.
Terima kasih” sahut Ken Arok.
Maka Ken Arok pun kemudian melangkah
meninggalkan tempat itu. Puranti berjalan di sampingnya sambil
berpegangan ujung kain panjang kakak angkatnya. Peristiwa yang baru saja
terjadi telah mengguncang dadanya, sehingga tiba-tiba saja gadis kecil
itu menjadi pendiam. Berbagai masalah berputaran dikepalanya. Namun ia
masih belum mampu menemukan persoalan yang sebenarnya telah terjadi.
Sebab dan akibatnya.
Langkah Ken Arok semakin lama menjadi
semakin cepat. Bahkan Puranti pun kemudian terpaksa berlari-lari kecil
di sampingnya Ken Arok ingin segera bertemu dengan Bango Samparan,
kemudian menyelesaikan mayat isterinya itu.
Mereka terpaksa berjalan beberapa lama.
Ken Arok tahu, bahwa Bango Samparan dan keluarganya pasti sedang
bersembunyi, sehingga tidaklah mudah untuk menemukannya.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti
ketika ia mendengar desir di sebelah gerumbul-gerumbul liar di pinggir
jalan. Perlahan-lahan ia berputar mengarah ke suara itu, sedang Puranti
sekali lagi menjadi ketakutan.
“Ada apa kakang?”
Ken Arok tidak segera menjawab. Telinganya yang tajam mendengar desir yang semakin dekat.
“Kakang” tiba-tiba ia mendengar suara Panji Bawuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menarik nafas lega.
“Kakang” tiba-tiba ia mendengar suara Panji Bawuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menarik nafas lega.
“Kau, Panji Bawuk?”
Sejenak kemudian sesosok tubuh muncul dari sela-sela dedaunan di balik rerumputan liar.
“Bagaimana dengan orang-orang Karuman itu kakang?” bertanya Panji Bawuk.
“Semuanya sudah selesai.”
Panji Bawuk menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan penuh kebimbangan.
Ken Arok merasakan tusukan tatapan mata
anak sulung Bango Samparan itu, maka katanya, “Aku tidak membunuh
seorang pun dari mereka. Ki Buyut menjadi saksi. Semuanya dapat
diselesaikan tanpa menumpahkan darah orang Karuman, meskipun ibu harus
menjadi tumbal.”
Panji Bawuk tidak segera menyari ut. Sekilas ditatapnya perempuan tua sang telah meninggal ditangan Ke», Arok itu.
Sejenak kemudian anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya wajah adiknya yang pucat, dan luka-lukanya yang membakar beberapa bagian dari tubuh dan pakaiannya.
Sejenak kemudian anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya wajah adiknya yang pucat, dan luka-lukanya yang membakar beberapa bagian dari tubuh dan pakaiannya.
“Marilah” desisnya kemudian, “kita pergi ketempat ayah dan ibu bersembunyi.”
Ken Arok mengangguk, “Marilah”.
Ketika Ken Atok melangkah, maka Panji Bawuk pun segera mendekati adiknya dan berbisik, “Marilah, aku dukung kau.
Kata-kata itu terasa aneh di telinga Puranti. Kakaknya yang sulung itu tidak pernah tampak begitu sedih dan begitu baik kepadanya. Namun Puranti telah dapat merasakan, perubahan memang telah terjadi dalam keluarganya.
Kata-kata itu terasa aneh di telinga Puranti. Kakaknya yang sulung itu tidak pernah tampak begitu sedih dan begitu baik kepadanya. Namun Puranti telah dapat merasakan, perubahan memang telah terjadi dalam keluarganya.
Panji Bawuk pun kemudian berjalan
mendahului Ken Arok sambil mendukung Puranti. Mereka menyusup di antara
gerumbul-gerumbul liar dan batang-batang ilalang setinggi dada. Kemudian
mereka sampai pada sebuah sungai yang curam. Di tebing sungai itulah
Bango Samparan dan keluarganya tersembunyi.
Kedatangan Ken Arok sambil membawa mayat
isteri tua Bango Samparan dan Puranti, telah menumbuhkan berbagai
pertanyaan pada keluarga itu. Berganti-ganti mereka mengucapkan
pertanyaan yang berturutan, sehingga Ken Arok tidak dapat menjawabnya
satu demi satu.
“Aku akan berceritera saja” berkata Ken Arok, “pertanyaan kalian akan terjawab.”
Maka setelah meletakkan mayat ibu
angkatnya, Ken Arok segera menceriterakan semua peristiwa yang
dialaminya, sehingga akhirnya ia berkata, “Ki Buyut telah menjamin,
bahwa ayah sekeluarga akan dapat tinggal dengan tenteram di Karuman,
asal ayah dan seluruh keluarga tidak kambuh lagi.”
Bango Samparan menundukkan kepalanya.
Keputusan Ki Buyut itu telah mengungkat keharuan di dalam dadanya.
Meskipun demikian ia masih dicemaskan oleh keragu-raguannya tentang diri
sendiri. Apakah ia akan dapat menahan hati untuk tidak berbuat hal-hal
yang bertentangan dengan keinginan Ki Buyut dan orang-orang di
sekitarnya.
Namun sebelum Bango Samparan menjawab,
terdengar suara Panji Bawuk parau, “Kami akan berusaha kakang. Kalau
kami suatu ketika terperosok kembali kedalam dunia yang hitam, kami
mengharap kakang akan dapat memperingatkan.”
“Kalau aku sempat melihat kalian” jawab Ken Arok
“Kenapa? Jarak antara Tumapel dan Karuman
tidak terlampau jauh. Sebulan sekali kakang dapat datang ke Karuman,
atau salah seorang dari kami pergi ke Tumapel.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan kalian terhindar
dari kebiasaan yang memang seharusnya dikubur bersama korban yang telah
jatuh ini.”
Panji Bawuk meng-angguk-anggukkan
kepalanya, sedang Bango Samparan, isteri mudanya dan anak-anaknya yang
lain menunduk kan kepala mereka dalam-dalam.
Sejanak mereka seolah-olah membeku dan
mengembara di dalam angan-angan masing-masing. Mereka telah tenggelam
dalam kenangan masa silam dan bayangan masa mendatang. Berbagai perasaan
bergelut di dalam dada mereka. Penyeaalan, kecewa dan harapan.
Ken Arok sendiri duduk tepekur di sisi
mayat ibu angkatnya. Ia pun sedang hanyut oleh berbagai macam
perasaan. Matanya yang tajam menatap mayat ibu angkatnya tanpa
berkedip. Didalam dadanya melonjaklah kekecewaan yang dalam. Kenapa
justru ibu angkatnya yang harus menjadi korban. Justru orang yang paling
baik di antara keluarga Bango Samparan.
“Kenapa orang-orang Karuman itu berbuat
sekehendak hati mereka sendiri?” desis Ken Arok di dalam hatinya. Namun
kemudian terbayang Ki Buyut yang telah berusaha mencegah orang-orangnya,
tetapi ia gagal.
“Penyesalan itu tidak akan dapat membangunkan ibu angkatku” berkata Ken Arok itu di dalam hatinya pula.
Ternyata kematian telah berkesan demikian
dalam di dalam hati Ken Arok. Tanpa sesadarnya jantungnya telah
diracuni oleh perasaan dendam. Tetapi ia tidak tahu, kepada siapa ia
harus melepaskan dendamnya. Ia tahu bahwa ia tidak boleh berbuat menurut
perasaannya saja atas orang-orang Karuman, meskipun ia dapat membunuh
siapa saja yang disukainya, bahkan Ki Buyut sekalipun. Nalarnya agaknya
masih berhasil menguasai perasaannya. Namun ia tidak berhasil
melenyapkan perasan kecewa itu. Meskipun pada suatu saat ia berhasil
mengendapkannya, namun apakah pada suatu ketika perasaan itu tidak akan
muncul lagi menggenangi hatinya justru dalam campur baur dengan endapan
perasaannya yang lain yang ditekannya dengan nalar?
Tiba-tiba Ken Arok itu berkata dengan nada datar, “Marilah kita selesaikan mayat ibu tua ini.”
Bango Samparan dan anak-anaknya serasa
tersadar dari tidurnya yang dibayangi oleh mimpi buruk. Terbata-bata
Bango Samparan menyahut, “Marilah. Marilah.”
Maka mereka pun segera mencari tempat
yang mereka anggap baik untuk menguburkan isteri tua Bango Samparan itu,
ditandai oleh beberapa buah batu, supaya mereka tidak kehilangan.
Apabila mereka pada saatnya dapat hidup dengan tenang kembali di
Karuman, maka tempat itu seharusnya dirawat dengan baik, sebagai
kenangan bahwa seseorang telah menjadi korban cara hidup mereka yang
buram.
Agaknya Ken Arok tidak dapat berbuat setengah jalan. Sesudah mayat isteri tua Bango Samparan itu selesai dirukti, maka Bango Samparan dan keluarganya masih juga minta olong kapadanya, untuk mempersiapkan jalan kembali ke Karuman.
“Baik” jawab Ken Arok “aku akan berusaha.
Tetapi setelah itu aku tidak akan dapat menunggui kalian lebih lama
lagi. Waktuku beristirahat telah menjadi semakin pendek. Aku masih ingin
pergi ke beberapa daerah mengunjungi orang-orang yang terlampau baik
kepadaku.
“Aku tidak akan menahanmu lagi Ken Arok, tetapi aku minta kau menyeletaikan masalahku ini sama sekali.” minta Bango Samparan.
Ken Arok tidak dapat menghindarkan diri
dari pekerjaan itu. Ia harus menyelesaikan masalah Bango Samparan itu
sama sekali. Karena itu, maka setelah hatinya menjadi agak tenteram, dan
setelah mereka bermalam satu malam di pereng tebing sungai,
maka Ken Arok segera pergi untuk menemui Ki Buyut. Ia tidak sampai hati
melihat Puranti tidur kedinginan di atas pasir yang hanya dialasi dengan
sehelai kain panjang, di samping perapian untuk mengusir dingin dan
nyamuk.
Ternyata Ken Arok tidak banyak menemui
kesulitan. Baik Ki Buyut maupun orang-orang Karuman yang lain tidak
menaruh keberatan lagi, dengan syarat, bahwa Ken Arok akan bertanggung
jawab apabila Bango Samparan dan keluarganya terjerumus lagi kedalam
dunianya yang buram.
“Aku akan mengawasinya” berkata Ken Arok kepada Ki Buyut, “aku berada di Tumapel, tidak terlampau jauh dari Karuman. Seandainya keadaan memaksa, satu dua orang dapat menyampaikannya kepadaku.”
“Aku akan mengawasinya” berkata Ken Arok kepada Ki Buyut, “aku berada di Tumapel, tidak terlampau jauh dari Karuman. Seandainya keadaan memaksa, satu dua orang dapat menyampaikannya kepadaku.”
“Baiklah Ken Arok” berkata Ki Buyut, “sementara Bango Samparan belum sempat mendapat rumah baru, biarlah ia berada di rumahku.”
“Terima kasih Ki Buyut. Tetapi sayang bahwa aku tidak dapat menemaninya. Aku harus segera kembali ke Tumapel.”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Apabila aku
memerlukanmu, aku akan memanggilmu.”
“Aku akan datang setiap saat Ki Buyut.”
Persoalan seterusnya tidak ada kesulitan
apapun. Bahkan Ki Buyut menyanggupi, untuk mengajak orang-orang Karuman
membuat rumah baru bagi Bango Samparan di atas bekas rumahnya yang telah
menjadi abu.
Tetapi Ken Arok benar-benar tidak dapat
ditahan lagi. Sebelum orang-orang Karuman mulai membuat rumah buat Bango
Samparan, Ken Arok telah minta diri kepada Bango Samparan sekeluarga,
kepada Ki Buyut dan kepada orang-orang Karuman. Ia harus meninggalkan
Karuman, melanjutkan perjalnanannya sebelum ia kembali ke Tumapel.
“Aku ikut bersamamu kakang” Puranti merengek
“Jangan Puranti. Aku masih akan berjalan jauh sekali sebelum aku kembali ke Tumapel.”
“Jangan Puranti. Aku masih akan berjalan jauh sekali sebelum aku kembali ke Tumapel.”
“Tetapi disini sudah tidak ada ibu tua lagi, tidak ada yang mengawani aku bermain-main.
“Tidak Puranti. Sekarang ibu muda akan menemani kau bermain-main.” sahut ibunya.
“Kau tidak akan sendiri lagi Puranti”
sambung Panji Bawuk, “kakak-kakakmu akan selalu tinggal di rumah.
Kami sudah tidak ada pekerjaan lagi di luar Karuman. Kami akan membuka
dan memperluas sawah kami yang telah ada.”
Puranti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
ia bertanya, “Apakah ayah dan kakak-kakak akan bekerja di sawah seperti
kebanyakan orang Karuman?”
“Ya Puranti, kami semua akan bekerja di sawah seperti kebanyakan orang Karuman.” jawab Panji Bawuk.
“Dan ibu muda akan memasak di rumah dan mengantar makanan ke sawah menjelang tengah hari?”
“Ya Puranti.”
“O” tiba-tiba wajah gadis kecil itu menjadi cerah, “aku akan ikut dengan ibu muda mengantar makanan ke sawah. Bukankah begitu?”
“Ya Puranti” terdengar suara ibunya parau.
Puranti menjadi heran ketika ia berpaling
memandangi wajah ibunya. Dilihatnya matanya menyadi basah. Tetapi gadis
kecil itu tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah Ken Arok menyerahkan keluarga
Bango Samparan sekeluarga, maka Ken Arok itu pun mengayunkan kakinya,
meninggalkan halaman rumah Ki Buyut Karuman diiringi oleh berpuluh-puluh
tatapan mata. Terasa perpisahan itu sangat berkesan di hati orang-orang
Karuman yang mengaguminya Terutama keluarga Bango Samparan.
Orang-orang Karuman kagum melihat
kelapangan hati anak muda itu meskipun ibu angkanya sudah menjadi
korban. “Seandainya bukan Ken Arok” mereka berdesis di dalam hatinya.
Sementara itu langkah Ken Arok pun
terasa dibebani oleh berbagai macam perasaan. Kadang-kadang ia pun
masih diliputi keragu-raguan, apakah keluarga Bango Samparan sudah
melepaskan cara hidupnya yang sesat. Tetapi, …… (tidak jelas, teks
tidak terbaca) kap Panji Bawuk, agaknya ia dapat mempercayai … (tidak
jelas, teks tidak terbaca) bahwa anak muda itu telah benar bertekad
memperbaiki jalan hidup (tidak jelas, teks tidak terbaca) nya
sekeluarga.
(bersambung ke jilid 46)
No comments:
Write comments