Sehingga, pada suatu hari Kebo Sindet
berkata kepada Kuda Sempana,, “Kami telah memiliki keadaan tubuh kami
seperti semula. Kami telah sehat kembali, seperti pada saat gurumu belum
melukai kami dengan curang. Sebentar lagi kami akan menjadi siap
melakukan pekerjaan yang kau percayakan kepada kami”.
Kuda Sempana masih saja diliputi oleh
kebimbangan dan bahkan kebingungan. Sesudah sekian hari ia berada di
dalam gubug itu, namun ia masih belum menemukan jalan yang
sebaik-baiknya ditempuh.
Kuda Sempana itu terkejut ketika Kebo
Sindet kemudian berkata,, “Aku tahu, bahwa kau masih tetap berprasangka
kepada kami. Perasaan itu tidak akan lenyap dari kepalamu selagi kami
belum dapat membuktikan perkataan kami. Tetapi, percayalah bahwa kami
akan melakukannya untuk beberapa keping emas murni”.
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba terloncat dari bibirnya,, “Paman, apabila aku masih tetap
berada di sini, aku tidak akan berhasil mendapatkan emas murni itu”.
“Bukankah kau sudah menyediakannya?”
“Belum berupa emas murni” sahut Kuda
Sempana, “aku masih harus berusaha mendapatkannya. Yang aku punya adalah
timang emas bertetes berlian. Pendok emas bermata intan dan
perhiasan-perhiasan yang lain. Tetapi bukan emas murni”.
Wajah Kebo Sindet yang beku masih tetap
membeku. Namun, tanpa diketahui oleh seorangpun, ia tersenyum di dalam
hati. Yang diucapkan kemudian adalah, “Barang-barang itu cukup berharga
bagi kami, kau tidak perlu bersusah payah menukarkannya dengan emas
murni”.
Kuda Sempana terdiam. Tetapi hatinya
bergolak. Barang-barang itu telah dikumpulkannya bertahun-tahun, sejak
ia mengabdikan dirinya di istana, bahkan menjadi kepercayaan Akuwu dalam
beberapa persoalan. Apakah barang-barang yang telah dikumpulkannya
bertahun-tahun itu akan dilepaskannya?
Kembali ia menyesali kebodohannya., “kenapa aku mengatakannya?”
Tetapi, penyesalan itu sama sekali sudah
tidak berarti. Ia tidak dapat menyesali kematian gurunya karena
kebodohannya pula. Karena nafsunya untuk membalas dendam, sehingga ia
telah kehilangan segenap pertimbangan yang bening.
“Tetapi, kenapa guru selama ini
membiarkan aku terdorong semakin jauh?” Kuda Sempana menarik nafas
dalam-dalam, “Guru juga ingin mendapatkan beberapa keping emas murni,
atau timang tretes berlian atau pendok emas bermata intan atau apapun
yang disenanginya”.
Kembali Kuda Sempana terkejut ketika Kebo
Sindet berkata, “Memang kepuasan amat mahal harganya. Tetapi, jangan
takut. Aku tidak serakus gurumu. Aku hanya akan menerima sebagian
menurut keikhlasanmu. Aku tidak akan menyebut, berapa banyak yang aku
kehendaki”.
Kuda Sempana menarik alisnya. Tetapi, ia
tidak percaya akan kata-kata itu. Namun, demikian ia menyawab, “Terima
kasih paman. Kapan paman memberi kesempatan kepadaku untuk mengambil
barang-barang itu?”
“Tidak terlampau tergesa-gesa” sahut Kebo Sindet, “Aku akan menerimanya setelah pekerjaanku selesai”.
Kembali Kuda Sempana terdiam. Dan kembali
ia harus memutar otaknya untuk memecahkan jalan keluar dari tempat yang
menyesakkan nafas ini.
Tetapi dari hari-kehari, keadaan Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat menjadi semakin baik. Dengan demikian maka
kemungkinan Kuda Sempana untuk melepaskan diri dari tangan kedua orang
itu menjadi semakin sempit.
Namun, bukan saja kesempatan Kuda Sempana
menjadi semakin sempit, tetapi karena nafsu Kuda Sempana untuk pergi
meninggalkan gubug itu pun menjadi kecil pula.
Setelah beberapa hari ia berada di gubug
itu, dirasakannya bahwa sikap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menjadi
semakin baik terhadapnya. Apalagi Kebo Sindet. Bahkan, setelah orang itu
menjadi sembuh sama sekali, Kuda Sempana sering dibawanya berburu di
lereng bukit gundul itu, di dalam hutan-hutan yang tidak begitu lebat
dan di padang-padang ilalang.
Kuda Sempana pun selalu berusaha untuk
tidak menumbuhkan kecurigaan kepada kedua orang itu. Semula anak muda
itu berhasil berpura-pura menerima tawaran Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
itu. Namun, kemudian batinya benar-benar terpengaruh oleh keadaan yang
dialaminya.
Bahkan, kemudian Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat itu pun bersedia memberinya sedikit ilmu. Ilmu yang dimiliki
oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Ilmu yang agak berbeda dengan ilmu
yang diterimanya dari gurunya Empu Sada. Namun, dengan pertolongan kedua
orang itu Kuda Sempana berhasil mencoba mencernakannya. Menyusun
jenis-jenis ilmu yang berbeda itu dalam tata gerak yang serasi, yang
dengan sendiri dapat menambah sedikit kemampuannya bertempur.
Hal inilah yang semula sama sekali tidak
diduganya. Ternyata kedua orang itu bersikap baik kepadanya, bahkan
terlalu baik. Lambat laun, maka Kuda Sempana itu hampir melupakan
gurunya sendiri dalam beberapa hari. Seakan-akan ia telah menemukan guru
yang baru.
Ketika kemudian, Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat telah benar-benar sembuh, dan telah memiliki kekuatannya
kembali seperti sedia kala, maka berkatalah Kebo Sindet kepada Kuda
Sempana, “Kuda Sempana. Kami, aku dan pamanmu Wong Sarimpat telah
berhasil menyembuhkan luka-luka di dalam tubuh kami. Sebaiknya kami
segera melakukan penangkapan itu. Menangkap Mahisa Agni”.
Dada Kuda Sempana terasa berdesir
mendengar rencana itu. Setelah sekian lama ia tinggal di dalam gubug
itu, maka nafsunya untuk melakukan pembalasan telah menjadi semakin
berkurang. Tetapi, ia tidak dapat menolaknya. Kehadirannya kemari adalah
karena dendam itu. Dan ia mencoba membakar kembali dadanya dengan
dendam yang hampir padam. Karena itu, maka dijawabnya, “Baik paman. Aku
bergembira bahwa paman akan melakukannya”.
“Semakin cepat semakin baik. Pamanmu Wong
Sarimpat telah beberapa kali melihat kerja Mahisa Agni bersama
kawan-kawannya di Padang Karautan. Dan kesempatan untuk mengambil Mahisa
Agni terlampau luas. Kalau gurumu mempunyai otak yang sedikit cerah,
maka ia tidak perlu terlampau bersusah payah. Anak itu selalu
mondar-mandir dari Padang Rumput Karautan ke Panawijen. Kesempatan itu
akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya”.
Kuda Sempana terkejut mendengarnya.
Sehingga dengan serta-merta terloncat pertanyaannya, “Apakah paman Wong
Sarimpat pernah datang ke Padang Karautan?”
“Tidak hanya satu dua kali” sahut Kebo Sindet, “pamanmu selalu datang melihat-lihat, meskipun dari jarak yang cukup jauh”.
“Kapan paman Wong Sarimpat pergi ke Padang Karautan?”
“Lusa, sepekan yang lalu dan sepuluh hari
yang lalu dan hari ini pula. Pamanmu adalah seorang penunggang kuda
yang baik. Kudanya pun baik pula, sehingga waktu yang diperlukan tidak
terlampau banyak. Senja ia berangkat, maka sebelum fajar di malam
berikutnya ia telah berada di tempat ini kembali. Hampir sehari ia
mempunyai waktu untuk melihat-lihat tempat itu. Pamanmu untuk menempuh
perjalanan tanpa memincingkan matanya sama sekali selama sepekan
terus-menerus. Apalagi hanya dua tiga malam”.
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam, “Bukan main” desisnya di dalam hati,, “dan apakah guru mampu berbuat demikian pula?”
“Tetapi” berkata Kebo Sindet pula, “kami
tidak akan pergi berdua saja. Sebaiknya kau ikut pula. Mungkin kami
masih memerlukan beberapa keterangan dari padamu”.
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Ia
mencoba berpikir, apakah sebabnya ia harus pergi pula bersama-sama
dengan mereka berdua. Tetapi, jawaban yang diketemukan adalah seperti
yang dengan terus terang telah dikatakan oleh Kebo Sindet, bahwa mungkin
kedua orang itu masih memerlukan beberapa keterangan dari padanya.
Karena itu maka jawabnya, “Baiklah paman. Apabila paman masih memerlukan
aku”.
Wajah Kebo Sindet yang beku itu masih
saja tetap membeku. Namun, kepalanya itu mengangguk-angguk. Dan
terdengar,, “Bagus, dengan bantuanmu, maka pekerjaan ini akan menjadi
semakin cepat. Aku tidak memerlukan waktu lebih dari sepekan untuk
menangkapnya. Sebab hampir setiap sepekan sekali Mahisa Agni pergi ke
Panawijen untuk mengambil beberapa keperluan bagi orang-orangnya bersama
beberapa kawan-kawannya. Kesempatan itu adalah kesempatan yang
sebaik-baiknya bagiku untuk mengambilnya. Mahisa Agni akan hilang dari
antara mereka. Bendungan itu akan gagal sebab orang-orang Panawijen
pasti akan kehilangan nafsu dan gairah untuk melanjutkannya. Bahkan
mereka pasti akan teringat kembali kepada bendungan yang lama, dan
mereka pasti akan mengutuk kenapa bendungan itu pecah. Orang-orang
Panawijen akan menjadi putus asa dan pergi berpencaran mencari hidup
mereka masing-masing. Nah, keadaan itulah yang harus dilihat oleh Mahisa
Agni. Karena itu ia harus tertangkap hidup. Orang itu harus disimpan di
tempat ini beberapa lama untuk merasakan kepahitan hidupnya. Mungkin ia
tidak memikirkan nasibnya sendiri, tetapi kegagalannya pasti akan
menyiksanya”.
“Menyiksa perasaannya, sedang kau akan
mendapat kesempatan untuk menyiksa tubuhnya. Bukankah kepahitan hidup
yang kau alami sekarang ini bersumber pada perbuatan Mahisa Agni itu
menurut katamu sendiri?”
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kata-kata Kebo Sindet itu memang dapat mengungkat kembali
dendamnya yang sudah menjadi hambar. Apalagi ia sendiri memang berusaha
untuk menyalakan dendam itu.
Bahkan kemudian seakan-akan terbayang
kembali apa yang pernah terjadi atas dirinya sejak ia menemui Ken Dedes
di bawah bendungan, ketika gadis itu sedang mencuci pakaian.
Kegagalannya yang pertama itu telah mendorongnya ke dalam
kegagalan-kegagalan yang terus menerus. Dan semuanya itu adalah karena
Mahisa Agni.
Tiba-tiba Kuda Sempana itu menggeretakkan
giginya. Di dalam hati ia menggeram,, “Aku tidak peduli apa yang kelak
akan terjadi. Atas diriku atau atas Mahisa Agni apabila ia telah
ditangkap oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang gila ini. Tetapi, aku
harus sempat melepaskan dendamku. Seandainya aku pun akan dibunuh oleh
kedua orang ini dan dimasukkan ke dalam goa itu, maka aku akan mati
dengan tenang, karena dendamku telah terlepaskan. Apalagi kalau benar
kata mereka, bahwa mereka hanya memerlukan beberapa macam perhiasan dari
padaku”.
Kuda Sempana itu pun kemudian tersenyum
di dalam hati. Ia tidak mau lagi mempersulit otaknya sendiri. Dijalani
hidup ini disaat ini. Apa yang akan terjadi besok adalah persoalan
besok. Kini ia harus menyiapkan diri bersama-sama menangkap Mahisa Agni.
Dan ia ingin melakukannya sebaik-baiknya, sehingga anak muda itu dapat
ditangkapnya. Disakiti tubuh dan perasaannya. Kemudian, ia tidak akan
mempedulikan lagi, apakah Mahisa Agni itu akan dibunuh dan dilemparkan
kebendungan yang sedang dibuatnya, atau seperti kata gurunya, bahwa
kedua orang itu akan mempergunakan Mahisa Agni untuk tujuan tertentu,
dan bahkan seandainya dirinya sendiri akan diperlakukan serupa itu pula.
Anak muda itu terseadar ketika ia
mendengar Kebo Sindet berkata, “Bagaimana Kuda Sempana, apakah kau sudah
siap apabila kita setiap saat berangkat?”
“Sudah paman. Sekarang pun aku sudah siap”.
“Bagus. Tetapi kita masih menunggu pamanmu Wong Sarimpat”.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Gumamnya, “Kapan pun aku sudah siap”.
Dalam pada itu, di Padang Karautan Mahisa
Agni berada diantara kawan-kawannya dan hampir semua laki-laki
Panawijen, bekerja memeras tenaga membuat bendungan yang akan dapat
memberi harapan bagi kelangsungan hidup mereka dan anak cucu mereka
dalam satu lingkungan. Apabila bendungan itu, siap maka mereka tidak
harus bercerai-berai mencari hidup masing-masing. Mereka masih akan
tetap berada dalam satu lingkungan yang telah berpuluh tahun mereka
jalani, sehingga mereka merasa bahwa setiap orang Panawijen adalah
keluarga mereka sendiri. Tidak ubahnya keluarga sesaluran darah.
Tetapi, kerja itu adalah kerja yang
terlampau berat. Bendungan dan saluran-saluran air. Apa yang mereka
kerjakan selama ini barulah sebagian kecil dari kerja mereka
keseluruhan. Mereka belum dapat membayangkan, kapankah kerja mereka itu
akan dapat selesai. Sebulan lagi, dua bulan, tiga bulan atau satu tahun?
Sementara itu sawah di Panawijen menjadi semakin kering dan kering.
Hampir tak ada jenis tanaman yang dapat ditanamnya lagi. Ubi kayu
menjadi semakin kurus dan jagung tidak dapat tumbuh melampaui tinggi
anak-anak yang baru dapat berdiri. Sedangkan setiap orang harus memeras
keringat di panas terik Padang Karautan. Mereka mulai bckerja sejak
matahari terbit dan mereka baru meletakkan ala-alat mereka apabila
matahari jauh turun di kaki langit. Namun, kerja itu seolah-olah hampir
tidak bertambah-tambah. Setiap hari mereka harus memecah batu-batu,
memasukkan ke dalam brunjung-brunjung bambu dan menimbunnya di dasar
sungai. Tetapi, brunjung-brunjung bambu yang berisi batu-batu itu
seolah-seolah lenyap saja ditelan pasir di dasar sungai itu.
Apalagi saluran-saluran yang mereka
rencanakan. Mereka sempat menanam patok-patok bambu dan tali-tali yang
harus mereka pancangkan untuk membuat garis-garis parit yang akan mereka
gali. Tetapi, selebihnya belum. Belum ada seratus langkah tanah yang
sudah sempat mereka cangkul. Tenaga mereka hampir seluruhnya dikerahkan
untuk memecah dan memasukkan batu-batu ke dalam brunjung dan
melemparkannya ke dasar sungai.
Beberapa orang telah menjadi cemas akan
persediaan lumbung-lumbung mereka. Lumbung-lumbung itu telah menjadi
semakin tipis. Tanaman palawijen agaknya terlampau sedikit. Sawah-sawah
mereka hanya dapat tertolong sementara ada hujan turun. Sesudah itu akan
kering kembali. Tetapi, hujan tidak juga kunjung-kunjung datang.
Namun, mereka pun tidak dapat mengharap
hujan segera datang. Dengan demikian air sungai akan bertambah besar dan
bendungan yang belum siap itu pun akan terancam bahaya.
Orang-orang tua mulai mencemaskan keadaan
itu. Baiklah, satu dua di antara mereka telah saling berbicara
sesamanya. Apabila malam yang kelam menyelubungi padang rumput yang luas
itu, maka mulailah terdengar satu dua orang mengeluh. Mengeluh karena
lelah, dan mengeluh karena harapan yang mereka pancangkan bersama
patok-patok bambu itu agaknya masih terlampau jauh.
Dari hari-kehari maka keluhan itu pun
menyalar semakin luas. Dari mulut orang-orang tua yang merasa bahwa
umurnya tidak akan lebih panyang dari kerja membuka tanah itu, merayap
kepada mereka yang lebih muda. Kepada mereka yang sudah setengah umur.
Kemudian merembet lagi kepada yang lebih muda pula. Kepada bapak-bapak
yang baru beranak satu dua orang. Akhirnya keluh kesah itu sampai pula
kepada anak-anak mudanya.
Tetapi, mereka masih juga bekerja disiang
hari. Mereka masih juga mulai sejak matahari terbit dan selesai
menjelang matahari bertengger di punggung bukit. Tetapi, dimalam hari
mereka tidak lagi berdendang dan bersenandung. Tidak lagi terdengar
suara seruling dan gelak tertawa. Dimalam hari mereka saling berbisik
diantara mereka. Punggung yang sakit, pundak yang luka dan kaki yang
bengkak.
Keluh kesah itu akhirnya terdengar oleh
Ki Buyut Panawijen. Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Kalau
orang-orangnya nanti menjadi jemu sebelum bendungan itu siap, maka
pekerjaan yang mengandung harapan itu akan terbengkalai seperti harapan
mereka yang akan terbengkalai juga. Ki Buyutlah orang yang akan menjadi
paling bersedih hati, di samping Mahisa Agni, apabila mereka terpaksa
berpisah bercerai berai mengungsikan hidup masing-masing ke
pedukuhan-pedukuhan yang masih dapat menerima mereka.
“Angger Mahisa Agni harus segera
msngetahuinya pula” berkata orang tua itu di dalam hatinya, “tetapi aku
harus berhati-hati mengatakan persoalan ini. Jangan sampai anak yang
baik itu tersinggung hatinya. Ia telah bekerja melampaui orang lain. Dan
karena itu, maka ia akan dapat menjadi sangat kecewa mendengar keluh
kesah ini”.
Tetapi, keluhan itu menyalar semakin lama
menjadi semakin luas. Dan Ki Buyut Panawijen menjadi semakin cemas.
Lebih baik ia sendiri menyampaikannya kepada Mahisa Agni dari pada anak
itu pada suatu ketika mendengar langsung dari orang-orangnya, sehingga
akan menimbulkan bekas yang dalam hatinya.
Maka ketika matahari telah terbenam, dan
ketika orang-orang Panawijen sudah beristirahat sambil memijat-mijat
kaki-kaki mereka yang lelah, maka Ki Buyut Panawijen berjalan di antara
mereka mencari Mahisa Agni.
“Apakah kau sudah tidur Ngger?” sapa Ki Buyut itu di depan gubug ilalang yang dipergunakan Mahisa Agni untuk berteduh dari embun di malam hari.
Mahisa Agni yang masih duduk-duduk di
dalam gubugnya itu terkejut. Dengan tergopoh-gopoh ia bangkit sambil
mempersilahkan orang tua itu, “Mari Ki Buyut. Marilah duduk di sini”.
“Ya, ya Ngger” sahut Ki Buyut.
Kemudian mereka pun duduk di atas sehelai
tikar yang dibentangkan di atas setumpuk rumput-rumput kering. Ki Buyut
Panawijen, Mahisa Agni dan paman Mahisa Agni yang masih saja berada di
Padang Karautan, Empu Gandring.
Setelah percakapan mereka
melingkar-lingkar dari satu soal ke soal lain, maka dengan dada
berdebar-debar Ki Buyut ingin menyampaikan keperluannya kepada Mahisa
Agni. Tetapi, ketika ia melihat wajah anak muda itu, maka hatinya
menjadi ragu. Wajah itu memancar penuh harapan bahwa suatu saat mereka
akan dapat berdiri di sisi sungai itu sambil memandangi bendungan mereka
yang telah dapat menaikkan air ke parit-parit yang memanjang membelah
padang yang kering. Mahisa Agni agaknya terlampau yakin bahwa kerjanya
akan berhasil.
Tetapi, kalau ia tidak menyampaikan
pendengarannya tentang keluh kesah yang semakin merata itu, maka apabila
Mahisa Agni mendengarnya kelak, apabila kejemuan itu benar-benar telah
mencengkam segenap orang-orang yang mengerjakan bendungan ini, alangkah
parahnya hati anak muda itu. Alangkah kecewanya. Seolah-olah rakyat
Panawijen sama sekali tidak mengenal terima kasih atas segala jerih
payahnya.
Setelah dipertimbangkannya masak-masak,
dan setelah dipikirkannya berulang kali, maka dengan ragu-ragu akhirnya
Ki Buyut itu pun berkata, “Angger bagaimanakah dengan bendungan kita?”
Mahisa Agni memandangi wajah Ki Buyut
Panawijen dengan sorot mata yang aneh. Pertanyaan Ki Buyut itu telah
mengherankan Mahisa Agni. Sehingga anak muda itu ganti bertanya,
“Bagaimana maksud Ki Buyut?”
“Ah” Ki Buyut menjadi semakin bimbang, “maksudku, apakah tidak ada kesulitan apa-apa?”
Mahisa Agni menjadi semakin heran,
jawabnya, “Seperti yang Ki Buyut saksikan, bukankah pembuatan bendungan
itu berjalan lancar? Bukankah orang-orang Panawijen telah berjuang
dengan sekuat-kuat tenaga mereka, tanpa menghiraukan panas, lelah dan
jemu?”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Jalan
yang sudah mulai dibukanya itu seolah-olah kini telah tertutup rapat
kembali. Apakah ia akan sampai hati mengatakan kepada Mahisa Agni, bahwa
orang-orang Panawijen itu kini telah mulai berkeluh-kesah.
Berkeluh-kesah tentang panas terik yang membakar punggung mereka,
tentang lelah yang menyalar kesegenap otot baju dan tentang kejemuan
yang mulai mcncengkam perasaan? Ki Buyut itu pun menjadi termangu-mangu.
Sehingga karena itu maka ia pun terdiam. Ia telah kehilangan cara yang
sebaik-baiknya dapat ditempuh.
Bahkan orang tua itu menjadi bingung
ketika Mahisa Agni kemudian berkata, “Ki Buyut, aku mengharap bahwa kita
akan dapat bekerja lebih keras lagi. Kita harus menyelesaikan bendungan
itu sebelum hujan turun di musim basah yang akan datang. Apabila
kemudian air naik, dan ternyata bendungan kita belum sempurna, sehingga
masih berbahaya apabila banjir sekali-kali datang, maka kita masih harus
bekerja lagi, menyempurnakan bendungan itu. Namun, setelah itu, kita
akan menikmati hasilnya. Padang itu akan menjadi tanah persawahan yang
subur dan seluas-luas kita kehendaki. Sawah kita akan tidak terbatas,
sebesar tenaga dapat kita berikan, seluas itu tanah yang kita garap”.
“Ya, ya” orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian mereka berdiam diri,
Empu Gandring duduk terkantuk-kantuk di sudut gubug itu sambil memeluk
lututnya. Seakan-akan ia sama sekali tidak mendengarkan percakapan
kemanakannya dengan Ki Buyut itu. Namun, sebenarnya ia mendengar
semuanya. Ia menangkap perasaan yang tidak wajar yang melontar dari
percakapan itu. Dari setiap kata-kata Ki Buyut Panawijen. Namun, Empu
Gandring itu tidak tahu, apakah yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Ki
Buyut kepada kemanakannya.
Ketika angin malam berhembus semakin
keras, terasa dingin semakin dalam menghunyam ke dalam kulit. Beberapa
orang telah membuat perapian dan tidur melingkarinya sambil berselimut
kain panjang. Di kejauhan terdengar suara burung hantu mengeluh seperti
orang yang kelelahan.
Ki Buyut Panawijen masih saja duduk tepekur.
Ia masih mengharap bahwa ia akan menemukan cara untuk menyampaikan maksudnya.
Tidak jauh dari gubug itu, tampak api
perapian menyala seperti melonyak-lonyak. Beberapa orang yang bertiduran
dis ekitarnya telah benar-benar menjadi lelap. Yang terdengar kemudian
adalah dengkur yang bersahut-sahutan.
Ki Buyut Panawijen masih saja berdiam
diri. Mahisa Agni pun seolah-olah terbungkam. Dan di kejauhan burung
hantu masih saja mengeluh terputus-putus.
“Alangkah sulitnya” desah Ki Buyut di dalam hatinya, “bagaimana aku dapat mulai?”
Namun, tiba-tiba perhatian mereka
terlempar ke arah dua orang yang berjalan perlahan-lahan ke gubug itu.
Agaknya yang seorang memapah yang lain.
Ki Buyut Panawijen, Mahisa Agni dan
bahkan Empu Gandring yang terkantuk-kantuk itu pun terkejut. Dengan
serta-merta mereka berdiri dan menyongsong kedua orang itu.
“Siapa?” bertanya Ki Buyut Panawijen.
“Aku, Ki Buyut”.
“Kenapa? Dan siapa kawanmu itu?”
“Bitung”.
“Kenapa dengan Bitung?”
“Tubuhnya tiba-tiba menjadi panas, tetapi ia menggigil seperti orang kedinginan”.
“Bawalah kemari” minta Mahisa Agni yang menjadi cemas.
Kedua orang itu pun kemudian memasuki
gubug Mahisa Agni. Bitung pun kemudian duduk bersandar kawannya. Namun,
ia masih juga menggigil seperti orang yang kedinginan. Ketika Mahisa
Agni dan Ki Buyut Panawijen meraba tubuhnya ternyata tubuh itu terasa
panas.
“Aneh” gumam Mahisa Agni.
“Ya aneh” sahut Ki Buyut Panawijen.
Tetapi, Empu Gandring yang lebih banyak
menyimpan pengalaman dari mereka berkata, “Tidak. Sama sekali tidak
aneh. Memang ada sejenis penyakit yang demikian”.
“Apakah sakit Bitung ini bukan karena hantu-hantu?” bertanya kawannya.
Ki Buyut Panawijen tidak dapat menyawab,
namun yang menyawab adalah Empu Gandring, “Tidak. Sama sekali tidak. Aku
telah sering melihat orang yang terserang penyakit yang demikian”.
Kawan Bitung itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku menjadi bingung ketika ia mulai menggigil.
Karena itu maka ia aku bawa kemari. Apakah sakit yang demikian ini dapat
diobati?”
“Tentu” Empu Gandring lah yang menyahut,
“besok usahakan daun kates grandel yang masih muda. Tumbuklah beserta
kulit batangnya, buahnya yang masih muda pula, bunganya dan akarnya.
Mudah-mudahan ia dapat sembuh. Taruhlah garam sedikit”.
“Tetapi, bagaimana dengan malam ini?”
“Biarlah ia tidur dan beristirahat”.
Kawan Bitung itu memandangi wajah Ki
Buyut dengan pandangan yang sayu. Bibirnya tampak bergerak-gerak
seakan-akan ia ingin mengucapkan sesuatu. Tetapi, tak sepatah kata pun
yang terloncat dari bibirnya. Namun, Ki Buyut Panawijen seakan-akan
dapat membaca kata hatinya. Seakan-akan Ki Buyut Panawijen mendengar
kawan Bitung itu berkata, “Siapakah yang bertanggung jawab, sandainya
yang terjadi sesuatu dengan kawanku ini? Apakah harus ada orang lain
yang mengalami penyakit serupa?”
Tetapi, Ki Buyut pun berdiam diri. Ia
kemudian mendengar orang itu berkata, “Baiklah. Besok aku mengharap
Bitung dapat diobati. Dan aku mengharap mudah-mudahan obat itu dapat
menyembuhkannya”.
“Batang Kates Grandel banyak terdapat di Panawijen” gumam Mahisa Agni.
“ya. Tetapi Bitung kini tidak berada di Panawijen” jawab kawannya.
“Tetapi, bukankah kita dapat mengambilnya?”
“Aku mengharap besok Bitung dapat
diobati” berkata kawannya itu seolah-olah tidak mendengar kata-kata
Mahisa Agni, “aku menunggu dan Bitung pun menunggu”.
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
jawaban itu. Ia tahu benar maksud kata-kata itu. Obat itu harus
tersedia. Jadi bukankah dengan demikian berarti bahwa ia harus mengambil
obat itu ke Panawijen besok.
Meskipun demikian, Mahisa Agni itu berkata, “Ya. Mudah-mudahan ada seseorang yang akan dapat mengambilnya”.
“Mudah-mudahan” sahut orang itu.
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ia
merasakan keanehan sikap dari orang itu. Sikap yang belum pernah
dialaminya selama ini. Tetapi, ketika Mahisa Agni menyalakan
perasaannya, terasa pamannya menggamitnya.
Mahisa Agni berpaling, Empu Gandring menggeleng lemah. Meskipun Mahisa Agni tidak tahu maksudnya, namun ia terdiam.
“Aku akan kembali ke gubugku” berkata kawan Bitung.
“Biarlah Bitung di sini” sahut Mahisa Agni.
“Tidak. Ia bersamaku. Apapun yang akan terjadi atas dirinya”.
Kembali Mahisa Agni menarik nafas.
Tetapi, ia tidak mencegahnya lagi ketika Bitung kembali dipapah oleh
kawannya meninggalkan gubug itu. Bitung masih juga menggigil meskipun
tubuhnya panas.
Sepeninggal mereka, Ki Buyut Panawijen
menjadi semakin cemas. Ia tahu benar apa yang bergolak di dalam hati
Bitung dan kawannya. Mereka pasti menimpakan segala kesalahan kepada
Mahisa Agni dan kemudian kepada dirinya, Buyut Panawijen.
“Hem” tiba-tiba Mahisa Agni menggeram, “apakah aku juga yang harus pergi ke Panawijen untuk mengambil obat itu?”
“Tak ada seorang pun yang berani melakukan Agni” sahut pamannya.
“Terlalu” desah Mahisa Agni, “semuanya harus aku lakukan”.
Apakah hal-hal semacam itu tidak mengganggu pekerjaan yang besar ini?
“Besok aku harus meletakkan
brunjung-brunjung dasar di sisi seberang sebelum sisi yang sebelah ini
selesai supaya ada keseimbangan. Kalau aku pergi, bagaimana dengan
rencana itu?”
Ki Buyut Panawijen dapat memahami
perasaan Mahisa Agni yang sepenuhnya diikat oleh persoalan bendungan
yang sedang dikerjakannya. Segala tenaga dan pikiranya kini sedang
dicurahkannya untuk kepentingan kerja yang besar dan berat itu, sehingga
hampir tak ada waktu baginya untuk berbuat hal-hal yang lain. Tetapi,
Ki Buyut itu merasakan pula kepincangan yang terdiri pada
orang-orangnya. Mahisa Agni yang sudah bekerja melampaui setiap orang
itu, masih harus mengurus persoalan-persoalan yang sebenarnya dapat
dilakukan oleh orang lain. Namun, sebenarnya seperti kata Empu Gandring
bahwa tak ada seorang pun yang berani pergi ke Panawijen tanpa Mahisa
Agni. Kalau ada juga yang harus pergi, maka mereka pasti akan membawa
kawan dalam jumlah yang cukup banyak.
Karena itu justru Ki Buyut Panawijen tak
dapat berkata sepatah pun juga untuk menanggapi keluhan Mahisa Agni,
Orang tua itu pun bahkan menekurkan kepalanya sambil mengangguk-angguk
kecil.
“Paman” bertanya Mahisa Agni itu pula
kepada pamannya, “apakah penyakit yang demikian itu berbahaya? Maksudku,
apabila obat itu tertunda satu hari saja, apakah akibatnya akan
membahayakan sekali bagi Bitung? Apabila tidak, maka aku ingin tetap
melakukan rencanaku besok, baru lusa aku akan pergi ke Panawijen setelah
dasar bendungan di sisi seberang dapat mapan. Dengan demikian, maka
pekerjaan yang barus dilakukan tinggal menambah dasar itu dengan
menimbuni brunjung-brunjung. Apabila tidak demikan, maka air akan
mengalir di satu sisi, sehingga sisi itu bahkan akan menjadi semakin
dalam”.
Empu Gandring pun menjadi ragu-ragu untuk
menyawab pertanyaan itu. Seperti Ki Buyut Panawijen, ia dapat memahami
setiap perasaan yang bergolak di dalam dada anak muda itu. Tetapi, Empu
Gandring itu tahu pula, bahwa penyakit yang berbahaya. Meskipun penyakit
itu tidak segera membunuh korbannya, tetapi apabila terlambat
pengobatannya, maka meskipun perlahan-lahan, pasti penyakit itu akan
menjadi semakin padam.
Selagi Empu Gandring itu menimbang-nimbang, terdengar Mahisa Agni bertanya, “Bagaimana paman? Apakah aku dapat pergi lusa?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya kemudian dengan menganggukkkan kepalanya, “Agni. Mungkin tidak
terlambat, tetapi sebaiknya penyakit yang demikian segera mendapat
pengobatan”.
Wajah Mahisa Agni menjadi tegang.
Dilemparkannya pandangan matanya ke padang yang luas di luar gubug itu.
Gelap, meskipun bintang-bintang gemerlapan di langit. Sudah tentu ia
tidak akan sampai hati membiarkan salah seorang kawannya menjadi korban.
Perasaannya tidak membenarkannya, apabila Bitung kelak menemui bencana
oleh penyakitnya karena kelambatannya. Tetapi, kalau ia menunda
rencananya besok meletakkan dasar bendungan di sisi seberang, maka pasir
di dasar sungai itu pasti akan menjadi semakin larut dibawa air yang
seolah-olah menepi di sisi itu. Dasar itu pasti akan menjadi semakin
dalam. Apalagi apabila besok karena rencana itu tidak diteruskan, maka
orang-orang Panawijen akan menimbuni sisi yang lain dengan
brunjung-brunjung baru. Dengan demikan maka ia akan menjadi semakin
terdorong ke sisi seberang, dan sisi itu pasti akan menjadi
bertambah-tambah dalam.
Ki Buyut Panawijen masih saja duduk
tepekur. Ia menjadi cemas memikirkan apa saja akan dapat terjadi. Ia
tahu benar keberatan Mahisa Agni meninggalkan bendungannya. Tetapi,
apabila Bitung menjadi semakin patah, maka akan sangat sulitlah bagi
Mahisa Agni dan dirinya untuk mengendalikan perasaan anak-anak muda
Panawijen yang sudah mulai menjadi jemu itu.
Namun, mulutnya tidak dapat mengucapkan dengan kata-kata. Ia tidak sampai hati melihat Mahisa Agni menjadi murung.
Tetapi, baik Ki Buyut Panawijen, maupun
Empu Gandring terkejut ketika tiba-tiba Mahisa Agni berkata, “Aku akan
pergi sekarang ke Panawijen”.
“Agni” potong pamannya dan Ki Buyut pun dengan serta merta berkata, “Tidak Ngger. Tidak harus demikian”.
“Tidak paman, aku harus menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan ini tanpa merugikan satu dan yang lain. Aku tidak
boleh meninggalkan bendungan itu besok dan aku juga tidak boleh
membiarkan Bitung dimakan oleh penyakitnya”.
“Tetapi, jangan sekarang Agni. Bukankah
kau besok dapat memberi beberapa orang pesan, supaya mereka melakukan
rencana itu? Baru setelah pekerjaan itu dimulai dan sesuai dengan
kehendakmu kau dapat meninggalkannya”.
“Tidak paman, aku harus ada di sini selama kita meletakkan dasar bendungan itu”.
“Tetapi, jangan sekarang Ngger” tanpa
disengajanya Ki Buyut Panawijen memandang padang rumput yang terhampar
luas dihadapannya. Tetapi, pandangan matanya tidak mampu untuk menembus
gelap malam yang pekat.
Mahisa Agni pun memandangi gelap malam itu pula. Tetapi, tiba-tiba bahkan ia berdiri sambil berkata, “Aku akan pergi”.
“Agni” potong pamannya, “kau pernah berceritera kepadaku tentang banyak hal yang dapat membahayakan dirimu. Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa ada orang yang masih saja menyimpan dendam di dalam diri mereka. Apakah kau melupakannya? Bahkan aku telah melihat sendiri, apa yang terjadi di padang ini sebelum kau mulai dengan pekerjaanmu ini”.
“Agni” potong pamannya, “kau pernah berceritera kepadaku tentang banyak hal yang dapat membahayakan dirimu. Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa ada orang yang masih saja menyimpan dendam di dalam diri mereka. Apakah kau melupakannya? Bahkan aku telah melihat sendiri, apa yang terjadi di padang ini sebelum kau mulai dengan pekerjaanmu ini”.
“Bahaya itu bagiku sama saja paman, siang atau malam”.
“Lain Agni. Kau berjalan di padang yang
luas. Di siang hari kau akan dapat melihat bahaya itu jauh sebelum
menyergapmu. Kudamu adalah kuda yang baik. Dengan kuda itu kau akan
dapat menghindarinya. Bahkan seandainya orang yang mengancammu itu
berkuda pula, maka jarak yang ada pasti akan mampu menyelamatkanmu.
Apalagi kalau kau pergi berdua atau bertiga. Salah seorang dari mereka
akan dapat memberitahukan kepadaku, apa yang terjadi diperjalanan itu”.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun,
ia berdesis, “Aku akan berangkat. Bagi Bitung, semakin cepat, semakin
baik. Mudah-mudahan aku tidak bertemu dengan bahaya yang paman katakan
itu”.
Tetapi, Mahisa Agni tidak meyakini
kata-katanya sendiri. Mungkin Empu Sada dan Kuda Sempana telah siap
menunggunya diluar perkemahan itu. Namun, demikian, adalah tanggung
jawabnya untuk melakukan pekerjaan itu. Kedua-duanya. Memasang
brunjung-brunjung di kali dan mengambil obat ke Panawijen. Tak ada orang
yang dapat dan berani melakukannya. Karena itu, maka ia sendiri harus
berangkat. Seperti Empu Gandring, Mahisa Agni percaya kepada kudanya.
Apabila ia bertemu dengan bahaya, seandainya bahaya itu sudah pasti
tidak dapat diatasinya, misalnya Empu Sada, maka ia akan dapat
menyauhkan dirinya. Mudah-mudahan kudanya dapat membantunya. Apabila ia
gagal, maka itu adalah akibat dari tanggung jawab yang telah dipikulnya.
Namun, Ki Buyut Panawijen dan Empu
Gandring berpendapat lain. Dengan terbata-bata Ki Buyut Panawijen
berkata, “Jangan Ngger. Aku turut juga prihatin atas Bitung, tetapi
kepergianmu akan sangat menggelisahkan kami malam ini. Biarlah kau pergi
besok siang setelah kau memberikan beberapa pesan mengenai pemasangan
brunjung-brunjung itu seperti kata pamanmu?”
“Kalau aku sudah mulai Ki Buyut, maka aku
kira aku tidak akan dapat meninggalkannya satu sampai dua hari. Karena
itu, biarlah aku pergi sekarang. Padang rumput itu cukup luas untuk
berpacu seandainya aku bertemu dengan Empu Sada misalnya”.
“Agni” berkata Empu Gandring kemudian,
“jangan bermain-main dengan bahaya. Empu Sada bukan seorang yang dapat
diajak bercanda. Dendam Kuda Sempana kepadamu agaknya sudah terlampau
dalam. Bukankah menurut anggapannya, segala kegagalan yang dialaminya
kini, bukan saja kegagalannya untuk mcmperisteri adikmu itu, tetapi juga
kegagalan dalam bidang yang lain, bersumber darimu? Tak ada cara
baginya untuk melepaskan dendam itu selain meniadakanmu. Membunuhmu.
Kalau kau temui bencana itu, bagaimana dengan pekerjaanmu di sini?
Bendungan ini akan terbengkelai dan Panawijen benar-benar akan lenyap.
Juga semua yang pernah terjadi akan dilupakan orang”.
Mahisa Agni terdiam sejenak. Tetapi ia
tidak mempunyai cara yang lain. Ia tidak mempunyai waktu lagi.
Kedua-duanya tak dapat ditunda-tunda. Kalau saja ada orang lain yang
besok berani pergi ke Panawijen, maka kepalanya tidak akan menjadi
pening seperti sekarang. Sandainya ada juga yang mau berangkat, maka
berbondong-bondong mereka pergi bersama-sama, sehingga pekerjaan di
padang ini akan terganggu juga. Karena itu, maka kemauannya telah bulat,
sehingga katanya, “Aku akan pergi paman. Empu Sada tidak akan berada di
padang ini siang dan malam hanya untuk menunggu aku meninggalkan
perkemahan ini pergi ke Panawijen. Kalau ia benar memerlukan aku, maka
ia akan datang kemari dan menyerang pcrkcmahan ini bersama dengan
murid-murid orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo dan saudara
saudara seperguruannya yang lain seperti yang dilakukan atas rombongan
Ken Dedes”.
Empu Gandring menggelengkan kepalanya,
jawabnya, “mereka ragu-ragu untuk berbuat demikian. Apakah laki-laki
Panawijen yang sekian banyaknya tidak berbuat sesuatu, sedang Empu Sada
tahu benar bahwa aku berada di sini”.
Kembali Mahisa Agni terdiam. Namun, ia
tidak dapat menemukan jalan lain dari pada jalan yang akan ditempuhnya.
Bitung dan bendungan. Terngiang kembali kata-kata kawan Bitung yang
seakan-akan menyerahkan segala persoalan kepadanya. Obat itu ada atau
tidak ada adalah tanggung jawabnya. Anak muda itu sama sekali tidak mau
berpikir apalagi berusaha untuk mendapatkannya.
“Hem” Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Kembali persoalan itu melingkar-lingkar dikepalanya.
Sehingga kembali ia sampai pada suatu tekad untuk pergi malam ini juga,
sehingga besok pagi-pagi, selambat-lambatnya matahari sepenggalah, ia
akan sampai di tempat ini kembali. Dan ia akan segera dapat mulai dengan
rencananya, sebelum air mengorek dasar sungai itu lebih dalam lagi.
Tetapi, dalam penglihatan Ki Buyut
Panawijen dan Empu Gandring, keberangkatan Mahisa Agni itu tidak saja
didorong oleh kemauan dan tanggung jawabnya, namun juga oleh kekecewaan
dan kejengkelan. Karena itu maka Empu Gandring berkata, “Agni, jangan
pergi menurutkan perasaanmu. Cobalah kau sedikit mempergunakan
pikiranmu”.
Namun, Empu Gaudring dan Ki Buyut
Panawijen tidak dapat mencegahnya lagi. Mereka hanya dapat memandangi
anak muda itu berkemas-kemas. Menggantungkan pedang di lambungnya,
kemudian berjalan keluar dari gubug itu.
“Aku pergi paman, sudahlah Ki Buyut,
mudah-mudahan aku selamat dan berhasil membawa obat itu pula. Bukankah
obat itu hanya bagian-bagian dari Kates Grandel?”
Setelah Empu Gandring tidak berhasil
menahannya, maka ia pun menyawab, “Ya. Semua bagian dari pohon Kates
Grandel. Kalau kau sempat, bawalah daun munggur dan biji-bijinya yang
kering. Itu pun akan menjadi obat yang baik pula. Jangan membawa
terlampau sedikit supaya kau tidak selalu mondar maudir ke Panawijen”.
“Baik paman” sahut Mahisa Agni.
Sejenak kemudian anak muda itu telah
melepaskan kudanya. Dikenakannya pakaian kuda itu, dan kemudian Mahisa
Agni pun segera meloncat ke punggungnya.
Bitung dan kawannya mcndergar derap kuda
berlari. Ketika mereka mengangkat wajah mereka, maka terdengar Ki Buyut
yang telah berdiri dibelakang berkata, “Mahisa Agni telah pergi ke
Panawijen untuk mencari obat itu”.
Kawan Bitung terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya.
“Kenapa malam ini?”
“Kau meletakkan semua tanggung jawab
kepadanya. Kau tidak membantunya memecahkan kesulitan karena Bitung
menderita sakit. Kau hanya berkata bahwa obat itu harus datang sendiri
kepadamu dan kau tidak mau tahu kesulitan apakah yang dapat terjadi
diperjalanan itu”.
“Tidak Ki Buyut” sahut kawan Bitung tergagap, “bukan maksudku demikian”.
“Tetapi, Mahisa menangkap kata-katamu demikian dan aku pun menangkap kata-kata itu seperti itu pula” sahut Ki Bayut
.
Dada kawan Bitung menjadi berdebar-debar. Ia tidak menyangka bahwa Mahisa Agni akan melakukan pekerjaan itu sekarang. Malam ini. Ia tidak dapat mengingkari kata Ki Buyut Panawijen. Memang semula ia berpendirian serupa itu. Bahkan beberapa orang kawan-kawannya pun menganggapnya, bahwa tanggung jawab tentang sakitnya Bitung, seluruhnya terletak di pundak Mahisa Agni. Anak muda itu bersama-sama dengan Ki Buyut Panawijenlah yang memimpin pekerjaan yang terlampau berat di padang yang panas terik disiang hari, dan dingin membeku di malam hari ini. Tetapi, tidak terlintas di dalam kepala anak-anak muda itu, bahwa segera satelah itu Mahisa Agni telah pergi meninggalkan mereka.
.
Dada kawan Bitung menjadi berdebar-debar. Ia tidak menyangka bahwa Mahisa Agni akan melakukan pekerjaan itu sekarang. Malam ini. Ia tidak dapat mengingkari kata Ki Buyut Panawijen. Memang semula ia berpendirian serupa itu. Bahkan beberapa orang kawan-kawannya pun menganggapnya, bahwa tanggung jawab tentang sakitnya Bitung, seluruhnya terletak di pundak Mahisa Agni. Anak muda itu bersama-sama dengan Ki Buyut Panawijenlah yang memimpin pekerjaan yang terlampau berat di padang yang panas terik disiang hari, dan dingin membeku di malam hari ini. Tetapi, tidak terlintas di dalam kepala anak-anak muda itu, bahwa segera satelah itu Mahisa Agni telah pergi meninggalkan mereka.
“Kau tidak tahu, bahaya yang mengancam
anak muda itu setiap saat” berkata Ki Buyut Panawijen pula, “di
antaranya adalah Kuda Sempana. Beberapa di antara kalian telah melihat
sendiri, bagaimana Mahisa Agni terpaksa berkelahi di padang ini melawan
Kuda Sempara bahkan kemudian guru Kuda Sempana itu pula. Kalau Mahisa
Agni dalam perjalanannya ke Panawijen kali ini bertemu dengan Kuda
Sempana dan gurunya, maka habislah ceritera tentang dirinya. Habis
pulalah tugasnya di padang ini, dan habis pulalah harapan kita untuk
mendapatkan tanah yang subur hijau seperti yang pernah kita miliki
dahulu”.
Kawan Bitung itu menjadi semakin
berdebar-debar. Bahkan terasa keringatnya mengalir membasahi seluruh
tubuhnya, meskipun dingin malam sampai menggigit tulang.
Dengan nafas tersengal-sengal ia berkata, “Apakah kepergiannya itu tidak dapat dicegah Ki Buyut?”
“Bukankah kau melibat sendiri bahwa ia
telah pergi? Bagaimana harus mencegahnya kini? Nah, kalau kau ingin
menyelamatkannya, pergilah, susul anak muda itu”.
Kawan Bitung itu terdiam. Beberapa anak
muda yang lain mendengar pula percakapan itu, dan mereka pun menjadi
berdebar-debar pula seperti Bitung.
“Bagaimana? Apakah kau mau menyusulnya
dan memintanya agar ia mengurungkan niatnya, atau kau sendirilah yang
pergi ke Panawijen? Sebab Mahisa Agni tahu benar, bahwa obat itu tidak
akan dapat meloncat dengan sendirinya kemari dari Panawijen. Obat itu
harus dibawa dengan tangan. Dan mulutmu hanya dapat berkata
mudah-mudahan, dan dapat menunggu obat itu datang”.
Kawan Bitung itu menekurkan kepalanya. Ia
tahu benar bahwa Ki Buyut Panawijen yang sabar itu kini sedang marah
kepadanya. Apalagi ketika Ki Buyut kemudian berkata, “Bukan saja masalah
sakit Bitung, tetapi masalah bendungan itu pun kalian ternyata bersikap
serupa. Kalian telah mulai jemu mengerjakannya. Jangan ingkar. Aku
pernah mendengarnya. Kalian mengeluh karena panas di siang hari membakar
punggung dan di malam hari dingin menusuk sampai kesungsum. Kalian
mengeluh luka-luka di tangan dan kaki serta menjadi bengkak pula.
Apalagi ada di antara kalian yang menjadi sakit. Apakah dengan demikian
kalian mengharap bahwa bendungan itu akan siap dengan sendirinya,
seperti kalian mengharap obat itu akan jatuh dari langit. Apakah kalian
ingin melihat Mahisa Agni mengerjakannya sendiri, dan kalian menunggu
saja sambil berbaring sehingga bendungan itu terwujud?”
Kawan Bitung itu menundukkan kepalanya
semakin dalam. Anak-anak muda yang lain, yang mendengar kata-kata itu
pun menundukkan kepala masing-masing. Bahkan mereka yang telah berbaring
dan bahkan telah tertidur pun menjadi terbangun dan duduk sambil
tepekur. Tak seorang pun dari mereka yang berani menyawab. Bukan saja
anak-anak muda, tetapi orang-orang yang sudah setengah umur pun menjadi
cemas pula. Ki Buyut adalah orang yang hampir tidak pernah marah. Kini
mereka merasa betapa dalamnya penyesalan yang menghentak-hentak hati
orang tua itu.
“Kalau aku berani, dan kalau aku masih
mampu menunggang kuda secepat Angger Mahisa Agni, aku pasti akan
menyusulnya” gumam Ki Buyut.
Kata-kata itu menyentuh setiap hati yang
mendengarnya. Kata-kata itu seakan-akan telah menggerakkan hati mereka
untuk segera berlari ketambatan kuda. Tetapi, tak seorang pun yang
berani berbuat demikian. Apalagi di malam hari. Di siang hari pun mereka
tidak berani pergi seorang diri, meskipun mereka telah mendengar bahwa
Hantu Karautan telah tidak ada lagi di padang itu. Tetapi, mereka masih
juga membayangkan bahaya yang berserak-serak di sepanjang perjalanan ke
Panawijen.
Ki Buyut itu pun kemudian pergi
meninggalkan mereka. Hatinya menjadi sangat gelisah. Bukan saja
mengenangkan kepergian Mahisa Agni, tetapi juga oleh ketakutan yang
mencengkam hampir setiap laki-laki di perkemahan itu. Apabila ketakutan
mereka terhadap keadaan di sekelilingnya masih selalu membayang-bayangi,
maka apakah kelak, apabila padang itu berhasil menjadi tanah yang
subur, mereka pun tidak akan berani berbuat sesuatu? Apakah mereka akan
tetap bersembunyi di padukuhan yang baru itu tanpa membuat hubungan
dengan padukuhan-padukuhan yang lain karena takut?
Namun, ketika terpandang oleh Ki Buyut,
malam yang pekat terbentang seakan-akan tidak berpangkal dan berujung
itu pun ia bergumam, “Padukuhan ini akan menjadi padukuhan yang sangat
terpencil”. Tetapi, kemudian ia beikata pula, “Meskipun demikian,
apakah bedanya jarak yang memisahkan padukuhan ini kelak dengan
padukuhan-padukuhan yang lain dengan bulak-bulak yang panyang dan luas
meskipun terdiri dari tanah-tanah persawahan dan pategalan? Kalau ada
hantu atau penjahat sekalipun, maka kejahatan itu akan dapat juga
dilakukan dibulak-bulak persawahan dan pategalan. Ketakutan kami adalah
bersumber pada kepercayaan kami, bahwa di padang rumput ini pernah
tinggal hantu yang menakutkan setiap orang”.
Dalam pada itu, Mahisa Agni telah berpacu
dengan kudanya menembus gelapnya malam. Dingin angin malam mengusap
kulitnya dan seolah-olah menusuk kesetiap lubang kulit. Tetapi, Mahisa
Agni tidak sempat merasakannya. Hatinya dicengkam oleh perasaan yang
sangat aneh. Ia sendiri kurang menyadari, kenapa ia merasa perlu untuk
pergi malam ini. Tidak besok atau lusa setelah ia berhasil meletakkan
brunjung-brunjung di sisi seberang.
Sekali-kali Mahisa Agni mengangkat
wajahnya. Ia mencoba menatap kedalam gelap, sejauh-jauh matannya dapat
mencapai. Tetapi, malam terlampau kelam.
Betapapun beraninya hati anak muda itu,
tetapi ia tidak dapat melenyapkan setiap perasaan was-wasnya, bahwa ia
akan bertemu dengan Empu Sada. Kalau yang berada diperjalanannya itu
adalah Kuda Sempana, maka ia akan dengan senang hati melayaninya.
Tetapi, apabila yang dijumpainya Empu Sada, maka ia pasti harus mencoba
berpacu kuda mengelilingi padang ini.
“Benar juga kata Empu Gandring” desisnya
seorang diri, “di siang hari, aku dapat melihat seseorang dalam jarak
yang masih agak jauh. Tetapi, di malam hari, orang itu baru dapat aku
lihat setelah beberapa puluh langkah di muka hidungku”.
Tetapi, Mahisa Agni sama sekali tidak
ingin kembali. Ia harus berjalan terus. Bahaya itu baru ada di dalam
angan-angannya., “Apakah aku sekarang telah berubah meujadi seorang
pengecut?” katanya di dalam hati.
Tiba-tiba hati Mahisa Agni itu pun
berdesir. Ia mendengar derap kuda di belakangnya. Ketika ia menoleh,
remang-remang ia melihat bayangan seorang penunggang kuda yang
mengejarnya, bahkan telah terlampau dekat.
“Siapa yang menyusulku?” pertanyaan itu
tumbuh di dalam hatinya, “mungkin seseorang yang ingin mencegah
kepergianku malam ini. Ah, tidak. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku
malam ini”.
Mahisa Agni pun kemudian menyentuh perut
kudanya dengan tumitnya. Kuda itu memang kuda yang tegar. Loncatannya
menjadi kian panyang dan cepat. Dan kuda dibelakangnya itu pun menjadi
semakin lama semakin jauh. Ia tidak mau diganggu. Mungkin orang itu Ki
Buyut Panawijen mungkin pamannya Empu Gandring yang masih akan mencoba
membawanya kembali ke perkemahan.
Kuda Mahisa Agni berlari kencang seperti
angin. Ditembusnya gelap malam seperti anak panah yang menghunyam ke
dalam kelam. Semakin lama semakin cepat. Meskipun demikian, Mahisa Agni
merasa, bahwa perjalanannya itu terlampau lambat.
Malam ini aku harus mendapatkan batang
Kates Grandel itu. Besok, sebelum matahari terlampau tinggi aku harus
sudah berada di bendungan itu kembali. Aku harus mulai dengan kerja yang
sudah aku rencanakan.
Derap kuda dibelakangnya telah tidak
didengarnya lagi. Mungkin kuda itu telah kembali ke perkemahan atau
sudah tertinggal terlampau jauh. Ia tidak peduli, siapakah yang naik di
atas punggung kuda itu. Ia ingin pekerjaannya selesai tanpa seorang pun
yang mencampurinya. Besok pagi-pagi ia akan datang kepada Bitung dan
memberikannya apa yang diperlukan. Kalau sakit Bitung berkurang,
bergembiralah ia dan semua orang di perkemahan itu. Tetapi, apabila
penyakit itu mengeras, maka ia sudah cukup berusaha. Tak seorang pun
yang akan dapat menyalahkannya lagi.
Dengan demikian maka hatinya pun menjadi
semakin mantap. Ia mencoba mempercepat lari kudanya, tetapi sayang,
bahwa tenaga kudanya pun terbatas, sehingga kuda itu tidak dapat berpacu
lebih cepat lagi.
Ketika Mahisa Agni melewati sebuah
gerumbul yang agak lebat, terasa hatinya berdesir. Ia tidak tahu, kenapa
ia tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Dan ia tidak tahu, apakah
yang telah memaksanya untuk berpaling.
Kini hatinya tidak saja terkejut, tetapi
hampir ia tidak percaya. Tiba-tiba saja beberapa puluh langkah di
belakangnya berpacu seekor kuda dengan penunggangnya. Cepat seperti
angin. Mahisa Agni tidak dapat mempercepat derap kudanya. Kudanya yang
tegar itu telah mencapai kecepatan tertinggi. Namun, kuda di belakangnya
itu agaknya dapat melampaui kecepatan kudanya. Kalau semula kuda itu
semakin lama menjadi semakin jauh, dan bahkan telah hilang di kegelapan,
maka tiba-tiba kuda itu kini telah menjadi semakin dekat.
“Kuda itu muncul lagi” pikirnya, “ia
mengikuti aku sejak aku keluar dari perkemahan. Mungkin Ki Buyut mungkin
paman Empu Gandring. Mungkin seseorang yang disuruh oleh keduanya untuk
menyusul aku. Tetapi, tak ada seekor kuda pun di Panawijen yang dapat
menyamai kudaku, sedang kuda ini agaknya bahkan melampaui”.
Mahisa Agni mencoba mengingat-ingat, apakah ada seseorang yang memiliki kemampuan berkuda menyamainya.
“Satu-satunya adalah paman Empu Gandring” desisnya, “apakah paman akan memaksa aku kembali?”
Tiba-tiba Mahisa Agni tersenyum,
gumamnya, “Alangkah bodohnya aku. Biarlah paman mengejarku. Aku akan
biarkan paman mengikuti aku sampai ke Panawijen. Bukankah dengan
demikian aku akan mendapat kawan di perjalanan. Bahkan seandainya aku
akan bertemu dengan Empu Sada sekalipun, aku tidak perlu gentar”.
Tetapi, kuda dibelakang Mahisa Agni itu
menjadi semakin lama semakin dekat. Betapapun Mahisa Agni mencoba
mempercepat laju kudanya.
“Hem“ desisnya, “kalau paman dapat
mencapai aku sebelum aku melampaui separo jalan, maka aku pasti akan
dipaksanya kembali. Kecuali kalau aku dapat membujuknya supaya paman
sudi mengantarkanku. Tetapi, mungkin juga paman menyusul untuk mengawani
aku ke Panawijen”.
Dugaan yang terakhir itu justru telah
mengendorkan hasrat Mahisa Agni berpacu terus. Sebab ia menyadari bahwa
ia tidak akan mampu lebih lama lagi mendahuluinya. Sebab kuda yang di
belakangnya itu terlampau cepat, dan agaknya penunggangnya terlampau
tangkas.
“Biarlah aku” katanya. Mahisa Agni itu
pun kemudian malahan memperlambat kudanya. Sekali-kali ia berpaling
untuk mencoba mengenal orang yang mengejarnya itu. Tetapi, karena malam
terlampau gelap, maka yang tampak hanyalah sebuah bayangan yang hitam.
Tetapi, semakin dekat kuda itu, hati
Mahisa Agni menjadi semakin curiga. Bentuk orang di atas punggung kuda
itu sama sekali bukan bentuk tubuh pamannya.
Kembali dada Mahisa Agni menjadi
berdebar-debar. Namun, ia masih belum mendapat kepastian, apakah orang
yang duduk di atas punggung kuda itu pamannya atau bukan.
Tetapi, debar di dadanya menjadi semakin cepat ketika ia melihat kuda itu seolah-olah tidak berpelana.
“Gila” desisnya, “apakah ada orang yang dapat menunggang kuda secepat itu tanpa pelana?”
Darah Mahisa Agni serasa berhenti
mengalir ketika tiba-tiba ia mendengar suara tertawa. Suara tertawa yang
mendirikan bulu-bulu kuduknya.
Namun, dengan demikian Mahisa Agni kini
menjadi pasti bahwa orang itu sama sekali bukan pamannya, bukan Ki Buyut
Panawejen. tetapi juga pasti bukan Empu Sada.
Mahisa Agni pun kemudian tidak mau
berteka-teki lebih lama lagi. Ketika ia yakin bahwa orang itu bukan Empu
Sada, serta tak ada kemungkinan baginya untuk menghindar karena kuda
orang itu lebih cepat dari kudanya, maka tiba-tiba ia menekan kendali
kudanya itu. Dengan serta merta kudanya mencoba-coba untuk berhenti.
Demikian tiba-tiba sehingga kudanya itu meringkik dan berdiri di atas
kedua kaki belakangnya.
“Bagus” terdengar suara orang yang mengejarnya, “Kau pandai juga bermain-main dengan kuda”.
Mahisa Agni menahan nafasnya. Diamatinya
orang yang duduk di atas kuda tanpa pelana itu. Apalagi ketika orang itu
pun segera menghentikan kudanya beberapa langkah saja di sampinpingnya.
Sekali lagi orang itu tertawa. Suaranya meninggi membelah Padang Rumput Karautan.
“Kaukah itu?” berkata orang itu disela-sela suara tertawanya.
“Siapa kau?” bertanya Mahisa Agni.
“Hem, kaukah yang bernama Mahisa Agni, begitu?”
Mahisa Agni tidak segera menyawab.
Diamati wajah orang yang belum pernah dilihatnya. Wajahnya keras seperti
batu-batu padas dan suara tertawanya pun sekeras suara guntur di
langit.
Sekali lagi bulu-bulu Mahisa Agni
meremang. Anak muda itu bukan seorang penakut, namun wajah itu
benar-benar mengerikan. Mahisa Agni pernah bertemu dengan Hantu Padang
Karautan, pada masa hantu itu masih sering menakut-nakuti orang yang
lewat padang ini. Tetapi, meskipun hantu itu tampak kusut dan liar,
namun wajahnya tidak mengerikan seperti wajah orang ini.
“Siapakah kau?” sekali lagi Mahisa Agni bertanya.
“Aku penunggu padang ini” sahut orang itu.
“Bohong” tiba-tiba Mahisa Agni pun berteriak, “aku kenal Hantu Karautan”.
Kembali orang itu tertawa terkekeh-kekeh.
Katanya, “Oh, hantu kerdil yang sering merampok orang lewat itu? Hem,
orang-orang di sekitar Padang Karautan benar-benar pengecut. Kenapa
mereka takut akan hantu gila yang sering dikatakan orang? Sudah lama aku
ingin menemuinya, tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan, dan
memang aku tidak pernah ingin merendahkan diri bertemu dengan hantu
cengeng itu”.
“Kalau kau penunggu padang rumput ini,
apakah kau tidak pernah bertemu dengan hantu yang selalu berkeliaran di
padang ini pula” bertanya Mahisa Agni.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun, suara tertawanya meledak kembali mengguntur berkepanjangan.
“Cukup” bentak Mahisa Agni, “jawab pertanyaanku”
“Baik. Baik” katanya, “kau benar. Aku memang bukan penunggu padang ini. Aku mencoba berbohong, tetapi kau cukup cerdik”.
Kini Mahisa Agni lah yang tertegun
mendengar jawaban itu. Jawaban yang berterus-terang. Pengakuan yang
demikian tiba-tiba itu semula sama sekali tidak diduganya. Namun,
kemudian ia bertanya kembali, “Jadi siapakah kau?”
Orang itu tidak segera menyawab.
Diamatinya Mahisa Agni dari ujung ubun-ubun sampai keujung kakinya. Dan
sekali lagi orang itu bertanya, “Hem. Kaukah Mahisa Agni?”
“Apa kepentinganmu dengan orang yang bernama Mahisa Agni?” sahut Mahisa Agni curiga.
“Aku kagum akan keberaniannya. Tak
seorang pun dari anak-anak muda Panawijen yang berani berjalan seorang
diri dari Padang Karautan ke Panawijen, selain Mahisa Agni”.
“Kau salah. Hampir setiap anak muda Panawijen berani melakukannya” sahut Mahisa Agni.
Tetapi, kemarahan Mahisa Agni pun terungkat ketika orang itu tertawa kembali.
“Kenapa kau tertawa?” bertanya Mahisa Agni keras, untuk mengatasi suara tertawa itu.
“Tak ada orang yang berani berbuat demikian selain Mahisa Agni”.
“Omong kosong” teriak Mahisa Agni semakin
keras. Suaranya melontar memenuhi padang itu, menembus gelap pekat yang
seolah-olah menelungkupi Padang Karautan.
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Sekarang aku yakin. Hanya ada dua orang yang dapat
dibanggakan diseluruh Panawijen. Yang pertama adalah Kuda Sempana,
seorang pelayan dalam yang berani, dan yang kedua adalah Mahisa Agni”.
“Katakan siapakah kau dan apa keperluanmu?” Mahisa Agni kehilangan kesabaran.
“Menangkap Mahisa Agni” jawab orang itu.
Sekali lagi Mahisa terkejut. Orang itu
berkata langsung tentang dirinya. Karena itu, maka jantung Mahisa Agni
pun serasa menyala. Ia belum pernah mengenal orang itu. yang
dicemaskannya adalah Empu Sada, namun tiba-tiba ia bertemu dengan orang
berwajah keras sekeras batu karang yang akan menangkapnya juga. Maka
sekali ia bertanya dengan penuh kemarahan, “Siapa kau, siapa?”
“Apa pedulimu tentang aku. Aku akan
menangkap kau dan membawanya pulang ke rumah. Kau akan dapat menjadi
permainan yang mengasyikkan”.
Kata-kata orang yang berwajah keras
sekeras batu padas tu serasa api yang menyentuh telinga Mahisa Agni.
Alangkah panasnya. Namun, karena itulah maka sejenak Mahisa Agni tidak
dapat mengatakan sesuatu karena kemarahannya serasa menyumbat
kerongkongannya. yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu.
Tetapi, orang itu masih saja tertawa seperti melihat lelucon yang mengasyikkan, “Apakah kau marah?”
Mahisa Agni masih berdiam diri. Dicobanya
untuk menenangkan perasaannya, supaya ia tidak tenggelam dalam ke
marahannya sehingga tidak mampu lagi untuk melihat setiap keadaan dengan
sewajarnya. Berkali-kali Mahisa Agni menarik nafas panyang. Udara
dingin di malam yang kelam itu telah mengusap jalan pernafasannya.
Namun, terasa darahnya masih terlampau panas.
Dengan suara gemetar sekali lagi ia bertanya, “Siapakah kau?”
“Apakah kau perlu mengenal namaku?” bertanya orang itu.
“Sebutlah namamu, atau gelarmu?”
“Aku tidak punya gelar. Aku hanya punya satu nama”.
“Ya, sebutlah satu nama itu”.
“Wong Sarimpat”.
Tanpa sesadarnya kembali bulu-bulu Mahisa
Agni meremang. Nama itu pernah didengarnya dari pamannya dan dari mulut
Empu Sada sendiri. Wong Sarimpat dan yang seorang lagi bernama Kebo
Sindet.
Sekali lagi Mahisa Agni menggeretakkan
giginya. Kini ia sadar bahwa ia benar-benar berhadapan dengan bahaya.
Meskipun ia tidak bertemu dengan Empu Sada, namun orang ini adalah sama
berbahayanya dengan Empu Sada. Tidak mustahil bahwa Empu Sada telah
benar-benar minta kedua orang itu untuk membantunya.
Sehingga dengan serta merta Mahisa Agni menggeram, “Hem. Apakah kau diminta oleh Empu Sada berbuat demikian?”
“Ya” sahut penunggang kuda yang ternyata
Wong Sarimpat itu, “Empu Sada minta bantuanku dan kakang Kebo Sindet.
Mereka datang ke rumahku bersama Kuda Sempana dan seorang saudara
seperguruannya bernama Cundaka”.
Jantung Mahisa Agni serasa berdentang
semakin keras. Orang itu selalu berkata terus terang, tanpa banyak
pertimbangan. Namun, dengan demikian, maka Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Ia dapat meraba perasaan orang itu, yang merasa tidak
perlu berbohong atau menyembunyikan sesuatu, karena sebentar lagi Mahisa
Agni telah ditangkapnya.
Bahkan orang itu meneruskan, “Kalau aku
berhasil membawamu pulang, maka kau akan bertemu dengan Kuda Sempana. Ia
ingin aku menangkapmu hidup-hidup. Mungkin ia menyimpan dendam
dihatinya. Adalah salahmu, bahwa kau tidak cukup berhati-hati, sehingga
kau melukai hatinya. Sekarang kau terpaksa membayar sakit bati itu
dengan tebusan yang cukup mahal. Kau harus membayar sakit hati itu
dengan sakit di hati dan tubuhmu. KudaSempana ingin melihat kau diikat
pada sebatang pohon yang kuat. Kuda Sempana akan dapat berbuat
sekehendak hatinya atasmu. Mungkin mencambuk, mungkin menyentuhmu dengan
api atau pisau, atau apa pun yang akan dilakukan untuk menyakiti
tubuhmu. Sedang untuk menyakiti hatimu Kuda Sempana akan memecah
bendungan yang sedang kau kerjakan. Kalau kau hilang dari antara
orang-orang Panawijen itu, maka mereka pasti akan kehilangan gairah.
Mereka akan menjadi jemu dan mungkin berputus-asa. Dan kau akan melihat,
bahwa Padang Rumput Karautan itu akan menjadi sepi kembali. Sepi
seperti sedia kala. Tidak ada orang yang mengotori kehijauan rumput yang
luas seakan-akan tidak bertepi ini”.
Wong Sarimpat berhenti sejenak. Ketika
dipandanginya wajah Mahisa Agni, maka wajah itu menjadi sangat tegang.
Beberapa titik keringat telah membasahi keningnya, meskipun malam sangat
dinginnya.
“Jangan menyesal, bahwa kau bertemu
dengan aku malam ini” berkata Wong Sarimpat kemudian sambil tertawa,
“sebenarnya tugasku tidak menangkap kau. Aku hanya sekedar harus
mengetahui dengan pasti jalan yang sering kau pergunakan hilir mudik ke
Panawijen. Sebenarnya malam ini aku harus sudah kembali kerumahku.
Tetapi, tiba-tiba aku melihat seseorang berpacu dengan kudanya. Aku
pernah melihat kau lewat jalan ini ke Panawijen beberapa hari
sebelumnya, sehingga aku yakin bahwa jalan inilah yang selalu kau tempuh
apabila kau kembali ke Panawijen. Ternyata aku kini mengambil keputusan
lain. Aku akan kembali dengan membawamu sama sekali”.
Perasaan Mahisa Agni kini tak dapat
dikuasainya lagi. Tiba-tiba dengan sebuah gerakan kilat, ia menarik
pedangnya sambil berdesis, “Jangan membual. Aku bukan benda mati yang
dapat kau perlakukan sekehendak hatimu. Mungkin kau akan mampu
membunuhku, sebab kesaktianmu pernah aku dengar menyamai orang-orang
yang aku kagumi. Tetapi, itu adalah lebih baik bagiku dari pada kau akan
berusaha menangkap aku hidup-hidup”.
Suara tertawa Wong Sarimpat meledak
seperti ledakan gunung yang pecah. Demikian kerasnya sehingga tubuhnya
berguncangan di atas punggung kudanya. Katanya kemudian disela-sela
suara tertawanya, “jangan banyak tingkah. Kalau kau akan mencoba melawan
aku, maka setiap batang rumput dan ilalang akan mentertawakan kau.
Setiap helai daun dan setiap tangkai bunga perdu pernah mendengar siapa
Wong Sarimpat. Adalah mustahil kalau kau belum pernah mendengar namaku.
Mungkin kau pernah mengenal Empu Sada. Apakah kau mampu melawan orang
itu pula? Orang yang diakui memiliki ilmu setingkat dengan gurumu? Aku
dengar bahwa Mahisa Agni adalah murid Padepokan Panawijen Murid Empu
Purwa yang oleh penduduk di sekitarnya di kenal sebagai seorang tua
pendiam yang hanya mampu berdoa dan bertani”.
Sejenak Mahisa Agni terdiam. Kata-kata
itu memang mengandung kebenaran, ia pasti tidak akan mampu melawan Wong
Sarimpat. Tetapi, ia tidak ingin menyerahkan kepalanya dengan suka rela.
Karena itu, baginya, lebih baik mati di Padang Karautan sebagai tanah
harapan yang sedang diolahnya, dari pada ditangkap hidup-hidup dan
dibunuh oleh Kuda Sempana sebagai suatu permainan yang bengis.
Dengan demikian maka hati Mahisa Agni pun
menjadi semakin bulat. Ia bertekad untuk melawannya, meskipun
perlawanannya itu tidak akan berarti.
Ketika ia mendengar Wong Sarimpat itu
tertawa lagi, maka tiba-tiba Mahisa Agni menggerakkan kudanya menyambar
orang yang berwajah keras seperti batu padas itu. Pedangnya terayun
deras sekali langsung mengarah ke lehernya.
Suara tertawa itu pun terputus. Namun,
Mahisa Agni harus melihat kenyataan, bahwa orang itu memang terlampau
lincah. Pedangnya yang diayunkannya secepat-cepat kemampuaanya itu sama
sekali tidak. berarti bagi lawannya. Babkan betapa terkejut anak muda
Panawijen itu ketika terasa pergelangannya seolah-olah digigit oleh
perasaan nyeri yang dahsyat. Ketika ia menyadari keadaan, maka pedangnya
telah terlempar dauh dari padanya.
Kembali suara tertawa itu mengumandang.
Demikian kerasnya. Dan diantara suara tertawa itu terdengar
kata-katanya, “Kau memang anak muda yang luar biasa. Tenagamu memang
melampaui tenaga Kuda Sempana. Dan sebenarnya kau pasti dapat
mengalahkan anak muda itu seperti yang dikatakannya. Tetapi, dengan
demikian kau jangan menjadi terlampau sombong. Yang kau hadapi kini sama
sekali bukan Kuda Sempana”
Dada Mahisa Agni berdesir. Malam
terlampau gelap, sehingga ketika ia mencoba mencari pedangnya dengan
pandangan matanya, ia tidak segera menemukanya.
“Kau mencari pedangmu?” desis Wong Sarimpat
Mahisa Agni tidak menjawab.
“Ambillah” teriak Wong Sarimpat, “aku memberimu kesempatan”
Sekali lagi, dada Mahisa Agni berdesir.
Tetapi, ia masih saja duduk mematung dfi atas punggung kudanya yang
masih bergerak-gerak.
“Ambillah” teriak Wong Sarimpat pula.
Suara itu terlampau keras, sehingga Mahisa Agni terkejut. Dan suara itu
agaknya telah memaksa Mahisa Agni bergerak tanpa sesadarnya ke arah
pedang terlempar.
”Cari di kegelapan itu. Mungkin disela-sela batang ilalang atau terlempar ke dalam gerumbul”
Darah Mahisa Agni benar-benar mendidik.
Betapa orang itu telah menghinanya. Dibiarkannya ia menjauh, masuk ke
dalam kegelapan tanpa diikutinya. Bahkan dengan nada tinggi, Wong
Sarimpat berteriak, “Aku tunggu kau di sini. Jangan mencoba lari, tidak
ada gunanya. Dalam sepuluh hitungan kalau kau belum menemukan pedangmu,
adalah salahmu sendiri. Kau harus datang kembali dan bertempur dengan
tanganmu. Kalau tidak, aku akan menjemputmu. Tetapi dengan demikian kau
pasti akan menyesal”
Mahisa Agni tidak menjawab. Kudanya
dibawanya berjalan ke arah pedangnya terlempar. Tetapi, karena malam
terlampau gelap, maka ia tidak segera dapat menemukannya. Di
belakangnya, Wong sarimpat yang gila itu mulai menghitung sambil
tertawa-tawa, “satu, dua…. tetapi jarak di antara setiap hitungan cukup
lama, seolah-olah ia sengaja memberi weaktu kepada Mahisa Agni untuk
menemukan pedangnya.
Betapa panasnya hati Mahisa Agni. Setiap
hitungan yang didengarnya serasa sebuah tusukan langsung di lambungnya.
Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeram. Namun, pedangnya masih belum
diketemukan.
Sekilas, timbullah keinginannya untuk
melarikan diri menjauhi orang yang berwajah keras sekeras batu padas
itu. Namun, ia kemudian merasa bahwa itupun tidak akan ada gunanya.
Orang itu pasti akan mendengar kudanya berderap dan segera mengejarnya.
Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kuda orang itu mampu berlari
lebih cepat dari kudanya. Untuk bersembunyipun rasa-rasanya tidak akan
mungkin. Gerumbul-gerumbul yang jarang-jarang itu akan segera dapat
disasak olehnya. Dan ia akan hancur terinjak-injak kaki kuda yang liar
seliar penunggangnya itu.
Dalam kebimbangan itu, Mahisa Agni
membiarkan kudanya berjalan semakin jauh. Bahkan, kini ia tidak lagi
bernafsu untuk menemukan pedangnya. Ia merasa bahwa usaha itupun tidak
akan berhasil. Yangkemudian bulat di dalam kepalanya adalah ia akan
berkelahi dengan kekuatannya yang terakhir, dengan puncak ilmu yang
dimilikinya. Gundala Sasra. Ilmu itu pasti akan lebih tajam daripada
pedangnya. Mungkin Wong Sarimpat tidak dapat dibunuhnya dengan ilmu itu,
namun apapun yang akan terjadi adalah lenih baik daripada ia harus
ditangkap hidup-hidup.
Suara Wong Sarimpat terdengar semakin lama semakin jauh. Kini ia mendengar orang-orang itu menyebut bilangan kelima.
“Hem,” Mahisa Agni menggeram, “ia tidak
telaten mendengar betapa lambannya Wong Sarimpat menghitung. Ia ingin
segera terjadi apa yang akan terjadi. Kalau ia akan mati, biarlah segera
terjadi pula.
Ketika ia berpaling, malam yang gelap
seakan-akan telah memisahkannya dari orang itu. Sekali lagi Mahisa Agni
mengumpat di dalam hatinya. Adalah suatu penghinaan baginya, dengan
membiarkannya pergi menjauhi lawannya. Mungkin Wong Sarimpat ingin
mempermainkannya. Dibiarkannya ia lari, kemudian orang itu akan
menyusulnya. Mungkin orang itu akan memberinya kesempatan pula untuk
kedua, ketiga dan seterusnya. Apabila kemudian nafasnya telah hampir
putus, maka segera ia ditangkapnya dan dibawanya ke rumahnya.
“Hem,” sekali lagi Mahisa Agni menggeram.
Tiba-tiba ia memutar kudanya sambil bergumam di dalam hatinya, “Aku
tidak mau menjadi permainan. Seperti seekor tikus menghadapi kucing.
Biarlah aku mati dengan jantan. Aku akan kembali kepadanya dan
menyerangnya.
Mahisa Agni sama sekali tidak dapat
melihat Wong Sarimpat lagi karena gelap malam. Tetapi, ia masih
mendengar suaranya. Karena itu, segera dihadapkannya kudanya ke arah
suara itu. Ia akan berpacu dan mempersiapkan kekuatan puncaknya. Apabila
kudanya telah menghampiri orang itu, maka segera ia akan membenturkan
ajinya. Kalau orang itu memiliki kekuatan seperti baja yang
berlapis-lapis, biarlah dadanya sendiri hancur karena kekuatannya,
tetapi kalau tidak maka pasti akan mengurangi kekuatan lawannya.
Kini Mahisa Agni mulai memusatkan segenap
kekuatannya. Ia mendengar Wong Sarimpat telah sampai kehitungan yang
ketujuh. Sekali lagi Mahisa Agni menggeram. Hitungan itu terdengar
sangat memuakkan. Tetapi, ia tidak akan menunggu sampai hitungan yang
kesepuluh.
Tetapi, tiba-tiba kembali Mahisa Agni itu
terkejut sehingga seakan-akan darahnya membeku. Pada saat ia telah siap
untuk berpacu dan siap pula melepaskan kekuatan pamungkasnya, maka
terasa sebuah genggaman tangan yang kuat pada lengannya. Demikian
kuatnya sehingga Mahisa Agni hampir tertarik jatuh dari kudanya meskipun
ia telah bersiap dengan puncak kekuatannya. Dengan sekuat tenaga Mahisa
Agni mencoba merenggut dirinya, tetapi ia sama sekali tidak berhasil.
Ketika ia kemudian berpaling, maka nafsunya pun terhenti sesaat. Matanya terbalik dan mulutnya ternganga.
“Turunlah” terdengar sebuah perintah.
Perintah itu benar-benar seperti telah
memukau dirinya tanpa disadarinya. Segera ia meloncat dari kudanya dan
sebelum ia berbuat sesuatu orang yang mencengkam lengannya itu telah
meloncat naik.
Ketika Mahisa Agni akan mengucapkan kata-kata, terdengar suara orang itu menggeram, “Aku telah mendengar hitungan ke sembilan”.
Sebelum Mahisa Agni sempat menyahut, maka
kudanya telah bergerak membawa orang itu mendekati Wong Sarimpat.
Mahisa Agni menjadi bingung, matanya menjadi seolah-seolah melihat hantu
berseliweran di padang itu. Kehadiran Wong Sarimpat yang tiba-tiba itu
telah menggoncangkan hatinya dan tiba-tiba hadir pula orang lain seperti
demikian saja muncul dari padang rumput itu, atau tumbuh dari sela-sela
rumput-rumputan dan gerumbul.
Tetapi, kehadiran orang itu telah agak
menenteramkam hati Mahisa Agni. Perlahan-lahan ia menjadi tenang
kembali, sehingga ia kini dapat mempergunakan otaknya dengan lebih baik.
Ternyata ketika ia meninggalkan
perkemahannya, seseorang telah menyusulnya. Namun, kudanya agaknya
terlampau jelek, sehingga orang itu tertinggal terlampau jauh. Namun,
tanpa disangka-sangkanya, dari sebuah gerumbul muacul pula kuda yang
lain. Kuda Wong Sarimpat yang mengejarnya. Tetapi, agaknya Wong Sarimpat
tidak menyadari bahwa ada seekor kuda jelek mengejar di belakangnya.
Meskipun kuda itu semakin jauh, namun ketika mereka berdua berhenti dan
bermain-main dengan pedang, maka kuda yang jelek itu sempat menyusul
mereka. Tetapi, kenapa mereka sama sekali tidak mendengar suara
derapnya. Kalau ia tidak mendengar mungkin karena hatinya yang kacau.
Tetapi, apakah Wong Sarimpat juga tidak mendengarnya? Apakah orang itu
telinganya hanya mampu mendengar suara tertawanya sendiri yang
mengguntur-guntur.
Mahisa Agni tidak sempat berangan-angan
terlampau lama ia ingin melihat apa yang terjadi. Adalah pertolongan
dari Yang Maha Agung bahwa pamannya hadir pada saat ia di cengkam oleh
bahaya. Dan kini pamannya telah mewakilinya, menemui orang yang berwajah
keras sekeras batu padas itu.
Mahisa Agni masih melihat kudanya
berjalan perlahan-lahan mendekati arah suara Wong Sarimpat. Dengan
hati-hati ia berjalan mengikutinya. Ia ingin melihat apakah yang terjadi
di antara mereka, ia percaya bahwa pamannya menyadari siapakah yang
dihadapinya, dan ia percaya bahwa pamannya cukup mengerti perbandingan
kekuatan antara mereka. Sebab pamannya telah pernah menyebut-nyebut nama
itu pula, Wong Sarimpat.
Akhirnya Wong Sarimpat sampai kehilangan
yang kesepuluh. Setelah ia mengucapkan bilangan itu, maka ia pun segera
berteriak, “Mahisa Agni. Aku sudah sampai kebilangan yang ke sepuluh.
Ayo kemarilah, apakah pedangmu telah kau ketemukan?”
Ia melihat pamannya telah semakin dekat,
di samping sebuah gerumbul. Beberapa langkah dihadapannya kudanya
berhenti dan pamannya agaknya lebih senang menunggu Wong Sarimpat itu
berteriak sekali lagi.
“Mahisa Agni, ayo, kemarilah”.
Tanpa dikehendaki, Mahisa Agni berusaha
berdiri di balik lindungan sebuah gerumbul perdu. Sementara itu kudanya
berjalan maju perlahan-lahan.
“Ayo, kemarilah” teriak Wong Sarimpat pula, “apakah kau sudah menemukan pedangmu? Dan kenapa kau tidak lari saja he?”
Mahisa Agni yang berada di belakang
sebuah gerumbul itu pun mengumpat di dalam hatinya. Dugaannya ternyata
benar, bahwa Wong Sarimpat ingin mempermain-mainkannya. Wong Sarimpat
sengaja memberinya kesempatan untuk lari. Orang itu akan segera
mengejarnya, Demikian sehingga nafas Mahisa Agni akan habis dengan
sendirinya. Tetapi, rencana itu harus berubah, sebab ada orang lain yang
akan turut dalam permainan yang mengerikan itu.
Ketika Wong Sarimpat kemudian melihat
kuda yang perlahan mendekatinya, maka terdengar suara tertawanya
mengumandang di padang rumput yang luas itu. Perhatiannya sama sekait
tidak tertarik kepada gerumbul disampingnya. Matanya terpaku pada kuda
dengan penunggangnya itu, sehingga Mahisa Agni sempat merangkak lebih
mendekat lagi. Bahkan Mahisa Agni itu pun telah melupakan dirinya
sendiri pula. Keinginan untuk melihat apa yang akan terjadi telah
mendorongnya untuk mengintip dari balik dedaunan.
“Agni” teriak Wong Sarimpat. Tetapi, kuda itu tidak mendekat lagi.
“Kemari”
“Kemari” teriak Wong Sarimpat lagi. Kuda itu masih tegak ditempatnya.
“Apakah kau takut Agni?” bertanya Wong
Sarimpat, “kalau kau menurut maka aku tidak akan menyentuhmu. Mari
pulang ke rumah. Urusanmu seharusnya kau selesaikan sendiri dengan Kuda
Sempana. Aku hanya sekedar meraba maksudmu”.
Tetapi, tiba-tiba dada Wong Sarimpat itu
seperti terhantam guruh ketika ia mendengar penunggang kuda itu menjawab
perlahan-lahan, namun dengan suara yang mantap, “Baik Wong Sarimpat,
aku akan datang”.
Dan suara itu sama sekali bukan suara
yang pernah didengarnya diucapkan oleh Mahisa Agni. Suara itu jauh
berbeda. Nadanya dan getarannya.
Karena itu Wong Sarimpat justru
seakan-akan terpesona melihat sebuah bayangan hitam duduk di atas
punggung seekor kuda. Ketika kuda itu menjauhinya, maka orang yang duduk
di atas punggungnya adalah Mahisa Agni. Tetapi, ketika kuda itu datang
kembali, maka orang itu sudah berganti bentuk dan suaranya.
Dalam pada itu terdengar kembali bayangan di atas punggung kuda itu berkata, “Wong Sarimpat, apakah kau menanyakan pedangku?”
Wong Sarimpat tidak segera menjawab,
dicobanya untuk melihat dengan lebih saksama. Tetapi, jarak itu belum
terlampau dekat, dan hitam malam seakan-akan menjadi kian pekat.
“Siapakah kau?” teriak Wong Sarimpat.
“Mahiia Agni” jawab suara itu, “apakah
kau kini telah menjadi seorang pelupa, baru saja kau memberi kesempatan
kepadaku untuk mengambil pedangku. Bukankah kau menghitung sampai
hitungan kesepuluh dan memanggilku untuk kembali”.
Terdengar Wong Sarimpat menggeram.
Sejenak ia menjadi bingung. Apakah suara Mahisa Agni segera berubah?
Mungkin anak muda itu menjadi ketakutan sehingga nada suaranya berubah
menjadi terlampau rendah. Tetapi, suara yang didengarnya itu sama sekali
tidak berkesan ketakutan.
Dengan demikian maka dada Wong Sarimpat
itu pun di amuk oleh kebimbangan dan kebingungan. Tetapi, meskipun
demikian, Wong Sarimpat adalah seorang yang mempunyai kepercayaan yang
kuat kepada kemampuan diri sendiri sehingga bagaimanapun juga, maka
dihadapinya setiap persoalan dengan dada tengadah.
Sejenak kemudian kembali terdengar suara
tertawa orang itu menggelegar memenuhi Padang Karautan. Bahkan Mahisa
Agni yang bersembunyi itu pun menjadi terkejut bukan buatan. Ia tidak
tahu, mengapa tiba-tiba saja orang itu tertawa. Apakah kini Wong
Sarimpat itu telah mengenal bahwa yang duduk di atas punggung kuda itu
sama sekali bukan Mahisa Agni?
Tetapi, ketika ia mencoba memperhatikan
pamannya, yang telah menggantikannya, maka kembali ia menjadi tenang.
Pamannya itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara yang mengguruh
itu. Orang tua itu masih saja duduk dengan tenangnya, dan membawa
kudanya selangkah demi selangkah maju.
“Kemarilah” teriak orang itu.
“Aku sedang mendekat” sahut pamannya.
“Hem” Wong Sarimpat menggeram, “apakah Mahisa Agni mampu ajur-ajer mancala putra mancala putri? Ajo katakan siapa kau?”
“Siapakah aku menurut anggapanmu? Apakah aku bukan Mahisa Agni?”
Sekali lagi Wong Sarimpat tertawa
berkepanjangan. Ketika suara tertawanya menjadi semakin lirih, terdengar
ia berkata, “Bagus. Bagus. Suatu permainan yang bagus sekali. Ternyata
aku telah tcrjebak oleh permainan sendiri. Aku ingin melihat Mahisa Agni
lari terbirit-birit. ternyata kini ia telah datang kembali dengan wajah
dan keberanian baru”. Tiba-tiba suara tertawa kembali meninggi-ninggi.
Kini Wong Sarimpat tidak sekedar menunggu kehadiran bayangan di atas
punggung kuda itu. Perlahanlahan maka didorongnya kudanya untuk
mendekat. Semakin dekat suara tertawanya menjadi semakin keras, sehingga
kemudian diantara derai tertawanya itu ia berkata, “Oh. kau. Kau”.
“Ya, ternyata kau mengenal aku Wong Sarimpat”.
Wong Sarimpat itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini suara tertawanya telah berhenti. Dengan menunjuk kearah
wajah Empu Gandring ia berkata, “Hem, bukankah kau tukang keris yang
termasyur itu?”
“Terlalu berlebih-lebihan” jawab Empu
Gandring, “tidak banyak orang yang mengenal aku. Masih jauh lebih banyak
orang yang mengenal nama Wong Sarimpat”.
Kembali Wong Sarimpat tertawa, katanya,
“Kau memaag jenaka. Kau masih saja suka bergurau. Meskipun aku belum
mengenalmu terlalu dekat, tetapi aku sudah banyak mendengar tentang kau.
Empu Gandring. Pusaka buatanmu adalah pusaka yang tak ternilai
harganya”.
“Apakah kau sekarang membawa barang sehelai?”
“Sayang Wong Sarimpat” jawab Empu
Gandring, “aku tidak membawanya. Tetapi, kalau kau memerlukannya, aku
dapat membuat untukmu sekarang”.
“He” Wong Sarimpat mengerutkan keningnya, “dengan apa kau akan membuat keris disini?”
“Aku dapat membuatnya dari batu. Tanganku
dapat menyala untuk meluluhkan batu yang betapapun kerasnya Tanganku
pula dapat aku pakai untuk menempa di atas lutut”.
Suara tertawa Wong Sarimpat seakan-akan
meledak menecahkan anak telinga. Tubuhnya yang kekar pendek itu
terguncang-guncang, bahkan demikian kerasnya sehingga sebelah tangannya
menekan perutnya yang bergerak-gerak.
“Bagus, bagus. Kau memang Empu yang
terlampau sakti. Tetapi, kau tidak akan dapat menyalakan api disini,
sebab aku dadat menghembuskan hujan dari mulutku. Api mu pasti akan
padam dan batumu tidak akan dapat luluh”.
“Kalau demikian, maka aku pun mampu
mempergunakan batu itu untuk senjataku. Batu ditanganku tidak akan kalah
berbahayanya dari sebuah keris yang bagaimanapun saktinya”.
“Ya. Aku percaya” potong Wong Sarimpat, “tetapi sayang. Kau sekarang berhadapan dengan Wong Sarimpat”.
“Apa bedanya, apabila aku berhadapan dengan Kebo Sindet atau Empu Sada?”
“Bagus, bagus Kau tahu benar siapa saja
kau hadapi. Kau tahu pula hubungan antara Wong Sarimpat dengan Empu
Sada. Ternyata kau sengaja menyebut-nyebut namanya”.
“Kau tidak perlu ingkar”.
“Aku tidak akan ingkar. Bahkan aku kini
membenarkaanya, bahwa seorang diri amat sulit untuk menangkap Mahisa
Agni, karena kau selalu membayanginya”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya,
sedang dada Mahisa Agni yang mendengar kata-kata itu pun menjadi
berdebar-debar. Ternyata Empu Sada benar-benar berusaha untuk
menangkapnya untuk kepentingan Kuda Sempana.
Mahisa Agni menggeram, katanya di dalam
hati, “Dendam Kuda Sempana benar-benar telah meracuni hidupnya.
Ditinggalkannya istana dan mengembara tak menentu. Anak muda itu
benar-benar menjadi korban sikapnya yang terlampau keras”.
Sejenak kemudian terdengar Empu Gandring
menjawab, “Nah, sekarang apakah yang akan kau lakukan? Bukankah Empu
Sada sendiri mengakui, bahwa ia tidak dapat melakukannya? Apakah kau
sekarang datang bersama dengan Empu Sada?”
“Tidak” jawab Wong Sarimpat, “aku datang
sendiri. Aku ingin menangkap Mahisa Agni dan membawanya pulang. Aku
sangka Mahisa Agni hanya seorang diri, sebab aku tidak melihat orang
lain pergi bersama-sama dengan anak itu”.
“Beruntunglah bahwa kuda yang aku pakai
adalah kuda yang terlampau jelek, sehingga kuda itu tidak mampu lari
mengejar Mahisa Agni. Agaknya kau bertemu dengan anak muda itu tanpa
menyadari bahwa aku berpacu di belakangnya”.
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak mendengar derap kudamu mendekat”.
“Telingamu tersumbat oleh suara tertawamu
sendiri. Masih jauh aku sudah mendengar suaramu. Lebih keras dari derap
kudaku. Kemudian aku terpaksa menghentikan lari kuda itu.
Perlahan-lahan kudaku kemudian berjalan mendekat”.
“Setan,” desis Wong Sarimpat, “tetapi
sekarang ceritera tentang Empu Gandring pasti akan berbeda. Aku akan
memaksamu untuk manyerahkan Mahisa Agni. Ia tidak akan dapat lari.
Kudanya sekarang kau pergunakan. Sedang kudamu adalah kuda yang jelek.
Kau tahu bahwa kudaku mampu berlari secepat tatit yang meloncat di langit. Dan kudaku ini memang kunamakan Tatit”.
“Mahisa Agni adalah kemanakanku. Jangan
mengigau. Kau tahu bahwa aku tidak akan merelakannya. Sekarang, bukankah
kau akan mempergunakan kekerasan? Cobalah pergunakan. Aku sudah siap
melawan setiap kekerasan dengan kekerasan pula”.
“Setan alasan” sekali lagi Wong Sarimpat
mengumpat. Tatapi kata-katanya kemudian seperti tersumbat
dikerongkorgan karena kemarahannya Dengan serta merta ia menggerakkan
kudanya dan menyerang Empu Gandring.
Tetapi, Empu Gandring telah siap menunggu. Karena itu, maka kendali kudanya pun digerakkan, sehingga kudanya segera maju pula.
Keduanya adalah orang-orang sakti yang
pilih tanding. Itulah sebabnya maka keduanya tidak dapat meninggalkan
kewaspadaan tertinggi.
Ketika kedua ekor kuda itu berpapasan,
maka Wong Sarimpat segera mengayunkan tangannya. Dengan telapak
tangannya ia menyerang ke arah Empu Gandring. Tetapi, Empu Gandring
segera melawan serangan itu. Empu Gandring sengaja tidak menghindarkan
dirinya. Meskipun ia pernah mendengar tentang Wong Sarimpat, tetapi ia
belum perrah mengukur langsung, betapa besar kekuatannya. Karena itu,
ketika ia melihat tangan Wong Sarimpat terayun kearahnya, maka segera ia
pun memukul telapak tangan itu dengan sisi telapak tangannya.
Wong Sarimpat menggeram. Ia melihat cara
Empu Gandring menyambut serangannya. Orang tua itu sama sekali tidak
mcncoba menghindar. Namun, agaknya Wong Sarimpat pun ingin tahu, sampai
dimana kebenaran kata orang, bahwa tangan Empu Gandring itu mampu
dipakainya untuk menempa keris. Dengan sengaja Wong Sarimpat tidak
menarik serangannya. Bahkan dihentakkannya tangan itu sekuat tenaganya.
Dengan dahsyatnya kedua kekuatan itu
berbenturan. Keduanya menyeringai menahan getaran yang menggigit tangan
masing-masing. Kedua tangan itu terdorong kebelakang sehingga
hampir-hampir mereka terlempar dari kuda masing-masing.
“Bukan main” desis Empu Gandring, “Alangkah besar kekuatannya”.
Namun dalam pada itu, Wong Sarimpat
mengumpat keras-keras, “Anak demit. Ternyata bukan cerita melulu, bahwa
dengan tanganmu kau mampu menempa keris. Hampir aku hampir terjatuh dari
kudaku, dan hampir-hampir pula lenganku kau patahkan. Sekarang aku
percaya bahwa kau menyimpan tenaga raksasa di dalam tubuhmu yang kering
itu. Tenagamu tidak kalah dengan tenaga Empu Sada. Tetapi, kau tidak
curang seperti Empu Sada”.
Empu Gandrirg mengerutkan keningnya. Tiba-tiba tanpa dikehendakija sendiri ia bertanya, “Hei, apa Empu Sada Curang?”
Wong Sarimpat pun terdiam. Agaknya
mulutnya telah terlanjur mengatakannya. Tetapi, segera ia tertawa
gemuruh memenuhi Padang Karautan. Katanya, “kita selesaikan. Jangau kau
hiraukan Empu Sada. Aku telah mewakilinya. Ayo, sekarang kita selesaikan
persoalan ini. Aku harus kembali membawa Mahisa Agni. Kalau kita
berkelahi dengan tangan, menggunakan segala macam Aji yang ada pada
kita, maka kita tidak akan selesai. Mungkin kita tidak akan dapat
menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam sepekan.
Sekarang kita simpan Aji kita untuk kepentingan lain. Kalau kulitmu
tidak kebal, maka tajamnya akan membelah dadamu”.
Wong Sarimpat tidak menunggu jawaban Empu
Gandring. Tiba-tiba sebuah golok yang besar telah tergenggam di
tangannya. Golok yang dengan serta merta telah telah ditariknya dari
sarung di lambungnya.
Sekali lagi lagi Empu Gandring menarik
nafas dalam-dalam. Golok itu memang terlampau besar. Tetapi, tidak
terlampau panjang. Tangkai golok itu terlalu lampau pendek.
“Ambil senjatamu” teriak Wong Sarimpat, “aku tidak mau membunuh orang yang tidak bersenjata”.
“Baik” sahut Empu Gaadring. Tangannya pun segera begerak, meraih tangkai senjatanya lewat di atas pundaknya.
Kerisnya yang khusus melekat di punggungnya. Keris yang sebesar pedang, sedang tangkainya mencuat dibelakang kepalanya.
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya
melihat senjata Empu Gandring itu. Sejenak ia terdiam, namun sejenk
kemudian iapun tertawa pula berkepanjangan. Dengan suara yang
menggelegar memenuhi Padang Rumput Karautan ia berkata, “Lihat Empu
Gandring. Mentang-mentang kau tukang membuat keris, kau buat keris untuk
dirimu sendiri sebesar itu?”
“Apakah kau baru sekali ini melihat keris sebesar ini Worg Sarimpat?” bertanya Empu Gandring.
“Tidak. Tidak. Para bangsawan Kediri juga
mempunyai keris yang besar, sebesar kerismu. Apakah kau pula yang
membuat keris-keris itu?”
“Bukan hanya seorang Empu keris di seluruh Kediri ini Wong Sarimpat”.
Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan.
Kemudian katanya, “Kalau keris buatanmu terkenal disegenap penjuru
Kediri, maka keris yang kau buat untukmu sendiri, pastilah sebilah keris
yang luar biasa. Mungkin kerismu sakti tiada taranya. Tersentuh kerismu
berarti binasa. Bahkan mungkin gunung akan runtuh dan lautan akan
menjadi kering. Begitu?”
Empu Gandring mengerutkan keningnya. Tetapi, ia menjawab, “Ya. Gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering”.
Dan Wong Sarimpat itu menjawab pula, “Tetapi, Wong Sarimpat teguh timbul melampaui gunung dan lautan”.
“Kerisku mampu meruntuhkan gunung dan
mengeringkan lautan. Kalau kau teguh timbul melampaui gunung dan lautan,
maka kau harus memperhitungkan tenaga ayunan tangan Empu Purwa. Jangan
membantah dahulu. Tak ada gunanya. Sebab tenaga kita telah beradu. Aku
dapat mengukur kekuatanmu dan kau dapat mengukur kekuatanku”.
“Bagus. Bagus. Kau benar Empu. Kita tak
usah membual. Mari kita bertempur, setelah satu dari kita mati, maka
bualan kita baru akan terbukti”.
“Aku sudah menunggu” sahut Empu Gandring.
Wong Sarimpat terdiam. Wajahnya tiba-tiba
menjadi tegang. Sejenak dipandanginya keris Empu Gandring yang besar,
sebesar pedang. Namun, ujungnya yang runcing dan tajam di kedua sisinya,
serta luk pitu, memberikan ciri, bahwa yang digenggam di tangan Empu
Gandring itu adalah sebilah keris. Bukan pedang dan bukan pula golok
seperti senjatanya.
Kini Wong Sarimpat tidak ingin lebih lama
lagi menunggu. Disadarinya bahwa malam telah membenam lebih dalam lagi.
Karena itu maka terdengar suaranya melengking mengejutkan. Kudanya
seolah-olah meloncat menyergap Empu Gandring.
Namun, Empu Gandring telah siap benar
menunggu serangan itu. Dengan demikian maka orang itu sama sekali tidak
gugup. Digerakkannya kendali kudanya dan dengan sigap pula disongsongnya
serangan Wong Sarimpat. Beruntunglah Empu Gandring bahwa kini ia berada
di punggung kuda Mahisa Agni, sehingga dengan demikian ia dapat cukup
lincah mengimbangi Wong Sarimpat.
Demikianlah maka segera mereka terlibat
dalam sebuah perkelahian yang sengit. Wong Sarimpat memiliki keahlian
yang mumpuni dalam hal menunggang kuda. Tetapi, Empu Gandring pun cukup
cakap mengendalikan kudanya. Apalagi ketrampilannya menggerakkan
kerisnya adalah ngedap-edapi. Hampir setiap saat ia bergulat
dengan keris. Mungkin ia sedang membuat, dan mungkin sedang berlatih
seorang diri untuk menyempurnakan ilmunya. Sehingga dalam keadaan yang
memaksanya benar-benar mempergunakan senjata itu, Empu Gandring sama
sekali tidak mengecewakan.
Namun, Wong Sarimpat pun adalah seorang
yang memiliki ilmu yang hampir sempurna. Goloknya yang besar itu
seakan-akan hampir tidak menahan gerak tangannya. Senjata itu berputar
dan terayun-ayun seperti sepotong lidi saja.
Dengan demikian, maka kedua orang itu
tidak segera dapat melihat, apakah yang akan terjadi dalam perkelahian
itu. Kedua ekor kuda yang tegar itu pun menyambar-nyambar seperti Burung
Garuda, sedang di punggungnya seolah-olah Wisnu sedang menari-nari
dengan gairahnya, menarikan tari maut.
Mahisa Agni melihat pertempuran itu. Anak
muda itu pun adalah anak muda yang menyimpan ilmu yang cukup di dalam
dirinya. Tetapi, orang-orang yang sedang bertempur itu adalah
orang-orang yang mengagumkan. Pamannya dan Wong Sarimpat dapat
disejajarkan dengan gurunya, Empu Purwa yang seakan-akan kini telah
lenyap dari pergaulan karena duka yang mencengkam hatinya tiada
tertanggungkan lagi.
Dengan dada yang bergelora Mahisa Agni
mengikuti setiap gerak dari kedua orang yang sedang bertempur itu.
Ternyata Wong Sarimpat adalah benar-benar seorang yang kasar. Dengan
memekik-mekik dan berteriak-teriak ia menyerang dengan garangnya,
goloknya terayun-ayun mengerikan, sekali-kali menyambar kepala namun
segera mematuk lambung.
Lawannya Empu Gandring, cukup tenang
menghadapi tata gerak yang kasar itu. Tetapi, ErpPu Gandring yang
memiliki pengalaman yang cukup segera melihat apa yang dilakukan oleh
lawannya itu dengan cermat. Gerak Wong Sarimpat tampaknya kasar dan
tidak teratur, namun dalam gerak yang kasar dan tampaknya tidak teratur
itu tersembunyi ilmu yangg dahsyat. Ilmu yang memang dalam ungkapannya
berbentuk serupa itu, kasar dan mengerikan. Namun, Empu Gandring tidak
membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaannya. la tidak mau terseret
dalam tingkah laku yang kasar pula. Sebab dengan demikian ia telah
menjerumuskan dirinya sendiri kedalam bahaya. Ia tidak dapat mengimbangi
kekasaran itu dengan kekasaran pula.
Itulah sebabnya maka kini Empu Gandring
tidak lagi ingin melawan setiap serangan dengan serangan. Ia tahu, bahwa
kekuatan Wong Sarimpat tidak melampauinya, namun ia akan terseret ke
dalam sikap yang tidak dipahaminya.
Maka untuk seterusnya Empu Gandring
menghadapi dengan sikap yang tenang. Tetapi, setiap gerak tangannya,
benar-benar menimbulkan desir di dada lawannya.
Perkelahian diantara kedua orangg yang
sakti itu semakin lama menjadi semakin seru. Masing-masing telah mcncoba
mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat mengalasi lawannya. Namun,
ternyata bahwa mereka berdua benar-benar seperti sepasang Burung
Rajawali yang berlaga di udara. Tak ada tanda-tanda bahwa salah seorang
dari mereka akan berhasil memenangkan perkelahian itu. Silih-ungkih desak-mendesak.
Debu yang putih pun semakin lama menjadi
semakin banyak berhamburan dilontarkan oleh kaki-kaki kuda yang
seakan-akan ikut serta berlaga. Kadang-kadang terdengar kuda-kuda itu
meringkik dengan kerasnya apabila terasa penunggangnya menarik kendali
terlampua keras, dan kadang-kadang kuda itu pun saling berbenturan
sementara penunggangnya membenturkan senjata-senjata mereka.
Namun, keduanya adalah orang-orang yang
pilih tanding Semakin banyak keringat membasahi tubuh-tubuh mereka, maka
mereka menjadi semakin trampil. Wong Sarimpat menjadi semakin garang
dan kasar, sedang Empu Gandring menjadi semakin lincah dan cekatan.
Mahisa Agni masih saja duduk di belakang
gerumbul. Tetapi, ia sudah kehilangan nafsunya untuk bersembunyi terus.
Bahkan semakin lama ia bergeser semakin jauh dari tempat
persembunyiannya, dan malahan kadang-kadang ia harus mendekat untuk
dapat melihat kuda-kuda itu berlari-larian di Padang Karautan.
Tetapi, perkelahian itu masih berlangsung
dalam keadaan yang serupa saja. Mereka masing-masing mencoba menunggu
apabila lawan-lawannya membuat kelalaian-kelalaian kecil, sehingga salah
seorang dari mereka akan mendapat kesempatan yang baik. Tetapi,
kesempatan itu tidak juga kunjung datang. Sehingga dalam kejemuan
akhirnya Wong Sarimpat berteriak-teriak keras sekali.
Empu Gandring sama sekali tidak
menanggapinya. Ia bertempur dengan cermat. Kerisnya yang besar itu
bergetar dan mematuk dari segenap penjuru. Namun, setiap kali senjata
itu selalu membentur golok Wong Sarimpat yang besar itu, seakan-akan
golok itu pun melebar seluas perisai yang mengelilingi tubuh Wong
Sarimpat.
Di langit bintang gemintang beredar
dengan terangnya seakan-akan sama sekali tak dihiraukannya pertempuran
yang dahsyat yang terjadi di Padang Karautan. Angin yang dingin mengalir
lambat mengusap tubuh-tubuh yang berkeringat itu. Tetapi, mereka yang
bertempur sama sekali tidak menghiraukannya betapa sejuknya udara di
malam yang dingin itu.
Wong Sarimpat akhirnya benar-benar
menjadi jemu. Ia ter paksa melilat suatu kenyataan, bahwa Empu Gandring
tidak dapat dikalahkannya, betapapun ia berusaha. Apapun yang
dilakukannya, maka Empu Gandring pasti mampu menyelamatkan dirinya
seperti apa yang terjadi sebaliknya.
Karena itu, tiba-tiba Wong Sarimpat
berpendirian lain. Lebih baik ditinggalkannya mereka kali ini. Ia akan
menyampaikan semua peristiwa itu kepada kakaknya. Ia memang harus datang
berdua sedikit-dikitnya supaya dapat melepaskan Mahisa Agni dari
pamannya yang selalu membayanginya itu.
Kini, dalam perkelahian ini, ia sama
sekali tidak dapat melihat siapakah yang akan dapat memenangkannya. Ia
tidak melihat kemungkinan untuk membawa Mahisa Agni.
Dengan demikian, maka Wong Sarimpat itu
pun kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan lawannya dan kembali
ke Kemundungan. Ia akan segera kembali bersama dengan Kebo Sindet untuk
mengambil Mahisa Agni.
Ketika perkelahian itu masih berlangsung
dengan sengitnya tiba-tiba Wong Sarimpat menarik kendali kudanya yang
kemudian berputar dan berlari menjauh. Yang terdengar kemudian adalah
suaranya mengguruh disertai derai tertawanya, “Maaf Empu Gandring, aku
terpaksa meninggalkanmu”.
Empu Gandring tertegun melihat lawannya
menyingkir. Di dalam remang-remang gelap malam ia melibat Wong Sarimpat
itu berhenti beberapa langkah dari padanya sambil berkata terus, “Aku
tidak melihat titik akhir dari perkelahian ini, sehingga aku menganggap
bahwa apa yang terjadi seterusnya sama sekali tidak akan berarti. Karena
itu, aku mohon diri, aku sudah rindu kepada kakakku Kebo Sindet.
Mungkin ia ingin menemuimu. Lain kali aku akan membawanya kemari”.
Empu Gandring tidak menjawab. Didorongnya kudanya maju mendekat, tetapi kuda Wong Sarimpat pun berjalan menjauh.
“Jangan mencoba mengejar aku. Kudamu
lebih jelek dari kudaku, sehingga kau tidak akan berhasill. Meskipun
seandainya kau mempunyai kesaktian berlipat-ganda dari padaku pun kau
masih harus tergantung kepada kaki-kaki kudamu. Kalau kau tidak percaya,
buktikanlah”.
Wong Sarimpat tidak menunggu Empu
Gandring menjawab. Ditariknya kekang kudanya sehingga kudanya berputar
setengah lingkaran. Kemudian kuda itu pun seakan-akan meloncat dan
terbang meninggalkan Empu Gandring yang memandanginya dengan wajah yang
kecut.
“Hem, hantu itu benar-benar berbahaya” gumamnya.
Mahisa Agni pun melihat betapa Wong
Sarimpat memacu kudanya meninggalkan Padang Karautan. Tetapi, ia
menyadari pula bahwa pamannya pasti tak akan dapat mengejarnya karena
kuda Wong Sarimpat yang bernama Tatit itu mampu berlari benar-benar seperti tatit.
“Agni”. Mahisa Agni mendengar pamannya memanggil. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mendekati Empu Gandring.
“Bukankah benar kataku bahwa di padang ini tersembunyi seribu macam bahaya?”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Sepatah pun ia tidak menjawab.
“Kau melihat sendiri, betapa berbahayanya
orang sekasar Wong Sarimpat. Bahkan menurut penilaianku, orang ini jauh
lebih berbahaya daripada Empu Sada sendiri. Dan kini mereka agaknya
berdiri di pihak yang sama. Aneh. Untuk melawanmu Empu Sada harus
bersusah payah mencari teman seliar Wong Sarimpat.
Mahisa Agni masih saja berdiam diri
Bahkan kepalanya pun masih juga ditundukkannya. Kalau dikenangkan apa
yang baru saja terjadi, maka ia menjadi ngeri sendiri. Meskipun ia sama
sekali bukan seorang pengecut, tetapi menghadapi orang yang ganas
seperti Wong Sarimpat, adalah suatu pekerjaan yang tidak menyenangkan.
Dalam pada itu terdengar Empu Gandring
betkata, “Semula aku juga hanya ingin mengharap bahwa kau tidak bertemu
dengan bahaya, tetapi akhirnya aku tidak sampai hati untuk melepaskan
kau pergi seorang diri di malam yang terlampau gelap untuk menyeberangi
Padang Karautan yang garang ini.. Karena itu aku mencoba menyusulmu.
Ketika kudaku menjadi semakin dekat, agaknya kau telah mamacu kudamu.
Padahal yang aku dapatkan hanya seekor kuda yang tidak terlampua baik,
sehingga jarak diantara kita menjadi semakin lama semakin jauh.
Mahisa Agni masih berdiri mematung. Dan
Empu Gandring itu pun akhirnya berkata ”Sekarang bagaimana Agni. Kita
sudah melampaui separo jalan. Apakah kau akan kembali atau kau ingin
meneruskan perjalanan ini”.
Sejenak Mahisa Agni menjadi ragu-ragu.
Tetapi, ketika diingatnya bahwa di perkemahan seorang kawannya mengharap
kedatangannya dengan membawa obat, maka jawabnya kemudian, “Aku akan
meneruskan perjalanan ini paman”.
“Hm” Empu Gandring menarik nafas
dalam-dalam. Namun, ia berkata, “Baiklah. Perjalanan ini sudah cukup
jauh. Marilah aku antarkan kau ke Panawijen. Mudah-mudahan kita akan
segera kembali sebelum Wong Sarimpat sempat memanggil kakaknya yang
bernama Kebo sindet itu”.
“Apakah rumah mereka tidak terlampau jauh?”
“Aku dengar mereka bersembunyi di
Kemundungan. Jarak cukup jauh. Tetapi, apabila kakaknya, Kebo Sindet
telah berada di perjalanan kemari, maka mereka akan segera kembali”.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali
lagi ia menyesalkan Kuda Sempana. Persoalan yang ada sekarang sudah
jauh berkisar dari persoalan yang semula. Kuda Sempana kini sudah tidak
lagi mempersoalkan Ken Dedes, karena ia menyadari, bahwa ia tidak akan
mungkin lagi merebutnya dari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi, yang ada
sekarang adalah dendam yang tiada akan padam menyala di dada anak muda
yang merasa dirinya dikecewakan dan disakiti hatinya.
Tetapi, Mahisa Agni tidak dapat terlampau
lama berangan-angan. Sekali lagi pamannya berkata, “Kalau akan
meneruskan perjalanan, marilah. Kudaku aku tambatkan di belakang
semak-semak tempat kau mencari pedangmu”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Perlahan-lahan ia melangkah ke dalam gelap, mencari kuda Empu Gandring.
“Apakah kau akan memakai kudamu ini?” bertanya Empu Gandring.
“Tidak paman” sahut Mahisa Agni, “sama saja bagiku. Bukankah kita akan berjalan bersama-sama”.
Empu Gandring tersenyum. Diikutinya Mahisa Agni berjalan mengambil kuda pamannya.
Sejenak kemudian mereka berdua telah
berpacu kembali ke Panawijen. Namun, mereka sudah pasti tidak akan dapat
berada kembali di bendungan yang sedang mereka kerjakan terlampau pagi.
Perjalanan mereka telah terganggu, sehingga waktunya pun menjadi
bertambah panjang.
Sementara itu Wong Sarimpat berpacu pula
cepat-cepat kembali ke Kemundungan. Ia menyesal bukan kepalang atas
kegagalannya, dan tanpa kesadarannya mulutnya telah mengumpat
habis-habisan.
“Setan tua itu sepantasnya dipancung
kepalanya. Ia harus dibinasakan seperti Empu Sada. Aku ingin
membenamkannya pula di dalam sendang tempat Empu Sada membunuh dirinya.
Melibatkannya pada akar-akar ganggang dan menggantungi lehernya dengan
batu”.
Dan Suara Wong Sarimpat itu pun
mengumandang berkeliling padang yang luas dan gelap. Namun, padang itu
terlampau sepi. Tak seorang pun mendengarkannya dan tak seorang pun yang
melihatnya ia berpacu seperti dikejar hantu.
Ketika orang itu kemudian memasuki sebuah
hutan tiba-tiba ia merasa jemu berpacu. Orang yang tidak pernah
mengenal lelah itu, tiba-tiba ingin berhenti dan beristirahat. Mungkin
kudanya memang memerlukan waktu untuk beristirahat sejenak.
Tetapi, istirahat itu pun terasa
menjemukan sekali. Wong Sarimpat mencoba berbaring sejenak. Begitu saja
di atas tanah yang lembab. Dicobanya untuk mereka-reka, bagaimana
mungkin ia membalas sakit hatinya. Tetapi, ia tidak segera menemukannya.
Ketika perlahan-lahan ia mendengar suara
berdesir disisinya, cepat ia meloncat bangkit. Dalam kegelapan malam, ia
mendengar suara itu menyelusur menjauhi kakinya.
“Ular gila itu ingin aku cekik sampai mati” teriaknya.
Tetapi, malam di dalam hutan itu cukup
kelam, sehingga betapapun tajam penglihaannya, namun ia tidak berani
menyerang ular itu, meskipun disiang hari adalah pekerjaan Wong Sarimpat
menangkap dan membunuh ular hanya dengan tangannya. Kulitnya sangat
digemarinya seperti ia merggemari berbagai macam batu-batuan.
Dalam kejengkelannya Wong Sarimpat itu
kembali meloncat ke punggung kudanya, dan kembali ia berpacu menembus
jalan-kalan sempit di hutan itu. Jalan yang biasa dilalui oleh para
pejalan dan para pencari kayu bakar.
Ketika kudanya meluncur di antara
batang-batang yang agak jarang, maka ditengadahkannya. Sekali lagi ia
mengumpat keras-keras ketika ia melihat bayangan yang mewarnai langit.
Orang itu sampai di Kemundungan melampaui
tengah hari. Langsung ia mencari kakaknya untuk menceriterakan apa yang
telah dilihatnya.
Kebo Sindet yang sedang mencoba
memberikan beberapa macam ilmu kepada Kuda Sempana tertegun mendengar
adiknya berteriak-teriak di depan gubugnya. Sambil bersungut-sungut ia
menjawab, “Aku di sini Wong Sarimpat”.
Kuda Sempana pun tertegun pula. Bahkan ia
terkejut. Sebelum ia melihat Wong Sarimpat, ia telah mendengar suaranya
mengumpat-umpat tak habis-habisnya.
“Kita berhenti sebentar Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet.
Kuda Sempana yang memang kurang mempunyai
gairah untuk berlatih ilmu yang kasar itu, menjadi gembira didalam
hatinya, meskipun setiap kali diminta untuk berlatih, ia tidak berani
menolaknya.
Sejenak kemudian Wong Sarimpat telah
muncul dari balik sudut gubug yang kotor itu. Dengan nafas
terengah-engah ia berjalan mendekati kakaknya. Wajahnya tampak tegang
dan mulutnya masih saja mengumpat-umpat.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya Kebo Sindet. Tetapi, wajahnya sama sekali tidak bergerak. Beku.
“Hampir aku berhasil meskipun aku hanya seorang diri” berkata Wong Sarimpat dengan bertolak pinggang.
“Apa yang berhasil?” bertanya kakaknya.
“Buruanmu. Seakan-akan telah berada ditelapak tangan. Tetapi, tiba-tiba berhasil lepas kembali”.
“Mahisa Agni maksdumu?” bertanya Kebo Sindet.
“Ya”.
Wajah yang beku itu tiba-tiba bergerak.
Tampak beberapa garis kerut merut di dahinya. Namun, hanya sesaat.
Sesaat kemudian wajah itu telah beku kembali.
“Aku telah berhasil menangkapnya” berkata Wong Sarimpat pula.
“Dimanakah anak itu sekarang”.
“Sudah aku katakan, anak itu lepas kembali”.
“Kenapa?”.
“Setan tua itu datang mengganggu”.
“Siapa yang kau maksud? Empu Purwa, Bojong Santi, atau Empu Sada sendiri?”
“Kali ini Empu Gandring. Pamannya”.
Terdengar mulut Kebo Sindet menggeram,
Tiba-tiba ia berkata tidak terlampau keras, tetapi mengejutkan Wong
Sarimpat, “Kaulah yang bodoh”.
Wong Sarimpat mengerutkan dahinya. Katanya, “Kenapa aku yang bodoh?”
“Sudah dikatakan oleh Empu Sada bahwa
anak itu tidak dapat ditangkap seorang diri. Kalau kau mampu
melakukannya. maka Empu Sada tidak akan ribut kemari memanggil kita”.
Wong Sarimpat menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi, ia tidak menyahut. Dan kakaknya berkata pula, “Bukankah Empu
Sada pernah mengatakan bahwa ada saja yang selalu membayanginya. Kali
ini kau bertemu dengan Empu Gandring, mungkin kalau kau berbuat bodoh
untuk kedua kalinya kau akan bertemu dengan Empu Purwa, guru anak itu
sendiri. Di lain kali kau akan bertemu dengan Panji Kelantung dari
Tumapel atau bahkan apabila masih hidup, Empu Sada sendiri akan
menemuimu”.
Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan.
Tetapi, ia menjawab, “Jangan kau sebut orang yang terakhir itu kakang.
Aku pasti bahwa ia telah mampus ditelan ganggang”.
“Mudah-mudahan” sahut kakaknya, “tetapi
meskipun Empa Sada telah mati, namun kebodohanmu tidak terhapus
karenanya. Kau tahu akibat dari perbuatanmu?”
Mata Wong Sarimpat meredup, seakan-akan
ia mcncoha berpikir. Tetapi, akhirnya ia hanya menggelengkan kepalanya
sambil menjawab, “Akibatnya adalah kita masih harus menangkapnya”.
“Kau benar-benar bodoh” suara Kebo
Sindet datar, tetapi mengandung tekanan sehingga Wong Sarimpat terdiam.
Dibiarkannya kakaknya beikata terus, “Akibatnya adalah Mahisa Agni dan
Empu Gandring itu menyadari bahaya yang mengintainya. Kini ia tahu pasti
siapa yang harus mereka hadapi. Bukan sekedar Empu Sada. Tetapi, Empu
Gandring itu sudah melihat tampangmu yang kasar seperti batu asahan.
Wong Sarimpat menggeram. Tetapi, ia tidak
menjawab. Ketika dilihatnya Kuda Sempana mengawasinya pula, tiba-tiba
matanya terbelalak sehingga cepat-cepat Kuda Sempana melemparkan
pandangannya ke titik yang jauh.
“Jangan menyalahkannya” bentak kakaknya,
“sudah sewajarnya Kuda Sempana kecewa terhadap sikapmu. Dengan demikian
maka usaha ini akan menjadi semakin panjang. Kalau kau tetap pada
kuwajiban yang aku bebankan padamu, mengintai saja anak muda itu, maka
aku pasti akan segera berangkat ke Panawijen. Aku dapat mengikat Empu
Gandring dalam perkelahian dan kau dapat menangkap anak itu dengan
mudah. Sekarang, setelah kegagalan yang bodoh itu, apa katamu?”
Mulut Wong Sarimpat bergerak-gerak. Tetapi, tak sepatah kata pun meloncat dari sela-sela bibirnya.
Kemudian Kebo Sindet itu berkata kepada Kuda Sempana, “Kita harus bersabar lagi beberapa lama karena kebodohan pamanmu”.
Kuda Sempana tidak segera menyawab.
Sekali lagi mencoba memandangi wajah Wong Sarimpat, tetapi sekali lagi
ia melihat Wong Sarimpat membelalakkinya, sehingga Kuda Sempana itu
menundukkan kepalanya. Tetapi, ketika Kebo Sindet berpaling, maka Wong
Sarimpat pun menundukkan kepalanya pula secepat-cepatnya.
“Kuda Sempana,” berkata Kebo Sindet,
“pekerjaanmu kemudian adalah berlatih sebaik-baiknya. Kita masih harus
menunggu beberapa hari lagi. Kita mengharap mereka akan menjadi lengah.
Tetapi, aku mempunyai harapan yang lain pula. Mudah-mudahan aku segera
menjadi semakin sempurna dalam olah kanuragan, sehingga suatu saat kau
sendiri akan mampu menghadapi Mahisa Agni. Akan berbanggalah kau kiranya
apabila kau datang dan mangajukan tantangan jantan. Perang tanding di
hadapan beberapa saksi”.
Kuda Sempana tidak menjawab. Sepercik
kebanggaan melonjak di dalam dadanya. Tetapi, kemudian di sudut yang
lain kembali memancar perasaan syaknya. Ia tetap berprasangka terhadap
orang yang berwajah beku sebeku majat itu.
Tetapi, Kuda Sempana tidak mau membebani
kepalanya dengan segala macam kebingungan. Kini ia menghadapi
kesempatan. Apa pun yang akan terjadi kemudian akan dihadapinya
kemudian. Namun, peningkatan ilmu baginya pasti akan berguna. Untuk
apapun. Sehingga Kuda Sempana pun kemudian justru berusaha untuk
menambah ilmunya sebaik-baiknya. Dicobanya untuk mengatasi perasaan
segan yang hampir setiap kali mengganggunya.
Ketika Wong Sarimpat itu pun kemudian
dengan langkah yang tersendat-sendat meninggalkan kakaknya yang
memarahinya, kembali Kebo Sindet dan Kuda Sempana meneruskan latihan
mereka disamping gubugnya dibawah bukit padas.
Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Empu
Gandring pun telah berpacu kembali ke Padang Karautan. Sekali-sekali
Mahisa Agni menengadahkan wajahnya. Hatinya menjadi gelisah ketika
matahari telah merambat semakin tinggi. Rencana hari ini pasti akan
tertunda.
“Hanya tertunda satu hari bagi pekerjaan
sebesar itu” ia mencoba menghibur dirinya. Tetapi, perasaannya
seakan-akan selalu terganggu. Penundaan rencananya kali ini seolah-olah
tidak disebabkan oleh alasan yang wajar.
Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar pamannya berkata, “Kau kecewa atas rencanamu yang tertunda itu Agni”.
Mahisa Agni tidak dapat menjawab lain.
Pamannya itu seolah-olah dapat melihat isi hatinya seluruhnya. Maka
jawabnya, “Ya paman. Sebenarnya aku sudah mantap untuk memulainya hari
ini”.
“Pekerjaan itu hanya tertunda satu hari
saja Agni. Jangan kau risaukan. Seandainya air itu membawa pasir pada
dasar sungai, maka perbedaan dalam hari ini dengan besok tidak akan
lebih dari lima cengkang”.
Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi, ia
benar-benar dicengkam oleh perasaan kecewa. Meskipun demikian, hatinya
terhibur pula ketika tersentuh olehnya bagian-bagian dari batang kates
grandel yang dibawanya. Katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan usahaku
ini tidak sia-sia. Mudah-mudahan penundaan rencanaku itu pun tidak
sia-sia. Anak yang sakit itu pun segera menjadi sembuh”.
Karena Mahisa Agni tidak menjawab maka
pamannya berkata seterusnya, “ Orang-orang Panawijen termasuk
orang-orang yang kurang gairah menghadapi kerja. Tetapi, kau harus
mengucap sukur bahwa semakin lama menurut penglihatanku mereka menjadi
semakin sadar, bahwa apa yang dikerjakan itu merupakan harapan bagi masa
depan mereka sehingga tampaknya merekapun menjadi semakin bernafsu.
Tetapi, ingat Agni. Pada dasarnya orang-orang Panawijen sudah terlampau
lama menikmati tanah yang subur, air yang berlimpah, sehingga
seakan-akan apa pun yang dilemparkan ke tanah, pasti akan tumbuh dan
memberi hasil yang baik. Dengan demikian pada dasarnya, mereka tidak
menghendaki bekerja terlampau berat seperti yang dilakukan kali ini. Kau
harus memperhitungkan setiap keadaan. Jangan kau abaikan pemeliharaan
nafsu bekerja dan gairah akan harapkan mereka dimasa dating”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari sepenuhnya kata-kata pamannya itu.
Matahari yang memanjat langit pun menjadi
semakin tinggi. Sejenak kemudian maka dicapainya puncak langit untuk
seterusnya turun kembali kearah Barat.
Meskipun Mahisa Agni berusaha untuk
menenteramkan hatinya, tetapi ia tidak dapat melupakan kekecewaannya
hari ini. Bahkan di dalam hatinya ia masih saja bergumam, “Aku terlampau
lama di Panawijen. Tetapi, ternyata bahwa pohon kates grandel itu tidak
terlampau banyak, sehingga agak sulit juga aku mencari. Kalau saja aku
tidak usah menunggu bibi Nyai Buyut menanak nasi, mungkin aku sudah
sampai di bendungan sebelum tengah hari. Mungkin aku masih dapat
memasukkan satu dua brunjung ke dasar sungai itu. Tetapi, kini tengah
hari itu sudah lampau”.
Keduanya kemudian tidak lagi
bercakap-cakap. Keringat-keringat mereka bercucuran seperti diperas dari
dalam tubuh-tubuh mereka. Panas yang terik terasa membakar kulit.
Semak-semak yang jarang-jarang tumbuh disana-sini tidak banyak memberi
kesegaran bagi mereka.
Selepas-lepas mata memandang, Mahisa Agni
hanya melihat sinar matahari yang menyala di atas padang rumput yang
luas itu. Bahkan kadang-kadang seakan-akan dilihatnya padang itu menguap
dan mencerminkan wajah air. Tetapi, Mahisa Agni menyadari, bahwa
penglihatannya itu adalah karena udara yang terlampau panas membakar.
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba
saja pamannya berkata, “Agni, setiap hari kalian bekerja dibawah terik
matahari seterik hari ini. Setiap hari kulit kalian telah dipanasi
seperti padang ini. Alangkah berat pekerjaan itu”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula
.
“Tetapi, kalau kalian berhasil, maka kalian akan dapat menepuk dada dan berkata kepada anak cucu, inilah peninggalan kami. Peninggalan pada masa kami muda”.
.
“Tetapi, kalau kalian berhasil, maka kalian akan dapat menepuk dada dan berkata kepada anak cucu, inilah peninggalan kami. Peninggalan pada masa kami muda”.
Mahisa Agni mengangguk dan menjawab singkat, “Ya paman”.
“Tetapi, bukan saja kebanggaan. Namun, juga kepuasan melihat anak cucu hidup dengan bahagia”.
“Ya paman. Mudah-mudahan mereka menyadari pula”.
“Mereka telah bekerja dengan baik”.
“Ya”.
“Meskipun rencanamu tidak dapat kau lakukan hari ini, tetapi bukankah ada kerja lain yang dapat mereka lakukan?”
“Kerja masih terlampau banyak paman. Aku
kira mereka kali ini akan meneruskan menggali induk susukan yang akan
membelah pedang ini, yang akan merupakan jalur-alur air induk untuk
segenap tanah persawahan yang kita rencanakan. Kita mengharap, bahwa
demikian air dapat naik, maka jalur-jalur induk itu pun sudah akan
dapat menampungnya. Tetapi, pekerjaan itu terlampaui. Kami sebenarnya
mengharap janji Akuwu Tunggul Araetung yang akan memberikan bantuan
bukan saja tenaga tetapi juga pedati, lembu dan alat-alat yang lain”.
“Jangan terlampau mengharap bantuan orang
lain Agni. Percayalah kepada tanganmu sendiri. Yang Maha Agung akan
memberi tuntunan kepadamu”.
Mahisa Agni tidak menyahut. Kepalanya
tertunduk memandangi rerumputan yang seperti berlari kearah yang
berlawanan. Ia dapat memahami kata-kata pamannya itu, dan ia pun telah
berpendirian serupa pula. Namun, sebagai seorang yang wajar, ia memang
mengharapkan bantuan itu segera datang. Tetapi, seandainya janji Tunggul
Ametung itu tidak juga dipenuhi, maka itu sama sekali bukanlah suatu
alasan untuk mengurungkan rencananya atau mengurangi gairah kerjanya.
Dan pamannya pun ternyata berkata, “Kalau
bantuan itu datang Agni, mengucaplah terima kasih. Kalau tidak, maka
sejak semula kau mulai pekerjaanmu dengan kekuatan tenaga sendiri,
tenaga orang-orang Panawijen yang berjuang untuk masa depannya”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya paman”.
“Mudah-mudahan kau dapat berhasil”.
“Mudah-mudahan paman”.
Keduanya terdiam. Panas yang terik serasa
menjadi semakin panas. Keringat mereka telah membasahi segenap wajah
kulit. Sekali-kali mereka terpaksa berhenti dan mencari air untuk
kuda-kuda mereka yang haus dan untuk mereka sendiri. Karena itu maka
mereka berpacu sepanjang tebing sungai.
Akhirnya, dikejauhan, seakan-akan muncul
dari dalam padang rumput dan celah-celah, gerumbul-gerumbul yang layu,
tampaklah perkemahan mereka. Perkemahan ilalang, tempat mereka berteduh
dari panas matahari di siang hari dan tempat mereka menghindari embun di
malam hari.
Ketika tampak oleh Mahisa Agni atap-atap
ilalang itu, maka dengan serta-merta ia berkata, “Mudah-mudahan mereka
tidak berbuat sesuatu atas bendungan itu. Kalau mereka berbuat
kesalahan, maka pekerjaan kita akan menjadi semakin sulit”.
“Aku kira tidak terlampau sulit Agni” sahut pamannya, “apakah tidak seorang pun yang mengerti akan rencanamu?”
“Kalau mereka terpaksa melakukannya tanpa
menunggu aku, aku harap Ki Buyut dapat memberi mereka petunjuk. Kalau
tidak, seandainya mereka meletakkan brunjung-brunjung itu disembarang
tempat, maka sisi sungai itu akan melebar dan mungkin dapat
mengakibatkan sisi seberang longsor”.
Pamannya tidak menyahut lagi. Kalau
terjadi demikian maka Mahisa Agni pasti akan kecewa. Tetapi, seandainya
demikian sekalipun, itu bukan berarti suatu kegagalan. Mungkin pekerjaan
akan menjadi semakin sulit, tetapi bukan berarti tidak dapat diatasi.
Keduaya pun kembali terdiam. Kuda-kuda
mereka yang lelah bcrjalan semakin perlahan. Agni dan Empu Gandring pun
menyadari bahwa tidak sepantasnya ia melecut kudanya untuk berpacu.
Meskipun dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar oleh keinginannya
segera sampai ketempat ia bekcrja membuat bendungan itu.
Betapapun lambatnya, namun mereka semakin lama menjadi semakin dekat. Gubug yang berderet-deret menjadi semkin jelas.
Tetapi, semakin dekat Mahisa Agni dengan
perkemahan itu, maka hatinya pun menjadi semakin berdebar-debar.
Disebelah gubug-gubug itu adalah susukan yang sedang mereka kerjakan
meskipun terlampau lambat karena hanya dikerjakan oleh sebagian dari
tenaga yang ada. Sebagian yang lain harus mengisi brunjung-brunjung
dengan batu dan sebagian yang lain harus memecah batu-batu itu. Namun,
kali ini Mahisa Agni sama sekali tidak melihat sesuatu pada susukan itu.
Tak ada selapis debu pun yang mengepul ke udara. Tak ada satu titik pun
yang bergerak-gerak disekitarnya.
Karena itu, dengan bimbang ia berkata,
“Paman, apakah penglihatanku yang salah? Aku tidak melihat sesuatu di
susukan yang sedang dikerjakan itu”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Aku pun tidak Agni”.
“Apakah seluruh tenaga dikerahkan oleh Ki Buyut ke bendungan untuk meletakkan brunjung-brunjung di sisi seberang?”
“Satu kemungkinan Agni” desis pamannya.
“Semula aku menduga sebaliknya paman. Aku
sangka justru semua tenaga hari ini dikerahkan untuk menggali susukan
karena aku tidak ada”.
Empu Gandring berpaling. Dipandanginya
wajah kemanakannya itu dengan sorot mata yang ragu pula. Namun, ia
berkata, “Kalau ada seseorang yang dapat melakukan Agni, maka kau
seharusnya menjadi bergembira, sebab tidak semua pekerjaan dibebankan
dipundakmu”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi, ia tidak tahu kenapa ia tidak menaruh kepercayaan
kepada orang lain. Ia tahu benar, bahwa orang-orang Panawijen bukan
pekerja-pekerja yang baik. Itulah sebabnya ia ingin menunggui setiap
kerja yang dianggapnya penting.
Namun, pamannya berkata lagi, “Agni,
kalau tidak kau ajari mereka melakukan sesuatu, maka semuanya pasti akan
tergantung kepadamu. Mereka tidak punya keberanian dan kecakapan untuk
berbuat. Mereka akan menjadi tenaga yang mati, yang tidak punya gairah
yang timbul dari dalam dirinya tentang sesuatu yang baru. Mereka hanya
akan menunggu perintahmu”.
Sekali lagi Mahisa Agni
menganggnk-anggukkan kepalanya. Memang, alangkah baiknya apabila
demikian. Apabila ada seorang atau dua orang yang dapat diluntunnya
untuk membantunya. Yang dapat berbuat agak banyak hanya Ki Buyut yang
sudah agak lanjut itu. Yang lain, masih perlu dicarinya diantara
anak-anak muda Panawijen itu. Namun, Mahisa Agni telah menjadi agak puas
bahwa rakjat Panawijen itu telah dapat dibawanya untuk melakukan
pekerjaan yang cukup besar.
Tetapi, tiba-tiba dada Mahisa Agni
terguncang ketika kemudian ia menjadi semakin dekat dengan perkemahan.
Ia tidak melihat seseorang di sekitar ujung susukan yang sedang
dikerjakan, tetapi ia melihat orang-orang Panawijen itu berada di
sekitar perkemahan. Mereka duduk-duduk saja dan bahkan ada pula yang
berbaring-baring dengan malasnya.
Sejenak Mahisa Agni menjadi bingung.
Apakah mereka sedang beristirahat? Menurut kebiasaan, maka waktu
istirahat ditengah hari telah lampau. Apakah yang terjadi?’
Kemudian perlahan-lahan Mahisa Agni itu pun berdesis, “Mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu paman?”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya meskipun ia sendiri tahu bahwa jawaban itu tidak
benar, “Mereka sedang beristirahat”.
“Waktu beristirahat telali lampau”.
Empu Gandring terdiam.
Tiba-tiba Mahisa Agni tidak sabar lagi.
Dilecutnya kudanya yang lelah supaya ia segera sampai ke perkemahan itu.
Betapa pun juga kudanya berlari agak lebih cepat, tetapi nafas kuda itu
telah menjadi semakin deras.
Empu Gandring segera mengikuti
dibelakangnya. Kudanya pun telah menjadi lelah pula, sehingga dengan
malasnya kuda itu berlari tersuruk-suruk.
Ketika orang-orang Panawijen melihat
kedatangan Mahisa Agni, tiba-tiba sejenak mereka menjadi ribut. Beberapa
orang yang berbaring segera bangkit, namun mereka tidak beranjak dari
tempat masing-masing. Sejenak mereka saling berpandangan, namun kemudian
mereka menunggu Mahisa Agni itu semakin dekat.
Demikian Mahisa Agni sampai di perkemahan
itu, maka sebelum ia meloncat turun dari kudanya, yang terdengar adalah
pertanyaannya, “Kenapa kalian tidak bekerja?”
Kembali orang-orang Panawijen itu saling
berpandangan. Tampaklah kecemasan di wajah mereka. Tetapi, tidak seorang
pun yang segera menjawab, sehingga Mahisa Agni mengulangi lagi, “Kenapa
kalian tidak bekerja apa pun hari ini?”
Tiba-tiba terdengar seseorang menyahut agak jauh daripada Mahisa Agni, “Kami ingin beristirahat”.
“Apakah waktu istirahat belum lampau?” bertanya Agni pula.
“Kami ingin beristirahat tidak hanya pada
saat tengah hari. Tetapi, kami ingin beristirahat beberapa bari. Kami
sudah menjadi sangat lelah dan lemah”.
Terasa darah Mahisa Agni seakan-akan
membeku. Jawaban itu benar-benar tidak disangkanya. Karena itu, maka
sejenak mulutnya terbungkam oleh gelora di dadanya.
Empu Gandring yang kini telah berada disisinya menggamitnya sambil berbisik, “Turunlah Mahisa Agni”.
Mahisa Agni berpaling. Ketika Empu Gandring melihat wajah anak muda itu membara, maka katanya, “Tenanglah Agni”.
“Tetapi, pekerjaan tidak akan selesai dengan duduk-duduk dan berbaring-baring malas, paman” sahut Mahisa Agni.
“Aku tahu” jawab pamannya, “tetapi tenanglah. Turunkah dari kudamu. Bukankah kau mau mendengar kata-kataku?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Terasa dadanya terguncang oleh keadaan itu. Tetapi, tatapan mata
pamannya telah memaksanya turun dari kudanya. Namun, terdengar ia
berkata, “Apakah artinya ini paman?”
“Aku tidak tahu Agni, tetapi di sini ada Ki Buyut Panawijen. Sebaiknya kau minta keterangan kepadanya”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Cepat-cepat
ia melangkah ke gubug tempat Ki Buyut Panawijen sering beristirahat. Di
sepanjang langkahnya, hatinya tak habis bertanya, apakah sebabnya hal
ini terjadi? Sudah sering kali ia pergi meninggalkan pekerjaan ini untuk
beberapa keperluan. Bahkan sampai dua tiga hari, seperti pada saat ia
pergi ke Tumapel. Namun, mereka yang ditinggalkannya bekerja dengan
penuh gairah seperti biasa. Tetapi, kenapa kali ini mereka ingin
beristirahat? Bahkan berapa hari?
Langkah Mahisa Agni demikian tergesa-gesa
sehingga ia tidak sempat memperhatikan orang-orang yang memandanginya
dengan pandangan yang aneh. Orang-orang Panawijen itu menjadi cemas
melihat sikap Mahisa Agni.
Ki Buyut Panawijen yang melihat
kehadirannya pun dengan tergesa-gesa menyongsongnya. Sebelum Mahisa Agni
mendekat, orang tua itu telah bertanya hampir berteriak, “Kau sudah
datang Ngger?”
Tetapi, Mahisa Agni tidak menjawab
pertanyaan itu. Dengan keras pula ia bertanya, “Kenapa hari ini kita
tidak berbuat sesuatu Ki Buyut?”
Wajah Ki Buyut pun menjadi tegang. Dengan terbata-bata ia menjawab, “Ya, ya Ngger. Tetapi, marilah silahkan duduk dahulu”.
“Aku ingin berbuat sesuatu untuk mempercepat pekerjaan ini Ki Buyut, bukan dengan duduk-duduk dan berbaring”.
“Ya, ya Ngger, aku tahu. Tetapi, marilah duduk dahulu”.
“Terima kasih” sahut Agni, “aku ingin tahu, kenapa kita tidak bekerja hari ini?”
“Itulah yang akan aku katakan”.
Mahisa Agni masih akan berteriak lagi
ketika terasa tangan pamannya menggamitnya. Terdengar pamannya itu
berkata, “Mendekatlah Agni. Jangan berteriak-teriak. Ki Buyut ingin
menjelaskan persoalannya”.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah berada dekat dimuka gubug Ki Buyut Panawijen.
“Duduklah Ngger”.
Mahisa Agni akan menjawab lain, tetapi terdengar pamannya mendahului, “Baik Ki Buyut. Duduklah Agni”.
Kata-kata pamannya lah yang memaksanya
duduk di dalam gubug itu. Demikian mereka diteduhi oleh atap ilalang,
maka terasa tubuh-tubuh mereka menjadi segar setelah hampir sehari
mereka dibakar oleh terik sinar matahari. Kini mereka dapat merasakan
angin yang silir berhembus dari Selatan. Meskipun ketika mereka menatap
padang yang terhampar dihadapan gubug itu, mereka masih juga melihat
seakan-akan padang itu menguap.
Dengan tidak sabar lagi Agni pun segera
bertanya, “Ki Bujut, kenapa kita hari ini tidak berbuat sesuatu? Waktu
kita tidak terlampau banyak”.
Ki Buyut tidak segera menjawab. Ia
berkisar secangkang maju. Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan sorot mata
yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Apalagi ketika dilihatnya
wajah Mahisa Agni yang tegang itu.
Mahisa Agni menjadi semakin tidak sabar lagi. Kembali ia mendesak, “Kenapa Ki Buyut?”
Ki Buyut Panawijen menarik nafas
dalam-dalam. Ia tahu benar bahwa Mahisa Agni menjadi sangat terkejut
melihat mereka duduk-duduk saja dan bahkan ada yang berbaring-baring
dengan malasnya.
Dengan hati-hati Ki Buyut itu pun
berkata, “Akan aku katakan sebabnya Ngger. Tetapi, apakah angger berdua
dengan Empu Gandring tidak terlalu haus dan ingin minum air kendi yang
dingin ini?”
“Aku ingin tahu kenapa kita hari ini
tidak berbuat sesuatu Ki Buyut, sebab …” Agni tidak dapat meneruskan
kata-katanya. Terdengar Empu Gandring memotong sambil beringsut meraih
kendi berisi air dingin. Katanya, “Agni. Minumlah. Aku pun haus sekali.
Air yang dingin ini akan mendinginkan hati dan kepala. Dengan demikian
kau akan dapat mendengar ceritera Ki Buyut dengan tenang. Sebelum hatimu
menjadi dingin Agni, maka kau tidak akan dapat berpikir bening. Nah,
minumlah. Aku juga akan minum”.
Empu Gandring segera mengangkatnya dan
minum lewat paruh gendi itu. Alangkah segarnya. Sambil menarik nafas
dalam-dalam diserahkanya kendi itu kepada Mahisa Agni. Katanya,
“Minumlah. Dalam keadaan kita sekarang ini, maka adalah kenikmatan yang
tiada taranya. Minum air dingin”.
Mahisa Agni tidak dapat menolak uluran
tangan pamannya. Kembali ia berbuat diluar kehendaknya. Seperti seorang
yang kehilangan kesadaran diri. Diterimanya kendi itu, dan diangkatnya
pula kemulutnya. Seperti pamannya ia pun minum air yang dingin segar
itu.
Kesegaran air kendi itu seolah-olah telah
menjalar kesegenap saluran darah Mahisa Agni. Ketika ia meletakkan
kendi itu, terasa seluruh tubuhnya menjadi segar. Dan kepalanya pun
tidak lagi dikerumuni oleh gejolak perasaan yang melonjak-lonjak.
Meskipun ia tetap berkeinginan untuk segera mengetahui sebab-sebab
kenapa orang-orang Panawijen itu tidak bekerja hari ini, namun kini ia
dapat menahan dirinya oleh kesegaran yang sejuk.
“Nah” berkata pamannya, “kalau kau sudah
tidak haus lagi, sekarang bertanyalah kepada Ki Buyut. Tetapi, kau pun
wajib mendengarkan keterangan dan alasannya”.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Kini
ia berkata perlahan-lahan, “Ya Ki Buyut. Aku ingin tahu kenapa hari ini
kita tidak meneruskan pekerjaan kita?”
Ki Buyutlah kini yang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Pertama-tama aku
minta maaf kepadamu Ngger. Hal ini pasti membuatmu kecewa Tetapi, aku
tidak dapat berbuat lain daripada menuruti kehendak mereka.
Beristirahat. Hanya itu. Tidak ada maksud apapun. Meskipun ada pula
alasan yang berbeda-beda, namun kesimpulan mereka, mereka ingin
menghentikan kerja barang sehari dua hari”.
“Bagaimana mungkin Ki Buyut” bantah
Mahisa Agni, “Kita pasti akan kehabisan waktu. Justru kita harus bekerja
lebih banyak. Kalau mungkin siang dan malam, supaya pekerjaan ini
segera selesai”.
“Agni” potong pamannya, “cobalah kau
mendengarkan alas-alasan yang dikatakan oleh Ki Buyut. Alasan yang
meskipun berbeda-beda, tetapi kesimpulannya adalah, mereka ingin
beristirahat. Cobalah mendengarkan. Kalau kau saja yang berbicara, maka
kau tidak akan mengerti”.
Mahisa Agni pun terdiam. Dan Ki Buyut itu
berkata, “Alasan mereka bermacam-macam Ngger. Ada yang hanya karena
lelah. Lelah dan tidak lagi mampu untuk bekerja terus. Ada yang menjadi
sakit pegal dan linu-linu pada punggung mereka. Mereka perlu
beristirahat supaya sakitnya menjadi sembuh. Ada pula yang kakinya
menjadi bengkak. Sedang yang lain ingin menunggui anak yang sakit itu.
Pagi ini ia mengigau tak henti-hentinya. Tubuhnya menjadi sangat panas,
dan kemudian ia menggigil kedinginan” Ki Buyut itu berhenti sesaat.
Ketika Mahisa Agni akan memotong kata-katanya Empu Gandring menggamitnya
sehingga kembali Mahisa Agni terdiam. Sejenak kemudian Ki Buyut itu
berkata lagi, “Sebenarnya pagi-pagi tadi, ketika matahari terbit, kami
sudah siap untuk bekerja. Tetapi, kami dikejutkan oleh igauan anak yang
sakit itu. Beberapa orang segera mengerumuninya. Ketika satu di antara
mereka berkata, Aku tidak bekerja hari ini. Aku akan menunggui anak ini,
maka tiba-tiba seperti meledak kata-kata itu disahut berturut-turut
oleh kebanyakan dari mereka yang mengerumuni anak itu. Aku juga tidak.
Kakiku sakit, bengkak-bengkak, yang lain lagi, punggungku akan patah,
dan yang lain, kepalaku hampir pecah kepanasan”.
“Itulah Ngger. Aku tidak dapat memaksa
mereka” kembali Ki Buyut berhenti sejenak, ia menjadi ragu-ragu, tetapi
kemudian terpaksa ia berkata, “Angger Mahisa Agni, sebenarnya telah
agak lama aku mendengar keluh kesah ini. Keluh kesah yang kemudian
meledak menjadi alasan-alasan yang menyebabkan kami hari ini tidak
bekerja. Tetapi, aku harap Angger dapat mengerti”.
Wajah Mahisa Agni kembali menjadi merah
membara. Alangkah kecewa hatinya. Ia merasa bahwa apa yang dilakukannya
selama ini sama sekali tidak dihargai oleh orang-orang Panawijen itu.
Bahkan mereka telah berusaha untuk memperlambat. Karena itu, maka dengan
serta-merta ia menyahut, “Jadi apakah kemauan mereka? Apakah kita
hentikan saja pekerjaan ini?”
“Agni” berkata pamannya perlahan-lahan.
Orang tua itu tahu benar, betapa sakit hati Mahisa Agni mendengar
keadaan yang ada diperkemahan ini. Keadan yang sama sekali tidak
diduga-duganya. Tetapi, orang tua itu pun dapat mengerti, kenapa
orang-orang Panawijen ingin berhenti bekerja barang sehari dua hari.
Maka katanya seterusnya, “Berpikirlah dengan kepala dingin. Cobalah kau
cernakan dahulu apa yang kau dengar, baru kau membuat tanggapan. Jangan
tergesa-gesa mengambil sikap Agni”.
Kini wajah Mahisa Agni yang merah itu
menjadi semakin tegang. Terasa dadanya bergelora seperti gunung yang
akan meletus. Namun, sorot mata pamannya telah menahannya untuk tidak
melepaskan luapan perasaannya. Karena itu maka kepala Mahisa Agni itu
justru menjadi pening.
“Agni” berkata pamannya sareh,
“kau harus melihat keadaan ini secara keseluruhan. Jangan kau melihat
sepotong-sepotong dari padanya. Maka kau akan dapat mengurangi kepahitan
yang harus kau hadapi kini”.
Mahisa Agni menundukkan kepalanya.
Tetapi, pamannya mengetahuinya bahwa anak muda itu mengatupkan giginya
rapat-rapat. Ia masih berusaha untuk menguasai perasaannya.
, “Kau harus dapat mencoba mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Buyut Panawijen” berkata pamannya pula.
“Tetapi paman” betapapun Mahisa Agni
mencoba menahan diri namun terloncat pula dari bibirnya, “keadaan ini
tidak boleh dibiarkan terus. Memang lebih senang duduk-duduk dan
berbaring-baring daripada bekerja dipanas terik matahari. Tetapi, apa
yang kita dapatkan dengan duduk memeluk lutut?”
“Kau benar Agni. Kau benar. Tetapi, bagaimana kau menyampaikan hal itulah yang sulit bagimu”.
Tiba-tiba Mahisa Agni mengangkat
wajahnya. Dilihatnya di sekeliling gubug itu banyak orang-orang
Panawijen yang berkumpul. Agaknya mereka ingin tahu, apakah yang akan
dikatakan oleh Mahisa Agni. Namun, sebagian yang lain malah pergi
menjauh. Mereka duduk berkelompok-kelompok di ujung-ujung perkemahan. Di
ujung yang paling jauh dari gubug Ki Buyut Panawijen supaya seandainya
Mahisa Agni marah, mereka tidak mendapatkan kemarahan itu yang
pertama-tama. Sebab bagaimana pun juga, tersembunyi pula rasa takutnya
kepada anak muda itu. Sebagian dari setiap laki-laki Panawijen telah
mengetahui bahwa Mahisa Agni mampu berbuat di luar kemampuan mereka.
Mereka telah mengetahui bahwa Mahisa Agni mampu berkelahi dan
memenangkan perkelahian melawan Kuda Sempana.
“Aku akan mengatakan kepada mereka” nada suara Mahisa Agni datar namun penuh tekanan.
“Apa yang akan kau sampaikan” bertanya pamannya.
“Mereka harus bekerja”.
“Lihat Agni. Matahari telah menjadi
semakin condong. Kalau kau menyiapkan mereka untuk bekerja, maka kau
tidak akan mendapatkan apa-apa. Demikian mereka siap, demikian matahari
tenggelam”.
Mahisa Agni terdiam. Tetapi, wajahnya masih tetap tegang.
“Meskipun tidak hari ini” berkata Mahisa
Agni kemudian, “besok misalnya, tetapi mereka harus tahu bahwa mereka
telah berbuat suatu kesalahan. Kesalahan yang besar sekali. Musim hujan
yang akan datang tidak mengenal istirahat. Apapun alasan kita disini,
tetapi musim itu akan datang pada waktunya”.
“Apa yang akan dilakukan?”
Sebelum menjawab, Mahisa Agni telah
meloncat berdiri. Tetapi, ketika ia mengayunkan kakinya selangkah,
terdengar pamannya berkala pula, “Apa yang akan kau lakukan Agni?”
“Aku akan berkata kepada mereka, bahwa apa yang mereka lakukan sama sekali tidak dapat dibenarkan”.
“Tunggulah”.
“Aku akan berkata kepada mereka sekarang”.
“Tunggulah”.
“Apa yang harus aku tunggu paman. Kini adalah saatnya. Mereka harus segera menyadari kemalasan mereka”.
“Duduklah Agni”.
“Tak ada waktu. Aku bukan pemalas yang lebih senang duduk dari pada bekerja”.
“Duduklah Agni. Duduklah”.
Ketika Agni akan menjawab, sekali lagi pamannya memotong, “Duduklah. Kau dengar?”
Mulut Agni terdiam. Meskipun dadanya
menjadi sesak, namun iapun melangkah kembali dan duduk di hadapan
pamannya. Ki Buyut Panawijen kini seolah-olah menjadi patung. Hatinya
menjadi kusut dan bingung. Bahkan terasa pula kecemasan mencengkam
jantungnya.
( Bersambung ke jilid 22 )
No comments:
Write comments