“Baik, baik Ken Arok. Terima kasih,”
Bango Samparan menelan ludahnya. Tetapi ia mendengar Ken Arok berkata,
“Sebenarnya aku tidak percaya bahwa ayah tidak berani melewati padang
ini. Hampir setiap malam ayah berkeliaran dari satu arena perjudian ke
arena yang lain, bahkan di tempat-tempat yang paling ditakuti orang.
Meskipun demikian, biarlah ayah beristirahat. Tetapi ingat, jangan
menyebut lagi tentang mimpi yang gila itu.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Wajahnya yang memucat kini menjadi agak merah kembali. Dengan
tergagap ia berkata, “Terima kasih Ken Arok. Ternyata kau benar-benar
anakku yang baik. Memang aku selalu berkeliaran dari satu tempat judi ke
tempat yang lain, tetapi tidak di Padang Karautan. Kecuali mungkin aku
bertemu dengan anjing-anjing liar itu, aku juga tidak tahan dingin.”
“Udara malam ini terlampau panas,” sahut Ken Arok acuh tak acuh.
“O,” Bango Samparan terdiam sejenak, kemudian, “ya, ya, udara memang terlampau panas.”
“Tidurlah,” desis Ken Arok.
“Ya, ya terima kasih. Aku akan segera
tidur. Aku memang tidak ingin lagi berkata tentang mimpi itu, kalau kau
memang tidak senang mendengarnya, meskipun dapat menumbuhkan angan-angan
yang menyenangkan. Akuwu, Maharaja.”
Ken Arok sudah tidak tahan lagi. Dengan serta-merta ia berdiri dan melangkah pergi.
“Ken Arok, ke mana kau?” panggil ayah angkatnya.
“Aku akan keluar. Ayah tidak berani pergi dari tempat ini. Akulah yang akan pergi.”
“Ke mana kau akan pergi?”
“Ke bendungan.”
“Kenapa?”
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ia
melangkah terus meninggalkan Bango Samparan di dalam gubugnya. Demikian
ia lepas dari gubug itu, terasa dadanya menjadi lapang. Dilihatnya
langit yang hitam terbentang dari segala ujung penjuru. Bintang yang
berkilat-kilat bergayutan tak terbilang banyaknya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah akan dihisapnya udara di atas Padang Karautan itu habis-habis.
Tanpa sesadarnya maka ia pun melangkah,
berjalan di antara gubug-gubug yang bertebaran. Angin yang lembut
mengusap wajahnya pelahan-lahan.
Ketika ia lepas dari deretan gubug-gubug
itu, dilihatnya parit induk yang terbujur membelah padang menjorok ke
tengah. Di ujung parit itu terdapat sebuah sendang buatan. Tetapi malam itu Ken Arok tidak dapat melihat sendang itu dari tempatnya. Seolah-olah sendang
diselimuti oleh sebuah permadani yang hitam. Namun demikian, terbayang
di rongga matanya, tanaman-tanaman yang sudah mulai menghijau di sekitar
sendang itu, meskipun setiap hari masih harus disiram air.
Kemudian batu-batu yang sudah mulai teratur rapih. Puntuk-puntuk kecil
dan kemudian parit-parit yang menyilang taman itu. Sebuah gunung kecil
di tengah-tengah sendang.
“Mudah-mudahan sendang itu menyenangkan hati Akuwu Tumapel,” gumam Ken Arok di dalam hatinya.
Tiba-tiba terbersit pertanyaan di dalam
hatinya, “Kenapa setiap orang harus membuat Akuwu menjadi senang?”
Tetapi Ken Arok itu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika tiba-tiba pula
tumbuh perasaan di dalam dadanya, “Alangkah senangnya menjadi seorang
Akuwu. Kekuasaan di Tumapel ini berpusat padanya. Apa pun yang
dikehendaki, hampir pasti dapat terpenuhi.”
“Tidak, tidak,” Ken Arok itu menggeram sambil menggeretakkan giginya. “Pikiran gila ini telah mengotori dadaku. Tidak.”
Ken Arok itu kemudian berdiri dengan
tegangnya. Tangannya mengepal dan kakinya seolah-olah menghujam jauh ke
dalam tanah. “Aku tidak boleh diracuni oleh pikiran-pikiran gila itu.
Kalau sekali lagi Bango Samparan menyebut-nyebut mimpinya, aku cekik ia
sampai mati.”
Sekali lagi Ken Arok menggeram. Tiba-tiba
untuk mengusir perasaannya itu ia meloncat berlari masuk ke dalam
hitamnya malam. Seperti seorang yang dikejar hantu, ia berlari tidak ke
bendungan, tetapi ke sendang yang sedang dibuatnya.
“Tidak, tidak,” ia masih menggeram, “aku harus melakukan perintah Akuwu, sendang itu harus siap pada saatnya.”
Ketika ia sampai ke tepi sendang
yang masih belum siap itu, nafasnya menjadi terengah-engah. Wajahnya
membayangkan ketakutan atas dirinya sendiri. Ia tidak mau mendengar
mimpi itu lagi, meskipun perasaannya sendiri yang menyebut-nyebutnya.
Mimpi tentang dirinya dan Akuwu Tumapel.
“Tidak, tidak,” tiba-tiba ia berteriak.
Suaranya yang parau melayang di udara padang yang sepi, seolah-olah
menggetarkan seluruh Padang Karautan, bahkan seluruh Tumapel.
Ketika sekali lagi perasaannya diganggu
oleh mimpi Bango Samparan itu, maka Ken Arok pun segera meloncat.
Diraihnya batu-batu yang masih bertebaran di pinggir taman. Dengan
mengatupkan mulutnya rapat-rapat, ia mengangkat sebongkah batu,
dilontarkannya kuat-kuat. Batu-batu itu besok memang harus disusun
menjadi sebuah dinding yang akan mengelilingi taman.
Sekali, dua kali, tiga kali. Dan
seterusnya. Dilontarkannya batu-batu itu ke tempat yang besok harus
dibangun dinding. Dikerjakannya pekerjaan prajurit-prajurit Tumapel yang
harus dilakukannya besok. Dengan wajah yang tegang dan gigi gemeretak
ia melempar-lemparkan batu-batu itu. Tenaganya seolah olah menjadi
berlipat-lipat dan kekuatannya serta ketahanannya pun menjadi berganda.
Maka terdengarlah kemudian gemeretak
batu-batu yang terlempar oleh Ken Arok itu memecahkan kesenyapan Padang
Karautan. Susul-menyusul tidak habis-habisnya, seolah-olah pekerjaan itu
telah dilakukan oleh sepuluh orang bersama-sama.
Namun betapa kuat dan kokohnya tubuh Ken
Arok, akhirnya sampai juga ke batasnya. Tenaganya semakin lama menjadi
semakin kendor. Lontarannya sudah tidak lagi mencapai jarak yang
diperlukan, sehingga lambat-laun, ia pun menjadi semakin lelah.
Meskipun demikian, Ken Arok tidak mau
berhenti. Ia tidak mau membiarkan kesempatan sekejap pun untuk mengenang
kembali mimpi ayah angkatnya yang gila. Ia tidak mau batinnya diracuni
oleh perasaan itu. Karena itu, betapa ia menjadi lelah dan lemah, namun
masih juga dicobanya untuk mengangkat dan kemudian melemparkan bongkahan
batu-batu yang besar itu.
Tetapi akhirnya Ken Arok itu sudah tidak
mampu lagi melakukannya. Tulang-tulangnya seraya menjadi lemas, dan
nafasnya sudah menyesak di dadanya.
Dengan lemahnya ia tertunduk di antara
batu-batu yang masih berserakan. Bahkan kemudian ia membaringkan
dirinya. Betapa lelah mengganggu tubuhnya, sehingga scjcnak kemudian Ken
Arok itu diserang oleh perasaan kantuk yang luar biasa. Ketika angin
padang membelai tubuhnya, terasa kesegaran merayapi kulit dagingnya.
Namun dengan demikian maka Ken Arok itu pun jatuh tertidur.
Ken Arok tidak dapat mengetahui betapa
lama ia tertidur di padang itu, di bawah atap langit yang biru hitam,
serta di bawah bintang yang bergayutan tanpa dapat dihitung jumlahnya.
Anak muda itu terperanjat ketika ia
mendengar gemeletuk batu tersentuh kaki. Dengan sigapnya ia meloncat
bangun. Namun tiba-tiba matanya menjadi silau, ternyata matahari telah
merayapi langit.
“Hem,” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam sambil menggosok matanya yang kesilauan, ”aku tertidur.”
“Kami mencarimu,” sahut orang yang
membangunkannya, seseorang prajurit Tumapel, “kami hampir menjadi putus
asa. Aku sangka kau hilang seperti Mahisa Agni.”
“Sebelum udara di dalam gubugku terlampau
panas. Aku berjalan-jalan keluar, dan akhirnya aku sampai ke tempat
ini. Di sini udara terasa segar sekali. Dan aku jatuh tertidur.”
Prajurit itu tidak mempunyai
syak-wasangka. Karena itu ia menjawab, “Semuanya menunggu kedatanganmu
dengan cemas. Untung-untungan aku mencoba mencarimu di sini, di antara
batu-batu ini. Ternyata kau tertidur.”
Sekali lagi Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. “Aku lelah sekali,” desisnya.
Tanpa disengaja, Ken Arok memandangi
batu-batu yang masih bertebaran. Prajurit itu pun mengikuti arah
pandangan Ken Arok. Namun tiba-tiba prajurit itu mengerutkan keningnya.
Ia melihat batu-batu yang dipersiapkan untuk dinding taman telah
berpindah hampir di sepanjang sebelah sisi yang akan didirikan dinding
untuk taman itu. Kemarin batu-batu ini masih tertumpuk.
Wajah prajurit itu menjadi
berkerut-kerut. Ketika ia melihat pakaian Ken Arok yang kusut dan
tubuhnya yang kotor karena debu dan lumpur, maka tumbuhlah pertanyaan di
dalam dirinya. Apakah yang sudah dilakukannya? Begitu mendesak
pertanyaan itu di dalam dadanya sehingga terloncat kata-katanya,
“Batu-batu ini telah berpindah.”
Ken Arok berpaling. Dipandanginya wajah
prajurit itu, tetapi ia menjawab, “Orang-orang terakhir kemarin telah
mulai memindahkan batu-batu itu.”
Wajah prajurit itu menjadi semakin aneh.
Dengan terheran-heran ia berkata, “Aku adalah orang yang terakhir
meninggalkan pekerjaan kemarin. Aku masih sempat melihat batu-batu yang
tertimbun di sini. Tetapi pagi ini aku lihat batu-batu itu sudah
berserakan di sepanjang batas dinding taman yang akan dibangun. Hampir
di sepanjang sisi sebelah ini.”
Wajah Ken Arok itu pun kini menjadi
berkerut-merut. Sejenak ia tidak menjawab. Namun kemudian ia berkata,
“Mari, aku akan kembali ke perkemahan. Mereka terlalu lama menunggu, dan
kerja hari ini akan terlampau lama terlambat mulai.”
Prajurit itu terdiam. Wajahnya masih
diliputi oleh pertanyaan-pertanyaannya tentang batu-batu yang berpindah
itu. Meskipun demikian ia telah menyangka bahwa Ken Arok telah melakukan
pekerjaan itu.
“Tetapi hampir tidak masuk akal,” berkata
prajurit itu di dalam hatinya, “aku masih melihat Ken Arok itu masuk ke
dalam gubugnya. Seandainya ia datang kemari, maka pasti tidak sejak
sore. Sedangkan pekerjaan yang sepantasnya dilakukan oleh dua tiga orang
sehari penuh.”
Prajurit itu terkejut ketika Ken Arok berkata, “Mari, apa lagi yang kau tunggu?”
Tanpa sesadarnya prajurit itu berguman, “Agaknya Hantu Karautan lah yang telah memindahkan batu-batu ini.”
Wajah Ken Arok menegang mendengar
kata-kata itu. Tetapi segera ia berhasil menguasai dirinya. Prajurit itu
pasti dengan sengaja menyebut Hantu Karautan, dan pasti tidak mencoba
menghubungkannya dengan dirinya, meskipun sebenarnya bahwa yang telah
melakukan pekerjaan itu adalah Hantu Karautan.
Sejenak kemudian maka mereka berdua
segera meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Orang-orang
Panawijen dan para prajurit Tumapel sudah menunggu Ken Arok dengan
gelisah. Bahkan seperti yang dikatakan oleh prajurit itu, ada di antara
mereka yang menyangka bahwa Ken Arok hilang seperti Mahisa Agni.
Namun di sepanjang jalan, prajurit
Tumapel itu tidak dapat melupakan apa yang telah dilihatnya. Batu-batu
yang telah berpindah tempat. Tak ada orang lain di tempat itu selain Ken
Arok. Apalagi pakaian Ken Arok tampak lusuh dan tubuhnya dikotori oleh
debu dan keringat. Adalah mustahil apabila sejak kemarin, sejak sore
kemarin, Ken Arok tidak mandi dan membersihkan tubuhnya. Karena itu,
maka prajurit itu berketetapan, “Ken Arok telah melakukannya. Alangkah
dahsyat tenaganya. Ternyata anak muda itu benar seorang yang melampaui
sesamanya.”
Dan, ternyata prajurit itu kemudian tidak
dapat menyimpan pertanyaan dan kekaguman itu di dalam hatinya.
Satu-satu akhirnya setiap orang mendengar apa yang telah terjadi,
meskipun hanya bisikan-bisikan di setiap telinga.
Ketika Ken Arok melihat orang-orang
Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel telah mempersiapkan diri untuk
bekerja, serta melihat bayangan kegelisahan di wajah-wajah mereka,
menjadi agak menyesal. Ia telah memperlambat kerja hari ini. Karena itu,
demikian ia berdiri di hadapan mereka dan Ki Buyut Panawijen, segera
berkata, “Mulailah. Aku akan segera menyusul.”
Orang-orang Panawijen dan para prajurit
Tumapel segera meninggalkan perkemahan dan berpencaran ke tempat kerja
masing-masing. Sebagian pergi ke bendungan yang sudah menjadi semakin
tinggi, sebagian memperdalam parit induk yang membelah Padang Karautan,
sebagian memperpanjang parit yang silang-menyilang yang kelak akan
mengairi sawah-sawah, dan sebagian dari para prajutit Tumapel meneruskan
kerja mereka, membuat sendang dan taman. Ketika mereka yang bekerja di sendang
buatan itu sampai ke tempat kerja mereka, maka mereka benar-benar
menjadi heran. Mereka melihat batu-batu yang telah berpindah dari
tempatnya kemarin, seperti desas-desus yang mereka dengar.
“Semalam Ken Arok lah yang tidur di sini,” gumam salah seorang dari padanya.
“Luar biasa. Ia mampu melakukannya seorang diri.”
“Mungkin ia mempunyai sababat hantu-hantu padang.”
Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya. Namun kekaguman mereka terhadap Ken Arok menjadi bertambah-tambah.
Ketika perkemahan itu kemudian menjadi
sepi karena orang-orang yang menghuninya telah pergi ke tempat kerja
mereka, maka segera Ken Arok kembali ke dalam gubugnya. Di sana-sini ia
hanya melihat satu-dua orang yang bertugas menjaga perkemahan itu.
Tubuhnya kini sama sekali sudah tidak merasa lelah lagi. Tidurnya
ternyata telah dapat memulihkan seluruh tenaga yang telah diperasnya
semalam.
Dengan tergesa-gesa ia harus menyiapkan
diri. Mandi dan makan-minum sebelum berangkat menyusul kawan-kawannya
yang sedang bekerja.
Tetapi ketika ia memasuki gubugnya, ia
merasa ada sesuatu yang kurang. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah
angkatnya, Bango Samparan. Ternyata orang itu sudah tidak ada.
“Apakah benar semalam ayah Bango Samparan itu datang kemari?” desisnya.
Tetapi gubugnya benar-benar telah sepi.
Ia tidak melihat bekas-bekas yang dapat mengatakan kepadanya, bahwa
semalam benar-benar telah ada seorang tamu.
Tiba-tiba Ken Arok menjadi
berdebar-debar. “Ah, aku pasti. Semalam ayah datang kemari. Apakah ia
telah pergi sebelum pagi seperti katanya semalam.” Ken Arok menjadi
bingung. “Tidak, aku kira ia akan menunggu aku. Ayah memerlukan uang
sekadarnya.”
Ken Arok segera keluar dari gubugnya.
Dipandanginya keadaan di sekelilingnya, kalau-kalau Bango Samparan
sedang berjalan-jalan di antara gubug-gubug di dalam perkemahan itu.
Tetapi orang itu tidak dilihatnya. Bahkan Ken Arok tidak segera menjadi
puas. Dengan tergesa-gesa ia melangkah di antara gubug yang bertebaran,
kalau-kalau ia dapat menemukan ayah angkatnya. Namun Bango Samparan sama
sekali tidak diketemukannya.
Ketika ia melihat seorang yang sedang
berjaga-jaga sambil menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak untuk makan
siang, Ken Arok bertanya, “Apakah kau melihat seseorang di dalam
gubugku?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian
menggeleng. “Tidak. Aku tadi juga lewat di samping gubug itu, tetapi
aku tidak melihat seorang pun.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi
jawaban yang seorang ini tidak dapat dijadikannya pegangan. Ia merasa
pasti bahwa semalam ayah angkatnya itu datang kepadanya dan menceritakan
tentang mimpinya yang gila.
Karena itu maka segera ditinggalkannya
orang itu. Dengan kepala tunduk Ken Arok berjalan di antara gubug-gubug
mencari orang lain yang masih berada di perkemahan. Ketika ia melihat
dua orang sedang menyalakan api untuk masak, maka segera didekatinya
orang itu sambil bertanya, “He, apakah kau melihat seseorang yang belum
kau kenal berada di perkemahan ini atau di dalam gubugku?”
Kedua orang itu saling berpandangan.
Namun kemudian keduanya menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tidak
melihat seorang pun kecuali orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit
Tumapel.”
“Bukan mereka. Aku mempunyai tamu seorang
yang belum kalian kenal. Tubuhnya agak gemuk, pendek. Wajahnya keras
dan sorot matanya tajam.”
Sekali lagi keduanya saling memandang, dan sekali lagi keduanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak. Kami tidak melihatnya.”
Ken Arok menggigit bibirnya. Wajahnya
menjadi tegang dan giginya gemeretak. Dengan tergesa-gesa pula
ditinggalkan kedua orang itu, yang kemudian menjadi keheran-heranan.
“Siapa yang dicarinya?” desis yang seorang.
Kawannya menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu.”
Dalam pada itu, Ken Arok sama sekali masih belum puas. Ia masih ingin menanyakannya kepada orang lain lagi.
Adalah mungkin sekali bahwa orang-orang itu tidak melihat kedatangan Bango Samparan, karena mereka telah tertidur.
Akhirnya Ken Arok melihat seorang berdiri di ujung perkemahan. Dijinjingnya dua buah lodong air. Agaknya orang itu akan pergi ke sungai untuk mengambil air, yang akan direbus untuk minum orang-orang yang sedang bekerja.
“He,” panggil Ken Arok. Orang itu adalah
seorang dari Panawijen. Ketika ia melihat Ken Arok bergegas
mendatanginya, maka orang itu menjadi berdebar-debar.
“Apakah kau melihat Bango Samparan?” bertanya Ken Arok dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah.
“Siapa?” bertanya orang itu kembali.
“Bango Samparan.”
“Bango Samparan.”
Orang Panawijen itu menggelengkan kepalanya. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Bango Samparan.”
“Semalam ia berada di sini.”
Orang Panawijen itu masih terheran-heran.
“Apakah kau tidak melihatnya?”
“Seandainya aku melihatnya, aku juga belum mengenalnya.” jawab orang Panawijen itu.
“Kalau kau melihat orang asing di sini,
bertubuh gemuk agak pendek, berwajah keras, itulah dia. Bango Samparan.
Apakah kau melihat?”
Orang Panawijen yang membawa lodong
bambu itu berpikir sejenak. Dicobanya untuk mengingat-ingat apakah ia
melihat orang seperti yang dikatakan oleh Ken Arok itu. Tetapi akhirnya
ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak. Aku tidak
melihatnya.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Wajahnya
menjadi semakin tegang. Terbata-bata ia bertanya, “Benarkah itu? Kau
tidak melihatnya di sini?”
Sekali lagi orang itu menggeleng. “Tidak, aku tidak melihatnya.”
Sorot mata Ken Arok menjadi semakin aneh. Tiba-tiba saja ia memutar tubuhnya dan berjalan tergesa-gesa kembali ke gubugnya.
Orang Panawijen yang membawa lodong
bambu itu berdiri ternganga-nganga. Ia tidak tahu apakah yang sedang
bergolak di hati anak muda itu. Sambil memiringkan kepalanya, ia
mengangkat bahu. Kemudian meneruskan langkahnya ke sungai untuk
mengambil air.
Ken Arok yang menjadi semakin bingung itu
segera masuk ke dalam gubugnya. Dibantingnya tubuhnya di atas
pembaringannya. Sehelai tikar pandan yang kasar.
“Apakah aku telah didatangi oleh hantu Karautan, yang sebenarnya hantu?” desisnya.
“Tidak,” pertanyaan itu dibantahnya
sendiri, “dalam pengembaraanku di padang ini, aku belum pernah menemui
hantu itu. Yang ada adalah Hantu Karautan yang dikenal oleh orang-orang
di sekitar padang ini. Hantu Karautan, Ken Arok. Tidak ada hantu yang
lain.”
Dengan gelisahnya Ken Arok itu bangkit, berdiri, dan berjalan mondar-mandir.
“Gila. Apakah aku sudah gila dan di dalam
kegilaanku itu aku bermimpi bertemu dengan Bango Samparan yang sedang
bermimpi pula? Tetapi mimpi Bango Samparan itu jauh lebih gila dari
mimpiku sendiri.”
“Tidak, tidak,” tiba-tiba Ken Arok itu
berdesis, “aku tidak mau mendengar mimpi yang terlampau gila itu. Apakah
mimpi itu disampaikan oleh Bango Samparan sendiri, atau hanya sekadar
di dalam mimpiku, atau oleh hantu Karautan sekalipun.”
Tiba-tiba Ken Arok teringat bahwa semalam
Bango Samparan itu datang bersama dua orang pengawal, dan bahkan
beberapa orang yang berada di dalam gubug di sekitarnya terbangun karena
suara tertawa Bango Samparan. Beberapa orang terbatuk-batuk, dan
beberapa orang yang lain mendehem keras-keras.
Sekali lagi Ken Arok meloncat keluar dari
gubugnya Ia ingin mendapat kepastian tentang Bango Samparan. Tetapi ia
menjadi kecewa ketika ia melihat gubug-gubug di sekitar gubugnya telah
menjadi kosong. Orang-orang itu telah pergi ke tempat pekerjaan mereka
masing-masing.
“Hem,” Ken Arok menggeram, “aku harus
menemukan kedua orang pengawal itu. Jika mereka semalam bertugas, maka
pagi ini mereka mendapat kesempatan beristirahat. Mereka pasti tidak
ikut bekerja dengan kawan-kawan mereka.”
Maka kini dengan cepatnya ia melangkah ke
gubug kedua orang pengawal yang semalam telah membawa Bango Samparan
kepadanya. Dengan serta-merta ia menyuruk lewat lubang pintu yang
rendah, masuk ke dalamnya. Ketika dilihatnya seorang tidur membujur di
pojok gubug itu, maka segera ia berkata lantang, “He, kaukah yang
mengawal ke perkemahan semalam?”
Orang yang sedang tidur berselimut kain
panjang itu terkejut. Cepat ia meloncat bangun sambil menggosok matanya.
Tetapi yang dilihatnya berdiri di muka pintu adalah Ken Arok.
Namun Ken Arok menjadi kecewa melihat
orang itu. Orang itu bukan salah seorang dari kedua orang yang
mengantarkan Bango Samparan kepadanya.
Meskipun demikian ia bertanya sekali lagi, “Apakah semalam kau bertugas?”
“Ya,” sahut orang itu.
“Di sisi mana?”
“Di sisi utara,” jawab orang itu.
“Di mana kedua kawanmu yang bertugas di sisi selatan, yang telah membawa seorang tamu kepadaku.”
“Mereka sedang pergi ke sungai.”
“Bukankah mereka mendapat istirahat hari ini?”
“Ya, mereka sedang mandi dan mencuci pakaian mereka.”
“Hem,” Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam, “apakah mereka tidak mengatakan kepadamu tentang seorang
tamu yang mereka bawa kepadaku semalam?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, mereka tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”
“Gila, sungguh-sungguh gila,” Ken Arok
mengumpat di dalam hatinya sambil keluar dari gubug itu, tanpa
mengucapkan kata-kata lagi. Orang di dalam gubug itu pun menjadi
terheran-heran melihat tingkah lakunya, pakaiannya yang kusut, dan
tubuhnya yang kotor oleh keringat dan debu.
“Dari manakah ia semalam?” bertanya orang
itu di dalam hatinya, “setiap orang mencarinya. Bahkan Ki Buyut
Panawijen telah menjadi ketakutan, kalau-kalau ia hilang pula seperti
Mahisa Agni.”
Dengan lesu Ken Arok itu melangkah
kembali ke gubugnya. Pikirannya menjadi semakin kalut. Apabila semalam
Bango Samparan tidak datang sesungguhnya kepadanya, maka Ken Arok pasti
menjadi sangat cemas tentang dirinya sendiri. “Apakah aku sudah menjadi
gila?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Di gubugnya ia pun menjadi sangat gelisah. Sekali ia bangkit berdiri, berjalan mondar-mandir, kemudian terduduk dengan lesunya.
Tiba-tiba saja ia teringat akan
kewajibannya. Ia sudah berjanji untuk menyusul orang-orang Panawijen dan
prajurit Tumapel ke tempat mereka bekerja. Hari ini ia akan menunggui
orang-orang yang sedang menyelesaikan bendungan. Karena Itu maka segera
ia bangkit dan mengibas-ibaskan pakaiannya. “Persetan dengan Bango
Samparan,” gumamnya, “aku harus bekerja. Orang-orang itu pasti menunggu.
Aku harus segera pergi kepada mereka.”
Sejenak Ken Arok menjadi ragu-ragu.
Apakah ia harus berganti pakaian lebih dahulu, ataukah ia akan pergi
dengan pakaian yang sudah dipakainya itu. Pakaian yang lusuh dan kotor.
“Kalau aku berganti pakaian, mandi, dan
membersihkan diri lebih dahulu, maka sebentar lagi aku akan menjadi
kotor lagi. Tetapi kalau tidak, terasa tubuhku gatal-gatal karena debu
yang mengendap di wajah kulit ini.”
Akhirnya Ken Arok memutuskan untuk begitu
saja pergi ke bendungan. Ia tidak akan berganti pakaian. Dengan pakaian
yang kusut itu ia akan bekerja bersama-sama orang-orang Panawijen dan
para prajurit Tumapel.
“Di bendungan aku dapat membersihkan badanku, mengeringkan di sinar matahari, lalu mulai bekerja bersama-sama dengan mereka.”
Sejenak kemudian Ken Arok pun melangkah
keluar gubugnya sambil menyambar sepotong ubi rebus. Sambil mengunyah ia
berjalan meninggalkan gubugnya. Kepada seorang pengawal yang
dijumpainya ia berkata, “Aku pergi ke bendungan. Kalau kau melihat orang
asing di sini, bertanyalah kepadanya, apakah namanya Bango Samparan.”
Pengawal itu mengangguk, “Baik,” jawabnya.
“Kalau orang itu menunggu aku, biarlah ia menunggu di gubugku sampai aku pulang.”
“Baik.”
Ken Arok pun segera pergi ke bendungan menyusul orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel yang bekerja di sana.
Sementara itu para prajurit yang bekerja di sendang buatan menjadi saling bertanya-tanya, “Kekuatan apakah yang tersembunyi di dalam diri Ken Arok.”
“Kita mengenal beberapa orang sakti,” gumam salah seorang prajurit yang bekerja di sendang,
“mungkin beberapa orang guru yang tinggal di padepokan-padepokan.
Tetapi kita tidak menjadi heran melihat kelebihan-kelebihan mereka.
Seolah-olah sudah seharusnya mereka memiliki kelebihan dari kita. Tetapi
kita menjadi heran melihat orang-orang muda yang luar biasa seperti
pemimpin para prajurit pengawal istana, Witantra. Kemudian adik
seperguruannya, Mahendra dan Kebo Ijo. Kita heran juga melihat beberapa
orang yang lain. Tetapi keheranan kita tidak melonjak-lonjak seperti
kali ini.
Kawannya yang diajak berbicara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Ada dua orang
sepengetahuanku yang telah membingungkan nalarku.”
“Siapa? Witantra itu?”
“Bukan. Betapa saktinya kakang Witantra, tetapi aku masih dapat mencapainya dengan nalar dan pertimbangan.”
“Lalu siapa?”
“Yang pertama adalah Akuwu Tunggul Ametung. Kau ingat, ketika dengan tangannya ia membunuh seekor harimau?”
“Ya, harimau yang membunuh seorang srati gajah itu.”
“Ya, akibatnya gajahnya mengamuk. Gajah
yang bodoh itu tidak tahu, siapakah yang bersalah. Gajah itu tidak tahu
bahwa sebenarnya Akuwu Tunggul Ametung menolong srati-nya, tetapi justru gajah menyerang Akuwu. Bukankah begitu?”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya aku ingat. Hampir saja Akuwu mati terinjak gajah itu.”
“Tetapi hal itu tidak terjadi. Dan itulah ajaibnya. Tiba-tiba Akuwu pun marah. Dengan penggada-nya
yang kuning berkilauan, Akuwu memukul kaki gajah itu. Kaki depannya.
Seketika itu gajah yang mengamuk itu jatuh terjerembab. Lumpuh.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, gajah itu lumpuh. Seandainya Akuwu menjadi mata gelap, maka ia akan
mampu membunuh gajah yang sudah lumpuh itu.”
“Ya, ia adalah orang yang aneh yang pertama aku lihat.”
“Dan yang lain? Yang seorang lagi?”
“Yang seorang adalah orang ini, Ken Arok.
Adalah tidak masuk akal bahwa seorang diri ia dapat memindahkan
batu-batu sekian banyaknya. Bukan saja sedemikian banyaknya, tetapi
lihatlah. Batu-batu sebesar itu, batu-batu yang harus dipikul oleh
dua-tiga orang.” Orang itu menggelengkan kepalanya, “Mustahil,
mustahil.”
“Tetapi hal itu sudah terjadi.”
“Ya,” kawannya terdiam. Dipandanginya batu-batu yang besar itu dengan sorot mata yang aneh.
Sedangkan kawannya yang lain bergumam,
“Ada dua orang aneh di Istana Tumapel. Tetapi yang seorang adalah Akuwu
Tumapel sedangkan yang lain hanyalah seorang pelayan dalam, yang kali
ini mendapat kepercayaan memimpin pembuatan bendungan dan sendang.”
Para prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengangkat pundak mereka sambil berdesis, “Aneh.”
Beberapa orang masih juga mencoba
menjajagi kekuatan Ken Arok dengan mencoba mengangkat batu-batu yang
besar dan berat. Tetapi bertiga, batu itu baru terangkat. Kemudian
mereka harus memindahkan batu-batu itu dan memasang pada dinding yang
sedang mereka buat, maka mereka memanggul batu-batu itu dengan tali dan
sepotong kayu. Bersama-sama enam orang sekaligus.
Namun kekaguman itu telah mendorong para
prajurit Tumapel untuk bekerja semakin keras. Beberapa orang menganggap
bahwa Ken Arok telah marah kepada mereka karena mereka bekerja terlampau
lamban. Tetapi anak muda itu tidak mau menyatakan kemarahannya. Karena
itu maka disindirnya para prajurit itu dengan suatu perbuatan yang aneh.
Memindahkan batu-batu besar dan kecil yang cukup banyak itu seorang
diri. Seolah-olah ia ingin berkata, “Beginilah cara kita bekerja. Jangan
terlampau lamban dan malas.”
Sementara itu, Ken Arok sendiri telah
berada di bendungan. Sejenak ia membersihkan dirinya kemudian berjemur
sejenak sambil melihat orang-orang yang sedang bekerja. Ketika tubuhnya
telah kering dan kesegaran pagi telah menjalar ke segenap urat nadinya,
maka mulai pulalah ia bekerja. Tetapi apa yang dilakukan kali ini sama
sekali tidak ada bedanya dengan kerja yang dilakukan oleh orang-orang
lain. Mengangkat brunjung-brunjung bambu kecil yang sudah
berisi batu bersama-sama dengan lima atau enam orang. Mengangkat
batu-batu besar untuk diletakkan di antara brunjung-brunjung itu bersama-sama dengan dua-tiga orang. Sama sekali tidak nampak kelebihannya dari orang-orang lain yang bekerja bersamanya.
Ketika Ken Arok telah tenggelam di dalam
kerja, maka untuk sejenak ia melupakan Bango Samparan dan melupakan
mimpi ayah angkatnya yang gila itu. Dicurahkannya segenap perhatiannya
ke bendungan, susukan induk, dan parit-parit. Hatinya
seolah-olah membusung apabila dilihatnya pedati-pedati yang memuat batu,
tanah, dan segala macam perlengkapan, kemudian orang-orang Panawijen
bersama-sama dengan para prajurit Tumapel melunakkan tanah dengan
banyak-banyak. Sebagian lagi mengisi brunjung-brunjung bambu dengan batu dan meletakkannya di bendungan yang sudah menjadi semakin tinggi.
“Bendungan itu hampir selesai,” berkata
Ken Arok di dalam hatinya, “aku selanjutnya akan dapat mempergunakan
orang-orang itu untuk menyelesaikan sendang dan taman buatan
itu. Orang-orang Panawijen pasti akan bersedia membantu, sedangkan yang
sebagian lagi mulai membajak tanah untuk persawahan.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku harus menyiapkan semuanya tepat pada waktunya.”
Demikianlah maka orang-orang Panawijen
dan para prajurit Tumapel itu bekerja keras untuk membangunkan suatu
harapan bagi masa depan. Bagi anak cucu. Mereka tidak sekedar berpikir
tentang diri mereka. Tetapi yang penting bagi mereka adalah, mereka
telah berbuat. Mereka telah memberikan sesuatu bagi anak cucu mereka.
Dengan demikian maka kehadiran mereka dalam urutan turun-tumurun
tidak akan membuat anak cucu mereka menyesal. Anak cucu mereka tidak
akan mengatakan, bahwa tataran keturunan yang ini adalah tataran yang
paling jelek di antara garis keturunan karena telah mengabaikan usaha
untuk anak cucu mereka.
Orang-orang yang bekerja itu sama sekali
tidak menghiraukan ketika matahari memanjat semakin tinggi. Mereka tidak
menghiraukan terik yang seakan-akan membakar punggung mereka yang
telanjang.
Sedangkan matahari pun merayap semakin
tinggi. Setelah dilampauinya puncak langit, maka datanglah saatnya
perjalanan itu berganti menurun. Semakin lama semakin rendah, sehingga
akhirnya cahayanya menjadi kemerah-merahan.
Orang-orang yang sedang bekerja di
bendungan, di parit-parit, dan di taman pun sampai pada batas waktu
mereka. Mereka akan segera beristirahat. Setelah mengeringkan keringat
mereka, maka beramai-ramai mereka mandi. Sejenak kemudian maka bendungan
itu telah menjadi sepi. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel
telah kembali ke gubug masing-masing. Mengambil makan mereka, kemudian
duduk-duduk beristirahat sambil bercakap-cakap tentang banyak hal yang
dapat menghibur kelelahan mereka.
Dalam pada itu, dua ekor kuda berlari
tidak terlampau cepat mendekati bendungan yang telah menjadi sepi itu.
Beberapa ratus langkah dari bendungan itu, keduanya berhenti.
Samar-samar dalam cahaya senja, salah seorang dari mereka berkata,
“Apakah bendungan itu tidak dijaga?”
Yang lain menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu paman.”
Orang yang pertama, yang masih saja
berusaha mencari jalan untuk dapat menghubungi bakal permaisuri Tumapel,
menengadahkan wajahnya. Dan dilihatnya langit menjadi semakin suram.
“Aku tidak segera dapat berhubungan
dengan seseorang yang dapat aku percaya. Seharusnya kau, bekas seorang
pelayan dalam, akan dapat lebih mudah melakukannya. Tetapi ternyata aku
terlampau bodoh.”
“Namaku telah dikenal oleh hampir setiap
orang Tumapel. Aku kira mereka pun sekarang mengetahui apa yang telah
terjadi dengan diriku, sehingga tidak seorang pun lagi akan mempercayai
aku.”
Yang lain, yang berwajah beku,
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, aku dapat mengerti Kuda Sempana.”
Orang itu, Kebo Sindet, terdiam sejenak. Kemudian ia melanjutkan,
“Bagaimana dengan Ken Arok?”
“Aku kira kita tidak akan mendapat kesempatan,” jawab Kuda Sempana, “aku belum demikian mengenalnya.”
“Dengan upah yang cukup tinggi? Atau dalam pembagian yang adil?”
Kuda Sempana menggeleng. “Aku tidak tahu.
Tetapi ternyata anak muda itu kini mendapat kepercayaan dari Akuwu
Tunggul Ametung. Mungkin ia berpendirian teguh dan kita akan terjebak
karenanya.”
Kebo Sindet tidak menjawab. Dipandanginya arah bendungan yang menjadi semakin kabur.
“Aku akan pergi ke Tumapel untuk mencari
orang-orang yang dapat bekerja bersama dengan aku, menjual Mahisa Agni
kepada adiknya,” berkata Kebo Sindet dalam nada yang datar.
Ternyata Kuda Sempana pun kini wajahnya
telah hampir membeku pula. Kesan dari kata-kata itu sama sekali tidak
tampak di wajahnya. Dengan nada datar pula ia bertanya, “Apakah aku
harus ikut serta bersama paman?”
“Ya, kau harus pergi bersamaku. Selalu.
Aku tidak dapat meninggalkan kau sendiri di goa itu. Aku tidak ingin kau
membunuh Mahisa Agni yang masih lemah.”
“Aku tidak akan membunuhnya dan Mahisa Agni sudah menjadi cukup segar.”
“Kau ingin berkelahi melawannya?”
“Tidak.”
“Tetapi aku tidak percaya kepadamu, sebab
kau menyimpan dendam yang tidak terkatakan. Kau harus pergi bersamaku.
Kau tidak boleh bertemu Mahisa Agni tanpa aku. Sedangkan Mahisa Agni
sementara ini harus tetap hidup.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Ia kini sama
sekali sudah tidak mempedulikan lagi terhadap Mahisa Agni, terhadap
bendungan, terhadap Ken Dedes, dan bahkan terhadap diri sendiri.
“Marilah, jangan risaukan Mahisa Agni. Ia
tidak akan dapat keluar dari daerah rawa-rawa. Ia tahu apa yang
tersembunyi di dalam air itu. Lumpur dan binatang-binatang berbisa.
Hanya akulah yang mengenal jalan yang paling aman. Kau pun tidak.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Sedangkan
wajahnya pun tidak menunjukkan kesan apa pun. Beku, hampir seperti wajah
Kebo Sindet, meskipun kadang-kadang wajah itu masih juga bergerak dan
memberikan kesan.
Kedua ekor kuda itu mulai bergerak lagi.
Mereka tidak mendekati bendungan dan perkemahan orang-orang Panawijen,
tetapi mereka menyusur sungai di seberang perkemahan.
“Aku harus menemukan seseorang yang dapat
menyampaikan penawaran kepada calon permaisuri itu,” gumam Kebo Sindet,
“apakah di perkemahan itu tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya
dan dibawa bekerja bersama?”
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu.”
“Kita janjikan upah setinggi-tingginya. Kalau perlu apa saja yang diminta akan kita penuhi.”
“Kalau permintaanya tidak masuk akal, dan
melampaui kemampuan paman, bahkan melebihi tawaran yang akan paman
terima dari Ken Dedes?”
Kebo Sindet terdiam sejenak, tetapi ia
berpaling memandangi Kuda Sempana yang berkata di sampingnya. Kemudian
terdengar orang itu berdesis dengan suara yang dalam, yang seolah-olah
hanya melingkar-lingkar di dalam perutnya. “Kau memang bodoh sekali.
Lebih bodoh dari yang aku duga. Baik Ken Arok maupun orang lain tidak
akan mengurangi pendapatan kita.”
Kuda Sempana menjadi heran mendengar
jawaban itu. Tetapi ia tidak bertanya. Dibiarkannya Kebo Sindet
memberinya penjelasan. “Mereka tidak akan pernah mengenyam hasil dari
jerih-payah mereka.”
“Kenapa?” akhirnya terdengar Kuda Sempana berdesis.
“Mereka akan mati demikian pekerjaan mereka selesai.”
“Mereka akan paman bunuh?”
“Tentu. Mereka akan mati. Semua hasilnya akan jatuh ke tangan kita. Kau mengerti?”
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya tetapi dadanya terasa berdesir. Ternyata Kebo Sindet memang
benar-benar seorang yang gila. Ia tidak memperhitungkan cara apa pun
yang dipergunakannya untuk mendapatkan harta. Sedangkan harta-benda dan
kekayaan yang tidak terkira itu hanya ditimbunnya saja di dalam goa yang
terasing.
“Tidak masuk akal,” desis Kuda Sempana di
dalam hatinya, “orang ini benar-benar sudah tidak waras. Ia tidak
beranak-isteri, tidak ber-sanak-kadang. Buat apa ia menimbun segala macam harta-benda di dalam goa itu?”
Namun Kuda Sempana sendiri menyadari
kemungkinan-kemungkinan yang bakal dialami. Apabila pekerjaan tentang
Mahisa Agni ini selesai, maka ia pun akan mengalami nasib serupa dengan
orang-orang yang sedang dicari oleh Kebo Sindet. Kali ini ia masih
mungkin untuk diperalat, menghubungi orang-orang dalam yang bersedia
berkhianat dengan janji yang menyenangkan. Tetapi orang itu kemudian
akan mati, dan ia sendiri pun akan mati pula.
Sejenak kemudian mereka pun saling
berdiam diri. Dengan agak ragu-ragu Kebo Sindet meninggalkan bendungan
dan menjauhi perkemahan orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel.
Ternyata Kuda Sempana tidak dapat menghubungkannya dengan siapa pun
dari perkemahan ini. Juga Ken Arok sangat meragukannya. Apakah anak muda
itu dapat dikail dengan janji.
Tetapi Kebo Sindet tidak perlu
tergesa-gesa. Kalau mungkin hubungan itu dapat dilakukan sebelum hari
perkawinan, tetapi kalau gagal, maka sesudah Ken Dedes menjadi
permaisuri pun, pasti akan berhasil juga. Mungkin Ken Dedes akan dapat
dijadikannya sapi perahan. Setiap kali dituntutnya sejumlah uang dan
perhiasan, tetapi Mahisa Agni tidak juga dilepaskan untuk mengajukan
tuntutan-tuntutan berikutnya. Ken Dedes dapat mempercayakan kepada orang
hambanya, untuk melihat di tempat-tempat tertentu, sudah tentu tidak di
sarangnya, bahwa Mahisa masih betul-betul hidup. (penafsiran karena
kata tidak terbaca)
Kebo Sindet kadang-kadang tersenyum
sendiri di dalam hati, meskipun wajahnya tetap membeku. Rencana ini
ternyata masih lebih baik dengan rencananya untuk mempergunakan nama
Empu Sada.
“Persetan dengan Empu gila itu,” katanya di dalam hati, “asal saja ia tidak menghalangi.”
Kuda-kuda itu berjalan semakin lama
semakin jauh. Tidak terlampau cepat. Bahkan seakan-akan mereka sedang
bercengkerama di luasnya padang rumput yang berwarna kekuning-kuningan.
Sekali-sekali mereka melewati gerumbul-gerumbul perdu yang berwarna
kelam.
Tiba-tiba Kebo Sindet bergumam, “Kuda
Sempana. Kita akan sering melewati tempat ini. Siapa tahu, suatu ketika
kita akan bertemu dengan seseorang yang dapat kita jadikan alat, untuk
menyampaikan penawaran kita kepada Ken Dedes.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Dan Kebo
Sindet pun tidak berbicara lagi. Sambil berdiam diri mereka meneruskan
perjalanan mereka ke Tumapel untuk melihat-lihat saja kemungkinan yang
dapat mereka lakukan.
Sementara itu Ken Arok sedang marah-marah
di dalam gubugnya. Ketika ia pulang dari bendungan, maka segera ia
ingin berganti pakaian karena pakaiannya telah menjadi sangat kusut dan
kotor. Semalam pakaian itu telah dipakainya untuk melontar-lontarkan
batu, dan sehari ini dipakainya untuk bekerja di bendungan. Karena itu
maka pakaiannya itu telah penuh dengan debu.
Tetapi ketika ia membuka seikat bungkusan
di sudut gubugnya, tempat ia menyimpan pakaian, maka tiba-tiba ia
mengumpat. Ternyata di dalam bungkusan itu hanya terdapat seonggok
rumput kering.
“Hem, siapakah yang telah membuat gila ini?” tanpa sesadarnya Ken Arok berteriak.
Beberapa orang mendengar suara teriakan
itu dan dengan tergesa-gesa mereka mendatangi. Mereka tertegun melihat
bungkusan rumput kering di sudut gubug Ken Arok, di samping
pembaringannya.
“Siapa he, siapa yang telah berbuat gila? Apakah aku harus bertindak kasar?”
Tak seorang pun yang menjawab.
“Panggil pengawal,” teriak Ken Arok marah.
Beberapa orang dengan tergesa-gesa mencari prajurit yang siang ini bertugas mengawal perkemahan ini.
Sedangkan beberapa orang lain berkerumun,
saling berguman di antara mereka, siapakah yang telah berbuat tidak
sepantasnya itu. Seandainya orang itu bermaksud membuat suatu lelucon,
maka sendau-gurau yang demikian itu sangat melampaui batas. Apalagi
apabila ada di antara mereka yang sengaja mengambil pakaian Ken Arok
yang hanya beberapa lembar, maka perbuatan itu akan merupakan cela bagi
seluruh prajurit Tumapel atau orang-orang Panawijen.
Ketika dua orang pengawal datang ke gubug
itu dan melihat orang berkerumun, hatinya menjadi berdebar-debar.
Apalagi ketika mereka masuk ke dalam gubug itu. Dengan lantangnya Ken
Arok berteriak, “Lihat, lihat?”
Mata kedua orang itu terbelalak ketika
mereka melihat sebungkus rumput kering di sudut gubug Ken Arok, di
samping pembaringannya. Mula-mula mereka tidak mengerti, apakah maksud
Ken Arok dengan menunjuk seonggok tumput kering itu. Namun kemudian
mereka mengerti, bahwa seharusnya pakaianlah yang pantas dibungkus di
tempat itu.
“Apakah kau sudah melihat?”
“Ya,” hampir bersamaan kedua prajurit itu menjawab.
“Lalu apa katamu?” bertanya Ken Arok pula.
Keduanya menggelengkan kepalanya. Salah
seorang dari mereka berkata, “Aku tidak dapat mengerti. Aku mengawal
perkemahan ini dengan baik. Aku tidak melihat seorang pun masuk atau
keluar dari gubug ini. Seandainya itu karena kekhilafanku, maka aku
dapat menunjukkan siapa saja yang hari ini bertugas di perkemahan, di
dapur, dan mereka yang sedang beristirahat karena semalam mereka
bertugas.”
“Panggil mereka,” berkata Ken Arok.
Nadanya meninggi dan wajahnya menjadi tegang, “panggil mereka. Aku tidak
senang dengan lelucon yang tidak pantas ini.”
Kedua pengawal itu mengangguk. Salah seorang di antaranya menjawab, “Baik. Kami akan memanggil mereka semua.”
Kedua orang itu pun kemudian keluar dari
gubug Ken Arok. Beberapa orang lain membantunya memanggil orang-orang
yang oleh kedua pengawal itu disebut namanya.
Di dalam gubugnya Ken Arok hampir tidak
sabar menunggu kedatangan kedua orang pengawal itu. Ketika keduanya
datang, maka orang-orang yang mereka panggil pun satu-satu segera
menyusul masuk ke dalam gubug itu.
Hampir saja Ken Arok membentak-bentak
mereka dengan marahnya seandainya Ki Buyut Panawijen tidak segera masuk
ke dalam gubug itu pula. Ternyata peristiwa itu sudah pula terdengar
oleh orang-orang Panawijen sehingga wajah Ken Arak menjadi agak
kemerah-merahan.
“Maaf Ki Buyut, aku sedang mengurus
sesuatu peristiwa yang memalukan. Sebenarnya aku hanya ingin mengatakan
kepada mereka, bahwa hal yang demikian sebaiknya tidak terulang.
Permainan yang keterlaluan.”
Ki Buyut Panawijen yang telah lanjut itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Ia pun agaknya tidak senang melihat
kejadian itu. Kejadian itu akan dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan
di dalam perkemahan ini. Tetapi orang tua itu tidak segera mencampuri
persoalannya, karena Ki Buyut menganggap bahwa persoalan itu masih
terbatas pada prajurit-prajurit Pajang sendiri.
Meskipun demikian Ki Buyut itu berkata, “Kejadian ini patut disesalkan Ngger.”
“Ya, Ki Buyut. Aku harus sekali-sekali
bertindak terhadap orang-orang yang tidak dapat menempatkan dirinya,
menyesuaikan diri dengan keadaan.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya,
Sementara itu orang-orang yang dipanggil oleh Ken Arok telah berkumpul
berjejal-jejal di dalam gubug itu. Tetapi karena di dalam gubug itu pula
ada Ki Buyut Panawijen, maka Ken Arok bersikap agak hati-hati.
“Apakah kalian berada di perkemahan siang ini?” ia bertanya.
Orang-orang itu menganggukkan kepala mereka. Beberapa di antara mereka menjawab, “Ya, kami siang ini berada di sini.”
“Lihat, apakah yang terjadi di sini?”
Tak seorang pun yang menyahut. Mereka melihat seonggok rumput kering.
”Ketika aku meninggalkan gubug ini,
sebagai orang yang terakhir karena kelambatanku, bungkusan ini adalah
bungkusan pakaian. Tetapi sekarang yang ada di sini adalah seonggok
rumput. Aku tidak menyayangkan pakaianku yang hilang, sebab aku akan
dapat meminjam salah seorang dari kalian dan besok akan dapat memohon
ganti kepada Akuwu, tetapi sendau-gurau yang demikian sangat menyakitkan
hati. Aku minta siapa yang telah berbuat, segera menyatakan dirinya.
Kali ini aku tidak akan berbuat apa-apa, tetapi ingat, hal ini tidak
boleh terulang.”
Orang-orang itu saling berpandangan.
Tetapi wajah-wajah mereka menunjukkan perasaan mereka yang menjadi
cemas. Sejenak mereka tidak dapat berkata sepatah kata pun sehingga
mereka mendengar Ken Arok berkata, “Jangan menunggu aku mengambil
tindakan.”
Salah seorang prajurit yang sudah
setengah umur kemudian menjawab, “Aku kira, tidak seorang pun dari kami
yang berbuat demikian. Kami tahu menempatkan diri kami. Meskipun
kadang-kadang kami bergurau hampir tidak terkendali, tetapi kami tidak
akan sampai tindakan sejauh itu.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia dapat
memahami jawaban itu. Tetapi ia tidak dapat mengerti bahwa hal itu dapat
terjadi. Sejenak Ken Arok berdiam diri sambil memandangi wajah-wajah
yang ada di sekitarnya. Ketika terpandang olehnya wajah dua orang yang
semalam mengawal perkemahan, dan sehari ini beristirahat di perkemahan,
maka tiba-tiba ia berkata, “Baik. Baik. Semua keluar dari gubug ini.
Semuanya, kecuali kedua orang ini.”
Kedua pengawal itu mengerutkan kening
mereka. Pada mereka menjadi berdebar-debar. Sedangkan beberapa orang
kawan mereka pun memandang mereka dengan penuh pertanyaan. “Apakah yang
telah mereka lakukan?”
Sesaat kemudian satu-satu orang-orang di
dalam ruangan itu mengalir keluar. Yang tinggal di dalam gubug itu
kemudian tinggallah kedua pengawal itu, Ken Arok, dan Ki Buyut
Panawijen.
Meskipun demikian para prajurit yang
berkerumun masih saja berkerumun. Mereka berdiri berjejal-jejal di luar
pintu gubug Ken Arok.
Tetapi agaknya Ken Arok tidak senang
melihat mereka. Karena itu maka ia melangkah ke muka pintu sambil
berkata, “Sudahlah. Kembalilah kalian ke dalam gubug kalian
masing-masing. Aku kira tidak ada lagi yang akan aku persoalkan. Aku
tahu bahwa tidak ada di antara kalian yang telah melakukannya.”
Sejenak para prajurit itu saling
berpandangan. Dan mereka mendengar Ken Arok berkata selanjutnya,
“Kembalilah dan beristirahatlah. Lupakan peristiwa ini. Aku akan
menyelesaikannya sendiri tanpa mengganggu kalian lagi.”
Meskipun hati para prajurit itu masih
diganggu oleh berbagai pertanyaan, terutama tentang kedua kawannya yang
masih berada di dalam gubug Ken Arok, namun mereka terpaksa meninggalkan
tempat itu kembali ke dalam gubug masing-masing, meskipun mereka masih
tetap menunggu apa yang akan terjadi atas kedua kawannya.
Setelah para prajurit meninggalkan tempat
itu, maka Ken Arok pun kembali masuk ke dalam ruangan gubugnya yang
diterangi oleh sebuah pelita minyak yang tersangkut pada tiang bambu.
Sinarnya yang redup berguncang ditiup angin padang yang agak keras.
Sejenak ruangan itu dicekam oleh
kesepian. Namun kesepian yang tegang. Kedua prajurit yang semalam
mengawal perkemahan itu masih berdiri tegak seperti tonggak. Sekali-kali
mereka saling berpandangan. Namun kemudian mereka kembali mendengar
jantung masing-masing berdebaran.
Mereka terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok memecah kesepian. Justru dengan nada yang rendah perlahan-lahan, “Duduklah.”
Sekali lagi mereka saling berpandangan.
Dan sekali lagi mereka mendengar suara Ken Arok lunak, “Duduklah.”
Kemudian kepada Ki Buyut Panawijen, Ken Arok mempersilakan pula,
“Silakan Ki Buyut, duduklah.”
Mereka berempat kemudian duduk
berkeliling. Sejenak mereka saling berdiam diri, namun kemudian Ken Arok
mulai berbicara kepada kedua prajurit itu, “Apakah kalian semalam
mengawal perkemahan ini?”
Hampir bersamaan mereka menjawab, “Ya, kami mengawal perkemahan ini semalam.”
“Ya, aku bertemu kalian semalam,” sahut
Ken Arok. Tetapi sejenak ia menjadi ragu-ragu. Ia ingin bertanya kepada
kedua pengawal itu tentang seorang yang bernama Bango Samparan. Namun ia
takut mendengar jawabannya. Seandainya kedua prajurit itu menggelengkan
kepala mereka dan berkata, bahwa mereka tidak melihat seorang pun, maka
itu berarti bahwa otaknya sendiri sudah tidak wajar lagi. Karena itu
untuk sesaat Ken Arok terdiam. Dipertimbangkannya baik-baik
pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam dadanya, supaya tidak
meluncur berdesak-desakan sehingga membayangkan kegelisahannya.
Baru sejenak kemudian Ken Arok itu bertanya, “Kau hari ini beristirahat?”
Keduanya rnengangguk-anggukkan kepalanya dengan ragu-ragu, “Ya,” jawab mereka.
“Bukankah kau semalam datang kepadaku ketika aku berjalan-jalan di luar gubug ini?”
“Ya. Kami memang datang kemari.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sekali
lagi ia menjadi ragu-ragu. Kenapa ia mesti bertanya. Kenapa kedua orang
itu tidak berkata kepadanya bahwa semalam mereka mengantarkan seseorang
kepadanya.
“Semalam udara di dalam gubug terlampau panas. Aku berjalan keluar ketika kalian datang. Bukankah begitu?”
Kedua prajurit itu menjadi heran
mendengar pertanyaan Ken Arok yang melingkar-lingkar itu. Namun mereka
menjawab pula, “Ya, udara memang terlampau panas semalam.”
“Oh,” desah Ken Arok di dalam hatinya.
Tetapi akhirnya ia tidak sabar lagi menunggu kedua orang itu berkata
dengan sendirinya tentang peristiwa semalam yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya. Jawaban kedua orang itu tidak
dapat disimpulkannya, apakah mereka datang hanya berdua atau dengan
seseorang lain. Karena itu maka Ken Arok tidak lagi menunggu. Langsung
ia bertanya dengan dada yang berdebar-debar, “Apakah kau semalam membawa
seseorang kepadaku? Seorang tamu?”
Wajah Ken Arok menjadi tegang selama ia
menunggu kedua orang itu menjawab. “Kalau mereka menggeleng,” berkata
Ken Arok di dalam hatinya, “ternyata aku telah menjadi gila. Aku telah
melihat apa yang sebenarnya tidak pernah ada.”
Hampir terlonjak Ken Arok ketika mendengar orang itu menjawab, ”Ya, kami semalam mengantarkan seseorang kemari. Seorang tamu.”
“Oh,” Ken Arok menundukkan kepalanya. Kedua tangannya menyangga keningnya seolah-olah kepala itu menjadi terlampau berat.
Kedua prajurit itu, Ki Buyut Panawijen,
menjadi heran melihat tingkah lakunya, sehingga orang tua itu bertanya,
”Apa yang telah terjadi, Ngger.”
“Oh,” tergagap Ken Arok menjawab, “tidak
apa-apa Ki Buyut. Aku hanya dibingungkan oleh perasaanku sendiri.”
Kemudian kepada kedua prajurit itu ia ingin meyakinkan dirinya sendiri,
“Jadi kalian semalam telah membawa Bango Samparan kepadaku?”
“Ya, seseorang,” jawab mereka. “Bukan orang Panawijen dan bukan dari Tumapel.”
“Ya, ya. Orang itu adalah Bango Samparan.” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Aku tidak gila,” katarya di dalam hati, ”aku tidak gila. Bango Samparan lah yang gila.”
Meskipun demikian, Ken Arok tidak dapat
ingkar kepada diri sendiri, bahwa apa yang telah terjadi itu,
kegelisahan, kebingungan, dan keragu-raguan, adalah akibat dari mimpi
yang gila yang didengarnya dari mulut Bango Samparan. Seandainya ia
tidak pernah mendengar mimpi itu, maka ia tidak akan bingung seandainya
Bango Samparan itu benar-benar tidak pernah datang sekalipun.
Tetapi Bango Samparan itu ternyata
benar-benar telah datang di gubugnya. Bango Samparan itu telah
berceritera kepadanya tentang sesuatu yang telah membuatnya gelisah.
Kalau tidak, maka ia tidak akan bingung bertanya kepada orang-orang yang
dijumpainya tentang seseorang yang bernama Bango Samparan. Kalau
pikirannya tidak sedang dikacaukan oleh angan-angan yang gila yang
diucapkan oleh Bango Samparan itu, maka ia akan cukup tenang untuk
bertanya kepada orang-orang yang langsung berkepentingan.
Kedua orang prajurit itu masih saja duduk
dengan penuh menyimpan pertanyaan di dalam dadanya. Ia masih belum tahu
hubungan yang jelas antara seonggok rumput itu dengan tamu Ken Arok
semalam.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Ki
Buyut Panawijen hanya mengangguk-anggukkan kapalanya saja, karena ia
tidak tahu ujung pangkal dari pembicaraan mereka tentang tamu yang
dibawa oleh kedua prajurit itu.
Yang mula-mula memecah kesepian adalah
suara Ken Arok datar, “Aku minta maaf kepada kalian. Mungkin kalian
menjadi gelisah atau cemas. Aku memang terlampau tergesa-gesa.”
Kedua prajurit itu saling berpandangan, tetapi keduanya tidak menjawab.
Dan karena keduanya diam saja, maka Ken
Arok meneruskan, “Sampaikan pula kepada setiap prajurit Panawijen yang
ikut menjadi gelisah pula seperti kalian. Aku yakin bahwa mereka kini
masih saja diliputi oleh pertanyaan tentang diri kalian berdua. Nah,
sekarang kembalilah kalian ke gubug kalian. Sampaikan permintaan maafku
kepada semua prajurit.”
Sekali lagi kedua prajurit itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
Ken Arok berpaling sejenak, memandangi
seonggok rumput di samping pembaringannya. Katanya, “Dalam kegelisahan
aku terlampau cepat menjadi marah. Apa yang kalian lihat di sini
sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kalian. Kalian tidak usah
berpikir tentang rumput kering itu. Itu pasti pokal tamu semalam. Aku kira ia pergi ketika aku sedang berada di sendang
yang sedang dibuat itu. Dan tamuku itu pulalah yang telah membawa
seluruh pakaianku dan menggantinya dengan seonggok rumput kering.”
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam, sedangkan Ki Buyut Panawijen
mengangguk-anggukkan pula sambil berkata, “Oh, jadi semalam Angger
kedatangan seorang tamu yang pergi tanpa pamit?”
“Begitulah Ki Buyut.”
“Siapakah tamu Angger itu? Dan apakah Angger yakin bahwa tamu Angger itu yang telah berbuat?”
Ken Arok terdiam sejenak. Ia menjadi
ragu-ragu untuk mengatakan hubungan antara dirinya dengan Bango
Samparan. Ia sendiri sebenarnya tidak ingin mendengar tentang hubungan
yang pernah terjadi itu.
Bukan karena ia ingkar dan tidak mengenal
terima kasih tetapi ia ingin menjauhkan diri dari setiap pengaruh yang
akan dapat menyeretnya ke dalam dunia yang hitam. Kalau ia kini terseret
ke dalam dunianya yang lama, maka kejahatan yang akan dapat dilakukan
pasti akan lebih dahsyat dari masa-masa sebelumnya. Ia kini memiliki
pedang di lambung, memiliki kekuasaan meskipun tidak terlampau besar,
dan memiliki pengaruh yang cukup atas beberapa orang prajurit.
Tetapi ia harus menjawab pertanyaan Ki
Buyut Panawijen sehingga sekenanya ia bergumam, “Bango Samparan adalah
seorang kawan, Ki Buyut.”
“Em,” Ki Buyut mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sama sekali tidak terlintas sejumput prasangka pun atas
jawaban itu. Namun Ken Arok yang merasa tidak mengatakan sebenarnya itu
menjadi semakin gelisah. Tanpa sesadarnya ia menyambung, “Kawan yang
agak dekat di masa-masa lalu. Tetapi kami tidak sejalan dalam
angan-angan dan perbuatan.”
“Em” Ki Buyut masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ken Arok masih saja diburu oleh kegelisahannya sendiri.
“Tetapi, kami sudah lama sekali berpisah
Ki Buyut,” tergagap Ken Arok berkata terus, “dan sebenarnya aku tidak
ingin lagi bertemu dengan orang itu.”
“Em,” Ki Buyut mengangguk-angguk terus.
“Aku menyesal bahwa ia datang kemari semalam. Orang itu benar-benar gila. Ia datang dengan kegilaannya.”
“Em,” Ki Buyut masih mengangguk-angguk,
tetapi ia heran melihat sikap Ken Arok yang tiba-tiba menjadi semakin
tegang. Keheranan Ki Buyut Panawijen itu terpancar di dalam sorot
matanya. Namun Ken Arok menangkap sorot mata itu dengan alas
kegelisahan, sehingga Ken Arok merasa, seakan-akan Ki Buyut Panawijen
itu tidak mempercayainya.
“Ki Buyut, aku berkata sebenarnya. Aku berkata apa yang sebenarnya terjadi.”
Ki Buyut menjadi semakin heran. Namun ia tidak segera menjawab.
“Kenapa Ki Buyut tidak percaya, he?”
“Oh,” Ki Buyut terkejut mendengar
pertanyaan itu sehingga hampir-hampir ia terlonjak dari duduknya. Kening
yang telah mulai berkerut dilukisi oleh garis-garis ketuaannya,
menjadi semakin berkerut-merut.
“Kenapa aku tidak percaya Ngger, kenapa?
Aku percaya kepada Angger. Bahkan aku mempercayakan seluruhnya kepadamu.
Sepeninggal Mahisa Agni, maka segenap kepercayaan ada padamu, Ngger.”
“Tetapi sorot mata Ki Buyut itu.”
“Oh,” Ki Buyut menjadi semakin bingung,
“bagaimana dengan sorot mataku. Apakah sorot mataku mengatakan kepadamu
bahwa aku tidak mempercayaimu? Oh, aku tidak tahu bagaimana aku harus
memandang Angger.”
Jawaban itu terasa telah menghujam ke
dalam jantung Ken Arok. Sejenak Ken Arok terbungkam. Ia dapat merasakan
kejujuran yang terpancar dari jawaban Ki Buyut yang tua itu. Sehingga
karena itu, maka disadarinya, betapa ia menjadi cemas dan bingung karena
Bango Samparan.
Terpatah-patah Kep Arok itu kemudian berkata, “Maaf Ki Buyut, maaf. Aku telah bena-benar menjadi bingung.”
Ki Buyut Panawijen tidak segera menyahut.
Dipandanginya saja anak muda itu dengan beribu pertanyaan di dalam
dadanya. Tetapi kemudian orang tua itu pun dapat menangkap kegelisahan
yang sangat telah mengganggu Ken Arok.
Tiba-tiba orang-orang yang berada di
dalam gubug itu terkejut ketika Ken Arok berkata, “Tinggalkan aku
sendiri. Tinggalkan aku sendiri.”
Prajurit yang berada di dalam gubug itu
saling berpandangan. Dan mereka mendengar Ken Arok berkata, “Kenapa
kalian berdua belum juga meninggalkan tempat ini? Aku sudah minta maaf
kepada kalian, bahkan aku pesan kepadamu berdua, aku minta maaf pula
kepada setiap prajurit yang menjadi gelisah dan tersinggung karena
sikapku. Aku sudah berkata pula, bahwa yang mengambil semua pakaianku
dan menggantinya dengan rumput-rumput kering adalah tamuku semalam. Nah,
tinggalkan aku.” Ken Arok berhenti sejenak, lalu suaranya menurun
lemah, “Tetapi semuanya ini bukan lelucon yang menyenangkan.”
Kedua prajurit itu pun kemudian berdiri sambil berkata, “Kami minta diri.”
“Silakan. Aku minta maaf untuk kesekian kalinya.”
Kedua prajurit itu pun kemudian
meninggalkan gubug itu. Beberapa langkah mereka berpaling. Ketika sekali
lagi mereka saling berpandangan, maka merekapun menggeleng-gelengkan
kepala masing-masing. Mereka seolah-olah saling bertanya, apakah yang
sebenarnya telah terjadi, tetapi mereka pun bersama-sama menyadari bahwa
mereka tidak tahu apa-apa tentang Ken Arok dan tamunya.
Meskipun kedua prajurit itu telah
meninggalkan gubug Ken Arok, namun Ki Buyut masih saja duduk di samping
Ken Arok. Ia sebenarnya ingin mengetahui, kenapa anak muda itu menjadi
sangat gelisah. Tetapi Ki Buyut tidak berani bertanya kepadanya.
Sesaat mereka duduk tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Kepala-kepala mereka menunduk dan angan-angan mereka
mengembara ke dunia yang tidak dapat mereka jajagi.
Malam yang sepi itu pun menjadi semakin
sepi. Nyala pelita minyak masih saja berayun-ayun dibelai padang.
Lamat-lamat di kejauhan terdengar derik belalang, dan sekali-sekali
terdengar lolong anjing liar dan keluhan burung kedasih.
Tetapi betapa malam diselimuti oleh kesenyapan yang ngelangut,
namun Ken Arok masih juga dikejar oleh kegelisahannya. Dengan sekuat
tenaga ia mencoba menguasai dirinya supaya tidak lagi menyinggung
perasaan orang lain yang tidak bersangkut-paut dan tidak mengerti sama
sekali persoalan Bango Samparan.
Ki Buyut Panawijen, seorang yang telah
cukup banyak makan asin pahitnya kehidupan, dapat menghubungkan
kegelisahan Ken Arok itu dengan tamunya semalam, yang menurut dugaan Ken
Arok telah membawa segenap sisa pakaiannya, kecuali yang dipakainya
itu. Tetapi Ki Buyut pun menyangka, bahkan hampir meyakininya, bahwa
sebenarnya kegelisahan Ken Arok bukan hanya sekadar karena pakaiannya
itu lenyap. Anak muda itu telah berkata, bahwa ia akan dapat meminjam
kepada orang lain kemudian kembali ke Tumapel untuk mengambil pakaiannya
yang lain atau minta kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi yang lain itulah yang agaknya tidak hendak dikatakannya. Yang lain itu pulalah yang sangat menggelisahkannya.
Namun ternyata Ken Arok yang hampir tidak
pernah menahan sesuatu perasaan apa pun di masa lampaunya, terlampau
sukar untuk menyembunyikan kegelisahannya. Di masa lampau ia akan
berbuat apa saja yang terbersit dibatinya. Ia akan berteriak apabila ia
ingin berteriak. Ia akan berkelahi apabila ia ingin berkelahi. Ia akan
mencegat dan menangkap gadis-gadis apabila dikehendaki. Bahkan ia akan
membunuh apabila keinginan itu timbul di dalam benaknya. Perlahan-lahan
ia telah berhasil menyingkir dari dunianya yang kelam itu. Namun untuk
menahan dadanya digetarkan oleh perasaan gelisah dan pepat, adalah terlampau sulit baginya.
Karena itu, maka tanpa disangka-sangka
oleh Ki Buyut Panawijen, Ken Arok itu kemudian berkata, “Ki Buyut, aku
telah berbohong. Aku telah mencoba membohongi Ki Buyut.”
Ki Buyut mengangkat wajahnya. Kini ia
tahu, kenapa Ken Arok menyangkanya, bahwa ia tidak mempercayahi
kata-kata anak muda itu. Orang yang telah cukup berumur itu segera dapat
mengerti apa yang menyebabkan Ken Arok berbuat demikian. Perasaannya
sendirilah yang mengatakannya bahwa ia telah berbohong, bahwa
kata-katanya itu tidak dapat dipercaya. Namun karena itu pula Ki Buyut
Panawijen menjadi kagum akan kejujuran hatinya. Hatinya yang masih cukup
terbuka dalam kesederhanaannya.
“Ki Buyut,” berkata Ken Arok terbata-bata. “Bango Samparan sama sekali bukan hanya sekadar temanku.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya.
Agaknya Bango Samparan itu mempunyai kedudukan yang khusus di hati Ken
Arok, sehingga kehadirannya telah membuat anak muda itu kebingungan. Dan
sebelum Ki Buyut berkata, Ken Arok meneruskan, “Tetapi bahwa ia yang
telah mengambil pakaianku dapat aku yakini. Bango Samparan memang
mempunyai sifat yang demikian. Dan itulah yang menakutkan aku. Aku tidak
mau lagi disentuh oleh racun-racun yang pernah menghujam di dalam
benakku di masa kanak-kanakku. Ki Buyut, Bango Samparan seorang penjudi
besar, tetapi seorang perampok kecil-kecilan itu, adalah ayah angkatku.”
Ki Buyut Fanawijen masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin jelas akan persoalan
anak muda itu. Anak muda yang ketakutan melihat bayang-bayang yang
pernah menyelimutinya di masa kanak-kanak, dan yang kini tiba-tiba saja
telah muncul kembali.
Tetapi Ki Buyut Panawijen masih belum
menanggapinya. Ia masih saja berdiam diri sambil memperhatikan setiap
kata yang diucapkan oleh Ken Arok.
Dan Ken Arok itu berkata terus, “Dan ayah
angkatku itu, seperti ayah angkatku yang lain, Lembong, telah
membentukku menjadi seekor serigala yang liar, yang hidup berkeliaran
tanpa landasan. Sekali-sekali aku jumpai juga orang-orang yang baik,
seorang yang mengajarku mengenai beberapa hal, bahkan sampai pada
masalah kepandaian ilmu dan kesusasteraan. Tetapi tak seorang pun yang
langsung memperhatikan masalah kerokhanian. Sehingga suatu ketika aku
bertemu dengan orang-orang yang aku anggap aneh, yang memberikan
pengertian yang lain, yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Namun,
kini tiba-tiba orang semacam Bango Samparan itu muncul kembali.”
Ki Buyut mengerutkan keningnya.
Perlahan-lahan orang tua itu berkata, “Anakmas, kehadiran orang-orang
yang tidak kau kehendaki itu, jadikanlah alat untuk melihat diri
sendiri. Bukankah kehadiran Bango Samparan dapat memberikan sekadar
kenangan atas masa lampau itu. Dan Angger sudah menyadari bahwa masa
lampau itu sama sekali tidak menyenangkan? Nah, dengan demikian maka
Angger akan dapat semakin menjauhkan diri dari kehidupan masa lampau
itu, dengan menghayati hidup ini dengan sebaik-baiknya. Hidup yang telah
kau ketemukan dengan cara dan jalan yang kau kehendaki.”
Kini Ken Aroklah yang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba untuk memahami kata-kata
orang tua itu. Mempergunakan keadaan ini untuk semakin meyakini jalan
hidupnya yang kini menjadi semakin baik dan terang.
Ken Arok mengatupkan giginya rapat-rapat
ketika terngiang kembali suara Bango Samparan, “Nasibmu terlampau baik
Ken Arok.” Dan Bango Samparan itu menganggapnya menyia-nyiakan nasib
yang baik itu. Nasib yang terlampau baik.
“Anakmas,” berkata Ki Buyut, “memang kita seakan-akan dibiarkan berdiri di persimpangan jalan. Kita di-wenang-kan
untuk memilih sendiri jalan yang harus kita tempuh. Tetapi kita sudah
mendapat petunjuk, ke mana jalan-jalan itu akan menuju.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia pernah juga mendengar dahulu pada saat ia masih mengembara di Padang
Karautan, bahwa jalan yang menuju ke arah keselamatan abadi, bukanlah
jalan yang paling luas dan rata. Bukan pula jalan yang dianut oleh
jumlah yang lebih banyak. Tetapi adalah suatu keyakinan tentang
keselamatan abadi, betapapun jeleknya yang harus dilalui, betapapun
sunyinya, namun keyakinan itu harus digenggamnya.
Beribu-ribu orang yang lebih senang
melalui jalan yang dipenuhi oleh kenikmatan duniawi, tetapi hanya
satu-dua orang saja yang meletakkan harapannya pada kenikmatan abadi.
Kenangan itu, serta kata-kata Ki Buyut
yang telah menanjak menginjak hari-hari tuanya, ternyata mampu
memberikan ketenteraman hati anak muda itu. Ia tidak lagi takut
mendengar kata-kata Bango Samparan. Seandainya kini Bango Samparan
datang lagi kepadanya dan mengulangi semua kata-katanya, maka hati Ken
Arok tidak akan goncang lagi. Ia tidak perlu takut lagi seandainya
mendengar Bango Samparan berkata kepadanya, bahwa nasibnya terlampau
baik, sehingga hampir setiap keinginannya terpenuhi. Bahkan seandainya
ia ingin menjadi seorang Akuwu atau Maharaja Kediri sekalipun.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia
menjadi heran sendiri, bahwa ia menjadi sedemikian bingung menghadapi
Bango Samparan, sehingga hampir-hampir saja ia kehilangan
keseimbangannya. Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas suatu tugas
yang berat, maka keadaannya itu sangat membahayakannya. Bukan saja atas
dirinya sendiri, tetapi atas seluruh pekerjaan dan orang-orang yang
berada di dalam tanggung jawabnya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
Ken Arok kemudian berkata, “Terima kasih Ki Buyut. Aku mengucapkan
terima kasih. Mudah-mudahan aku akan selalu dapat mempertimbangkan
keseimbangan perasaanku.”
Kini, Ki Buyut yang selama itu menjadi
tegang, tampak tersenyum. Perlahan-lahan ia berkata, “Ah, sudahlah
Angger. Setiap peristiwa akan dapat dijadikan pengalaman yang baik asal
kita dapat menempatkan pada tempat yang wajar. Selamat malam, aku akan
kembali dan beristirahat. Besok kita masih harus bekerja keras.
Bendungan itu hampir siap. Kalau air sudah mengalir lewat induk susukan yang membelah padang ini, maka kita tidak perlu mengangkat air dengan lodong-lodong bambu untuk setiap hari menyiram pepohonan yang sudah mulai rimbun itu, terutama di taman yang sedang dipersiapkan.”
“Ya Ki Buyut,” sahut Ken Arok yang
wajahnya pun kini menjadi terang, “aku mengharap demikian. Aku mengharap
bahwa enam bulan lagi pepohonan itu telah menjadi cukup rimbun.
Sawah-sawah telah dapat digenangi air, dan pategalan telah menjadi
hijau. Meskipun tanaman-tanamannya belum cukup tinggi, tetapi
pemandangan di daerah ini telah berubah sama sekali. Semuanya akan
tampak hijau segar.”
“Begitulah Ngger. Mudah-mudahan,” desis Ki Buyut. “Dan kini aku minta diri.”
Ki Buyut itu pun kemudian meninggalkan
Ken Arok seorang diri. Sesaat Ken Arok masih duduk tepekur di tempatnya.
Ia mencoba mencernakan pengalaman yang aneh ini. Tetapi kemudian ia
berdiri sambil bergumam, “Suatu pelajaran yang baik.”
Tanpa disadarinya maka mulailah tangannya
menyambar makanan yang disediakan untuknya. Ia belum sempat memakannya,
karena sejak ia kembali ke gubugnya, ia menjadi sibuk karena seonggok
rumput kering.
“Gila benar Bango Samparan,” Ken Arok
menggerutu. Tetapi kali ini tidak karena kata-katanya yang dapat
meracuni dirinya, tetapi karena tubuhnya yang menjadi gatal-gatal.
“Aku harus mencari ganti pakaian,”
gumamnya kemudian sambil mengunyah makanannya. “Kalau tidak maka sisa
malam ini tidak akan dapat aku pergunakan sebaik-baiknya untuk
beristirahat.”
Dan malam itu Ken Arok terpaksa
membangunkan seorang prajurit yang terdekat dari gubugnya untuk meminjam
pakaian. Tetapi agaknya prajurit itu terlampau malas sehingga
pakaiannya yang tidak dipakainya semuanya masih belum dicucinya, kecuali
sepasang yang akan dipakainya sendiri besok.
Sambil bersungut-sungut Ken Arok terpaksa membangunkan orang lain dan meminjam pakaian dari padanya.
Hari-hari berikutnya maka Ken Arok
seolah-olah mendapat dorongan untuk bekerja lebih keras. Dari hari ke
hari, maka kedatangan Bango Samparan telah dilupakannya.
Ia telah mendengar laporan dari kedua
orang prajurit yang melaporkan hilangnya Mahisa Agni ke Tumapel. Dan ia
telah menyuruh dua orang yang lain untuk mengambil pakaiannya yang
ditinggalkannya di baraknya di Tumapel.
Bahkan Ken Arok telah mengirim orang yang
lain untuk menyampaikan rencananya kepada Akuwu Tunggul Ametung supaya
pekerjaannya tidak terlambat. Ken Arok minta dikirim beberapa kelompok
prajurit untuk membantunya, mengerjakan pekerjaannya yang akan
dilakukannya siang dan malam.
Sehari demi sehari telah terlampaui. Saat
perkawinan agung menjadi semakin dekat. Betapa hati Ken Dedes menjadi
semakin sedih, namun ia tidak dapat menunda hari-hari yang telah
ditentukan, bahkan sudah mulai dipersiapkan dengan teliti. Setiap kali
ia hanya dapat menumpahkan kepahitan hatinya kepada emban pemomong-nya yang dibawanya dari Panawijen. Terhadap emban yang lain, bahkan terhadap Madri yang selalu melayaninya dengan baik, ia tidak mengatakan sepatah kata pun.
Emban tua yang dibawanya dari
Panawijen itu selalu berusaha untuk menghiburnya, membesarkan hatinya,
dan menasihatinya supaya gadis itu mendapatkan ketenteraman.
“Adalah lebih baik demikian Tuan Puteri,” berkata emban
itu suatu kali, “lebih baik perkawinan itu segera terjadi. Bukankah
Tuan telah berada di sini cukup lama? Apakah kata orang apabila hal itu
akan berkepanjangan. Betapapun juga Akuwu adalah seorang laki-laki muda,
sedangkan Tuan Puteri adalah seorang gadis yang cantik.”
“Ah,” Ken Dedes berdesah, tetapi emban
tua itu segera memotongnya, “sudah tentu Tuan Puteri dan Tuanku Akuwu
Tunggul Ametung akan menjaga diri masing-masing. Namun orang-orang di
luar istana, apalagi yang tidak senang melihat kehadiran Tuan Puteri di
sini, akan dapat mengatakan hal-hal yang tidak baik. Seolah-olah Tuanku
bukanlah seorang permaisuri. Seolah-olah Tuan Puteri hanya sekadar
seorang selir.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya, dan ia dapat mengerti kata-kata emban pemomong-nya.
Apabila demikian, sejenak ia dapat menahan hatinya, pasrah diri dalam
kepahitan. Namun setiap kali, kerinduannya kepada kakaknya, yang
dianggap tinggal satu-satunya keluarganya itu sangat mengganggunya.
Dalam upacara agung, maka kenang-kenangan yang demikian pasti tidak akan
dapat disingkirkannya, sehingga dalam keramaian peralatan agung, dalam
kerinduan dan kegembiraan yang meluap-luap di seluruh Tumapel, ia akan
merasa semakin sepi.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terdengar ia berdesis, “Ya bibi, mudah-mudahan aku dapat menemukan
perasaan itu. Mudah-mudahan aku dapat melepaskan rinduku kepada kakang
Mahisa Agni setelah aku mempunyai seorang suami.”
Emban tua itu menelan ludahnya
yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. “Demikianlah hendaknya Tuan
Puteri,” katanya, namun hatinya menjerit setinggi langit. Apakah
benar-benar terjadi, Mahisa Agni akan dilupakannya? O, alangkah malang
nasib anak itu.
Dalam pada itu, Ken Dedes sendiri
seolah-olah menemukan suatu anggapan baru tentang Akuwu Tunggul Ametung.
Kekecewaannya telah mendorongnya untuk menganggap bahwa Akuwu Tunggul
Ametung adalah seseorang yang terlampau mementingkan diri sendiri.
Tetapi tak seorang pun yang dapat menahan
majunya waktu. Hari-hari pun telah terlampaui, dan saat yang telah
ditunggu-tunggu oleh segenap rakyat Tumapel itu terjadilah.
Datanglah saatnya Tumapel mengadakan
peralatan agung. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung mengambil seorang
permaisuri. Putra seorang pendeta dari Padepokan Panawijen.
Namun beberapa mulut berdesah di antara
rakyat Tumapel, “Sayang bahwa gadis itu seorang gadis yatim-piatu.
Ibunya sudah tidak ada lagi, dan ayahnya hilang tidak diketahui ke mana
perginya. Satu-satunya kakaknya pun hilang ditelan oleh para penjahat.”
Tetapi dengan demikian, dengan perasaan
iba di hati, rakyat Panawijen menyambut bakal permaisurinya dengan
ikhlas. Bahkan beberapa orang menganggap bahwa keprihatinan gadis bakal
permaisuri itu pasti akan bermanfaat bagi Tumapel.
Dalam upacara-upacara yang besar itu,
Ken Dedes selalu berusaha untuk menahan gelora perasaannya. Untuk
menyembunyikan kepahitan hati serta kerinduannya kepada keluarganya.
Kadang-kadang ia tidak dapat menahan desakan air matanya, sehingga
setitik-setitik menetes di pangkuannya. Kadang-kadang bayangan wajah
ayahnya yang tua membayanginya, kemudian disusul oleh kenangan atas
Mahisa Agni yang kekar dan perkasa, yang telah melepaskannya dari
berbagai macam bencana. Terbayang pula masa kanak-kanaknya yang riang
penuh gairah di Padepokan Panawijen bersama para endang.
Bermain-main di tepian sambil melihat gemerciknya air sungai yang
mengalir lambat di antara batu-batu yang menjorok. Mencuci sambil
berdendang di bendungan. Sayup-sayup terdengar seruling para gembala di
antara gemersiknya angin pagi.
Ken Dedes merasakan kenikmatan hidup
dalam kesederhanaan itu. Dan kini ia harus mencoba menikmati hidup dalam
kemewahan duniawi yang melimpah-limpah.
Pada hari-hari upacara perkawinan agung
itu, seluruh Tumapel seolah-olah telah diselimuti oleh kegembiraan yang
merata. Seolah-olah tidak ada lagi kesedihan, duka, dan kepahitan hidup.
Rakyat yang paling miskin sampai yang paling kaya, mencoba untuk
bergembira menyambut perkawinan Akuwu Tunggul Ametung.
Tujuh hari tujuh malam Tumapel bermandikan suasana perkawinan. Hampir di setiap banjar padesan dan padukuhan terdapat berbagai macam keramaian. Umbul-umbul dan rontek
berjajar di sepanjang jalan dari ujung ke ujung. Di pinggir-pinggir
desa anak-anak meneriakkan keriangan hati mereka sambil menggenggam
berbagai macam makanan dan permainan. Regol-regol desa dihiasi dengan berbagai macam bentuk hiasan janur dan dedaunan.
Setiap wajah rakyat Tumapel menjadi
cerah. Mereka tidak memikirkan kesulitan hidup yang kadang-kadang mereka
jumpai. Mereka melupakan sejenak kesibukan mereka sehari-hari.
Kesibukan kerja untuk menghidupi keluarga mereka.
Tetapi wajah Ken Dedes sendiri tidak
secerah wajah rakyat yang menyambut pengangkatannya menjadi seorang
permaisuri. Setiap saat dikenangnya ayahnya, ibunya yang tidak dapat
diingatnya dengan jelas. Dan yang menyedihkan baginya adalah Mahisa Agni
yang hidup dan matinya masih belum dapat diketahui.
“Kalau kakang Mahisa Agni ada, maka ia
sedikit banyak akan dapat ikut menikmati kemeriahan hari-hari perkawinan
ini,” desisnya, “tetapi aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan
dirinya saat-saat ini. Mungkin ia masih terikat pada sebatang tonggak.
Mungkin ia baru mengalami siksaan badani, dan bahkan mungkin di luar
kekuatan daya tahannya. Atau mungkin juga ia sudah terbujur mati tanpa
seorang pun yang mengurusnya.”
Hati Ken Dedes menjadi semakin pedih
ketika ternyata Akuwu Tunggul Ametung tidak dapat ikut mengerti
kepahitan yang dirasakannya. Bahkan sekali-sekali Tunggul Ametung
menegurnya, “Ken Dedes, setiap orang di Tumapel merayakan hari bahagia
ini. Setiap orang bergembira. Tetapi kau sendiri ternyata menyambut
hari-hari yang cerah ini dengan wajah yang kusut.”
Ken Dedes tidak dapat mengatakan sepatah
kata pun. Setiap kali ia mencoba untuk menunjukkan kegembiraannya.
Apalagi di hadapan para tamu-tamu agung yang berdatangan ke istana pada
upacara-upacara resmi. Para pendeta, para pemimpin pemerintahan, para
panglima dan senapati, dan para tamu dari luar Tumapel yang ikut
merayakan hari yang berbahagia itu.
Tetapi apabila upacara-upacara semacam
itu sudah selesai. Apabila para tamu telah tidak ada lagi di Istana
Tumapel dan tidak lagi terdengar suara gamelan yang mengiringi
gadis-gadis menarikan tari-tari yang riang penuh gairah hidup menyambut
perkawinan agung, maka Ken Dedes kembali ke dalam biliknya dengan wajah
yang suram. Setelah para emban membantunya melepaskan pakaian kebesaran yang berkilauan seperti matahari, setelah para emban membantunya mengenakan pakaian sehari-hari seorang permaisuri, maka Ken Dedes itu menelungkupkan kepalanya di pangkuan pemomong-nya. Para emban yang meninggalkannya di dalam biliknya berdua dengan emban tua yang dibawanya dari Panawijen, masih mendengar gadis itu terisak-isak. Namun sambil tersenyum para emban
itu saling berbisik, “Oh, alangkah bahagianya gadis Panawijen itu. Ia
menangisi kurnia yang tidak pernah diimpikannya di masa kanak-kanak.
Sebagai seorang gadis padepokan yang terpencil, maka ia kini berada di sentong tengen
Istana Tumapel. Kegembiraan yang meledak telah menyebabkan ia tidak
dapat menahan diri. Bukankah kalian mendengar Tuan Puteri itu menangis?”
“Ah, bukankah itu sudah sewajarnya? Kau
pun akan menangis seandainya tiba-tiba kau diambil menjadi seorang
isteri senapati saja. Apalagi menjadi seorang permaisuri. Kau, pasti
tidak akan dapat merasakan betapa bahagianya, sebab kau akan mati
membeku karena kegirangan.”
“Uh, kalau benar aku menjadi isterti
seorang senapati maka kau aku beri anugerah. Prajurit suamiku yang
paling tampan akan mengambilmu menjadi selirnya.”
“Ah, tidak mau.”
Para emban itu pun kemudian
tertawa. Meskipun mereka mencoba untuk menahan suara tertawa mereka,
namun para prajurit yang berada di belakang istana mendengarnya. Ketika
prajurit-prajurit itu berpaling, dilihatnya beberapa orang emban lewat melintasi halaman belakang.
“Uh,” desah salah seorang dari
prajurit-prajurit itu, “kalian mengenakan pakaian yang paling indah yang
kalian punyai. Tetapi kalian tidak membawa makanan yang paling enak
untuk kami yang bertugas di gardu-gardu perondan.”
“Kami tidak mengurusi makanmu,” sahut salah seorang emban itu.
“Ya, mungkin lain kali kau akan mengurusi makananku.”
“Tidak mungkin. Aku bukan emban madaran. ”
“Siapa tahu kalau kau kelak menjadi isteriku.”
“Hus, jangan terlampau perasa. Bercerminlah di belumbang sebelah. Kau akan melihat wajahmu sendiri yang jelek itu.”
Prajurit itu tidak marah. Tetapi justru ia tertawa lebih keras dari suara para emban.
Pemimpin peronda istana pada saat itu mendengar suara tertawa prajuritnya. Tetapi kali ini dibiarkannya saja para prajurit dan emban
tertawa terlampau keras. Seluruh Tumapel memang sedang tertawa. Di
alun-alun di muka istana itu pun sedang diadakan berbagai macam
pertunjukan. Di bawah pohon beringin.
Di malam hari Tumapel memancarkan sinar beribu-ribu obor di sepanjang jalan, di regol-regol, dan di banjar-banjar.
Seolah-olah Tumapel ingin bersaing dengan wajah langit yang biru, yang
ditaburi oleh berjuta-juta bintang-bintang yang gemerlapan.
Tetapi Tumapel tidak mendengarkan suara hati seorang gadis yang sedang disambutnya. Hanya emban tua pemomong-nya
sajalah yang dapat ikut menitikkan air mata. Tetapi air mata itu adalah
juga air mata kesedihannya sendiri, karena ia pun sedang menangisi anak
satu-satunya yang hilang tak tentu lintang bujurnya.
Demikianlah maka wajah dan hati keputren Istana Tumapel itu tidak sejalan. Wajah yang cerah bercahaya karena rerangken dan perhiasan yang cemerlang. Tetapi hati permaisuri itu sendiri menjadi suram.
Namun setiap kali emban pemomong-nya
berkata, “Tuan Puteri, lambat-laun Tuan Puteri pasti akan menemukan
kegembiraan Tuan kembali. Kesibukan Tuan Puteri sebagai seorang
permaisuri pasti akan mendesak segala macam kerinduan Tuan Puteri kepada
orang-orang yang Tuan kasihi. Ayah bunda dan kakanda Tuan yang hilang
itu.”
“Mungkin bibi,” sahut Ken Dedes, “tetapi
hanya untuk sementara. Setiap kali aku pasti akan teringat kepada mereka
itu. Mereka yang hanya dapat merasakan pahit dan getirnya, tetapi
mereka tidak sempat ikut merasakan kesenangan ini.”
“Itu adalah suatu sikap yang dapat Tuan anggap bahwa mereka telah melakukan mesu-diri, berprihatin untuk Tuan Puteri. Merekalah yang menanam dan menyiangi. Kini Tuan Puterilah yang memetik buahnya.”
“Itulah yang menyedihkan bibi. Mereka
hanya menanam saja. Menanam, mengairi, menyiangi, dan memelihara. Tetapi
mereka tidak ikut memetik buahnya.”
“Buah itu telah melimpah kepada puterinya, kepada adiknya yang dikasihi. Apalagi?”
Ken Dedes tidak menyahut. Ia mencoba meresapkan kata-kata emban tua pemomong-nya
itu. Ia mencoba menerima kejadian itu dengan wajar, dan ia mencoba
melupakan orang-orang yang dikasihinya. Tetapi hal itu tidak mungkin
dilakukannya.
Sedangkan emban itu sendiri, serasa dadanya menjadi pepat.
Setiap ia mengucapkan kata-kata penghibur bagi Ken Dedes, maka
kata-kata itu bagaikan jarum-jarum yang menusuk hatinya sendiri. Pedih.
Tetapi kegembiraan di Tumapel berlangsung
terus. Seperti yang direncanakan. Tujuh hari tujuh malam. Hampir tidak
ada saat-saat terluang dari berbagai macam kesenangan dan kegembiraan.
Barong di sepanjang jalan diiringi dengan gamelan berirama cepat. Di banjar-banjar dan di pura-pura, gadis-gadis menari berebutan.
Namun juga berbagai macam perjudian seolah-olah mendapat kesempatan tanpa terkendali. Adu ayam, jengkerik, dan burung gemak. Anak-anak bermain binten di perapatan. Gadis-gadis desa bermain jirak hampir semalam-suntuk dengan lampu-lampu obor yang menyala di setiap sudut halaman.
Tetapi ternyata bahwa Akuwu Tumapel tidak
juga melupakan para prajurit yang berada di Padang Karautan. Beberapa
hari sebelum hari perkawinan itu, Ken Arok telah mengirimkan dua orang
prajurit untuk datang menghadap, mohon agar Akuwu berkenan mengirimkan
beberapa orang baru untuk menambah tenaga dan perbekalan di Padang
Karautan. Orang-orang baru dengan alat-alat yang baru. Ken Arok telah
menyampaikan rencananya untuk melakukan pekerjaannya siang dan malam,
supaya sendang itu dapat siap pada waktunya. Sebelum enam bulan sejak hari perkawinan ini.
Akuwu Tumapel sama sekali tidak
berkeberatan. Bahkan kepada Ken Arok, Akuwu telah mengirimkan pesan,
supaya pada saat-saat Tumapel merayakan hari-hari perkawinannya, Ken
Arok dapat ikut menyaksikannya.
Tetapi kemudian datang seorang prajarit
dari Padang Karautan yang menyampaikan pesan Ken Arok, bahwa Ken Arok
ingin merayakan hari-hari yang berbahagia itu di Padang Karautan,
bersama dengan para prajurit dan orang-orang Panawijen. Sebab
orang-orang Panawijen adalah orang-orang yang merasa paling berbahagia
atas perkawinan itu. Ken Dedes adalah gadis dari Panawijen.
“Kalau begitu,” berkata Akuwu Tumapel,
“pada saat itu aku akan mengirimkan prajurit-prajurit seperti yang
diminta oleh Ken Arok, bahan-bahan makanan untuk masa-masa kerja yang
lama itu dan bahan-bahan beserta jurumasak-jurumasak yang paling pandai
untuk menyediakan makanan yang paling enak di hari-hari yang bahagia
itu. Para prajurit yang sedang bekerja beserta orang-orang Panawijen
harus menikmatinya pula kesenangan tujuh hari tujuh malam. Selama
hari-hari itulah maka jurumasak-jurumasak yang pandai dari Tumapel akan
menyediakan makan dan minum bagi para prajurit dan orang-orang Panawijen
yang sedang bekerja membuat bendungan, parit-parit, dan sendang buatan.”
Demikianlah maka pada hari-hari
perkawinan yang dirayakan tujuh hari tujuh malam itu, maka Padang
Karautan pun seolah-olah dibanjiri oleh makan dan minum tiada taranya.
Setiap orang akan dapat menikmati makanan menurut seleranya. Berbagai
macam makanan telah disiapkan untuk mereka. Berlebih-lebihan sehingga
bersisa terlampau banyak.
“Kita kirimkan sebagian dari makanan ini
ke Panawijen,” berkata salah seorang dari mereka, “orang-orang yang
tinggal di Panawijen pun harus menikmati kegembiraan ini. Kawan-kawan
bermain Ken Dedes semasa kecil, para endang, dan para cantrik.”
“Bagus,” sahut Ki Buyut, “anak-anak pun harus ikut merayakannya.”
“Ya,” teriak seseorang, “aku di sini
makan makanan yang paling enak, bahkan yang seumur hidupku belum pernah
aku cicipi, tetapi anak-anakku hampir tidak makan di rumah.”
Maka diputuskannya untuk mengirimkan
makanan secukupnya bagi orang-orang Panawijen. Makanan yang
seenak-enaknya meskipun tidak untuk tujuh hari tujuh malam. Tetapi
mereka harus ikut bergembira di antara daun-daun yang menjadi semakin
menguning dan tanah persawahan yang menjadi semakin kering.
Tetapi kali ini Ken Arok tidak mau
mengorbankan orang baru lagi seandainya mereka bertemu dengan Kebo
Sindet dan Kuda Sempana. Karena itu, maka ketika beberapa orang
berangkat mengantar makanan itu, Ken Arok telah menyediakan sejumlah
prajurit yang akan mengawalnya, yang tidak akan mungkin dapat dikalahkan
oleh Kebo Sindet.
Kedatangan orang-orang Panawijen yang
membawa makanan sedemikian banyaknya di atas punggung-punggung kuda dan
pedati-pedati yang ditarik oleh lembu beserta beberapa orang prajurit,
ternyata telah mengejutkan perempuan dan anak-anak. Tetapi ketika mereka
tahu apa yang telah dibawa oleh orang-orang itu, maka meledaklah
kegembiraan tiada taranya. Sehingga serta-merta Panawijen yang kering
itu telah ikut pula merayakan perkawinan Ken Dedes dalam upacara agung
di Istana Tumapel.
Sejenak orang-orang Panawijen melupakan
pepohonan yang meratapi diri dalam kekeringan. Pepohonan yang
daun-daunnya berguguran semakin lama semakin banyak.
Anak-anak yang sejak lama tidak
berlari-larian dan bermain-main di sudut desa, sejenak dapat menikmati
kegembiraan. Setelah sekian lamanya Panawijen menjadi desa yang
seakan-akan mati, maka untuk sesaat dapat menikmati hidupnya kembali.
Para endang dan para cantrik pun
ikut pula bergembira Mereka saling berceritera tentang masa lampau
mereka, selagi Ken Dedes masih berada di padepokan.
“Ken Dedes tidak pernah melupakan aku,” berkata salah seorang endang , “ke mana pun ia pergi, aku pasti dibawanya.”
“Aku masih menyimpan sehelai kain
panjang,” sahut yang lain, “kain panjang pemberian Ken Dedes yang dahulu
dipakainya. Kain panjang itu kini menjadi kenang-kenangan yang sangat
berharga bagiku.”
“O,” berkata yang lain lagi,
“kenang-kenangan yang ada padaku bukan sekadar sehelai kain. Tetapi
rambut Ken Dedes yang kini telah aku sisir halus. Cemara itu panjangnya
hampir sedepa. Setiap kali aku menyisir rambutnya yang hitam
lebat itu, dahulu aku selalu menyimpan rambutnya yang rontok. Sekarang
rambut itu menjadi sehelai cemara,” rambut yang panjang.
Seorang endang yang lain dengan
sedih bergumam, “Aku tidak mempunyai kenang-kenangan sama sekali dari
padanya. Sehelai selendang pun tidak. Tetapi aku mempunyai bekas luka di
lenganku.”
“Apa hubungannya antara bekas luka itu dengan Ken Dedes?”
“Aku pernah berkelahi dengannya ketika
kami masih agak kecil. Aku digigitnya sampai luka berdarah. Bekas luka
itu masih ada sampai kini.”
“Oh,” desah beberapa emban hampir bersamaan, “kenang-kenangan yang paling mengesankan.”
“Kalau tahu ia akan menjadi seorang
permaisuri, maka aku akan membalasnya, menggigit lengannya supaya ia
tidak akan pernah melupakan aku.”
“Jadi kau tidak membalasnya saat kau digigitnya?”
“Aku tidak berani, aku hanya menangis melolong-lolong.”
Para endang itu pun kemudian
terdiam. Tetapi mulut mereka masih mengunyah berbagai macam makanan yang
diperuntukkan bagi mereka. Di ruang lain para cantrik pun sedang
menikmati makanan yang serupa. Tetapi agaknya para cantrik itu lebih
cepat hampir dua kali lipat menghabiskan makanan mereka.
“Besok kita akan mendapat lagi,” gumam
salah seorang cantrik, “dua hari dua malam kita akan menikmati makanan
seperti ini. Bahkan mungkin lebih lama lagi.”
Tak ada yang sempat menjawab karena mulut
mereka sedang dipenuhi oleh berbagai macam makanan yang belum pernah
mereka nikmati sepanjang umur mereka. Makanan yang disesuaikan dengan
selera juru madaran dari Istana Tumapel.
Di Padang Karautan, kegembiraan yang
serupa agaknya tidak kalah meriahnya. Para prajurit menari-nari sesuka
hati. Ada beberapa di antara mereka memang seorang penari. Tetapi karena
tidak ada gamelan, maka mereka menari tanpa irama diiringi oleh
kawan-kawannya yang mencoba menirukan suara gamelan dengan mulutnya.
Namun demikian hal itu sangat
menggembirakan. Mereka tertawa sambil mengunyah makanan dan minum
minuman yang selama ini tidak pernah mereka nikmati. Mereka selama
berada di Padang Karautan hanya minum air sungai, atau air panas yang
direndami daun sere dan gula kelapa.
Prajurit-prajurit yang masih segar, yang
baru datang di padang itu pun mencoba untuk bergembira. Meskipun
sebenarnya mereka lebih senang merayakan hari perkawinan Akuwu itu di
Tumapel. Namun mereka tidak dapat menyanggah perintah atasannya, bahwa
mereka harus berangkat ke Padang Karautan, sambil membawa bekal dan
makanan khusus selama hari-hari peralatan.
Pada hari yang ketiga maka Padang
Karautan menjadi lebih meriah lagi. Mereka melihat pemimpin rombongan
telah datang bersama beberapa orang pengawal. Pemimpin rombongan
prajurit-prajurit yang diperbantukan kepada Ken Arok, yang menurut
perintah Akuwu maka pemimpin rombongan itu akan menjadi pembantu Ken
Arok pula. Sebab menurut Akuwu Tunggul Ametung, maka Ken Arok tidak akan
dapat terus-menerus mengawasi pekerjaan yang akan dilakukan sehari
semalam bergantian.
“He,” teriak salah seorang prajurit,
“lihat, pemimpin kita itu telah datang. Rombongan kecil itu pasti
membawa makanan lebih banyak lagi.”
Hampir berbareng kawan-kawannya pun tertawa. Berkata salah seorang, “Apakah perutmu masih belum penuh juga?”
“Perutku dapat menggelembung. Karena itu maka perut ini tidak pernah penuh berapa pun makanan aku masukkan.”
Kawan-kawannya sekali lagi tertawa.
Bahkan Ki Buyut Panawijen yang duduk-duduk di antara mereka bersama
orang-orang Panawijen pun ikut tertawa juga.
“Jangan malu Ki Buyut,” teriak prajurit
itu pula, “kalau Ki Buyut dan orang-orang Panawijen malu, maka bukan
salah kami apabila kalian tidak mendapat bagian. Kalau besok juru madaran itu kembali ke Tumapel, maka kita akan mengalami masa paceklik lagi. Makan nasi kurang matang, sambal wijen, dan jangan keluwih. Nah, lihat, itu orang-orang baru telah berdatangan lagi. Mereka pasti membawa makanan lebih banyak dan lebih enak.”
Meledaklah suara tertawa seolah-olah
membelah Padang Karautan. Kegembiraan yang tidak tertahankan setelah
mereka bekerja keras tanpa mengenal istirahat.
Ken Arok sendiri duduk di atas sebuah
batu beberapa langkah dari Ki Buyut Panawijen. Tampaklah ia
tersenyum-senyum melihat tingkah-laku prajurit-prajuritnya dan
orang-orang Panawijen yang sedang bergembira. Selama ini ia tidak dapat
memaksa mereka bekerja. Tiga hari bendungan itu seolah-olah tidak
disentuhnya. sendang dan susukan induk itu pun dibiarkannya tidak digarap selama ini untuk memberi kesempatan kepada orang-orangnya menikmati kegembiraan.
Ken Arok mengharap, mudah-mudahan
kegembiraan ini akan dapat menjadi pendorong kerja yang akan datang.
Kerja yang lebih keras. Apalagi dengan orang-orang baru yang masih
segar.
Dengan wajah yang masih dihiasi dengan
sebuah senyuman, Ken Arok menatap Padang Karautan yang berwarna
kekuning-kuningan. Semakin lama rombongan kecil prajurit-prajurit
Tumapel itu menjadi semakin dekat. Debu yang tipis mengepul di belakang
kaki-kaki kuda yang berlari tidak terlampau cepat melintas padang rumput
yang luas.
“Siapakah yang akan dikirim oleh Akuwu
untuk membantu aku di sini?” bertanya Ken Arok kepada salah seorang
prajurit yang baru datang tiga hari yang lampau.
Tetapi prajurit itu menggeleng sambil
menjawab, “Kami tidak tahu, siapakah yang akan datang itu. Tetapi
pemimpin pasukan yang membawa kami kemarin berkata, bahwa tiga hari lagi
akan datang perwira yang akan diperbantukan dalam pembuatan bendungan
ini.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia masih tetap bertanya-tanya di dalam hati, “Siapakah orang yang
akan datang itu?” Ken Arok mengharap bahwa orang itu akan dapat
diajaknya bekerja bersama. Seorang yang mengerti arti dari kerjanya.
Ketika rombongan itu menjadi semakin
dekat, maka tampaklah wajah Ken Arok menjadi semakin berkerut. Di antara
mereka yang datang itu tampaklah seorang perwira remaja yang belum lama
mendapat wisuda kenaikan tingkat.
“Hem,” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, “kenapa anak itu yang dikirim kemari?”
Tetapi Ken Arok tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima tenaga yang dikirimkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepadanya.
“Bukankah ia hanya membantu aku mengawasi
para prajurit yang sedang bekerja? Mudah-mudahan sikapnya tidak
mengendorkan hasrat dari setiap orang di sini. Mulutnya agak terlampau
lancang. Dan sikapnya yang kekanak-kanakan kurang meyakinkan sikap
seorang pemimpin,” desisnya di dalam hati.
Ketika rombongan itu sudah menjadi dekat
benar, maka Ken Arok pun berdiri menyambutnya bersama dengan Ki Buyut
Panawijen dan beberapa orang prajurit. Tampaklah wajah anak muda itu
berseri-seri meskipun dibasahi oleh keringat yang meleleh dari kening.
Dengan lantangnya ia berkata hampir berteriak, “Ah, padang ini telah
membakar kulitku kakang.”
Ken Arok mencoba tersenyum. Jawabnya, “Besok kau akan dapat merendam dirimu di dalam air.”
Perwira yang masih muda dalam usia maupun dalam jabatan itu tertawa. Katanya, “Ya, aku akan merendam diri. Apakah sendang yang kau buat itu sudah berair?”
Ken Arok menggeleng, “Belum,” jawabnya, “tetapi kau dapat merendam diri di bendungan.”
“Bendungan yang dibuat oleh Mahisa Agni?”
“Ya,” sahut Ken Arok, “sekarang adalah tugas kita untuk menyelesaikan bendungan itu sepeninggal Mahisa Agni.”
Perwira muda itu mengerutkan keningnya.
Kemudian ia bertanya, “Apakah kau ikut membuat bendungan itu pula
bersama para prajurit?”
“Tentu,” sahut Ken Arok.
Ken Arok terkejut ketika perwira itu kemudian berkata, “Aku hanya mendapat tugas membantumu membuat sendang
buatan itu. Bendungan itu adalah pekerjaan orang-orang Panawijen.
Prajurit-prajurit yang aku bawa dan yang mendahului aku adalah
tenaga-tenaga yang diperbantukan kepadamu untuk sendang buatan itu.”
“Ah,” Ken Arok berdesah. Dengan
serta-merta ia memandangi wajah Ki Buyut Panawijen yang berkerut. Tetapi
Ken Arok itu segera menyahut, “Ya, begitulah. Aku memang meminta kepada
Akuwu tenaga yang akan membantuku menyelesaikan sendang itu.
Sedangkan bendungan dan parit-paritnya akan dilakukan oleh orang-orangku
yang lama. Yang telah berada di padang ini sebelum kalian datang.”
Perwira itu ingin membantah kata-kata Ken
Arok, tetapi segera Ken Arok menyambung kata-katanya. “Turunlah. Inilah
Ki Buyut Panawijen.”
“O,” anak muda itu mengangguk kecil.
Perlahan-lahan ia turun dari kudanya. Tampaklah betapa malasnya ia
berjalan mendekati Ken Arok.
“Jadi orang tua inilah Ki Buyut Panawijen?” ia bertanya kepada Ken Arok.
“Ya, Ngger. Akulah Buyut Panawijen,” orang tua itu mengangguk dengan hormat.
Sekali lagi anak muda itu mengangguk kecil, katanya, “Namaku Kebo Ijo, Ki Buyut.”
“O, jadi Angger bernama Kebo Ijo?”
“Ya,” sahut Kebo Ijo pendek, kemudian kepada Ken Arok ia berkata, “di manakah sendang buatan itu?”
“Itu,” Ken Arok menunjuk agak ke tengah,
“agaknya pepohonan yang aku tanam telah tumbuh baik meskipun masih harus
disiram setiap hari.”
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah hari ini kalian tidak bekerja?” ia bertanya.
“Kami di sini sedang beristirahat merayakan perkawinan Akuwu.”
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kenapa kau tidak pergi ke Tumapel menyaksikan perkawinan itu?”
“Aku lebih senang berada di sini. Di antara batu-batu dan brunjung-brunjung bambu. Di antara tanaman-tanaman yang telah mulai tumbuh ngrembaka. Di antara para prajurit yang menari-nari menurut irama yang khusus.”
“Sayang kau tidak melihatnya,” desis Kebo Ijo.
“Kenapa?”
“Gadis Panawijen itu memang cantik.
Cantik sekali. Sepantasnyalah, bahwa kakang Mahendra pernah tergila-gila
kepadanya, dan Kuda Sempana benar-benar menjadi gila. Apakah kau belum
pernah melihat wajah gadis itu?”
“Sudah, tetapi hanya sekilas,” jawab Ken
Arok. ”Aku sama sekali tidak melihat kelebihan dari gadis-gadis cantik
yang lain. Tetapi entahlah dalam pakaian kebesarannya.”
Mendengar jawaban Ken Arok itu Kebo Ijo
tertawa terbahak-bahak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa
orang prajurit berpaling memandanginya. Dan Ki Buyut Panawijen pun
mengerutkan keningnya. Orang tua itu dalam sekilas dapat melihat
perbedaan antara kedua pemimpin yang mendapat tugas untuk menyelesaikan
pekerjaan yang berat itu. Meskipun keduanya masih muda, tetapi Ken Arok
tampak jauh lebih matang dari pemimpin yang bernama Kebo Ijo itu.
Di sela-sela suara tertawanya terdengar
ia berkata, “Sudah sepantasnyalah kau ditempatkan di Padang Karautan
ini. Setiap hari kau hanya bergaul dengan batu-batu, brunjung-brunjung bambu, pedati, waluku, dan lembu.”
“Kenapa?” Ken Arok mengerutkan keningnya.
“Seandainya kau berada di Tumapel pun kau
tidak akan dapat menilai seorang gadis. Ternyata kau tidak melihat
kelebihan yang tidak ternilai pada permaisuri Akuwu Tunggul Ametung
itu.”
“Sudah aku katakan. Aku hanya melihatnya
sekilas. Pertama-tama aku melihatnya pada saat Akuwu mengambilnya di
Padukuhan Panawijen. Kemudian hampir tidak pernah lagi aku melihatnya
cukup lama.
Sekali lagi Kebo Ijo tertawa. “Mungkin,” katanya, “pada saat kau mengambilnya di Panawijen maka gadis itu adalah gadis padepokan. Pakaiannya adalah pakaian padesan sehari-hari. Tetapi setelah ia mengenakan pakaian seorang puteri keraton, maka wajahnya memancar seperti matahari.”
Kemudian sambil berpaling kepada Ki Buyut
Panawijen, ia berkata, “Kau dapat juga berbangga Ki Buyut, bahwa dari
padukuhanmu yang kering itu telah lahir seorang gadis yang cantik
seperti matahari. Tetapi sinarnya yang panas telah mengeringkan
padukuhanmu sehingga kau harus bersusah-payah membuat bendungan baru di
sini.”
“Ah,” Ken Arok memotong, “kau masih juga
senang bergurau. Beristirahatlah. Mungkin kau haus atau lapar. Silakan.
Orang-orangmu sudah tahu, ke mana kau harus pergi sekarang. Telah
disediakan sebuah gubug untukmu.”
“Apa aku dapat beristirahat di tempat serupa kandang kambing ini?”
“Sekian lamanya aku di sini, aku selalu dapat tidur nyenyak,” sahut Ken Arok.
Sejenak Kebo Ijo menebarkan pandangan
matanya berkeliling. Tampaklah keningnya berkerut-merut dan mulutnya
bergerak-gerak. Tetapi ia masih berdiam diri.
“Apakah yang membuatmu heran?” bertanya Ken Arok.
“Hem,” anak muda itu bersungut-sungut,
“ternyata aku telah dilemparkan ke dalam neraka. Kenapa aku yang
mendapat tugas di padang panas ini, kenapa bukan orang lain?”
“Di sini tidak ada sesuatu yang dapat
menyegarkan hati. Tidak ada gadis-gadis cantik, tidak ada penari yang
lincah, tidak ada selingan apa pun kecuali batu melulu.”
“Aku di sini jauh lebih lama daripadamu,” sahut Ken Arok, “tetapi aku tidak mengeluh.”
“Mungkin kau sudah biasa hidup di Padang Karautan sejak sebelum kau menjadi pelayan dalam di Tumapel.”
Terasa dada Ken Arok berdesir mendengar
kata-kata Kebo Ijo itu Tetapi ketika ia melihat wajah Kebo Ijo, maka
segera ia menyadari bahwa Kebo Ijo sama sekali tidak bersungguh-sungguh.
Ia berkata apa saja sekehendak hatinya tanpa menghiraukan perasaan
orang lain. Karena itu maka Ken Arok itu bahkan tersenyum sambil
menjawab, “Ya, mungkin aku memang dilahirkan di Padang Karautan. Tetapi
kau pun harus berusaha menyesuaikan dirimu. Seorang prajurit pada suatu
saat akan berada di suatu tempat yang sama sekali tidak menyenangkan.
Dalam peperangan mungkin kau harus berada di tanah yang berlumpur, atau
mungkin di padang yang lebih panas dari Karautan, atau mungkin di
lereng-lereng bukit.”
“Dalam peperangan hal itu wajar sekali
terjadi. Tetapi di masa-masa orang lain bergembira ria di jalan-jalan
Kota Tumapel, aku harus berada di dalam tungku yang panasnya bukan
main.”
“Ah,” desah Ken Arok, “jangan mengeluh
saja. Kau harus memberi contoh kepada prajurit-prajuritmu, bahwa mereka
harus tahan menghadapi keadaan.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Kemudian
ia berpaling memandangi prajurit-prajurit yang duduk
bergerombol-bergerombol di antara gubug-gubug yang bertebaran. Beberapa
orang pengawal yang datang bersamanya masih saja berdiri di belakangnya.
“Mereka pun sebenarnya tidak senang terdampar di padang kering ini.”
“Mungkin,” sahut Ken Arok, “tetapi kau
dan aku harus menumbuhkan kegairahan kerja. Jangan mengendorkan nafsu
bekerja mereka. Beberapa hari lagi kau dan prajuritmu akan dapat
menyesuaikan dirinya dengan udara padang yang kering ini. Dan kau
seharusnya tidak mengeluh lagi.”
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. “Di mana aku harus beristirahat.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sikap
Kebo Ijo tidak begitu menyenangkannya. Tetapi ia memanggil juga seorang
prajurit dan berkata kepadanya, “Bawalah tamu-tamumu ini ke tempat yang
sudah disediakan.”
“He,” potong Kebo Ijo, “kau sangka aku di
sini sekadar menjadi tamumu? Tidak, aku di sini menjadi tawananmu yang
mulai besok atau lusa harus bekerja berat di atas api neraka.”
Ken Arok tersenyum, tetapi ia tidak
menyahut. Prajurit yang dipanggilnya segera membawa Kebo Ijo dan para
pengawalnya ke tempat yang memang sudah disediakan. Beberapa buah gubug
kecil dengan sehelai tikar pandan yang masih baru.
“Ah,” sekali lagi Kebo Ijo berdesah, “macam inikah tempat yang diperuntukkan bagi kami?”
“Semuanya hanya seperti ini,” sahut prajurit itu.
“Bagaimana dengan Ken Arok?”
“Tak ada bedanya, bahkan tikar yang dipakainya adalah tikar yang sudah usang.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya.
Dipandanginya prajurit itu dengan pandangan yang aneh, sehingga prajurit
itu menundukkan kepalanya.
“Apa kau bilang?” desis Kebo Ijo, “Ken Arok justru memakai tikar yang usang?”
“Ya,” sahut prajurit itu.
“Bodoh, bodoh sekali,” gumam Kebo Ijo,
“sebagai pimpinan ia berhak memilih. Bukan hanya sekadar soal tikar,
tetapi soal apa pun juga.”
Mata Kebo Ijo terbelalak ketika ia
mendengar prajurit itu menjawab, “Ya, memang ia berhak untuk memilih
dalam hal apa pun. Tetapi itu tidak pernah dilakukannya. Ia tidak pernah
memilih. Yang selalu dipakainya adalah yang tersisa setelah para
prajuritnya memilih lebih dahulu.”
“Huh,” geram Kebo Ijo, “ia telah
menghilangkan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Salahnyalah kalau
bawahannya kelak tidak lagi menghormatinya dan tidak mematuhinya.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak berani menjawab. Namun dengan demikian maka ia mendapat
kesan bahwa pemimpinnya yang baru ini agak berbeda sifat dan tabiatnya
dengan pemimpinnya yang lama, Ken Arok.
Bagi prajurit itu, sikap Ken Arok sama
sekali tidak merendahkan dirinya atau menghilangkan kewibawaannya.
Tetapi justru para prajurit menjadi segan dan hormat kepadanya, tanpa
membuat garis pemisah antara pemimpin dan yang dipimpin. Keakraban di
antara mereka telah mendorong mereka untuk berbuat banyak dengan penuh
kerelaan. Bukan sekadar memenuhi kewajiban sebagai bawahan yang harus
patuh terhadap atasan. Tetapi ada dorongan dari dalam diri sendiri untuk
bekerja keras bersama-sama dengan penuh keikhlasan.
“Agaknya tidak demikian dengan pemimpin
yang baru ini,” desah prajurit itu di dalam hatinya, kemudian, “tetapi
ia hanya sekadar membantu Ken Arok. Segalanya masih tetap ada di dalam
tanggung jawab pemimpin yang lama itu.”
Kebo Ijo itu pun kemudian masuk ke dalam
gubug kecil yang diperuntukkannya sendiri. Di sampingnya adalah gubug
yang agak besar yang diperuntukkan bagi para prajurit yang mengawalnya
pada saat ia datang ke Padang Karautan. Namun agaknya Kebo Ijo sama
sekali kurang puas terhadap keadaan ini. Gubug ini terlampau jelek. Tak
ada apa-apa di dalamnya selain sebuah gendi air, sebuah tikar, dan sebuah bancik lampu yang dipergunakan di malam hari.
“Di mana aku harus meletakkan ganti pakaianku?” tiba-tiba Kebo Ijo itu berteriak.
Prajurit yang mengantarnya masih berdiri di luar gubug itu. Ketika ia mendengar Kebo Ijo berteriak, maka segera ia mendekatinya.
“Di mana aku harus menyimpan pakaianku? Apakah di sini tidak ada glodok, atau paga, atau apa pun?”
Prajurit itu menggeleng, “Tidak.”
“Apa yang diperbuat Ken Arok dengan pakaiannya?”
“Dibungkus, dan diletakkan di samping pembaringannya.”
“Ah,” Kebo Ijo berdesah, “malas sekali. Di sini ada bambu, ada tenaga, ada tali. Kenapa tidak disuruhnya membuat paga atau apa pun?”
Prajurit itu tidak menjawab.
“Yang pertama-tama dilakukan oleh prajurit-prajuritku adalah membuat paga.”
Kebo Ijo itupun kemudian tergesa-gesa
keluar dari gubugnya dan pergi mendapatkan sekelompok prajurit yang
sedang makan sambil berbicara seenaknya. Mereka tertawa sepuas-puasnya.
Seorang dari mereka yang cukup jenaka, ternyata baru berceritera tentang
pengalaman mereka yang lucu.
Suara tertawa itu terputus ketika mereka
mendengar Kebo Ijo yang tiba-tiba saja berada di samping mereka,
berteriak, “Berhenti. Apa yang kalian lakukan selama tiga hari di sini
mendahului aku? Kalian tidak dapat mempersiapkan tempat untukku dengan
baik. Sekarang buatlah sebuah paga untukku. Lihat di sana ada setumpuk bambu. Cepat. Hari ini paga itu harus sudah siap untuk tempat pakaianku.”
Para prajurit itu terkejut. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun terdengar suara Kebo Ijo, “Cepat. Lakukan perintahku.”
Tetapi para prajurit itu masih saja duduk
keheranan. Dipandanginya wajah Kebo Ijo yang tegang. Dan sekali lagi
mereka mendengar Kebo Ijo berteriak, “Cepat. Ayo lakukan perintahku.
Membuat sebuah paga untukku. Jumlah kalian telah cukup banyak
untuk melakukannya. Kalian tidak perlu mencari orang lain lagi. Coba
berapa orang yang bergerombolan disini. Sebelas, ah, malahan dua belas
orang.”
Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kami harus membuatnya sekarang?”
“Oh, ternyata kau tuli. Aku sudah bilang, selesaikan paga itu hari ini juga.”
“Tetapi kami bukan prajurit-prajurit yang baru datang tiga hari yang lalu. Kami telah lama berada di Padang Karautan ini.”
“Aku tidak peduli. Lakukan perintahku.
Aku adalah orang kedua sesudah Ken Arok di sini. Semua harus tunduk pada
perintahku. Baik ia baru datang tiga hari yang lalu, maupun sudah lama
berada di sini.”
Sekali lagi prajurit-prajurit itu saling
berpandangan. Tetapi satu-dua dari mereka telah berdiri, meskipun sambil
bersungut-sungut di dalam hati. Hari ini mereka sebenarnya masih
diizinkan untuk beristirahat. Tetapi ketika mereka mulai melangkah, maka
langkah itu pun terhenti. Mereka melihat Ken Arok berjalan
mendatanginya. Dengan nada datar ia bertanya, “Ada apa dengan kalian?”
“Aku memerintahkan kepada mereka untuk membuat sebuah paga,” sahut Kebo Ijo.
“O,” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, “kau perlu sekali dengan paga itu?”
“Ya, aku harus meletakkan pakaianku. Di dalam gubugku sama sekali tidak ada tempat yang pantas.”
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Para
prajurit itu sebenarnya masih harus menikmati masa istirahatnya untuk
menyambut hari-hari gembira. Tetapi ia tidak dapat menolak perintah
Kebo Ijo meskipun ia berwenang. Dengan demikian maka ia akan membuat
anak muda itu malu dan seterusnya mengurangi kepatuhan para prajurit
terhadapnya. Dalam keadaan yang demikian, maka Kebo Ijo pasti akan
berusaha untuk menebus kewibawaannya dengan perbuatan yang aneh-aneh
yang barangkali terlampau keras.
Sejenak Ken Arok berdiri saja dengan
penuh kebimbangan. Apakah sebaiknya yang pantas dilakukan. Ia harus
cukup bijaksana sehingga persoalan itu dapat dipecahkannya tanpa membuat
pihak-pihak yang bersangkutan menjadi kecewa.
Tetapi belum lagi Ken Arok mendapatkan
cara yang dianggapnya baik, maka sekali lagi ia mendengar Kebo Ijo
membentak, “Ayo, cepat. Apalagi yang kau tunggu? Aku memerlukan paga itu segera.”
Seperti digerakkan oleh sebuah tenaga,
maka para prajurit itupun bersama-sama berpaling memandangi Ken Arok
seakan minta pertimbangan kepadanya, apakah saat-saat yang terasa sangat
menggembirakan itu harus segera diputuskan hanya karena sebuah paga.
Ken Arok merasakan betapa tatapan mata
para prajuritnya itu bertanya kepadanya, dan lebih daripada itu menunggu
keputusannya. Namun sekali lagi hatinya tersentuh pula oleh
kewajibannya untuk mempertahankan kewibawaan Kebo Ijo. Kalau ia
membatalkan perintah itu berdasarkan wewenangnya, maka hal yang serupa
akan menjadi kebiasaan para prajurit itu.
Karena itu maka Ken Arok kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, baiklah. Lakukanlah perintah itu.”
Alangkah kecewanya hati para prajurit
itu. Tanpa mereka sengaja mereka menebarkan pandangan mereka ke arah
kelompok-kelompok yang lain yang masih dengan gembira menikmati
masa-masa istirahat mereka. Perasaan yang selama ini tidak pernah tumbuh
di dalam dada mereka, terasa kini mulai menjamah hati mereka. Iri.
Mereka merasa iri bahwa kawan-kawan mereka itu masih dapat duduk sambil
bergurau dan menikmati makanan yang melimpah-limpah. Tetapi mereka
sekelompok yang hanya kebetulan saja duduk di dekat gubug Kebo Ijo,
tiba-tiba saja telah mendapat pekerjaan yang menjemukan.
Membuat paga. Seandainya hari itu juga mereka harus melanjutkan kerja mereka bersama-sama, maka mereka tidak akan merasa malas seperti itu.
Tetapi Ken Arok telah membenarkan
perintah Kebo Ijo, sehingga karena itu maka mereka terpaksa juga
melangkahkan kaki-kaki mereka yang serasa menjadi terlampau berat, ke
arah setumpuk bambu di sebelah perkemahan itu.
Tetapi sekali lagi mereka tertegun ketika mereka mendengar Ken Arok berkata, “He, apakah tidak ada yang kalian lupakan?”
Salah seorang dari mereka bertanya, ” Apakah yang tertinggal?”
“Tidak ada seorang pun diantara kalian yang membawa alat untuk memotong, memecah, dan meraut bambu.”
“Oh,” para prajurit itu pun kemudian berdesah.
“Ambillah,” berkata salah seorang di antara mereka kepada prajurit yang paling muda.
Dengan malasnya prajurit muda itu
berjalan ke dalam gubug tempat menyimpan segala macam alat-alat.
Langkahnya satu-satu seperti anak itu sedang kelaparan.
“He, inikah cara kalian bekerja,” bentak
Kebo Ijo, “langkahmu seperti cacing kelaparan. Kau sama sekali tidak
mencerminkan sikap seorang prajurit Tumapel yang perkasa.”
Prajurit itu tcrkejut. Kemudian dengan
tergesa-gesa ia melangkah mengambil segala macam alat yang mereka
perlukan. Ketika ia berlari-lari kembali, maka didukungnya berbagai
macam pisau dan kelewang.
“Cepat, lakukan perintahku,” teriak Kebo Ijo sambil bertolak pinggang.
Sikapnya telah menumbuhkan kesan yang kurang menyenangkan bagi para prajurit Tumapel yang berada di Padang Karautan itu.
Namun ketika mereka sedang melangkah
beberapa langkah lagi, mereka mendengar Ken Arok berkata pula, “He,
kalian masih juga kelupaan sesuatu.”
“Apa lagi?” bertanya salah seorang dari
mereka. Ken Arok tcrsenyum ketika ia mendengar Kebo Ijo menggeram.
Agaknya Kebo Ijo menjadi jengkel juga terhadap Ken Arok yang seolah-olah
sengaja menghambat para prajurit itu.
“Itu,” Ken Arok menjawab sambil menunjuk
makanan yang masih berserakan, “kalian boleh membawa makanan itu, supaya
kalian dapat bekerja dengan tenang. Hari ini adalah hal yang sangat
khusus. Di hari-hari di mana kalian bekerja, maka aku akan mengambil
tindakan apabila aku melihat salah seorang dari kalian ternyata membawa
makanan. Tetapi di hari istirahat ini pekerjaan kalian adalah makan,
sedangkan pekerjaan yang lain itu adalah pekerjaan sambilan. Tetapi
ingat. Hari ini paga itu harus sudah siap. Tetapi itu bukan
berarti bahwa kalian harus bekerja dengan wajah berduka. Tidak ada
larangan buat tertawa. Asal tertawa itu tidak memperlambat pekerjaan
kalian.”
Para prajurit itu sejenak tertegun diam.
Namun tiba-tiba mereka itu tersenyum. Bahkan prajurit yang paling muda,
yang dengan malasnya telah mengambil alat-alat mereka, kini dengan
sigapnya meloncat dan memungut beberapa macam makanan yang disukainya.
“Bawa semuanya. Serahkan alat-alat itu kepada orang lain.”
Perintah ini pun dilakukannya dengan cepatnya. Jauh lebih cepat daripada saat ia berlari-lari ke tempat simpanan alat-alat.
“Nah, cepat. Sekarang pergi ke timbunan bambu, secepat kalian mengambil makanan itu.”
Para prajurit itu tidak dapat menahan
tawa mereka. Tetapi sikap mereka pun kini segera berubah. Dengan
lincahnya mereka melangkah ke arah setumpuk bambu. Dan kemudian dengan
cepat pula mereka mengerjakannya. Membuat sebuah paga. Namun
tangan mereka tidak henti-hentinya menyuapi mulut mereka. Ada satu-dua
di antara mereka yang memecah bambu sambil berdendang. Ada yang meraut
belahan bambu sambil berkelakar.
Sesaat Kebo Ijo dan Ken Arok masih
memandangi mereka dari kejauhan. Mereka melihat para prajurit itu
bekerja dengan cekatan. Meskipun pekerjaan itu bukan pekerjaan mereka,
tetapi ada di antara mereka yang memang cukup cakap untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan dari bambu.
Beberapa orang prajurit yang lain, yang
juga duduk di dalam kelompok-kelompok, akhirnya melihat juga
kawan-kawannya yang sibuk membuat paga. Beberapa dari antara mereka mendatangi para prajurit yang sedang bekerja itu sambil bertanya, “Apakah yang kalian lakukan?”
Salah seorang dari mereka menjawab, “Membuat paga.”
“Buat apa?”
“Tempat pakaian.”
“He,” prajurit yang bertanya itu
membelalakkan matanya, “baru sekarang kau berpikir untuk membuat tempat
pakaian? Agaknya kau menunggu pakaianmu menjadi kumal, baru kau buat
rak-rakan untuk menyimpannya.”
“Hus,” desis prajurit yang sedang bekerja
itu, “bukan untuk kami sendiri. Tetapi kami membuat untuk pemimpin kami
yang seorang itu, yang akan membantu Ken Arok memimpin kami. Kebo Ijo.”
“O,” prajurit itu tiba-tiba menutup
mulutnya. Ketika ia berpaling, ia masih melihat Kebo Ijo berdiri
bertolak pinggang di tempat yang agak jauh.
“Ia pasti tidak mendengar,” desis prajurit itu pula.
“Tetapi sikapmu pasti membuatnya marah. Orang itu agaknya pemarah dan keras.”
“Oh,” tiba-tiba prajurit itu pun
berjongkok pula di antara mereka yang sedang bekerja, “aku akan ikut
membantu kalian. Apakah kalian tidak menghabiskan hari istirahat ini,
dan membuat paga ini besok.”
“Paga ini harus jadi hari ini juga.”
“Bukan main.”
Beberapa orang prajurit yang semula hanya berdiri saja melihat-lihat satu demi satu ikut pula berjongkok dan membantu membuat paga itu. Ada yang membantu meraut bambu-bambu yang telah dibelah, ada yang mengerat dan membuat lubang-lubang purus. Ada yang membuat tali dan ada yang mulai nglanji potongan-potongan bambu itu.
Di kejauhan Ken Arok yang masih berdiri
di samping Kebo Ijo berkata, “Lihat, pekerjaan itu akan cepat selesai.
Yang turut bekerja menjadi semakin banyak. Kini telah lebih dari
duapuluh lima orang berjongkok di sana meskipun sebagian dari mereka
hanya duduk-duduk sambil berbicara. Tetapi suasananya menjadi lebih
jernih.”
“Kau terlalu memanjakan
prajurit-prajuritmu,” sahut Kebo Ijo, ”sebenarnya kau tidak perlu
terlampau bermanis-manis. Sejak aku datang, aku sudah melihat
kelemahanmu. Apalagi ketika prajurit yang mengantarkan aku berkata serba
sedikit tentang kau. Katanya, kau selalu mengalah terhadap
prajurit-prajuritmu. Untuk segala hal kau lebih senang mempergunakan
sisa dari prajurit-prajuritmu. Seharusnya kau tidak berbuat demikian.
Dan aku tidak akan berbuat demikian. Aku akan bersikap seperti sikap
seorang perwira, sebenarnya perwira. Aku tidak akan terlampau lunak dan
memanjakan prajurit-prajuritku. Supaya mereka tahu bagaimana mereka
harus bersikap terhadap atasannya.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia
menjawab, “Bagiku sikap yang berlebih-lebihan itu tidak perlu. Aku
ingin mengendalikan mereka sebaik-baiknya. Tidak dengan kekerasan
seperti yang kau bayangkan. Lihat, bukankah pekerjaan itu selesai juga
dengan caraku. Dan para prajurit itu tidak merasa tersinggung dan
terganggu.”
“Tetapi setiap kali kita harus bermanis-manis. Setiap kali kita harus berpura-pura meskipun sebenarnya dada kita bengkah
karena kemarahan atas sikap mereka yang memuakkan, kita harus
tersenyum-senyum dan tertawa-tawa. Coba lihat prajurit-prajuritmu yang
telah lama berada di Padang Karautan ini. Mereka terlampau malas seperti
cacing kelaparan. Tetapi kalau mereka mendapat makanan, maka mereka
berebutan seperti serigala.”
“Ah,” Ken Arok semakin tidak senang
mendengar kata-kata Kebo Ijo. Ia tahu sifat dan watak anak muda itu.
Meskipun perkenalannya dengan adik seperguruan Witantra ini belum
terlampau akrab, tetapi ia sudah membayangkan, alangkah jauh sifat dan
wataknya dari kakak seperguruannya itu.
“Lihat,” berkata Kebo Ijo, “kau akan melihat perbedaan sikap mereka setelah aku berada di sini.”
“Aku tidak menghendaki,” sahut Ken Arok, “aku menghendaki suasana di padang rumput Karautan ini tetap seperti semula.”
Kebo Ijo terkejut mendengar jawaban Ken
Arok sehingga ia berpaling. Tetapi dilihatnya Ken Arok masih tetap
berdiri dengan tenangnya memandangi orang-orang yang sedang bekerja
membuat paga untuk Kebo Ijo itu.
“Kau akan tetap memelihara prajurit-prajuritmu menjadi pemalas,” bertanya Kebo Ijo.
“Kau belum pernah melihat mereka bekerja di bendungan.”
“Di bendungan?:
“Ya, di bendungan dan sendang buatan itu.”
“O, jadi prajurit-prajuritmu juga kau pekerjakan di bendungan itu.”
“Ya.”
“Itu pun tidak akan aku lakukan. Prajurit-prajurit dari Tumapel hanya boleh bekerja di sendang
buatan. Bendungan itu adalah tugas orang-orang Panawijen. Kalau semua
kau kerjakan, lalu apakah kerja orang-orang Panawijen? Tidur dan
menghabiskan bekal makanan kita?”
“Seharusnya kau tidak mengucapkan kata-kata itu,” sahut Ken Arok, “kau harus melihat dulu. Baru kau menilai apa yang kau lihat.”
“Aku sudah melihat cara mereka bekerja. Dan aku sudah dapat menilai. Juga tentang orang-orang Panawijen ini.”
“Kalau bendungan itu tidak siap, dari mana sendang itu akan mendapat air?”
Kebo Ijo terdiam sejenak. Tampaklah
wajahnya berkerut-merut. Lalu katanya, “Ya, barangkali begitu, tetapi
baik terhadap orang-orang Panawijen dan kepada para prajurit, kita harus
bersikap keras. Kita jangan membuat kebiasaan jelek antara bawahan dan
atasannya.”
“Apakah aku juga harus bersikap demikian
terhadapmu?” pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Kebo Ijo sehingga
dadanya serasa berdentang.
Sejenak prajurit muda itu justru
terbungkam. Tetapi matanya seolah-olah hendak menyala. Wajahnya yang
tegang menjadi kemerah-merahan seperti bara.
Dengan nafas yang seakan-akan menyumbat kerongkongan ia bertanya, “Apakah maksudmu?”
Tetapi Ken Arok masih tetap tenang. Ia masih saja memandangi orang yang bekerja membuat paga
bagi Kebo Ijo. Dengan nada datar ia berkata, “Kau ingin aku bersikap
keras tehadap bawahanku. Kalau kau tidak sependapat dengan aku, maka
apakah kau juga bermaksud supaya aku memaksamu.”
Dada Kebo Ijo kini benar berdentangan. Ia
tidak menyangka bahwa Ken Arok akan bersikap demikian terhadapnya.
Selama ini ia menganggap bahwa Ken Arok adalah seorang pelayan dalam
yang tidak begitu penting. Adalah kebetulan saja bahwa ia mendapat tugas
di Padang Karautan. Seperti biasanya Akuwu kadang-kadang tidak
terlampau panjang berpikir tentang sesuatu masalah yang tidak
dianggapnya penting. Misalnya tentang pembuatan sendang dan
taman di Padang Karautan, sehingga ia menunjuk saja orang yang terdekat
pada saat keinginannya itu tumbuh. Agaknya saat itu Ken Arok lah yang
lagi menghadapnya, sehingga anak itulah yang diserahi untuk melakukan
tugas itu. Kebo Ijo tidak pernah berpikir bahwa Akuwu Tunggul Ametung
pernah menyaksikan sendiri, bagaimana Ken Arok berkelahi melawan Mahisa
Agni ketika mereka sedang melarikan Ken Dedes, dan bagaimana anak muda
itu dengan sebuah gerakan yang sama sekali tak terduga-duga telah
membunuh seorang prajurit. Apa yang dilihat itu ternyata tetap teringat
oleh Akuwu Tunggul Ametung yang senang sekali melihat keperkasaan para
prajurit dan pelayan dalamnya. Dan karena keperkasaannya pulalah maka
Witantra berada di dekat Akuwu itu, dan dahulu juga Kuda Sempana. Karena
hal yang serupa pula maka Kebo Ijo tepat mendapat wisuda dan bahkan
kemudian diserahi untuk memimpin sejumlah prajurit menyusul Ken Arok di
Padang Karautan ini.
Tetapi kini tiba-tiba Kebo Ijo menghadapi
sikap pelayan dalam yang dianggapnya tidak penting itu, betapa
menyakitkan hatinya. Sehingga untuk sejenak justru mulutnya terbungkam
dan tubuhnya menjadi gemetar seperti kedinginan.
Selama itu Ken Arok hanya berdiam diri
saja. Ia masih saja memandangi orang-orangnya yang sedang bekerja.
Seolah-olah ia acuh tak acuh saja atas sikap Kebo Ijo yang menjadi
sangat marah kepadanya.
Sejenak kemudian maka terdengar Kebo Ijo menggeram, “Kau tidak akan dapat menakut-nakuti aku.”
“Aku tidak menakut-nakutimu. Aku hanya
ingin mendengar pendapatmu tentang dirimu sendiri. Aku kira kau pasti
tidak senang mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Terlampau keras
dan kasar, tanpa mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Tanpa
kesempatan untuk beristirahat dan tertawa.”
“Ternyata kau pengecut,” sahut Kebo Ijo
yang hampir tidak dapat mengendalikan kemarahannya, “kau tidak berani
mempertanggungjawabkan kata-katamu sendiri.”
“Kenapa?” bertanya Ken Arok masih dalam sikapnya.
“Aku kira kau juga hanya dapat
menakut-nakuti para prajurit itu sehingga kau tidak berani bertindak
keras terhadap mereka. Sedangkan apabila para prajurit itu berani
menentangmu, maka kau surut tidak hanya satu-dua langkah. Tetapi kau
surut sampai ke batas yang paling aman bagimu.”
Kini Ken Arok memalingkan kepalanya. Masih dalam nada yang datar ia bertanya, “Apakah maksudmu?”
“Kau pengecut,” Kebo Ijo mengulangi. “Kau
tidak berani memberikan perintah sebagai seorang pemimpin. Kau hanya
berani membujuk mereka dengan kemanjaan yang berlebih-lebihan supaya
mereka tidak marah kepadamu.”
“Kau yakin begitu?” bertanya Ken Arok.
“Aku yakin,” jawab Kebo Ijo, “sekarang
kau mencoba menakut-nakuti aku. Tetapi kau tidak berani
mempertanggungjawabkan. Dengan licik kau memutarbalikkan arti
kata-katamu.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sedangkan
Kebo Ijo berbicara terus, “Apalagi kau sama sekali tidak berhak berbuat
apa pun juga atasku. Aku mendapat perintah langsung dari Tuanku Akuwu.”
“Bagaimana bunyi perintah itu?”
Kebo Ijo terdiam sejenak. Tetapi kamudian
ia menjawab, “Aku mendapat perintah untuk membantumu. Hanya membantu.
Dan itu tidak berarti bahwa aku berada di bawah perintahmu.”
“Kau berada di bawah perintahku,” sahut Ken Arok tegas.
Sekali lagi Kebo Ijo terdiam. Sekali lagi darahnya serasa mendidih dan wajahnya merah membara.
Namun selama itu ternyata Ken Arok telah
mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu atas anak yang agaknya keras
kepala ini. Ia harus menunjukkan kewibawaannya atasnya menurut cara yang
diingini oleh Kebo Ijo sendiri. Selama ia belum berbuat sesuatu, maka
Kebo Ijo pasti masih akan merupakan penghalang bagi setiap rencana dan
pelaksanaannya sesuai dengan cara yang selama ini telah ditempuhnya
dengan hasil yang cukup baik. Ia tidak senang sama sekali apabila Kebo
Ijo tiba-tiba saja telah mengubah suasana yang baik di dalam kerja yang
berat ini. Karena itu, maka ia akan berbuat sesuai dengan keinginan Kebo
Ijo sendiri.
Sejenak kemudian terdengar Kebo Ijo itu menggeram.
“Kau akan membuktikan bahwa kau bukan seorang pengecut?”
“Bukan itu soalnya. Tetapi sesuai dengan
pendapatmu sendiri, aku akan berbuat sesuatu atasmu apabila kau tidak
tunduk akan perintahku.”
“Apa yang akan kau lakukan?” suara Ilebo Ijo gemetar.
“Memaksamu.”
“Oh,” tiba-tiba Kebo Ijo menyingsingkan
kain panjangnya dan menyangkutkannya pada ikat pinggangnya yang lebar
dan terbuat dari kulit ular, “itukah keinginanmu?”
Tetapi Ken Arok masih tetap berdiam diri.
Bahkan kini ia telah memandangi para prajurit yang bekerja itu lagi,
seolah-olah ia tidak tanggap apa yang dilakukan oleh Kebo Ijo.
“He,” berkata Kebo Ijo itu lantang, “ayo, apakah yang kau kehendaki?”
Ken Arok berpaling. Bahkan ia bertanya, “Apa yang sedang kau lakukan?”
Mata Kebo Ijo terbelalak karenanya.
Jawabnya, “Bukankah kau akan mencoba memaksakan pendirianmu kepada Kebo
Ijo yang kau sangka akan bertekuk-lutut dan menyembah kepadamu. Ayo,
lakukan kalau kau ingin memaksa aku.”
“Ya, aku memang ingin memaksamu. Jadi kau harus tunduk kepada perintahku. Itu saja.”
“Aku tidak mau.”
“Bagaimana kalau prajuritmu berbuat seperti kau. Tidak mau tunduk kepadamu.”
Kemarahan Kebo Ijo ternyata telah
membakar kepalanya sehingga hampir-hampir tidak terkendali. Bahkan
tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk menunjukkan kepada Ken Arok,
bahwa ia memang tidak dapat ditakut-takuti atau diancam dengan cara apa
pun. Ia akan tetap pada pendiriannya.
“Kalau prajuritku tidak tunduk kepadaku, aku pukul ia sampai pingsan.”
“Bagaimana kalau ia melawan?”
“Aku ikat dan aku seret di belakang punggung kuda. Nah, bukankah kau akan melakukannya atasku yang kau anggap bawahanmu?”
“Bagiku tidak perlu. Aku dapat melaporkan
hal itu kepada atasanku. Bukankah kau sekarang prajurit pengawal
istana? Bukankah menurut susunan keprajuritan, kau termasuk dalam
lingkungan kekuasaan kakak seperguruanmu, Witantra?”
“Itulah sebabnya kau tidak berhak memerintah aku.”
“Tetapi pimpinan di sini adalah aku. Aku
dapat melaporkan apa yang terjadi atasmu. Kepada kakang Witantra dan
bahkan mungkin langsung kepada Akuwu Tunggul Ametung.”
“Setan alas,” Kebo Ijo menggeram, “kau
memang pengecut. Kau tidak berani bertindak dengan kekuatanmu sendiri.
Kau akan menyalahgunakan kekuasaan yang ada padamu.
“Itulah yang sebaik-baiknya. Aku tidak
ingin bertindak sendiri. Aku tidak ingin memutuskan hukuman yang memang
bukan wewenangku. Dan aku tidak ingin berbuat sewenang-wenang.”
“Aku sangka bahwa kau adalah seorang laki-laki. Ternyata kau lebih dari betina pengecut yang sama sekali tidak berarti.”
Ken Arok kini mengerutkan keningnya. Wajahnya menegang, tetapi ia masih tetap berusaha untuk tidak bertindak tergesa-gesa.
“Kau baru saja datang di Padang Karautan.
Jangan membuat persoalan. Kau seorang prajurit yang tahu kewajiban
seorang prajurit. Kalau kau melakukan perintahku, maka itu sudah cukup.
Kau tidak perlu berbuat aneh-aneh di sini. Sekarang beristirahatlah.
Besok kau akan mulai melakukan kewajibanmu. Tetapi ingat, akulah
pemimpin di sini.”
“Aku tidak peduli,” jawab Kebo Ijo yang
benar-benar sudah tenggelam dalam kemarahannya, “aku tidak mau tunduk
kepadamu. Bahkan aku ingin membuktikan bahwa kau benar-benar seorang
pengecut.”
“Bagaimana kau akan membuktikan?”
“Aku mengharap kau berani bertindak atas
wewenang yang menurut perasaanmu telah kau terima. Ayo, kau harus
memaksa aku. Kalau perlu dengan kekerasan. Sesudah itu terserah
kepadamu, apakah kau akan melaporkannya kepada kakang Witantra atau
kepada Akuwu Tunggul Ametung. Aku tidak berkeberatan untuk digantung
seandainya aku dianggap bersalah menentang sikapmu yang cengeng terhadap
anak buahmu?”
“Maksudmu kau ingin berkelahi?”
Dada Kebo Ijo tergetar. Meskipun
maksudnya memang demikian tetapi keterus-terangan itu telah menghentak
jantungnya. Namun akhirnya ia menjawab, “Ya, aku ingin berkelahi.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Iapun ingin berbuat demikian. Tetapi ia tidak mau dihanyutkan oleh
kemarahannya saja. Ia harus tetap menyadari apa yang akan dilakukannya,
supaya ia tidak terlepas dari pengendalian diri. Maka katanya kemudian,
“Apakah kau sudah berpikir masak-masak?”
“Seribu kali kuulangi. Aku tetap dalam
pendirianku. Aku ingin melihat apakah orang yang ditempatkan di Padang
Karautan ini sudah tepat.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah kalau kau memang ingin berbuat demikian.”
“Bagus,” hampir berteriak Kebo Ijo
menyahut. Tetapi ia masih melihat Ken Arok berdiri saja dengan
tenangnya, meskipun wajahnya menjadi semakin tegang.
“Ayo bersiaplah.”
“Aku bukan seorang yang terlampau bodoh
untuk melakukannya sekarang. Para prajurit itu akan melihat kita
berkelahi. Mereka akan kehilangan kepercayaannya kepada pemimpinnya.”
Sekali lagi mata Kebo Ijo terbelalak. Dengan gagap ia bertanya, “Lalu, apakah maksudmu sebenarnya?”
“Aku memang tidak berkeberatan kita
mencoba untuk sekali-sekali berkelahi. Tetapi tidak di hadapan para
prajurit. Sungguh memalukan. Menang atau kalah, kita sudah kehilangan
kewibawaan atasnya. Selanjutnya akan memberikan contoh yang sama sekali
tidak baik atas mereka, dan mereka pun akan saling berkelahi satu sama
lain sebagai cara untuk menyelesaikan setiap persoalan.”
“Jadi, bagaimana?”
“Aku masih ingin memisahkan masalahnya.
Aku kira aku dapat menganggap bahwa persoalan ini adalah persoalan kita.
Katakanlah kita yang masih terlampau muda. Aku akan menarik garis
pemisah antara persoalan ini dengan kedudukan kita masing-masing. Aku
mengharap kau tidak akan dianggap bersalah. Tetapi kita harus bersikap
jantan. Siapa yang kalah harus mengakui kekalahannya.”
“Itu sama sekali tidak menarik. Kita
harus mempertaruhkan sesuatu untuk setiap kemenangan dan kekalahan.
Mungkin jabatan, mungkin kehormatan, di hadapan saksi-saksi.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Kebo Ijo adalah seorang yang terlampau yakin akan dirinya dan
justru keyakinannya itulah yang telah mendorongnya untuk bersombong
diri. Ia menyadari benar-benar kelebihan-kelebihan yang ada di dalam
dirinya, dan ia ingin melihat orang lain mengagumi kelebihannya itu.
Tetapi Ken Arok tidak ingin menanggapi
sikap yang demikian. Ia masih mementingkan kewajibannya sebagai seorang
pemimpin. Ia harus mempertahankan kepercayaan orang-orangnya dan
memelihara ketertiban sejauh mungkin tanpa menunjukkan kekuasaan dan
apalagi kekerasan terhadap bawahannya.
“Apa katamu sekarang?” bentak Kebo Ijo
ketika Ken Arok tidak segera menjawab, “Kita jadikan para prajurit itu
saksi. Siapakah di antara kita yang berhak untuk mendapat taruhan.”
“Sudah aku katakan,” sahut Ken Arok,
“perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang terlampau bodoh. Kita
tidak perlu saksi-saksi. Kita percaya kepada kejujuran dan kejantanan
diri. Ayo, apakah yang ingin kita pertaruhkan?
“Terserah kepadamu,” sahut Kebo Ijo.
“Kau yang menentukan.”
“Bagus. Kita pertaruhkan jabatan kita.
Kalau kau kalah, maka akulah yang memimpin prajurit-prajurit Tumapel di
sini. Kau harus tunduk kepada semua perintahku. Kau menjadi pembantuku
di sini meskipun Akuwu Tumapel tidak mengingininya.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Taruhannya cukup bernilai. Tetapi Ken Arok harus cukup sadar, bahwa ia
akan menghadapi perkembangan keadaan yang mungkin saja tidak
dikehendaki. Kebo Ijo yang terlampau membiarkan perasaannya berbicara
itu akan cepat kehilangan kesadaran dan perkelahian yang demikian akan
berkembang tak terkendali. Tetapi ia tidak dapat mencari seorang saksi
pun dalam perkelaihan itu. Satu orang sudah cukup banyak untuk
menyebarkan hal itu kepada seluruh prajurit di Padang Karautan dan
orang-orang Panawijen, dan bahkan seluruh prajurit Tumapel. Lalu apa
kata mereka tentang para pemimpin mereka. Para perwira yang bertengkar
satu sama lain, bahkan berkelahi.
“He,” Kebo Ijo membentak sekali lagi,
“kenapa kau diam saja? Apakah kau menjadi cemas, bahwa suatu ketika kau
akan mendapat perintah yang berlebih-lebihan daripadaku? Aku tidak
sekejam itu terhadap bawahanku yang tunduk kepadaku. Kau pun tidak akan
aku perlakukan terlampau keras seandainya kau tidak selalu menentang
keputusan-keputusan yang aku buat.”
“Hem,” Ken Arok menggelengkan kepalanya,
“Witantra pun tidak akan berbuat serupa kau ini meskipun ia kakak
seperguruanmu. Kau terlampau meyakini kelebihanmu. Mungkin akhir-akhir
ini kau mendapat banyak kemajuan. Tetapi jangan terlampau berbangga.”
“Jangan banyak berbicara,” potong Kebo
Ijo, “kita buktikan saja. Aku telah menemukan kekuatan di dalam diriku.
Kekuatan yang hampir tidak pernah dapat diungkapkan. Aku akan segera
melampaui kakang Witantra. Mungkin kakang Mahendra kini sudah tidak
dapat mengalahkan aku.”
Terasa sebuah gejolak melanda
dinding-dinding jantung Ken Arok. Ia pun masih cukup muda. Untunglah
bahwa ia menyadari dirinya. Dirinya yang baru saja bangkit dari
reruntuhan yang mengerikan dari watak dan sifat orang-orang tua yang
mengasuhnya. Untunglah bahwa ia menyadari bahwa kadang-kadang ia masih
juga dapat lupa diri dan berbuat kasar, sekasar pada saat-saat ia
berkeliaran di Padang Karautan. Tetapi kali ini ia cukup sadar. Cukup
berusaha untuk tidak kehilangan kesadaran itu.
(bersambung ke Jilid 31)
No comments:
Write comments