BELUM LAGI Panji Kunal
itu menjawab, maka dari dalam rumah, terbungkuk-bungkuk menyusup di
bawah tangan Panji Kunal itu, keluarlah seorang anak muda yang lain,
Panji Kenengkung, anak keempat Bango Samparan. Katanya “O, ternyata
kakang Ken Arok itulah yang kalian ributkan. Aku sangka ada seorang tamu
yang cukup berharga untuk dilayani”. Panji Kenengkung itu menjadi acuh
tak acuh. Tanpa berbuat sesuatu ia kembali masuk ke dalam rumahnya,
menyusup pula di bawah tangan kakaknya.
Sikap anak-anak Bango Samparan itu
membuat darah Ken Arok benar-benar menjadi mendidih. Semula ia memang
berhasrat untuk meninggalkan saja rumah itu. Tetapi justru sikap
anak-anak Bango Samparan itulah, kemudian yang manahannya. “Aku akan
tetap berada di sini” katanya di dalam hati.
Karena itulah maka Ken Arok masih tetap
berdiri tanpa bergerak di tempatnya. Kedua kakinya seolah-olah terhunjam
dalam-dalam sampai ke pusat bumi. Hanya pandangannya sajalah yang
beredar dari satu wajah ke wajah yang lain. Panji Bawuk, Panji Kuncang,
Kunal dan kemudian Bango Samparan.
Bango Samparan menjadi kebingungan
melihat perkembangan keadaan. Ia tidak menyangka bahwa sikap permusuhan
dari anak-anaknya masih juga membekas demikian dalamnya, sehingga
kedatangan Ken Arok telah menumbuhkan persoalan di dalam rumahnya.
“He” Panji Kuncang lah yang pertama-tama
menyobek kebekunan di halaman itu, “Kenapa kau masih saja berdiri di
situ Ken Arok. Sebelum aku berubah pendirian, pergilah. Rumah ini sama
sekali tidak ada tempat bagimu. Jangan mengharap kau dapat masuk menjadi
salah seorang dari keluarga kami. Kalau kami kelak membagi warisan,
maka kamu sama sekali tidak mendapatkan apapun yang cukup berharga.
Karena itu, kau tidak perlu ikut serta memperebutkannya. Tanah yang
hanya selidah kadal ini, rumah yang hampir roboh dan regol yang miring.
Apa kau sangka ayah mempunyai timbunan harta benda yang bernilai?”
Kini Ken Arok tidak dapat menahan
mulutnya lagi. Betapa dadanya bergejolak, dan betapa ia telah mencoba
menahannya sehingga dada itu rasa-rasanya akan meledak.
Dengan nada yang datar Ken Arok menjawab
“Ya, aku tahu bahwa ayah Bango Samparan mempunyai harta benda yang tidak
ternilai harganya. Itulah sebabnya aku kembali ke rumah ini untuk
mendapatkan bagianku sebagai anak angkatnya”.
Panji Kuncang mengerutkan keningnya.
Kemudian ia menggeram, “Hem, ternyata kau telah menjadi seorang
laki-laki yang berani. Kau tidak saja berani menyamun di tempat-tempat
yang sepi, dan kemudian sebagai seorang prajurit yeng beramai-ramai
membuat bendungan di Padang Karautan. Ternyata kau tidak gemetar
mendengar ancamanku”.
Ken Arok mangatubkan bibirnya rapat-rapat.
“Jangan kau usir anak itu Kuncang”,
berkata Panji Bawuk kemudian. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok
sambil berkata selanjutnya, “Menilik sikapnya, pandangan matanya yang
lurus ke depan, serta wajahnya yang tengadah, ia sama sekali tidak
cemas menghadapi keadaannya kini”.
“Anak ini benar-benar berani. Tetapi itu
tidak mengherankan. Ia dapat melepaskan diri dari tangan orang-orang
Pamalantenan dan lari ke Nagamasa. Ia dapat menghantui Tanah Tumapel dan
kemudian bahkan menjadi seorang hamba istana yaag baik”. Panji Bawuk
berhenti sejenak, lalu, “Nasibmu memang baik Ken Arok. Terlampau baik”.
“Nah” tiba-tiba Bango Samparan memotong, “Bukankah aku juga mengatakan, bahwa nasibmu terlampau baik”.
Panji Bawuk tertawa rendah. Katanya
kemudian, “Tetapi tidak selamanya nasibmu terlampau baik. Suatu ketika
kau akan terbentur pada keadaan yang sama sekali tidak kau
sangka-sangka. Misalnya bahwa kau telah tersesat sampai ke rumah ini”.
“He” mata Bango Samparan terbelalak, “Apa yang akan kau lakukan atasnya?”
Panji Bawuk tertawa dengan nada yang
terlampau rendah, tetapi dibalik nada yang rendah itu teresa getaran
kebencian yang tiada taranya. “Sebuah permainan yang baik. Aku yakin
bahwa ia tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja. Ia pasti akan
melawan, karena aku percaya bahwa Ken Arok adalah seorang prajurit yang
berani. Nah, bukankah kita mendapat ketempatan untuk bermain-main”.
“Itu gila. Gila sekali. Ia tamuku di sini”.
“Bukankah aku sudah berterima kasih kepada ayah, karena ayah membawa permainan itu”.
“Persetan kalian” teriak Bango Samparan, “Kalau kalian berbuat sesuatu atasnya, maka aku akan berdiri dipihaknya”.
“Apa” tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah yang kotor itu, “Kalau kau mau membantunya, akulah lawanmu”.
Tiba-tiba muncul seorang perempuan sambil
menyingsingkan kainnya. Ialah isteri Bango Samparan yang muda. Dengan
tergesa-gesa ia mendekati Bango Samparan sambil menuding-nuding
wajahnya, “Kau bawa lagi anak setan itu, he. Ayo, tinggalkan anak itu.
Biarlah anak-anak yang mengurusnya”.
Sementara itu terdengar suara lain. Suara
perempuan. Namun terlalu dalam dan perlahan-lahan, “Kenapa kalian
mambencinya sampai ke ujung nyawa kalian?”
Tetapi justru suara itu telah
menggetarkan dada Ken Arok. Suara itu adalah suara ibu angkatnya. Isteri
tua Bango Samparan. Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya seorang
perempuan tua yang kurus berdiri di samping rumah sambil menakupkan
kedua telapak tangan di muka dadanya.
“Jangan ikut campur” bentak isteri muda Bango Samparan, “Ini sama sekali bukan urusanmu”.
“Tunggulah sebentar” Bango Samparan
tergagap, “Maksudku, aku ingin keluarga ini menjadi bertambah baik.
Kalau kalian mau mendengarkan penjelasanku, kenapa aku membawa Ken Arok
ke rumah ini, maka kalian pasti tidak akan marah-marah lagi”.
“Aku tidak peduli” teriak isteri mudanya.
Satu tangannya bertolak pinggang, sedang tanganya yang lain masih
menunjuk-nunjuk, “Ayo tinggalkan anak-anak itu. Masuk. Masuklah”.
“Tunggu” Bango Samparan meminta. “Masuk kataku. Ayo masuk”.
Ken Arok menjadi heran. Bango Samparan
adalah seorang yang buas, bahkan liar. Tetapi ia begitu takut kepada
isteri mudanya. Ia mengetahui hal itu sejak ia tinggal di dalam rumah
itu. Tetapi dalam hal yang terlampau penting, seperti keadaan saat ini,
Bango Samparan sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Dengan kasarnya isteri muda Bango
Samparan itu menarik tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah.
Bango Samparan yang garang itupun sama sekali tidak dapat melawan. Namun
sambil berjalan ia berteriak-teriak, “Maafkan aku Ken Arok. Pergilah.
Pergilah sebelum setan-setan itu berbuat sesuatu atasmu”.
Ken Arok sama sekali tidak beranjak dari
tempatnya. Dipandanginya Bango Samparan yang berjalan terloncat-loncat
diseret oleh isteri mudanya sambil menyingsingkan kainnya tinggi-tinggi.
“Laki-laki tidak tahu diri” gerutu
isterinya, “Sekian lama kau tidak pulang. Sekarang kau bawa cucurut
jelek itu untuk mengotori halaman rumahku”.
Tanpa sesadarnya Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya sikap isterinya itu sama sekali tidak membantu
usaha untuk menyembuhkan Bango Samparan dari penyakit judinya. Agaknya
ia tidak menemukan ketenteraman di rumahnya. Isterinya terlampau
menguasainya, sehingga bagi Bango Samparan, keadaan di luar rumahnya
jauh lebih bebas dan menyenangkan, meskipun kadang-kadang ia harus
berkelahi dan bahkan mempertaruhkan nyawanya. Namun hasrat ia lepas
bebas dan sebagai seorang laki-laki, bahkan jiwa petualangan yang memang
ada padanya, dapat terpenuhi.
Di rumah, seperti keadaarnya kini,
meskipun ia membawa pedang dilambungnya, namun ia tidak kuasa melawan
apapun ketika ia diseret oleh isterinya masuk ke rumah sambil
mengumpat-umpat.
Panji Kunal kini sudah tidak berdiri di
tengah-tengah pintu lagi untuk memberi jalan ibunya yang menyeret
ayahnya masuk. Sambil bersandar bibir pintu ia tertawa berkepanjangan.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan
tua yang berdiri di samping rumah, “Pergilah Ken Arok. Tidak ada gunanya
kau datang kemari. Aku sudah puas dapat melihat kau tumbuh menjadi
besar dan gagah. Aku dengar kau kini tnenjadi seorang prajurit. Nah,
lakukanlah pekerjaanmu dengan baik”.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
sesadarnya ia mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Terima kasih
ibu, mudah-mudahan aku dapat melakukannya. Aku minta ibu selalu berdoa
untukku”.
“Tentu, tentu anakku. Aku berdoa untukmu. Mudah-mudahan kau terhindar dari tindakan-tindakan yang takabur dan tamak”.
Belum lagi Ken Arok menjawab, terdengar
suara Panji Kuncang, “Ah, jangan kau ajari anak itu jadi seorang
pendeta. Agaknya lebih baik baginya untuk mengulangi saja kelakuannya
beberapa tahun yang lampau”.
“Jangan menghina Kuncang” sahut perempuan
itu “adalah nasib baik yang membawanya. Jangan iri akan nasib
seseorang. Nasibnya memang terlampau baik”.
Ken Arok sama sekati tidak terpengaruh,
ketika ia mendengar orang lain mengatakan tentang nasibnya. Bahkan ia
muak apabila ia mendengar Bango Samparan mengatakan nasibnya pula.
Tetapi kini ia mendengar perempuan tua itu mengatakan pula, bahwa
nasibnya memang terlampau baik.
“Kalau kau berusaha terus Ken Arok”
berkata perempuan tua itu, “Maka kau akan sampai kepada tempat yang
setinggi-tingginya yang kau inginkan”.
Tetapi kata-kata itu disambut oleh suara
tertawa Panji Bawuk dalam nada yang datar, “Ho, ajari saja anak itu
untuk bermimpi”. Kemudian kepada Ken Arok itu berkata “Mimpilah anak
manis. Kau akan dibawa melambung tinggi oleh nasibmu yang baik. Mungkin
kau dapat menjadi seorang Akuwu, eh siapa tahu bahwa kau akan dapat
mendesak kekuatan Maharaja Kediri dan menggantikannya kelak”.
Kata-kata itu disambut oleh suara tertawa
yang meledak. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan bahkan kemudian
Kenengkung pun keluar lagi dari pintu rumahnya. Katanya “Eh, kalian
menjadi terlampau bergembira hari ini”.
“Tidur saja kau anak malas” sahut Panji Bawuk.
“Kami sedang bermain-main”.
“Aku ingin ikut bermain-main pula”.
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia
melangkah lagi lebih dekat dihadapan Ken Arok. Diamat-amatinya Ken Arok
dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya.
“Pergi sajalah Ken Arok” suara perempuan di samping rumah terdengar lagi.
Tetapi jawab Ken Arok ternyata telah
mengejutkan, seisi halaman itu, “Tidak ibu. Aku tidak akan pergi. Aku
sudah terlanjur menginjakkan kakiku di halaman ini. Aku ingin masuk ke
dalam rumah ayah dan ibuku. Aku ingin bermalam di sini dan ingin
mendapat hak warisan dari ayah seperti anak-anak ayah yang lain,
meskipun aku hanya sekedar anak angkatnya. Tidak teorang pun dapat
menghalangi aku. Apa lagi aku sudah memasuki halaman ini dengan pedang
di lambung”.
Yang terdengar kemudian adalah geram
Panji Kuncang. Selangkah ia meloncat maju sambil berteriak, “Setan alas.
Ayo, cabut pedangmu. Aku akan membunuhmu”.
Panji Bawuk menegang sebentar, namun
kemudian ia tertawa. Nadanya masih tetap rendah dan datar, “O, anak ini
benar-benar tidak tahu diri. Disangkanya bahwa karena ia seorang
prajurit, maka ia pasti akan mampu menyelesaikan semua masalah dengan
pedangnya”.
Ken Arok terdiam. Dikatupkannya bibirnya
rapat-rapat. Terhadap Panji Kuncang ia telah menemukan cara yang
sebaik-baiknya untuk melawan. Agaknya anak kedua ini lebih cepat marah
dan kehilangan kesabaran. Tetapi agaknya anak yang pertama ini justru
jauh lebih berbahaya dari saudara-saudaranya yang lain.
Ternyata bukan saja kedua orang anak-anak
Bango Samparan yang terbesar saja yang mendekati Ken Arok, tetapi kedua
saudaranya yang lain, yang masih terlampau muda itupun datang
mengerumuninya. Wajah-wajah mereka telah menjadi tegang oleh kemarahan
yang memuncak.
Tetapi Ken Arok masih tetap berdiri tegak
di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser setapakpun. Pandangannya
masih tetap lurus ke depan dan dadanya masih tetap tengadah.
Sikapnya memang egak berpengaruh juga
atas keempat anak-anak Bango Samparan itu. Namun disamping itu,
kemarahan mereka pun menjadi semakin menyala pula. Ken Arok bagi mereka
adalah seorang yang teramat sombong. Karena itu, maka mereka harus
menghajarnya dan bahkan mereka tidak lagi akan mengekang diri seandainya
Senjata-senjata mereka akan berbicara.
Diantara keempat saudara itu, Kuncang lah
yang hampir tidak lagi dapat mengekang dirinya. Namun sikap yang
demikian sama sekali tidak berpengaruh apapun kepada Ken Arok. Yang
mendapat perhatiannya paling tajam justru Panji Bawuk yang kelihatannya
masih tenang-tenang saja, dan bahkan tersenyum-senyum.
“Apakah kau benar-benar ingin melawan kami kakang?” bertanya Panji Bawuk itu.
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata Panji Bawuk itu tajam-tajam seolah-olah ingin melihat sampai ke pusat otaknya.
“Aku memang berharap demikian” berkata
Panji Bawuk itu pula, “Sudah agak lama kami tidak berkelahi melawan
seseorang yang agak berarti untuk memanaskan badan kami. Karena itu kami
sangat berterima kasih kepada ayah, yang telah membawa kau kemari”.
“Panji Bawuk” terdengar suara perempuan
tua di samping rumah, “Aku minta kau tidak akan berbuat demikian kepada
Ken Arok. Terserahlah apa yang akan kau lakukan terhadap orang lain,
tetapi tidak kepada keluarga sendiri”.
Panji Bawuk tertawa, “Hanya orang gilalah
yang bersedia menerimanya lagi di dalam keluarga ini. Ia sudah cukup
membuat kami marah dan mendendamnya, di saat-saat yang lalu. Tiba-tiba
kini ia datang dengan penuh kesombongan. Apakah kami harus
membiarkannya?”
“Aku minta maaf untuknya” berkata perempuan itu lagi.
“Tutup mulutmu” tiba-tiba terdengar suara
dari balik dinding rumah, suara perempuan pula. Suara ibu Panji Bawuk,
“Sudah aku katakan. Itu adalah urusan anak-anak, biarlah diselesaikan
oleh anak-anak”.
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya
yang telah berkerut-merut. Namun ia mencoba menjawab, “Aku hanya mencoba
melerai perselisihan di antara anak-anak”.
“Persetan dengan anakmu itu”.
“Sudahlah” potong Panji Bawuk dengan
tenangnya “Jangan kau pedulikan lagi anak ini. Ia akan terjerumus ke
dalam lubang yang telah digalinya sendiri”.
“Kita tidak usah banyak berbicara” geram
Kuncang. Kemudian sambil menunjuk ke bawah sebuah rumpun bambu ia
berkata, “Di sana kami kuburkan dua orang penjudi muda yang mencoba
melawan kami. Mereka sombong seperti kau. Kami berkelahi. Ternyata
Senjata-senjata kami tidak mau memaafkannya”.
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata
Panji Kuncang itu. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di muka halaman ini
membujur sebuah lorong padukuhan. Bagaimanakah tanggapan orang-orang
padukuhan ini apabila mereka tahu, bahwa halaman ini adalah halaman
pembantaian? Bukankah Ki Buyut Karuman sudah mengancam, untuk mengusir
mereka apabila mereka berbuat kejahatan lagi di dalam padukuhan ini?”
Tetapi lorong ini memang terlampau sepi.
Lorong yang jarang sekali dilalui orang. Hanya orang-orang yang terpaksa
sekali yang mau lewat di lorong di muka rumah Bango Samparan. Rumah
yang mereka anggap sebagai rumah hantu.
“Nah” berkata Kuncang kemudian, “Kau akan menjadi orang ketiga yang akan berkubur di bawah rumpun bambu itu”.
Wajah Ken Arok menjadi semakin lama
semakin tegang. Dipandanginya arah yang ditunjuk oleh Panji Kuncang.
Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Tanah itu masih tetap rata.
Tetapi ketegangan wajah Ken Arok itu
semakin meningkat ketika ia mendengar Panji Bawuk berkata, “Tidak
Kuncang. Karena anak ini adalah saudara tua kita, maka ia tidak akan
kita kuburkan di bawah rumpun bambu itu. Kita masih harus
menghormatinya. Aku ingan membuat anjang-anjang bagi mayatnya nanti.
Kami letakkan saja di halaman belakang, di atas pohon Kayu Kembang.
Biarlah dagingnya menjadi makanan burung-burung gagak”.
Sejenak mereka yang mendengar pendapat
anak tertua Bango Samparan itu terdiam. Namun kemudian terdengar suara
tertawa Kenengkung meledak.
“Kenapa kau tertawa?” bertanya Panji Kunal.
“Lucu” sahut Kenengkung, “Kita kelak akan
mempunyai sebuah kerangka. Kalau dagingnya sudah habis, bukankah akan
tinggal kerangkanya saja? Kita mempunyai sebuah perhiasan yang
menyenangkan”.
Panji Kunal pun tersenyum pula. Katanya,
“Tetapi kalau ada orang yang melihatnya, akan dapat menumbuhkan perkara.
Orang-orang Karuman adalah orang-orang dengki yang suka mengganggu
kesenangan orang lain. Kalau mereka berbuat sesuatu karena kerangka itu,
maka kita akan terpaksa menyimpan kerangka-kerangka lebih banyak lagi”.
“Ah” desah Panji Bawuk, “Anak-anak gila.
Apakah yang kau bicarakan itu? Sekarang, ambillah parangku yang besar.
Jangan yang kecil. Kalian membawa senjata kalian masing-masing, apabila
kalian ingin ikut bermain-main. Berganti-ganti. Kita masing-masing akan
mendapat bagian kita. Tetapi apabila Ken Arok lekas mati, maka jangan
menyesal, siapa yang tidak mendapat kesempatan untuk berkelahi dan
menggoreskan luka di tubuhnya”.
“Gila” Ken Arok mengumpat di dalam
hatinya, “Sikap Panji Bawuk tenang sekali. Dibiarkan adiknya masuk ke
dalam rumah sementara ia berdiri seenaknya dihadapan Ken Arok”.
“Kalau kau tidak sabar menunggu adikku mengambil senjata, mulailah. Aku akan melawanmu tanpa Senjata”.
“Akulah yang pertama-tama” potong Kuncang, “Akulah yang melihatnya ia pertama kali ketika ia memasuki regol”.
Kini Ken Arok terpaksa berbuat sesuatu.
Ia benar-benar menyesal, karena ia telah masuk ke rumah hantu itu.
Tetapi dalam keadaan yang demikian ia sama sekali tidak mau beranjak
pergi. Ia masih belum tahu, sampai berapa jauh kemampuan keempat anak
Bango Samparan. Ia telah melihat Panji Kuncang mampu menghindar dengan
cara yang sederhana, ketika ayahnya mencoba menampar wajahnya.
Sebentar kemudian sambil berlari-lari
Kenengkung datang membawa dua buah parang dan Panji Kunal pun membawanya
pula. Untuk kakaknya dan untuk dirinya sendiri.
“Aku akan mencoba senjataku ini” desis Panji Kunal. Ia memegang sebuah tombak pendek yang ujungnya berkait.
Ken Arok berdiri tegak seperti sebuah
patung. Ia menjadi heran melihat sikap anak-anak Bango Samparan. Agaknya
mereka benar-benar menganggap dirinya permainan yang mengasyikkan.
“Apakah kemampuan mereka jauh melampaui ayahnya?” pertanyaan itu telah mengetuk dada Ken Arok.
Namun Ken Arok tidak sempat terlampau
banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Ia segera melihat tombak
pendek Kunal yang ujungnya berkait telah merunduk di muka dadanya.
Terdengar anak itu berkata “He, kakang Ken Arok. Ayo cabut senjatamu”.
Ken Arok tidak segera berbuat sesuatu.
Sekilas dipandangmya perempuan tua di samping rumah Bango Samparan.
Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian
dengan tergesa-gesa berputar dan pergi ke belakang.
“Lebih baik ia pergi”, berkata Ken Arok di dalam hatinya.
“Ayo, cepat” teriak Panji Kunal.
“Hati-hati Kunal” desis Panji Bawuk, “Ia
adalah seorang Prajurit Tumapel. Mungkin ia pernah mendapat petunjuk
bagaimana ia harus mempergunakan serjata. Sebelum ia menjadi seorang
prajurit, ia adalah seorang anak yang paling senang berkelahi. Meskipun
kau juga senang berkelahi, tetapi belum seliar kakang Ken Arok itu”.
Kunal seolah-olah tidak mendengar
kata-kata kakaknya itu. Ia melangkah semakin dekat, dan ujung tombaknya
kini semakin dekat pula ke dada Ken Arok, “Ayo, cepat, ambil senjatamu”
teriaknya, “Kalau kau tidak juga mencabut pedangmu, aku akan berbuat
menurut kehendakku sendiri atasmu”.
Ken Arok masih tetap berdiri tegak.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut ujung tombak berkait itu semakin merunduk
dan menyentuh kain panjangnya, dengan sekali renggut, kainnya telah
tersobek lebih dari sejengkal di arah pahanya.
Terdengarlah suara tertawa meledak di
halaman itu. Panji Kenengkung tidak dapat menahan dirinya lagi, sehingga
ia terbungkuk-bungkuk menekan perutnya dengan kedua tangannya. Suara
tertawanya berderai memenuhi seluruh padesan.
Kini Ken Arok tidak akan dapat tetap
tinggal diam. Kalau ia tidak segera berbuat sesuatu maka Kunal akan
menjadi lebih gila lagi. Bahkan mungkin ia akan menjadi telanjang di
halaman itu karena seluruh pakaiannya akan di kait oleh tombak pendek
itu.
“Baiklah” berkata Ken Arok tiba-tiba sehingga Kunal terperanjat, “Kau sudah mulai. Aku pun harus segera mulai pula”.
Perlahan-lahan Ken Arok melangkah
kesamping. Sama sekali tidak ada kesan apapun pada dirinya. Ia masih
tetap tenang seperti juga Panji Bawuk tetap tenang. Diletakkannya
bungkusan pakaiannya di atas tanah di bawah sebatang pohon melinjo.
“He, apa kau mau lari?” teriak panji Kunal.
Ken Arok menggeleng, “Sudah aku katakan. Aku akan melayani kau bermain-main”.
“Bagus, bagus” sahut Kunal sambil tertawa.
Ken Arok tnenjadi semakin muak
memandanginya. Karena itu, maka tumbuhlah keinginan di dalam hatinya
untuk membuat mereka menjadi jera.
“Tetapi”, pertanyaan itu tumbuh di dalam
hatinya “Apakah aku akan mampu berbuat demikian? Aku belum dapat
mengukur betapa tingkat ilmu masing-masing. Adalah tidak mustahil
apabila pada suatu ketika mereka akan berkelahi bersama-sama”.
Karena itu, maka Ken Arok harus tetap
berhati-hati. Ia tidak mau jatuh ke dalam keadaan yang tidak
menguntungkannya, sehingga untuk melawan anak itupun ia harus berada
dalam persiapan yang tertinggi.
“Ayo, cabut pedangmu, cepat” teriak Panji Kunal.
“Baik” sahut Ken Arok. Perlahan-lahan
tangannya meraba hulu pedangnya, dan perlahan-lahan pula ia mencabut
pedang itu dari wrangka di lambungnya.
“Pedang yang bagus” tiba-tiba Kuncang
berteriak, “Kalau kita berhasil membunuhnya, maka pedang itu adalah
milikku. Akulah yang pertama-tama melihat ia memasuki regol ini”.
Ken Arok berdesah di dalam hatinya “Agaknya Kuncang telah sampai pada maksud itu, membunuh, sebenarnya membunuh”.
“Tidak” teriak Panji Kunal, “Siapa yang berhasil membunuhnyalah yang akan memiliki pedang itu”.
“Kalau begitu akulah yang akan berkelahi
lebih dahulu” potong Kenengkung, “Supaya akulah yang berhasil
membunuhnya. Dengan demikian pedang prajurit itu akan menjadi milikku”.
“Jangan berebut dahulu” potong Panji
Bawuk “Kalian hanya terlampau banyak bicara. Aku yakin bahwa Ken Arok
tidak akan dengan senang hati menyerahkan lehernya. Nah, sekarang Kunal,
mulailah. Hati-hatilah. Aku ingin melihat bagaimana ia menggerakkan
pedangnya yang bagus itu, supaya aku dapat menilai, siapakah kira-kira
yang akan dapat membunuhnya”.
Kunal mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah” katanya.
Ken Arok yang sudah semakin muak melihat
anak-anak Bango Samparan itupun segera bersiap. Ia tidak mau memandang
1awannya terlampau rendah, meskipun masih cukup muda. Ia menyadari,
bahwa sikap yang demikian kadang-kadang dapat menyesatkan seseorang ke
dalam kekalahan.
Karena itu ketika Kunal mendekatinya lagi dengan tombak pendeknya, maka segera ia pun bersiap.
“Cepat Kunal” teriak Kuncang yang tidak
sabar lagi. Panji Kunal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan
cepatnya ia meloncat langsung menyerang Ken Arok. Mata tombaknya mematuk
ke dadanya, seperti paruh burung rajawali yang menyambar dari udara.
Tetapi Ken Arok telah siap. Dengan
sigapnya ia meloncat kesamping menghindari serangan itu. Dan seperti
yang telah diduganya, Kunal pasti akan mempergunakan kaitan tombaknya,
ketika ia menarik tombak itu. Dan ternyata dugaannya itu benar. Kunal
memutar tombaknya dan mencoba mengait pelipis Ken Arok pada saat ia
menarik tombaknya.
Tetapi tombak berkait itu sama sekali
sudah tidak mengejutkan lagi bagi Ken Arok. Dimiringkannya kepalanya
sedikit, dan kait pada ujung tombak itu meluncur disamping keningnya.
Panji Kunal menggeram. Ternyata
serangannya sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Ia ingin
melihat darah yang segera memencar dari pelipis Ken Arok. Tetapi Ken
Arok berhasil menghindarinya.
Kunal yang masih muda itu segera
memperbaiki sikapnya. Tombaknya bergetar secepat getar jantungnya.
Beberapa langkah ia berputar, mencari kesempatan untuk menyerang lagi.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya
pula. Tetapi ia harus memperhitungkan pula orang-orang yang tidak sedang
terlibat dalam pertempuran. Ken Arok tidak dapat mempercayai mereka
sepenuhnya, bahkan mereka akan berkelahi secara jantan sepenuhnya. Dalam
kesempatan yang tak terduga-duga dapat saja salah seorang dari mereka
menyerangnya dengan licik. Apalagi apabila salah seorang dari mereka
mengalami kekalahan.
Kunal yang melangkah berputaran itu,
tiba-tiba meloncat menyerang kembali sambil menggeram. Tombaknya mematuk
dengan cepatnya, melingkar dengan tiba-tiba pula dan berputar sekali
lagi. Beberapa macam gerak yang tidak terduga-duga membuat lawannya
kehilangan kesempatan untuk mengerti, apakah yang dilakukannya.
Tetapi Ken Arok bukan lawan yang mudah
menjadi bingung dan kehilangan akal. Bahkan segera ia mengerti, bahwa
lawannya masih terlampau hijau dan sederhana. Yang ingin membuat
bermacam-macam cara untuk membingungkan musuhnya, seolah-olah lawannya
tidak dapat membuat perhitungan-perhitungan yang lebih baik dan akan
segera kehilangan akal karena ujung tombak lawannya berkeliaran
diseputar tubuhnya.
Ken Arok telah kenyang menyimpan
pengalaman di dalam dirinya sama sekali tidak menjadi bingung. Ia masih
tetap tenang dan bahkan berdiri tegak ditempatnya. Hanya matanya sajalah
yang mengikuti ujung tombak berkait di tangan Panji Kunal.
Tetapi dada Ken Arok menjadi
berdebar-debar ketika ia mendengar Panji Bawuk tertawa. Katanya “Kunal,
kenapa kau berkelahi seperti menghalau burung di sawah? Lawanmu kali in
adalah seorang prajurit Istana Tumapel yang terkenaL. Lebih daripada itu
ia adalah seorang penyamun yang paling menggemparkan diseluruh Tumapel
pada suatu saat. Hati-hatilah, ia tidak akan dapat kau takut-takuti
dengan cara yang menggelikan itu. Kau akan kehilangan pengamatan diri
karena kau sendiri sibuk menari tanpa arti apapun dalam perkelahian itu.
Cobalah dengen cara yang lain. Tetapi sebaiknya kau berkelahi
berpasangan dengan Kenengkung. Aku mulai menjadi cemas melihat sikap Ken
Arok. Agaknya ia benar-benar yakin dapat menguasai kalian. Lihat,
apakah ia tampak cemas atau berdebar-debar setelah melihat seranganmu
yang menggelikan itu. Ayo, cepat, mulailah berpasangan”.
“Bagus” teriak Kenengkung ”Aku ikut”.
Tetapi Panji Kunal menjadi kecewa, katanya “Aku ingin membunuhnya sendiri kakang. Sendiri, tanpa Kenengkung”.
“Jangan terlampau sombong” jawab Panji Bawuk “Kalau Ken Arok bersungguh-sungguh, maka kaulah yang akan terbunuh”.
“Tidak, aku mampu membunuhnya”.
“Jangan keras kepala” kemudian, kepada Kenengkung ia berkata “Ayo, cepat. Masuklah ke gelanggang”.
Tetapi Kenengkung menjadi ragu-ragu. Agaknya Kunal tidak begitu senang apabila ia ikut membantunya.
“Cepat” tiba-tiba Panji Bawuk berteriak
tinggi. Kenengkung menjadi takut, dan Kunal pun tidak mau membantah
lagi. Sehingga dengan demikian Ken Arok kini harus berhadapan dengan dua
orang lawan yang masih cukup muda.
Namun dengan demikian Ken Arok mendapat
gambaran bahwa keempat anak Bango Samparan itu benar-benar ingin
mempermainkannya dengan segala cara. Tetapi juga tidak mustahil, bahwa
akhir dari permainan itu adalah kematian yang sebenarnya baginya,
apabila ia tidak berhasil membela dirinya sebaik-baiknya.
Tetapi meskipun demikian, betapa
kemarahan menyala di dada Ken Arok, ia masih tetap tidak kehilangan
akal. Dengan demikian, maka ia masih tetap menekan sedalam-dalamnya
nafsunya untuk membunuh. Ia masih tetap menyadari dirinya. Apabila ia
membunuh hanya karena kemarahan dan dendam, maka ia akan menodai
kedudukannya sendiri, yang justru harus berbuat sebaliknya. Melindungi
kelemahan dan meluruskan kesalahan dalam pengertian, menuntun mereka
kembali kepada jalan yang lurus, bukan harus membinasakan tanpa
pertimbangan.
Melawan kedua kakak beradik yang terkecil
dari saudara-saudara anak Bango Samparan itupun, Ken Arok tidak menjadi
waringutan dan bermata gelap. Ternyata mereka masih benar hijau dalam
olah senjata. Mereka lebih senang menari dan mencoba menipu lawannya
dengan gerak-gerak yang tidak berarti, sehingga apabila mereka harus
berkelahi dalam waktu yang agak lama maka mereka akan segera kehabisan
nafas.
Tetapi karena mereka berdua, maka Ken
Arok pun harus lebih berhati-hati lagi. Ia mencoba menyesuaikan dirinya
pada kedua lawannya. Dengan lincahnya ia pun berloncatan, dan
menggerakkan senjatanya dengan ayunan-ayunan yang manis, seperti juga
kedua lawannya yang sedang menari. Sekali-kali senjata mereka memang
berbenturan, tetapi sama sekali tidak menumbuhkan tekanan-tekanan yang
berarti. Meskipun demikian sekali-kali Ken Arok memberi peringatan pula
kepada lawannya. Ujung pedangnya kadang-kadang berhasil menyentuh
pakaian Kunal dan Kenengkung, bahkan kemudian kulitnya.
“Setan alas” kadang-kadang Kenengkung yang masih terlalu muda itu mengumpat. Geraknya menjadi semakin cepat dan lincah. Namun dalam tanggapan Ken Arok, ia pasti akan segera kehabisan tenaga.
“Setan alas” kadang-kadang Kenengkung yang masih terlalu muda itu mengumpat. Geraknya menjadi semakin cepat dan lincah. Namun dalam tanggapan Ken Arok, ia pasti akan segera kehabisan tenaga.
Justru karena lawan-lawannya itulah, maka
kemarahan di dalam dada Ken Arok menjadi reda. Ia benar-benar tidak
sampai hati untuk melukai lawannya yang masih belum dapat berbuat
terlampau banyak dengan senjata-senjata mereka yang garang. Tetapi,
apakah demikian juga kedua kakak-kakaknya yang terbesar?
Ken Arok bertempur sambil berteka-teki di
dalam hatinya. Sekali-kali ia mencoba memandang wajah Panji Kuncang
yang tegang dan Panji Bawuk yang tersenyum-senyum. Ia tidak segera dapat
mengerti apakah yang bergolak di dalam dada kedua orang itu. Tetapi
menilik sikapnya, maka mereka berdua mempunyai tanggapan yang berbeda
atas kedua adik-adik mereka yang sedang berkelahi.
Ternyata Panji Kunal dan Kenengkung
sendiri tidak dapat menjajagi kemampuan lawannya. Karena Ken Arok
berkelahi sambil berloncatan, maka mereka menyangka, bahwa Ken Arok pun
telah mempergunakan segenap kemampuannya untuk melawan mereka berdua.
Karena itu maka mereka menjadi semakin bernafsu. Kalau sekali-sekali
ujung senjata Ken Arok menyentuh kulit mereka, maka mereka pun segera
menggeram dan mengumpat-umpat.
Kunal dan Kenengkung pun semakin lama
menjadi semakin dalam tenggelam dalam perkelahian yang kurang dapat
mereka nilai. Mereka telah memeras segenap kemampuan yang ada di dalam
diri mereka. Namun mereka sama sekali tidak berhasil melukai lawannya,
bahkan menyentuh pun tidak. Karena itu, kemarahan di dalam dada mereka
serasa menjadi semakin menyala. Mereka memeras tenaga mereka tanpa
perhitungan didorong oleh keinginan mereka untuk segera menjadi seorang
pahlawan.
Kuncang memandang perkelahian itu dengan
wajah yang tegang. Ia tahu, bahwa kedua adiknya tidak akan dapat
mengalahkan Ken Arok. Tetapi ia pun tidak mendapat penilaian yang
sebenarnya tentang lawan kedua adik-adiknya. Meskipun demikian ia
mengerti, bahwa ternyata Ken Arok bukanlah seorang yang dapat dibuat
permainan yang menyenangkan seperti yang mereka sangka.
Kemarahan di dalam dada Kuncang pun
menjadi semakin menyala. Ia hamper-hampir tak dapat mengekang dirinya
lagi ketika ia melihat kedua adiknya seakan-akan tidak mampu berbuat
apapun selain meloncat-loncat dan melonjak-lonjak. Setiap kali mereka
kehilangan sasaran dan terkejut oleh sentuhan-sentuhan senjata lawan.
Bahkan sekali-sekali Ken Arok mengenai mereka tidak dengan ujung pedang,
tetapi dengan ujung-ujung jari tangan kirinya. Demikian kuat tekanan
ujung-ujung jari Ken Arok, sehingga Kunal, yang terdorong oleh kekuatan
jari-jari Ken Arok itu pun terhuyung-huyung baberapa langkah, dan hampir
saja ia jatuh terjerembab.
“Setan” Kunal mengumpat. Dengan segenap
tangannya maka ia menyerang sejadi-jadinya. Tombaknya mematuk-matuk
dengan cepatnya, tetapi sudah kehilangan keseimbangan. Apalagi
Kenengkung. Ia bahkan menjadi bingung dan kadang-kadang kedua anak-anak
muda itu saling berbenturan di antara mereka sendiri.
Panji Bawuk melihat perkelahian itu
sambil tertawa-tawa. Kadang-kadang suara tertawanya meninggi.
Kadang-kadang merendah. Namun kadang-kadang wajahnya pun menjadi
kerkerut-merut membayangkan ketegangan di dalam dadanya. Tetapi karena
sikapnya, karena bayangan-bayangan yang berbeda-beda diwajahnya, maka
Ken Arok pun tidak segera dapat menebak kesan daripadanya.
Kesan yang didapatnya pada wajah Kuncang
menjadi semakin nyata. Ketegangan dan gemeretak giginya mengatakan,
bahwa Kuncang pun akan segera turun ke gelanggang.
Dugaan Ken Arok memang tidak salah.
Ketika Kunal dan Kenengkung telah menjadi terengah-engah dan
hampir-hampir kehabisan nafas, maka terdengar Kuncang berteriak,
“Minggir setan-setan kecil. Kalian tidak akan mampu menyelesaikannya.
Akulah yang akan membunuhnya dan memiliki pedang yang bagus itu”.
“Aku belum puas”, teriak Kunal. Tetapi
nafasnya hampir putus “Aku dan Kenengkung akan mampu menyelesaikan
pekerjaan ini. Nanti kau tinggal menguburnya di bawah rumpun bambu itu”.
“Minggir”, Panji Kuncang berteriak, “Jangan menunggu sampai lehermu terpenggal”.
Suara Kuncang ternyata telah mengejutkan
Kunal dan Kenengkung, bahkan Panji Bawuk pun mengerutkan keningnya pula.
Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Agaknya ia ingin melihat,
apakah yang dapat dilakukan oleh adiknya dan untuk menilai sampai puncak
kemampuan Ken Arok itu.
Panji Kunal dan Kenengkung pun kemudian
berloncatan menepi. Apapun yang mereka katakan, tetapi mereka harus
mengakui bahwa sebenarnyalah bahwa mereka tidak akan mampu melawan Ken
Arok berdua.
Kini mereka berdiri menepi. Mereka
melihat Kuncang dengan mata menyala karena kemarahan yang membakar
dadanya, maju setapak demi setapak mendekati Ken Arok yang berdiri tegak
dengan pedang ditangannya.
“Hem, kau merasa bangga, bahwa kau dapat mengalahkan bayi-bayi ingusan itu?”
Ken Arok menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. Aku berbangga sekali”.
Jawaban itu sama sekali tidak
terduga-duga oleh Panji Kuncang sehingga juttru ia terdiam sejenak.
Namun yang terdengar adalah suara Panji Bawuk, “Hati-hatilah Kuncang.
Orang ini agaknya cukup berbisa. Lihat, betapa tenang matanya dan betapa
yakin ia menggenggam pedangnya”.
Ken Arok berpaling. Dipandanginya wajah
Panji Bawuk sekilas. Kini orang itu tidak lagi tersenyum-senyum.
Wajahnya menjadi semakin bersungguh-sungguh.
“Kenapa dengan tikus itu”, mereka
dikejutkan oleh pertanyaan dari pintu rumah mereka. Serentak mereka
berpaliug, dan melihat isteri muda Bango Stmparan berdiri bertolak
pinggang, “Apakah kalian tidak mampu menyelesaikan”.
“Tunggu”, terdengar suara Bango Samparan
pula. Dijengukkannya kepalanya dari balik pintu rumahnya di belakang
isteri mudanya, “Hentikan pertengkaran itu”.
“Apa, apa?” isteri mudanya berteriak
sambil memutar tubuhnya. Sekali lagi ia menyeret Bango Samparan
menghilang di balik pintu rumahnya.
Sekali lagi Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam. Bango Samparan benar-benar tidak berdaya menghadapi istri
mudanya. Sampai pada persoalan nyawa sekalipun ia tidak berani berbuat
sesuatu.
Ken Arok menengadah wajahnya ketika ia
mendengar Kuncang berkata sambil menggeretakkan giginya “Sekarang kau
lawan aku Ken Arok. Kalau kau masih juga ingin memperpanjang umurmu
barang sekejap, ayo, lawanlah”.
Dan tanpa diduganya pula Ken Arok menjawab “Aku ingin memperpanjang umurku tidak hanya sekejap”.
“Apa kau sangka kau akan mampu meninggalkan halaman ini?” teriak Kuncang.
“Ya, aku memang mengira bahwa aku akan
keluar dari halaman ini dengan selamat dan tanpa rintangan apa pun. Aku
dapat berbuat sekehendakku tanpa seorang pun dapat menahan. Kalian juga
tidak”.
Kemarahan Kuncang telah membakar seluruh kepalanya, sehingga tanpa berbicara lagi, ia langsung melompat sambil menyerang.
Terasa oleh Ken Arok, bahwa serangan ini
sama sekali berbeda dengan serangan Kenengkung dan bahkan Kunal.
Meskipun Kuncang adalah kakak langsung Panji Kunal, namun ternyata
tingkat ilmu mereka agak jauh berbeda. Kuncang memiliki tenaga yang
cukup kuat, serta kecepatan bergerak yang tinggi. Dalam saat-saat
permulaan dari perkelahian itu, senjatanya telah berputaran dengan
dahsyatnya.
Untuk melawannya Ken Arok harus menjadi
semakin berhati-hati. Kuncang yang agaknya memiliki pengalaman yang
cukup luas, seperti yang dikatakan oleh kakaknya, bahwa ia mampu menjaga
dirinya terhadap lawan-lawannya.
“Lawanmu kali seorang Pelayan Dalam
Istana Tumapel Kuncang” berkata Panji Bawuk, “Pelayan tidak berbeda
dengan seorang prajurit. Apalagi prajurit yang satu ini mempunyai
pengalaman yang luas sekali. Mungkin sebagai seorang prajurit ia belum
mendapat pengetahuan apapun, karena selama ini ia sekedar menjadi
petugas yang diletakkan di Padang Karautan, bukan untuk berperang,
tetapi untuk membuat bendungan. Namun pengalamannya sebagai penyamun
yang berkeliaran di segala tempat, agaknya sangat berbahaya bagimu”.
Panji Kuncang menggeram. Namun tandangnya
menjadi semakin garang. Senjatanya mematuk-matuk dari segala arah,
berputaran seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya.
Ken Arok kini tidak lagi dapat
bermain-main, seperti pada waktu ia berkelahi melawan Kunal dan
Kenengkung. Sambaran senjata Kuncang cukup berbahaya baginya. Parang
yang panjang itu terayun-ayun, dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian mereka segera terlibat
dalam perkelahian yang sengit. Kadang terdengar dentang senjata mereka
beradu. Semakin lama semakin sering. Kuncang pun menjadi semakin
bernafsu. Benturan-benturan senjata di antara mereka, sama sekali tidak
mencemaskan hati Panji Kuncang. Tangan Ken Arok ternyata terasa
terlampau kuat. Benturan-benturan yang terjadi, tidak menggetarkan
parangnya. Bahkan sekali-kali Ken Arok terpaksa berloncatan surut.
“Akan lari kemaua kau anak setan?”
teriak Kuncang. Ken Arok tidak menjawab. Ia sedang mencoba mendapatkan
kesan dari Panji Bawuk, saudara tertua dari anak-anak Bango Samparan
itu.
Wajah Panji Bawuk yang semula mulai
menegang kini telah tampak dibayangi oleh senyumnya yang penuh rahasia
itu lagi. Ia melihat bahwa Kuncang segera dapat mendesak lawannya.
Ketika Ken Arok terdorong beberapa langkah surut, maka Panji Bawuk itu
tertawa sambil berkata ”Nasibmu memang terlampau jelek hari ini Ken
Arok. Selama ini kau mendapat kesempatan yang tidak terduga-duga. Kau
pada saat-saat kelaparan datang merunduk-runduk ke rumah ini, tetapi
setelah kau menjadi seorang prajurit yang agak baik, kau sudah melupakan
kami. Kau tidak pernah lagi menginjakkan kakimu di halaman rumah ini.
Dan kini, aku tidak tahu, nasib apakah yang telah menuntunmu kemari. Eh,
barangkali kau jumpa dengan ayah diperjalanan dan kau tahu bahwa ayah
sedang berusaha untuk memiliki seberkas perhiasan sehingga kau dengan
merunduk-runduk pula datang kemari”.
Dada Ken Arok berdesir mendengar
kata-kata Panji Bawuk. Agaknya mereka, anak-anak Bango Samparan itu
telah tahu, bahwa Bango Samparan membawa seikat perhiasan.
“Jangan ingkar Ken Arok. Perhiasan itulah yang menuntunmu kemari”.
Tanpa sesadarnya tiba-tiba Ken Arok bcrtanya, “Darimana kau tahu hal itu?”
Panji Bawuk tertawa terbahak-bahak. Disela-sela suara tertawanya ia berkata, “Ha, dengan tidak langsung kau mengaku bukan?”
Ken Arok tidak menjawab, karena serangan Panji Kuncang menjadi semakin dahsyat membelit dirinya.
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara Bango Samparan, “Darimana kau tahu he, dari mana?”
Suara tertawa Panji Bawuk semakin
menggelegar. Las-lasan ia berkata, “Seseorang singgah kemari. Nafasnya
terengah dan bahkan ia hampir mati. Katanya, ayah sedang berkelahi
dibantu oleh seorang anaknya laki-laki. Ayah sedang memperebutkan
seberkas perhiasan yang sangat berharga. Nah, benarkah kata-kata orang
itu?”
“Kalau kau dengar kabar itu, kenapa kalian tidak segera datang membantu?” bantah Bango Samparan dari dalam rumahnya.
“Ayah telah disertai seorang anaknya.
Anak laki-laki yang tampan dan bernama Ken Arok. Buat apa kami datang
membantu ayah? Bukankah ayah telah berhasil memenangkan perkelahian itu
dan membawa seberkas perhiasan pulang? Nah, kini datang gilirannya untuk
menyingkirkan Ken Arok, supaya ia tidak ikut serta berebut perhiasan
itu. Bukankah persoalannya menjadi jelas? Perhiasan itu hanya boleh
jatuh ketangan kami, keluarga kami. Tidak kepada orang lain yang selama
kami dalam kesulitan sama sekali tidak mau tahu, meskipun pada saat
kelaparan ia menjilat kaki kami”.
Ken Arok yang masih bertempur melawan
Panji Kuncang mendengarkan keterangan-keterangan Panji Bawuk itu dengan
getar yang semakin cepat di dadanya. Agaknya seseorang yang telah
singgah di rumah ini, adalah kawan Bango Samparan yang masih hidup dan
melarikan diri dalam kesempatan yang diberikan oleh Ken Arok. Agaknya
orang itu tahu, bahwa Bango Samparan tidak juga segera lari meninggalkan
arena, sehingga ia memerlukan singgah di rumah Bango Samparan untuk
mengabarkan hal itu.
“Nah Ken Arok”, berkata Panji Bawuk,
“Agaknya sudah jelas bagimu, kenapa kami bernafsu untuk membunuhmu. Bagi
kami lebih baik membunuh kau sama sekali dari pada mengusir kau dari
halaman ini. Sebab dengan demikian, persoalan antara kita belum dapat
dianggap selesai. Tetapi kalau kau sudah terbunuh, maka tidak akan ada
persoalan lagi di antara kita tentang permata itu”.
Ken Arok msnjadi semakin muak melihat
sikap-sikap itu, sehingga ia tidak dapat menahan hati lagi untuk
menjawab sambil berkelahi, “He, Panji Bawuk, apakah kau sudah melihat
permata yang kau katakan itu?”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Tetapi
kemudian ia tertawa, “Tentu belum. Bukankah kalian baru saja datang?
Tetapi apabila kau sudah mati, maka kami akan segera melihatnya”.
“Bagaimana kalau permata itu sama sekali tidak berharga, karena dipalsukannya”.
“He?” wajah Panji Bawuk menegang, tetapi
sekali lagi ia tertawa, “O, kau sedang mencari jalan untuk menyelamatkan
dirimu Ken Arok? Jangan kau sangka, bahwa kami akan mempercayaimu.
Seandainya permata itu palsu sekalipun, kami tidak akan terugikan karena
kami telah membunuhmu”.
Yang terdengar adalah gemeretak gigi Ken
Arok. Seolah-olah ia sudah tidak akan mampu lagi menekan diri.
Seandainya, seandainya ia bukan seorang prajurit, seandainya ia tidak
pernah tinggal di rumah ini sebagai seorang anak yang hampir kelaparan,
seandainya isteri tua Bango Samparan tidak terlampau baik kepadanya,
seandainya, seandainya ya banyak sekali persoalan yang harus
dipertimbangkan.
“Akibat dari keadaanku masa lalu, ketika
aku mendapat perlakuan baik dari orang-orang di sekitarku. Aku tidak
dapat melupakan hutang budi itu”.
Tetapi sikap keempat anak-anak muda itu benar memuakkan Ken Arok.
Dalam pada itu Panji Bawuk berkata, “Ken
Arok, kami sudah mendengar seluruhnya, meskipun dengan singkat. Bahwa,
kau telah berkelahi melawan seseorang yang disangka membawa
permata-permata itu”.
“Tetapi aku hanya memberi kesempatan
kepada orang itu dan kepada ayah untuk lari, sampai datang saatnya aku
sendiri lari dari arena” Ken Arok mencoba membantah.
“O, begitu?” suara Bango Samparan
meninggi, “tetapi Ken Arok kalau begitu, maka kau tidak akan singgah
kemari. Kalau kau dan ayah tidak berbasil bersama-sama membunuh orang
yang disebutnya bekas seorang prajurit Kediri itu, kau pasti tidak akan
sudi lagi menginjakkan kakimu di halaman yang pasti kau anggap terlampau
kotor ini, karena kakimu biasa berpijak di halaman istana yang
gilar-gilar seperti permadani”.
Dada Ken Arok menjadi kian menyesak.
Itulah penilaian orang seperti Panji Bawuk terhadapnya, seperti ia
menilai dirinya sendiri. Anak sulung Bango Samparan itu menganggap bahwa
setiap orang selalu dicengkam oleh pamrih yang berlebih-lebihan,
sehingga tanpa pamrih, maka. seseorang pasti tidak akan berbuat sesuatu.
Panji Bawuk itu mengangkat wajahnya
ketika ia mendengar suara Bango Samparan berteriak dari dalam rumahnya,
“Kau keliru Bawuk. Ken Arok sebenarnya tidak tahu menahu tentang
permata-permata yang kau katakan itu”.
“Diam kau” teriak isteri mudanya.
“Tetapi anak-anak itu harus bersikap adil”.
“Sikap yang dilakukannya sekarang adalah sikap yang seadil-adilnya”.
“Tetapi mereka hanya bernafsu untuk membunuh tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya”.
“Apakah kau sudah mulai lagi he?” isteri
mudanya itu berteriak semakin keras, “Kau akan membela anak keparat
itu? Ayo, lakukan, lakukan?”
“Bukan begitu, aku ingin semua menjadi baik tanpa kekerasan seperti ini”.
“Kapan kau menjadi takut melihat kekerasan. Sejak kapan he?”
Suara Bango Samparan terdiam ketika
isterinya berteriak dan berteriak semakin keras. Sedang di halaman
perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok masih berlangsung dengan
serunya. Namun dalam pada itu, Ken Arok telah menemukan rahasia
perlawanan Panji Kuncang. Setelah Panji Kuncang mengerahkan
kemampuannya, maka segera Ken Arok tahu, bahwa anak ini pun sama sekali
bukan lawannya. Meskipun demikian, Ken Arok tidak segera berbuat
terlampau jauh. Kekangan atas dirinya sendiri masih cukup kuat. Apalagi
pedang yang dibawanya adalah pedang keprajuritan Tumapel. Apabila pedang
itu mencabut nyawa seseorang, maka ia harus mempertanggung jawabkan
sepenuhnya, bertanggung jawab sebagai seorang prajurit, apalagi sebagai
seorang yang pernah berlindung di dalam rumah ini juga pada saat yang
paling sulit.
Itulah sebabnya maka Ken Arok selalu
mengekang kemarahan dan segala macam perasaan muak di dalam dadanya.
Dilayaninya saja Panji Kuncang seperti ia melayani anak-anak sedang
bermain-main. Betapapun lincah dan cepatnya Kuncang mempermainkan
senjatanya, namun bagi Ken Arok yang pernah berkelahi melawan seseorang
semacam Kebo Sindet, maka pekerjaannya kali ini terasa tidak terlampau
berat. Yang sangat berat baginya justru bagaimana ia tetap mampu
menguasai perasaannya yang ingin melonjak-lonjak.
“Tetapi apakah Panji Bawuk masih juga
setingkat dengan adiknya?” bertanya Ken Arok di dalam hatinya. Tetapi
menilik sikap dan ketenangannya, maka anak muda itu benar-benar harus
diperhitungkan.
Sementara itu perempuan tua yang semula
berdiri di samping rumah kini tegak bersandar dinding. Ia tidak sampai
hati melihat Ken Arok mengalami perlakuan yang demikian jeleknya dari
anak-anak madunya, meskipun madunya itu saudaranya sendiri. Tetapi ia
berkeinginan untuk melihat akhir dari peristiwa yang sangat menyakitkan
hati itu. Karena itu, kadang-kadang ia mencoba melihat perkelahian itu
dari sela-sela dedaunan, namun kadang-kadang ia menutup wajahnya dengan
kedua tangannya.
Panji Kuncang yang tidak segera berhasil
mengalahkan lawannya, menjadi semakin marah. Menurut penilaiannya, Ken
Arok bukan lawan yang terlampau berat. Benturan-benturan senjata
diantara mereka, sama sekali tidak menumbuhkan getaran yang mengganggu
tangannya. Namun, sampai begitu lama, ia sama sekali tidak berhasil
menyentuh lawannya.
Sedang Ken Arok yang telah menemukan
penilaian yang mantap, membiarkannya berkelahi sampai ia kehabisan
tenaga. Ken Arok ingin, Kuncang nanti tidak akan mengganggunya apabila
Panji Bawuk yaag harus dilawannya. Kalau tenaga Kuncang ini sudah
terperas habis, maka peranannya sama sekali sudah tidak akan berarti
lagi meskipun ia akan membantu kakaknya nanti. Itulah sebabnya Ken Arok
membiarkannya berkelahi terus, seolah-olah keadaan mereka tetap
seimbang, sedang bagi Ken Arok permainan yang demikian sama sekali tidak
melepaskan terlampau banyak tenaga. Tenaga yang tersimpan di dalam diri
anak muda yang ajaib itu. Tenaga yang mampu menyamai tenaga beberapa
orang pilihan.
Meskipun tampaknya perkelahian antara
Panji Kuncang dan Ken Arok itu menjadi semakin seru, tetapi sebenarnya
tidak terjadi apapun atas Ken Arok itu. Nafasnya masih tetap teratur dan
tenaganya masih tetap segar, meskipun ia berusaha menunjukkan bahwa ia
pun telah menjadi lelah.
Maka perhatian Ken Arok selanjutnya pasti
akan terpusat kepada Panji Bawuk. Meskipun Ken Arok tidak akan
meremehkannya, namun menilik tingkat ilmu Panji Kuncang, maka
setidak-tidaknya ia tidak akan menjadi bahan permainan yang menyenangkan
bagi Panji Bawuk. Bahkan seandainya mereka berempat bergabung menjadi
satu, maka Ken Arok masih juga akan mampu bertahan.
Tetapi Ken Arok tidak boleh segera
berbesar hati. Ia belum pernah melihat Panji Bawuk berbuat sesuatu.
Itulah sebabnya, maka ia masih harus tetap berwaspada.
Namun ia masih tetap dalam pendiriannya,
membuat Kuncang tidak berdaya tanpa membuat persoalan menjadi semakin
parah. Kalau Kuncang nanti berhenti dengan sendirinya karena kelelahan,
maka kesannya pasti akan berbeda daripada ia menjatuhkannya, atau
melukainya bahkan membunuhnya.
Demikianlah maka perkelahian itu masih
juga berlangsung dengan sengitnya. Panji Bawuk yang telah mulai
tertawa-tawa itu kini menjadi tegang kembali. Wajahnya mulai
berkerut-merut dan dari matanya yang menyimpan seribu macam rahasia itu
terpancar seribu macam pertanyaan.
Kini ia mengikuti perkelahian itu dengan
saksama. Tetapi ternyata Ken Arok dapat melakukan peranannya dengan
sempurna. Bahkan kemudian memang timbul di hati Ken Arok, untuk
mempermainkan anak-anak Bango Samparan yang sambong itu.
“Aku harus membuat mereka jera” katanya
di dalam hati, “Mereka harus menyadari, bahwa mereka bukan orang yang
paling kuat di dunia. Bahwa mereka tidak dapat berbuat sewenang-wenang
dan sekehendak mereka sendiri tanpa mengingat kepentingan orang lain”.
Kini Ken Arok telah berhasil mengatasi
kesulitan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak lagi dicengkam oleh
kebencian dan muak yang berlebih-lebihan sehingga tidak lagi tumbuh niat
di dalam hatinya, betapapun buramnya, nafsu untuk membinasakan
lawannya, yang harus dikekangnya kuat-kuat.
Tetapi yang terjadi atas Panji Kuncang
adalah sebaliknya. Kalau Ken Arok kini telah menemukan kemantapan diri,
sehingga perasaannya tidak lagi bergejolak, maka Panji Kuncang menjadi
semakin membara dibakar oleh kemarahannya. Apapun yang telah
dilakukannya, sama sekali tidak berhasil membuat lawannya lumpuh.
Meskipun kadang-kadang ia berhasil mendesak Ken Arok, dan bahkan
berhasil mendorongnya beberapa langkah surut dan tampaknya menjadi
kebingungan, namun setiap kali lawannya itu berhasil menemukan
keseimbangannya lagi.
Dengan demikian, maka semakin lama Panji
Kuncang menjadi semakin bermata gelap. Tandangnya menjadi semakin kasar
dan tidak terarah. Ia menyerang sejadi-jadinya, semakin lama semakin
garang dan bahkan menjadi liar seperti serigala mencium bau darah.
Tetapi seekor kambing yang sudah berada di depan hidungnya tidak
berhasil segera diterkamnya.
Namun semakin bernafsu, maka Kuncang
semakin mengerahkan segenap tenaganya. Keringatnya membasahi segenap
tubuhnya seperti terperas. Kulitnya yang berwarna sawo menjadi
kemerah-merahan dan berkilat tersentuh sinar matahari yang menyusup dari
sela-sela dedaunan. Sehingga dengan demikian maka ia telah hampir
kehilangan pengamatan atas gerak dan sikapnya. Kadang-kadang ia bahkan
kehilangan keseimbangan karena tenaganya sendiri. Ayunan senjatanya
sendiri kadang-kadang telah menyeretnya sehingga anak muda itu hampir
jatuh terjerembab.
Dalam keadaan yang demikian, betapapun
Ken Arok mencoba menyesuaikan dirinya, namun mata Panji Bawuk yang aneh
itu akhirnya melihat juga kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Ken
Arok telah terlampau banyak melepaskan kesempatan yang dapat
dipergunakan untuk membinasakan lewannya seandainya ia mau. Tetapi
kesempatan itu dilampauinya saja. Betapa ia membuat dirinya seperti
lawannya, namun kemudian menjadi semakin jelas, bahwa ia telah berbuat
tidak sewajarnya.
Justru sikap itulah yang telah membuat
dada Panji Bawuk serasa menjadi retak. Baginya itu adalah suatu
penghinaan. Penghinaan tiada taranya bagi adiknya dan sudah tentu bagi
dirinya sendiri.
Panji Bawuk itu pun menggeretakkan
giginya. Wajahnya kini seakan menyala. Ternyata bahwa tanggapan atas
perkelahian antara adiknya dan Ken Arok itu terlampau jauh meleset.
Untuk menebus penghinaan itu, maka Panji
Bawuk merasa perlu berbuat sesuatu yang dapat menghentakkan perasaan Ken
Arok, agar ia tidak menganggap, bahwa seluruhnya, keempat saudara itu
hanya sekedar pantas untuk dibawa bermain-main.
Karena itu, maka disela-sela gemeretak
giginya terdengar ia menggeram. Sekali lagi diamatinya perkelahian yang
semakin lama menjadi semakin lemah. Kadang-kadang Kuncang tidak lagi
dapat menahan tarikan senjatanya sendiri, sehingga ia jatuh di atas
lututnya. Namun sementara itu, Ken Arok pun tidak segera dapat
mengangkat pedangnya. Tertatih-tatih ia mencoba mendekati lawannya yang
sedang berlutut itu, tetapi sementara itu nafasnya sendiri seolah-olah
akan menjadi putus.
Tetapi Ken Arok itu terkejut, ketika
tiba-tiba ia mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring. Tanpa sesadarnya,
baik Ken Arok maupun Panji Kuncang tertegun. Mereka serentak berpaling,
dan melihat Panji Bawuk meloncat sambil mengayunkan parangnya dengan
dahsyatnya.
Semua dada mereka yang melihat serasa
terguncang. Parang Panji Bawuk yang terayun itu langsung menghantam
sebatang pohon kemiri yang sedang berbuah lebat.
Akibatnya benar-benar luar biasa. Yang
terdengar kemudian adalah derap buah-buah kemiri yang rontok di tanah.
Namun kemudian terdengar pula gemeretak batang kemiri itu.
Perlahan-lahan, semakin lama semakin keras. Perlahan-lahan batang kemiri
itupun bergerak pula. Semakin condong. Akhirnya terdengar suara gemuruh
di halaman rumah Bango Samparan, sehingga baik isteri mudanya, isteri
tuanya dan Bango Samparan sendiri berloncatan keluar dari rumahnya.
“Kenapa dengan pohon kemiri itu?” teriak isteri muda Bango Samparan.
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
Tetapi mereka melihat Panji Bawuk berusaha menarik pedangnya yang
terjepit di atas batang kemiri yang patah itu.
“Kau tebang pohon itu?” bertanya isteri muda Bango Samparan itu.
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia
berteriak kepada Ken Arok, “Nah anak yang sombong. Sekarang buatlah
penilaian atas keluarga kami. Kau telah mencoba menghina kami dalam
perkelahianmu melawan Kuncang dan anak-anak ingusan itu. Kau sangka
bahwa dengan demikian kau akan berhasil membujuk hati kami? Tetapi kau
salah. Penghinaan itu justru menuntut kepada keluarga kami untuk
membinasakan kau secepat-cepatnya. Jangan kau sangka, bahwa di antara
kami sama sekali tidak ada kekuatan yang dapat kami banggakan. Sekarang
kau dapat memperhitungkan, apakah kau mampu melawan ayunan parangku
dengan pedang prajuritmu. Kalau pedang itu tidak patah maka tanganmulah
yang akan patah. Nah, apakah kau akan mencobanya?”
Sesaat Ken Arok berdiri diam.
Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang seolah-olah sedang terbakar.
Matanya menyorotkan kebencian tiada taranya, serasa api yang menjilat
jantungnya.
“Kuncang, minggir” nada suara Panji Bawuk merendah.
“Aku hampir menyelesaikannya kakang” sahut Kuncang.
“Kau gila. Kunal dan Kenengkung pun sudah
gila. Kalian membuat keluarga kami malu. Apakah kau tidak sadar, bahwa
Ken Arok hanya sekedar mempermainkan kalian”.
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Di sela-sela nafasnya yang memburu ia menjawab, “Ken Arok hampir mati kehabisan nafas”.
“Kau yang gila. Kaulah yang akan mati
kehabisan nafas. Kau tidak sadar, bahwa Ken Arok sengaja memancingmu
untuk berkelahi terus dan membiarkan kau terkapar karena pokalmu
sendiri. Apakah kau sangka bahwa Ken Arok telah benar-benar kehabisan
nafas”.
“Ia sudah tidak mampu lagi mengayunkan pedangnya”.
“Anak gila. Kau adalah anak yang paling bodoh di dunia”.
Panji Kuncang masih akan menjawab. Tetapi
tiba-tiba Panji Bawuk itu meloncat dengan derasnya sambil mengayunkan
parangnya menyambar leher Ken Arok yang berdiri termangu-mangu.
Ken Arok terkejut melihat serangan yang
tiba-tiba itu. Mata parang Panji Bawuk meluncur seperti kuku-kuku
harimau yang terbang untuk menerkamnya.
Tetapi Ken Arok mempunyai tanggapan
naluriah yang terlampau tajam menghadapi suatu keadaan yang tiba-tiba.
Karena itu, maka seperti tergerak oleh dorongan urat-uratnya yang
bekerja sendiri, Ken Arok pun meloncat dengan cepatnya, menghindari
sambaran parang Panji Bawuk itu. Dengan sigapnya ia merendah,
melontarkan diri beberapa langkah kesamping.
Namun agaknya Panji Bawuk tidak berhenti.
Begitu kakinya berjejak di atas tanah, maka segera tubuhnya terlempar
kembali memburu lawannya dengan parang berputar seperti baling-baling.
Sekali lagi Ken Arok terus menghindar.
Kali ini ia menjadi semakin mapan, sehingga dengan lincahnya ia meloncat
beberapa langkah surut tanpa kesulitan apapun. Dan dengan segera pula
ia bersiaga untuk menghadapi seranganserangan Panji Bawuk selanjutnya.
Pedangnya kini bersilang di depan dadanya, lututnya sedikit merendah,
dan satu telapak tangannya terkembang di atas pergelangan tangannya yang
lain.
Tetapi Ken Arok itu menjadi heran. Panji
Bawuk tidak memburunya lagi. Kini ia berdiri tegak sambil menyeringai.
Katanya, “Kuncang, bukalah matamu. Itukah gambaran seseorang yang telah
kehabisan nafas dan bahkan hampir mati membeku. Itukah gambaran
seseorang yang sudah tidak mampu lagi menggerakkan pedangnya karena
kelelahan? Nah, bandingkan dengan jalan nafasmu sendiri. Apakah kau
dapat melihat perbedaannya? Dan apakah kau masih juga akan berkata bahwa
kau sudah hampir berhasil karena Ken Arok sudah kehabisan nafas?”
Panji Kuncang berdiri membeku seperti
tonggak yang terpancang di regol halaman. Kini ia baru menyadari
kebenaran kata-kata kakaknya, bahwa sebenarnya Ken Arok sama sekali
belum kehabisan nafas seperti yang diduganya.
Tiba-tiba terasa tengkuk Panji Kuncang
itu meremang, di samping keheranan yang menjalari hatinya. Kenapa Ken
Arok berbuat demikian? Kenapa ia berpura-pura kehabisan tenaga dan tidak
membunuhnya. Ketika ia jatuh berlutut, dan dengan susah payah berdiri
bertelekan senjatanya, adalah merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya
bagi Ken Arok untuk membunuhnya. Kalau bagi Ken Arok itu meloncat dan
mengayunkan pedangnya, maka ia pasti tidak akan mendapat kesempatan
untuk berbuat apapun. Pedang itu pasti akan menebas lehernya, atau
menghunjam di punggungnya. Tetapi Ken Arok tidak berbuat demikian.
“Anak itu harus memperhitungkan kehadiran
kakang Panji Bawuk”, Kuncang mancoba mencari jawab. “Seandainya ia
ingin berbuat demikian, ingin membunuhku, maka kakang Panji Bawuk yang
mumpuni itu pasti mampu mencegahnya”. Kuncang kini mengangguk-angguk,
tetapi pertanyaan itu timbul pula, “Tetapi kenapa ia tidak mencobanya,
bahkan berpura-pura kelelahan juga”.
Terasa benturan-benturan perasaan
bergejolak di dalam dada Panji Kuncang. Tetapi ia mencoba menemukan
jawabnya pada keterangan kakaknya, “Ken Arok dengan sengaja telah
menghina keluarga kami. Ia ingin melihat aku jatuh karena pokalku
sendiri. Dan penghinaan yang demikian benar-benar tidak dapat
dimaafkan”.
Kini Kuncang menggeretakkan giginya. Tetapi ia terbungkam ketika ia mendengar kakaknya bertanya, “Kau mau apa lagi he?”
Panji Kuncang menelan ludahnya.
Titik-titik keringat kini mengembun di atas keningnya, menetes satu-satu
ditubuhnya yang telah basah.
Kini Panji Bawuk berdiri dengan parangnya
tergenggam erat-erat. Dipandanginya Ken Arok dengan matanya yang merah
oleh kemarahan yang bergejolak tanpa terkendalikan lagi. Penghinaan itu
benar-benar membuatnya mata gelap.
“Sudahlah, sudahlah” suara Bango Samparan sendat.
“Hajar anak gila itu” teriak isteri mudanya.
“Sudahlah” berkata Bango Samparan pula.
“Ia menghina keluarga kami ayah” jawab
Panji Bawuk, “Ia menganggap bahwa kami tidak cukup bernilai untuk
bertempur beradu dada. Ia menganggap Kuncang seperti anak-anak yang
merengek-rengek berebut permainan. Dan Ken Arok sebagai saudara tua
merasa wajib untuk mengalah. Tetapi bukankah itu suatu penghinaan?
Apakah disangkanya kita tidak berani menitikkan darah? Bagiku ayah,
lebih baik mati ditebas senjata dari pada mendapat penghinaan serupa
itu”.
“Tetapi tidak baik kalian semakin jauh tenggelam dalam pertengkaran yang tidak berujung pangkal”.
“Aku akan membunuhnya”.
“Kalau kau berpangkal pada perhiasan-perhiasan itu, baiklah aku memberi penjelasan. Perhiasan itu sama sekali tidak ada padaku”.
Panji Bawuk mengerutkan keningnya.
Dipandanginya wajah ayahnya sejenak, kemudian wajah Ken Arok, ibunya dan
setiap wajah di halaman itu. Namun kemudian ia menggeram, “Aku tidak
percaya”.
“Aku berkata sebenarnya. Orang yang
membawa permata itu berhasil melarikan dirinya. Kami sudah berusaha
tetapi kami tidak berhasil”.
Sekali lagi Panji Bawuk terdiam. Sekali lagi ditatapnya wajah ayahnya dengan pandangan yang aneh.
“Kau menipu kami” teriak isteri mudanya,
“Kau pasti membawa perhiasan itu. Nah, kalau kau ingkar, maka apakah
perhiasan itu sudah kau janjikan akan kau berikan kepada Ken Arok?”
“O, kau mengigau lagi” Bango Samparan
mencoba mengelak, “Kalau aku ingin memberikan kepadanya, kenapa aku
membawanya kemari? Aku sudah dapat membayangkan kalau permata itu ada
padaku, dan Ken Arok datang ke rumah ini, maka yang akan terjadi adalah
seperti ini. Tetapi permata itu tidak ada padaku”.
Sejenak mereka terbungkam. Sorot-sorot mata mereka membayangkan perasaan yang tidak dapat ditebak.
Ken Arok ysng berdiri tegak ditempatnya,
merasakan seolah-olah dadanya telah diguncang-guncang oleh berbagai
macam perasaan. Ia mengumpat pula di dalam hatinya mendengar kata-kata
Bango Samparan yang mengingkari permata yang dibawanya. Kalau maksudnya
untuk mencegah perkelahian dan pertumpahan darah, Ken Arok menunduk
hormat kepadanya. Tetapi menilik sikap dan keadaan rumah itu, maka Bango
Samparan memang akan ingkar. Ia akan menyembunyikan permata itu, dan
tidak memperlihatkan kepada anak-anaknya.
Tiba-tiba mereka yang sedang termenung
itu dikejutkan oleh suara Panji Bawuk “Persetan dengan permata itu. Ken
Arok sudah menghina kami. Ia harus mati”.
“Sama sekali ia tidak bermaksud menghina” bantah Bango Samparan.
“Diam kau” bentak isteri mudanya.
Kemudian kepada Panji Bawuk ia berkata, “Lakukanlah. Biarlah aku yang
mengurus tentang permata itu. Aku yakin bahwa permata itu masih ada
padanya”.
“Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini” terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
“Persetan” isteri mudanyalah yang
menyahut, “Kita tidak akan kehilangan apapun kalau anak itu mati. Kita
akan menjadi puas, dan seterusnya kita tidak akan selalu dibayanginya.
Kalau kita menunda-nunda persoalan tanpa membuat penyelesaian, maka kita
akan selalu dihantui oleh persoalan itu sepanjang hidup kita. Siapa
tahu, karena Ken Arok menjadi sakit hati, ia akan membawa kawan-kawannya
prajurit-prajurit Tumapel datang ke tempat ini. Siapa tahu, ia
melaporkan kepada tuannya, Akuwu Tunggul Ametung. O, jangan sampai Akuwu
itu datang kemari. Ia akan melihat anak gadis kita. Ia pasti akan
menculiknya seperti ia menculik anak Panawijen itu”.
Suatu desir yang tajam tergores di hati
Ken Arok. Betapa isteri Bango Samparan itu tidak tahu diri. Adalah
mustahil Akuwu akan melakukannya atas gadis kecil anak Bango Samparan
yang sampai saat itu masih belum dilihatnya di halaman yang kotor itu,
meskipun seluruh keluarganya yang lain telah lengkap dan sedang
mempersoalkannya.
Tetapi yang penting bagi Ken Arok kini
adalah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Panji Bawuk. Berbeda
dengan adik-adiknya, maka agaknya Panji Bawuk benar-benar mempunyai
bekal yang cukup untuk menengadahkan dadanya. Karena itu untuk
menghadapinya, Ken Arok pun harus bersikap lain.
Namun dalam pada itu dengan cemas Bango
Samparan berkata, “Panji Bawuk. Apakah keuntunganmu dengan membunuh
anak itu? Kalau kau memang tidak dapat menerimanya di rumah ini meskipun
hanya singgah sebentar biarlah ia pergi. Tetapi jangan kau perlakukan
ia seperti kau memperlakukan orang-orang lain yang menyakiti hatimu”.
Panji Bawuk menggeram. Katanya, “Ia telah
menghina kami. Kalau sejak ia menginjakkan kakinya di halaman ini, ia
menurut perintah Kuncang untuk pergi, maka ia tidak akan menyesal
seperti sekarang. Tetapi kini sudah terlambat”.
“Tetapi ia belum mendapat apa-apa” bantah
Bango Samparan yang menjadi semakin cemas, “Biarlah ia pergi. Aku tahu
Panji Bawuk, bahwa kau mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kau sanggup
merobohkan pohon kemiri itu dengan sekali ayunan parangmu”.
“Tidak ada jalan untuk keluar dari halaman ini”.
“Aku minta untuknya. Akulah yang
membawanya kemari. Dan akulah yang minta supaya ia dapat meninggalkan
tempat ini. Apabila lain kali kau bertemu dengannya, maka terserahkah
kepadamu apa yang akan kau lakukan”.
“Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Aku akan melakukannya kali ini”.
Bango Samparan masih akan menjawab lagi.
Tetapi sekali lagi ia ditarik oleh isteri mudanya, dan menyeretnya masuk
ke dalam rumah.
“Ayo, masuk saja kau” bentak isterinya itu.
“Tetapi aku harus mencegah perkelahian itu” teriak Bango Samparan.
“Kalau kau masih membantah juga, aku panggil Panji Bawuk atau Kuncang atau yang lain untuk membungkam mulutmu”.
Bango Sampiran terdiam. Meskipun demikian
ia masih juga berusaha menjengukkan kepalanya di pintu rumahnya. Karena
isteri mudanya sendiri juga ingin melihat apa yang akan terjadi, maka
dibiarkannya saja Bango Samparan berdiri sambil mengulurkan kepalanya.
Kini Kuncang, Kunal dan Kenengkung telah
menepi. Yang berdiri berhadapan adalah Panji Bawuk dan Ken Arok.
Masing-masing dengan senjata di tangan.
Sejenak mereka berdiri tegak dengan mulut
terkatup rapat. Betapa kemarahan telah menjalari segenap urat darah
Panji Bawuk. Ketika ia setapak maju, maka Ken Arok pun surut selangkah.
Tetapi Panji Bawuk mendesaknya terus.
Matanya yang menyala menjadi semakin merah, seakan-akan basah oleh
darahnya yang menggelegak.
“Kau tidak dapat lari anak malang” terdengar suara Panji Bawuk dalam nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir melihat sikap dan
pandangan mata Panji Bawuk yang semakin lama menjadi semakin liar,
sehingga ia bergumam didalam hatinya, “Semoga aku tidak kehilangan akal.
Kalau aku terpaksa melakukannya, maka hal itu hanya terjadi karena aku
tidak mempunyai jalan lain, atau aku sendirilah yang akau binasa”.
“Katakanlah kalau kau mempunyai pesan”
Panji Bawuk menggeram pula, “Sebentar lagi kau akan mati. Aku dapat
membunuhmu dengan ayunan parangku yang pertama, seperti aku mampu
menebang pohon itu. Tetapi itu terlampau haik untukmu. Kau harus
merasakannya, betapa kau menyesali kesombonganmu”.
Ken Arok tidak menjawab. Sekilas ia
melihat wajah-wajah yang tegang disekitarnya. Ketika ia memandang ke
pintu rumah Bango Samparan, dilihatnya orang itu menjengukkan kepalanya
dengan penuh kecemasan. Sedang isterinya berdiri dengan tegangnya
berpegangan uger-uger pintu. Di samping rumah itu, dibalik serumpun
dedaunan, isteri tua Bango Samparan berdiri bersandar dinding sambil
menahan rafasnya yang tersengal-sengal.
“Aku akan segera mulai” geram Panji Bawuk. Matanya menjadi semakin merah, dan bahkan kini parangnya menjadi gemetar.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya
sepenuhnya. Meskipun ia belum membenturkan senjatanya, tetapi ia telah
mendapat penilaian, betapa kuatnya tangan Panji Bawuk yang dengan sekali
ayunan parangnya, mampu merobohkan sebatang pohon kemiri.
Selangkah demi selangkah Panji Bawuk
mendekati lawannya dengan pandangan matanya yang memancarkan kebencian.
Kini parangnya telah bergerak-gerak dan sejenak kemudian ia tegak sambil
berkata, “Lihatlah sekali legi betapa cerahnya sinar matahari. Sebentar
lagi kau akan kehilangan kesempatan untuk menikmatinya. Kau akan segera
terjun ke dalam daerah maut yang gelap pekat. Dan bangkaimu akan
ditarang di atas pohon di belakang rumah ini”.
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sudah tidak lagi melangkah surut.
Kini jarak mereka tinggal tidak lebih
dari tiga langkah. Panji Bawuk memandangi parangnya sejenak, kemudian
merendahkan lututnya sambil berkata “Jangan mimpi. Hadapi hari matimu
dengan jantan”.
Ken Arok sama sekali tidak menjawab.
Tetapi ia menyadari keadaannya sepenuhnya. Karena ia tidak ingin
berkelahi seperti orang-orang yang kehilangan akal, maka ia harus
berbuat dengan tepat.
Itulah sebabnya, maka ketika kemudian ia
mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring sambil meloncat seperti loncatan
harimau lapar sambil mengembangkan kuku-kukunya, Ken Arok sama sekali
tidak beranjak dari tempatnya. Ia bertekad untuk membuat Panji Bawuk
menyadari keadaan, dengan siapa ia berhadapan. Meskipun Ken Arok tidak
dapat meyakinkan dirinya, bahwa ia akan dapat menguasai keadaan, namun
dengan demikian, maka Panji Bawuk akan terpaksa membuat
pertimbangan-pertimbangan yang baru.
Panji Bawuk yang matanya menjadi semakin
liar itu, melihat Ken Arok tidak bergerak dari tempatnya. Sekilas ia
mencoba menebak, kenapa anak itu terpaku saja di tempatnya. Namun oleh
kepercayaan kepada diri sendiri yang berlebih-lebihan, maka Panji Bawuk
menyangka, bahwa Ken Arok tidak sempat untuk mengelakkan dirinya. Karena
itu, ketika ia melihat pedang Ken Arok bersilang di dadanya, maka ia
berteriak semakin keras lagi.
“Pedang itu harus aku patahkan” ia
menggeram di dalam hatinya, “Atau kalau pedang prajurit Tumapel itu
terlampau baik, maka tangannyalah yang akan patah. Kemudian aku akan
dapat berbuat sesuka hatiku atasnya. Anak itu akan dapat menjadi
permainan yang menyenangkan bagi Kuncang, Kunal dan Kenengkung”.
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok memang tidak
menghindari serangan itu, ia melihat ayunan parang Panji Bawuk
menyambar dirinya. Ia sadar, bahwa Panji Bawuk telah mengerahkan segenap
tenaganya. Dan tenaga Panji Bawuk itu mampu merobohkan sebatang pohon
kemiri yang telah berbuah dengan lebatnya. Itulah sebabnya, maka ia pun
harus bertahan dengan sekuat tenaganya.
Sejenak kemudian, ketika parang Panji
Bawuk terayun ke leher Ken Arok, maka Ken Arok segera mengayunkan
pedangnya pula, menyambar ayunan parang Panji Bawuk.
Sejenak kemudian terdengarlah benturan
yang dahsyat sekali antara kedua senjata itu. Parang Panji Bawuk yang
besar dan pedang keprajuritan Ken Arok. Sepercik bunga api meloncat ke
udara. Namun bukan saja bunga api yang berloncatan, tetapi ternyata
bahwa parang Panji Bawuk pun terloncat dari tangannya. Terasa
seolah-olah tangannya yang menggenggam hulu pedangnya tersengat bara.
Kemudian menjalar sepanjang urat darahnya, membakar jantungnya.
Ken Arok pun merasa tangannya bergetar.
Tetapi kekuatannya yang ajaib mampu menahan benturan itu tanpa akibat
apapun. Namun dengan sepenuh kesadaran, ia pun melepaskan pedangnya,
sehingga pedangnya itupun terloncat beberapa langkah dari padanya.
Mereka yang menyaksikan benturan itu
merasakan, seolah-olah dadanya ikut bergetar pula. Kedua senjata yang
terloncat dari tangan kedua orang yang berkelahi itu membuat mereka
terpaku dengan tegangnya. Apalagi Panji Bawuk sendiri, yang sama sekali
tidak menduga, bahwa justru parangnya pun terloncat dari tangannya pula.
Ia tidak menyangka, bahwa sebenarnya di dalam tubuh Ken Arok itu pun
tersimpan kekuatan yang tiada taranya. Apalagi sengatan kesakitan yang
membakar telapak tangannya dan seakan-akan telah menjalari seluruh
tubuhnya.
“Anak setan” ia menggeram. Dan di dalam
hatinya ia berkata, “Aku terlampau memandangnya rendah, sehingga aku
kurang mantap menggengam parangku”.
Kemudian dengan sigapnya Panji Bawuk meloncat memungut parangnya, sementara Ken Arok pun telah mengambil pedangnya pula.
“Agaknya nasibmu memang terlampau baik”
Panji Bawuk menggeram, “Aku menganggap kau terlampau lemah, sehingga
justru parangku sendiri yang terlepas dari tanganku. Tetapi tidak
seterusnya nasibmu akan tetap baik. Sebentar lagi kau akan menyadari
bahwa hari ini adalah harimu yang paling jelek”.
Panji Bawuk yang telah menggenggam
parangnya kembali, selangkah demi selangkah mendekati Ken Arok. Meskipun
tangannya masih terasa nyeri, namun ia sudah bertekat untuk
membinasakan lawannya. Ia kini bertekat untuk benar-benar bertempur
tanpa mengabaikan kekuatan lawan.
Meskipun demikian, otaknya telah pula
dijalari oleh berbagai macam pertimbangan. Ternyata Ken Arok memiliki
kekuatan yang luar biasa. Tetapi kenapa ia tidak berbuat sesuatu untuk
mencelakakan adik-adiknya. Kenapa ia sama sekali tidak melukai Kunal,
atau melumpuhkan Kenengkung dan bahkan Panji Kuncang?
Pertanyaan itu betapapun lirihnya, namun
terasa mulai mengganggunya. Panji Bawuk adalah seorang yang kasar,
hampir sekasar ayahnya. Ia berjudi dan berkelahi dimanapun. Apalagi
karena ia terlampau mempercayakan diri kepada kekuatannya yang memang
melampaui kekuatan orang-orang kebiasaan. Namun menghadapi sikap Ken
Arok yang aneh itu, ia sama sekali tidak dapat mengerti.
Ia tidak pernah bertempur melawan
seseorang yang menumbuhkan teka-teki dan membuat kepalanya menjadi
pening seperti saat ini. Lawannya itu mampu membunuh adik-adiknya kalau
ia mau, tetapi kenapa tidak?
Sementara itu Panji Bawuk kini telah
berdiri berhadapan dengan Ken Arok. Keduanya telah menggenggam
senjatanya kembali dan keduanya pun telah siap untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Tetapi Panji Bawuk masih saja diganggu oleh teka-teki di
dalam benaknya.
Namun tiba-tiba anak muda itu mengeram sambil berkata, “Persetan, apa saja yang ku lakukan. Kau harus mati hari ini”.
Ken Arok mengerutkan keningnya.
Disilargkannya pedangnya di muka dadanya, seperti ketika ia siap melawan
ayunan parang Panji Bawuk.
“Kau jangan merasa berbesar hati, bahwa
kau mampu melepaskan senjataku dari tanganku. Itu hanya sekedar suatu
kelengahan. Bukan suatu keunggulan dari padamu. Kalau aku mengerti,
bahwa kau mampu juga memamerkan kekuatanmu, maka untuk seterusnya kau
akan menyesal”.
Tetapi Ken Arok tidak menunggu Panji
Bawuk selesai berbicara. Kini ialah yang meloncat menyerang dengan
garangnya. Pedangnya diangkatnya tinggi-tinggi ke udara, kemudian
terayun deras sekali mengarah kepundak lawannya.
Panji Bawuk terkejut bukan kepalang.
Gerakan itu terlampau cepat, sehingga tidak ada jalan lain kecuali
menangkis serangan itu. Namun kini Panji Bawuk telah dapat melilai
kekuatan tangan Ken Arok, sehingga untuk melawan ayunan pedang itu ia
harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya.
Kali ini Ken Arok tidak ingin memberi
gambaran yang salah lagi buat Panji Bawuk. Ia ingin anak muda itu segera
menyadari dirinya dan memikirkan lagi sikapnya. Karena itu, maka Ken
Arok ingin untuk sekali melepaskan senjata Panji Bawuk dari tangannya,
tanpa melepaskan senjatanya sendiri.
Sekejap kemudian, maka sekali lagi
terjadi benturan yang dahsyat antara pedang Ken Arok dan parang Panji
Bawuk. Sekali lagi bunga api memercik ke udara dari titik benturan dari
kedua senjata itu.
Dan sekali lagi Panji Bawuk terperanjat
bukan alang kepalang. Tangannya bergetar dan seakan-akan tergenggam
olehnya segumpal bara. Dengan demikian, maka dengan dada yang berguncang
ia menyaksikan parangnya terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa
langkah dari padanya.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah, bahwa
kini Ken Arok berdiri tegak di hadapannya dengan pedang masih tetap
tergenggam di tangannya.
Sejenak ia tegak membeku di tempatnya.
Dipandanginya wajah Ken Arok dengan sorot mata yang menyala-nyala.
Ternyata ia tidak segera mengakui kenyataan yang dihadapinya. Bahkan
jantungnya serasa dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap.
Ken Arok yang berdiri dihadapannya
memandanginya dengan cemas. Ia mengharap Panji Bawuk mengerti tentang
dirinya, tentang orang yang dihadapinya dan segera merubah sikapnya.
Tetapi agaknya yang terjadi adalah di luar dugaan Ken Arok. Sikap Ken
Arok itu telah benar menyinggung harga diri Panji Bawuk yang sombong. Di
hadapan adik-adiknya ia merasa benar-benar terhina. Apalagi ayahnya,
ibunya dan ibu tirinya melihat pula apa yang terjadi. Karena itu, maka
kemarahan di dalam dadanya menjadi semakin membakar jantungnya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ia memungut
pedangnya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun segera ia meloncat
menyerang Ken Arok dengan tangkasnya. Kini ia tidak ingin membenturkan
senjatanya beradu tenaga.
Ken Arok berdesah di dalam hatinya. Panji
Bawuk benar-benar keras kepala. Karena itu, maka ia pun bertekat untuk
melayaninya, menundukannya dan memaksa anak itu mengakui, bahwa ia bukan
orang yang paling mumpuni di muka bumi.
Sejenak kemudian terjadilah perkelahian
yang sengit diantara keduanya. Panji Bawuk memang mempunyai bekal yang
cukup. Tenaganya cukup kuat, dan geraknya cukup tangkas dan lincah.
Sehingga dengan demikian, ia mampu memberikan perlawanan yang baik
terhadap Ken Arok.
“Sayang” gumam Ken Arok di dalam hatinya,
“kalau ia mendapat penyaluran yang baik. Kemampuanya tidak kalah
dengan prajurit kebanyakan. Prajurit Tumapel dan bahkan prajurit Kediri.
Tatapi, agaknya ia sudah terlanjur terperosok ke dalam daerah yang
kelam seperti ayahnya”.
Sementara itu tandang Panji Bawuk menjadi
semakin lama semakin garang. Parangnya terayun-ayun mengerikan, ia
sudah tidak dapat lagi berpikir bening lagi. Satu-satunya tujuan saat
itu adalah membunuh Ken Arok dan melumatkan tubuhnya.
Tetapi ternyata bahwa Ken Arok adalah
lawan yang tangguh. Bahkan kadang-kadang terlampau membingungkannya.
Setiap kali ia kehilangan keseimbangan dan kadang-kadang hampir saja ia
terbanting jatuh oleh geraknya sendiri.
Semakin lama Ken Arok pun harus menjadi
semakin hati-hati. Pada saatnya Panji Bawuk pasti akan kehilangan
perihitungan dan berkelahi membabi buta. Ia harus cukup berwaspada dan
mampu menempatkan diri tanpa kehilangan akal.
Sampai saat itu, Ken Arok masih cukup
sadar, bahwa ia datang ke rumah itu tidak untuk melakukan
pembunuhan-pembunuhan. Karena itu, maka ia masih tetap berusaha untuk
tidak langsung mengenai lawannya ditempat-tempat yang dapat membahayakan
jiwanya.
Karena sikap hati-hati Ken Arok, agar
tidak menumbuhkan bencana itulah, maka Panji Bawuk menganggap, bahwa ia
masih mempunyai peluang untuk memenangkannya, apapun caranya.
Tetapi bagaimanapun juga Ken Arok masih
harus tetap mengendalikan diri. Setelah sekian lama bertempur, maka
ternyata bahwa Panji Bawuk yang mampu merobohkan sebatang pohon kemiri
yang sedang berbuah itu, tidaklah harus disegani. Karena ternyata bahwa
cara berkelahi Panji Bawuk itu semakin lama menjadi semakin kehilangan
pegangan dan tata kesopanan. Geraknya menjadi semakin kasar, sekasar
serigala kelaparan menemukan bangkai anak domba ditepitepi pategalan,
namun tiba-tiba bangkai itu terlepas dari mulutnya.
Semakin lama mereka berkelahi, maka Panji
Bawuk semakin kehilangan pengamatan diri. Tandangnya menjadi buas dan
liar. Senjatanya terayun-ayun tanpa terkendali lagi.
Dengan demikian, kesempatan bagi Ken Arok
untuk berbuat sesuatu atas lawannya menjadi semakin banyak.
Kesempatan-kesempatan yang terbuka diantara tandang lawannya yang
menjadi semakin gila dipertimbangkannya masak-masak. Apakah yang
dilakukan terhadap anak sulung Bango Samparan itu?
Tetapi setiap kali Ken Arok harus mempertahankan kesadarannya bahwa ia datang ke rumah itu tidak untuk membunuh.
Namun ia terkejut ketika tiba-tiba Panji
Bawuk yang sudah menjadi semakin payah itu meraung, “He, Kuncang, Kunal
dan Kenengkung. Kenapa kalian berdiri saja seperti orang kehilangan
ingatan. Aku sudah berusaha melemahkannya. Sekarang datanglah giliran
kalian ikut bermain-main dengan kambing yang bodoh ini”.
Kuncang, Kunal dan Kenengkung , yang
berdiri dengan cemasnya melihat perkelahian itu, terkejut mendengar
suara kakaknya menggelepar di udara. Sejenak mereka terpukau
ditempatnya, namun sejenak kemudian mereka pun menyadari keadaannya dan
keadaan Panji Bawuk yang sulit itu.
Karena itu, maka tanpa diulang lagi,
Kunal dan Kenangkung segera meloncat dengan senjata masing-masing,
bersama-sama dengan kakaknya yang sulung berkelahi melawan Ken Arok.
Sementara itu Panji Kuncang masih belum
beranjak dari tempatnya. Berbagai pertanyaan telah membelit hatinya
tentang lawannya yang aneh. Setiap kali ia menggeretakkan giginya sambil
mengeram di dalam hati, “Anak itu memang ingin menghina aku. Menghina
keluargaku”. Namun setiap kali pula pertanyaan itu menggelepar di
dadanya, “Kenapa ia sama sekali tidak melukai apalagi membunuh aku?”
Karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka
untuk sejenak Kuncang tidak segera terjun ke dalam arena perkelahian.
Tanpa sesadarnya ia menyaksikan ketiga saudaranya bertempur melawan Ken
Arok.
Kuncang tersandar ketika ia mendengar Panji Bawuk berteriak, “He Kuncang, apakah yang kau tunggu?”
Kuncang mengerutkan keningnya.
Dikatubkannya mulutnya rapat-rapat. Sambil menggeretakkan giginya ia
melangkah maju. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mengusir semua
kebimbangan dan keragu-raguan yang mencengkam dadanya.
Sejenak kemudian terdengar anak muda itu
berteriak nyaring. Kemudian, dengan menghentakkan diri ia meloncat masuk
ke dalam lingkaran pertempuran.
“Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini” terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
Kini Ken Arok harus berkelahi melawan
keempat saudara anak Bango Samparan itu. Dalam sekilas terkenanglah
masa-masa lalunya yang pedih. Keadaan serupa ini kini terulang kembali.
Ia harus berkelahi melawan keempatnya.
Pada saat ia berada di rumah itu, memang
ia sering bertengkar dengan keempat anak laki-laki Bango Samparan itu.
Bahkan kadang-kadang ia memang harus berkelahi melawan keempatnya.
Tetapi ia belum pernah merasa dikalahkan. Kalau kemudian ia berlari
terbirit-birit adalah karena ibu keempat anak laki-laki itu ikut campur
sambil membawa sepotong kayu.
Dan keadaan itu kini terulang kembali.
Tetapi kini mereka membawa senjata di tangan masing-masing. Mereka tidak
sekedar memperebutkan buah jambu yang masak, atau bertengkar karena adu
jengkerik atau berebut telur gemak di kebun. Tetapi kini mereka telah
siap untuk membunuh. Bayangan tentang permata dan seikat perhiasan
melintas di kepala Ken Arok. Seperti sebuah permainan yang menyenangkan
sekali disaat mereka masih kanak-kanak.
Perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Isteri muda Bango Samparan menyaksikan dengan mata tak
berkedip. Semula ia yakin bahwa anak-anaknya akan menang Tetapi
kemudian, meskipun ia tidak dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi,
namun setiap kali ia melihat salah seorang dari keempat anaknya
lagi-lagi terdorong dan bahkan terlempar jatuh.
Bango Samparan pun kemudian menjadi
terlampau cemas. Tetapi kini ia tidak lagi mencemaskan Ken Arok. Yang
dicemaskan justru anak-anaknya sendiri, karena ia yakin, bahwa sebentar
lagi Ken Arok pasti akan segera menguasai keadaan. Jika ia menjadi
kehilangan kesabaran, maka pasti akan terlampau sulit bagi anak-anaknya.
Meskipun demikian, Bango Samparan masih
saja berdiri di ambang pintu, di belakang isteri mudanya sambil
berpegangan uger-uger pintu. Seolah-olah ia sudah tidak mampu lagi untuk
berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Sementara itu Ken Arok benar-benar
semakin banyak menguasai keadaan. Keempat lawan-lawannya hampir tidak
mendapat kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat
berputar-putar, menghindar dan berloncatan surut, karena tiba-tiba saja
Ken Arok itu seakan-akan telah berubah menjadi seekor burung sikatan
raksasa yang bertaji pedang.
Setiap kali, ujung pedang Ken Arok itu
berdesing di telinga anak-anak Bango Samparan itu, seakan-akan telah
menyentuh daun telinga mereka. Tetapi setiap kali mereka meraba, mereka
tidak menyentuh setetes darah sama sekali.
“Apakah kakang Ken Arok memang tidak
ingin melukai kami?” pertanyaan itu sekali lagi merentul dihati Panji
Kuncang. Namun meskipun demikian, ia masih juga mencoba berkelahi
sebaik-baiknya.
Kunal dan Kenengkung pun merasa heran
pula. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat
meloncat-loncat di seputar Ken Arok atau bahkan sama sekali di luar
arena. Setiap kali mereka mencoba mendekat, maka setiap kali pula, ujung
pedang lawannya terayun-ayun di muka hidungnya. Kalau sekali-kali
mereka memberanikan diri mencoba menyerang dengan senjata, maka seresa
dari pangkal Senjata-senjata mereka menjalar api yang membakar telapak
tangan. Sehingga dengan demikian, mereka menjadi bingung dan tidak tahu,
apa yang sebaiknya dilakukan.
Tetapi Ken Arok yang sekarang adalah
berbeda dengan Ken Arok di masa kanak-kanaknya. Ken Arok kini tidak legi
sekasar dan sebuas Ken Arok di masa lampau. Pertemuannya dengan Empu
Purwa, kemudian dengan Lohgawe telah benar-benar mencuci dunianya yang
kelam, dan membuatnya sebening air pancuran di lereng-lereng gunung.
Tetapi apakah yang terkandung di jantung sumber air itu, pada suatu
ketika masih akan dapat mewarnainya dengan tanpa disadarinya.
Namun, menghadapi keempat anak-anak muda
ini, Ken Arok ternyata telah berhasil menahan perasaannya. Semakin yakin
ia akan kemenangannya, maka hatinya menjadi semakin lunak. Ia sudah
tidak dicemaskan lagi oleh akibat dari perkelahian itu. Kini yang
dilakukan adalah, membuat keempat lawannya itu mengakui, bahwa mereka
tidak dapat berbuat apa saja menurut selera mereka sendiri.
Kuncang yang sejak semula sudah
ragu-ragu, menjadi semakin bingung menghadapi Ken Arok. Bersama kakaknya
yang selama ini dibangga-banggakannya, mereka sama sekali tidak dapat
menyentuh kulit lawannya Namun sampai sekian lamanya ia bertempur,
kulitnya pun seakan-akan hampir tidak pernah tersentuh ujung senjata
lawannya, meskipun terasa olehnya, bahwa kesempatan itu sebenarnya
dimiliki oleh Ken Arok.
Dengan demikian, maka hatinya semakin
dicengkam oleh kebimbangan. Sehingga karena itu, maka tandaugnya pun
menjadi semakin lamban pula. Senjatanya sudah tidak lagi segarang gigi
serigala kelaparan. Bahkan kemudian, Kuncang tidak lebih dari pada
berputar-putar tanpa berbuat sesuatu yang dapat membantu kakaknya lagi.
Sementara itu, Kunal dan Kenengkung yang
berlari-lari berputaran di sekitar arena menjadi semakin lelah. Meskipun
seakan-akan Ken Arok acuh tidak acuh saja kepada mereka, tetapi mereka
sendirilah yang telah memeras tenaga mereka tanpa arti, sehingga apabila
sekali-kali pedang Ken Arok berdesing di telinga mereka, dengan gugup
mereka berloncatan surut, sehingga kadang-kadang mereka terdorong oleh
loncatan mereka sendiri, jatuh terlentang. Namun dalam saat-saat yang
demikian Ken Arok sama sekali tidak berbuat apa-apa atas keduanya. Hanya
sekali saja, Ken Arok menyentuh tubuh mereka dengan ujung jari kakinya.
Tetapi ternyata bahwa sentuhan itu benar-benar telah menyakiti kedua
anak-anak muda itu. Sehingga ketika sekali Ken Arok menyentuh lambung
Kunal agak keras dan kemudian mendorong Kenengkung dengan ujung
telunjuknya, maka keduanya terbanting jatuh berguling-guling di tanah
sambil mengerang kesakitan.
Meskipun Panji Bawuk masih juga bertempur
dengan garangnya, namun kecemasan telah mulai merayapi dadanya. Ia
melihat satu-satu adiknya telah kehilangan kemampuan untuk membuat
perlawanan yang berarti. Dan seperti semula, ia melihat bahwa Ken Arok
tidak ingin mempergunakan kesempatan-kesempatan yang terbuka baginya
untuk melakukan suatu serangan yang berbahaya terhadap adik-adiknya dan
bahkan terhadap dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia menggeretakkan
giginya. Kesombongan yang bersarang di dadanya telah memaksanya untuk
bertempur terus. Dengan memeras segenap tenaganya ia memutar parangnya,
menghantam dan mematuk tidak henti-hentinya. Semakin lama semakin kasar
dan bahkan membabi buta.
Kemungkinan itu memang telah
diperhitungkan oleh Ken Arok. Suatu saat ia akan menghadapi Panji Bawuk
yang telah kehilangan akal. Dan suatu saat ia akan menghentikan
perlawatan ketiga adik-adiknya.
Sejenak kemudian Ken Arok sampai pada
akhir rencananya. la harus berbuat cepat dan tiba-tiba, sehingga
anak-anak muda itu tidak sempat berpikir. Mereka harus digerakkan oleh
kejutan perasaan dan tunduk tanpa perlawanan dan cidera apapun.
Ketika saat itu tiba-tiba, maka sambil
berteriak nyaring Ken Arok meloncat memutar pedangnya. Begitu cepat
sehingga tidak seorang pun dari anak-anak Bango Samparan itu yang sempat
berbuat sesuatu. Mereka hanya merasakan getaran yang dahsyat di tangan
mereka, dan ketika mereka menyadari diri mereka masing-masing, maka
Senjata-senjata mereka telah tidak ada ditangan, selain parang Panji
Bawuk. Ken Arok sengaja membiarkan parang itu masih tetap ditangannya.
Tetapi untuk anak sulung Bango Samparan ini, Ken Arok telah mempunyai
rencana tersendiri.
Kuncang, Kunal dan Kenengkung terperanjat
sekali mengalami peristiwa itu sehingga sejenak mereka berdiri terpaku
ditempatnya sambil ternganga-nganga. Sekilas mereka melihat
senjata-senjata mereka yang terletak di tanah beberapa langkah dari
mereka masing-masing, dan sekilas mereka melihat Ken Arok yang berdiri
dengan garangnya. Namun mereka pun masih juga berharap-harap cemas
karena senjata Panji Bawuk masih tetap ditangannya.
Tetapi ternyata Panji Bawuk itu tidak
sempat berbuat terlampau banyak dengan senjatanya. Karena sesaat
kemudian, selagi kesadarannya dalam menanggapi keadaan itu masih belum
seutuhnya, serangan Ken Arok tiba-tiba saja datang membadai. Pedangnya
berputar seperti baling-baling memutari tubuh lawannya. Suaranya
berdesing-desing dengan dahsyatnya. Seolah-olah ribuan lebah sedang
mengerumuninya.
Ternyata bahwa ujung pedang Ken Arok itu
tidak hanya sekadar berputaran dan berdesing-desing mengitari tubuh
Panji Bawuk. Tidak hanya sekedar seperti ribuan lebah yang berterbangan
diseputar tubuhnya, tetapi ternyata bahwa lebah-lebah itu sempat
menyentuh kulitnya dan bahkan menyengatnya di segenap penjuru.
Demikianlah ujung pedang Ken Arok itu
telah mematuk dari segenap arah, menyentuh tubuh Panji Bawuk. Tidak
terlampau keras sehingga tidak menumbuhkan luka yang dalam pada tubuh
itu. Tetapi sentuhan-sentuhan ujung pedang Ken Arok itu telah menyobek
pakaiannya disegala tempat dan bahkan telah memutuskan ikat pinggangnya.
“Setan” Panji Bawuk mengumpat-umpat.
Namun Ken Arok tidak mau berhenti.
Serangannya semakin lama semakin membingungkan. Bukan saja pakaian Panji
Bawuk yang kini menjadi terkoyak-koyak, tetapi sentuhan-sentuhan itu
telah merambat kekulitnya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu tidak
terlampau dalam, namun dibeberapa tempat, darahnya yang merah telah
mengembun seperti titik-titik air didedaunan pada pagi-pagi yang dingin.
“He” teriak Panji Bawuk yang menjadi semakin kebingungan, “Kenapa kalian hanya menonton saja?”
Ketiga adiknya tersedar dari keadaannya.
Mereka melihat warna-warna merah yang memulasi kulit kakaknya dibeberapa
tempat. Meskipun mereka mengerti bahwa luka-luka itu tidak parah, namun
kecemasan telah mencengkam hati mereka.
“He Kuncang, Kunal dan Kenengkung” teriak ibu nya tiba-tiba, “Cepat, berbuatlah sesuatu”.
Secepat suara ibunya itu lenyap di udara,
secepat itulah ketiga anak-anak muda itu berloncatan memungut
senjata-senjata mereka. Namun kini perkelahian itu sudah bergeser
menjauhi mereka. Panji Bawuk seakan-akan telah didorong ketengah-tengah
halaman yang kotor itu tanpa dapat berbuat sesuatu. Meskipun ia berusaha
sekuat-kuat tenaganya untuk melawan, namun perlawanannya itu
seolah-olah sama sekali tidak berarti bagi Ken Arok.
Sejenak kemudian, Kuncang, Kunal dan
Kenengkung pun segera berlari-lari mendekati titik pertempuran. Namun
mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu.
Sajenak mereka memandangi perkelahian itu
dan sejenak kemudian mereka berputar-putar. Namun setiap kali mereka
tegak seperti tonggak sambil mengagumi gerak Ken Arok yang semakin lama
semakin cepat.
Panji Bawuk pun menjadi bingung. Sekali lagi ia berteriak, “He, apakah kalian sudah menjadi pengecut”.
Suara itu telah membangunkan ketiga
adiknya dari kekaguman mereka terhadap Ken Arok. Tetapi mereka tidak
akan dapat membiarkan kakak mereka tertua mengalami bencana. Karena itu,
betapa hati mereka berkeriput sekecil biji mentimun, namun mereka
mencoba juga melangkah maju mendekati perkelahian itu dengan senjata
teracung.
Namun sekali mereka dikejutkan oleh
sambaran senjata Ken Arok yang sama sekali tidak terduga-duga dan bahkan
sama sekali tidak dapat dibayangkan, bagaimana hal itu terjadi. Mereka
menyadari diri ketika Senjata-senjata mereka telah terlepas lagi dari
tangan mereka dan berjatuhan di atas tanah beberapa langkah dari mereka.
Melihat hal itu maka terdengar gigi Panji
Bawnk menjadi gemeretak. Kemarahan dan kecemasan bercampur baur di
dalam hatinya. Sementara itu tumbuh pula di dalam dadanya suatu
pengakuan bahwa sebenarnya ia tidak akan mampu melawan Ken Arok. Apalagi
seorang diri.
Meskipun demikian, terdorong oleh
keterlanjuran dan kesombongannya, maka masih juga Panji Bawuk berteriak
”Setan alas. Kau memang terlampau sombong Ken Arok. Aku menjadi semakin
yakin bahwa kau tidak akan dapat ampun”.
Namun mata Panji Bawuk itu terbelalak,
dan darahnya serasa terhenti mengalir. Baru saja ia mengatupkan
mulutnya, maka terasa tangannya bergetar dahsyat sekali.
Tangannya yang kokoh kuat, yang mampu
merobohkan sebatang pohon kemiri yang sudah berbuah dengan satu kali
ayunan itu, terasa seakan-akan sama sakali tidak berdaya. Telapak
tangannya merasakan getaran yang luar biasa, seakan-akan
tulang-tulangnya berpatahan. Perasaan sakit yang sangat menjalar di
tangannya menusuk pusat dadanya.
Panji Bawuk itu terlempar beberapa
langkah dan terbanting jatuh di tanah setelah parang telontar dari
genggamannya. Kepalanya menjadi pening dan matanya berkunang-kunang.
Sejenak ia kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu karena
kesadarsnnya terganggu. Namun ketika ia benar-benar telah menyadari
keadaan dirinya dan berusaha untuk bangkit, ia merasa seakan ujung
Gunung Kawi telah menindih dadanya.
Ketika Panji Bawuk menengadah wajahnya,
maka dilihatnya Ken Arok berdiri tegak disampingnya. Satu telapak
kakinya telah menekan dadanya, sedang ujung pedangnya tepat menunjuk ke
biji mata.
Sejenak Panji Bawuk terpukau dalam
keadaannya. Tubuhnya menjadi gemetar dan dadanya serasa pecah karenanya.
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Yang diketahuinya saat itu
adalah tekanan kaki Ken Arok yang semakin lama menjadi semakin
menyesakkan nafasnya, sedang ujung pedang Ken Arok pun menjadi semakin
dekat ke matanya.
Tiba-tiba terdengar suara Ken Arok
seperti guruh yang meledak di atas kepalanya, “Panji Bawuk. Permusuhan
kita sejak kita masih terlampau muda kini akan sampai kepuncaknya.
Karena kau sudah benar-benar ingin membunuh aku, maka aku pun akan
berbuat serupa. Jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat berbuat sekasar
dan seliar kau. Kalau kau tumbuh menjadi seorang penjudi dan seorang
penjahat yang keji, maka aku pun akan dapat berbuat lebih keji lagi. Aku
adalah seorang penjahat sejak dilahirkan. Aku mempunyai kebuasan dan
keliaran alami yang aku bawa sejak aku ada. Nah, sekarang kau dapat
menghayati, betapa aku mampu berbuat kejam melampaui kalian di sini”.
“Ken Arok” tiba-tiba Bango Samparan berteriak “Apa yang akan kau lakukan atasnya”.
Ken Arok tertawa rendah. Jawabnya, “Kalau
Panji Bawuk ingin membunuhku dan menggantungkan tubuhku untuk menjadi
makanan burung-burung liar, dan kelak membuat kerangkaku menjadi
perhiasan, maka aku akan berbuat lain. Aku ingin membuat Panji Bawuk
mati dalam hidupnya. Aku ingin mengambil kedua biji matanya”.
“Ken Arok” tiba-tiba isteri muda Bango Samparan, ibu Panji Bawuk itu berteriak.
“Jangan halangi aku. Siapa yang mencoba
mencegahnya akan mengalami nasib serupa” sahut Ken Arok tegas. “Bukankah
kalian telah melihat, bahwa tidak seorang pun dapat mengalahkan aku,
bahkan anak-anak gila ini berkelahi bersama pun tidak berarti sama
sekali bagiku, meskipun seandainya ayah Bango Samparan ikut serta? Nah.
biarlah aku berbuat sekehendakku”.
Suasana di halaman itu kini dicengkam
oleh ketegangan yang memuncak. Wajah-wajah mereka telah basah oleh
keringat. Sadang tubuh isteri muda Bango Samparan menggigil seperti
orang kedinginan.
Tiba-tiba dalam ketegangan itu terdengar
suara Panji Bawuk gemetar, “Ampun, aku minta ampun Ken Arok. Aku tidak
benar-benar ingin membuatmu celaka. Aku hanya mengertak saja. Sekarang
aku minta ampun”.
Ken Arok mengerutkan keningnya.
Ditatapnya wajah Panji Bawuk yang masih terbaring di tanah. Kakinya
masih menginjak dada anak muda yang sombong itu, sedang ujung pedangnya
masih juga teracung ke biji mata.
“Ampun Ken Arok, ampun”.
Tetapi Ken Arok menggelengkan kepalanya,
“Aku akan menyelesaikan setiap persoalan sampai tuntas. Kalau tidak,
maka kita akan tetap mempunyai persoalan yang tidak terselesaikan.
Setiap kali kita akan kembali kepada persoalan ini. Tetapi apabila kau
sudah mati dalam hidupmu, maka kau tidak akan mampu menuntut apapun lagi
dari padaku”.
Wajah Panji Bawuk yang garang, buas dan
liar itu tiba-tiba berubah menjadi pucat seperti kapas. Nafasnya yang
terengah-engah seolah-olah, telah putus ditengah kerongkongannya.
Semakin keras telapak kaki Ken Arok menekan dadanya, maka seakan-akan
jantungnya semakin lambat berdenyut.
Dengan penuh ketakutan dan kecemasan ia
merengek seperti anak-anak yang cengeng, “Ampun Ken Arok. Aku minta
ampun. Aku bersumpah bahwa akn tidak akan mengganggu gugat apapun lagi.
Tetapi aku minta kau hidupi aku”.
Ken Arok tidak segera menjawab. Sepercik
keheranan menjalar di dadanya. Orang yang dapat bersikap segarang Panji
Bawuk itu, dapat juga merengek seperti kanak-kanak. Tanpa malu-malu
merendahkan dirinya minta diampuni kesalahannya.
Tetapi menilik pandangan matanya yang
licik, memang pada suatu saat, apabila ia mendapat kesulitan yang tak
teratasi, orang-orang seperti Panji Bawuk, yang sombong dan garang
tetapi licik itu, akan dan dapat berbuat apa saja meskipun merendahkan
harga dirinya.
Namun kali ini Ken Arok masih tetap
menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku telah berguru kepadamu dan
kepada ayah Bango Samparan, yang agaknya mendidik anak-anaknya untuk
berbuat demikian. Merampungkan semua persoalan sampai tuntas. Agaknya
bagi ayah Bango Samparan dan anak-anaknya sama sekali tidak berlaku
kebijaksanaan dan pertimbangan tentang perkembangan persoalan dan
pikiran seseorang. Persoalan hari ini pasti akan berlangsung terus.
Seorang yang kau anggap bersalah hari ini, untuk seterusnya akan
melakukan kesalahan yang serupa. Kau tidak dapat mengerti bahwa mungkin
sekali seseorang menyesali kesalahan di masa lampau dan merubah
pendirian serta sikapnya. Kau tidak dapat membayangkan bahwa seorang
penjahat yang paling keji akan dapat berubah menjadi seorang yang pantas
digurui. Bahkan kau pun berdiri pada pendirian, siapa yang tidak
sejalan dengan kau, orang itu harus disingkirkan, disingkirkan untuk
tidak mungkin datang kembali. Disingkirkan ke daerah yang paling jauh”.
Ken Arok berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang semakin
pucat, wajah Kuncang yang tegang membeku, wajah Kunal dan Kenengkung
yang ketakutan. Kemudian ditatapnya wajah isteri muda Bango Samparan
yang sudah menjadi seputih mayat dan Bango Samparan sendiri yang
menggigil di belakang isterinya. Tetapi Ken Arok tidak dapat melihat
wajah isteri tua Bango Samparan.
Dalam pada itu ia berkata seterusnya,
“Karena itu Panji Bawuk. Baik kau maupun ayah Bango Samparan menganggap
bahwa persoalan akan selesai apabila pihak yang lain telah disingkirkan,
menurut pengertianmu harus dibunuh. Bagimu tidak ada cara lain untuk
membuat penyelesaian selain mematikan pihak yang lain. Penyelesaian yang
tuntas dan mutlak. Nah, aku akan berbuat serupa. Aku akan membunuh
semua orang di rumah ini yang mencoba menghalangi aku berbuat apa saja
di sini”.
Panji Bawuk menjadi semakin pucat.
Darahnya serasa benar-benar sudah tidak mengalir lagi. Dengan suara
gemetar ia meminta ngasih-asih, “Ampun Ken Arok. Aku minta belai
kasihanmu. Aku minta kau menghidupi aku. Aku akan tunduk kepadamu apapun
yang akan kau kehendaki”.
“Tetapi dengan demikian persoalan tidak
akan selesai. Pada suatu saat persoalan akan tumbuh lagi. Kalau seberkas
perhiasan itu nanti jatuh ketanganku, maka kau pasti akan mencari jalan
untuk merebutnya. Kalau kalian di sini mencemaskan bahwa aku akan
membawa kawan-kawanku Prajurit Tumapel untuk menangkap kalian, maka aku
pun mencemaskan kalian, bahwa kalian akan memanggil semua penjahat dari
ujung sampai ke ujung Karuman, dan akan merampokku”.
“Tidak. Tidak. Aku bersumpah” rintih Panji Bawuk.
Ken Arok tidak segera menyahut. Sekali lagi ditatapnya wajah Bango Samparan yang pucat dan gemetar.
“Bagaimana ayah?” bertanya Ken Arok,
“Apakah aku harus menyelesaikannya sampai tuntas seperti apa yang ayah
lakukan terhadap bekas prajurit Kediri itu?”
Bango Samparan terbungkam. Tetapi
bibirnya bergetar. Berkali-kali ia menelan ludahnya namun tidak sepatah
kata pun yang terloncat dari bibirnya.
“He, kenapa ayah tidak menjawab?” desak Ken Arok.
Bango Samparan masih terdiam. Dengan kaki
gemetar ia maju selangkah. Tangannya diangkatnya ke dadanya untuk
menahan gelora yang seakan-akan memecahkan dadanya itu. Perlahan-lahan
ia menggeleng.
Ken Arok menarik nafas dalam. Katanya,
“Pendirian seseorang akan berobah apabila arah persoalan juga berobah.
Kita tidak akan sampai tuntas apabila kita memegang kendali kemenangan.
Tetapi pihak yang lemah pasti akan berpendirian lain. Pendirian ini
tidak pernah kalian pikirkan. Nah, sekarang kalian menghayati. Kalian
akan tahu, betapa tersiksanya perasaan kalian. Betapa kalian merasakan
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Betapa kalian akan mengumpat dan
mengutuk di dalam hati, meskipun mulut kalian berkata lain, karena
kalian dicengkam oleh ketakutan. Tetapi apabila ada kekuatan lain yang
datang menolong kalian saat ini, maka kalian akan bersikap lain”.
“Tidak, tidak” teriak Panji Bawuk “Aku sudah menyerah. Tetapi aku ingin hidup”.
“Sumber penyerahanmu pada persoalan yang
kau hadapi adalah persoalan hidup. Tetapi itu wajar. Persoalan yang
demikian ada juga pada orang lain. Dorongan naluriah memaksa seseorang
untuk mempertahankan hidupnya dengan cara apapun. Berkelahi,
merengek-rengek dan apapun. Sadarilah. Orang lain pun ingin tetap hidup.
Pertimbangkan dalam setiap perbuatan. Jangan menengadahkan dada ketika
kau lagi menang dan mampu berbuat apa saja atas orang lain. Kini kau
tahu, bahwa orang lain itu mempunyai perasaan seperti yang kau rasakan
sekarang. Dikatakan atau tidak dikatakan. Cemas, takut dan unsur-unsur
badaniah, sakit, pedih, nyeri dan perasaan manusiawi seutuhnya”.
Panji Bawuk menjadi semakin gemetar.
Matanya yang selama berkelahi memancarkan keliaran sikapnya, kini tampak
padam sama sekali pada wajahnya yang pucat.
Yang terdengar kemudian adalah suara
isteri muda Bango Samparan yang gemetar pula, “Jagan Ken Arok. Jangan
kau bunuh anakku itu”.
Ken Arok berpaling. Dilihatnya ibu Panji
Bawuk itu melangkah perlahan-lahan ke arahnya. Kemudian berjongkok
sambil membungkukkan kepalanya hampir menyentuh tanah.
“Aku mohonkan ampun kepadamu Ken Arok, seperti anakku pun telah mohon ampun pula kepadamu”.
“Aku juga Ken Arok” sahut suara yang lain, suara Bango Samparan sendiri, “Aku juga minta ampun untuknya”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Betapa
liarnya Bango Samparan dan betapa ia menganggap nyawa seseorang seperti
nyawa ayam saja, namun terhadap anaknya ia tidak sampai hati untuk
membiarkannya mati atau tersiksa sepanjang hidupnya.
Sambil memandang orang-orang yang berada
di sekitarnya Ken Arok bertanya, “Jadi bagaimana dengan Panji Bawuk ini?
Apakah harus aku ambil biji matanya, atau aku bunuh saja sama sekali”.
Hampir berbareng ayah dan ibunya meayahut, “Jangan, jangan”.
“Ayah Bango Samparan” berkata Ken Arok
pula “Bukankah anak ini sama sekali tidak mau mendengarkan kata-katamu
lagi? Bahkan dengan sepenuh hinaan ia dan ibunya bersama dengan
adik-adiknya telah sengaja melanggar harapan ayah atas orang-orang yang
dibawanya masuk ke dalam lingkungan halaman rumahnya? Di sini ayah Bango
Samparan adalah pimpinan keluarga. Tetapi seandainya aku orang lain,
aku adalah tamu pimpinan keluarga itu. Penghinaan atas tamunya maka itu
berarti penghinaan atas ayah sendiri. Apalagi sikap bibi sungguh
menyakitkan hati”.
“Ya, ya” Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi ia adalah anakku”.
“Bagaimana ajaran ayah tentang
menyelesaikan persoalan sampai tuntas seperti yang telah meresap pula di
dalam hati Panji Bawuk dan seperti yang ayah lakukan atas bekas
prajurit itu?”
“Itu suatu kesalahan. Suatu kesalahan” sahut Bango Samparan, “Sekarang kami semuanya minta maaf”.
Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi
kini ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, sedang satu
telapak kakinya masih berada di dada Panji Bawuk yang terlentang. Ujung
pedangnya masih juga berada di depan mata Panji Bawuk yang ketakutan
itu.
“Bukankah kau mendengarkan permohonan kami Ken Arok” bertanya Bango Samparan.
Ken Arok tidak segera menjawab, tetapi ia masih mencari sesuatu di halaman itu.
Dan tiba-tiba saja, tanpa diduga-duga oleh semua orang di halaman itu Ken Arok memanggil, “Biyung, kemarilah biyung”.
Semua berpaling, memandang kearah
pandangan mata Ken Arok. Dada mereka berdebaran ketika mereka melihat
seorang perempuan tua yang berdiri termangu-mangu di samping rumah.
“Kemarilah” sekali lagi Ken Arok
memanggil. Dengan ragu-ragu orang itu melangkah maju. Tetapi kemudian ia
berhenti. Sorot matanya memancarkan berbagai pertanyaan yang bergelora
di dadanya.
“Aku memerlukan pertolonganmu ibu” berkata Ken Arok kepada perempuan tua kurus itu “Kemarilah”.
Perempuan itu maju lagi beberapa langkah.
“Nah” Ken Arok berkata seterusnya, “Sejak
aku pertama-tama menginjakkan kakiku di halaman ini di masa aku masih
terlampau muda, maka perempuan tua itulah yang memelihara aku. Sejak
semula aku mengerti, dan kini semakin ternyata, bahwa hidupnya terlampau
kering, ia sendiri tidak mempunyai seorang anak pun dari ayah Bango
Samparan, dan agaknya bibi terlampau mementingkan dirinya sendiri.
Apalagi anak-anak gila ini”. Ken Arok berhenti sejenak. Ditatapnya mata
perempuan tua yang sayu tetapi melontarkan keragu-raguan dan
kebimbangan, teka-teki dan kecemasan. Isteri tua Bango Samparan itu
agaknya telah terlampau lama mengalami masa-masa yang pahit. Sejenak
kemudian Ken Arok melanjutkan, “Sekarang dengarlah keputusanku.
Bertanyalah kepada ibu. Kalau biyungku itu bersedia memberi kalian maaf,
maka aku pun akan memberi maaf kepada kalian. Tetapi kalau tidak, aku
pun tidak akan memaafkan kalian. Aku akan melakukan apa saja atas
perintah biyungku itu”.
Sesaat kemudian halaman itu disambar oleh
kesenyapan yang tegang. Bahkan Ken Arok sendiri menjadi tegang.
Sepercik penyesalan merayap di hatinya. Ia telah berbuat terlampau
tergesa-gesa diluar pertimbangan nalarnya. Apakah kira-kira yang akan
dilakukan, seandainya perempuan tua yang kurus dan kering itu telah
dipenuhi oleh dendam dan kebencian. Apakah ia akan melakukan seandainya
perempuan tua yang selama ini tertekan itu, melonjak oleh ledakan
kebencian yang selama ini terhimpit didasar perasaannya?
Dalam ketegangan itu, dada Ken Arok
sendiri menjadi berdebar-debar. Agaknya ia tidak kalah cemasnya dari
orang-orang lain yang berada di halaman itu. Namun ia mencoba berdoa.
Semoga yang terjadi, seperti yeng diharapkannya.
Perempuan tua, isteri tua Bango Samparan
itu tidak segera berkata sepatah katapun. Ditatapnya setiap wajah
berganti-ganti. Ken Arok, madunya, suaminya dan anak-anak tirinya.
Secercah warna merah menyambar sepasang mata yang suram itu. Orang-orang
yang selama ini bertolak pinggang dihadapannya, membentak-bentak dan
memakinya, kini terpaku diam menunggu keputusan yang akan meloncat dari
mulut perempuan tua itu.
Sejenak kemudian, semua orang telah
dikejutkan oleh sikapnya. Perempuan tua yang lemah itu tiba-tiba
menggeretak kan giginya. Wajahnya yang suram itu seolah-olah menyala.
Menyalakan dendam yang selama ini tersimpan di dalam dadanya. Dada yang
tipis dan kering.
Dengan sorot mata yang mengerikan,
perempuan itu melangkah maju. Selangkah demi selangkah semakin lana
semakin dekat dengan tubuh Panji Bawuk yang terlentang di tanah, di
bawah telapak kaki Ken Arok.
Sebuah desir yang tajam tergores di dada
Ken Arok. Kemudian terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Yang
dilihatnya kini bukanlah seorarg perempuan tua yang lemah dan kering,
tetapi seolah-olah ia sedang berhadapan dengan hantu betina yang haus
darah.
“Sekian tahun ia mengalami penderitaan” desis Ken Arok di dalam hatinya, “Sekarang tiba-tiba semuanya itu akan meledak”.
Penyesalan yang tajam telah tergurat di
dinding jantung Ken Arok. Ia telah bermain dengan api, dan yang kini api
itu telah menyala, membakar hati perempuan tua itu.
Sejenak kemudian isteri tua Bango
Samparan itu berhenti. Ditatapnya wajah Panji Bawuk dengan tajamnya.
Kemudian berganti-ganti dipandanginya keempat anak-anak Bango Samparan
dari isteri mudanya, lalu Bango Samparan sendiri dan yang terakhir
adalah isteri mudanya. Seorang perempuan yang terlampau keras hati,
tamak dan dengki.
Perempuan itulah sumber dari segala macam
kepahitan hidupnya. Perempuan itulah yang menyebabkan ia menjadi kurus
kering. Perempuan itulah yang menyebabkan ia mati di dalam hidupnya. Dan
kini ia mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Ternyata anak
angkatnya telah memberinya jalan untuk melepaskan dendamnya.
Tetapi untuk sesaat perempuan itu masih
berdiri membeku di tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang
seakan-akan menjilat setiap hati.
Bango Samparan, isterinya yang muda, dan
keempat anak-anaknya pun menjadi ngeri melihat sikap perempuan itu.
Wajahnya, matanya dan gemeretak giginya.
Dada mereka berdentangan ketika mereka
mendengar perempuan itu tiba-tiba saja tertawa. Perlahan-lahan, tetapi
suaranya seperti lengking hantu yang melagukan dendang kematian.
“Apakah yang harus aku lakukan Ken Arok?” bertanya perempuan itu tiba-tiba dengan nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir mendengar
pertanyaan itu. Sejenak ia berdiri mematung. Kakinya yang masih
menginjak dada Panji Bawuk itu menjadi gemetar, dan ujung pedangnya pun
justru telah berkisar dari depan mata Panji Bawuk.
“Apa yang harus aku lakukan he?” desak
perempuan itu, “Apakah aku yang harus menghunjamkan pedangmu, atau aku
tinggal mengucapkan keinginanku, lalu kau yang akan membantai setiap
orang di halaman ini, atau apa?”
Pertanyaan itu telah menggetarkan setiap
dada mereka yang berada di halaman itu. Terlebih-lebih isteri muda Bango
Samparan. Bahkan Ken Arok sendiri menjadi cemas dan bingung. Ia tidak
mengerti, apa yang harus diucapkannya untuk menjawab pertanyaan yang
mengerikan itu.
Namun dalam pada itu, selagi halaman itu
dicengkam oleh ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba terdengar
dikejauhan suara dendang seorang gadis kecil. Semakin lama semakin
dekat. Tetapi tiba-tiba suara itu terputus. Sejenak keheningan telah
menerkam suasana.
Keheningan yang tegang itu kemudian
dipecahkan oleh langkah gadis kecil berlari-lari masuk kehalaman. Begitu
ia melangkahi regol, maka langkahnya pun segera terhenti. Hampir
terpekik ia menyaksikan apa yang terjadi. Dilihatnya kakaknya yang
tertua terlantang di halaman, sedang seorang telah menginjak dada
kakaknya itu dengan telapak kakinya. Ayahnya berdiri gemetar dan ibunya
bersimpuh sambil membungkuk-bungkuk. Ketiga kakaknya yang lain berdiri
bagaikan patung. Dan yang terakhir dilihatnya isteri tua ayahnya berdiri
tegak dengan wajah yang mengerikan.
Ketakutan dan kebingungan telah menerkam
hati gadis kecil itu. Namun ia tidak lari meninggalkan halaman rumah
itu, tetapi justru ia melangkah mendekat perlahan-lahan.
Dan tiba-tiba saja ia berlari-lari kecil,
justru mendekati isteri tua Bango Samparan yang sedang dicengkam oleh
luapan perasaannya yang selama ini dihimpitnya rapat-rapat.
“Ibu, apakah yang terjadi?”
Mata perempuan itu telah menjadi merah. Sejenak ia berpaling kepada gadis kecil, anak Bungsu Bango Samparan dari isteri mudanya.
Gadis kecil itu kini berhenti beberapa
langkah di hadapannya. Matanya yang jernih sama sekali tidak
membayangkan perasaan dan prasangka apapun. Bahkan selangkah ia maju dan
bertanya, “Ibu, apa yang telah terjadi dengan kakang Panji Bawuk, ibu
muda, dan ayah serta kakak-kakak yang lain?”
“Minggir kau” isteri tua Bango Samparan
itu menggeram, “Aku akan berbuat sesuka hatiku atas mereka. Kalau kau
tidak pergi, maka kau akan mengalami nasib serupa”.
Gadis itu menjadi heran. Ketakutan
semakin mencengkam di hatinya. Tetapi ia masih juga tidak berprasangka
apapun atas isteri tua Bango Samparan itu.
“Kenapa aku harus pergi ibu?” bertanya
anak itu, “Siapakah laki-laki yang telah berbuat jahat terhadap kakang
Panji Bawuk itu, dan kenapa ayah dan kakang-kakang yang lain tidak
berbuat sesuatu?”
Isteri tua Bango Samparan itu tidak
segera menjawab. Ditatatapnya saja wajah gadis kecil itu, seolah-olah
anak itu belum pernah dikenalnya selama ini.
“Pergilah, pergilah” desis perempuan itu.
“Kenapa ibu, kenapa aku harus pergi? Aku baru saja pulang dari belumbang”.
“Pergilah bermain-main bersama kawan-kawanmu”.
“Tidak ada ibu. Aku tidak mempunyai
kawan. Anak-anak yang berada di belumbang berlari-larian pergi ketika
aku datang kesana. Mereka tidak mau berkawan dengan aku. Aku tidak tahu,
kenapa? Aku kira aku tidak pernah nakal. Tetapi mereka tidak mau
berkawan dengan aku. Katanya, aku anak Bango Samparan. Kenapa dengan
anak ayah Bango Samparan?”
Perempuan tua itu tidak segera menyahut. Dipandanginya saja wajah gadis kecil itu semakin tajam.
Tetapi gadis kecil itu sama sekali tidak
berprasangka apapun. Sorot matanya memancarkan kebeningan hatinya yang
masih bersih. Dengan tanpa dibuat-buat ia berkata selanjutnya, “Aku
sudah berusaha ibu. Setiap hari aku berusaha mendekati mereka. Tetapi
mereka tetap bersikap demikian kepadaku. Apakah itu salahku ibu?”
Perempuan tua itu tidak menyahut. Ia
masih tetap memandangi anak itu dengan tajamnya. Dan anak itu masih
berbicara lagi, “Kenapa ibu memandang aku demikian? Apakah ibu marah
kepadaku?”
Karena perempuan tua itu masih belum
menjawab, maka gadis kecil itu berpaling kepada ibunya sendiri yang
masih borjongkok dihadapan Ken Arok, “Kemarilah Puranti, kemarilah”
panggil isteri muda Bango Samparan, “Berjongkoklah dan mintalah maaf
kepada kakangmu Ken Arok”.
Gadis kecil itu menjadi bingung. Dengan
setulus hatinya ia bertanya, “Kenapa ibu? Apakah aku bersalah? Dan
apakah ibu atau kakang Panji Bawuk atau ayah Bango Samparan bersalah?”
Ibunya tertegun sejenak dengan penuh
kebimbangan. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia mengangguk, “Ya Ngger.
Ibu bersalah. Kakangmu Panji Bawuk bersalah, ayah bersalah dan kita
semua bersalah. Karena itu, mintalah maaf”.
“Apakah ibu tua juga bersalah?”
Pertanyaan itu telah membingungkan
ibunya. Tanpa sesadarnya ia memandang kepada isteri tua Bango Samparan.
Tetapi isteri tua Bango Samparan itu tidak sedang memandanginya. Matanya
yang menyala masih hinggap pada gadis kecil yang tidak mengerti keadaan
yang sebenarnya terjadi di halaman itu.
Kini semua mata terpancang pada isteri
tua Bango Samparan. Ia memegang seluruh persoalan. Kepadanya harapan
ditumpahkan, tetapi terhadap sikapnya jugalah semua orang dicengkam
kecemasan. Apakah yang akan dikatakannya dan apakah yang diingininya
atas semua orang itu.
Bahkan Ken Arok sendiri telah tegak mematung dipukau oleh sikap perempuan tua itu. Semakin lama dadanya semakin berdebaran.
Karena perempuan tua itu tidak segera
menjawab, maka gadis kecil itu mengulang pertanyaannya, “Apakah ibu tua
juga bersalah kepada orang itu?”
Perempuan tua itu tidak menjawab. Matanya masih memancarkan kebencian yang menyala-nyala.
Tetapi tiba-tiba halaman itu seakan-akan
tergetar oleh kata gadis kecil yang masih bersikap terlampau wajar,
tanpa dibuat-buat itu, “Tuan” katanya kepada Ken Arok “Kalau ibu tua
ini juga bersalah, aku minta maaf untuknya. Kasihan, selama ini ibu tua
selalu menderita. Sepengetahuanku, ibu tua belum pernah tersenyum
apalagi tertawa karena perasaannya. Ia tertawa sekedar untuk
menyenangkan hatiku apabila ibu tua berceritera tentang burung yang
hinggap di bulan bersama seekor kuda bersayap dan kucing candramawa.
Tetapi, apabila tuan berkenan, aku minta maaf untuk semua orang yang
bersalah kepada tuan, eh, kepada kakang Ken Arok”.
Kata-kata gadis kecil itu serasa alun
yang berguncang karena taufan yang dahsyat menghantam dada perempuan tua
itu. Sejenak serasa ia melayang-layang dalam ketiada ketentuan. Namun
kemudian terlampar pada suatu kesadaran diri, dalam hubunganya dengan
gadis kecil itu. Gadis kecil yang bernama Puranti itu, anak bungsu Bango
Samparan dari isteri mudanya, adalah orang yang paling baik di dalam
rumah ini. Gadis kecil itulah kawan satu-satunya bagi isteri tua Bango
Samparan. Tidak Seperti kakak-kakaknya, gadis kecil itu bersikap baik
kepadanya. Mungkin sikap itu didorong oleh keadaan gadis kecil itu
sendiri. Gadis kecil yang juga tidak mempunyai seorang kawan pun di luar
halaman rumahnya karena ia adalah anak Bango Samparan. Sedang
kakak-kakaknya dan ibunya, apalagi ayahnya terlampau sibuk dengan
persoalan mereka sendiri-sendiri, sehingga setiap kali, gadis itu hanya
dapat berbicara, bermain-main dan berkawan dengan isteri tua Bango
Samparan.
Kehadiran gadis kecil di rumah Bango
Samparan itulah yang menahan isteri tuanya tidak membunuh dirinya.
Bersama gadis kecil itu ia masih melanjutkan sisa hidupnya betapapun
pahitnya.
Tiba-tiba mata perempuan tua yang
menyalakan dendam dan kebencian itu perlahan-lahan menjadi pudar. Di
dalam pandangan matanya, tampaklah kelembutan dan harapan di wajah anak
itu. Bahkan tiba-tiba terbayanglah di wajah itu, wajah yang lain, yang
dimasa kecilnya hampir tepat seperti wajah gadis kecil itu, yaitu wajah
ibunya, isteri muda Bango Samparan. Perempuan itu dikenalnya baik-baik
sejak masa kecilnya, bahkan didukungnya dan dimandikannya setiap pagi.
Isteri muda Bango Samparan yang tidak lain adalah adiknya sendiri itu,
terbayang jelas di wajah anak gadisnya. Namun anak ini mempunyai jauh
lebih banyak kelebihan dari ibunya. Gadis ini adalah gadis yang baik.
Terlampau baik.
“Tuan, eh, kakang” terdengar suara kecil
itu melengking, “Bukankah tuan ingin memaafkannya, terutama ibu tua? Ibu
tua selalu menangis. Hampir setiap hari. Kalau tuan marah pula
kepadanya, maka ia akan semakin menangis sehingga air matanya akan
terperas habis dan dengan demikian ibu tua akan menjadi semakin kering
dan kurus”.
Anak itu tidak dapat menyelesaikan
katanya. Tiba-tiba ia terkejut karena tiba-tiba perempuan tua itu
berjongkok memeluknya sambil berkata, “Ya, ya Puranti. Ken Arok akan
memaafkan aku. Ken Arok tidak akan menghukum aku, dan tidak akan
menghukum kau”.
Gadis itu memandang wajah perempuan tua
itu dengan mata yang bertanya-tanya. Sejenak kemudian ia berpaling
kepada Ken Arok dan bertanya pula, “Benarkah begitu kakang? Kakang tidak
akan menghukum ibu tua dan aku?”
Ken Arok telah terpukau oleh suatu pesona
yang tidak dimengertinya sendiri. Perlahan-lahan ia menggelengkan
kepalanya sambil berkata, “Tentu Puranti. Aku tidak akan menghukum ibu
tua dan kau”.
“Lalu bagaimana dengan kakak-kakak yang lain, ibu muda dan ayah?” bertanya gadis itu pula.
Sekali lagi halaman rumah Bango Samparan
itu dicengkam oleh kediaman. Tetapi getar yang tersirat disetiap hati
kini bernada jauh berbeda dengan ketegangan yang sudah terjadi.
Ujung pedang Ken Arok kini telah terkulai
hampir menyentuh tanah, sedang telapak kakinya pun telah kehilangan
daya tekanannya. Bahkan kemudian kaki itu perlahan-lahan ditariknya dan
diletakkannya di atas tanah.
Kini seluruh perhatian terpancang kepada
gadis kecil dan perempuan tua itu. Hampir setiap mata tidak berkedip
memandang mereka dengan penuh kecemasan dan teka-teki di dalam diri
masing-masing.
Jantung mereka serasa berhenti bergetar ketika mereka mendengar gadis kecil itu tiba-tiba bertanya, “Ibu, kenapa ibu menangis?”
Isteri tua Bango Samparan mengusap
matanya. Mata itu kini sama sekali telah pudar. Dendam yang memancar
dari padanya, telah padam seperti api yang tersiram air.
“Kenapa?” desak gadis kecil itu.
Perempuan tua itu tidak menjawab. Dengan
mata yang buram dipandanginya setiap orang yang berada di halaman itu.
Bango Samparan, adiknya yang menjadi isteri muda Bango Samparan, Panji
Bawuk, Kuncang, Kunal, Kenengkung dan kemudian Ken Arok.
Tiba-tiba perempuan tua itu berdiri.
Nafasnya menjadi tertahan-tahan oleh perasaannya yang bergejolak di
dalam dirinya. Dibimbingnya gadis kecil itu melangkah meninggalkan
mereka yang masih membeku di tempatnya.
“Kemana kita ibu?” bertanya gadis kecil itu.
“Marilah kita masuk Puranti. Aku mempunyai beberapa buah sawo kecik untukmu”.
“Dari mana ibu dapatkan?”
“Aku dapatkan pagi-pagi tadi, anakku. Di bawah pohonnya”.
Puranti tersenyum. Tetapi tiba-tiba langkahnya tertegun. Katanya, “Lalu bagaimana dengan ibu muda, ayah dan kakak-kakak itu?”
Isteri tua Bango Samparan itupun terhenti
pula. Dipalingkannya wajahnya. Dipandanginya Ken Arok dengan wajah yang
sayu. Dan tiba-tiba saja ia berkata dalam nada yang datar, “Tidak ada
yang harus kau lakukan Ken Arok. Sebaiknya kita tidak membiarkan dendam
membakar hati kita. Anak ini telah mengajari aku, dan sokurlah bahwa aku
belum menjadi hangus dijilat oleh api kebencian dan dendam yang selama
ini tersimpan di dalam dada”. Perempuan tua itu berhenti sejenak. Sekali
lagi dipandanginya adiknya yang menjadi isteri muda Bango Samparan,
lalu, “Bukan kuwajiban kita untuk menentukan jalan hidup seseorang. Kita
memang harus berusaha. Tetapi yang terakhir adalah Yang Maha Agung.
Mudah-mudahan Yang Maha Agung berkenan merubah segala macam sifat yang
ada pada diri adikku dan anak-anaknya. Semoga. Tetapi sudah tentu bukan
jalan yang paling parah. Kematian. Tidak. Aku masih ingin melihat
kesempatan bagi mereka untuk menyesali segala kekeliruan yang telah
mereka perbuat”.
Perempuan itu terdiam. Kemudian
kaki-kakinya yang lemah melangkah kembali sambil membimbing Puranti
masuk ke dalam rumah lewat pintu samping.
Mereka yang ditinggalkan di halaman masih
juga membeku di tempat masing-masing. Mereka tidak segera tahu apa yang
sebaiknya mereka lakukan. Bango Samparan sama sekali tidak bergerak
ditempatnya, sedang isterinya masih juga berlutut di tanah. Panji Bawuk
masih terbaring diam, sedang Ken Arok kini berdiri di sisinya dengan
penuh kebimbangan.
Angin yang silir telah mengusap wajah Ken
Arok yang dengan bintik-bintik keringat dinginnya. Bahkan seluruh
tubuhnya seolah-olah telah tersiram dengan air hujan. Basah oleh
keringat.
Sejuknya angin yang berhembus lambat
agaknya telah menyegarkan ingatan Ken Arok. Segera menyadari, bahwa ia
harus mengambil keputusan. Karena itu, maka dicobanya untuk menenangkan
hatinya sambil menarik nafas dalam-dalam.
Sikap Puranti benar-benar berkesan di
hatinya. Gadis kecil itu benar-benar berhati bersih meskipun ia hidup
diantara serigala-serigala liar yang buas.
“Masih juga dapat diketemukan sebutir
mutiara di dalam lumpur yang paling kotor“, berkata Ken Arok di dalam
hatinya, “Sikap biyung Bango Samparan terhadap anak itu pasti bukan
tanpa sebab. Agaknya anak itu adalah satu-satunya manusia yang masih
memperhatikannya”.
Tanpa sesadarnya Ken Arok
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapinya wajah Panji Bawuk
dan adiknya berganti-ganti. Wajah yang tiba-tiba telah dicengkam kembali
oleh ketegangan dan ketakutan.
Tetapi mereka menjadi terheran-heran. Ken
Atok tiba-tiba saja menyarungkan pedangnya sambil berkata, “Ibu tua
sudah menentukan keputusannya. Itu adalah ucapan hati seorang yang
berbudi. Kalian telah mendengar apa yang dikatakannya. Ibu tua itu masih
ingin melihat kalian mendapat kesempatan untuk menyesali kesalahan
kalian selama ini. Karena itu tidak sepantasnya kalian dibunuh. Kalian
harus dimaafkan, dan diberi kesempatan untuk menentukan sikap dan
memaksa diri sendiri untuk meneliti, manakah yang benar dan manakah yang
salah menurut penilaian yang wajar. Bukan menurut penilaian demi
kepentingan kalian sendiri”.
Isteri muda Bango Samparan menundukkan
kepalanya. Sama sekali tidak diduganya, bahwa suatu ketika ia akan
terbentur pada keadaan yang aneh baginya, tetapi serasa mengorek sampai
kepusat jantungnya. Masih juga ada orang yang betapapun alasannya,
memaafkan kesalahan yang telah diperbuatnya Meskipun orang itu dapat
berbuat sekehendak hati atasnya dan anak-anaknya. Masih juga ada orang
yang terpengaruh oleh kebeningan hati gadis kecilnya. Hal yang serupa
itu tidak akan pernah terlintas di kepalanya dan kepala anak-anaknya.
Mereka akan dengan bangga membunuh atau lebih jahat lagi dari padanya,
dengan penuh kebengisan memperlakukan korbannya sewenang-wenang. Dera
dan siksa.
Penuh dengan kebencian kepada sesama didorong oleh ketamakan dan kedengkian hati.
Dan kini tiba-tiba isteri muda Bango
Samparan itu mendapat perlakuan yang berlawanan dari seseorang yang
hampir saja menjadi korban kebenciannya. Hampir saja Ken Arok mereka
perlakukan semena-mena seandainya tidak secara kebetulan Ken Arok
mempunyai kelebihan dari mereka seluruhnya. Seandainya Ken Arok itu
tidak mampu melawan senjata anak-anak Bango Samparan itu, maka Ken Arok
akan menjadi makanan burung-burung gagak di atas anjang-anjang yang akan
mereka buat di atas sebatang pohon.
Isteri muda Bango Samparan itu
terperanjat ketika ia mendengarkan Ken Arok berkata, “Sekarang pergilah
kalian. Aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku akan segera meninggalkan
tempat ini. Mudah-mudahan semuanya akan berubah. Terutama hati yang
tersimpan di dalam dada kalian”, Ken Arok berhenti sejenak sambil
menatap wajah Panji Bawuk. Kemudian ia melanjutkan, “Aku dahulu adalah
seorang penjahat yang paling liar dan buas. Yang sama sekali tidak
mengenal peradaban, karena sejak aku dilahirkan aku sudah terbuang dari
lingkungan peradaban manusia yang baik. Aku hidup diantara pencuri,
penjudi dan kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi pada suatu saat aku
menemukan kesadaran baru di dalam diriku, sehingga aku mendapat jalan
untuk menempuh hidup dengan cara yang sekarang ini”.
Tidak seorang pun yang beranjak dari
tempatnya. Dengan ragu-ragu mereka mendengar Ken Arok berkata
selanjutnya, “Pergilah. Kenapa kalian diam membeku?” Lalu kepada Bango
Samparan ia berkata, “Aku minta diri ayah”.
Bango Samparan tergagap. Namun kemudian
ia menyahut terbata-bata, “Jangan pergi dahulu Ken Arok. Baiklah kau
singgah sebentar. Kau akan dapat lebih banyak memberikan jalan kepada
kami. Mudah-mudahan kedatanganmu berpengaruh atas kami sekeluarga”.
“Pikirkan saja kata-kataku. Kalau kalian
dapat membuat membuat pertimbangan, maka kalian akan menemukan
kesimpulan itu. Di rumah ini ada juga seorang yang berbudi dan seorang
gadis kecil yang terlampau baik. Kepada mereka kalian dapat mencari
percikan-percikan sinar yang dapat kau pakai untuk mencari jalan keluar
dari kegelapan. Selebihnya, kalian harus selalu berusaha mendekatkan
diri kepada sumber hidup kalian”.
“Ya, ya”, sahut Bango Samparan ”Tetapi kau tidak boleh segera pergi. Kau harus tinggal di sini meskipun hanya semalam”.
Ken Arok tidak segera menyahut. Tetapi
terbayang keragu-raguan di wajahnya. Sekali ditatapnya wajah isteri muda
Bango Samparan yang kini tertunduk lesu. Kemudian wajah anak-anaknya
dan wajah Bango Samparan sendiri.
“Apakah kau masih ragu-ragu?” bertanya
Bango Samparan, “Kami sudah benar-benar menyesali perbuatan kami. Kami
tidak akan membuat jebakan atau pengkhianatan di malam hari seandainya
kau bermalam di sini”.
“Aku percaya” jawab Ken Arok ”Tetapi aku
ingin berjalan mengikuti langkah kakiku. Aku ingin melihat daerah-daerah
yang terbuka untuk menyegarkan nalar dan perasaanku”.
“Tetapi kau sudah sampai ke rumah ini.
Aku memang bermaksud memintamu bermalam di rumah yang jelek ini. Mungkin
ada kenangan yang dapat menumbuhkan ikatan baru di antara kita setelah
selama ini kita seakan-akan tidak berhubungan lagi”.
Ken Arok mengerutkan keningnya.
Seakan-akan sesuatu telah mendesaknya untuk meninggalkan saja halaman
rumah itu. Tetapi ia mendengar Bango Samparan berkata seterusnya “Atau
kau anggap bahwa kau sudah tidak pantas lagi masuk ke rumah yang kotor
ini?”
Ken Arok berdesah. Tetapi ia tidak dapat
lagi menolak permintaan Bango Samparan untuk bermalam barang semalam di
rumahnya. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia menjawab “Baiklah ayah,
aku akan bermalam di rumah ini semalam”.
“Terima kasih, terima kasih” Bango
Samparan hampir berteriak. Kemudian dengan serta-merta ia meloncat
menarik tangan Ken Arok masuk ke dalam rumahnya.
“Nanti dulu”, Ken Arok pun hampir berteriak ”Pakaianku”.
“O”, lalu Bango Samparan berteriak, “Kunal, bawalah bungkusan itu masuk”.
“Biarlah aku sendiri yang membawanya” sahut Ken Arok.
Tampak wajah Bango Samparan berkerut
sesaat. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah Ken Arok. Memang sudah tidak
ada seorang pun diantara kami yang dapat kau percaya”.
“Bukan itu maksudku” berkata Ken Arok, “Aku hanya ingin tidak membuatnya repot”.
Tetapi Bango Samparan tersenyum. Katanya,
“Baiklah, apapun alasanmu, namun aku dapat meraba perasaanmu. Tetapi
ini sama sekali bukan salahmu atau bahwa kau terlampau berprasangka atas
kami. Memang salah kami sendirilah, bahwa kami telah membuat orang lain
kehilangan kepercayaan kepada kami”.
“Kau menangkap sikapku terlampau jauh”.
Bango Samparan tidak menjawab lagi.
Dibiarkannya Ken Arok melangkah mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan
pakaian yang dibawanya.
Ketika Ken Arok dan Bango Samparan telah
hampir melangkahi tlundak pintu, tiba-tiba Bango Samparan berhenti
sejenak sambil berpaling, “He, anak-anak. Tangkap dua ekor ayam kita
yang paling gemuk. Kita merayakan hari yang baik ini”.
Panji Bawuk yang sudah bangkit dan duduk
di tanah memandang ayahnya dengan heran. Kemudian ditatapnya wajah
ibunya yang termangu-mangu.
“He, kenapa kalian menjadi bingung” teriak Bango Samparan “Tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk”.
Namun anak-anaknya dan isteri mudanya
masih juga kebingungan. Sehingga mereka sejenak hanya saling memandang
sambil bertanya-tanya di dalam hati.
Tetapi Ken Arok yang pernah tinggal di
rumah itu, dapat mengerti maksud Bango Samparan. Karena itu maka segera
ia menyahut, “Kalian tidak usah bingung. Bukankah kalian telah berjanji
untuk memperbaiki semua kesalahan dan tingkah laku?”
Sepercik warna merah menyambar wajah
Bango Samparan. Sejenak ia diam mematung sambil memandang wajah Ken
Arok. Sedang anak-anaknya dan isteri mudanya masih saja tidak beranjak
dari tempatnya.
Dan tiba-tiba Bango Samparan tersenyum
sambil bertanya, “Kenapa dengan ayam yang dua ekor itu? Aku kira tidak
ada hubungan apapun dengan janji kami untuk memperbaiki tingkah laku
kami”.
“Aku tahu ayah” sahut Ken Arok, “Kalian
tidak mempunyai dua ekor ayam itu. Ayah masih juga mempunyai kebiasaan
itu. Kebiasaan yang mengasingkan ayah dari pergaulan”.
“Tetapi, tetapi …” Bango Samparan tergagap.
“Adalah kebiasaan ayah dan anak-anak ayah
yang sudah mulai liar itu dengan menangkap ayam siapapun yang
berkeliaran di jalan-jalan. Kebiasaan itu pun harus ditinggalkan. Kalian
harus menyadari akibat dari kebiasaan itu. Puranti tidak dapat berkawan
dengan siapapun. Itu sama sekali bukan salah Puranti. Tetapi salah
kalian. Sedang Puranti hanya menerima akibat dari perbuatan kalian”.
“Oh, tidak. Tidak Ken Arok. Maksudku, aku mempunyai beberapa ekor ayam sendiri”.
Ken Arok menggeleng-geleng, “Seandainya ada, pasti ayam-ayam itu sudah habis kalian makan sendiri”.
Bango Samparan menundukkan kepalanya.
Agaknya Ken Arok yang memang sudah mengenal keadaannya itu tidak dapat
dikelabuinya, sehingga suara Bango Samparan itu merendah, “Kau benar Ken
Arok. Tetapi jika tidak demikian, kami tidak mempunyai apapun untuk
menjamumu” Bango Samparan berhenti sejenak. Lalu kepada isteri mudanya
ia bertanya, “Apakah kita mempunyai sesuatu di rumah sepeninggalku?”
Isterinya menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. Jawabnya, “Tidak. Tetapi aku masih mempunyai beberapa mangkuk beras”.
“Bagus” tiba-tiba Bango Samparan berteriak, “Kau menanak nasi. Aku akan mencari lauk di tegalan”.
“Apa yang akan kau cari?” bertanya Ken Arok.
“Kijang atau kancil”.
“Sampai besok kau tidak akan dapat”.
“Kalau begitu ayam alas”.
“Terlalu sukar dicari disiang hari”.
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia ber bisik, “Bagaimana kalau kelinci?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Hampir
saja ia tidak berhasil menahan tertawanya. Sambil menunjuk buah kelapa
yang bergayutan ditangkainya ia berkata, “Bukankah dengan kelapa muda
kita dapat membuat bermacam-macam lauk”.
“O, ya, ya. Kau masih seperti dulu Ken Arek. Kalau tergesa-gesa, kau makan saja nasi dengan kelapa parut”.
“Itu lebih baik dari pada kita makan ayam panggang milik tetangga”.
“Eh” kembali wajah Bango Sambaran
dijalari oleh warna-warna merah. Katanya kemudian, “Baiklah. Baiklah
kita makan dengan kelapa parut”.
Sebelum Ken Arok menyahut, maka sekali lagi Bango Samparan menyeretnya masuk ke dalam rumah yang kotor itu.
Ketika Ken Arok telah hilang dibalik
pintu, maka perlahan-lahan Panji Bawuk bangkit berdiri tanpa mengucapkan
sepatah kata pun ia berjalan dengan kepala tunduk kebelakang rumahnya.
Kemudian melepaskan pakaiannya yang kotor. Dibantingnya dirinya
dibelakang kandang yang kosong. Sambil berbaring hanya dengan celananya
yang kumal, ia memandangi langit yang biru.
Dilihatnya segumpal awan yang putih
terbang seperti kapas tertiup angin. Hanyut perlahan-lahan ke utara.
Sedang burung-burung yang berterbangan seakan-akan telah mengisi
kekosongan langit yang tiada bertepi.
“Alangkah luasnya” tanpa sesadarnya ia berdesis, “Jauh lebih luas dari kenungkinan yang pernah aku angan-angankan”.
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam.
Peristiwa yang baru saja terjadi telah menumbuhkan persoalan yang panas
di dalam dirinya. Ia tidak dapat lagi membutakan mata hatinya, bahwa
sebenarnyalah ia telah sesat memilih jalan. Lingkungannya dan tuntunan
yang diterimanya sejak kanak-kanak. Pertengkaran dan perselisihan.
Kegelapan den ketiadaan jalan yang lain. Kini tiba-tiba seperti
terbangun dari mimpinya yang dahsyat, ia melihat bentangan langit yang
biru bersih.
“Dibawah langit ini ada berjuta-juta
macam persoalan peristiwa dan berjuta-juta cara penyelesaiannya. Tetapi
di bawah langit ini ada berjuta-juta manusia dalam kediriannya
masing-masing, dalam pendiriannya masing-masing dan dalam keutuhannya
masing-masing”, Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesah
pula “Sebenarnyalah kata Ken Arok. Kalau semua pihak berbuat menurut
kehendak dan kesenangan sendiri, maka alangkah ngerinya hidup di dalam
dunia ini. Sebenarnyalah kata Ken Arok bahwa kita masing-masing hurus
berusaha mendekatkan diri kepada sumber hidup ini. Apabila setiap orang
berusaha demikian, maka dunia akan menjadi sebuah taman raksasa yang
paling indah”.
Sekali lagi Panji Bawuk menarik nafas
dalam-dalam. Angin yang lembut mengusap tubuhnya yang kotor dan
berkeringat. Meskipun masih juga terjadi benturan-benturan yang tegang
di dalam dirinya, tetapi ia berusaha untuk mengerti, apa yang baru saja
didengarnya dari Ken Arok.
Dalam pada itu, isteri muda Bango
Samparan sibuk mengumpulkan kayu. Kuncang dengan penuh pertanyaan di
dalam dirinya tentang peristiwa yang baru saja dialami, duduk tepekur di
sudut rumahnya. Sedang Kunal dengan tangkasnya memanjat sebatang pohon
kelapa. Seperti Kenengkung, ia tidak mempunyai perasaan apapun selain
kegembiraan yang meluap. Ia merasa beruntung bahwa Ken Arok tidak
menghukumnya. Itu saja.
Sambil menunggu jamuannya, Ken Arok
berbicara tentang berbagai persoalan dengan Bango Samparan berbicara
seperti gerojogan. Tanpa henti-hentinya. Dari satu soal ke soal yang
lain. Tentang kedua isterinya dan tentang anak-anaknya.
Sementara itu nasi pun menjadi masak dan
dengan kelapa parut dihidangkan untuk menjamu Ken Arok yang
menanggapinya dengan baik, seperti pada masa-masa ia berada di rumah
itu. Makan dengan kelapa parut dan garam. Terlebih enak lagi adalah
keraknya yang tidak terlampau keras.
Pada malam harinya Ken Arok benar-benar
bermalam di rumah itu. Namun sampai jauh malam ia tidak sempat
beristirahat. Di seputar lampu minyak ia duduk bersama-sama dengan Bango
Samparan, kedua isterinya dan anak perempuannya Puranti.
Menilik percakapan itu, maka Ken Arok
mempunyai harapan yang baik, bahwa keluarga Bango Samparan akan dapat
mengubah cara hidupnya. Isteri mudanya telah banyak merasa bersalah.
Demikian pula Bango Samparan sendiri. Sedang keempat anak laki-lakinya
agaknya masih belum merasa bebas untuk duduk bersamanya.
(bersambung ke jilid-45)
No comments:
Write comments