“Nanti kita tentukan, di mana kita akan menguji diri.”
“Tidak nanti, sekarang.”
Ken Arok menggeleng, “Tidak. Aku tidak
mau. Aku harus menunggui orang-orang yang sedang bekerja itu sampai
selesai supaya mereka tidak kehilangan gairah. Supaya mereka tidak
merasa bahwa mereka kehilangan kesempatan mereka beristirahat karena
kau.”
“Persetan dengan cecurut-cecurut itu. Itu adalah kuwajibannya. Melakukan perintah atasannya.”
“Sejak semula kita berbeda pendirian.
Kita masih belum menentukan siapa yang kalah dan menang di antara kita.
Karena itu sampai saat ini aku masih tetap pimpinan tertinggi dari
setiap orang yang berada di Padang Karautan ini. Kau juga masih tetap di
bawah perintahku. Tetapi aku beri kau keleluasaan. Kalau kau mau
beristirahat, beristirahatlah. Jangan ganggu aku dengan cara-cara yang
selalu aku lakukan selama ini. paga itu pasti siap sebelum malam.”
Darah Kebo Ijo serasa mendidih di
kepalanya. Sikap Ken Arok benar-benar menyakitkan hatinya. Meskipun Ken
Arok itu seolah-olah bersikap acuh tak acuh saja, namun justru sikap
yang demikian itu terasa sangat mengganggu. Ternyata Ken Arok sama
sekali tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Ken Arok ternyata sama
sekali tidak menjadi cemas, apalagi takut.
Tetapi Kebo Ijo pun cukup percaya kepada diri sendiri. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya akhir-akhir ini membuatnya semakin rongeh.
Meskipun di hadapan gurunya ia tampak baik dan tenang, tetapi di
saat-saat lain, di saat ia tidak bersama gurunya, maka kadang-kadang ia
menyadi seperti kuda lepas kendali. Kini Kebo Ijo seolah-olah sudah
tidak menghiraukan lagi peringatan-peringatan yang diberikan oleh
Mahendra, seandainya ia dianggap bersalah. Tetapi ia masih segan
terhadap kakak seperguruannya yang tertua, Witantra, yang kebetulan
menyadi senapatinya pula di dalam susunan keprajuritan.
“Jadi apa maumu?” bertanya Kebo Ijo sambil menggeram.
“Nanti malam kita pergi ke sendang
buatan. Kita akan mendapat banyak waktu untuk berkelahi. Semalam
suntuk. Kalau masih juga belum selesai, kita teruskan malam berikutnya.”
“Bagus,” sahut Kebo Ijo lantang, “aku
akan melayanimu empat puluh malam. Tetapi aku kira tidak sampai tengah
malam aku sudah dapat menyelesaikannya.”
Sekali lagi terasa sebuah gejolak yang
tajam melanda dinding-dinding jantung Ken Arok. Bahkan sejenak ia
terdiam. Namun pandangan matanya menyadi semakin tajam. Meskipun
demikian, Ken Arok selalu berusaha untuk tidak kehilangan keseimbangan
perasaan.
Dan ia mendengar Kebo Ijo berkata terus ,“Bagaimana? Apakah kau tidak senang mendengar kata-kataku?”
“Ya, kata-katamu memang memuakkan,” jawab Ken Arok.
“Persetan. Adalah hakku untuk berkata apa
saja sesuka hatiku. Kalau kau mau marah, marahlah. Jangan menunda
kemarahanmu itu, supaya kau tidak akan kehilangan.”
“Aku memang marah, dan aku memang tidak
ingin menyembunyikan kemarahan. Tetapi aku tidak pernah berbuat sesuatu
dalam kemarahanku.”
“Bohong,” Kebo Ijo itu berteriak lagi, ”kau memang pembohong dan pengecut.”
“Jangan berteriak-teriak,” potong Ken
Arok, ”jangan membuat kesan yang jelek terhadap para prajurit. Sebaiknya
kau tersenyum dan kalau tidak mampu, pergilah beristirahat.”
Terdengar Kebo Ijo itu menggeram. Tetapi
ia tidak berhasil memancing kemarahan Ken Arok sehingga kehilangan
keseimbangan diri. Karena itu, maka Kebo Ijo itu sendirilah yang harus
menahan diri dan menunda pelepasan kemarahannya sampai malam nanti.
Dengan wajah yang gelap ia berkata, “Baik, aku akan tidur. Sebelum malam paga itu harus sudah siap. Aku akan mengatur pakaianku sebelum gelap. Sesudah itu, aku akan pergi ke sendang buatan menunggumu.”
“Baik. Pergilah. Aku sudah muak mendengar suaramu dan melihat tampangmu,” sahut Ken Arok.
Kebo Ijo yang sudah mulai melangkahkan
kakinya, bahkan tertegun. Ketika ia berpaling ia melihat Ken Arok
berjalan meninggalkannya.
“Ke mana kau?” bertanya Kebo Ijo.
“Aku akan membantu orang-orang yang sedang bekerja itu.”
Sejenak Kebo Ijo terpaku di tempatnya.
Perwira muda itu tidak mengerti sikap Ken Arok. Ia menerima
tantangannya, namun sementara itu keperluannya dicukupinya. Ia tidak
menolak permintaannya untuk membuat sebuah paga . Ia tidak membuat perintah lain kepada para prajurit itu, ia sama sekali tidak melarang, dan bahkan akan membantunya.
“Ah, betapa liciknya,” geram Kebo Ijo itu
tiba-tiba, “ia ingin mempengaruhi perasaanku supaya aku kehilangan
kemarahanku. Ia sengaja menunda perkelahian itu untuk meredakan hatiku.
Ternyata ia kini dengan tanpa malu-malu telah membantu para prajurit
menyiapkan keperluanku. Hem, kenapa ia tidak saja berterus-terang dan
minta maaf kepadaku? Tetapi biarlah ia menyadari, bahwa aku tidak senang
terhadap sikapnya yang cengeng. Aku tidak ingin memanjakan para
prajurit di sini. Dan aku ingin mengurungkan perkelahian nanti malam
meskipun barangkali aku tidak akan terlampau menyakitinya. Aku pernah
mendengar beberapa kelebihan anak muda itu. Tetapi ia tidak pernah
mendapat tuntunan secara teratur, sehingga mungkin ia hanya mampu
berbuat beberapa kelebihan yang liar. Namun ia tidak dapat berbuat
sesuka hatinya.”
Dengan wajah yang berkerut-kerut Kebo Ijo
melangkah kembali ke dalam gubugnya. Gubug yang sangat menjemukan bagi
Kebo Ijo yang baru saja menempatinya. Pakaiannya masih berada dalam
sebuah keranjang yang diletakkannya di samping tikar pembaringannya.
“Ken Arok memang pemalas. Ia dapat memerintahkan beberapa prajurit menjiapkan sebuah amben, sebuah paga, dan kalau mungkin sebuah geledeg kayu. Tetapi di sini tidak ada apa-apa selain rumput kering dan tikar pandan yang kasar ini.”
Sementara itu, Ken Arok telah berada di antara para prajurit yang sedang bekerja membuat paga.
Beberapa orang melihat sikap Kebo Ijo yang aneh dari kejauhan. Bahkan
ada yang melihat anak muda itu menyingsingkan kain panjangnya. Tetapi
mereka tidak melihat suatu perubahan sikap Ken Arok, sehingga mereka
mengambil kesimpulan bahwa Kebo Ijo sedang berceritera. Begitu asyik dan
mantapnya ia mengucapkan ceriteranya, sehingga ia membuat beberapa
gerakan yang aneh-aneh.
Para prajurit itu sama sekali tidak menyadari, bahwa Ken Arok dan Kebo Ijo telah membuat perjanjian untuk berkelahi di sendang buatan nanti malam.
Apalagi sikap Ken Arok terhadap mereka
sama sekali tidak berubah. Pemimpin mereka itu masih tetap tersenyum dan
bahkan kemudian membawa para prajurit itu dalam suatu percakapan yang
lucu.
Dengan demikian maka pekerjaan mereka
telah mereka lakukan dengan tanpa merasa kehilangan atas sisa hari
istirahat mereka. Mereka bekerja sambil bergurau, tertawa, dan yang
tidak mereka lupakan adalah makan.
“Jangan takut kehabisan,” teriak salah
seorang prajurit yang menyuapi mulutnya berlebih-lebihan, “juru masak
istana masih berada di sini.”
“Tetapi sampai kapan? Hari ini adalah
hari terakhir kita dapat bermalas-malasan. Tetapi apakah hari terakhir
pula bagi mulut-mulut kita untuk bekerja keras?”
“Tidak,” Ken Aroklah yang menyahut, “madaran
istana akan berada di sini tujuh hari tujuh malam. Besok kalian sudah
bekerja kembali, tetapi persediaan makan kalianlah yang berbeda dengan
hari-hari biasa.”
Hampir bersamaan para prajurit itu bersorak.
“Tetapi jangan kalian lepaskan bambu di tangan kalian,” Ken Arok memperingatkan.
“Sudah hampir selesai. Sebentar lagi paga ini sudah berdiri.”
“Bagus,” desis Ken Arok, “lebih cepat selesai lebih baik.”
Para prajurit itu pun kemudian
mempercepat kerja mereka. Meskipun mereka masih tetap melakukannya
sambil bergurau, namun tangan mereka menjadi semakin lincah menggerakkan
alat-alat mereka.
Sebentar kemudian maka paga yang dimaksudkan itu sudah dapat didirikan. Dengan tali-tali ijuk maka setiap bagiannya diikat baik-baik. Tiang-tiangnya, belandar, dan pengeret-nya. Palang-palang dan kemudian galar.
“Bagus,” desis Ken Arok, “paga itu cukup baik. Tiga rak-rakan sudah cukup. Tetapi agak terlalu panjang.”
“O,” sahut salah seorang prajurit,
“mungkin pakaiannya terlampau banyak. Kalau tidak, maka sebagian akan
dapat dipakai untuk meletakkan barang-barang yang lain.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Bawa paga
ini ke gubuk Kebo Ijo. Ia masih terlampau lelah. Jangan membantah apa
pun yang dikatakannya. Besok ia akan berubah apabila ia sudah tidak
lelah lagi. Ia seorang pemimpin yang baik. Mungkin ia lebih keras
daripada aku dalam beberapa hal, tetapi maksudnya harus dapat kalian
mengerti selaku prajurit-prajurit yang taat pada tugas-tugasnya sebagai
seorang prajurit.”
Para prajurit itu mengerutkan keningnya.
Peringatan itu ternyata memberikan kesan yang aneh di dalam hati para
prajurit itu. Seakan-akan Ken Arok ingin mengatakan kepada mereka, bahwa
mereka harus berusaha menyesuaikan diri mereka dengan pemimpin mereka
yang baru.
Sementara itu Ken Arok berkata
selanjutnya, “Kalau kau menjumpai sikapnya yang keras bahkan seakan-akan
tampak kasar, kalian jangan terkejut. Itu adalah wataknya. Tetapi ia
bermaksud baik,” Ken Arok berhenti sejenak, lalu diteruskannya, “Seperti
pada saat ia memerintahkan kepada kalian membuat paga . Mungkin kalian terkejut dan kurang senang. Tetapi pemimpinmu yang baru itu tahu, bahwa membuat paga
dan dilakukan bersama-sama oleh sepuluh orang bahkan lebih, sama sekali
tidak akan memberati kalian meskipun kalian sedang beristirahat.
Bukankah pekerjaan itu cepat selesai dan kalian masih sempat menikmati
kegembiraan bersama kawan-kawan kalian yang lain.”
Para prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Tetapi ketika mereka menengadahkan wajah-wajah mereka ke
langit, maka mereka melihat langit seolah-olah terbakar oleh sinar-sinar
senja yang tersisa.
Ken Arok melihat wajah-wajah mereka yang kecewa, karena hari-hari yang menyenangkan ini sudah hampir habis.
“Kalian masih mempunyai semalam lagi.
Malam nanti kalian dapat menghabiskan semua yang masih tersisa di hatimu
dalam kegembiraan ini. Obor-obor akan dipasang. Makan yang paling enak
akan disiapkan. Jangan menyesali sepotong hari yang hilang karena paga itu.”
Prajurit-prajurit itu pun kemudian
tersenyum. Salah seorang diri yang berkata, “Marilah kita mandi. Kita
habiskan malam ini dengan sebaik-baiknya. Besok dan seterusnya kita
sudah akan terbenam lagi di bendungan atau di sendang itu.”
Yang lain pun kemudian tertawa pula.
“Nah, sekarang bawa paga itu kepada Adi Kebo Ijo,” berkata Ken Arok kemudian.
Beberapa orang pun kemudian mengangkat paga itu dan membawanya kepada Kebo Ijo.
Di dalam gubugnya Kebo Ijo sedang
berbaring untuk melepaskan penatnya. Meskipun ia tahu bahwa di langit
warna-warna merah telah menyala, tetapi ia masih saja berbaring diam.
Angan-angannya membubung tinggi seolah-olah ingin menggapai awan.
Dinikmatinya kembali saat wisudanya. Kemudian disesalinya perintah Akuwu
yang mengirimkannya ke padang yang kering dan sepi ini.
“Gila,” gerutunya. Kebo Ijo merasa
dirinya terlampau malang. Ia membayangkan isterinya yang belum lama
dikawininya, pasti merasa sepi juga di rumah.
“Di sini aku berkumpul dengan orang-orang
gila seperti Ken Arok. Kenapa Ken Arok itu mendapat kedudukan yang baik
di dalam lingkungan pelayan dalam. Tetapi agaknya Akuwu kecewa juga
atasnya ternyata ia dikirim ke Padang Karautan ini.” Tiba-tiba ia
terkejut sendiri. Desisnya, “Jadi, apakah demikian juga terhadapku?”
Lalu dijawabnya sendiri, “Ah, pasti tidak. Aku mempunyai kedudukan yang
berbeda dengan Ken Arok. Ken Arok adalah seorang yang sepantasnya
dilemparkan di padang ini. Sedangkan aku dikirim Akuwu untuk
mengawasinya. Asal kami pun berbeda. Aku kira Ken Arok adalah anak padesan atau anak padang-padang rumput. Aku dilahirkan di Tumapel. Di dalam lingkungan orang-orang besar.”
Tiba-tiba Kebo Ijo itu terkejut ketika ia
mendengar langkah-langkah kaki mendatanginya. Sambil berbaring saja ia
berteriak, “He, siapa itu?”
“Kami,” terdengar seseorang menyahut, “kami mengantarkan paga yang telah selesai kami buat.”
Dengan malasnya Kebo Ijo pun bangkit. “Bawa masuk.”
Para prajurit pun kemudian membawapaga itu masuk ke dalam gubug Kebo Ijo.
“Ah,” Kebo Ijo berdesah, “macam itulah kecakapan kalian membuat perkakas?”
Para prajurit itu saling berpandangan. Mereka kemudian berdiri dengan gelisah ketika mereka melihat Kebo Ijo meraba-raba paga itu dan menggoyang-goyangkannya.
“Tidak sampai sebulan paga ini sudah roboh,” katanya, “padahal aku berada di padang ini sampai taman itu dibuka. Kalian benar-benar bodoh.”
Tak seorang pun yang menjawab.
“Apalagi yang kalian tunggu he? Kenapa
kalian masih berdiri saja di situ? Apakah kalian menunggu aku
memuji-muji kalian atas pekerjaan kalian yang jelek ini?”
Para prajurit itu terkejut. Kemudian satu
demi satu mereka melangkah keluar meninggalkan gubug Kebo Ijo itu.
Dengan dahi yang berkerut mereka melihat, bayangan hitam dari langit
seolah-olah hendak menerkam mereka dan seluruh Padang Karautan.
Satu-satu bintang mulai bermunculan.
Warna-warna senja yang menyangkut pinggiran awan yang hanyut di udara,
semakin lama menjadi semakin pudar.
Para prajurit itu pun kemudian melangkah
dengan tergesa-gesa ke gubug masing-masing. Salah seorang dari mereka
berkata, “Semua orang telah siap mengitari makan mereka. Aku masih belum
mandi.”
“Kau kira aku juga sudah mandi? Bukankah kita sekelompok yang sedang sial ini masih belum mandi seluruhnya.”
“Ayo, cepat kita mandi. Kalau kita
terlambat, maka kita tidak akan mendapat bagian. Kita hanya akan
menemukan sisa-sisa makan mereka.”
“Kita pasti terlambat. Lihat,” berkata
salah seorang dari mereka sambil menunjuk ke tempat terbuka di samping
perkemahan mereka. “Obor-obor telah dipasang. Mereka telah duduk
berkeliling.”
“Uuah,” prajurit yang termuda di antara
mereka menyahut, “aku akan menyesal sepanjang umurku kalau aku tidak
dapat ikut makan bersama kali ini.”
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara lirih di belakangnya, “Jangan takut. Aku akan menunggu kalian.”
Tersentak mereka berpaling. Ternyata di
belakang mereka berdiri Ken Arok sambil tersenyum. “Itulah agaknya yang
selalu kalian pikirkan. Sekarang, cepat, pergi mandi. Kami akan menunggu
kalian supaya kalian tidak menyesal sepanjang umur kalian.”
Para prajurit itu pun tersenyum pula.
Salah seorang dari mereka menjawab, “Mumpung. Mumpung kami mendapat
kesempatan. Belum tentu kesempatan yang serupa akan datang di saat yang
lain nanti.”
Kawan-kawannya pun tertawa pula.
“Ayo, cepat mandi. Kalau kalian terlampau lama, maka kami tidak akan menunggu kalian. Makan bersama itu akan segera aku buka.”
Para prajurit itu pun tertawa. Tetapi
langkah mereka benar-benar menjadi semakin panjang. Dengan tergesa-gesa
mereka pergi ke bendungan untuk mandi.
Di tempat yang terbuka, para prajurit dan
orang-orang Panawijen telah duduk dalam satu lingkaran yang luas,
bersap-sap. Hari ini mereka akan menikmati acara yang meriah. Makan
bersama. Obor-obor telah dipasang hampir setiap sepuluh langkah.
Beberapa orang yang bertugas telah sibuk menyiapkan makan mereka.
Ken Arok berdiri sambil menyilangkan
kedua tangannya di dadanya. Diawasinya orang-orang yang duduk sambil
berkelakar itu. Mereka tampak gembira. Satu dua di antara mereka
mempercakapkan perkawinan Akuwu Tunggul Ametung dengan Ken Dedes.
Terutama orang-orang Panawijen. Mereka pada umumnya merasa bangga, bahwa
gadis dari Padepokan Panawijen akan menjadi seorang permaisuri Tumapel.
Tetapi sebagian para prajurit itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Mereka hanya menjadi gelisah ketika makanan masih juga belum
dibagi-bagikan.
Ternyata Ken Arok menepati janjinya. Ia menunggu beberapa orang yang sedang mandi setelah mereka membuat paga
bagi Kebo Ijo. Baru setelah semua orang berkumpul, maka Ken Arok
menyuruh seorang prajurit yang paling jenaka di antara mereka, untuk
membuka acara makan bersama itu. Dengan gayanya yang khusus prajurit itu
berdiri di dalam lingkaran, dan dengan lucunya ia mengucapkan beberapa
patah kata. Setiap kali terdengar kawan-kawannya tertawa meledak.
Orang-orang Panawijen pun tertawa pula terkekeh-kekeh sehingga ada di
antara mereka yang terpaksa memegangi perut mereka yang belum terisi.
Ken Arok berdiri saja sambil
tersenyum-senyum. Namun tiba-tiba wajahnya berkerut ketika tiba-tiba
saja Kebo Ijo telah berdiri di sampingnya. “ Aku menunggumu di sendang buatan itu,” desisnya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Baik. Aku akan menyelesaikan acara ini. Dan aku akan segera pergi ke sendang itu.”
“Kau menunggu marahku lilih? ”
Dada Ken Arok berdesir. Tetapi ia tidak
ingin mengganggu kegembiraan orang-orangnya bersama orang-orang
Panawijen. Jawabnya pelahan-lahan, “Tidak, justru aku menunggu kau
menjadi semakin marah. Aku ingin kita berkelahi dengan sungguh-sungguh.”
“Setan alas,” Kebo Ijo berdesis.
“Jangan keras-keras,” potong Ken Arok. Ia masih tetap menyadari keadaan sepenuhnya, “jangan merusak suasana.”
“Persetan dengan acara gila-gilaan ini,” jawab Kebo Ijo, “atau kita manfaatkan pertemuan ini sama sekali?”
“Buat apa?”
“Kita buat acara yang pasti paling meriah. Kita berkelahi di tengah-tengah arena ini.”
“Kau gila. Sudah aku katakan bahwa aku tidak mau memberi mereka contoh yang jelek.”
“Kalau begitu, cepat, pergi ke sendang itu.”
“Aku akan menyelesaikan acara ini. Sebaiknya kau ikut pula bergembira bersama para prajurit dan orang-orang Panawijen itu.”
“Huh, aku bukan termasuk orang-orang yang dapat digembirakan oleh sebungkus nasi gebuli. ”
“Oh, kau salah. Yang membuat mereka bergembira bukan sebungkus nasi gebuli. Tetapi mereka merasakan kemesraan hubungan antara mereka. Itulah yang menggembirakan.”
“Omong kosong. Kegembiraan yang demikian hanyalah untuk prajurit-prajurit rendahan dan orang-orang padesan
seperti orang-orang Panawijen. Cepat, selesaikan acaramu yang gila ini.
Aku hampir tidak sabar. Aku akan pergi dahulu. Kalau lewat tengah malam
kau tidak datang, aku anggap kau kalah dalam pertaruhan ini, dan
kekuasaan di sini berada di tanganku. Akulah yang berhak mengatur
semuanya. Aku ingin menghilangkan setiap kebiasaan yang jelek di sini.
Cengeng, bermanja-manja, dan malas. Sama sekali bukan sikap dan sifat
seorang prajurit Tumapel yang perkasa.”
Ken Arok tidak segera menyahut. Ia
menganggap bahwa lebih baik ia berdiam diri supaya Kebo Ijo tidak
berteriak-teriak. Apabila anak itu kehilangan pengendalian diri, maka ia
pasti akan berteriak-teriak dan berbuat di luar sadarnya. Dengan
demikian maka akan dapat timbul hal-hal yang tidak dikehendakinya.
Tetapi Kebo Ijo itu mendesaknya, “Bagaimana?”
Ken Arok mengangguk, “ya, aku sanggupi,” jawabnya.
“Bagus,” sahut Kebo Ijo, “aku akan pergi
saja dari tempat yang memuakkan ini. Biarlah mereka makan makanan yang
belum pernah mereka makan. Tetapi bagiku makanan-makanan itu sama sekali
tidak menimbulkan selera lagi. Aku akan berbaring saja di bilikku, lalu
pergi ke sendang itu. Seleraku hari ini adalah berkelahi.”
“Baik,” jawab Ken Arok, “kita berjanji saja.. Tepat tengah malam.”
“Bagus.”
Kebo Ijo pun kemudian meninggalkan tempat
yang riuh oleh suara gelak tertawa itu. Suara gelak tertawa yang
baginya sangat mengganggu perasaannya. Ia ingin melihat para prajurit
itu hormat kepadanya di segala tempat dan waktu. Dalam pertemuan yang
demikian, maka ia harus mendapat tempat yang terhormat dan khusus. Tidak
berada bersama-sama dalam lingkungan para prajurit dan orang-orang
Panawijen seperti Ken Arok dan Ki Buyut.
“Betapa bodohnya mereka itu. Mereka
merendahkan dirinya,” gumamnya di sepanjang langkahnya menuju ke
biliknya. Wajahnya menjadi sedemikian gelap. Seolah-olah tengah malam
datangnya terlampau lama.
Ken Arok dapat mengerti juga pendirian
Kebo Ijo. Tetapi ia berpendirian lain. Kewibawaan tidak perlu
dibangunkan dengan membuat garis pemisah antara pemimpin dan yang
dipimpin. Setiap kali para pemimpin harus menunjukkan kelebihannya dalam
keadaan yang wajar. Memberi petunjuk-petunjuk dan contoh-contoh yang
baik. Memang sekali-sekali perlu berbuat keras, tetapi dalam batas-batas
kewajaran. Tidak berlebih-lebihan. Apalagi sengaja dipamerkan
berlandaskan kekuasaan.
Sementara itu kegembiraan orang-orang
Panawijen dan para prajurit Tumapel berjalan dengan riuhnya. Setiap kali
terdengar suara tertawa. Meskipun mereka telah mendapatkan makan
masing-masing, tetapi suara kelakar mereka masih saja terdengar.
Orang-orang itu mulai mengelompokkan diri dalam lingkaran-lingkaran yang
lebih kecil. Dan di antara mereka mulai timbul permainan-permainan yang
lucu. Setiap kelompok mempunyai cara masing-masing untuk bergembira dan
tertawa.
“Kalau mereka telah lelah, maka mereka akan berhenti dengan sendirinya,” guman Ken Arok.
Maka dengan diam-diam ditinggalkannya
tempat yang riuh itu. Ia ingin memenuhi janjinya terhadap Kebo Ijo.
Karena itu maka dibenahinya pakaiannya. Mungkin ia harus berkelahi
dengan sepenuh tenaganya. Ia belum tahu pasti kekuatan Kebo Ijo. Tetapi
ia dapat menduganya, bahwa anak itu pasti sudah menjadi semakin maju.
Sejenak ia singgah ke dalam gubugnya.
Disuapinya mulutnya dengan beberapa potong makanan dan beberapa teguk
minuman. Ia tahu dan menyadari bahwa ia sedang melakukan suatu permainan
yang berbahaya. Tetapi ia tidak mempunyai cara lain untuk menundukkan
Kebo Ijo.
“Tetapi kalau aku tidak dapat memenangkan
perkelahian ini, maka semua jabatanku pasti akan lenyap bersama
kekalahanku. Apabila Akuwu mendengarnya, mungkin aku akan ditarik
kembali ke Tumapel, untuk menerima kemarahannya. Bahkan mungkin aku akan
dapat disingkirkan. Akuwu pasti tidak akan senang mendengar hal ini
terjadi.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian
desahnya, “Itu akan lebih baik daripada Kebo Ijo selalu mengganggu
semua rencana dan cara yang aku lakukan. Kalau ia menang, biarlah ia
mengambil-alih pimpinan dengan akibat yang paling pahit yang dapat
terjadi atasku. Tetapi kalau aku berhasil, aku tidak akan diganggunya
lagi.”
Sejenak kemudian Ken Arok itu berdiri.
Sekilas dipandanginya pedangnya yang tersangkut di dinding. Tetapi
kemudian ia menggeleng, “Tidak perlu. Senjata akan sangat berbahaya bagi
orang-orang yang kadang-kadang dapat lupa diri. Kebo Ijo adalah seorang
yang mudah kehilangan pengendalian diri, dan aku agaknya bukan seorang
yang terlalu kuat bertahan dalam kesadaran yang penuh. Biarlah aku tidak
usah membawa senjata apa pun.”
Sejenak kemudian Ken Arok itu pun
melangkah keluar. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya
bintang-bintang sudah jauh berkisar. Tetapi lamat-lamat ia masih
mendengar gelak tertawa di pinggir perkemahan, dan ia masih melihat
cahaya api obor yang seolah-olah memancar ke langit.
Pelahan-lahan ia berjalan meninggalkan
perkemahannya. Langkahnya berdesir di antara gubug-gubug yang sepi.
Tetapi Ken Arok sengaja tidak melalui gubug Kebo Ijo. Ia ingin berjalan
sendiri. Biarlah Kebo Ijo itu mendahuluinya atau menyusulnya kemudian.
“Aku masih mempunyai waktu,” desis Ken Arok, “masih belum tengah malam.”
Dalam kesepian padang rumput Karautan,
Ken Arok melangkah setapak demi setapak. Dipandangnya parit induk yang
membujur di samping kakinya. Parit itu sudah cukup dalam dan lebar.
Apabila air sudah naik dari bendungan, maka parit induk itu sudah cukup
dapat menampung airnya, dan mengalirkannya sampai ke sendang buatan. Di sepanjang susukan
itu beberapa kali Ken Arok harus meloncati parit-parit yang
bercabang-cabang. Seperti akar pepohonan yang menghujam langsung ke
dalam bumi, demikianlah parit-parit itu menjalar ke seluruh bagian
Padang Karautan yang akan dijadikan tanah persawahan.
Alangkah jauh perbedaan perasaan yang
dialaminya. Dahulu ia juga selalu berkeliaran di padang ini. Tetapi kini
terasa bahwa kehadirannya di Padang Karautan itu bermanfaat. Tidak saja
bagi dirinya sendiri, tetapi bagi banyak orang yang memerlukan tempat
tinggalnya.
Malam pun menyadi semakin malam. Ken Arok
masih melangkah pelahan-lahan. Dilepaskannya pandangan matanya
sejauh-jauh dapat dicapainya. Dipandanginya bintang-bintang di langit
dan mega yang keputih-putihan memulas wajah yang kehitam-hitaman yang
terbentang dari ujung bumi ke ujung yang lain.
Sekali-sekali terasa desir yang halus
terasa di dalam dada anak muda itu. Anak muda yang tidak pernah
menikmati masa-masa mudanya dengan wajar. Namun justru karena itulah,
maka ia menjadi cukup dewasa menghadapi berbagai masalah. Ia tampak jauh
lebih matang daripada anak-anak muda sebayanya.
Dan kini ia akan berhadapan dengan anak muda yang masih kekanak-kanakan, Kebo Ijo.
“Kemampuan anak itu terlampau tinggi
dibandingkan dengan sifat kekanak-kanakannya,” katanya di dalam hati,
“apabila tidak ada keseimbangan, maka hal itu akan berbahaya baginya
sendiri dan bagi lingkungannya.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan kemudian ia berdesis, “Kini akulah yang pertama-tama akan
mempertaruhkan diri. Kalau aku kalah, maka akulah korban di antaranya.
Dan korban-korban semacam itu akan terus-menerus berjatuhan.”
Ken Arok menengadahkan wajahnya ketika
terasa angin kencang mengusap tubuhnya. Dingin malam mulai merayapi
kulitnya yang berwarna merah tembaga karena terik matahari yang setiap
hari menyengatnya.
Langkahnya terhenti ketika ia mulai
menginjakka kakinya di atas tanah yang mulai dipagarinya. Bagian dari
taman yang sedang dibuatnya. Di tengah-tengah taman itulah ia membuat
sebuah sendang .
Ternyata justru Kebo Ijolah yang belum
sampai ke tempat itu. Karena itu maka ia masih harus menunggu.
Diletakkannya tubuhnya di atas sebongkah batu yang masih belum dipasang.
Tetapi ternyata ia tidak menunggu terlalu lama. Di dalam gelapnya malam ia melihat sesosok bayangan mendekati sendang itu. Belum lagi ia sempat menegurnya, didengarnya bayangan itu telah memanggil namanya keras-keras. “He, Ken Arok. Di mana sendang itu? Apakah kau sudah berada di sana?”
Sengaja Ken Arok tidak segera menjawab.
Ia menyadari bahwa dirinya berada di bawah lindungan pepohonan yang
masih belum terlampau tinggi, sehingga tempatnya duduk pasti lebih gelap
dibandingkan dengan tempat-tempat yang terbuka.
“Ken Arok, he Ken Arok. Apakah kau belum datang?”
“Gila,” desis Ken Arok di dalam hatinya, “seandainya aku belum datang, siapakah yang harus menjawab?”
Kemudian didengarnya Kebo Ijo itu
menggerutu, “Setan alas. Aku masih harus menunggu. Kalau ia tidak datang
tengah malam, maka aku akan mengambil-alih semua pimpinan. Disetujui
atau tidak disetujui oleh Akuwu,” Kebo Ijo terdiam sejenak. Dan bayangan
yang lamat-lamat di dalam gelapnya malam itu menjadi semakin dekat. Dan sekali lagi terdengar Kebo Ijo itu bergumam, “Inilah agaknya taman dan sendang buatan itu.”
Anak muda itu kini berhenti melangkah.
Sambil bertolak pinggang ia memandang berkeliling. Tetapi ternyata gelap
malam telah mengganggunya.
“Hem,” ia berdesis, “sampai kapan aku harus menunggu.”
Tetapi tiba-tiba ia terlonjak. Selangkah
ia mundur namun jelas bagi Ken Arok, bahwa anak itu benar-benar lincah
dan tangguh. Begitu ia tegak berdiri, maka ia pun telah siap untuk
melawan setiap serangan yang datang.
“Siapa kau he?” Kebo Ijo berteriak, “ayo, mendekatlah. Kita berhadapan secara jantan.”
Ternyata Kebo Ijo telah dikejutkan oleh
desir kaki Ken Arok yang sedang berdiri. Ia sengaja memperdengarkan
geraknya supaya Kebo Ijo mengetahui bahwa seseorang telah menunggunya.
Karena itu maka sambil tertawa pendek Ken Arok berkata, “Jangan terkejut
adi Kebo Ijo. Aku sudah lama menunggumu.”
“Demit, tetekan,” Kebo Ijo
mengumpat, “kenapa kau diam saja ketika aku memanggil namamu? Ken Arok,
apakah kau ingin menyerang aku dengan diam-diam he?”
“Tidak Kebo Ijo,” jawab Ken Arok, “aku
mencoba mendengar pendapatmu tentang taman ini. Tetapi kau tidak
mengucapkan pendapat itu. Bahkan kau selalu menggerutu dan
mengumpat-umpat saja.”
“Jelek,” desis Kebo Ijo, “taman ini jelek sekali. Akuwu Tunggul Ametung pasti tidak akan puas melihatnya.”
Ken Arok melangkah maju. Sekali lagi ia
tertawa pendek sambil berkata, “Mudah-mudahan Akuwu tidak sependapat
dengan kau. Aku mengharap bahwa taman ini akan menggembirakan hatinya
dan hati permaisurinya.”
“Mungkin kau dapat menggembirakan hati
permaisurinya. Permaisuri yang meskipun cantiknya melampaui bintang
pagi, tetapi ia berasal dari Panawijen. Tamanmu ini pasti akan lebih
baik dari taman di padepokan gadis itu. Tetapi berbeda dengan
Akuwu Tumapel. Akuwu itu sejak kecilnya hidup di dalam lingkungan yang
baik. Itulah sebabnya maka Akuwu pasti mampu menilai tamanmu itu.”
“Aku tidak berkeberatan,” sahut Ken Arok,
“seandainya Akuwu tidak tidak puas dengan taman itu, maka itu akan
menjadi pelajaran bagiku, bahwa aku masih belum mampu memenuhi tugasku.”
“Dan kau akan mendapat hukuman darinya. Kau akan dipecat dari jabatanmu.”
“Biarlah.”
“Mungkin kau akan dihukum gantung.”
“Biarlah. Kalau memang seharusnya demikian.”
“Gila. Kau mudah berputus-asa,” geram
Kebo Ijo, “ayo, sekarang kita selesaikan persoalan kita. Apakah kau
tetap pada pendirianmu? Atau barangkali kau sudah mengubah keputusanmu
untuk mengurungkan niatmu berkelahi dan tidak lagi berkeras kepala
tentang sikap dan pendirianmu yang salah itu.”
Ken Arok memandangi Kebo Ijo dengan
tajamnya. Tetapi dalam kegelapan, Kebo Ijo tidak dapat melihat sorot
mata Ken Arok yang seolah-olah menyalakan api.
Tetapi yang didengar oleh Kebo Ijo, Ken
Arok itu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu masih mencoba untuk
menahan gelora di dadanya. Meskipun penghinaan itu hampir tak
tertahankan, namun ia masih tetap mengingat diri, bahwa setiap
perbuatannya pasti akan dilihat oleh segenap prajurit Tumapel di Padang
Karautan, orang-orang Panawijen, dan bahkan seluruh prajurit Tumapel dan
Akuwu Tunggul Ametung.
Kebo Ijo yang merasa kata-katanya tidak
terjawab, dan bahkan Ken Arok masih diam saja mematung, mengulanginya,
“He, Ken Arok. Bagaimanakah sikapmu sekarang. Apakah kau masih tetap
ingin memaksakan caramu itu terhadapku? Kalau kau merasa bahwa
perkelahian tidak akan menguntungkan kedudukanmu, maka kau masih
mempunyai kesempatan untuk mengubah pendirianmu. Aku tidak bernafsu
menggantikan kedudukanmu, tetapi dengan cara-cara yang pernah kau
pergunakan itu harus kau tinggalkan. Kau harus memberi kesempatan
kepadaku untuk berbuat menurut caraku atas prajurit-prajurit Tumapel di
sini.”
“Kebo Ijo,” sahut Ken Arok pelahan-lahan,
“sebenarnya persoalan yang kau katakan itu sudah tidak penting lagi
bagimu. Aku tahu tanpa soal atau ada soal, kau hanya ingin berkelahi.
Kau hanya ingin menunjukkan kelebihanmu.”
“Bohong,” sahut Kebo Ijo hampir berteriak, “kau yang akan mempergunakan kekerasan dan memaksaku.”
“Itu hakku sebagai pimpinan di sini.”
“Omong kosong.”
“Baiklah. Tidak ada jalan lain daripada berkelahi,” berkata Ken Arok akhirnya, “marilah. Apakah kau sudah siap?”
“O,” desis Kebo Ijo, “jadi kau tidak
dapat menilai sikapku. Apakah sikapmu ini sama sekali tidak meyakinkanmu
bahwa aku sudah siap memukul tengkukmu. Mudah-mudahan tengkukmu tidak
akan patah karenanya.”
Terdengar Ken Arok menggeram. Kebo Ijo itu ternyata terlampau sombong melampaui dugaannya.
“Ayo, berbuatlah sesuatu,” bentak Kebo Ijo itu kemudian.
Sekali lagi Ken Arok menggeram. Kini ia melangkah maju beberapa langkah sehingga jarak mereka menjadi lebih dekat.
“Ternyata kau memang bodoh,” gumam Kebo
Ijo, “kalau kau mulai benar-benar dengan perkelahian ini karena
kesombonganmu, maka kau akan menyesal, sebab kau akan kehilangan
semuanya.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
“Ayo mulailah,” teriak Kebo Ijo.
Ken Arok tidak bergerak. Ia berdiri saja di tempatnya. Kaki-kakinya yang kuat merenggang, seolah-olah terhujam ke dalam tanah.
“He, apakah kau gila?” Kebo Ijo semakin berteriak, “Ayo, mulailah. Aku ingin melihat apa yang dapat kau lakukan?”
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Namun
kediamannya itu ternyata telah membuat Kebo Ijo gelisah, sehingga sekali
lagi ia berteriak-teriak, “He, Ken Arok. Ayo, mulailah. Apakah kau
takut? Kalau kau memang tidak berani berbuat sesuatu, katakanlah. Aku
akan memaafkan kau.”
Tetapi Ken Arok masih tetap tidak berkata
sepatah kata pun. Dengan demikian maka kegelisahan Kebo Ijo itu pun
memuncak. Ia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, sehingga kakinya
beringsut setapak maju.
Tiba-tiba Ken Arokpun memiringkan tubuhnya. Lambat tetapi penuh keyakinan, lututnya merendah.
“Gila,” geram Kebo Ijo. Kini ia
benar-benar tidak akan menunggu lagi. Sikap Ken Arok telah
meyakinkannya. Meskipun sejenak ia menjadi heran melihat sikap itu.
Sikap itu benar-benar meyakinkan. Bukan sikap seekor serigala liar tanpa
pegangan.
Sesaat kemudian terdengar gigi Kebo Ijo
beradu. Ketika di kejauhan terdengar burung hantu memekik dengan nada
suaranya yang berat, maka terdengar suara Kebo Ijo melengking, “Baiklah
Ken Arok, kalau kau takut memulai, akulah yang akan memulainya.”
Sebelum gema suara itu lenyap, maka Kebo Ijo telah meloncat dengan tangkasnya, seperti lidah api yang melenting di udara.
Tetapi ternyata Ken Arok pun telah cukup
siap menunggu serangan itu. Itulah sebabnya, maka serangan yang pertama
itu sama sekali tidak berbahaya bagi Ken Arok. Dengan lincahnya ia
menarik tubuhnya ke sisi, merendah, dan tangannya menyambar lambung.
Namun Kebo Ijo sama sekali tidak terkejut
melihat gerakan itu. Gerakan yang sederhana, yang hampir selalu
dijumpainya pada permulaan serangan. Dengan cepatnya ia menggeliat,
berputar di udara, dan kemudian demikian ia menginjak tanah, maka segera
ia melenting dan menyambar lawannya dengan tumitnya.
Demikianlah maka perkelahian itu menjadi
semakin lama semakin cepat. Kebo Ijo yang marah itu menjadi semakin
marah. Ia tidak menyangka bahwa gerakan-gerakan Ken Arok cukup cermat
dan teratur. Tidak seperti yang disangkanya. Anak itu menurut
pendengarannya tidak begitu memperhatikan ikatan-ikatan dan unsur-unsur
gerak yang tersusun.
“Mungkin ia menemukan bentuk dari seorang
guru,” desis Kebo Ijo di dalam hatinya, “sepengetahuanku, Lohgawe,
orang yang terdekat dengan Ken Arok, bukan seorang yang menekuni olah kanuragan seperti guruku.”
Tetapi ia harus menghadapi kenyataan.
Ternyata Ken Arok tidak dapat dikalahkan semudah dugaannya. Meskipun
anak muda itu seorang pelajan dalam, namun ia mempunyai cukup kemampuan
untuk mengimbanginya.
Tata gerak keduanya semakin lama menyadi
semakin cepat. Kebo Ijo, murid Panji Bojong Santi, ternyata memiliki
kecepatan gerak yang mengagumkan. Seperti seekor burung srigunting ia
meloncat dan menyambar-nyambar. Lincah, cepat namun betapa tangannya
seakan-akan menjadi seberat timah.
Dada Ken Arok menyadi berdebaran. Ia
melihat kecepatan gerak lawannya. Ternyata Kebo Ijo telah benar-benar
mendapat banyak pengetahuan tentang tata gerak dalam olah kanuragan.
Ken Arok sendiri tidak terlampau banyak
mempelajari ilmu tata bela diri dengan teratur. Bahkan secara terperinci
ia sendiri tidak dapat mengerti dari mana ia menemukan kekuatan yang
dikagumi oleh orang lain. Kekuatan yang tidak ada pada kebanyakan orang.
Dalam perkelahian dengan Kebo Ijo, Ken
Arok harus ber-hati-hati. Ia tidak boleh kehilangan pengamatan diri. Ia
harus tetap sadar dan menjaga jangan sampai terjadi bencana atas dirinya
sendiri dan atas lawannya.
Yang membuat Ken Arok cemas adalah
kesadarannya, bahwa ia tidak mampu untuk mengukur kekuatan sendiri
secara teliti. Ia tidak dapat mengerti, ukuran kekuatan-kekuatan yang
dilontarkannya. Dengan demikian, setiap kali ia harus menjajagi sampai
di mana daya tahan lawannya. Namun kadang-kadang dirinya sendirilah yang
mengalami goncangan-goncangan.
Terhadap Kebo Ijo, Ken Arok juga berusaha
untuk mencari-cari keseimbangan. Ketika perkelahian itu berlangsung
beberapa lama, maka ia segera meyakini, bahwa ia memiliki beberapa
kelebihan dari lawannya. Tetapi sampai di mana kekuatannya harus
dilontarkan dalam perlawanan ini, masih harus dijajaginya.
Karena itu, setiap kali Ken Arok berusaha
untuk membentur serangan Kebo Ijo. Dengan sebagian dari tenaganya ia
berusaha untuk menemukan keseimbangan kekuatan. Tetapi kadang-kadang ia
terlampau sedikit memberikan tenaganya, sehingga Ken Arok itu sendiri
terlontar beberapa langkah surut dan berusaha untuk menemukan
keseimbangannya kembali.
Dalam keadaan yang demikian, Kebo Ijo
merasa bahwa lawannya tidak kuasa mengimbangi kekuatannya. Anak muda itu
sama sekali tidak berusaha mengekang diri. Setiap kali ia melepaskan
seluruh kekuatannya. Apalagi apabila ia merasakan perlawanan lawannya
terlampau menjengkelkannya.
Semakin lama Kebo Ijo menyadi semakin
berdebar hati. Ia merasa bahwa lawannya tidak cukup kuat untuk melawan
tenaganya. Ia merasa bahwa ia masih mempunyai beberapa kelebihan yang
lain selain kekuatan tenaga, ia mampu bergerak terlampau cepat dan
memiliki unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawannya.
Dengan demikian maka Kebo Ijo menjadi
semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan lawannya. Geraknya menyadi
semakin cepat dan tangkas. Tangannya yang sepasang itu bergerak-gerak
dengan cepat dan membingungkan, seolah-olah menyadi berpasang-pasang
tangan yang mematuk dari segenap arah. Setiap kali terasa desir angin
me-nyambar-nyambar tubuh lawannya yang beberapa kali terpaksa meloncat
surut membuat jarak dari padanya.
“Ayolah,” teriak Kebo Ijo, “jangan berlari-lari saja. Kita sedang berkelahi, bukan sedang bermain kejar-kejaran.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi kini ia sudah menemukan ancar-ancar.
Sampai di sini Kebo Ijo masih merasa dirinya melampaui kekuatan
lawannya. Dan Ken Arokpun menjadi semakin mantap bahwa dengan ukuran
kekuatan itu, ia tidak akan mencelakakan lawannya dan juga dirinya
sendiri.
Dengan demikian maka Ken Arok kini
tinggal melayani lawannya. Ia tidak ingin mengalahkan dengan menjatuhkan
Kebo Ijo atau membuatnya pingsan atau hal-hal yang jelas menunjukkan
kemenangannya. Ia ingin membiarkan Kebo Ijo bertempur dengan sepenuh
tenaganya, kemudian menjadi kelelahan.
Karena itu maka perkelahian itu masih
tetap seimbang. Setiap kali Kebo Ijo meningkatkan daya kemampuannya,
setiap kali ia tidak dapat melampaui lawannya. Lawannya itu seakan-akan
selalu saja berada dalam keadaannya.
Maka perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat dan cepat.
Loncatan-loncatan yang hampir tidak dapat diikuti oleh mata yang wajar.
Gerak-gerak yang aneh dan membingungkan. Namun keduanya mampu mengamati
setiap unsur perlawanan masing-masing.
Yang kemudian menjadi berdebar-debar
adalah Kebo Ijo. Setiap ia mendesak lawannya dengan kecepatan gerak yang
dianggapnya telah dapat melampaui kecepatan gerak lawannya, namun
setiap kali lawannya bergerak semakin cepat pula. Sehingga akhirnya Kebo
Ijo itu sudah sampai pada puncak kemampuannya. Puncak kekuatannya dan
puncak ketangkasannya. Dikerahkan segala macam ilmu yang ada padanya.
Namun Ken Arok itu masih saja tetap dapat mengimbanginya, meskipun
setiap kali anak muda itu masih juga meloncat menjauhinya, mengambil
jarak daripadanya, dan kemudian meneruskan perlawanannya.
“Apakah orang ini kerasukan setan,” pikir
Kebo Ijo, “setiap kali ia tidak dapat menyamai kecepatan gerakku.
Tetapi setiap aku meningkatkan tata gerakku, jarak itu masih saja tetap
sama. Aku tidak dapat menguasainya. Dan ia masih saja mampu menghindar
dan kadang-kdang malahan menyerang.”
Tetapi Kebo Ijo tidak dapat menemukan
jawabannya. Meskipun kadang-kadang serangannya datang mengejut seperti
hentakan angin ribut, namun ia tidak mampu menjatuhkan lawannya, bahkan
tidak pula dapat mengejutkan. Sehingga, Kebo Ijo itu semakin lama
menjadi semakin berdebar-debar.
“Apakah aku berkelahi melawan setan
Padang Karautan dan bukan melawan Ken Arok,” katanya di dalam hatinya,
“apakah ada setan yang mewujudkan dirinya seperti Ken Arok?”
Ternyata betapapun ia berusaha, namun ia
tidak mampu menguasai lawannya yang disangkanya terlampau mudah untuk
dikalahkannya. Bahkan, ternyata bukan lawannya itu yang menjadi bingung
karena gerakan-gerakannya yang cepat, tetapi lambat-laun maka Kebo Ijo
sendirilah yang kebingungan. Bagaimana ia harus melawan dan mengalahkan
orang yang dianggapnya tidak cukup ilmu untuk mengimbanginya. Betapa
dadanya dicekam oleh kebingungannya, sehingga tiba-tiba saja terkilas di
dalam otaknya untuk mempergunakan apa saja yang dimilikinya. Ilmu yang
paling dahsyat sekalipun.
Ken Arok kemudian melihat bahwa Kebo Ijo
telah benar-benar mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya. Anak muda
itu meloncat-loncat seperti tatit yang menyambar-nyambar di
langit. Tangannya bergerak semakin cepat dan nafasnya berdesakan di
lubang hidungnya. Tetapi ia tidak berhasil menjatuhkan lawannya. Kebo
Ijo masih merasakan benturan-benturan yang berat dan seimbang. Meskipun
ia sudah sampai ke puncak kekuatannya, namun lawannya masih juga mampu
mengimbanginya. Bahkan sekali-sekali ia merasakan sentuhan-sentuhan
tangan lawannya, yang menyerang dengan gerak yang tidak dimengertinya.
Namun, justru karena itu maka dada Kebo
Ijo menjadi semakin bergelora. Darahnya serasa mendidih sampai di
kepala. Ternyata ia berhadapan dengan seorang yang sama sekali berbeda
dari dugaannya. Seorang yang cukup tangguh dan cekatan. Meskipun
tampaknya Ken Arok tidak melampauinya, namun ia tidak berhasil untuk
mengalahkannya.
Tata gerak Ken Arok yang disangkanya
tidak teratur dan liar karena anak muda itu tidak pernah mendapat
tuntunan dari seorang yang berilmu, ternyata justru mengejutkannya. Tata
gerak itu memang aneh. Kadang-kadang sama sekali tidak dimengertinya.
Tetapi yang melontarkan tubuh Ken Arok dengan loncatan-loncatan yang
membingungkan itu bukan sekadar gerakan-gerakan yang liar tidak
terkendali. Gerakan-gerakan itu ternyata mempunyai hubungan yang teratur
dan tersusun. Meskipun susunannya sama sekali tidak lazim dan bahkan
sebagian besar belum pernah dikenalnya. Tetapi itu tidak berarti bahwa
Ken Arok tidak mengenal tata gerak yang wajar seperti yang
dipergunakannya. Anak muda itu seolah-olah mempunyai pengamatan yang
sangat tajam. Unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruannya tidak
mampu untuk membuat Ken Arok itu menjadi bingung. Bahkan
benturan-benturan yang direncanakannya, sama sekali tidak mampu untuk
mengejutkannya.
Dalam pada itu, Ken Arok sendiri menjadi
semakin lama semakin tenang. Kini ia telah mendapatkan ukuran yang
semakin mantap. Kebo Ijo telah sampai pada puncak kemampuan dan
kekuatannya. Kalau ia tetap bertahan dalam tingkatan itu, maka ia hanya
tinggal menunggu saja, kapan Kebo Ijo menjadi lelah dan berhenti dengan
sendirinya. Pekerjaannya tinggallah merangsang supaya Kebo Ijo
mengerahkan segala kekuatannya, memeras tenaganya, sehingga dengan
demikian, maka ia akan menjadi lebih cepat lelah.
Tetapi semakin susut tenaga Kebo Ijo,
maka hatinya menjadi semakin menyala. Kemarahannya sudah tidak
tertahankan lagi, sehingga ia sudah bertempur benar pada puncak
kemampuannya. Ia sama sekali sudah tidak mengekang diri, apa pun
akibatnya. Bahkan semakin memuncak kemarahannya, bayangan tentang aji
pamungkasnya menjadi semakin jelas pula. Aji Bajra Pati.
Sesaat ia masih mencoba untuk
mempergunakan kekuatannya secara wajar. Ia masih berusaha untuk
menemukan titik-titik kelemahan lawannya. Tetapi ia sama sekali tidak
berhasil. Kekuatan lawannya seolah-olah meningkat dan kelincahannya pun
menyadi semakin membingungkannya sejajar dengan meningkatnya
serangan-serangannya.
Akhirnya Kebo Ijo kehilangan segenap
pertimbangannya. Perkelahian itu baginya bukan sekadar mempertaruhkan
jabatannya, tetapi ia sudah tidak mempedulikan lagi apa yang akan
terjadi.
Sehingga ia yakin bahwa ia sudah tidak
akan mampu lagi mengalahkan lawannya, meskipun ia menyerangnya seperti
burung rajawali di langit, dan membenturnya seperti seekor gajah yang
sedang mengamuk. Lawannya benar-benar seperti sebongkah gunung yang
tegak dengan garangnya. Yang tidak tergerakkan oleh angin dan badai yang
betapapun dahsyatnya.
Itulah sebabnya maka Kebo Ijo sampai pada
puncak kemarahannya, marah dan malu. Seandainya ia tidak mampu
mengalahkan lawannya, lalu apakah kata Ken Arok itu kemudian? Apakah ia
harus tunduk dan menyembahnya. Melakukan perintahnya tanpa dapat berbuat
apa pun.
“Tidak,” Kebo Ijo menggeram di dalam
hatinya, “aku tidak mau. Biar sajalah aku dihukum gantung karena aku
telah membunuhnya. Tetapi itu lebih baik daripada aku harus bersimpuh di
hadapannya.”
Ketika kemudian angin padang bertiup
semakin kencang, maka darah Kebo ljo pun mengalir semakin cepat. Terasa
kepalanya menjadi panas dan pening. Ia sudah tidak mampu lagi untuk
berpikir terlampau banyak.
Dengan demikian maka segera ia meloncat
surut beberapa langkah untuk mengambil jarak dari lawannya. Ia
memerlukan kesempatan betapapun pendeknya, untuk membangunkan kekuatan
Aji Bajra Pati.
Semula Ken Arok tidak menaruh prasangka
apa pun. Ia menyangka bahwa Kebo Ijo sudah mulai lelah dan ingin
mendapatkan kesempatan untuk bernafas. Tetapi tiba-tiba yang dilihatnya
sangat mengejutkannya.
Ken Arok kemudian melihat Kebo. Ijo
bersikap dalam pemusatan pikiran dan tenaga. Membangun segenap kekuatan
yang ada di dalam dirinya, yang dalam keadaan yang wajar seolah-olah
tersimpan di belakang urat-urat nadinya. Namun dalam mateg Aji
Bajra Pati maka kekuatan-kekuatan itu pun seolah-olah terbangunkan,
merayap di sepanjang urat nadinya, menjalar ke permukaan tubuhnya.
Kekuatan itu seolah-olah mengalir menurut
kehendak, berpusar di tangan Kebo Ijo. Tangan yang kemudian menjadi
gemetar oleh tekanan kekuatannya yang memerlukan saluran.
Sikap itu telah benar-benar mengejutkan
Ken Arok. Ia segera menyadari apa yang akan terjadi. Ia tahu benar bahwa
sikap pemusatan pikiran dan kekuatan itu adalah suatu sikap yang akan
sangat membahayakan baginya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Ijo sedang
membangunkan suatu kekuatan yang betapa dahsyatnya.
Tetapi Ken Arok tidak mendapat banyak
waktu untuk berpikir. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk
mencegah dengan kata-kata dan ia pun yakin bahwa Kebo Ijo pasti tidak
akan mendengarkannya. Apalagi Bajra Pati itu kini sudah tersalur ke
tangannya.
Dengan demikian maka Ken Arok telah
kehilangan sekesempatan untuk mencegah Kebo Ijo menggunakan ilmu
pamungkasnya. Betapa hati Ken Arok itu menjadi bingung. Apakah yang akan
dilakukannya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa kegelapan hati Kebo
Ijo akan sampai sedemikian jauh sehingga dalam taruhan yang serupa itu,
ia sudah berusaha melepaskan aji yang seharusnya disimpannya untuk suatu
keharusan yang tidak dapat dihindarinya dalam pertaruhan hidup dan
mati. Tetapi dalam perselisihan di antara kawan sendiri, maka ia sudah
demikian bernafsu untuk mempergunakan aji pamungkasnya itu.
Ternyata hati Kebo Ijo telah benar-benar
menjadi gelap. Ketika ia melihat Ken Arok terpaku seperti patung, maka
hatinya bahkan berdesis, “Mampuslah kau anak yang gila. Yang tidak tahu
diri. Yang ingin melawan kekuatan Kebo Ijo, murid Panji Bojong Santi.”
Bersamaan dengan itu, maka terdengar
suara Kebo Ijo menggeram. Semakin keras, dan tanpa menahan diri lagi
maka segera ia meloncat melontarkan seluruh kekuatan yang tersimpan di
dalam tubuhnya yang dibangunkannya berlandaskan ilmu yang oleh gurunya
disebut Aji Bajra Pati.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah
benturan yang dahsyat. Ternyata Ken Arok tidak dapat lagi menghindari
benturan itu, sehingga tidak ada pilihan lain baginya daripada membentur
kekuatan Aji Bajra Pati.
Benturan itu ternyata telah menimbulkan
akibat yang dahsyat pula. Kebo Ijo sendiri terlempar surut beberapa
langkah, sedangkan Ken Arok terdorong ke belakang setapak, kemudian
terhuyung-huyung sejenak. Dengan susah-payah ia mencoba untuk menahan
keseimbangan dirinya. Tetapi anak muda itu pun jatuh terduduk, bersandar
pada kedua tangannya. Ketika ia mengangkat wajahnya yang pucat maka
dilihatnya Kebo Ijo terguling beberapa kali.
Sejenak suasana diterkam oleh kesenyapan.
Yang terdengar hanyalah gemerisik angin menyentuh dedaunan
gerumbul-gerumbul taman yang masih belum begitu rimbun, di antara desah
nafas kedua anak-anak muda yang seolah-olah membeku di tempatnya.
Tetapi sejenak kemudian Ken Arok mencoba
menjulurkan kakinya. Kemudian menggeliat perlahan. Dengan susah-payah ia
mencoba untuk berdiri. Menggerakkan kaki-kakinya dan tangannya. Ketika
ia menarik nafas dalam-dalam, maka dadanya terasa sedikit nyeri. Tetapi
sekali dua kali, maka perasaan nyeri itu pun berangsur hilang.
“Hem,” ia berdesah. Dadanya pernah pula
dihantam oleh sebuah ilmu yang tidak kalah dahsyatnya, yang dilontarkan
oleh seorang yang lebih jauh memiliki pengalaman dan kematangan dalam
ilmunya. Kebo Sindet. Saat itu matanya menjadi gelap dan ia pun jatuh
pingsan. Tetapi kali ini ia berhasil membebaskan dirinya dari cedera
yang dapat ditimbulkan oleh Aji Bajra Pati, karena yang melepaskan aji
itu masih belum cukup masak.
Sementara itu Kebo Ijo sendiri untuk
beberapa lama tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Terasa dadanya sendiri
seperti telah meledak ketika kekuatan Aji Bajra Pati se¬olah-olah telah
membentur sebuah dinding baja setebal depa tangannya.
Kekuatannya sendiri telah melemparkannya dan membantingnya di tanah
begitu kerasnya, sehingga tulang-tulangnya terasa seakan-akan remuk
terpatah-patah.
Sejenak ia memejamkan matanya. Memusatkan
segala sisa-sisa tenaganya. Pelahan-lahan ia mencoba menarik napas.
Berulang kali meskipun terasa betapa pedihnya. Namun lambat-laun
perasaan sakit di sekujur badannya itu pun terasa berkurang.
Ketika ia membuka matanya, maka alangkah
terkejutnya. Dilihatnya sesosok bayangan tegak berdiri di hadapannya.
Sepasang kakinya yang merenggang serta sikapnya yang meyakinkan itu
menambah dadanya menjadi sesak. Pelahan-lahan ia mencoba bangkit, tetapi
kekuatannya belum mengizinkannya. Karena itu maka ia hanya mampu
mengumpat dengan suara gemetar, “Anak setan. Kau tidak mampus juga.”
Yang berdiri di hadapannya itu adalah Ken Arok.
“Ayo,” desis Kebo Ijo, “kalau kau mampu,
bunuhlah aku. Aku tidak saja mempertaruhkan jabatan, tetapi aku
mempertaruhkan kehormatan. Dan kehormatanku bernilai sama dengan
jiwaku.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia melangkah maju.
“Apa yang kau tunggu lagi,” terdengar suara Kebo Ijo di antara desah nafasnya yang sesak.
“Cepat, lakukanlah.”
Tiba-tiba dalam keremangan malam Kebo Ijo
itu melihat Ken Arok menggelengkan kepalanya. Pelahan-lahan ia
menyawab, “Tidak Kebo Ijo. Aku tetap pada perjanjian kita. Yang kita
pertaruhkan adalah kekuasaan di Padang Karautan ini atas para prajurit
Tumapel.”
“Tidak. Hanya ada dua pilihan. Membunuh atau dibunuh. Ayo bunuhlah aku.”
“Jangan kau turuti perasaanmu.”
“Cepat sebelum aku dapat bangkit dan akulah yang akan membunuhmu.”
“Jangan terlampau keras hati.”
“Aku adalah seorang laki-laki. Aku adalah
seorang perwira Tumapel yang perkasa. Seorang prajurit hanya akan
mengakhiri perlawanannya apabila nyawanya telah terpisahkan dari
tubuhnya. Hanya seorang pengecutlah yang mundur setengah jalan hanya
sekadar untuk menyelamatkan hidupnya.”
“Apakah kau berpendirian demikian?”
“Ya.”
“Dalam segala keadaan?”
Kebo Ijo terdiam sejenak. Ia tidak tahu
maksud pertanyaan Ken Arok, sehingga dengan suaranya yang parau ia
bertanya, “Apakah maksudmu dalam segala keadaan.”
“Maksudku, bahwa bagimu tidak ada jalan surut, betapapun keadaanmu.”
“Ya, meskipun aku terluka di dalam, tetapi aku tetap dalam pendirianku. Hidup atau mati. Membunuh atau dibunuh.”
Ken Arok menarik keningnya. Sejenak ia
berdiam diri sambil memandangi Kebo Ijo yang masih berbaring di tanah.
Kini ia mencoba bangkit sambil bertelekan padu tangan-tangannya.
Terdengar ia mengaduh pendek. Dadanya
tiba-tiba terasa nyeri oleh tekanan tangannya yang menahan tubuhnya.
Tetapi ia berusaha terus. Bahkan ia berkata, “Ken Arok, aku hampir mampu
berdiri dan berkelahi lagi. Aku akan segera membunuhmu. Kalau kau ingin
mempergunakan kesempatan, cepatlah. Pergunakan sekarang. Kau mampu
bertahan atas kekuatan Aji Bajra Pati. Dengan demikian kau pun pasti
mempunyai ilmu pamungkas yang akan dapat kau pergunakan membunuhku
dengan tanganmu. Tanpa sehelai senyata apa pun.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi ia
merasa aneh mendengar kata-kata Kebo Ijo yang menganggapnya mempunyai
sebuah ilmu yang sedahsyat Bajra Pati.
Sejenak Ken Arok itu berpikir tentang
dirinya sendiri. Ia tidak pernah belajar pada seorang guru pun sebelum
ia bertemu dengan Lohgawe. Orang tua itu pun sama sekali tidak
mengajarnya berkelahi. Tidak menuntunnya dalam olah kanuragan.
Orang tua itu hanya memberinya beberapa nasihat supaya ia menjauhi cara
hidupnya yang lama, dan menuntunnya untuk menemukan hidupnya yang baru.
Selain itu, Lohgawe hanya memberitahukan kepadanya beberapa hal mengenai
tubuh manusia, tubuhnya sendiri itu juga. Dan yang terakhir orang tua
itu menuntunnya untuk mempelajari cara-cara memusatkan pikiran,
kehendak, dan semua getar di dalam dirinya. Lambat-laun dan dengan
pelahan-lahan sekali.
“Hanya itu,” desisnya di dalam hati, “sama sekali bukan ilmu kanuragan.
Bukan unsur-unsur gerak dalam tata bela diri. Bukan pula kemampuan
untuk membangunkan sebuah ilmu yang dahsyat, sedahsyat Aji Bajra Pati
dan Aji Bayang. Tetapi aku telah mampu melepaskan diri dari kehancuran.”
Wajah Ken Arok tiba-tiba menegang karena
persoalan di dalam dirinya sendiri. Ia seolah-olah sudah lupa bahwa di
hadapannya Kebo Ijo sedang merangkak-rangkak untuk mencoba bangun.
“Aku berkelahi asal saja aku berkelahi,”
berkata Ken Arok itu seterusnya di dalam hatinya, “Aku hanya mencoba
menirukan unsur-unsur gerak yang pernah aku lihat dilakukan oleh Mahisa
Agni, Witantra, Kuda Sempana, dan para prajurit yang lain. Tetapi,
apakah pemusatan pikiran, kehendak, dan segala macam getar di dalam diri
ini termasuk juga membangunkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
tubuh kita untuk segala kepentingan? Termasuk dalam olah kanuragan,
tidak saja dalam hasrat, kemauan, dan keinginan lahir dan batin, tetapi
juga dalam membangunkan kekuatan dan kekuatan-kekuatan simpanan di
dalam tubuh ini?”
Justru pertanyaan itulah yang tumbuh di
dalam diri Ken Arok. Dan ia mencoba untuk menilai apakah yang sedang
dilakukannya. Pada saat ia melihat lawannya mempersiapkan diri,
memusatkan pikiran dan perasaan membangun Aji Bajar Pati, maka ia pun
dengan segenap tekad, hasyrat dan kehendak, telah mempersiapkan dirinya
untuk melawannya, seperti pada waktu ia menghadapi aji yang akan
dilepaskan oleh Kebo Sindet. Ternyata apa yang dilakukannya itu adalah
pengerahan segenap kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya yang
didasarinya pada pemusatan pikiran, kehendak, dan segala macam getar di
dalam dirinya.
Tetapi Ken Arok tetap tidak tahu, lalu
kekuatan apakah dan dorongan oleh ilmu apakah, maka ia mampu
membangunkan kekuatan itu. Yang diketahuinya kini adalah, apabila ia
menghendaki, maka ia dapat mengimbangi kekuatan Bajra Pati dalam tataran
yang belum terlampau sempurna, dan dapat menyelamatkannya dari kekuatan
aji yang dilepaskan oleh seorang Kebo Sindet.
Dan Ken Arok kini meyakini, semuanya itu
sebagian besar adalah karena latihan-latihan memusatkan pikiran yang
dipelajarinya dari Lohgawe. Sebelum itu apa yang dilakukan adalah
seperti seekor serigala liar di Padang Karautan, meskipun pada saat-saat
yang serupa itu apa yang dilakukan telah mengherankan bagi orang
banyak. Seolah-olah tubuhnya menjadi kebal dan tidak dapat disakiti oleh
lawannya, seperti pada saat ia berkelahi untuk pertama kali melawan
Mahisa Agni. Bagaimanapun juga ia terbanting, terdorong, dan bahkan
jatuh terjerembab dan terguling-guling di tanah, tetapi ia selalu
bangkit kembali dan melawan membabi-buta.
Ken Arok itu tersadar ketika tiba-tiba
saja ia melihat Kebo Ijo telah berdiri di hadapannya. Meskipun masih
belum tegak benar namun anak muda itu sudah berteriak, “Ayo, aku
ternyata masih belum kau kalahkan. Kita akan segera mulai lagi.”
Angin malam terhembus semakin kencang.
Usapan yang sejuk di tubuh Kebo Ijo telah membuatnya bertambah segar.
Tetapi sekali-sekali masih terasa dadanya menyadi nyeri. Meskipun
demikian sejenak kemudian ia berteriak pula, “Ayo, Ken Arok, kita mulai
lagi.”
“Kau masih ingin berkelahi?” bertanya Ken Arok.
“Aku belum kau kalahkan. Hanya mautlah pertanda yang paling jelas, siapakah yang kalah, dan siapakah yang menang.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Ditatapnya wajah anak muda yang berdiri terhuyung-huyung di hadapannya
itu dengan dada yang berdebaran. Alangkah keras hatinya.
Tetapi tiba-tiba Ken Arok itu
menggelengkan kepalanya, “Tidak Kebo Ijo. Aku kira kita sudah cukup lama
berkelahi. Kalau seseorang mencari aku dan datang kemari, melihat kita
berkelahi maka akibatnya kurang baik.”
“Persetan dengan alasanmu yang memuakkan
itu. Kau selalu mengatakan tentang prajurit-prajurit Tumapel. Biarlah
mereka belajar dari peristiwa ini. Biarlah mereka tahu, bahwa bagi
prajurit Tumapel hanya ada dua pilihan dalam setiap perkelahian. Menang
atau mati.”
“Sikap itu amat terpuji Kebo Ijo. Tetapi terhadap lawan, lawan bebuyutan.
Tidak terhadap kawan sendiri yang hanya sekadar bcrmain-main.
Katakanlah sedang bertaruh dengan taruhan yang sama sekali tidak
berarti.”
Kata-kata itu menyentuh hati Kebo Ijo
juga. Sejenak ia berdiam diri memandangi Ken Arok yang berdiri tegak
seperti sebatang tugu yang kokoh. Tetapi sejenak kemudian di dalam hati
Kebo Ijo itu terjadi lagi sebuah pergolakan. Kambuhlah sifat-sifatnya
yang keras. Maka katanya, “Kita pun tidak sedang bermain-main. Kita
memang sedang bertaruh. Tetapi taruhan kita tidak sekadar tidak berarti
seperti yang kau katakan. Taruhan kita adalah kehormatan kita.
Kehormatan kita sebagai laki-laki dan sebagai seorang prajurit.
Kehormatan laki-laki dan seorang prajurit sama harganya dengan
nyawanya.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Disabarkannya hatinya dengan segala usaha. Meskipun terasa getaran di
dalam nada suaranya, namun kata-katanya meluncur pelahan-lahan, “Kau
keliru Kebo Ijo. Kau terlampau dikuasai oleh perasaan.”
“Tidak. Ayo, bersiaplah. Apakah kau takut menghadapi aku yang telah berhasil memperoleh kekuatanku kembali?”
Tetapi Kebo Ijo sendiri tidak dapat
meyakini kata-katanya. Ia masih harus bersusah-payah mempertahankan
keseimbangannya. Sekali-sekali masih terasa tubuhnya memberat seperti
timah dan dadanya serasa disobek dengan sembilu.
Namun ia masih berteriak, “Untuk kedua kalinya aku akan menghantammu dengan Aji Bajra Pati. Kali ini kau pasti akan terbunuh.”
“Kau keras kepala,” desis Ken Arok.
“Aku seorang prajurit,” sahut Kebo Ijo,
“bukan pengecut cengeng seperti kau. Kalau kau tetap berkuasa di Padang
Karautan, maka seluruh prajurit Tumapel yang ada di sini pun akan
menjadi pengecut cengeng seperti kau.”
Terasa dada Ken Arok bergetar. Hampir
saja ia meloncat memukul mulut Kebo Ijo pasti akan terpelanting jatuh.
Untunglah bahwa rasa tanggung jawabnya terhadap seluruh keadaan di
Padang Karautan telah mampu mencegahnya. Meskipun demikian terdengar
anak muda itu menggeram.
“Ayo Ken Arok, apa yang kau tunggu.”
Tiba-tiba jawaban Ken Arok sangat
mengejutkan Kebo Ijo. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Tidak
Kebo Ijo. Aku tidak akan berkelahi lagi. Apabila kita terlibat dalam
perkelahian sekali lagi, maka kita akan terdorong semakin jauh ke dalam
kegelapan hati. Kita akan kehilangan pengamatan diri sendiri. Maka kita
tidak lagi menjadi seorang pemimpin yang baik bagi para prajurit dan
orang-orang Panawijen. Aku tidak peduli, apakah alasan ini kau anggap
memuakkan atau tidak, tetapi itulah pendirianku. Dan kau tidak akan
dapat mengubahnya.”
“Pendirian semacam itu ada di dalam
pertaruhan kita. Karena itu mari kita teruskan. Baru kau dapat
mengatakan tentang pendirianmu sebagai seorang pemimpin apabiIa aku
sudah terbunuh mati di sini.”
“Kita bukan lagi orang-orang liar yang
berkeliaran di hutan-hutan rimba. Kita adalah orang-orang yang beradab.
Dengan demikian kita harus dapat membedakan diri.”
“Omong kosong.”
“Kau pasti belum pernah mengalami hidup
berkeliaran di hutan-hutan belantara, di mana tidak ada adab dan tata
pergaulan. Dalam dunia yang demikian maka manusia tidak ubahnya seperti
binatang hutan. Siapa yang kuat, yang bertaring tajam, ialah yang
menang. Apakah kau akan membangunkan peradaban yang demikian di kalangan
kita. Di kalangan prajurit Tumapel? Siapa yang paling kuat, siapakah
yang paling tajam pedang dan tombaknya, ialah yang akan menguasai
pimpinan. Begitu?”
“Terserah. Terserah apa yang kau katakan. Aku tidak peduli juga seperti kau tidak mempedulikan pendirianku.”
Ken Arok sekali lagi menarik nafas. Dan
tiba-tiba kata-katanya semakin mengejutkan Kebo Ijo, “Adi Kebo Ijo,”
suara Ken Arok datar bernada rendah. Tetapi terasa sebuah getaran yang
tertahan memancar di antara kata-katanya, “Kalau kau memang berkeras
hati, baiklah aku akan menyatakan kekalahan diri. Lebih baik aku
menyerahkan pimpinan para prajurit di Padang Karautan ini kepadamu. Aku
akan dapat mengundurkan diri dengan mengajukan permohonan kepada Tuanku
Akuwu Tunggul Ametung. Selebihnya kau akan dapat memimpin para prajurit
menurut caramu. Itu akan lebih baik daripada kita selalu bertengkar
tanpa berkeputusan. Akibat dari pertengkaran itu akan menjalar kepada
para prajurit. Mereka akan bertengkar pula dan berkelahi. Mereka akan
berkata seperti apa yang kau katakan, “Prajurit hanya mengenal menang
atau mati.” Maka habislah prajurit di padang ini. Separuh dari mereka
akan terbunuh dan yang separuh itu pun masih akan berkelahi lagi.”
“O,” tiba-tiba Kebo Ijo itu tertawa.
Suaranya berkumandang memenuhi padang yang kering. Berkepanjangan
semakin lama semakin keras, seperti ombak di pantai memercik terhempas
di batu-batu karang. Tidak putus-putusnya.
Ken Arok menjadi heran mendengar suara
tertawa itu. Ia tidak mengerti kenapa Kebo Ijo itu tiba-tiba tertawa.
Apakah ia bergembira mendengar keputusannya, apakah ia menjadi marah?
Tetapi Ken Arok membiarkan saja anak muda
itu tertawa. Di dalam hatinya ia berkata, “Kalau ia telah tertawa, maka
ia pasti akan berhenti dengan sendirinya. Kalau tidak maka ia pasti
akan pingsan sendiri karenanya.”
Ternyata Kebo Ijo itu pun menjadi lelah.
Suara tertawanya menurun. Namun tiba-tiba anak muda itu menuding wajah
Ken Arok sambil berkata, “Kau benar-benar pengecut yang sedang berputus
asa. O, bagaimana mungkin Akuwu Tunggul Ametung menunjukmu menjadi
seorang pemimpin pada suatu kerja yang cukup besar ini. Kalau itu yang
kau kehendaki, maka kecewalah seluruh prajurit Tumapel atasmu. Kecewa
pulalah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Ken Arok, yang diserahi pimpinan
atas para prajurit Tumapel di Padang Karautan, ternyata lari
terbirit-birit seperti seekor kucing melihat anjing.”
Ken Arok bukanlah seorang anak muda yang
mempunyai kesabaran tanpa batas. Bahkan sebenarnya Ken Arokpun terlampau
banyak dipengaruhi oleh perasaannya. Justru karena perasaan tanggung
jawabnya, maka ia berhasil menekan dirinya sampai batas itu. Tetapi
batas itu kini telah hampir terpatahkan karena sikap Kebo Ijo yang
berlebih-lebihan. Karena itulah maka terasa getar di dalam dada Ken Arok
pun menjadi semakin tajam.
Ken Arok hanya memerlukan sentuhan yang
betapapun halusnya untuk membakar darahnya. Dan Kebo Ijo ternyata masih
mencobanya dan berkata, “Ayo, Ken Arok. Pilihlah. Berkelahi atau lari
dari Padang Karautan ini.”
Gigi Ken Arok pun menyadi gemeretak. Ia
sadar bahwa keadaan Kebo Ijo kini telah semakin baik. Namun kini ia
sudah tidak dapat membendung kemarahannya.
Dengan suara yang tertahan-tahan karena
gelora di dadanya, Ken Arok menggeram, “Baiklah Kebo Ijo. Kalau itu yang
kau ingini. Aku tidak berkeberatan. Kalau kau ingin membunuh atau
dibunuh, maka aku akan berkata seperti itu juga.”
Meskipun Kebo Ijo sengaja telah membakar
kemarahan Ken Arok yang dianggapnya terlampau lemah dan tidak dapat
bertindak keras itu, namun ia terkejut juga. Ia menganggap bahwa Ken
Arok tidak akan berani berbuat lebih banyak lagi karena ia harus
bertanggung jawab kepada Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kesombongan dan
harga diri Kebo yang berlebih-lebihan itu juga menjadi sebab, sehingga
sikapnya menyadi kasar dan sombong.
Kini mendengar bahwa Ken Arok pun telah
bersikap. Ternyata kesabaran Ken Arok telah sampai pada batasnya
sehingga ia pun kemudian lupa, bahwa apabila terjadi bencana atas
dirinya atau atas diri Kebo Ijo, maka persoalannya tidak akan terhenti
demikian saja. Mereka adalah prajurit-prajurit Tumapel, dan mereka
mempunyai pertanggungjawaban untuk itu.
Tetapi agaknya keduanya sudah tidak mempedulikannya lagi. Kebo Ijo yang merasa tubuhnya menjadi semakin baik karena silir
angin yang segar, telah mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya. Kini
ia tidak hanya akan menghadapi Ken Arok dengan tangannya untuk
melontarkan Aji Bajra Pati. Tetapi tiba-tiba tangannya menarik sebuah cundrik kecil dari ikat pinggangnya. Ia berketetapan hati untuk membunuh lawannya. Cundrik
itu harus diayunkan dengan tangannya yang dilambarinya kekuatan Aji
Bajra Pati sehingga apabila senjata itu menyentuh lawannya, maka senyata
yang kecil itu pasti akan membenam jauh ke dalam tubuh lawan itu, oleh
lontaran kekuatan yang tiada taranya.
“Tak seorang pun yang dapat hidup karena serangan yang demikian,” desisnya, “kau pun akan mati juga malam ini Ken Arok.”
Dari mata Ken Arok itu seolah-olah telah
memancar api kemarahaannya. Dipandanginya Kebo Ijo dengan tajamnya.
Tetapi ia tidak menjawab sepatah kata pun.
Keduanya kini telah berdiri berhadapan
berjarak beberapa langkah saja. Masing-masing telah dikuasai oleh
kemarahan yang tidak terkendali. Keduanya bahkan telah berada di dalam
tataran tertinggi dari kekuatan masing-masing.
Dengan tajamnya Ken Arok memandangi tangan Kebo Ijo yang menggenggam cundrik-nya. Apabila tangan itu terayun, maka ia yakin, bahwa ayunan itu pasti dilambari
Aji Bajra Pati yang kini sedang dibangunkan. Ia tidak akan dapat
membenturnya seperti membentur aji itu sendiri. Tetapi kini di dalam
tangan itu tergenggam sebilah cundrik kecil yang akan dapat membenam ke dalam dagingnya.
Karena itu ia harus berhati-hati. Ia
harus memusatkan segenap kekuatan lahir dan batin, untuk dapat melakukan
perlawanan terhadap kekuatan Aji Bajra Pati. Tetapi ia harus
menghindari sentuhan cundrik di tangan Kebo Ijo itu.
Dengan demikian, karena pemusatan
kekuatan yang memuncak, maka keduanya tidak mendengar ketika dedaunan di
samping mereka tersibak. Mereka tidak melihat sebuah bayangan yang
datang mendekati mereka pelahan-lahan.
Tepat pada waktunya, ketika keduanya
hampir saja meloncat dan mulai lagi dengan perkelahian yang pasti akan
jauh lebih dahsyat dari perkelahian yang baru saja terjadi, maka mereka
terkejut karena mereka mendengar suara nafas yang berdesah di dekat
mereka. Desah yang sebenarnya terlampau keras.
Ketika mereka berpaling, dalam keremangan
malam, di dalam lindungan dedaunan, mereka melibat sebuah bayangan yang
meremang. Dalam kegelapan rimbunnya gerumbul-gerumbul taman yang sedang
mulai tumbuh, mereka tidak segera dapat mengenal bayangan itu.
Karena itu hampir bersamaan Ken Arok dan Kebo Ijo bertanya, “Siapakah kau?”
Terdengar suara terbatuk-batuk kecil.
Tetapi suara itu telah menggoncangkan dada Kebo ljo. Dengan serta-merta
ia bertanya sekali lagi, “Siapa?”
“Aku! Kebo Ijo.”
Jawaban itu benar-benar seperti suara
petir yang meledak di dalam dadanya. Tubuhnya tiba-tiba menyadi gemetar.
Dan dengan suara yang gemetar pu!a ia berkata, “ Apakah guru yang
berdiri di situ?”
“Ya.”
Wajah Kebo Ijo tiba-tiba berubah menjadi
seputih mayat. Tetapi malam yang gelap telah menyaputnya, sehingga Ken
Arok tidak dapat melihat perubahan wajah itu. Ia hanya mendengar suara
Kebo Ijo gemetar. Tetapi ia tidak tahu, apakah sebabnya maka suara itu
gemetar.
Namun dengan demikian maka hati Ken Arok
itu pun menjadi berdebar-debar. Kedatangan guru Kebo Ijo yang tanpa
disangka-sangka itu telah mempengaruhi pikirannya. Ia merasakan sesuatu
yang kurang wajar atas kehadiran guru Kebo Ijo itu. Mungkin guru Kebo
Ijo telah lama berada di tempat itu, telah melihatnya pula ketika ia
berhasil menyelamatkan diri dari kekuatan Aji Bajra Pati. Lalu apakah
maksud kedatangannya itu ada hubungannya dengan kegagalan muridnya.
Kedua anak-anak muda itu kemudian berdiri
tegak seperti patung. Mereka hanya dapat memandangi saja seorang tua
yang berjalan mendekati mereka. Semakin lama semakin dekat.
“Hem,” mereka mendengar Panji Bojong
Santi menarik napas dalam-dalam, “aku telah melihat kalian berkelahi.
Sejak permulaan sampai kalian hampir-hampit menjadi gila.”
Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Tetapi mereka masih saja berdiam diri.
“Aku berbangga atas kalian. Ternyata
anak-anak muda kini memiliki kemampuan yang cukup memberi kebanggaan
kepada orang-orang tua. Ketika aku seumurmu Kebo Ijo,” berkata orang tua
itu seterusnya, “Aku tidak akan mampu berbuat terlampau banyak seperti
apa yang telah kau lakukan. Aku sama sekali belum dipercaya oleh guruku
untuk menerima Aji Bajra Pati. Tetapi ternyata anak-anak muda sekarang
jauh berbeda dengan anak-anak muda pada zamanku. Kau ternyata telah
mampu menguasai Aji Bajra Pati dengan baik. Dan aku pun berbangga pula
karenanya.”
Hati Kebo Ijo menyadi semakin
berdebar-debar. Dan Ken Arok pun hanya dapat berdiri tegak membeku. Ia
tidak tahu arah pembicaraan guru Kebo Ijo. Apakah ia sedang memuji
muridnya, ataukah sedang menyesalinya. Namun sejenak kemudian Ken Arok
menjadi jelas melihat sikap Panji Bojong Santi, ketika orang tua itu
berkata, “Tetapi Kebo Ijo, ternyata anak-anak sekarang pun lebih banyak
dikuasai nafsunya daripada pikirannya yang bening. Justru karena itu,
maka keadaan sekarang ini jauh lebih membuat orang-orang tua
berprihatin.” Panji Bojong Santi berhenti sejenak. Kemudian
dilanjutkannya, “Coba pikirkanlah. Anak-anak muda sekarang ini lebih
pandai, lebih cakap, dan lebih cepat mempelajari berbagai macam ilmu.
Tetapi juga lebih cepat naik darah dan dikejar oleh nafsunya sendiri.”
Ketika Panji Bojong Santi berhenti
berbicara, maka Padang Karautan itu menjadi sepi. Yang terdengar hanya
gemersik dedaunan disentuh oleh angin yang menyapu wajah padang yang
kering itu.
Baru sesaat kemudian orang tua itu
menyambung kata-katanya, “Tetapi itu bukan salah anak-anak muda saja.
Kami yang tua-tua pun ternyata ikut serta mendorong kalian ke dalam
tindakan-tindakan yang mencemaskan. Kebo Ijo, apakah aku harus menyesal
bahwa aku telah memberimu bekal sebelum kau memasuki dunia keprajuritan?
Apakah aku harus menangkapmu dan berusaha memunahkan kembali Aji Bajra
Pati dari tubuhmu dengan melemahkan beberapa urat nadimu untuk
sementara, sehingga kau tidak mungkin lagi berbuat dan bersikap seperti
yang baru saja kau lakukan?”
Tubuh Kebo Ijo itu pun menyadi gemetar.
Ia tidak menyangka sama sekali bahwa gurunya akan sampai juga di Padang
Karautan dan menyaksikan apa yang telah dilakukannya.
Kebo Ijo itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar gurunya bertanya, “Bagaimana Kebo Ijo?”
Keringat Kebo Ijo yang sudah terperas
pada saat ia berkelahi melawan Ken Arok, kini masih juga mengalir.
Keringat dingin. Anak muda itu tidak berani menatap wajah gurunya yang
memandangi dengan tajam.
Karena Kebo Ijo tidak segera menjawab,
maka gurunya mendesaknya, “Bagaimana Kebo Ijo? Bagaimana perasaanmu
setelah kau dapat memancing perkelahian?”
Kepala Kebo Ijo menjadi semakin tunduk. Tetapi mulutnya masih belum dapat mengucapkan jawaban.
“Kau berbangga?”
Pelahan-lahan Kebo Ijo menggelengkan kepalanya.
“Bagaimana?”
Sekali lagi Kebo Ijo menggeleng dan menjawab lambat sekali, hampir tidak terdengar, “Tidak guru.”
“Tidak apa?”
Jawabannya semakin sendat, “Tidak berbangga guru.”
“Lalu apa maksudmu kau memancing perkelahian? Supaya kau mendapat kedudukan tertinggi di dalam kerja besar ini?”
Sekali lagi Kebo Ijo terdiam.
“Dengarlah Kebo Ijo,” berkata Bojong
Santi kemudian, “ternyata kau keliru menilai kejantanan diri. Kau
menganggap bahwa apabila kau berkelahi sampai mati, itu adalah suatu
sikap jantan. Membunuh atau dibunuh. Begitu bukan istilahmu untuk
menyatakan dirimu sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang prajurit
pilihan?”
Mulut Kebo Ijo menjadi seolah-olah
tersumbat. Sedangkan Ken Arok berdiri saja seperti tonggak. Ia menjadi
heran dan kemudian kagum terhadap guru Kebo Ijo. Ternyata ia mampu
melihat dengan jujur apa yang telah terjadi. Orang tua itu tidak diburu
oleh sikap berat sebelah menghadapi persoalannya dengan Kebo Ijo.
Meskipun Kebo Ijo itu muridnya, dan ia sendiri hampir dikenal oleh orang
tua itu, tetapi sikap orang tua itu benar-benar terpuji.
“Kebo Ijo,” terdengar Panji Bojong Santi
itu berkata, “Kau dapat bersikap demikian apabila kau berdiri di atas
kebenaran yang kau yakini. Tidak sekadar karena kesombongan, harga diri,
dan pamrih duniawi yang memalukan. Nama, misalnya. Atau
kedudukan. Tidak. Dalam persoalanmu, persoalan yang telah kau ikat
dengan perjanjian bersama sebelum kalian mulai, maka sikap jantan adalah
memenuhi perjanjian itu dengan jujur. Tetapi kau tidak. Perasaanmu
telah dibakar oleh nafsu, kesombongan, dan harga diri yang
berlebih-lebihan. Nah, ternyata kau kalah Kebo Ijo. Kau kalah, itu harus
kau akui. Sampai mati pun kau tetap kalah. Tak ada orang yang akan
mengagumi mayatmu. Sebab kau mati dalam kesombonganmu. Tidak seperti
seorang prajurit yang mati di peperangan atau seorang laki-laki yang
sedang membela kebenaran. Sikap jantan bagimu sekarang adalah mengakui
kekalahanmu dan minta maaf atas sikapmu itu. Sombong dan tidak sopan.”
Mendengar kata-kata gurunya itu terasa
darah Kebo Ijo seolah-olah berhenti mengalir. Bagaimana mungkin ia harus
mengakui kesalahan dan minta maaf kepada Ken Arok. Bukankah dengan
demikian Ken Arok akan menjadi besar kepala dan bersikap sekehendak hati
kepadanya nanti. Ia akan dapat menghinakan dirinya di hadapan para
prajurit Tumapel. Menceriterakan apa yang terjadi dan menertawakannya.
“Penghinaan yang demikian lebih parah daripada mati sama sekali,” desisnya di dalam kati.
Tetapi gurunya mendesaknya, “Cepat Kebo Ijo. Cepat mintalah maaf.”
Kebo Ijo masih berdiri tegak seperti patung. Cundrik-nya masih digenggamnya erat-erat.
“Apakah kau tidak mau? Apakah kau masih
ingin berkelahi lagi? Kalau kau masih ingin berkelahi lagi, maka aku
akan melihatnya lebih dekat lagi. Aku akan berpesan kepada lawanmu untuk
berbuat lebih parah daripada membunuhmu. Kau tahu bahwa dengan
melemahkan beberapa urat nadimu, maka Aji Bajra Pati akan punah untuk
sementara. Dan aku akan mengajari lawanmu berbuat demikian.”
Tubuh Kebo Ijo telah menyadi basah oleh
keringat dinginnya seperti baru saja mandi. Nafasnya menyadi
terengah-engah, melampaui pada saat ia baru berkelahi.
Ken Arok melihat betapa hati anak muda
itu menjadi terlampau pedih menghadapi kenyataan itu. Perintah gurunya
terasa terlampau berat untuk dilakukannya. Maka se¬olah terlihat olehnya
wajah Kebo Ijo yang pucat, titik-titik keringatnya yang menetes dari
kening, dan tubuhnya yang gemetar, maka ia menjadi beriba hati.
Kemarahannya telah hanyut oleh sikap guru Kebo Ijo yang mengagumkannya.
Dan ia yakin bahwa dengan sikap gurunya itu Kebo Ijo akan menjadi jera.
Ia pasti tidak akan mengganggunya lagi selama tugasnya di Padang
Karautan.
Karena itu maka pelahan-lahan terdengar
Ken Arok itu berkata sambil membungkukkan badannya, “Aku mengagumi sikap
tuan. Karena itu, maka aku kira tidak ada yang paling bersalah di
antara kita. Bukan saja adi Kebo Ijo yang bersalah, tetapi aku pun telah bersalah karena aku melayaninya Karena itu, maka aku kira adi Kebo Ijo sudah tidak perlu lagi minta maaf atas kesalahannya.”
“Hem,” Panji Bojong Santi menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan tajamnya. Kemudian ia
mengangguk sambil berkata, “Sikapmu mengagumkan aku anak muda. Tetapi
sayang, aku tidak sependapat dengan kau. Kebo Ijo harus mendapat hukuman
karena sikapnya yang sombong dan keras kepala.” Kepada Kebo Ijo Panji
Bojong Santi mengulanginya, “Ayo, cepat. Minta maaf kepada anak muda
ini. Kau telah bersalah. Kesalahan yang demikian harus diakui. Kalau kau
tidak juga mau minta maaf, maka berarti bahwa kau tidak merasa bersalah
dalam hal ini. Dengan demikian maka kesalahan yang serupa akan kau
ulangi lagi. Daripada hal itu terjadi, Kebo Ijo, maka lebih baik aku
mencegahnya. Memunahkan untuk sementara Aji Bajra Pati sampai
benar-benar jera. Sebab kekuatan itu bukanlah kekuatan yang dapat kau
pakai untuk bersombong diri dan berkeras kepala.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin pucat.
Betapa jantungnya berdentangan, betapa hatinya dicekam oleh kesombongan
dan harga diri yang berlebih-lebihan, tetapi kini ia berhadapan dengan
gurunya. Bahkan gurunya telah mengancamnya untuk melemahkan kekuatan Aji
Bajra Pati yang telah dimilikinya. Karena itu, maka keringat
dikeningnya menjadi semakin deras mengalir dan menetes satu-satu,
seolah-olah menetes dari sudut matanya.
“Aku memberimu kesempatan terakhir sekarang Kebo Ijo,” terdengar suara gurunya dalam nada yang rendah.
Kebo Ijo benar-benar tidak dapat
menghindar lagi. Betapa berat dan sakit hatinya, tetapi ia akhirnya
berkata pelahan-lahan, “Ya, guru. Aku bersalah. Aku minta maaf.”
“Tidak kepadaku,” sahut gurunya, “kepada anak muda yang bernama Ken Arok ini.”
Wajah Kebo Ijo terasa seolah-olah menjadi semakin tebal.
Bibirnya menjadi berat seperti batu. Tetapi ia berkata juga, “Maafkan aku Ken Arok.”
Dan Ken Arok menyahut, “Aku pun minta maaf pula Kebo Ijo.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Kepalanya
tertunduk dalam-dalam. Meskipun malam ditandai oleh kegelapan, tetapi
seolah-olah ia melihat jelas sekali Ken Arok tersenyum atas
kemenangannya.
Tetapi Kebo Ijo terkejut mendengar
gurunya berkata, “Kau tidak ikhlas Kebo Ijo. Tetapi aku tidak dapat
memaksamu tiba-tiba saja menjadi seorang yang rendah hati. Tetapi hal
ini hendaknya menjadi pelajaran bagimu. Lain kali kau harus lebih
berhati-hati. Menjaga diri dan berbuat baik supaya kau tidak terjerumus
ke dalam keadaan yang dapat menyulitkan dirimu. Jangan kau sangka bahwa
aku tidak mengetahui sifat-sifatmu. Aku sering mendengar kawan-kawanmu
mengeluh, bahkan kakakmu Witantra pun mengeluh kepadaku, bahwa kau
terlampau sombong, tinggi hati, dan merasa dirimu lebih baik, lebih
cakap, dan lebih pandai dari orang lain. Sadari, sebelum kau terperosok
semakin dalam.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Sebagian ia
dapat mengerti kata-kata gurunya, tetapi yang sebagian lagi telah
membuatnya jengkel. Meskipun demikian ia tidak berani untuk membantah
atau bersikap lain daripada menundukkan kepalanya.
“Nah, sekarang kau boleh pergi Kebo Ijo. Kembalilah ke perkemahan.”
Perintah itu serasa tetesan embun yang
sejuk menyiram hatinya yang membara. Segera ia membungkukkan kepalanya
sambil berkata, “Terima kasih guru. Aku akan segera pergi ke
perkemahan.”
“Ingatlah. Aku tidak rela kau berbuat serupa itu lagi.”
Kebo Ijo mengangguk sekali lagi, “Ya, guru. Aku akan mengingatkan untuk selanjutnya.”
Ketika Kebo Ijo telah meninggalkan taman itu, maka terdengar Bojong Santi berkata, “Tinggallah di sini sebentar Ken Arok.”
Mendengar kata-kata Panji Bojong Santi
itu Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Sejenak ia mengawasi langkah Kebo Ijo yang semakin lama menjadi semakin
jauh.
Sekali Kebo Ijo berpaling, tetapi
bayangan Ken Arok dan gurunya, Panji Bojong Santi, sudah menjadi kabur,
dan sesaat lagi seolah-olah hilang ditelan kegelapan. Dan langkahnya pun
menjadi tergesa-gesa menjauhi taman yang belum selesai dibuat itu.
Ketika ia mendengar gurunya menyuruhnya
pergi, maka ia merasa terlepas dari suatu keadaan yang seakan-akan
mencekik lehernya sehingga ia tidak lagi bebas bernafas. Seolah-olah ia
telah terlepas dari panggangan api yang membara di bawah kakinya.
Gurunya yang memaksanya untuk minta maaf
kepada Ken Arok telah membuatnya seperti terlempar ke dalam neraka.
Tetapi ia tidak dapat menolak, karena gurunya sendirilah yang
menyuruhnya berbuat demikian. Seandainya orang itu bukan gurunya, bahkan
Akuwu Tunggul Ametung sekalipun, maka ia akan tetap berdiam diri
meskipun akibatnya nyawanya akan menyadi tebusan dari sikapnya yang
keras kepala itu. Tetapi ia tidak dapat menolak terhadap gurunya.
“Hem,” ia bergumam kepada diri sendiri,
“kalau saja guru tidak memaksa aku. Kalau saja guru tidak hadir di
tempat itu.” Tetapi kemudian hatinya sendiri menjawab, “Kalau guru tidak
ada di tempat itu aku pasti sudah mati.”
Namun dibantahnya sendiri, “Lebih baik mati daripada mengalami penghinaan yang begitu berat.”
Dan hatinya pun berbantah sendiri.
Tetapi di antara kemarahan, kekecewaan,
dan kejengkelannya, terselip juga di dalam hatinya perasaan heran dan
kagum terhadap Ken Arok. Orang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Dengan gerak dan sikap yang sederhana ia telah mampu melepaskan diri
dari kehancuran akibat sentuhan Aji Bajra Pati. Kekuatan yang dahsyat
yang jarang tandingnya. Namun Ken Arok dapat terlepas daripadanya.
Bukan kekuatan dan kecepatan bertempur
Ken Arok sajalah yang telah membuat Kebo Ijo heran dan kagum, tetapi
juga sifat-sifatnya yang aneh. Anak muda itu terlampau sabar.
Bertanggung jawab atas kata-kata dan perbuatannya. Dan bertanggung jawab
atas tugas-tugas yang diserahkan kepadanya, sehingga ia bersedia untuk
mengorbankan beberapa kepentingannya sendiri.
Dalam keangkuhan dan harga diri yang
berlebih-lebihan, Kebo Ijo melihat sikap Ken Arok itu aneh. Tetapi
memberinya beberapa pengertian baru, bahwa orang-orang yang dianggapnya
remeh tidak selalu dapat diatasinya dalam beberapa persoalan. Dan
ternyata Ken Arok jauh lebih baik daripadanya dalam beberapa hal. Dalam
kekuatan, keteguhan, dan tata perkelahian, juga dalam sikap
kepemimpinan. Itulah sebabnya Ken Arok dapat mencekam hati
prajurit-prajurit Tumapel di Padang Karautan.
Dengan desah nafas yang semakin cepat
Kebo Ijo itu pun berjalan semakin cepat pula menyusuri parit induk
kemudian berbelok ke arah perkemahan para prajurit Tumapel. Perkemahan
yang sama sekali tidak menyenangkannya, meskipun gubugnya sendiri khusus
telah mendapat sebuah rak-rakan.
Di taman yang sedang disiapkannya, Ken Arok masih berdiri termangu-mangu di hadapan Panji Bojong Santi.
Ketika Kebo Ijo sudah tidak tampak lagi,
maka bertanyalah Panji Bojong Santi, “Anggerkah yang bertanggung jawab
atas pekerjaan besar yang sedang dilakukan di padang ini oleh
prajurit-prajurit Tumapel dan orang-orang Panawijen?”
“Ya Bapa Panji.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berkata, “Meskipun kau masih muda, tetapi kau
sudah cukup mengagumkan.”
“Ah, jangan memuji.”
“Tidak Ngger, aku tidak hanya sekadar memuji. Tetapi aku melihat suatu keanehan pada dirimu.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Aku melihat kau berkelahi dengan Kebo
Ijo sejak permulaan sekali. Aku melihat kau datang, dan aku melihat pula
kemudian Kebo Ijo menyusulmu.”
“Hem,” Ken Arok bergumam di dalam
hatinya, “kenapa guru Kebo Ijo ini membiarkan saja perkelahian itu
berlangsung, dan dibiarkannya muridnya mempergunakan Aji Bajra Pati?
Apabila aku tidak berhasil menahan serangan aji itu, maka aku akan lumat
di hadapannya, dan ia hanya akan dapat menyesali muridnya yang lancang
itu. Namun terlambat.”
“Aku melihat kau mengalahkan Kebo Ijo, kemudian memaksa Kebo Ijo melepaskan Aji Bajra Pati.”
“Sama sekali bukan maksudku Bapa Panji.”
“Ya, ya aku tahu. Memang bukan maksudmu. Itu se¬mata-mata karena nalar Kebo Ijo terlampau pendek.”
“Dan Bapa Panji membiarkannya melepaskan
aji itu,” Ken Arok ingin mendapat penjelasan daripadanya, kenapa guru
Kebo Ijo itu tidak mencegahnya.
“Oh,” Ken Arok heran ketika ia melihat
Panji Bojong Santi itu tersenyum, “maafkan aku Ngger. Sebenarnya aku pun
ingin mencegah perbuatan itu. Tetapi tiba-tiba aku melihat sesuatu yang
membuat aku heran. Semula aku menyangka bahwa itu hanyalah
penglihatanku saja. Tetapi aku menjadi yakin ketika kau memusatkan
segenap kekuatanmu untuk melawan Aji Bajra Pati.”
“Apakah yang Bapa lihat?”
Panji Bojong Santi menjadi ragu-ragu. Ia
ingin mengatakan apa yang dilihatnya, tetapi apabila demikian, maka hal
itu akan sangat berbahaya bagi Ken Arok. Anak itu akan demikian besar
kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga ia akan dapat melakukan
hal-hal yang tidak terkendali. Meskipun agaknya sampai saat ini Ken Arok
adalah anak muda yang baik, sabar, dan bertanggung jawab, tetapi
apabila ia terlampau sadar akan kelebihannya, maka hal itu akan dapat
mempengaruhi bahkan mengubah sama sekali tabiatnya itu.
Karena itu maka sejenak Panji Bojong
Santi itu hanya berdiri saja termangu-mangu. Dipandanginya wajah Ken
Arok yang keheran-heranan melihat keragu-raguan orang tua itu.
Sejenak kemudian Panji Bojong Santi itu
menarik nafas dalam-dalam. Katanya pelahan-lahan, “Kau memang
mengagumkan anak muda. Aku melihat beberapa kelebihan ada padamu. Karena
itulah maka aku berniat untuk melihat, apakah kau mampu melawan Aji
Bajra Pati.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia bergumam di dalam hati, “Sangat berbahaya. Kalau aku menjadi
lumat, maka sebagian adalah kesalahannya.”
Agaknya Panji Bojong Santi dapat
menangkap perasaannya itu sehingga ia berkata, “Ternyata tangkapanku
atas kau tidak jauh meleset Ngger. Kau memang luar biasa. Tetapi
seandainya kau mendapat bencana karena Aji Bajra Pati, maka aku sudah
bersedia untuk mencoba mengobatimu. Aku membawa beberapa macam obat
untuk luka-luka dalam akibat benturan dengan Aji Bajra Pati.”
Ken Arok menarik nafas. Tetapi ia masih juga berdiam diri.
“Tetapi ternyata kau sama sekali tidak
memerlukan obat itu. Kau hanya terdorong dan terjatuh pelahan-lahan.
Sejenak kemudian kau sudah dapat menguasai dirimu. Seperti yang kau
lihat maka justru Kebo Ijo sendirilah yang terlempar dan jatuh berguling
di tanah. Itu adalah pertanda bahwa daya tahanmu benar-benar luar
biasa, bahkan mengandung daya dorong yang tidak kau sadari. Kalau kau
hanya memiliki daya tahan, maka Kebo Ijo tidak akan mengalami keadaan
yang cukup berat baginya, yang cukup waktu bagimu untuk membinasakan
apabila kau kehendaki.”
Ken Arok sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kau mampu mengetrapkan kekuatanmu
dalam sikap dan unsur-unsur gerak yang tersusun, maka kau akan menjadi
seorang anak muda yang luar biasa.”
“Ah,” Ken Arok berdesah.
“Ilmumu adalah kurnia dari Yang Maha
Agung. Agaknya kau tidak berguru kepada seseorang yang cukup
berpengalaman untuk menuntunmu menyusun ilmu yang dahsyat Tetapi
seandainya kau berguru maka gurumu itu pun kelak tak akan dapat
menyamaimu.”
“Ah,” sahut Ken Arok, “itu berlebihan
Bapa Panji. Tak ada kelebihan apa pun padaku. Tetapi memang aku tidak
pernah berguru dalam ilmu kanuragan. Aku hanya mendapat sedikit
tuntunan dari Bapa Lohgawe. Itu pun bukan soal-soal badani. Aku hanya
diajarinya memusatkan pikiran, kehendak, dan getaran-getaran yang ada di
dalam diriku.”
“Nah, kau, berhasil,” potong Panji Bojong
Santi, “itu adalah sumber dari kekuatan. Semua aji yang dinamai oleh
penyusunnya dengan bermacam-macam, nama menurut kesenangan dan selera
masing-masing pada dasarnya bersumber pada pemusatan pikiran, kehendak,
dan getaran-getaran yang ada di dalam tubuh untuk dapat membangunkan
segenap kekuatan yang pada keadaan wajar seolah-olah tersembunyi.
Seseorang harus berbuat banyak untuk dapat berbuat demikian.
Latihan-latihan dengan tekun. Percobaan-percobaan yang kadang-kadang
sangat berbahaya bagi dirinya. Pengenalan atas bentuk-bentuk kekuatan
dan watak-wataknya, serta pengenalan atas diri sendiri. Dengan mesu diri
seseorang baru akan mendapatkan apa yang dicarinya itu pada dirinya,
yang kemudian dicarinya bentuk-bentuknya yang lebih umum untuk dapat
diterapkan pada orang lain. Tentu saja orang-orang yang dipilihnya
sesuai dengan pengamatannya atas watak dan sifat-sifatnya, yang pada
umumnya disebut murid. Tetapi agaknya kau agak lain daripada keadaan
yang umum itu. Agaknya kau mendapatkan kekuatan untuk itu tanpa kau
sadari. Dan itu adalah kekhususan.”
Terasa dada Ken Arok berdesir.
Tebersitlah perasaan bangga di dalam dirinya. Namun segera ia berkata,
“Mungkin cara hidupku yang keras di masa kanak-kanak telah membentuk aku
demikian.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan nada rendah ia berkata, “Mungkin, karena itu.” Tetapi
apa yang tebersit di dalam hatinya tidak diucapkannya. Ia belum mengenal
terlampau banyak tentang sifat-sifat anak itu. Keadaan sebelum ia
berada di Padang Karautan ini bersama-sama dengan prajurit Tumapel.
Karena itu, apa yang diketahuinya disimpannya saja di dalam hatinya.
Sejenak ia melihat Ken Arok mulai
mengerahkan kekuatannya, ia sudah melihat keanehan pada anak itu.
Mula-mula tidak terlampau jelas. Ia melihat warna semburat merah di atas
kepala Ken Arok. Hanya kadang-kadang dilihatnya warna itu membersit,
tetapi ketika dipandanginya semakin tajam maka warna itu pun lenyap.
Tetapi ketika Kebo Ijo bersiap melepaskan Aji Bajra Pati, dan ketika
Panji Bojong Santi itu telah bersiap untuk mencegahnya, maka warna merah
di atas kepala Ken Arok itu menjadi semakin nyata. Pada saat itu Ken
Arok pun ternyata sedang memusatkan segenap pikiran, kehendak, dan
getaran-getaran yang ada di dalam dirinya. Dan pada saat yang demikian
itulah warna merah di kepalanya menjadi semakin nyata. Warna merah
seakan-akan memancar dari ubun-ubun kepalanya itu.
Apa yang dilihat oleh Panji Bojong Santi
itu sangat mempengaruhinya. Warna merah yang pernah dilihatnya pula oleh
orang-orang tua sebayanya. Empu Purwa, guru Mahisa Agni, pun pernah
melihat warna itu pula. Ketika ia berkelahi melawan Kebo Sindet maka
warna yang demikian itu ternyata membersit pula di atas ubun-ubunnya.
Dan justru warna merah itulah yang
mencegah Panji Bojong Santi untuk mengurungkan niat muridnya
mempergunakan Aji Bajra Pati. Ia ingin melihat, apakah pengaruh warna di
atas kepala itu.
Ternyata anak muda yang dari ubun-ubunnya
seolah-olah membersit warna merah itu mempunyai kekuatan yang luar
biasa. Dengan caranya sendiri ia berhasil menahan serangan Aji Bajra
Pati, bahkan mampu melemparkan orang yang melepaskan aji itu sendiri
sehingga terbanting jatuh.
Ketika angin malam yang silir
berembus semakin keras mengusap tubuh-tubuh yang berdiri tegak di Padang
Karautan itu maka Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Ia
telah memutuskan untuk tidak mengatakan kepada Ken Arok apa yang sudah
dilihatnya.
“Aku tidak akan mengatakannya,” katanya
di dalam hati, “Entahlah kalau ia sudah tahu dan menyadarinya. Tetapi
seandainya demikian, maka aku kira kurang baik akibatnya baginya
sendiri. Ia akan dapat menyadi terlampau percaya pada kekuatan sendiri.
Ia masih terlampau muda. Apabila kelak perasaannya sudah mengendap, maka
akan berbedalah akibatnya.”
Tetapi yang dikatakan oleh Panji Bojong Santi adalah, “Mari Ken Arok. Apakah kau akan mempersilakan aku mampir ke perkemahanmu?”
“Oh,” Ken Arok tergagap, “marilah Bapa Panji. Kalau sudi maka aku persilakan singgah sebentar di perkemahan kami.”
Panji Bojong Santi tersenyum. “Aku memang ingin melihat perkemahanmu Ngger.”
“Terima kasih Bapa. Marilah.”
Keduanya pun kemudian berjalan meninggalkan taman yang belum siap itu, pergi ke perkemahan. Mereka melintasi beberapa parit dan susukan induk.
“Rencana ini amat baik,” desis Panji
Bojong Santi. “Parit induk yang membelah padang, kemudian parit-parit
yang seperti jari-jari yang puluhan banyaknya mencekam padang di sekitar
susukan ini. Siapakah yang merencanakan semua ini?”
“Mahisa Agni Bapa Panji. Tetapi kemudian aku mendapat perintah dari Akuwu untuk menampung air dari susukan induk ini dengan sebuah sendang buatan di tengah-tengah taman ini.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Sebuah perpaduan rencana yang pasti akan memuaskan sekali.
Memuaskan bagi orang-orang Panawijen yang kehilangan tanahnya yang
subur, dan memuaskan bagi Akuwu Tunggul Ametung. Bukankah Akuwu ingin
menghadiahkan taman itu kelak kepada permaisurinya yang juga berasal
dari Panawijen itu?”
“Ya, ternyata Bapa Panji telah mengetahuinya.”
“Aku mendengar dari orang-orang istana Ngger.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Panji Bojong Santi adalah guru Witantra dan Kebo Ijo, yang kedua-duanya
adalah orang-orang dalam juga.
“Dan kali ini aku memerlukan untuk
melihat sendiri, apakah yang telah kalian buat di sini. Ternyata apa
yang aku lihat sangat mengagumkan. Sayang, bahwa Angger Mahisa Agni
tidak dapat ikut melaksanakan rencana yang amat bagus ini.”
“Ia hanya sempat memulainya Bapa.”
“Ya, ya. Sayang sekali. Mudah-mudahan ia
dapat juga melihat kelak, apabila rencana ini telah siap. Parit-parit
telah mengalir dan taman ini telah dipajang dengan bunga-bunga. Sebuah
rakit yang indah di tengah-tengah sendang yang sedang dipersiapkan itu dan sebuah pesanggrahan kecil di pinggirnya.”
“Ya Bapa. Apabila dinding taman itu telah
siap, parit induk sudah dapat mengalirkan air dan parit yang akan
menampung limpahan airnya kelak siap pula untuk mengalirkannya ke padang
di bawah taman ini untuk kemudian melimpahkannya ke sawah-sawah pula
dan sisanya akan dilepaskan kembali ke dalam sungai, maka barulah pesanggrahan kecil itu akan mulai dibangun.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah cukup waktu bagimu untuk menyiapkan pesanggrahan itu dalam waktu yang ditetapkan apabila kau bangun terakhir setelah semuanya siap?”
“O, kayu-kayunya telah disiapkan di Tumapel. Di sini kita tinggal memasangnya.”
Panji Bojong Santi masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak-anak muda di Padang Karautan ini
ternyata mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar dan mengagumkan.
Mahisa Agni ternyata mempunyai pandangan yang tajam buat masa-masa
mendatang, dan Ken Arok adalah seorang pelaksana yang baik, yang mampu
mewujudkan angan-angan di dalam kenyataan. Taman itu nanti pasti akan
menjadi tempat yang sangat menyenangkan, seperti sebuah taman di dalam
mimpi. Sebuah sendang buatan, sebuah pulau kecil di
tengah-tengah taman, yang dibuat seperti sebuah bukit karang, tetapi
dapat ditanami bunga-bungaan. Sebuah pesanggrahan kecil.
Ternyata Padang Karautan akan segera
berubah menjadi sebuah tempat yang memberi kebanggaan bagi Tumapel.
Sawah yang seolah-olah tanpa batas. Sebuah taman yang indah. Sebuah
perpaduan antara kesuburan dan keindahan yang seimbang. Antara kebutuhan
jasmaniah dan rohaniah. Dan kedua-duanya bersumber kepada Yang Maha
Agung, Yang Maha Kasih, Yang Maka Murah. Yang menciptakan alam seisinya,
dan memelihara dengan keindahan kasih-Nya tetapi yang kelak apabila
datang saatnya akan menuntut pertanggungjawaban yang paling adil.
“Sayang,” tiba-tiba Panji Bojong Santi itu berdesis.
“Kenapa Bapa?” bertanya Ken Arok.
“Ada juga yang mengganggu pelaksanaan kerja yang besar ini.”
“Ya,” suara Ken Arok menjadi rendah, “hilangnya Mahisa Agni sangat mengganggu kerja ini.”
“Karena kecemasan akan hal itu pulalah
aku tidak dapat melepaskan Kebo Ijo pergi hanya dengan beberapa orang
pengawalnya. Aku terpaksa mendahuluinya dan mengawasinya, kalau-kalau ia
bertemu dengan orang-orang yang telah mencoba menggagalkan kerja ini.
Kebo Sindet misalnya.”
“Oh,” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, “jadi hal itulah yang mendorong Bapa datang ke padang ini?”
“Bukan hanya itu, tetapi aku juga harus
mengawasi kelakuan Kebo Ijo yang sering membuat aku berprihatin. Seperti
apa yang baru saja terjadi. Aku menyadarinya, bahwa ia bukan seorang
pemimpin yang baik. Untunglah yang bertanggung jawab di sini adalah
Angger Ken Arok. Aku akan dapat menitipkannya kepadamu.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia
merasa bahwa kata-kata Panji Bojong Santi itu hanya sekadar untuk
menyenangkannya. Karena itu maka ia tidak menjawab.
Tetapi ternyata Panji Bojong Santi itu
berkata bersungguh-sungguh, “Jarang aku menjumpai anak-anak muda seperti
kau Ngger. Meskipun kau memiliki keluarbiasaan, tetapi kau tetap sabar
dan rendah hati. Karena itu maka aku berharap, bahwa cara hidup Kebo Ijo
akan terpengaruh oleh sifat dan watakmu di sini. Mudah-mudahan ia dapat
bercermin dan mengubah dirinya sendiri.”
“Ah,” Ken Arok berdesah, tetapi segera
Panji Bojong Santi menyambung kata-katanya, “Aku berkata sesungguhnya
Ngger. Dan aku akan berkata seperti ini juga nanti kepada Kebo Ijo. Ia
adalah bawahanmu di sini. Adalah kewajiban seorang prajurit untuk tunduk
dan taat kepada atasannya.” Nada suara Panji Bojong Santi pun segera
merendah, “Tetapi kau sudah mempunyai cara yang sebaik-baiknya untuk
menguasai anak buahmu. Tanpa kekerasan dan tekanan dengan kekuasaan.
Mereka taat dan patuh kepadamu karena mereka menyadari keharusan itu
dengan ikhlas. Kau adalah seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang
mengutamakan kepentingan bawahanmu daripada kepentinganmu sendiri.”
Sekali lagi Ken Arok berdesah, Bapa
memuji aku berlebih-lebihan. Aku tidak lebih dari seorang yang bodoh.
Aku berbuat sekadar memenuhi kewajibanku. Meskipun aku berusaha untuk
melakukannya sebaik-baiknya.”
“Terlampau baik buat seorang anak muda seumurmu,” sahut Panji Bojong Santi.
Ken Arok tidak menyahut lagi. Ia
melangkah pergi pelahan-lahan sambil memandangi bintang-bintang di atas
cakrawala. Kini terasa betapa segarnya angin padang yang bertiup
pelahan-lahan menyentuh tubuhnya yang kotor oleh keringat dan debu. Di
sampingnya Panji Bojong Santi pun terdiam untuk sejenak. Langkah mereka
gemerisik di atas rerumputan yang kekuning-kuningan. Sekali-sekali
mereka melangkahi parit-parit yang menjelujur menyusuri padang yang
kering. Sebentar lagi, apabila parit-parit itu sudah mengalirkan air,
maka keadaan padang akan segera berubah. Tanah yang kering yang
ditumbuhi oleh rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu yang liar itu akan
segera berubah menjadi tanah persawahan yang hijau subur.
Akhirnya mereka berdua sampai di
perkemahan para prajurit Tumapel. Beberapa buah gubug telah menyadi
gelap. Penghuni-penghuninya sengaja memadamkan lampu-lampu minyak di
dalam gubug mereka, supaya mereka dapat tidur dengan nyenyak, meskipun
dengan demikian kadang-kadang mereka terganggu juga oleh nyamuk yang
beterbangan di sekitar telinga mereka.
“Tolong bawa aku ke gubug Kebo Ijo, Bgger,” minta Panji Bojong Santi.
“Baiklah Bapa,” sahut Ken Arok.
Keduanya pun kemudian pergi ke gubug Kebo Ijo. Gubug kecil yang dipergunakannya seorang diri.
Ketika keduanya sampai di muka pintu
gubug itu, maka pelahan-lahan pintunya ditarik oleh Ken Arok sambil
berkata, “Adi, Bapa Panji ingin berkunjung ke pondokmu.”
Kebo Ijo yang sudah berbaring, segera
meloncat bangkit. Dengan tergopoh-gopoh ia mempersilakan gurunya.
“Marilah guru. Inilah pondokku yang kotor. Aku tidak dapat berbuat
banyak, sebab aku tinggal mempergunakannya. Para prajurit yang
mendahului akulah yang telah membuat gubug macam begini, lebih jelek
dari sebuah kandang kambing.”
Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya.
Ketika selangkah ia memasuki pintu, maka ditebarkannya pandangan
matanya berkeliling. Pelahan-lahan ia bergumam, “Gubug ini terlampau
baik buat padang yang kering ini. Ternyata persiapan kalian cukup baik.
Kalian masih sempat juga membuat gubug-gubug serupa ini. Aku tidak
membayangkan sebelumnya bahwa gubug-gubug di sini demikian baik. Aku
kira kalian hanya memancangkan beberapa tiang-tiang bambu, kemudian
memasang anyaman ilalang di atasnya. Ternyata kalian sempat membuat
dinding dan membuat pondok terpisah-pisah.”
“Tidak semua Bapa,” sahut Ken Arok, “hanya beberapa buah. Yang lain adalah barak-barak kecil untuk lima sampai sepuluh orang.”
“Tetapi bukankah kau beri berdinding juga untuk menahan dingin dan debu.”
“Ya,” Ken Arok mengangguk.
“Bagus,” Panji Bojong Santi
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. “Apalagi kalian masih sempat
membuat rak-rakan tempat pakaian. Ada berapa puluh rak-rakan semacam ini
harus kau buat Ngger?”
Ken Arok terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Di perkemahan ini hanya ada satu paga semacam itu. Hanya khusus buat Kebo Ijo. Karena itu maka sejenak ia berdiam diri sambil memandangi wajah Kebo Ijo yang gelisah.
Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya.
Dilihatnya kedua anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu justru hanya
karena pertanyaannya yang terlampau sederhana. Tetapi karena itu
timbullah keinginannya untuk mengetahui lebih banyak mengenai
pertanyaannya itu.
“Angger Ken Arok, ada berapa ratus rak-rakan di seluruh perkemahan ini? Apakah orang-orang Panawijen juga membuat paga – paga semacam itu untuk meletakkan pakaian dan alat-alatnya?”
Pelahan-lahan sekali Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Tidak Bapa.”
“Jadi hanya para prajurit Tumapel saja yang membuat paga – paga semacam itu.”
Sekali lagi Ken Arok menggeleng lemah, “Tidak Bapa.”
Kini Panji Bojong Santi
mcngangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Kebo Ijo yang menjadi
semakin gelisah. Pelahan-lahan terdengar ia berkata, “Aku sudah
menyangka. Meskipun hal ini tampaknya tidak terlampau penting, tetapi
ini adalah gambaran dari segenap sifat-sifatmu Kebo Ijo. Kau selalu
ingin berlebih-lebihan, melampaui yang lain.”
Kebo Ijo menggerutu di dalam hatinya.
Ketika ia disuruh meninggalkan taman yang sedang disiapkan itu, ia
merasa terlepas dari ketegangan semacam ini. Tetapi kini gurunya datang
lagi kepadanya. Bahkan soal-soal yang sama sekali tidak penting
diurusinya. Soal paga pun ditanyakannya, bahkan dijadikannya bahan untuk memarahinya.
Tetapi bagi Panji Bojong Santi ternyata
bukan sekadar soal sebuah rak-rakan bambu. Yang penting baginya adalah
sifat yang sombong dari muridnya itu, sehingga dilanjutkannya
kata-katanya, “Kebo Ijo. Kau harus segera menyadari rasa tinggi hati dan
rasa berlebihan itu. Kalau kau masih juga suka menyombongkan dirimu,
maka kau suatu ketika akan terjerumus ke dalam suatu keadaan yang tidak
kau duga-duga sebelumnya. Setiap orang di Tumapel mengenalmu sebagai
seorang pembual, seorang yang pameran, dan sombong. Itu harus kau
hentikan. Betapa kau mencoba bersikap tenang dan pendiam di hadapanku,
tetapi aku masih juga mempunyai telinga. Aku selalu mendengar apa kata
orang tentang murid-muridku. Kakakmu Mahendra kini sudah menjadi agak
tenang. Kau, yang sudah berkeluarga, seharusnya lebih hati-hati menjaga
diri.”
Kebo Ijo mengumpat di dalam hati. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya guru.”
“Di sini kau mendapat seorang kawan yang
baik,” berkata gurunya lebih lanjut, “Ken Arok pasti akan dapat
menuntunmu. Aku memang menitipkan kau kepadanya. Aku beri Angger Ken
Arok wewenang untuk memberimu petunjuk-petunjuk. Agal atau halus. Dan kau harus menerima petunjuk-petunjuknya seperti dari aku sendiri.”
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Dan
ia terkejut ketika gurunya berkata pula, “Memang tidak menyenangkan
bagimu. Apalagi kau merasa dirimu berlebih-lebihan di sini. Kau merasa
lebih tinggi dari semua orang dalam semua soal. Lebih pandai, lebih
mengerti, dan lebih cakap untuk memecahkan persoalan-persoalan. Kau
merasa bahwa hanya pendirianmulah yang benar.”
Kebo Ijo menggigit bibirnya. Tetapi
gurunya berkata terus, “Tak ada orang yang paling pandai dan paling
mengerti di muka bumi ini. Tak ada orang yang sempurna. Hanya Yang Maha
Agunglah yang sempurna, Maha Sempurna. Karena itu sadarilah kekecilan
dirimu.”
Kebo Ijo mengangguk sambil menjawab untuk menyenangkan hati gurunya, “Ya guru.”
“Apakah kau menjawab sesungguhnya?”
Kebo Ijo menarik alisnya. Jawabnya, “Ya guru.”
“Tidak sekadar untuk menyenangkan hatiku.”
“Ah,” Kebo Ijo berdesah. Tetapi hatinya mengumpat tidak habis-habisnya.
“Baiklah,” berkata gurunya, “mungkin kau
tidak dapat mengerti sekarang. Mungkin kau jemu dan bahkan muak
mendengar nasihatku. Mungkin kau mengumpat-umpat di dalam hatimu.”
Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar. Apakah Panji Bojong Santi itu dapat membaca perasaannya.
“Tetapi Kebo Ijo,” berkata gurunya itu
seterusnya, “kalau kau nanti sempat merenungkannya, maka aku mengharap
bahwa kau akan dapat membenarkan kata-kataku.”
Tanpa sesadarnya sekali lagi Kebo Ijo mengangguk, “Ya guru.”
Panji Bojong Santi pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah bibirnya tersenyum.
Katanya, “Aku tidak yakin terhadap anggukan kepalamu itu Kebo Ijo.
Tetapi biarlah. Kau memerlukan waktu dan pengalaman untuk memahami
kebenaran kata-kataku.” Kemudian kepada Ken Arok ia berkata, “Sudahlah
Ngger. Tinggalkanlah aku di sini. Malam ini aku minta izin untuk
bermalam di perkemahan ini.”
“Oh, kami akan sangat bersenang hati
Bapa. Bukan saja malam ini, tetapi malam-malam berikutnya pun akan
sangat memberi kegembiraan kepada kami, seperti paman Mahisa Agni pernah
berada di perkemahan ini pula.”
“Paman Mahisa Agni?”
“Ya, Empu Gandring.”
“Oh,” Panji Bojong Santi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku pernah juga
mendengar. Bahkan kehadirannya di sini tidak dapat menyelamatkan Mahisa
Agni.”
“Ya. Meskipun Empu Gandring telah
berusaha sekuat-kuat tenaganya. Akulah yang terlampau bodoh waktu itu.
Aku tidak dapat membantunya sama sekali. Padahal yang datang mengambil
Mahisa Agni waktu itu adalah kakak-beradik dari Kemundungan dan Kuda
Sempana, murid Empu Sada.”
“Ya, ya aku pernah mendengar.” Panji
Bojong Santi terdiam sesaat. Wajahnya menyadi berkerut-merut. Dan
pelahan-lahan ia berkata, “Karena itu Kebo Ijo, kau harus berhati-hati.
Sebelum kalian datang ke taman malam ini, aku melihat dua orang berkuda
melintas tidak terlampau jauh dari taman yang sedang kalian buat itu.
Aku tidak begitu jelas siapakah mereka itu. Tetapi menilik cara mereka
berkuda, terutama yang seorang, maka aku menduga bahwa orang itu adalah
Kebo Sindet. Tetapi mereka tidak mendekati perkemahan ini. Mereka hanya
melintas. Aku tidak tahu, dari manakah mereka dan untuk apa mereka
berkeliaran di sekitar tempat ini.”
Wajah Kebo Ijo menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Yang bertanya kemudian adalah Ken Arok. “Apakah menurut pendapat Bapa mereka hanya sekadar lewat?”
“Kali ini aku kira begitu. Entahlah kalau ada maksud maksud lain yang tidak aku ketahui.”
“Tetapi mereka tahu, di sini ada sepasukan prajurit segelar sepapan. Kami tidak akan melakukan kesalahan yang serupa, datang kepada mereka ketika kami dipancingnya.”
Panji Bojong Santi mengangguk-angguk. Tetapi Mahisa Agni itu sudah telanjur lenyap ditelan oleh iblis Kemundungan itu.
Kini sejenak mereka saling berdiam diri.
Wajah-wajah mereka yang tenang memancarkan pergolakan di dalam dada
masing-masing. Ternyata orang yang telah mengambil Mahisa Agni itu masih
saja berkeliaran di sekitar bendungan ini.
“Apakah yang sebenarnya mereka
kehendaki?” desis Ken Arok kemudian, “Mahisa Agni itu, atau menggagalkan
rencana pembuatan bendungan ini? Kalau yang mereka kehendaki Mahisa
Agni, maka mereka aku kira sudah tidak akan mengganggu pekerjaan kita di
sini. Tetapi apa bila mereka mengambil Mahisa Agni sebagai suatu cara
untuk menggagalkan pembuatan bendungan ini, maka kita yang di sini harus
memperhitungkan kehadirannya setiap saat.”
Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya.
Lalu jawabnya, “Menurut pendengaranku Ngger, Kebo Sindet hanya
berkepentingan dengan Mahisa Agni. Itu pun hanya akan dipergunakannya
sebagai alat pemerasan. Ia mengharap Tuan Puteri Ken Dedes akan menukar
kakak angkatnya itu dengan apa saja yang diminta oleh Kebo Sindet.”
“Licik dan memuakkan,” geram Ken Arok.
“Bagi orang semacam Kebo Sindet maka
segala jalan akan dapat ditempuh untuk mencapai maksudnya. Licik,
memuakkan, bengis, dan segala macam cara.”
Ken Arok tiba-tiba menggeram. Katanya,
“Kalau aku diberi wewenang maka aku akan dapat membawa pasukan untuk
menangkapnya. Aku tidak akan kembali tanpa membawanya hidup atau mati.
Untuk meyakinkan usaha itu, maka aku akan dapat memohon bantuan kepada
Empu Gandring kepada Bapa Panji Bojong Santi dan kepada para perwira
yang tangguh. Mereka pasti tidak akan berkeberatan. Dan Kebo Sindet itu
pasti akan dapat aku tangkap.”
“Hal itu dapat kau lakukan pada saat-saat
tidak seperti sekarang Ngger,” sahut Panji Bojong Santi, “Sekarang
Angger Mahisa Agni sudah telanjur berada di sarang mereka. Itu terlampau
berbahaya bagi jiwanya.”
“Itulah sebabnya Bapa,” desis Ken Arok,
“Empu Gandring pun berkata demikian. Kini sedang dilakukan usaha untuk
melepaskannya dengan cara yang lain. Cara yang tidak aku mengerti dan
tidak seorang pun yang mengerti. Sehingga perkembangan usaha itu pun
sama sekali tidak dimengerti oleh siapa pun. Entahlah apabila Empu
Gandring telah mendapat beberapa keterangan tentang itu.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi persoalan itu bukan persoalan yang terlalu mudah untuk
dipecahkan seperti akan menangkap Kebo Sindet itu sendiri. Di mana pun
ia bersembunyi, namun mencari dan menangkapnya pasti akan lebih mudah
daripada melepaskan Mahisa Agni dari tangan hantu Kemundungan itu
sendiri.
“Sudahlah Ngger. Pikirkanlah hal itu
sebaik-baiknya. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Tetapi kini yang
terbentang di hadapan kaki Angger adalah bendungan, susukan induk, parit-parit, dan sendang
buatan itu. Kalau Angger melaksanakan rencana ini dengan baik, maka apa
yang Angger kerjakan itu pasti akan menyenangkan hati Angger Mahisa
Agni, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, orang-orang Panawijen, dan bahkan
seluruh rakyat Tumapel. Berkembangnya Padang Karautan menjadi daerah
yang reja, akan berpengaruh pula atas kebesaran Tumapel seluruhnya.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia sadar akan kewajibannya. Kalau Akuwu Tunggul Ametung benar-benar
ingin menangkap Kebo Sindet maka hal itu dapat diserahkan kepada orang
lain tanpa menghentikan kerja di Padang Karautan. Mungkin Witantra
sendiri atau Sidatta atau perwira-perwira yang lain.
Ken Arok kemudian mengangkat kepalanya
ketika ia mendengar Panji Bojong Santi itu berkata, “Nah,
beristirahatlah Ngger. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Angger
perlu tidur meskipun hanya sejenak supaya tubuh Angger besok menjadi
segar kembali.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba saja terasa badannya penat dan kantuk. Karena itu maka
jawabnya, “Baiklah Bapa, aku minta diri. Mungkin aku masih dapat tidur
beberapa saat.”
“Silakanlah.”
Ketika Ken Arok kemudian sampai di muka pintu, ia berpaling sambil berkata, “Beristirahatlah pula adi
Kebo Ijo. Aku kira kau lebih lelah daripada aku karena perjalananmu
hari ini. Besok kau akan melihat cara kami bekerja untuk yang pertama
kali.”
“Ya,” jawab Kebo Ijo singkat. Terlalu singkat.
Ken Arok menarik alisnya, bahkan Panji
Bojong Santi terpaksa berpaling ke arahnya. Tetapi Kebo Ijo telah
memalingkan wajahnya pula memandangi rak-rakan tempat ia meletakkan
sebungkus pakaian.
“Selamat malam Bapa,” desis Ken Arok
pelahan sambil meninggalkan gubug itu. Dan ia mendengar orang tua itu
menyahut pelahan-lahan pula, “Selamat tidur Ngger.”
Tetapi Ken Arok mengerutkan dahinya
ketika ia memandangi cakrawala di ujung timur. Ia melihat cahaya di
langit yang sudah mulai semburat merah. “Ah, hampir fajar,” desisnya,
“apakah aku masih dapat tidur?”
Ketika Ken Arok sampai ke tempat terbuka
di sisi perkemahan ia menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sebagian
dari orang-orang Panawijen dan prajurit Tumapel bergelimpangan tidur
terbujur lintang. Agaknya mereka menjadi penat dan kantuk, sehingga
mereka tidak sempat untuk kembali ke gubug masing-masing.
“Ternyata besok kita masih belum dapat
bekerja sepenuh tenaga. Orang-orang ini pasti masih lelah dan kantuk.
Agaknya mereka pun belum lama tertidur,” gumam Ken Arok kepada diri
sendiri. Ia masih melihat perapian yang membara. Bahkan ia masih melihat
bumbung-bumbung tempat minum masih terisi dan makanan di mangkuk-mangkuk masih berserakan.
Akhirnya Ken Arok itu pun memasuki
gubugnya sendiri. Dibaringkannya tubuhnya tanpa membuka dan berganti
pakaian. Pakaian yang basah oleh keringat dan kotor karena tanah dan
debu. Namun karena lelah, maka ia pun akhirnya tertidur juga.
Tetapi Ken Arok ternyata tidak terlalu
lama lelap dalam tidurnya. Dipengaruhi oleh kebiasaannya maka ia pun
segera terbangun ketika fajar di timur telah memancarkan sinarnya yang
merah, seolah-olah langit di cakrawala itu sedang terbakar. Namun waktu
yang pendek itu ternyata telah dapat menyegarkan tubuhnya.
Sambil menguap Ken Arok menggeliat.
Sebenarnya ia masih ingin tidur lebih lama lagi. Tetapi tanggung
jawabnya telah memaksanya bangkit dan berjalan keluar dari gubugnya.
Ketika ia menyuruk pintu, dan kemudian
berada di luar, maka perkemahan itu masih terlampau sepi. Meskipun
padang itu sudah menjadi semakin terang oleh cahaya pagi yang turun
pelahan-lahan, namun Ken Arok belum melihat seorang pun.
“Hem, mereka masih nyenyak dalam tidurnya,” desisnya.
Pelahan-lahan ia melangkah ke sudut gubugnya. Diambilnya air sesiwur untuk mencuci mukanya, menghilangkan sisa-sisa kantuknya. Kemudian diambilnya air sesiwur pula. Tetapi kali ini diminumnya. Terasa tenggorokannya menjadi jernih dan bening. Banyu wayu selalu dipakainya untuk mencuci tenggorokkannya, sehingga hal itu menjadi kebiasaan baginya.
Ken Arok itu pun kemudian berjalan
menyusur gubug demi gubug. Sebagian gubug-gubug itu masih kosong.
Ternyata orang-orangnya tertidur di tempat mereka bersenang-senang
semalam. Tetapi ada pula di antaranya yang sudah berada di dalam
gubugnya namun mereka masih nyenyak membenamkan dirinya di bawah kain
panjangnya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Hari
ini seharusnya mereka telah mulai lagi dengan kerja mereka. Tetapi Ken
Arok serasa tidak sampai hati untuk membangunkan mereka, dan memaksa
mereka untuk bekerja.
Meskipun demikian Ken Arok tidak akan
dapat membiarkannya. Untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan mendatang,
maka ia harus menepati peraturan yang sudah dibuatnya, supaya tidak
menjadi kebiasaan, bahwa para prajurit dan orang-orang Panawijen itu
bekerja seenaknya. Apabila mereka ingin sajalah, mereka bekerja tanpa
perencanaan waktu yang baik.
“Aku terpaksa membangunkan mereka,” desisnya.
Ketika Padang Karautan itu menjadi
semakin terang, maka Ken Arok melihat seseorang keluar dari gubugnya.
Ketika dilihatnya Ken Arok telah berada di sampingnya, ia terkejut.
Terbata-bata ia berkata, “Aku kerinan. Semalam aku bangun hampir semalam suntuk.”
Tetapi Ken Arok tersenyum dan berkata,
“Ternyata kau bangun paling pagi. Kau adalah orang yang paling rajin
hari ini. Nah, pergilah ke sudut perkemahan itu. Bunyikanlah kentongan
supaya kawan-kawanmu terbangun.”
Orang-orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata ia bangun paling pagi. “Hari ini aku adalah orang
yang paling rajin,” katanya di dalam hatinya. Dan ia berbangga
karenanya.
Dengan tergesa-gesa orang itu memaksa
dirinya yang masih terkantuk-kantuk berjalan ke sudut perkemahan untuk
membunyikan kentongan. Sekali ia menguap, namun kemudian diayunkannya
tangannya memukul kentongan itu. Sekejap kemudian bergemalah suara
kentongan itu ke seluruh perkemahan, bahkan seolah-olah udara Padang
Karautan itu telah digetarkan oleh suaranya.
Ternyata suara kentongan itu telah
mengejutkan para prajurit dan orang-orang Panawijen. Mereka yang masih
tidur dengan nyenyaknya segera berloncatan berdiri. Sebagian dari mereka
yang tertidur di tepi perapian di luar gubug-gubug mereka segera
berlari-larian ke gubug masing-masing untuk menyiapkan diri, mengambil
peralatan-peralatan kecil, dan membenahi pakaian mereka. Tetapi ada pula
yang menggeliat dengan malasnya sambil bergumam, “Ah, serasa baru saja
mataku terpejam.”
Ternyata Kebo Ijo pun tcrkejut mendengar
suara kentongan itu. Ia pun belum lama dapat tertidur. Ketika ia bangkit
maka segera ia mengumpat, “Setan mana yang berani mengejutkan aku itu?
Seharusnya ia tidak mempergunakan kentongan yang memekakkan telinga
itu.” Tetapi ia terdiam ketika kemudian dilihatnya gurunya telah duduk
bersila di sudut perkemahannya. Agaknya gurunya telah lama terbangun.
Bahkan mungkin tidak tidur sama sekali. Panji Bojong Santi telah
merapihkan pakaiannya. Rambutnya telah dibenahinya dengan baik.
“Bukan suara kentongan itu yang salah Kebo Ijo,” berkata gurunya, “tetapi kaulah yang terlambat bangun.”
“Ya guru,” sahut Kebo Ijo.
“Kentongan itu mungkin suatu tanda, bahwa
para prajurit harus sudah siap untuk berangkat. Begitu barangkali? Aku
tidak tahu isyarat-isyarat yang dipergunakan di sini.”
Kebo Ijo menggeleng, “Aku pun belum tahu guru. Kami belum pernah membicarakan masalah tengara yang dapat kita pergunakan di padang ini. Itu adalah pokal Ken Arok sendiri.”
“Mungkin kebiasaan itu berlaku sejak kau belum datang kemari, sehingga sampai saat ini masih dipergunakannya.”
“Tetapi sejak kehadiranku, maka aku pun
harus tahu setiap persoalan dan persetujuan di sini. Semuanya harus
dibicarakan dengan aku.”
“Kenapa?”
“Aku termasuk seorang pimpinan di antara dua. Aku dan Ken Arok.”
Tiba-tiba Panji Bojong Santi menggeleng,
“Tidak. Jangan kau sangka aku tidak tahu Kebo Ijo. Coba, apakah perintah
yang diberikan oleh Akuwu kepadamu?”
Kebo Ijo terdiam.
“Menurut kakakmu Witantra, kau dikirim
untuk membantu Ken Arok di sini, karena menurut rencana Ken Arok, waktu
bekerja akan diperpanjang, sehingga ia memerlukan seorang pembantu untuk
melaksanakan kerja ini. Pembantu. Seorang pembantu yang dapat memimpin
pekerjaan ini apabila ia beristirahat. Itu saja. Jangan merasa dirimu
terlampau berkuasa. Kalau Ken Arok seorang pemimpin yang baik, ia pasti
akan membawamu berbincang. Kalau tidak, itu adalah haknya untuk membuat
keputusan.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Ia tidak mau
berbantah dengan gurunya, meskipun ia tidak sependapat, di dalam hatinya
ia bergumam, “Tidak. Aku bukan sekadar seorang pembantu yang harus
tunduk pada perintah. Aku adalah seorang pemimpin sepasukan prajurit
yang diperbantukan kepada Ken Arok. Di antara keduanya ada perbedaan.”
Tetapi Kebo Ijo tidak mengucapkannya. Bahkan ia mendengar gurunya
berkata, “Cepatlah Kebo Ijo, kau harus ada di antara prajurit-prajurit
yang sedang bekerja itu di harimu yang pertama. Kau harus menunjukkan
bahwa kau bersungguh-sungguh.”
Kebo Ijo mengerutkan dahinya. Tetapi ia menyawab, “Baik guru.”
Kebo Ijo itu pun segera meninggalkan
gubugnya. Di sepanjang langkahnya ia menggerutu, “Ah, aku masih juga
dianggapnya seorang anak kecil. Aku sudah cukup dewasa. Sudah
berkeluarga pula. Seharusnya guru bersikap lain terhadapku. Tidak
seperti seorang anak yang sedang dituntun belajar berjalan.”
Tetapi ia terdiam ketika ia melihat bahwa
para prajurit dan orang-orang Panawijen telah berkumpul dan siap untuk
berangkat. Ketika ia sampai di tempat itu, ia mendengar Ken Arok
berkata, “Ternyata kalian hari ini terlambat bangun.”
“Setan,” geram Kebo Ijo, “apakah ia menyindir aku.”
Tetapi ia mendengar Ken Arok berkata
seterusnya, “Juru masak pun terlambat pula bangun, sehingga saat ini
mereka masih belum dapat menyediakan makan pagi kalian. Tetapi tidak
apa. Setelah kalian beristirahat maka agaknya kalian masih belum siap
benar menghadapi kerja hari ini. Selanjutnya, kalian harus segera
berangkat. Makan pagi kalian akan diantar ke tempat pekerjaan kalian
masing-masing. Yang belum sempat mandi atau mencuci muka, tidak ada
waktu lagi untuk melakukannya. Kalian harus segera berada di tempat
kerja kalian masing-masing.” Ken Arok berhenti sejenak. Ketika kemudian
dilihatnya Kebo Ijo, ia berkata, “Prajurit-prajurit yang datang
kemudian, bekerja pula seperti dahulu. Kita masih harus membicarakan
pembagian waktu sebaik-baiknya sebelum dilakukan perpanjangan waktu
bekerja. Sekarang, berangkatlah ke tempat masing-masing. Para prajurit
yang baru aku tempatkan di sendang dan taman. Orang-orang yang
lama, yang aku serahi memimpin bagian-bagian dari kerja itu, akan
menunjukkan kepada kalian, apa saja yang dapat kalian lakukan di hari
pertama ini.”
Kebo Ijo yang berdiri di sisi para
prajurit dan orang-orang Panawijen itu mengerutkan keningnya. Ia melihat
sesuatu yang menggetarkan perasaannya. Ternyata Ken Arok cukup disuyuti
oleh orang-orangnya. Meskipun pimpinan yang masih muda itu tidak
bersikap keras dan kasar, tetapi Kebo Ijo melihat betapa wajah para
prajurit Tumapel yang berdiri dengan alat-alat mereka di tangan itu
merasa takut dan menyesal atas keterlambatan mereka. Sehingga ketika Ken
Arok telah memerintahkan kepada mereka untuk berangkat, maka mereka pun
segera menghambur ke tempat kerja masing-masing seperti sedang dikejar
hantu.
Yang tinggal di perkemahan, kecuali para
juru masak dan orang-orang yang memang bertugas menjaga perkemahan,
adalah Ken Arok dan Kebo Ijo. Betapa Kebo Ijo mengagumi sikap
kepemimpinan Ken Arok, namun kemudian ia pun mendekatinya dan masih juga
mencelanya. “Ken Arok, kau tidak dapat menangkap gelagat orang-orangmu.
Mereka masih terlampau letih. Sekarang kau paksa mereka untuk bekerja.”
Sesaat Ken Arok memandangi wajah Kebo Ijo dengan penuh keheranan. Tetapi kemudian ia menyawab, “Kau memang aneh adi
Kebo Ijo. Aku kira kau akan menyalahkan aku, kenapa aku tidak
marah-marah dan membentak-bentak karena orang-orang itu terlambat
bangun, atau akan menyuruh aku memukul satu-dua di antara mereka untuk
memberi sedikit pelajaran, agar hal-hal yang serupa tidak terulang.”
Dada Kebo Ijo berdesir mendengar jawaban
itu. Sejenak ia terdiam. Ia merasa sebuah sindiran yang tajam
terhadapnya. Dan tiba-tiba ia menyadari pertentangan dalam sikapnya
sendiri. Suatu ketika ia ingin menegakkan ketaatan para prajurit
Tumapel, bahkan apabila perlu dengan kekerasan, tetapi tiba-tiba ia
bersikap terlampau kendor menghadapi keadaan.
Dan ia mendengar Ken Arok meneruskan,
“Meskipun aku tidak mempergunakan kekerasan, tetapi aku pun ingin setiap
peraturan yang telah aku buat, dilakukan dengan baik oleh para
prajurit. Lihat, meskipun aku tidak memberikan perintah apa pun terhadap
orang-orang Panawijen, karena mereka memang berada di luar kesatuan
prajurit Tumapel, sehingga terhadap mereka harus dilakukan sikap yang
lain, namun mereka pun terpengaruh pula oleh sikap para prajurit. Ketika
para prajurit berhamburan ke pekerjaan masing-masing, maka orang-orang
Panawijen pun berlari-larian pula ke bendungan. Meskipun mereka lelah
dan kantuk, tetapi mereka harus berangkat ke tempat kerja mereka. Jangan
menjadi kebiasaan untuk menyimpang dari keharusan, kecuali dalam
hal-hal yang sangat khusus.
Kebo Ijo tidak menyahut. Wajahnya menjadi
panas, seolah-olah ia dihadapkan pada cermin yang membayangkan cacat
sendiri. Betapa ia mencari alasan untuk mempertahankan kata-katanya,
tetapi ia terpaksa untuk diam diri beberapa lama.
Bahkan yang berbicara kemudian adalah Ken
Arok, “Nah, sekarang marilah. Kita pun pergi ke tempat kerja itu.
Mungkin di hari pertama kau ingin melihat-lihat setiap pekerjaan yang
kita lakukan di sini. Kita akan pergi ke bendungan, kemudian menyusur
parit induk pergi ke tanah yang akan dipergunakan sebagai tanah
persawahan, sehingga akhirnya kita akan sampai ke taman yang sedang
dikerjakan itu. Dengan demikian kau akan mendapat gambaran, bagaimana
kerja ini dilakukan.”
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata.
“Marilah. Kita akan melihat apa saja yang telah kita lakukan dan apa yang masih harus kita perbuat.”
Akhirnya Kebo Ijo itu menyawab, “Marilah.”
Tetapi ia menjadi heran ketika ia melihat
Ken Arok melangkahkan kakinya, sehingga terloncat pertanyaannya,
“Apakah kita akan berjalan kaki saja?”
Kini Ken Aroklah yang menjadi
keheran-heranan mendengar pertanyaan itu. Sambil menghentikan
langkahnya, dipandanginya wajah Kebo Ijo. Sejenak kemudian terdengarlah
ia bertanya, “Lalu, apakah kita harus naik pedati?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah menjadi kebiasaanmu berbuat demikian? Berjalan ke bendungan, menyusur susukan induk sampai ke sendang yang sedang kau buat itu? Itu hanya akan membuang waktu dan tenaga.”
“Bagaimanakah sebaiknya?” bertanya Ken Arok.
“Bukankah kau dapat naik kuda?”
Ken Arok menarik nafas panjang. Sambil
menggelengkan kepalanya pelahan-lahan ia berkata, “Tidak. Kalau kita
naik kuda, kita hanya seperti orang yang sedang lewat saja. Kita tidak
dapat menyaksikan dari dekat, apa yang telah kita kerjakan.”
“O, kau berpikir seperti kanak-kanak. Kau
sangka kita akan berkuda tanpa berhenti? Tanpa aku terangkan,
seharusnya kau sudah tahu. Di tempat-tempat tertentu kita berhenti dan
melihat kerja para prajurit. Kemudian kita tinggalkan mereka pergi ke
tempat yang lain. Dengan demikian kita tidak kehilangan waktu di
sepanjang jalan, dan kita tidak terlalu letih karenanya. Sebab kerja ini
tidak hanya satu-dua hari saja.”
Tetapi sekali lagi Ken Arok menggeleng,
“Aku di sini adalah sebagian dari mereka. Sebagian dari para pekerja.
Aku harus ada di antara mereka. Aku harus melihat setiap jengkal tanah
yang sedang dikerjakan. Kalau aku berkuda, maka aku akan memisahkan diri
dari mereka. Dan aku adalah seorang pemimpin yang menarik garis pemisah
dengan orang-orangku sendiri.”
“Ah, alasanmu selalu itu-itu saja.”
“Kau melihat hasilnya. Apakah aku harus
marah-marah dan membentak-bentak setiap kali? Tidak, dan orang-orangku
cukup menaati perintahku. Mereka menyadari apa yang mereka lakukan.
Bukan sekadar karena terpaksa. Kerja di Padang Karautan ini tidak
seluruhnya sama seperti di medan perang. Dan kita, yang diserahi
pimpinan harus dapat menyesuaikan diri, di mana medan yang sedang kita
hadapi. Bendungan, susukan , dan sendang itu bukanlah
musuh yang harus dihadapi dengan kekerasan, tetapi harus dilakukan
dengan hati gembira, menyenangi kerja yang sedang dilakukan. Dengan
demikian maka hasilnya pun akan memancarkan kegembiraan pula. Kelak,
setiap prajurit yang lewat di samping bendungan dan taman ini
akan berkata sambil berbangga, “Aku ikut membuat bendungan dan taman
ini.” Dan mereka tidak melakukan sebaliknya, mengeluh sambil mengutuk,
“Terkutuklah bendungan dan taman ini, yang telah memeras keringatku
sampai kering.”
Jawaban Ken Arok itu ternyata telah
menyentuh perasaan Kebo Ijo. Tetapi karena sifat-sifatnya yang tinggi
hati dan sombong maka ia tidak segera mengakui kebenaran kata-kata Ken
Arok itu. Bahkan ia masih membantah, “Tetapi untuk itu kau tidak perlu
terlampau merendahkan dirimu.”
“Hanya orang-orang yang merasa dirinya
terlampau berharga yang berpendirian demikian. Tetapi perasaan tinggi
hati yang berlebih-lebihan itu sama sekali tidak akan bermanfaat dalam
kerja ini. Kerja yang besar dan akan bermanfaat bagi banyak orang.”
Kebo Ijo terdiam sejenak. Ia tidak segera
menemukan jawaban yang tepat. Tetapi ia telah mendengar Ken Arok itu
berkata, “Marilah, jangan terlampau lama menunggu. Orang-orang itu sudah
mulai dengan kerja mereka, dan kita hanya berbicara saja di sini. Di
Padang Karautan ini, berbicara berkepanjangan tidak akan berguna sama
sekali.”
Seleret warna merah menyambar wajah Kebo
Ijo. Tetapi sebelum ia menjawab, didengarnya suara yang telah dikenalnya
baik-baik. “Aku ikut Ngger. Apakah Angger tidak berkeberatan?”
Ken Arok dan Kebo Ijo berpaling. Di sudut sebuah gubug berdiri guru Kebo Ijo itu.
“Tentu,” sahut Ken Arok, “kami akan senang sekali mengantarkan Bapa Panji melihat kerja kami.”
“Marilah.” Panji Bojong Santi tidak
menunggu lebih lama lagi. Segera ia melangkah mendekati Ken Arok.
Kemudian katanya pula, “Marilah kita berangkat, mumpung belum terlampau
siang.”
“Marilah,” sahut Ken Arok. Keduanya
segera berjalan ke arah bendungan yang sedang dikerjakan. Seperti
berjanji mereka sama sekali tidak mengacuhkan Kebo Ijo lagi.
Kebo Ijo kini tidak dapat berbuat lain.
Gurunya dan Ken Arok telah berjalan mendahuluinya. Sehingga ia pun
terpaksa melangkahkan kakinya sambil mengumpat-umpat di dalam hatinya.
Namun ia pun berjalan di samping Ken Arok dan gurunya itu pula.
Sejenak mereka saling berdiam diri.
Langkah mereka seolah-olah menjadi terlampau tergesa-gesa. Sekali-dua
kali mereka meloncati parit, gundukan-gundukan tanah, dan timbunan
rangka-rangka brunjung bambu yang masih belum terisi batu.
Sebelum mereka sampai di bendungan,
mereka telah melihat orang-orang yang sedang bekerja menyelesaikan
beberapa buah bendungan-bendungan kecil pada susukan induk
untuk membagi air ke parit-parit. Kemudian mereka melihat orang-orang
yang sedang memperdalam beberapa bagian dari jari-jari parit yang
mencekam tanah yang telah disiapkan untuk menjadi daerah persawahan.
Beberapa buah pedati berjalan tertatih-tatih membawa beberapa macam
peralatan, dan beberapa orang sibuk mengemudikan bajak untuk melunakkan
tanah. Beberapa pasang lembu berjalan menarik pedati dan bajak, yang
dari kejauhan tampak seperti sebuah permainan yang mengasyikkan.
Bulu-bulunya yang putih tampak berkilat-kilat ditimpa oleh cahaya
matahari pagi. Sekali-sekali terdengar cambuk melengking memecah
hiruk-pikuk orang-orang yang sedang mengisi brunjung-brunjung dengan pecahan batu dan mendorongnya turun ke sungai.
Ketika mereka sampai ke bendungan, maka
mereka pun berhenti. Panji Bojong Santi memandangi orang-orang yang
sedang bekerja itu dengan penuh kekaguman. Hampir tak seorang pun yang
sempat berbicara di antara mereka. Kerja.
Memang di dalam kerja seperti ini tidak
ada waktu untuk terlampau banyak berbicara. Pembicaraan yang
berkepanjangan hanya akan menggangu saja.
Kebo Ijo pun ternyata berdiri tegak
dengan penuh kekaguman. Ia tidak dapat membayangkan sebelumnya,
bagaimanakah bentuk dari kerja yang dilakukan oleh Ken Arok di Padang
Karautan. Ternyata bahwa kerja yang dihadapinya benar-benar suatu kerja
raksasa. Bukan hanya sekadar bermain-main seperti orang-orang yang
sedang memperbaiki parit yang sering dilihatnya di tepi jalan-jalan
Tumapel. Orang yang lebih banyak duduk, atau berjongkok atau
bercakap-cakap daripada kerja.
Tetapi di sini sama sekali tidak
terbayang sejumput pun kemalasan dan keseganan dari para pekerja. Apakah
mereka itu orang Panawijen atau prajurit-prajurit dari Tumapel, sudah
tidak dapat dibedakan lagi di dalam kerja itu. Mereka ber¬sama-sama
melakukan pekerjaan mereka, yang sudah terbagi di dalam
kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang
pemimpin kelompok. Kemudian beberapa kelompok kecil merupakan suatu
kesatuan yang lebih besar di bawah pimpinan seseorang. Dengan demikian
maka kerja yang tampaknya ribut itu ternyata tidak saling
bersimpang-siur. Masing-masing melakukan kerjanya sendiri-sendiri dengan
tertib dan teratur.
“Gila,” Kebo Ijo mengumpat di dalam
hatinya, “ternyata Ken Arok mampu menguasai orang-orang itu dengan
caranya. Tampaknya mereka bekerja dengan penuh kesungguhan, tetapi
wajah-wajah mereka tampaknya jernih dan gembira. Adalah suatu keahlian
tersendiri untuk memimpin orang-orang yang sekian banyaknya dengan cara
yang demikian.”
Dan yang terdengar adalah suara Panji
Bojong Santi, “Aku sama sekali tidak melihat prajurit-prajurit yang
sedang bekerja sebagai seorang prajurit dengan kepatuhan yang mati.
Tetapi aku melihat sesuatu yang hidup dan menyala di dalam kepatuhan
mereka melakukan kerja ini. Mereka sudah menganggap kerja mereka ini
sebagai suatu pengabdian, seperti mereka sedang berperang mengusir musuh
dari tanah tumpah darah. Namun kali ini mereka tidak dicekam oleh
ketegangan karena bergulat melawan maut. Tetapi wajah-wajah mereka
menjadi cerah dalam terik matahari seperti mereka sedang bertamasya.”
Ken Arok tersenyum mendengar pujian itu. Katanya, “Bapa selalu memuji kami di padang yang kering ini.”
“Aku melihat kerja yang sebenarnya,
Ngger. Di sinilah aku melihat orang bekerja. Tidak saja di
bangsal-bangsal istana atau di banjar-banjar padukuhan. Bukan hanya
mereka yang berbicara dan berbincang untuk melahirkan perintah-perintah
bagi rakyat Tumapel. Tetapi di sinilah aku melihat kerja yang
sebenarnya. Kerja yang langsung bermanfaat tidak saja bagi orang-orang
Panawijen.”
“Mudah-mudahan kami berhasil di sini Bapa.”
“Tentu. Kalian akan berhasil. Kecuali
apabila ada hal-hal yang tidak disangka-sangka. Hilangnya Angger Mahisa
Agni adalah salah satu hambatan dari kerja raksasa ini. Seandainya masih
ada, maka Angger akan mendapat kawan kerja yang luar biasa.”
“Bukan saja kawan kerja Bapa,” sahut Ken
Arok, “tetapi ia adalah seorang yang mempunyai otak cemerlang. Aku
sekarang tinggal melaksanakan saja rencana yang telah dibuatnya, kecuali
sendang dan taman itu.”
“Huh,” tiba-tiba Kebo Ijo memotong, “kau
mempunyai tanggapan yang berlebih-lebihan atas Mahisa Agni. Ia adalah
seorang anak muda padesan biasa saja. Ia tidak lebih dari anak-anak padesan yang lain.”
“Tetapi bendungan itu adalah perwujudan dari rencananya,” sahut Ken Arok.
“Ia hanya merencanakan sebuah bendungan,
tidak lebih. Prajurit-prajurit Tumapel lah yang meneruskan rencana itu
dan kemudian mclaksanakannya dengan baik, yang barangkali tidak pernah
diimpikan oleh Mahisa Agni sendiri.”
“Hem,” terdengar Panji Bojong Santi
berdesah. Dan tiba-tiba saja Kebo Ijo menyadari bahwa ia berada di
samping gurunya, sehingga ia pun kemudian terdiam.
Yang berbicara kemudian adalah Ken Arok,
“Kesalahan yang serupa tidak boleh terulang Bapa. Kegagalan-kegagalan
yang akan sangat menghambat kerja ini harus dihindari sejauh mungkin.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tak habis-habisnya ia mengagumi kerja yang besar itu.
Dan tanpa sesadarnya ia berkata, “Kebo Ijo. Kau harus mencoba
menyesuaikan dirimu dengan kerja ini. Kerja ini bukanlah sekadar
permainan yang dilakukan kapan saja kau mengingini. Tetapi kerja ini
adalah kerja yang terus-menerus. Kerja ini berhenti apabila benar-benar
telah rampung.”
(bersambung ke jilid 32)
No comments:
Write comments