
Dan di bukit gundul itu pun agaknya akan berlaku pula keadaan yang serupa.
Ketika Kuda Sempana tidak segera menjawab, maka terdengar Wong Sarimpat mendesak “Bagaimana Kuda Sempana?”
Dada Kuda Sempana terasa menjadi pepat.
Ia dihadapkan pada keadaan yang sangat sulit. Dendamnya kepada Mahisa
Agni dan Ken Dedes terasa terlampau sakit menghimpit hatinya, tetapi
untuk melepaskan himpitan itu ia harus mengorbankan saudara
seperguruannya Alangkah mahalnya.
Dalam pada itu, Empu Sada pun menjadi
bimbang. Tetapi akhirnya ia tidak dapat memilih, kecuali mencoba
melindungi muridnya. Meskipun hatinya mengumpat-umpat atas ketelanjuran
Cundaka itu, tetapi adalah gila juga apabila dibiarkannya seorang
muridnya kehilangan sebelah matanya di hadapannya. Namun sekali lagi ia
kecewa atas muridnya itu, kecewa kepada diri sendiri. Bahwa ia tidak
dapat menempatkan muridnya dalam satu ikatan yang kokoh seperti
murid-murid Bojong Santi.
Kuda Sempana pun tidak kurang
mengumpat-umpat di dalam hati. “Cundaka memang gila. Ia tidak tahu
perasaanku, sehingga ia malahan seolah-olah menghalang-halangiku. Kini
akulah yang dihadapkan pada suatu kesulitan. Kalau ia tidak berbuat
gila, maka aku pun tidak akan berdiri di persimpangan jalan yang sulit
ini.”
Mereka yang berdiri di atas bukit gundul
itu kini benar dilanda oleh ketegangan yang semakin memuncak. Kuda
Sempana tegak seperti patung. Namun nafasnya menjadi terengah-engah.
Sekali-kali dipandangnya wajah gurunya. Ia ingin mendapat nasihat
daripadanya, tetapi gurunya masih juga tetap berdiam diri.
Cundaka sendiri sejenak kehilangan
kemampuan menimbang dan memperhitungkan keadaan yang dihadapinya. Tetapi
kemudian ia berhasil menenangkan dirinya. Kini ia telah pasti bahwa
ketelanjurannya akan mendatangkan bencana kepadanya. Namun tiba-tiba ia
menjadi tabah menghadapi bencana yang betapapun juga. Kalau ia sudah
mampu menghindarkan dirinya, maka ia harus berani menanggung segala
akibat dari perbuatannya. Di dalam hati ia berkata “Terserah kepadamu
Kuda Sempana. Tetapi namaku hanya dapat lepas bersama nyawaku.”
Ketika Kuda Sempana tidak segera berbuat
sesuatu, maka kembali terdengar Wong Sarimpat berkata “He Kuda Sempana,
apakah kau juga menjadi bisu? Ayo, jawablah!”
Kuda Sempana benar-benar menjadi bingung. Kembali ia memandangi wajah gurunya mencari jawab atas pertanyaan Wong Sarimpat itu.
Empu Sada melihat kebingungan di hati
Kuda Sempana. Ia menjadi sedikit bersenang hati, bahwa Kuda Sempana
masih memerlukan untuk berpikir ketika ia harus melakukan sesuatu yang
dapat lebih menyakitkan hatinya, yaitu berkelahi sesama muridnya. Karena
itu, maka Empu Sadalah yang menjawab “Wong Sarimpat. Permintaanmu
memang tidak masuk akal. Nah, kalau demikian maka biarlah aku memberikan
tawaran. Beberapa potong emas itu saja. Mungkin Kuda Sempana mempunyai
mata yang bagus, tetapi bukan mata orang. Mungkin ia mempunyai mata
cincin batu akik yang berharga. Akik mata kucing barangkali atau akik
Wukir Gading yang kekuningan. Kalau kau tidak senang mata batu akik,
mungkin kau senang permata intan atau berlian.”
Suara Empu Sada patah ketika kembali
terdengar suara tertawa Wong Sarimpat. Katanya “Harga Mahisa Agni yang
aku berikan tidak dapat ditawar-tawar. Ayo, kau tinggal sanggup atau
tidak.”
Tiba-tiba Wong Sarimpat terkejut sehingga
suara tertawanya terputus. Bukan saja Wong Sarimpat, tetapi juga Kuda
Sempana. Dengan tegas Empu Sada menjawab singkat “Tidak. Aku tidak mau.
Kita batalkan pembicaraan kita.”
“Guru,” dengan serta-merta Kuda Sempana
memotong “Bagaimana mungkin, Guru. Aku sudah memutuskan, Mahisa Agni
harus tertangkap. Hidup atau mati. Aku lebih senang kalau ia dapat
tertangkap hidup-hidup.”
“Tetapi harga itu terlampau mahal. Kalau
kau masih keras hati untuk membunuh Mahisa Agni, maka berarti kau telah
membunuh dua orang sekaligus. Mahisa Agni dan saudara seperguruanmu
sendiri. Nah. Pertimbangkan. Kecuali Wong Sarimpat memberikan penawaran
lain.”
Kembali Kuda Sempana terbungkam. Terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya Dan kembali ia mengumpat-umpat di dalam hati.
Kejengkelannya terhadap Cundaka semakin
meningkat dan bahkan kemudian ia menjadi muak melihat orang itu. Orang
yang selama ini telah memperlemah tekadnya membalas dendam. Adalah omong
kosong kalau Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu
kelak akan mampu melepaskan dendamnya terhadap Mahisa Agni dengan
tangannya sendiri.
“Kenapa orang itu tidak mati saja
diterkam macan?” desisnya di dalam hati. Namun dengan demikian tiba-tiba
jantungnya serasa akan meledak ketika tumbuh pikiran di dalam benaknya,
kenapa orang itu tidak dibiarkannya mati saja? Kenapa gurunya
menganggap Cundaka sebagai tebusan yang terlampau mahal? Cundaka itu pun
kini tidak berguna lagi baginya, sehingga seandainya anak itu mati.
maka ia tidak akan merasa kehilangan. Tetapi ia tidak berani
mengatakannya kepada gurunya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Wong Sarimpat.
“Kakang Kebo Sindet, bagaimana sebaiknya?
Permintaan Kakang terlampau murah. Sebelah mata. Aku sekarang ingin
menaikkan harga itu. Tidak hanya sebelah tetapi sepasang mata anak setan
ini. Apakah Kakang setuju?”
Wajah yang beku itu tetap membeku,
seolah-olah Kebo Sindet tidak mendengar suara adiknya. Namun Wong
Sarimpat itu berkata “Nah, ternyata Kakang Kebo Sindet telah menyetujui.
Sepasang mata.”
Kemudian kepada Kuda Sempana, “Kau dengar
kenaikan harga itu? Karena kau terlampau lama berpikir, maka kami
terpaksa menaikkan harga. Kalau kemudian kau tidak segera memutuskan
maka harga itu akan naik lagi. Kau tinggal menyetujui atau tidak. Kalau
ternyata kau tidak mampu, maka biarlah harga itu kami ambil sendiri.”
Kata-kata itu benar-benar menggetarkan hati. Dan udara di gunung gandul itu pun tergetar ketika Empu Sada menjawab tegas
“Tidak. Muridku adalah milikku. Aku tidak akan menjerahkannya. Aku belum gila segila kalian berdua.”
Kembali mereka terdiam. Wong Sarimpat
memandang wajah Empu Sada dengan mata yang menyala-nyala. Kemudian
sekali ia berpaling kepada kakaknya sambil berkata “Apa pula yang kita
tunggu, Kakang?”
Tiba-tiba terdengar suara Kebo Sindet
datar, “Empu Sada. Kenapa kau tidak dapat melakukan pekerjaan ini
sendiri? Kenapa kau tidak dapat menangkap Mahisa Agni? Apakah
orang-orang yang pernah kau sebutkan itu selalu mengawaninya? Empu
Purwa, Empu Gandring dan Panji Bojong Santi?”
Empu Sada tidak segera menjawab, tetapi
yang menjawab adalah Kuda Sempana, “Salah seorang dari mereka pasti ada
di sekitar Mahisa Agni atau Ken Dedes. Dan Guru hanyalah seorang diri.”
“Tidak,” potong Empu Sada, “ada sebab-sebab lain. Sebab-sebab yang tidak dapat aku katakan di sini.”
Tiba-tiba wajah Kebo Sindet yang beku itu
bergerak. Matanya tiba-tiba menjadi redup. Dan sejenak kemudian
terdengar ia berkata “Kami berdua cukup kuat untuk melakukannya Empu,
kau tidak kami perlukan lagi.”
Kata-kata Kebo Sindet itu bagaikan petir
yang meledak di dalam dada Kuda Sempana. ia tidak tahu pasti maksud
orang berwajah beku itu, namun terasa bahwa ada sesuatu yang kurang
wajar akan terjadi.
Bukan saja Kuda Sempana, namun juga
Cundaka terkejut sekali mendengarnya. Meskipun ia juga kurang menyadari
arti kata-kata itu seperti Kuda Sempana, namun ia menjadi semakin muak
melihat kedua orang liar itu.
Empu Sada sendiri mengerutkan keningnya.
Ia terkejut juga mendengarnya, namun ia telah merabanya lebih dahulu,
bahwa ia akan berhadapan dengan kemungkinan itu. Kemungkinan yang timbul
karena kebodohan Kuda Sempana. Kuda Sempana telah mengatakan banyak
sekali, bahkan terlampau banyak tentang Mahisa Agni, sehingga kedua
orang itu telah mendapat gambaran yang hampir sempurna tentang anak muda
itu.
Cepat Empu Sada dapat mengikuti jalan
pikiran Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mereka pasti akan berbuat untuk
kepentingan mereka sendiri. Mereka mengetahui dari Kuda Sempana bahwa
Mahisa Agni selalu mondar-mandir antara padang rumput Karautan dan
padukuhan Panawijen untuk setiap persoalan. Mahisa Agni adalah
satu-satunya anak muda yang berani melakukannya. Dari Kuda Sempana pun,
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat mendengar hubungan yang terlampau rapat,
terlampau rukun antara kedua saudara itu, Mahisa Agni dan Ken Dedes,
meskipun Kuda Sempana tahu bahwa keduanya adalah bukan saudara kandung.
Kedua orang itu mendengar pula betapa Akuwu Tunggul Ametung sangat
bernafsu untuk memperistri Ken Dedes, bahkan mengambilnya sebagai
permaisuri.
“Hem,” Empu Sada menarik nafas dalam. Kemudian terdengar ia bertanya “Kebo Sindet, apakah maksudmu sebenarnya?”
“Cukup jelas bagi seorang seperti kau Empu.”
“Tidak!” sahut Empu Sada, “Kurang jelas bagiku, sebab aku tidak biasa berpikir seperti kalian.”
Kini wajah Kebo Sindet telah membeku
kembali. Dengan nada datar ia berkata, “Cukup jelas. Aku tidak
memerlukan kau. Tetapi aku juga tidak mau kau ganggu.”
“Kau keliru. Kau tak akan bisa menyelesaikan pekerjaan ini tanpa aku.”
“Kau berusaha menyelamatkan dirimu?”
“Kenapa aku menyelamatkan diri? Apakah ada bahaya yang mengancam aku?”
“Jangan pura-pura tidak tahu. Aku tidak memerlukan kau dan aku tidak mau kau mengganggu untuk seterusnya. Jelas?”
Tiba-tiba Empu Sada tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “Kau akan membunuh aku?”
Kebo Sindet tidak segera menjawab.
Ditatapnya mata Empu Sada dengan tatapan mata semakin lama menjadi
semakin tajam. Hanya tatapan mata itulah yang dapat dibaca oleh Empu
Sada, bahwa Kebo Sindet benar-benar berusaha akan melakukannya.
Percakapan itu benar-benar telah
mengguncangkan dada Kuda Sempana. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa
akhirnya ia akan menghadapi keadaan yang sama sekali tidak disangkanya.
Ia tidak dapat mengerti kenapa Kebo Sindet tiba-tiba ingin menyingkirkan
gurunya. Seandainya persoalan itu dapat dilakukan oleh mereka sendiri,
kenapa gurunya mesti harus disingkirkan? Dengan demikian maka
bergolaklah dada Kuda Sempana itu, seperti bergolaknya perut gunung
berapi.
Yang terdengar kemudian adalah suara Wong
Sarimpat menyambar telinga mereka seperti guruh di langit, “He, Empu
Sada! Kami telah cukup mengerti apa yang harus kami lakukan. Karena itu
kau bagi kami pasti hanya akan menjadi perintang yang memuakkan. Mungkin
kau akan berkhianat dan bahkan mungkin kau sempat membunuh kami. Karena
itu, maka kaulah yang harus kami singkirkan dahulu.”
“Kenapa?” bertanya Empu Sada. Orang tua
itu masih tetap saja berdiri dengan tenang “bukankah aku yang memerlukan
kalian untuk pekerjaan ini? Kenapa akulah yang mungkin
mengkhianatinya?”
“Kami bukan orang yang kau sangka berotak
batu,” sahut Wong Sarimpat “aku tahu rencanamu. Kami akan kau
jerumuskan dalam persoalan yang tak tanggung-tanggung. Berhadapan dengan
Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian kalau rencana itu berhasil, menangkap
Mahisa Agni, maka kau akan menghadap Akuwu dan menunjukkan siapakah yang
telah melakukan perbuatan itu. Dengan demikian maka kau akan bersih
dari segenap tuduhan, karena sebelumnya kaulah yang telah membuat
persoalan dengan Mahisa Agni karena muridmu, dan keuntungan yang lain,
kalau kami kemudian tertangkap maka kau tidak perlu melepaskan sepotong
emas pun untuk kami.”
Sekali lagi Empu Sada menarik nafas
dalam-dalam. Sekarang disadarinya bahwa apa yang dikatakan Empu Gandring
dan Panji Bojong Santi itu bukanlah suatu usaha untuk menakut-nakutinya
saja. Meskipun di antara mereka, Empu Sada sendirilah yang paling
mengenal kedua orang itu karena ia pernah berhubungan sebelumnya. Tetapi
kini, ia tidak berhasil mempergunakan kedua orang itu.
Empu Sada itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan tenang ia menjawab “Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Jangan kau sangka bahwa aku pun tidak tahu apa yang kalian rencanakan.
Bukankah kalian telah merasa cukup mengetahui persoalan Mahisa Agni?
itu adalah kesalahan Kuda Sempana. Dan bukankah kalian berdua ingin
menangkap Mahisa Agni untuk tujuan pemerasan? Mungkin kalian menyangka
bahwa dengan menyembunyikan Mahisa Agni, maka akulah yang akan menjadi
sasaran tuduhan itu. Sementara itu kau akan menjual jasa, mengembalikan
Mahisa Agni dan mengatakan bahwa kau telah membunuh Empu Sada. Kau
mengharap Ken Dedes akan memberi kalian segerobak emas dan berlian,
karena ia seorang permaisuri?” Empu Sada itu berhenti sejenak. Tiba-tiba
ia tertawa sambil berkata, “Cobalah. Kau kelak pasti akan digantung di
alun-alun. Mahisa Agni tidak pernah terpisah dari orang-orang yang tak
akan dapat kau kalahkan.”
Tetapi kata-kata Empu Sada itu disambut
oleh suara tertawa pula. Suara Wong Sarimpat. Jauh lebih keras dari
suara tertawa Empu Sada. Di antara suara tertawanya yang menggelegar itu
terdengar ia berkata “Oh, apakah kau mengharap kami menjadi ketakutan
dan mengurungkan niat kami? Kau salah Empu. Tekad kami telah bulat.
Empu Sada harus disingkirkan. Mungkin dugaanmu mengenai rencana kami
benar.”
Empu Sada masih mencoba menguasai
perasaannya. Katanya “Kau akui bahwa kau telah merencanakan membunuh aku
dan mencoba melakukan pemerasan?”
Sebelum Wong Sarimpat menjawab, terdengar
suara Kebo Sindet, “Otakmu memang cemerlang Empu. Namun karena itu maka
kau harus kami tiadakan.”
Empu Sada kini sudah tidak melihat
kemungkinan lain. Meskipun ia masih kelihatan tenang-tenang saja, namun
hatinya benar-benar menjadi gelisah. Murid-muridnyalah yang paling
terancam jiwanya. Apa lagi Cundaka. Agaknya kedua orang itu sama sekali
tidak senang kepada muridnya yang seorang ini, seperti juga muridnya itu
sama sekali tidak senang kepada kedua orang-orang liar itu.
Kini suasana Tiba-tiba menjadi tegang.
Empu Sada mencoba untuk memusatkan segenap daya pikirannya untuk
menemukan jalan keluar dari kesulitan ini. Tetapi jalan itu tidak
dilihatnya. Satu-satunya jalan adalah bertempur.
Tanpa disengajanya orang tua itu
berpaling memandangi kedua muridnya berganti-ganti. Kemudian menarik
nafas dalam-dalam. Lebih-lebih lagi. Ketika ia melihat Cundaka yang
berdiri tegak dengan tegangnya.
“Hem,” katanya di dalam hati, “Kasihan
anak ini. Meskipun ia anak yang bengal, tetapi aku telah menyeretnya ke
dalam kesulitan yang tak mungkin padat dihindarinya.”
Tetapi ketika kemudian ia melihat sinar
mata muridnya yang menyala itu, hatinya menjadi bangga. Katanya pula di
dalam hati “Kalau kau mati anakku, matilah dengan wajah tengadah.”
Empu Sada itu pun kemudian terkejut
ketika terdengar suara Kebo Sindet, “Empu Sada. Kita sudah cukup lama
berkenalan. Kita sudah pernah bekerja bersama dan berhasil dengan baik.
Karena itu marilah kita saling berbaik hati. Janganlah kita menyusahkan
satu sama lain. Aku harap kau pun mengenal terima kasih kepadaku atas
pertolonganmu dahulu, dan sekarang kau bersikap baik terhadap kami.
Karena itu, maka sebaiknya kau tidak perlu mempersulit usaha kami
membunuhmu dan mengambil sepasang mata muridmu itu.”
Darah di dalam tubuh Empu Sada terasa menggelegak. Di kejauhan terdengar suara anjing liar menyalak bersahut-sahutan.
Tetapi rupa-rupa h kita saling berbaik
hati. Ja nya perasaan Cundakalah yang lebih dahulu meluap, sehingga
tanpa dikehendakinya kembali ia menggeram.
Wong Sarimpat yang mendengar geram itu,
berkata kasar, “Jangan tergesa-gesa. Waktu masih cukup. Apakah terlampau
terburu oleh keinginan untuk mencoba hidup tanpa mata?”
Alangkah sakit hati orang yang menamakan
diri Bahu Reksa Kali Elo itu. Namun setelah beberapa kali gurunya selalu
menggamitnya, maka kali ini pun ia menahan mulutnya sekuat-kuatnya.
Apalagi setelah ia mendengar pembicaraan gurunya dengan kedua orang liar
itu, maka kebenciannya menjadi semakin memuncak. Meskipun demikian ia
menjadi berdebar-debar pula. Agaknya ia tidak akan dapat keluar dari
bencana yang sudah membayang di depan matanya.
Dalam pada itu kembali terdengar suara Kebo Sindet, “Bagaimana dengan permintaanku, Empu?”
Empu Sada tidak menjawab. Ia tahu benar,
bahwa ia tidak dapat mencari jalan untuk melepaskan dirinya. Ia tahu
benar, bahwa yang seorang dari kakak beradik itu akan melawannya, dan
yang seorang dengan mudahnya akan membunuh kedua muridnya. Sesudah itu,
maka kedua orang itu ber-sama-sama akan membunuhnya pula.
“Licik!” geramnya di dalam hati. Tetapi
Tiba-tiba di dalam hati Empu Sada itu pun timbul pula tekadnya untuk
melawan kedua orang itu dengan cara seperti yang ditempuh oleh mereka.
Karena itu maka, meskipun Empu Sada itu masih saja berdiri sambil
menundukkan kepalanya, namun kepalanya itu bergelora dengan dahsyatnya.
“Kebo Sindet,” berkata Empu Sada, “apakah
tidak ada tawaran lain? Bagaimana kalau kau sebut saja misalnya kami
harus membayar lebih dahulu supaya kami tidak menipumu?”
Wong Sarimpat tertawa. Jawabnya,
“Berapakah besar kemampuan mau membayar kami, Empu Sada. Ken Dedes
adalah seorang permaisuri Akuwu yang kaya raya. Beberapa potong emas
bagi mereka pasti tidak akan berarti apa-apa. Bahkan setelah kami
berhasil merebut Mahisa Agni dan membunuh Empu Sada yang telah menculik
Mahisa Agni itu, kami akan mendapat kedudukan yang baik. Kami akan
mendapat hadiah tanah perdikan dan kami akan dapat hidup dengan tenteram
untuk seterusnya. Tidak seperti hidup kami saat ini.”
Empu Sada menganggukkan kepalanya, “Jadi kau ingin kedudukan dan harta itu dengan beralaskan kepalaku?”
Wong Sarimpat tertawa terus. “Ya,” jawabnya.
Kepala Empu Sada menjadi semakin tunduk. Kakinya tiba-tiba menjadi gemetar seperti suaranya yang gemetar pula.
“Aku masih ingin hidup Wong Sarimpat.
Apakah kau tidak kasihan melihat umurku yang sudah menjadi semakin tua.
Kau biarkanlah aku beberapa tahun lagi, pasti akan mati sendiri.”
Suara tertawa Wong Sarimpat menjadi semakin keras.
“He, Empu Sada yang garang. Kenapa kau
tiba-tiba menjadi ketakutan he? Di mana namamu yang besar selama ini,
yang mempunyai puluhan murid tersebar di segenap penjuru Tumapel, bahkan
di setiap sudut Kerajaan Kediri?”
Empu Sada melihat kegembiraan itu Wong
Sarimpat agaknya menjadi sangat bersenang hati, seperti melihat
permainan yang baru pertama kali dimilikinya. Namun Tiba-tiba suara
tertawa itu terhenti. Terdengar sebuah keluhan pendek terloncat dari
mulutnya. Wong Sarimpat yang bertubuh besar kekar meskipun tidak terlalu
tinggi itu terdorong ke belakang dan terlempar jatuh.
Betapa terkejutnya semua orang yang
berdiri di atas gunung gundul itu. Peristiwa itu sama sekali tidak
mereka sangka. Kebo Sindet, orang yang berwajah mayat itu pun terkejut
bukan buatan, sehingga justru karena itu sejenak ia terpaku diam. Ia
melihat Empu Sada dengan kecepatan yang hampir tidak kasatmata,
meloncat, menghantam dada Wong Sarimpat yang sedang tertawa
terbahak-bahak. Ternyata Empu Sada telah melanggar kehormatan diri
sebagai seorang sakti yang disegani. Ia telah mulai menyerang sebelum
musuhnya bersiap.
Dalam pada itu, Wong Sarimpat yang sama
sekali tidak menyangka bahwa Empu Sada akan berbuat demikian, tidak
sempat untuk mengelakkan diri atau menangkis serangan itu. Selagi ia
terlena oleh kegembiraan hatinya yang seakan-akan membakar segenap
dadanya ketika ia melihat Empu Sada ketakutan. Namun tiba-tiba terasa
seakan-akan Gunung Kawi runtuh menimpa dadanya.
Kalau yang melakukan serangan itu Kuda
Sempana atau Cundaka, bahkan keduanya sekaligus, maka Wong Sarimpat
tidak akan dapat digeser setapak pun dari tempatnya. Bahkan ia akan
tertawa semakin keras. Tetapi yang menyerang dengan tiba-tiba sebelum ia
bersiap itu adalah Empu Sada. Orang yang setingkat dengan Wong Sarimpat
itu sendiri.
Dengan demikian maka Wong Sarimpat tidak
dapat mencegah ketika dirinya sendiri terbanting jatuh. Bahkan kemudian
serasa dadanya menjadi pecah. Sekali ia menggeliat dan mencoba untuk
segera bangkit, namun ia memerlukan waktu untuk melakukannya.
Tetapi Empu Sada yang telah merendahkan
dirinya dengan licik itu tidak berhenti dengan serangan itu. Selagi Kebo
Sindet masih tercengkam oleh perasaan terkejut, maka tongkatnya telah
terayun deras sekali. Hampir tidak ada senggang waktu dengan serangannya
atas Wong Sarimpat.
Kebo Sindet yang terkejut itu pun tidak
sempat menghindar. Tetapi ia mampu bergerak cepat pula. Dengan tangannya
ia menahan serangan Empu Sada yang menyambarnya secepat tatit. Tetapi
ternyata tongkat Empu Sada masih lebih keras dari tubuh Kebo Sindet yang
hampir sekeras batu padas. Tongkat itu adalah tongkat Empu Sada.
Tongkat seorang yang pilih tanding, sehingga tongkat itu bukan sekedar
tongkat untuk mencari jalan di malam yang gelap.
Terasa perasaan sakit yang sangat telah
menyengat tangan Kebo Sindet. Seperti Wong Sarimpat ia mengeluh pendek.
Tetapi yang terasa sakit pada Kebo Sindet hanyalah sebelah tangannya,
tangan kirinya, bukan dadanya seperti Wong Sarimpat yang bahkan nafasnya
menjadi semakin sesak.
Dengan demikian, maka perkelahian di
antara mereka telah dimulai. Dimulai oleh sebuah serangan yang licik,
sehingga Kebo Sindet yang kemudian menyadari keadaan berteriak marah
sekali, “He Empu yang gila. Kau ternyata tidak lagi merasa dirimu
berharga untuk menjaga kehormatanmu. Kau mulai dengan sebuah serangan
yang licik dan hina. Apakah kau tidak mengenal tata kehormatan dalam
setiap perselisihan?”
Empu Sada kembali memutar tongkatnya, dan
meluncurlah sebuah serangan yang dahsyat mengarah ke dada Kebo Sindet.
Kebo Sindet yang belum dapat menyesuaikan diri sepenuhnya itu segera
meloncat mundur, namun tongkat Empu Sada mengejarnya. Sekali lagi Kebo
Sindet terpaksa menangkis serangan itu dengan tangannya, dan sekali lagi
terasa tongkat itu seperti menggigit tulangnya.
“Gila kau, Empu Sada!”
“Tidak ada tata kehormatan yang mengikat
aku seperti tidak ada kebiasaan dan adat yang dapat mengikat kalian!”
teriak Empu Sada tidak kalah kerasnya. Suaranya bergetar dalam nada yang
tinggi. Ternyata Empu Sada itu pun telah dibakar oleh kemarahan yang
akhirnya meledak, “Mungkin aku berbuat curang dan licik. Tetapi maaf,
aku terpaksa melakukannya. Aku tidak mau menjadi bangkai makanan
anjing-anjing liar.”
Dalam pada itu Wong Sarimpat telah
berdiri di atas kedua kakinya. Tetapi dadanya serasa akan pecah dan
nafasnya seakan-akan telah menyumbat lubang-lubang hidungnya. Sekali ia
terhuyung-huyung, namun kemudian ia dapat menguasai keseimbangannya
dengan mantap.
Cundaka yang terkejut pun kini telah
menyadari apa yang terjadi. Ternyata gurunya telah mulai. Sudah tentu ia
tidak akan dapat berpangku tangan. Meskipun ia bukan lawan yang berarti
bagi Wong Sarimpat itu telah terluka di dalam. Wong Sarimpat itu
seolah-olah telah menjadi sangat lemah dan tidak lagi mampu berbuat
sesuatu. Karena maka nafsunya untuk melawan Wong Sarimpat yang kasar itu
segera berkembang di dalam dadanya.
Dengan serta-merta ia menarik pedangnya dan siap menghadapi setiap kemungkinan.
Ia terkejut ketika ia mendengar Empu Sada
berteriak, “Cundaka dan Kuda Sempana. Tinggalkan tempat ini! Cepat! Kau
hanya memenangkan perlombaan lari dengan Wong Sarimpat. Jangan mencoba
melawan!”
Tetapi Cundaka menjadi ragu-ragu. Ia
melihat Wong Sarimpat telah hampir mati. Apakah ia tidak akan dapat
membunuhnya dengan pedangnya itu. Ia tinggal menghunjamkan pedang itu ke
dada orang yang berdiri pun hampir tidak mampu itu berdiri kaku di
tempatnya. Sejenak ia benar-benar kehilangan akal. Apakah yang harus
dilakukannya?
“Jangan gila!” kembali Empu Sada terdengar berteriak.
Tetapi Cundaka tidak segera pergi. Sekali
ia memandang Kuda Sempana dengan sudut matanya. Namun Kuda Sempana
masih berdiri kaku di tempatnya. Sejenak ia benar-benar kehilangan akal.
Apakah yang harus dilakukannya?
Dalam pada itu terdengar Kebo Sindet yang
sedang berkelahi dengan Empu Sada berkata, “Wong Sarimpat, jangan kau
bunuh Kuda Sempana. Ia adalah arak muda yang baik hati, jujur dan
mengerti apa sebabnya dilakukan. Sayang jika jatuh ke tangan Empu Sada
yang licik. Yang lain itu terserahlah kepadamu. Aku hanya memerlukan
sepasang matanya saja.”
Empu Sada tidak tahu pasti maksud Kebo
Sindet dengan kata-katanya itu. Mungkin ia benar-benar ingin menangkap
Kuda Sempana hidup-hidup sebagai orang yang dianggapnya cukup mengerti
tentang Mahisa Agni dan Ken Dedes. Apalagi Kuda Sempana dan Empu Sada
tidak sempat berbicara terlampau banyak, telah mengaku bahwa ia adalah
pelayan dalam istana Tumapel, yang banyak mengetahui seluk beluk istana
itu. Tetapi mungkin juga dengan demikian Kebo Sindet hanya ingin
mencegah Kuda Sempana supaya tidak melawan adiknya yang terluka itu
bersama-sama dengan Cundaka dengan cara yang licik pula. Kebo Sindet
berpura-pura membiarkan Kuda Sempana akan tetap hidup, namun apabila
lawan yang lain telah binasa, maka akan datang giliran pada anak muda
itu. Karena itu maka Empu Sada itu pun segera berteriak pula, “Kuda
Sempana, jangan terpengaruh. Kebo Sindet hanya ingin mencegah kalian
bertempur berpasangan melawan Wong Sarimpat yang hampir mampus itu.
Kalau kau ingin melawan lawanlah bersama-sama. Kalau sempat, lebih baik
tinggalkan tempat ini. Semakin cepat semakin baik.”
Kini Kebo Sindet telah benar-benar berada
dalam keadaan yang mantap untuk melawannya. Namun tangan kirinya telah
terluka. Terasa setiap kali tulang-tulangnya seperti menjadi retak
karena pukulan tongkat Empu Sada.
Kebo Sindet itu pun kemudian tidak
membiarkan dirinya hancur dan tulang-tulangnya patah oleh tongkat empu
tua itu. Maka dengan tangkasnya ia menarik goloknya yang besar dari
rangkanya yang tergantung di pinggang.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian
kedua orang itu telah terlihat dalam perkelahian yang sengit.
Masing-masing adalah orang-orang sakti yang sukar dicari
keseimbangannya.
Dalam pada itu Kuda Sempana masih berdiri
dengan ragu-ragu. Tiba-tiba ia teringat pada saat-saat ia harus
berkelahi melawan Mahisa Agni di bendungan, kemudian di Panawijen. Namun
keduanya ia terusir karena kekalahan yang dialaminya. Kemudian ia
berhasil membunuh Wiraprana dan membawa Ken Dedes, tetapi ia harus
berhadapan dengan Witantra. Sekali lagi ia gagal. Dan ia kemudian
terlempar dengan hinanya ke atas tangga serambi istana atas permintaan
Ken Dedes yang ingin melepaskan sakit hatinya. Dengan demikian maka ia
adalah seorang buruan.
Kuda Sempana itu berdiri membeku di
tempatnya. Ia melihat Cundaka telah siap dengan pedangnya. Namun sekali
lagi ia mendengar kembali suara hatinya pada saat ia berkelahi melawan
Witantra, “Ken Dedes bagiku adalah lambang keteguhan tekadku. Kalau aku
tidak mampu mempertahankannya maka dalam persoalan-persoalan yang lain
aku pun akan selalu gagal.”
Kuda Sempana menjadi semakin ragu-ragu.
Apakah ia akan tetap dalam pendiriannya itu meskipun dengan perubahan?
Kini ia telah bertekad, kalau ia gagal maka lambang keteguhan tekadnya
itu akan dihancurkannya sama sekali lewat kehancuran yang akan dialami
oleh Mahisa Agni. Orang yang paling dibencinya.
Kuda Sempana tersadar ketika ia melihat
gurunya dan Kebo Sindet tiba-tiba meloncat dekat di mukanya. Dengan
serta-merta ia meloncat mundur. Namun ketika ia telah tegak kembali di
atas kedua kakinya, maka ia masih saja dicengkam oleh kebimbangan. Kalau
ia membiarkan perkelahian itu, maka berarti ia telah mengkhianati
gurunya. Tetapi kalau ia memihak gurunya dan bersama-sama dengan Cundaka
mencoba membunuh Wong Sarimpat, maka kembali ia akan mengalami
kegagalan menghadapi Mahisa Agni.
Dadanya berdesir ketika sekali lagi ia
mendengar gurunya berteriak, “Cundaka. Jangan gila! Tinggalkan orang
itu, atau berdua melawan ber-sama-sama. Jangan berbuat sendiri!”
Cundaka pun menjadi ragu-ragu. Ia melihat
Wong Sarimpat berjalan terhuyung-huyung ke arahnya. Sekali-kali orang
itu meraba dadanya yang serasa pecah. Namun matanya masih memancarkan
kemarahan yang membara. Dengan ujung jari tangan kirinya ia menunjuk
wajah Cundaka sambil berkata serak tersendat-sendat, “Jangan lari tikus
kecil aku masih mampu membunuhmu.”
Cundaka mundur selangkah. Tetapi
pedangnya kini telah terjulur lurus mengarah ke dada Wong Sarimpat. Dada
yang telah berhasil dilukai oleh Empu Sada.
Namun ketika Wong Sarimpat maju selangkah
lagi, Cundaka itu pun surut pula selangkah sambil berpaling memandangi
saudara seperguruannya, Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana itu pun masih juga berangan-angan.
“Apakah kematian Cundaka dan guru sendiri, akan merupakan korban yang harus aku relakan untuk melakukan rencanaku?”
Sekali lagi Kuda Sempana mendengar
gurunya berteriak, “Kau sudah terpengaruh oleh suara iblis ini Kuda
Sempana. Jangan kau sangka bahwa kau akan mendapatkan apa yang telah
mereka janjikan.”
Kebo Sindet yang tangan kirinya telah
terluka itu sempat juga berkata, “Kasihan kau Kuda Sempana. Mungkin kau
tidak mengerti kenapa kami ingin membunuh gurumu. Sebelum gurumu ini aku
singkirkan, maka kau tidak akan dapat mengingkari rencana itu, sebab di
belakang semua perbuatannya, tersembunyi pamrih yang tidak kau ketahui.
Aku akan mengatakannya kelak, apabila gurumu telah menjadi bangkai.”
Kata-kata Kebo Sindet terputus oleh
serangan Empu Sada yang semakin dahsyat. Tongkatnya sekali-kali berhasil
menyusup ke dalam lingkaran gerakan pedang Kebo Sindet. Bahkan
sekali-kali tongkat itu berhasil pula menyentuh tangannya yang sakit,
sehingga tulang-tulangnya semakin lama terasa seolah-olah menjadi
semakin remuk.
“Gila!” katanya di dalam hati “Empu tua itu tahu benar, bahwa tanganku hampir patah.”
Namun betapapun juga, akhirnya Kuda
Sempana menyadari, bahwa ia tidak dapat membiarkan guru dan saudara
seperguruannya. Betapapun ia menjadi ragu-ragu tetapi terdengar
kata-kata hatinya melonjak-lonjak.
“Itu adalah gurumu.”
Dengan mata yang tidak berkedip Kuda
Sempana melihat gurunya bertempur. Hilanglah segala kesan ketuaan Empu
Sada. Kini Empu Sada itu seolah-olah menjadi seekor burung sriti yang
sedang menari-nari di udara,
Namun Kebo Sindet melawannya dengan
tangkas. Goloknya berputar dan terayun-ayun dengan dahsyatnya. Kekuatan
orang itu benar-benar mengagumkan. Golok yang besar itu di tangannya,
seolah-olah tidak lebih dari sebatang gelagah alang-alang
Pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin seru, seperti pertempuran di dalam dada Kuda Sempana. Dalam
ke-ragu-raguan ia mendengar gurunya berteriak dengan penuh kecemasan,
“Cundaka! He, Cundaka! Apa kau sudah benar-benar gila. Lari! Lari
cepat!”
Tetapi Cundaka melihat Wong Sarimpat
sudah hampir mati, Dengan sebuah sentuhan yang tidak berarti orang itu
pasti sudah akan jatuh telentang. Dan ia segera akan menghunjamkan
pedangnya di dada orang liar itu. Betapa gurunya berteriak-teriak namun
perasaan sombong di dalam dadanya telah memaksanya untuk tetap berada di
tempatnya, bahkan ia sesumbar di dalam hatinya, “He Wong Sarimpat.
Betapa nistanya Cundaka yang bergelar Bahu Reksa Kali Elo, namun aku
adalah laki-laki juga seperti kau. Sekarang, kenapa aku harus
menghindarkan diri sedang kau sudah hampir menjadi bangkai?”
Wong Sarimpat menjadi semakin dekat. Dan
Cundaka masih mendengar gurunya berteriak. Tetapi ia ingin, ya, ia
ingin, bahwa ia berhasil membunuh Wong Sarimpat itu. Karena itu,
tiba-tiba Cundaka itu pun memekik tinggi. Dengan satu loncatan yang
garang ia menyerang Wong Sarimpat dengan pedangnya mengarah dada.
“Oh,” terdengar Empu Sada mengeluh, kemudian katanya, “Nasibmu memang terlampau jelek Cundaka.”
Tetapi Cundaka tidak mendengar. Ia sedang
dimabukkan oleh keinginannya membunuh Wong Sarimpat yang di sangkanya
hampir mati karena luka di dadanya.
Kuda Sempana melihat serangan itu. Ia
mendengar gurunya memerintahkan kepadanya untuk bersama-sama dengan
Cundaka menghadapi Wong Sarimpat. Betapa ia masih dikuasai oleh
kebimbangan, namun tangannya telah menarik pedangnya pula. Sekali ia
melangkah maju, namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya seakan-akan
meloncat dari pelupuknya. Dengan mulut ternganga ia meneriakkan
sesuatu, tetapi kata-katanya tidak lagi dapat dimengerti.
“Sudah nasibmu Cundaka,” geram Empu Sada sambil bertempur.
Yang terdengar adalah suara parau Wong
Sarimpat. Betapa luka menghentak-hentak dadanya, namun ia tertawa
terbahak-bahak. Ternyata Cundaka yang mencoba menusuk dada Wong Sarimpat
telah mengalami nasib malang. Dengan kecepatan yang tidak
disangka-sangka oleh Cundaka, Wong Sarimpat berhasil menghindarkan
dirinya. Cundaka yang memastikan bahwa pedangnya akan menyentuh lawannya
yang disangkanya sudah tidak mampu bergerak itu, terdorong oleh
tenaganya sendiri. Tiba-tiba terasa sebuah tangan yang kuat menangkap
lehernya. Demikian kuatnya, sehingga terasa lehernya hampir terputus
karenanya. Ketika sekali ia mencoba meronta, maka terasa jari-jari
tangan itu seolah-olah menghunjam ke dalam kulitnya dan berangsur-angsur
tenaganya menjadi kian lemah.
Dengan sisa tenaganya Cundaka segera
menggerakkan pedang yang masih berada di tangannya. Ia melihat sepasang
kaki yang renggang di sampingnya. Tetapi demikian pedangnya terayun,
terasa kaki Wong Sarimpat mengenai pergelangannya sehingga pedangnya pun
terlepas dan jatuh di tanah.
“Kuda Sempana, cepat berbuatlah sesuatu!” teriak Empu Sada.
Kuda Sempana maju pula selangkah. Kini ia
telah mencabut pedangnya. Ketika ia melihat Cundaka tidak berdaya maka
timbullah perabaan iba di dalam hatinya. Cundaka itu telah pernah
berusaha membantunya pula. Namun tiba-tiba kembali Kuda Sempana
tertegun. Ia melihat Cundaka yang tidak berhasil melepaskan tangan Wong
Sarimpat itu mencoba menghimpun kekuatan lahir dan batinnya. Dalam
keadaannya itu ia masih mencoba membangunkan kekuatan aji Kala Bama.
Demikian ia merasa siap dengan kekuatannya itu, maka sambil membungkuk
karena tekanan tangan Wong Sarimpat, pada lehernya Cundaka mengayunkan
tangannya memukul lambung Wong Sarimpat. Namun Wong Sarimpat menyadari
apa yang akan terjadi. Dengan kekuatan yang ada padanya, maka terkaman
jarinya itu pun diperketat. Suatu kekuatan yang tiada taranya telah
menjalar di jarinya, sehingga Cundaka itu pun tiba-tiba menjadi lemah
seperti dilepasi seluruh tulang belulangnya.
Empu Sada yang melihat muridnya mencoba membangun kekuatan terakhir itu pun berdesah “Tak ada gunanya.”
Dan sebenarnyalah, ketika Wong Sarimpat
melepaskan tangannya, maka Cundaka itu pun jatuh dengan lemahnya di
tanah. Kekuatan yang telah mulai tumbuh dan menjalari tangannya,
tiba-tiba seperti dihisap oleh kekuatan yang tak dimengertinya. Bahkan
segenap kekuatan yang ada padanya.
Kini Cundaka tidak lebih dari sehelai
daun yang laju. Terasa betapa sakit segenap tubuhnya, dan betapa
nafasnya menjadi sesak. Sekejap ia menyesal bahwa ia tidak menuruti
nasihat gurunya, namun sekejap kemudian ia telah menemukan kekuatan
batinnya kembali. Adalah wajar, bahwa dalam setiap perkelahian itu,
salah satu pihak akan mengalami kekalahan. Mati adalah akibat yang telah
dimengertinya sejak pertama-tama ia menggantungkan pedang di
lambungnya. Dan mati itu kini menghampirinya. Karena itu, dalam
kelemahan, Cundaka bahkan menjadi tenang. Meskipun tenaganya telah
habis, namun ia masih sempat melihat gurunya bertempur dan melihat Kuda
Sempana berdiri termangu-mangu dengan pedang di tangan.
“Mudah-mudahan guru dapat membalaskan
dendamku,” desisnya. Suaranya perlahan-lahan dalam nada yang sangat
rendah. Tetapi Empu Sada mendengar kata-kata itu. Hati orang tua itu pun
menjadi sangat terharu ketika ia melihat muridnya pasrah kepada maut
yang telah siap untuk memeluknya
Kuda Sempana yang berdiri dalam
kebingungan tiba-tiba tersadar bahwa ia sedang menghadapi bahaya yang
sama besarnya dengan bahaya yang telah menelan Cundaka. Karena itu, maka
segera ia mencoba memusatkan perhatiannya ke pada ujung pedangnya dan
kepada Wong Sarimpat. Ditindasnya setiap perasaan ragu-ragu dan
disingkirkannya setiap harapan akan membalas dendam terhadap Mahisa Agni
dengan alat kedua orang liar itu. Meskipun harapan itu selalu saja
menyentuh-nyentuh hatinya.
Kuda Sempana itu pun kemudian
menggeretakkan giginya. Ia masih melihat saudaranya seperguruannya
menggeliat. Dan sekali lagi Cundaka itu mencoba berkata, “Aku sudah
tidak dapat membantu guru lagi.”
Sekali lagi dada Empu Sada tersentuh.
Murid itu diambilnya, karena Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa
Kali Elo itu dapat memenuhi permintaannya. Dapat memberinya berbagai
macam barang dan uang. Bukan karena suatu keyakinan bahwa muridnya itu
akan dapat meneruskan cabang perguruannya. Namun ketika ia melihat anak
itu hampir sampai pada ajalnya, maka hatinya melonjak. Kemarahannya pun
menjadi semakin menyala di dalam dadanya. Tiba-tiba hati orang tua itu
berkata “Ya, aku akan mencoba membalaskan dendammu, Anakku.”
Tiba-tiba Empu Sada itu pun melenting
meninggalkan lawannya. Gerak yang tiba-tiba dan hampir secepat tatit
meloncat di udara itu, tidak segera dapat diikuti oleh Kebo Sindet.
Namun sebagai seorang yang telah dipenuhi oleh pengalaman maka segera
Kebo Sindet dapat menangkap maksud Empu Sada. Dengan loncatan yang
panjang Kebo Sindet mengejarnya. Tetapi Kebo Sindet terlambat sekejap.
Tongkat Empu Sada telah terjulur lurus ke dada Wong Sarimpat. Alangkah
terkejutnya Wong Sarimpat yang sedang menikmati kemenangannya itu.
Ketika ia melihat Empu Sada meloncat ke arahnya, dan ketika ia melihat
tongkat orang tua itu terjulur lurus ke dadanya, maka ia menjadi gugup.
Kalau dadanya tidak sedang terluka maka serangan itu sama sekali tidak
akan membingungkannya. Ia mampu bergerak secepat Empu Sada. Tetapi kini
betapa sakit tulang-tulang iganya. Setiap geraknya pasti menumbuhkan
rasa pedih pada isi dadanya itu. Namun ia tidak mau mati karena serangan
itu. Betapapun sakitnya, tetapi ia harus mengerahkan segenap
kemampuannya. Karena ia tidak mendapat kesempatan untuk meloncat, maka
satu-satunya cara yang dapat menolongnya adalah menjatuhkan diri.
Sementara itu ia mengharap kakaknya akan datang menolongnya.
Demikianlah dengan serta-merta Wong
Sarimpat mencoba menjatuhkan dirinya mendahului tongkat Empu Sada.
Meskipun dadanya terluka, namun ia masih juga mampu bergerak cepat,
sehingga dadanya terlepas dari dorongan tongkat orang tua itu. Tetapi
Empu Sada tidak membiarkannya bebas sama sekali dari serangannya, dengan
satu putaran ia menghantamkan tongkatnya pada punggung lawannya. Sekali
lagi Wong Sarimpat terpaksa mencoba menghindarkan diri dengan berguling
di tanah. Namun kali ini Wong Sarimpat yang sudah tidak mampu
mempergunakan segenap kekuatannya itu tidak berhasil membebaskan dirinya
sama sekali. Sekali lagi ia terpaksa mengalami cedera. Kali ini
lengannya telah terkena tongkat Empu Sada yang sedang menjadi sangat
marah itu.
Terdengar Wong Sarimpat mengumpat pendek.
Perasaan nyeri telah menusuk tulangnya, serasa tulangnya telah menjadi
retak pula karenanya.
Namun dengan demikian, karena nafsu Empu
Sada untuk membunuh Wong Sarimpat terlampau menguasai perasaannya, maka
sejenak ia menjadi lengah, bahwa Kebo Sindet sedang mengejarnya. Empu
tua itu mendengar Kuda Sempana berteriak pendek dan terasa sebuah
getaran menyentuh punggungnya. Cepat ia meloncat ke samping sambil
merendahkan dirinya. Kali ini ia berhasil menghindari sambaran golok
Kebo Sindet, tetapi ketika golok itu terayun melampaui tubuhnya yang
sedang merendah, terasa telinganya seakan-akan menjadi pecah. Ternyata
kaki Kebo Sindet berhasil menyambar kepalanya, menyentuh telinga
kanannya. Untunglah bahwa Kebo Sindet tidak berhasil mempergunakan
sepenuh kekuatannya karena tarikan goloknya sendiri. Meskipun demikian
Empu Sada itu pun terdorong selangkah dan jatuh terguling di tanah.
Namun seperti singgat, orang tua itu segera melenting berdiri.
Tongkatnya masih tergenggam erat di tangannya. Tetapi kini kepalanya
menjadi pening. Bahkan serasa dunia ini berputar di sekelilingnya.
“Gila!” orang itu mengumpat di dalam
hati. Ketika ia melihat Kebo Sindet menyerangnya kembali, maka sementara
orang tua itu hanya berhati menghindar sambil mencoba menenangkan
dadanya.
Sementara itu Wong Sarimpat pun telah
duduk kembali. Tepat di samping Cundaka yang terbaring lemah. Betapa
kemarahan Wong Sarimpat itu menghunjam jantungnya. Maka ketika tiba-tiba
dilihatnya Cundaka di sampingnya, dengan serta-merta ia merangkak dan
menangkap leher orang yang sudah tidak berdaya itu. Dengan gigi
gemeretak ia menekankan sepuluh jari-jari tangannya ke leher Cundaka
yang tidak dapat melawannya sama sekali.
Kuda Sempana yang meloncat dengan pedang
di tangan ternyata terlambat. Cundaka sudah benar-benar mati dicekik
oleh Wong Sarimpat.
Ketika Kuda Sempana kemudian siap
menyerang orang yang masih terduduk itu terdengar Empu Sada
memperingatkannya, “Jangan kau ulangi kesalahan saudaramu. Orang yang
hampir mati itu masih cukup berbahaya bagimu.”
Tetapi suara itu disusul oleh suara Kebo
Sindet, “Wong Sarimpat, jangan kau bunuh Kuda Sempana. Aku bahkan ingin
menolongnya, menangkap Mahisa Agni.”
“Setan!” geram Empu Sada. Kini kepalanya
sudah tidak terlampau pening lagi. Namun telinganyalah yang terata sakit
bukan buatan. Bahkan hatinya pun menjadi sangat pedih. Satu muridnya
meninggal di hadapan hidungnya. Tetapi muridnya itu telah menjadi korban
kesombongan sendiri. Ia tidak mau mendengarkan nasihatnya.
Seruan gurunya, serta suara Kebo Sindet,
kembali telah mengganggu perasaan Kuda Sempana. Ia kini kembali berdiri
tegak seperti patung. Ia melihat Cundaka terbunuh karena tidak mau
mendengar nasihat gurunya. Dan kini gurunya itu melarangnya pula untuk
melawan Wong Sarimpat yang tampaknya sudah terlampau lemah. Tetapi dalam
pada itu ia mendengar Kebo Sindet mencegah adiknya untuk tidak
membunuhnya.
Kuda Sempana menjadi bingung. Tetapi
bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak berlaku jujur kini mulai
terbayang di dalam benaknya, Karena itu maka Kuda Sempana pun kini mulai
menyadari betapa bodohnya dirinya sendiri. Dan ia ingin mencoba menebus
kebodohannya. Ia ingin memanfaatkan sikap Kebo Sindet atas adiknya Wong
Sarimpat. Apabila ia menyerang Wong Sarimpat, maka Wong Sarimpat pasti
tidak akan berani membunuhnya karena kakaknya tidak menghendakinya.
Tidak seperti saudara seperguruannya itu. Kedua orang liar itu agaknya
benar-benar membencinya meskipun mereka belum mengenalnya dengan baik.
Apalagi kini Wong Sarimpat telah menjadi semakin parah.
Karena itu maka Kuda Sempana tidak segera
meninggalkan tempat itu. Dari cahaya obor yang masih menyala meskipun
kini tergolek di atas batu-batu padas, ia melihat betapa wajah Wong
Sarimpat yang tegang. Agaknya orang itu berusaha untuk menahan perasaan
sakitnya.
Ketika api obor itu menyala semakin
besar, maka Kuda Sempana melihat, betapa wajah itu menjadi sangat
mengerikan. Wong Sarimpat itu menatap seperti ingin menelannya
hidup-hidup.
Tekad Kuda Sempana telah bulat di dalam
dadanya. Ia mempunyai kedudukan yang berbeda dengan saudara
seperguruannya di mata kedua orang-orang liar itu. Betapa Wong Sarimpat
marah kepadanya, namun Kebo Sindet agaknya masih memerlukannya.
Namun kembali ia mendengar gurunya berteriak, “Apakah kau juga akan membunuh dirimu Kuda Sempana?”
Kuda Sempana menggeram. Terasa dadanya
bergolak. Apakah sudah sepantasnya ia melarikan dirinya selagi gurunya
bertempur matian dan sesudah saudara seperguruannya itu mati?
Dalam keragu-raguan itu ia melihat Wong
Sarimpat berusaha untuk berdiri. Beberapa kali ia berusaha, namun setiap
kali ia berhenti, mengatur pernafasannya dan mengusap dadanya. Agaknya
dadanya masih terasa sangat parah, di samping lengannya yang serasa
menjadi retak.
“Setan licik!” geramnya. Kemudian
ditatapnya wajah Kuda Sempana sambil mengumpat “Kau setan pula. Ternyata
kakakku berbaik hati kepadamu. Kalau tidak, maka nyawamu akan meloncat
dari ubun-ubunmu seperti demit kecil ini.”
Namun terdengar suara Kebo Sindet,
“Jangan kau takut-takuti anak itu, Wong Sarimpat. Ia tidak bersalah.
Gurunyalah yang gila dan saudara seperguruannya itu pula.”
Dada Kuda Sempana berdesir. Namun ia
sependapat dengan gurunya ketika ia mendengar gurunya berkata, “Apakah
kau dapat mempercayainya Kuda Sempana?”
Kuda Sempana tidak menjawab, tetapi kepalanya mengangguk lemah-
Sementara itu Wong Sarimpat telah
berhasil berdiri tegak. Ditelekankan kedua tangannya di dadanya, dan
dihisapnya nafas dalam-dalam beberapa kali. Sejenak ia memusatkan
segenap sisa-sisa kekuatannya. Dan kemudian terdengarlah ia berdesis.
Kebo Sindet dan Empu Sada masih juga
bertempur dengan sengitnya. Keduanya adalah orang-orang yang jarang
tandingannya. Masing-masing mempunyai kekhususannya sendiri- sendiri.
Namun terasa bahwa tangan Kebo Sindet yang terluka agak mengganggunya.
Meskipun demikian goloknya masih dapat berputar seperti baling-baling.
Empu Sada tidak kalah lincahnya pula.
Meskipun telinganya menjadi sakit, namun kekuatannya seolah-olah sama
sekali tidak terpengaruh olehnya. Tongkatnya masih menyambar-nyambar dan
sekali-kali mematuk ke titik-titik berbahaya pada tubuh Kebo Sindet.
Kuda Sempana kemudian melihat Wong
Sarimpat mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil menghisap udara
sebanyak-banyaknya. Seakan-akan seluruh udara di atas bukit gundul itu
akan dihisapnya. Ber-kali-kali dan kemudian terdengar ia berdesah lirih,
“Hem. Setan tua itu harus binasa.”
Dengan penenangan itu ternyata Wong
Sarimpat berhasil mengurangi perasaan sakitnya meskipun hanya sedikit.
Namun karena kemarahan yang membara di dadanya, maka ia tidak dapat
membiarkan melihat kakaknya bertempur sendiri melawan Empu Sada. Bagi
Wong Sarimpat Kuda Sempana sama sekali sudah tidak berarti lagi. Karena
itu dibiarkannya saja ia berdiri tegak dengan pedang di tangan.
Tetapi Kebo Sindet tidak ingin membiarkan
Kuda Sempana itu. Ia tidak menghendaki anak itu dilepaskan. Ia tidak
akan membiarkan anak itu lari. Tetapi ia tidak dapat memberitahukannya
kepada adiknya, sebab dengan demikian, maka Empu Sada pasti segera
mengetahui maksudnya pula.
Karena itu, maka Kebo Sindet itu pun
menjadi gelisah. Tetapi ketika ia melihat Wong Sarimpat telah siap untuk
ikut serta dalam perkelahian itu, maka tumbuhlah harapannya untuk dapat
menangkap Kuda Sempana hidup-hidup. Ia mengharap anak muda itu bukan
seorang pengecut yang licik. Ia mengharap setidak-tidaknya Kuda Sempana
mempunyai keberanian seperti saudara seperguruannya.
Maka Tiba-tiba berkatalah Kebo Sindet, “He, apa yang akan kau lakukan Wong Sarimpat?”
Wong Sarimpat menggeram. Ia tidak
mengerti kenapa kakaknya itu bertanya. Namun dijawabnya pula pertanyaan
itu, “Aku ingin memecahkan dada Empu tua itu seperti ia melukai dadaku.
Tetapi aku bukan pengecut seperti orang itu.”
Empu Sada tidak merasa perlu untuk
menjawab. Bahkan serangannyalah yang menjadi semakin garang. Ia sama
sekali tidak menjadi cemas melawan keduanya telah dilukainya sehingga
mereka tidak dapat mempergunakan teraga mereka sepenuh-penuhnya.
Meskipun demikian Empu Sada tidak dapat
memperingan lawannya. Apalagi Kebo Sindet. Meskipun sebelah tangannya
telah terluka namun tandangnya hampir tidak berbeda. Tetapi Empu Sada
yang telah mengetahui luka di tangan itu, selalu berusaha untuk
menyentuhnya dengan tongkatnya. Empu tua itu tahu betul, sentuhan yang
kecil telah cukup untuk membangkitkan perasaan sakit yang membakar
seluruh tubuh Kebo Sindet itu.
Karena itu ketika Wong Sarimpat berjalan tertatih-tatih mendekatinya, maka Empu Sada itu menjadi semakin berhati-hati.
Kuda Sempana yang masih tegak seperti
tonggak, melihat Wong Sarimpat semakin lama menjadi semakin dekat dengan
kedua orang yang sedang bertempur itu. Meskipun tataran ilmu gurunya
serta Kebo Sindet di atas ilmunya, namun Kuda Sempana dapat melihat
bahwa Kebo Sindet yang terluka tangannya itu selalu terdesak oleh
gurunya. Betapa besar golok orang itu, dan betapa kuatnya ia
menggerakkannya, namun setiap kali ia melihat orang itu menyeringai
menahan sakit dan sekali dua kali meloncat surut untuk menghindari
serangan Empu Sada yang selalu berusaha menyarang titik kelemahan
lawannya.
Sesaat kemudian Kuda Sempana itu pun
melihat Wong Sarimpat meloncat menerjunkan diri ke dalam perkelahian
itu. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat orang yang di sangkanya
sudah hampir mati itu mampu meloncat dengan kecepatan yang luar biasa.
Serangannya datang seperti kilat menyambar di langit. Tetapi ketika
lawannya mampu menghindari serangan itu, maka kembali Wong Sarimpat
berdiri terbungkuk-bungkuk. Kedua tangannya menekan dadanya dan nafasnya
seakan-akan hampir putus.
Ternyata orang itu telah mengerahkan
sisa-sisa tenaganya untuk tetap dapat mengimbangi lawannya. Meskipun
kemudian luka di dalam dadanya terasa sakit kembali, namun pada saat
tertentu, karena nafsu dan kemarahan yang meluap-luap, Wong Sarimpat
telah berhasil meluapkannya. Sehingga serangan yang demikian itu tidak
hanya satu kali dilakukan oleh Wong Sarimpat. Setiap kali ia menyerang
dan setiap kali pula ia menyingkir dari titik perkelahian untuk
menenangkan dirinya.
Meskipun demikian, namun
serangan-serangan Wong Sarimpat itu cukup mengganggu Empu Sada. Setiap
kali ia harus membagi perhatiannya. Bahkan serangan-serangan orang
tampaknya telah hampir lumpuh itu pun masih cukup berbahaya.
Akhirnya Empu Sada pun menyadari, bahwa
tidak ada gunanya lagi ia bertempur seterusnya. Kini ia tinggal mencoba
bertahan dan memberikan kesempatan Kuda Sempana untuk menyingkir sebelum
ia sendiri meninggalkan bukit gundul itu. Tetapi alangkah jengkelnya
Empu tua itu ketika ia masih melihat Kuda Sempana berdiri saja seperti
patung,
“Kuda Sempana, pergilah!” berkata Empu Sada.
Tetapi yang menyahut adalah Kebo Sindet,
“Wong Sarimpat. Jangan putus asa karena luka-lukamu. Marilah kita bunuh
Empu tua yang gila ini. Ia telah banyak berbuat kesalahan tidak saja
atas kita. Namun lihatlah. Apakah ia telah membentuk muridnya itu dengan
baik? Menurut pendapatku Kuda Sempana adalah seorang anak muda yang
cukup berani. Tetapi gurunyalah yang mengajarinya menjadi pengecut. Bagi
laki-laki, lari dari arena perkelahian adalah sifat yang
sehina-hinanya. Lebih hina dari serangan yang licik yang dilakukan oleh
Empu Sada itu sendiri.”
“Jangan hiraukan!” teriak Empu Sada sambil bertempur, “Jangan hiraukan. Lari tinggalkan tempat ini!”
“Kalau kau yang lari, Wong Sarimpat, meskipun kau sudah akan mati, maka kau akan aku bunuh sendiri,” geram Kebo Sindet.
Tiba-tiba Wong Sarimpat yang terluka di
dadanya itu melepaskan diri dari perkelahian. Terdengar ia mencoba
tertawa keras-keras. Tetapi suara itu pun patah karena perasaan sakit
yang menekan dadanya. Namun ia masih sempat berkata “Empu Sada telah
mendidiknya berbuat demikian. Ternyata murid yang gila, yang kau
kehendaki sepasang matanya itu lebih berani daripada Kuda Sempana.”
Baik Empu Sada maupun Kuda Sempana
menyadari maksud kata-kata itu. Mereka tidak menghendaki Kuda Sempana
meninggalkan perkelahian. Namun meskipun demikian, harga diri Kuda
Sempana tersinggung juga. Itulah sebabnya ia masih juga berdiri
termangu-mangu meskipun beberapa kali gurunya berteriak-teriak
mengusirnya.
Dalam perkelahian yang kemudian menjadi
semakin sengit, Kebo Sindet sempat berkata kepada Wong Sarimpat
perlahan-lahan, “Tangkap anak itu. Jangan sampai ia lari. Kau tidak akan
dapat mengejarnya karena lukamu.”
Betapa Kebo Sindet mencoba berbisik
perlahan-lahan sekali, tetapi telinga Empu Sada yang tajam dapat
mendengarnya. Karena itu sekali lagi ia berteriak “Lari Kuda Sempana
lari. Kau akan ditangkap hidup-hidup untuk permainan mereka ini.
Permainan orang-orang liar.”
Karena perhatian yang terpecah-pecah
itulah maka Kebo Sindet dan Wong Sarimpat berhasil menekan Empu Sada
mendekati Kuda Sempana. Wong Sarimpat yang terluka itu kadang-kadang
sama sekali tidak mampu meloncat menyerang karena perasaan sakitnya,
namun kadang-kadang apabila ia berhasil mengatasi perasaan sakit dan
berhasil menghimpun tenaganya maka luka di dadanya itu seakan-akan sudah
tidak berbekas.
Ketika titik perkelahian itu menjadi
semakin mendekatinya, maka Kuda Sempana pun menjadi semakin menyadari
apa yang akan dihadapinya. Ia benar-benar tidak dapat ikut dalam
perkelahian itu, tetapi untuk meninggalkan gurunya, hatinya masih
ragu-ragu. Meskipun demikian, akhirnya ia mengambil suatu kesimpulan,
“Lebih baik aku menyingkir. Aku harap Guru berhasil melarikan dirinya
pula kemudian.”
Ternyata gurunya yang benar-benar
menginginkan Kuda Sempana pergi telah mencoba merendahkan dirinya agar
muridnya tidak terlampau terikat pada harga diri pula, katanya “Kuda
Sempana, larilah selagi aku mampu menahan kedua orang liar itu, sesudah
itu aku pun akan melarikan diri pala. Tak ada gunanya lagi berurusan
dengan orang-orang liar ini.”
Tak ada pilihan lain bagi Kuda Sempana
selain meninggalkan pertempuran itu. Ia harus segera pergi, tidak tahu
ke mana, asal saja menjauhi kedua orang-orang yang aneh itu.
Tetapi betapa terkejut Kuda Sempana
ketika ia seolah-olah melihat kilat yang menyambar di hadapannya.
Demikian cepatnya sehingga ia tidak mendapat kesempatan berbuat sesuatu.
Ketika ia telah mengambil keputusan untuk lari, maka ia telah
terlambat. Wong Sarimpat yang terluka itu tiba-tiba telah berdiri di
hadapannya. Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, terasa tangannya yang
memegang pedang bergetar, dan pedangnya pun terpelanting jatuh di tanah.
Kuda Sempana benar-benar tidak mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu. Yang terasa olehnya adalah sebuah
tekanan yang keras pada lengan kanannya. Ketika ia terputar, maka Wong
Sarimpat telah menangkap tengkuknya. Sebuah tekanan yang keras di
tengkuknya serasa sebagai daya yang kuat, yang telah menghisap seluruh
tenaganya. Seperti Cundaka, maka Tiba-tiba Kuda Sempana itu menjadi
lemah. Semakin lama semakin lemah.
“Gila!” terdengar Empu Sada berteriak.
Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Kebo Sindet yang telah bersiap
untuk menghadapi tindakan adiknya itu dengan garangnya mencoba melibat
Empu Sada, sehingga orang itu tidak mendapat kesempatan berbuat sesuatu.
Betapa jantung orang tua itu dicengkam
oleh kemarahan yang memuncak. Betapa dadanya serasa akan pecah. Tetapi
semuanya itu sudah terjadi. Ia menyesal tak habisnya atas kedua muridnya
yang sama sekali tidak mau mendengarkan nasihatnya. Cundaka telah
hangus dibakar kesombongannya sendiri, sedang Kuda Sempana telah dibelit
oleh keragu-raguannya. Namun kedua-duanya kini tidak dapat
diharapkannya lagi.
Empu Sada itu masih melihat Kuda Sempana
jatuh dengan lemahnya. Sedang Wong Sarimpat, yang terpaksa mengerahkan
sisa-sisa tenaganya yang telah lemah pula, berdiri sambil menekan
dadanya Sekali ia batuk sambil terbungkuk-bungkuk, namun kemudian orang
itu pun jatuh terduduk di tanah.
“Kau akan mati pula!” geram Empu Sada.
Tetapi Kebo Sindet menjawab, “Tidak. Kami
menyimpan obat-obatan yang dapat menyembuhkannya dalam waktu singkat.
Sayang obat-obatan itu tidak kami bawa. Tetapi ia tidak akan mati. Besok
ia telah sanggup bertempur melawanmu seorang diri seandainya kau masih
hidup. Tetapi sayang pula, bahwa kau akan mati malam ini seperti muridmu
yang sombong. Sedang muridmu yang baik itu, biarlah aku mencoba
merawatnya. Menjadikannya seorang jantan yang tidak akan dapat kau
kalahkan seandainya kau sempat bertemu lagi.”
Empu Sada tidak menjawab. Ia melihat
kesempatan untuk mencoba menjatuhkan Kebo Sindet, selagi Wong Sarimpat
sedang dicengkam oleh perasaan sakit. Dengan mengerahkan segenap
kemampuannya ia menyerang seperti seekor burung elang di udara.
Menyambar dengan tongkatnya, tangannya dan kakinya. Namun Kebo Sindet
masih mampu untuk menghindarkan dirinya dari setiap serangan yang
betapapun berbahayanya.
Perlahan-lahan Wong Sarimpat mulai dapat
mengatasi perasaan sakitnya kembali. Perlahan-lahan pula ia mencoba
berdiri. Dengan mata yang menyala ia memandangi Empu Sada yang sedang
bertempur dengan kakaknya. Kemudian terdengar ia menggeram, “Tinggal kau
sekarang Empu tua. Ayo, menyerahlah supaya kemarahan kami tidak
menyebabkan kami membunuhmu dengan cara yang tidak menyenangkan.”
Empu Sada masih berdiam diri. Bahkan
serangannya menjadi semakin kuat. Namun ia bergumam di dalam hatinya,
“Setan manakah yang telah bersembunyi di dalam tubuh Wong Sarimpat itu?
Meskipun ia sudah hampir mampus, namun ia masih juga kuat untuk berdiri
dan bahkan bertempur meskipun ia telah memeras tenaganya melampaui
kemampuannya yang sewajarnya.”
Dan Empu Sada itu menjadi semakin geram,
ketika ia melihat Wong Sarimpat berjalan tertatih-tatih ke arah mereka
yang sedang bertempur mati-matian itu. Kini goloknya, yang mirip dengan
golok kakaknya telah digenggamnya pula. Meskipun nafasnya
tersendat-sendat namun nampaknya orang itu masih garang juga.
Sekali lagi Empu Sada membuat
perhitungan. Ia juga tidak akan mampu mengalahkan keduanya dalam keadaan
serupa itu. Ternyata kekuatan tubuh Wong Sarimpat benar-benar berada di
luar dugaannya. Dalam keadaan serupa itu, ia masih juga mampu
mengganggu perkelahiannya dengan Kebo Sindet. Karena itu, maka tidak ada
jalan lain baginya daripada menghindarkan diri dari perkelahian itu.
Kalau ia berhasil maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk berusaha
membebaskan Kuda Sempana. Menurut perhitungan Empu Sada kemudian, Kuda
Sempana memang tidak akan dibunuh, sebab kedua orang itu masih
memerlukannya. Mereka mengharap Kuda Sempana memberinya beberapa
petunjuk tentang Mahisa Agni, Ken Dedes dan Tunggul Ametung.
Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat pun
telah dapat menebak pula maksud Empu Sada itu. Karena itu maka terdengar
Kebo Sindet menggeram “Jangan mimpi kau berhasil melepaskan diri Empu.
Meskipun Wong Sarimpat telah kau lukai dengan curang, tetapi ia masih
mampu berbuat sesuatu. Mungkin kau dapat mengalahkan kami satu-satu
karena kecuranganmu. Tetapi mengalahkan kami berdua, atau mencoba
melepaskan diri dari kami berdua adalah sangat mustahil.”
Empu Sada sama sekali tidak menjawab.
Tetapi ia memang melihat kesulitan itu. Wong Sarimpat yang lemah itu
masih juga dapat berbuat banyak untuk mencegahnya meninggalkan
perkelahian. Namun bagaimanapun juga Empu Sada berusaha untuk
melakukannya. Sedikit demi sedikit ia menarik perkelahian itu ke sisi
dataran gunung gundul yang tidak terlampau lebar. Namun setiap kali
kedua laki-laki liar kakak beradik itu, selalu berusaha mendesaknya
kembali ke tengah.
Semakin dalam malam memeluk permukaan
bukit gundul itu, perkelahian mereka menjadi semakin sengit. Wong
Sarimpat yang dibakar oleh kemarahannya, ternyata mampu melupakan
lukanya pada saat-saat tertentu, meskipun sekali-sekali ia terpaksa
menyingkir untuk sesaat, memperbaiki keadaannya dan mengatur
pernafasannya.
Tetapi keadaan Empu Sadalah yang semakin
lama menjadi semakin sulit. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat berusaha
dengan sekuat tenaga untuk membinasakan Empu tua itu. Orang itu akan
dapat mengganggu usahanya. Rencananya tentang Mahisa Agni telah matang
di dalam kepala Kebo Sindet, seperti yang ditebak oleh Empu Sada. Karena
itu maka Empu Sada harus tidak ada lagi, supaya rencananya dapat
berlangsung. Tetapi sudah tentu bahwa Empu Sada tidak akan menjerahkan
kepadanya, sehingga bagaimanapun juga, dengan segenap kekuatan dan
kemampuan yang ada orang tua itu berjuang untuk mempertahankan hidupnya.
Namun jumlah kekuatan Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat yang luka itu, ternyata masih lebih besar dari kekuatan
Empu Sada, sehingga sekali terasa serangan-serangan kedua orang itu
hampir-hampir dapat mencapai maksudnya. Bahkan sekali-sekali terasa pada
pakaian Empu Sada, sentuhan-sentuhan ujung-ujung golok Kebo Sindet atau
Wong Sarimpat.
“Setan belang!” orang tua itu mengumpat di dalam hati. Ia kini benar-benar sedang berusaha untuk melepaskan dirinya.
Namun ternyata bahwa serangan-serangan
kedua lawannya semakin lama menjadi semakin garang. Batu-batu padas di
bukit gundul itu benar-benar tidak menyenangkan bagi kaki Empu Sada.
Bahkan terasa beberapa kali kakinya terantuk oleh ujung-ujung padas yang
menjorok. Tetapi bagi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tanah itu merupakan
tanah tempat mereka bermain setiap hari sehingga ujung-ujung batu yang
runcing tajam sama sekali tidak mempengaruhinya.
Ketika Empu Sada sekali lagi mencoba
meloncat surut, maka tanpa disangka-sangkanya kakinya tergores oleh
sebuah ujung batu padas sehingga sesaat ia terhuyung-huyung. Namun
dengan tangkasnya ia meloncat dan memperbaiki keseimbangannya. Tetapi
yang sesaat itu benar-benar dapat dipergunakan oleh Kebo Sindet. Dengan
garangnya ia meloncat menjulurkan senjatanya lurus-lurus ke dada
lawannya Tetapi sekali ini Empu Sada masih mampu menghindarinya. Dengan
lincahnya ia mengelak ke samping sambil merendahkan diri. Namun sayang,
bahwa Wong Sarimpat dengan mengerahkan segenap sisa-sisa tenaganya masih
mampu menyusulnya. Sebuah ayunan yang keras mengarah ke lambung Empu
Sada.
Orang tua itu terkejut. Tak ada jalan
lain daripada menjatuhkan dirinya. Dengan demikian maka dengan
serta-merta ia menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali. Terasa
ujung-ujung batu padas telah melukai kulitnya. Namun sama sekali tidak
dihiraukannya. Yang mengejutkannya pula adalah, ketika ia melenting
berdiri, Kebo Sindet telah siap menyerangnya dengan sebuah tebasan
langsung ke lehernya.
Empu Sada tidak dapat menghindarkan
dirinya. Yang dapat dilakukan adalah melawan serangan itu dengan
tongkatnya. Tetapi ia tidak dapat menangkis tajam golok lawannya dengan
tongkatnya. Untunglah bahwa tongkat orang tua itu cukup panjang,
sehingga dengan serta-merta dijulurkannya tongkatnya mengarah ke
pergelangan tangan Kebo Sindet.
Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat.
Benturan yang tidak langsung di antara kedua senjata mereka. Ujung
tongkat Empu Sada ternyata berhasil mengenai pergelangan tangan Kebo
Sindet yang sedang terayun dengan derasnya. Terdengar Kebo Sindet
berteriak pendek. Tulang pergelangannya terdengar gemeretak seakan-akan
terpatahkan. Goloknya yang terayun itu pun terlepas dari genggamannya.
Namun karena itu, karena golok yang terlepas itu, maka Empu Sada pun
tidak dapat menghindarkan dirinya lagi. Golok itu dengan cepat
menyambarnya. Untunglah bahwa sambaran golok itu tidak tepat mengenai
lehernya. Tetapi terasa sebuah goresan yang pedih menyilang dadanya,
sehingga orang tua itu pun terdorong beberapa langkah surut dan kemudian
jatuh terguling di tanah.
Tetapi Kebo Sindet tidak dapat segera
mengejarnya. Tangannya yang terkena tongkat Empu Sada itu benar-benar
telah melumpuhkan segenap kemampuannya. Sambil berdesis menahan sakit ia
berjongkok dan mencoba menahan sakit itu dengan tangannya yang lain.
Tetapi lengannya yang lain pun telah terluka.
“Gila!” geramnya. Hampir-hampir ia
berteriak kepada Wong Sarimpat supaya ia berbuat sesuatu atas Empu Sada.
Tetapi dilihatnya kemudian, Wong Sarimpat itu sedang terbatuk-batuk
sambil menekan dadanya. Ternyata setelah ia memeras tenaganya pada
saat-saat terakhir, menyerang Empu Sada dengan sisa-sisa kemampuannya
yang berlebih-lebihan, terasa dadanya seakan-akan meledak. Betapa
sakitnya.
Kebo Sindet yang sudah bertekad untuk
membunuh Empu Sada itu tidak dapat berdiam diri. Betapa perasaan nyeri
membakar segenap tubuhnya, namun dengan kemampuan yang menyala-nyala ia
berusaha untuk melupakan perasaan sakitnya. Dengan gigi terkatup
rapat-rapat ia berdiri. Tangan kirinya yang terluka pada lengannya,
masih memegangi pergelangan tangan kanannya yang retak. Tetapi Empu Sada
pun telah terluka. Dengan geramnya Kebo Sindet berkata, “Aku masih
mempunyai sepasang kaki yang utuh. Aku akan membunuhmu dengan kakiku.”
Namun Empu Sada itu pun tidak pingsan. Ia
masih tetap sadar betapapun pedih luka di dadanya. Ia masih juga
melihat samar-samar di dalam cahaya obor yang hampir padam, Kebo Sindet
datang mendekatinya.
Tetapi untuk melawan, agaknya Empu Sada
sudah tidak mungkin lagi. Karena itu, maka satu-satunya cara untuk
menyelamatkan diri adalah pergi meninggalkan kedua lawannya.
Meskipun tulang-tulang tua di dalam tubuh
Empu Sada itu serasa telah habis dilolosi, namun ia masih mampu
merangkak agak cepat menjauhi bayangan Kebo Sindet yang samar-samar maju
setapak demi setapak.
“He, kau akan lari Empu tua?” geram Kebo Sindet.
Empu Sada tidak menjawab. Ter-tatih-tatih
ia mencoba berdiri, untuk melarikan diri. Tetapi tubuhnya serasa
seratus kali lebih berat dari tubuhnya yang biasa. Karena itu kembali
Empu Sada itu merangkak secepat ia dapat menghindarkan diri dari tangan
Kebo Sindet yang telah dilukainya.
Kebo Sindet menggeram sambil
menggeretakkan giginya. Kini ia benar-benar menahan segenap rasa
sakitnya. Ia harus dapat menangkap Empu Sada. Keadaan telah terlanjur
menjadi sangat buruk, sehingga apabila orang itu terlepas dari
tangannya, maka rencananya pasti akan terancam, meskipun belum tentu
Empu Sada segera berani menghubungi Mahisa Agni apalagi Tunggul Ametung
karena pertentangan mereka di saat-saat yang lampau. Belum pasti pula
Mahisa Agni atau Tunggul Ametung mempercayainya, seandainya Empu tua itu
mencoba mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun meskipun
demikian, maka sudah tentu Mahisa Agni akan menjadi lebih ber-hati-hati.
Orang-orang yang dapat menjadi pelindungnya pun akan semakin ketat
mengawasinya.
Tetapi seperti juga Kebo Sindet, Empu
Sada telah mencoba memeras segenap sisa-sisa kekuatannya untuk hidup.
Apabila ia tetap hidup, maka ia akan dapat membuat perhitungan di
saat-saat yang akan datang dengan kedua orang itu. Tetapi kalau ia gagal
mempertahankan hidupnya, maka ia akan menjadi kerangka di bukit gundul
ini. Dagingnya pasti akan habis dikoyak-koyak oleh anjing-anjing liar.
Karena itu, betapapun ia tetap berusaha
untuk merang kak pergi. Sekali-kali ia mencoba berdiri bersandar pada
tongkatnya dan berjalan tertatih-tatih. Namun kembali ia harus merangkak
karena luka di dadanya. Luka karena goresan pedang pada kulit dan
daging dadanya. Luka yang berbeda dengan luka yang diderita oleh Wong
Sarimpat. Meskipun akibatnya hampir bersamaan. Namun dari luka Empu Sada
itu darah mengalir tak henti-hentinya. Meskipun orang tua itu mencoba
sekali-kali menahannya dengan kainnya. Ditambah pula rasa sakit pada
telinganya.
Ketika sekali ia berpaling, dilihatnya
Kebo Sindet telah menjadi semakin dekat. Dan bahkan ia mendengar orang
liar itu berdesis dalam nada yang berat parau “He, ke manakah kau akan
lari Empu tua? Jangan membuang tenaga di saat-saat menjelang mati.
Tenangkan hatimu, supaya nyawamu tidak tersendat-sendat di ujung
ubun-ubunmu.”
Kebo Sindet itu sudah semakin dekat.
Beberapa langkah lagi orang itu akan dapat mencapainya. Tetapi seperti
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, Empu Sada bukan orang yang mudah menyerah
pada keadaan. Ketika ia melihat Kebo Sindet menggeram dan meloncat
menerkamnya, maka Empu Sada itu pun seakan-akan telah dapat melupakan
perasaan sakitnya. Dengan serta-merta orang tua yang terluka itu tegak
berdiri. Disambutnya serangan Kebo Sindet dengan ayunan tongkatnya. Kebo
Sindet tidak menyangka bahwa Empu Sada mampu berbuat demikian. Karena
itu, selagi ia meluncur dengan derasnya, menyerang Empu yang terluka itu
dengan kakinya, ia tidak dapat lagi menghindari tongkat itu. Sekali
lagi terjadi benturan di antara mereka. Kaki Kebo Sindet benar-benar
telah mengenai sasarannya, menghantam lambung Empu Sada. Tetapi Kebo
Sindet pun kemudian terpelanting jatuh, karena tongkat Empu Sada telah
menghantam pelipisnya. Namun untunglah bahwa kekuatan Empu Sada tidaklah
sepenuh kekuatannya, sehingga pelipis Kebo Sindet tidak menjadi retak
karenanya.
Tetapi Empu Sada yang lemah itu ternyata
terdorong tidak saja satu dua langkah. Beberapa langkah ia terlempar
surut dan bahkan kemudian jatuh terguling.
Empu Sada yang terluka itu sama sekali
tidak mampu menahan dirinya ketika tiba-tiba terasa, seakan-akan tanah
tempat ia terguling itu runtuh. Terasa olehnya seakan-akan ia terlempar
ke tempat yang tidak diketahuinya. Betapa derasnya ia meluncur. Barulah
kemudian ia menyadari bahwa ia telah terguling ke dalam jurang. Barulah
kemudian ia merasa, bahwa ia telah tergores-gores oleh batu-batu padat
di lereng bukit gundul itu. Namun beberapa saat kemudian, terasa tubuh
itu tersentuh dedaunan dan kemudian ranting-ranting perdu. Dengan
demikian maka laju tubuh orang tua itu menjadi berkurang. Di lereng
bagian bawah dari bukit gundul itu terdapat berbagai tumbuh-tumbuhan
yang dapat menahan tubuh itu sehingga tidak terbanting pada batu-batu
padas yang menjorok tajam.
Empu Sada itu masih tetap menyadari
keadaannya. Tongkatnya masih belum terpisah dari tangannya, sedang
tangannya yang lain berusaha untuk mencapai apa saja yang dapat
memperlambat tubuhnya. Namun meskipun demikian, ketika terasa
seakan-akan tubuhnya itu membentur sesuatu, pandangan mata orang tua itu
menjadi berkunang-kunang. Sekejap ia kehilangan kesadaran. Yang
dilihatnya seolah-olah seluruh bintang gemintang di langit meluncur
menimpa dadanya. Kemudian gelap pekat.
Di atas bukit gundul itu Wong Sarimpat
berjalan terbungkuk-bungkuk ke arah sesosok tubuh yang terbaring diam.
Ternyata Kebo Sindet yang tertimpa tongkat pada pelipisnya itu pun
menjadi pingsan. Betapa perasaan sakit telah melenyapkan segenap
kesadarannya. Perasaan sakit pada pelipisnya itu dan perasaan sakit pada
kedua belah tangannya yang tertimpa tubuhnya sendiri ketika ia
terpelanting jatuh.
“Empu gila!” Wong Sarimpat
mengumpat-umpat. Sambil terbatuk-batuk ia meraba-raba tubuh kakaknya. Ia
tahu bahwa kakaknya hanya sekedar pingsan. Karena itu kemudian
dibiarkannya saja tubuh itu terbaring diam. Wong Sarimpat itu yakin,
bahwa kakaknya itu pasti akan sadar dengan sendirinya.
Tetapi bagaimana dengan Empu Sada yang terlempar ke dalam jurang itu?
“Orang itu sudah terluka. Ia pasti akan mampus terbanting di atas batu-batu padas,” gumamnya seorang diri.
Ketika ia melihat Kuda Sempana maka sekali lagi ia menggeram, “Hem, buat apa Kakang Kebo Sindet memelihara tikus pengecut itu?”
“He,” teriaknya kemudian “Kuda Sempana, apakah kau sudah mampus pula?”
Kuda Sempana mendengar suara itu. Tetapi
tubuhnya yang lemah masih saja belum dapat diajaknya berdiri, meskipun
kini telah mulai terasa dijalari oleh beberapa bagian dari kekuatannya
kembali.
Namun Kuda Sempana itu menjadi heran
pula. Kenapa ia tidak saja dibunuh seperti Cundaka atau seperti gurunya.
Kenapa ia masih saja dibiarkan hidup?
Wong Sarimpat yang. masih ingin
melepaskan kemarahannya itu pun berteriak-teriak “He, Kuda Sempana.
Kenapa kau tidak mampus saja sama sekali? Sayang Kakang Kebo Sindet
masih membiarkan kau hidup. Meskipun aku tidak tahu apa gunanya lagi kau
hidup, tetapi aku tidak berani melanggar keinginan Kakang Kebo Sindet,
dan kau boleh bersenang hati karenanya.”
Kuda Sempana masih belum menjawab
teriakan-teriakan itu. Badannya masih sangat lemah, dan ia sama sekali
tidak bernafsu berteriak seperti Wong Sarimpat.
Ketika Wong Sarimpat itu merasa dadanya
seperti tertusuk jarum karena ia berteriak-teriak maka ia pun berhenti.
Kini ditekuninya kakaknya yang masih terbaring diam. Perlahan-lahan ia
mencoba menggoyangkan tubuh itu. Mengangkat tangannya dan
menggerakkannya dengan hati-hati.
Lambat laun Kebo Sindet pun mulai
menggerakkan tubuhnya. Perlahan-lahan ia menarik nafas, kemudian
menggerakkan ujung-ujung kakinya.
“Kakang,” panggil Wong Sarimpat.
Lamat-lamat Kebo Sindet mendengar
panggilan itu. Perlahan-lahan ingatannya pun bangkit kembali merayapi
otaknya. Diingatnya peristiwa demi peristiwa yang terjadi. Yang terakhir
dari peristiwa itu adalah pukulan tongkat yang mengenai pelipisnya,
sementara kakinya menghantam tubuh orang tua itu.
Tiba-tiba Kebo Sindet itu pun menggeram.
Dengan serta-merta ia mencoba bangkit. Tetapi terasa betapa kepalanya
masih sangat pening dan gunung gundul itu serasa berputar. Tubuhnya
serasa berada pada poros pusaran itu.
Kebo Sindet memegangi kepalanya yang
pening dan sakit. Tetapi ia telah memiliki segenap kesadarannya kembali.
Karena itu maka kemudian ia berkata parau “He, di mana Empu Sada?”
Wong Sarimpat mencoba menolong kakaknya.
Tetapi dadanya sendiri terasa sakit bukan buatan. Dengan tegasnya ia
menjawab, “Empu itu terlempar ke dalam jurang.”
“He? Orang itu terlempar ke dalam jurang?” ulang Kebo Sindet.
“Ya.”
“Orang itu harus kita cari. Kita harus yakin bahwa ia telah mati.”
“Kenapa Kakang masih ragu-ragu. Dadanya
terluka karena goresan golok Kakang. Tubuhnya terlempar karena tendangan
Kakang yang keras, kemudian terbanting ke atas batu-batu padas. Apakah
masih mungkin seseorang dapat hidup mengalami hal itu semuanya? Meskipun
seandainya Empu Sada itu empu yang turun dari langit sekalipun, namun
ia pasti hancur.”
“Aku ingin melihat mayat dengan mata kepalaku sendiri.”
“Kakang terluka. Sepasang tangan Kakang dan agaknya pelipis Kakang telah menyebabkan Kakang tidak sadar lagi.”
“Persetan! Aku sudah baik,” sambil
menggeretakkan giginya Kebo Sindet berusaha untuk berdiri. Alangkah
besar tekad yang membakar jantungnya, sehingga betapapun juga ia masih
mampu berdiri tegak.
Kebo Sindet menengadahkan wajahnya yang
beku. Dan wajah yang beku itu kini tampak menjadi semakin mengerikan.
Lewat matanya memancarlah perasaannya yang meluap-luap. Kebencian,
kemarahan dan nafsu untuk membinasakan Empu Sada itu. Apalagi kini, ia
sudah terlanjur memulainya.
“Kita akan turun dan mencari orang itu,” desis Kebo Sindet.
Wong Sarimpat kenal betul tabiat
kakaknya. Karena itu ia tidak menyahut. Ia tahu betul bahwa ia akan
turut serta turun lereng gunung gundul itu untuk mencari Empu Sada.
Betapa sakit dadanya, tetapi ia harus berbuat seperti kakaknya.
“Bagaimana dengan Kuda Sempana?” bertanya Kebo Sindet.
“Itu,” jawab adiknya sambil menunjuk ke
arah Kuda Sempana, “aku beri tekanan pada urat lehernya, sehingga ia
kehilangan kekuatannya. Tetapi agaknya ia telah mulai di jalari oleh
kekuatannya kembali.”
“Jangan biarkan ia pergi. Biarlah ia
beristirahat di sini sebentar. Kita akan pergi. Mudah-mudahan cahaya
obor itu akan membantunya, menjauhkan dari anjing-anjing liar.”
“Baik Kakang,” sahut Wong Sarimpat.
Perlahan-lahan ia berjalan
terbungkuk-bungkuk mendekati Kuda Sempana. Dengan kakinya ia melemparkan
obor yang satu ke arah yang lain, sehingga kedua obor yang telah mulai
redup itu menjadi agak besar kembali, setelah bergabung menjadi satu.
Kemudian setapak demi setapak ia
mendekati Kuda Sempana. Terdengar orang itu menggeram mengerikan, “Kuda
Sempana. Kakang Kebo Sindet menghendaki kau tetap di sini. Karena itu
aku akan menolongmu supaya kau dapat beristirahat dan tidak pergi
meninggalkan tempat ini.”
Sebelum Kuda Sempana menyahut, terasa
telapak tangan orang itu pada lehernya. Betapapun ia berusaha melawan,
namun ia tidak mampu menahan ketika terasa jari-jari orang itu sekali
lagi menekan tengkuk.
Kuda Sempana berdesis pendek. Kekuatannya
yang telah mulai terasa merambat di urat-urat nadinya, kembali kini
seolah-olah terhisap habis. Kembali ia menjadi lemah dan terbaring diam
di atas bukit gundul itu.
“Gila!” ia mengumpat dalam hati. Terasa
tubuhnya seperti tidak bertulang. Ia hanya mampu menggerakkan tangan dan
kakinya dengan mengerahkan segenap sisa-sisa yang ada bergerak sekedar
bergerak. Namun tangan dan kakinya sudah tidak mampu lagi berbuat sesuai
dengan tugas anggota-anggota badan itu.
“Sudah Kakang,” berkata Wong Sarimpat kemudian.
“Bagus, marilah kita cari orang tua itu.
Biarlah ia mampus, dan aku ingin melihat bangkainya dan melemparkannya
kepada anjing-anjing liar.”
Wong Sarimpat berjalan kembali mendekati
kakaknya. Kemudian mereka berjalan perlahan-lahan mencari jalan yang
dapat dilaluinya untuk menuruni lereng bukit gundul itu. Tetapi Kebo
Sindet selalu mengumpat-umpat. Agak lama mereka berjalan menyusuri
pinggiran bukit, tetapi mereka tidak segera menemukan tempat yang
memungkinkan mereka merayap turun.
“Gila!” Kebo Sindet menggeram “Bagaimana kita turun Wong Sarimpat?”
Wong Sarimpat tidak segera menjawab.
Dicobanya untuk memandang ke arah yang agak jauh. Tetapi malam menjadi
semakin pekat dan cahaya obor mereka di dekat Kuda Sempana terbaring
tidak dapat mencapai tempat-tempat yang dicarinya.
“Seandainya Empu yang gila itu tidak berbuat curang,” gerutu Wong Sarimpat.
“Kenapa? “ bertanya kakaknya.
“Kalau kita tidak terluka, maka kita akan dapat terjun di setiap tempat. Di sini pun dapat kita lakukan.”
“Jangan mengigau. Keadaan ini telah kita alami. Sekarang bagaimana kita mengatasinya.”
Wong Sarimpat tidak menjawab. Tetapi matanya masih dengan nanar mencoba mencari lereng yang agak landai.
“Apabila terpaksa kita melingkar, lewat jalan pendakian yang biasa,” gumam Kebo Sindet,
“Terlampau jauh.”
“Habis, apa yang dapat kita lakukan?”
Kembali Wong Sarimpat terdiam. Tetapi
hatinya masih saja mengumpat-umpat. Seandainya mereka tidak terluka,
maka mereka tidak perlu bingung tentang jalan turun. Tetapi seperti kata
kakaknya. Luka itu kini sudah mereka derita, sehingga mereka tidak
dapat melangkah surut.
Kedua orang itu berjalan kembali
tertatih-tatih di atas bukit-bukit gundul itu. Kebo Sindet tidak dapat
mundur. Ia harus turun dan menemukan Empu Sada. Hidup atau mati. Kalau
orang tua itu masih hidup, maka hidup itu harus segera diakhiri.
Dalam pada itu, di bawah bukit gundul itu
telentang seorang tua yang sudah menjadi sangat lemah. Empu Sada yang
pingsan itu terperosok ke dalam semak-semak yang rimbun.
Ketika angin malam yang sejuk perlahan-lahan mengusap wajahnya, maka terasa udara yang segar menjalar di segenap urat-uratnya.
Perlahan-lahan orang tua itu menjadi sadar kembali. Yang pertama-tama dirasakannya adalah nyeri yang menyengat-nyengat dadanya.
“Hem,” orang tua itu mengeluh. Tetapi
segera ia menyadari keadaannya. Karena itu, maka segera dipusatkannya
segenap kekuatan lahir dan batinnya.
Namun darah telah terlampau banyak mengalir, sehingga tubuh yang tua itu terasa menjadi betapa lemahnya.
Tetapi Empu Sada adalah seorang yang
telah banyak menelan pengalaman yang pahit dan yang manis. Itulah
sebabnya maka dalam perjalanannya kali ini orang tua itu sudah membawa
bekal yang cukup. Sejak ia berangkat dari rumahnya mencegat perjalanan
Ken Dedes, ia telah memperhitungkan apa saja yang dapat terjadi atas
dirinya. Di antaranya luka seperti yang dialaminya saat itu. Karena itu,
maka Empu Sada itu pun telah membawa reramuan obat di dalam kantong
ikat pinggangnya yang lebar dan terbuat dari kulit kerbau.
Dengan tangan yang lemah orang tua itu
mencoba mengambil reramuan obatnya. Dan dengan tangan sendiri yang lemah
itu, maka ditaburkannya obat itu pada luka dadanya.
Obat itu pun adalah obat yang dibuatnya
sendiri berdasarkan pengalamannya yang masak, sehingga obat itu pun
dapat dipercayanya, setidak-tidaknya menahan arus darah yang masih saja
mengalir.
Ternyata taburan obat itu menolongnya.
Perlahan-lahan darah di lukanya itu mengental, dan menyumbat alirannya.
Namun tubuh Empu Sada sudah terlampau lemah.
Orang tua itu menggeram. Tubuhnya sendiri
terluka. Dan ia kehilangan kedua muridnya. Ia tidak pernah menduga,
bahwa hatinya menjadi pedih juga atas hilangnya kedua muridnya itu. Ia
mencoba mengembalikan pikirannya kepada masa lampaunya. Bagaimana ia
menerima kedua anak-anak muda itu menjadi muridnya.
“Ah, bukankah aku akan dapat mencari yang
lain dengan mudah. Bukankah kedua orang itu pada saat-saat terakhir
juga tidak memberi aku upah seperti masa-masa lalu? Persetan dengan
keduanya. Mereka bukan sanak bukan kadang. Aku menemukan mereka dalam
pengembaraan hidupku. Dan kini biarlah mereka meninggalkan aku di tengah
jalan.”
Tetapi ia tidak berhasil mengusir kata-kata hatinya sendiri. Bahkan kemudian ia bergumam “Kasihan anak-anak itu.”
Ketika di kejauhan terdengar
anjing-anjing liar menyalak tak henti-hentinya, maka hati orang tua itu
pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak dapat berbaring terus di
semak-semak itu. Ada bermacam-macam bahaya yang dapat mengancamnya.
Anjing-anjing liar itu dan orang-orang yang seliar anjing itu pula.
“Aku harus membuat sesuatu kalau aku ingin hidup terus,” gumamnya.
Empu Sada pun menarik nafas. Dicobanya
untuk menenangkan debar jantungnya. Ketika sekali lagi ia mendengar
anjing-anjing menyalak di kejauhan, maka dicobanya pula untuk bangkit
dengan perlahan-lahan.
Orang tua itu menyeringai menahan sakit.
Tetapi betapa lemah tubuhnya, namun kemauannya yang menjala di dalam
dadanya telah menghangatkan darahnya. Perlahan-lahan orang tua itu
berdiri bersandar pada tongkatnya. Sambil memusatkan segenap
kekuatannya, serta menyesuaikan jalan pernafasannya, maka Empu Sada itu
pun mendapatkan sebagian kecil dari kekuatannya kembali. Namun dengan
kekuatan yang kecil dibantu oleh tongkatnya, Empu yang tua itu berhasil
menggerakkan kakinya.
Empu Sada tidak tahu benar, apakah yang
telah terjadi dengan Kebo Sindet. Ia merasa, bahwa tongkatnya berhasil
mengenai orang itu. Tetapi akibat daripadanya, Empu Sada tidak dapat
mengetahuinya. Karena itu maka sekarang ia harus memperhitungkan setiap
kemungkinan. Kalau Kebo Sindet tidak mengalami cedera, maka ia bersama
adiknya yang meskipun telah terluka, pasti akan mencarinya. Dalam
keadaannya, mustahillah ia dapat menyelamatkan diri dari kejaran kedua
orang-orang liar itu.
Dengan demikian, berdasarkan atas
perhitungannya, Empu Sada segera meninggalkan tempat itu. Ia berjalan
saja ke arah yang tidak diketahuinya, namun segera menjauhi bukit gundul
itu.
Tertatih-tatih orang tua itu berjalan.
Sekali-kali ia masih harus beristirahat mengatur pernafasannya.
Kadang-kadang matanya terasa seakan-akan menjadi gelap dan pandangannya
menjadi kekuning-kuningan. Namun ia tidak mau mati. Ia harus berjuang
untuk menyelamatkan dirinya. Kemauan yang kuat itulah yang telah
membawanya meninggalkan tempat yang celaka itu.
Di kejauhan masih terdengar anjing-anjing
liar menggonggong dan menyalak bersahut-sahutan. Anjing-anjing itu akan
sama berbahayanya dengan kedua orang-orang liar yang memuakkan itu.
Tetapi alangkah terkejutnya Empu Sada
ketika agak jauh di sisinya ia mendengar tiba-tiba saja suara menyentak,
“Aku menandainya Kakang. Di samping batu padas yang menjorok itulah ia
terpelanting jatuh. Pasti ia berada di sekitar tempat di bawah batu itu
pula. Ia pasti terbaring di sana, apakah ia mati atau pingsan. Bahkan
seandainya ia masih hidup pun ia akan mati pula karena darahnya yang
mengalir dari lukanya.”
“Tetapi aku harus melihat bangkainya. Harus. Aku tidak puas dengan dugaan-dugaan serupa itu.”
Dada Empu Sada menjadi berdebar-debar. Seolah-olah luka di dadanya menjadi bertambah pedih.
“Setan itu masih mampu berjalan begitu
cepatnya,” desahnya dalam hati. Meskipun suara itu masih belum terlampau
dekat, namun ia harus memperhitungkan keadaan. Ia tahu, bahwa Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat masih berada di tempat yang agak jauh. Di malam
hari, di lereng bukit pula, maka suara itu kedengarannya menjadi
semakin jelas.
“Aku harus segera menjauhinya,” katanya di dalam hati pula.
Empu Sada mencoba mempercepat langkahnya.
Tetapi nafasnya dan sakit di dada dan telinganya benar-benar telah
mengganggunya, bahkan hampir-hampir ia tidak mampu lagi untuk bergerak.
Meskipun darah tidak lagi mengalir dari luka di dadanya karena reramuan
obat-obatnya namun sakitnya masih juga menusuk-nusuk sampai ke pusat
jantung.
Di kejauhan ia mendengar suara pula,
“Mudah-mudahan bau darahnya memanggil anjing-anjing liar kemari.
Seandainya ia masih hidup, maka ia akan menjadi hidangan malam ini.”
“Bagaimana kalau ia lari?”
“Tidak mungkin Kakang. Tidak mungkin.
Seandainya ia masih mampu berjalan, maka ia pasti hanya dapat
melangkahkan beberapa langkah. Kemudian ia akan jatuh terbaring. Mati
atau hanya menunggu saat untuk mati. Mati lemas karena kehabisan darah,
atau mati karena anjing-anjing liar.”
“Mungkin. Mungkin. Tetapi aku harus melihatnya, harus.”
“Baik. Lihatlah bayangan batu padas yang mencorong itu. Kita lihat di bawahnya.”
Suara itu semakin lama menjadi semakin
dekat. Dada Empu Sada pun menjadi semakin berdebar-debar. Dicoba
mengamati daerah sekitarnya. Gerumbul-gerumbul kecil dan ilalang liar
yang bertebaran hampir di sepanjang lereng itu.
“Aku tidak dapat bersembunyi di dalam
gerumbul-gerumbul kecil,” katanya di dalam hati, “dan tidak pula melalui
ilalang liar itu. Dengan demikian, maka jejakku akan segera dapat
mereka ikuti.”
Empu Sada menjadi bingung sejenak. Kali
ini ia masih terlindung dari beberapa gerumbul semak-semak dan ilalang
liar. Tetapi kalau Kebo Sindet dapat menemukan bekas tempat ia terjatuh,
maka mereka pasti akan dapat menemukan jejaknya di alang-alang. Tetapi
kalau ia keluar dari daerah alang-alang, maka ia akan berada di tempat
terbuka. Kemungkinan akan menjadi besar pula, kedua orang itu
melihatnya, meskipun di dalam gelap malam.
Dalam keragu-raguan, tiba-tiba Empu Sada
melihat dataran yang berkilat di sebelah gerumbul-gerumbul liar beberapa
puluh langkah daripadanya memantulkan cahaya bintang yang bergayutan di
langit. Dan tiba-tiba pula mulutnya berdesis, “Air. Air. itu adalah
sebuah sendang yang agak luar. Tetapi bagaimana aku dapat menyeberangi
sendang itu? Kalau sendang itu cukup dalam, maka aku pasti akan
tenggelam. Keadaanku tidak memungkinkan aku untuk berenang sampai ke
sisi yang lain.”
Kembali Empu Sada menjadi termangu-mangu.
Seakan-akan tidak ada jalan yang dapat ditempuhnya untuk menyingkirkan
diri. Ilalang akan memberi jejak kepada kedua orang yang mengejarnya.
Gerumbul-gerumbul yang bertebaran terlampau kecil untuk tempatnya
bersembunyi. Di tempat terbuka sama sekali tidak menguntungkannya. Dan
salah satu arah yang lain adalah air sendang yang luas. Sendang yang
tidak akan mampu direnanginya karena keadaan tubuhnya. Bahkan sendang
itu justru menjadi dinding yang mengungkungnya dalam satu lingkaran yang
serasa terlampau sempat menempatkan tubuhnya yang kecil itu.
Kembali Empu Sada mendengar suara semakin dekat, “Batu padas itu yang kau maksud?”
“Ya, Kakang.”
“Kita hampir sampai. Kita akan segera
melihat tubuhnya yang terbaring. Aku mengharap ia masih hidup. Aku ingin
melihat ia menjadi sangat kecewa menghadapi akhir hayatnya. Aku ingin
melihat ia menyesali perbuatannya, tetapi aku ingin melihat orang itu
tidak melihat jalan yang dapat membebaskannya meskipun penyesalan itu
merobek-robek dadanya.
Terdengar Wong Sarimpat tertawa. Tetapi segera suara itu terputus. Yang terdengar adalah suaranya terbatuk-batuk.
Empu Sada merasa bahwa ia tidak dapat
terlalu lama berdiri termangu-mangu. Ia harus menentukan sikap.
Melarikan diri atau melawan sama sekali, yang keduanya sulit dilakukan.
Tiba-tiba orang tua itu bergumam kepada
diri sendiri, “Marilah. Marilah orang tua yang celaka. Marilah kita
terjun ke dalam air. Lebih baik ditempuh jalan itu daripada jatuh ke
tangan kedua setan-setan liar itu. Kalau aku mampu keluar dari sendang
itu, maka aku akan hidup. Tetapi apabila sendang itu sendang lendut,
atau kalau aku tidak lagi mampu berenang maka aku akan mati di dalamnya.
Mati tenggelam adalah jauh lebih baik daripada mati di tangan
orang-orang liar yang mengerikan itu.”
Empu Sada pun kemudian menjadi bulat
bertekad untuk terjun ke dalam sendang. Ia tidak tahu apakah kira-kira
yang akan terjadi. Mungkin ia akan tenggelam karena tubuhnya telah
lemah. Mungkin pula ia akan terbenam ke dalam lumpur dan tidak berdaya
untuk melepaskan diri, sehingga ia pun akan mati berkubur di bawah
lumpur sendang itu.
“Tetapi itu lebih baik. Itu lebih baik.
Aku gagal setelah berusaha, sehingga aku tidak menyerahkan kepalaku
begitu saja kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
Empu Sada itu pun kemudian berjalan
tertatih-tatih meninggalkan persembunyiannya, batang-batang ilalang di
lereng gunung gundul. Meskipun ia harus berjalan beberapa langkah di
tempat terbuka, tetapi ia mengharap, bahwa ia masih tetap terlindung
dari arah pandangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat oleh batang-batang
ilalang yang rimbun di belakangnya.
Tetapi ketika ia sampai ke ujung
rimbunnya batang-batang ilalang, tiba-tiba ia melihat beberapa batang
gelagah ilalang mencuat dari ujung batangnya. Ujung gelagah yang
berumbai itu bergerak-gerak ditiup angin malam, seperti rambut yang
jarang-jarang dan telah memutih pula. Seperti rambut Empu Sada sendiri.
Empu Sada itu termenung sejenak. Ia
sangat tertarik pada gelagah ilalang itu. Dengan serta-merta ia meraih
dan mengambilnya sebatang. Dipotongnya umbai pada ujungnya, dan ketika
ia meniup gelagah ilalang itu, maka ia bersorak di dalam hati. Gelagah
ilalang itu berlubang di tengah seperti sebatang sumpit yang panjang.
“Hem,” gumamnya, “mudah-mudahan aku berhasil.”
Dijinjingnya kemudian tiga batang gelagah
ilalang di tangan kanannya, sedang tangan kirinya menggenggam
tongkatnya erat-erat. Ia kini berusaha tidak lagi berjalan bersandar
pada tongkatnya, supaya ujung tongkatnya tidak melukiskan jejak di tanah
yang semakin gembur.
Ketika Empu Sada hampir mencapai tepi
sendang itu, ia masih mendengar suara Wong Sarimpat, “Di sini, Kakang.
Orang itu pasti berada di sini. Lihatlah batu padas yang menjorok itu.
Di sebelah batu itu ia jatuh terpelanting. Kepalanya mungkin telah pecah
menimpa batu-batu yang keras dan runcing ini.”
Kebo Sindet menjawab keras, “Kau selalu
puas dengan angan-anganmu. Mungkin orang itu mati. Mungkin kepalanya
pecah. Mungkin dimakan anjing. Tetapi mungkin pula ia masih hidup.
Mengintai kita, dan dengan curang pula ia menyerang kita dengan
tongkatnya.”
“Uh,” bantah adiknya, “tidak mungkin
Kakang. Tidak mungkin ia masih tetap hidup. Apabila ia tidak sedang
terluka, memang hal itu mungkin terjadi.”
“Kau lihat berbagai semak-semak di lereng bukit gundul itu?” bertanya kakaknya.
“Ya, kenapa?”
“Semak-semak itu dapat menolongnya. Menahan atau memperlambat.”
“Mungkin. Tetapi kemungkinan itu terjadi satu dari seratus kejadian.”
“Kalau Empu Sada termasuk yang satu itu?”
Wong Sarimpat terdiam. Dan yang terdengar
adalah suara Kebo Sindet, “Cari. Kita cari sampai ketemu. Aku mengharap
ia masih tetap hidup. Membunuhnya dengan tangan sendiri pasti lebih
menyenangkan.”
Wong Sarimpat tidak menyahut. Kini
keduanya terdiam untuk sejenak. Mereka melangkah lebih mendekat lereng
bukit gundul itu. Meskipun hampir dapat dipastikan bahwa orang yang
jatuh terpelanting dari atas bukit gundul itu akan mati, namun ternyata
keduanya cukup berhati-hati. Seperti dugaan Kebo Sindet, demikian pula
tumbuh, meskipun sangat tipis, keragu-raguan di dalam hati Wong
Sarimpat. Jangan-jangan Empu Sada kini sedang mengintai mereka, dan akan
menerkam mereka dengan curang seperti serangannya yang pertama.
Tetapi mereka tidak segera menemukan Empu
Sada. Betapa pun mereka mencari, namun mereka tidak melihat sesosok
tubuh yang terbaring diam di bawah rimbunnya gerumbul-gerumbul kecil
atau di antara batang-batang ilalang liar.
Mula-mula mereka menyangka, bahwa mungkin
Empu Sada terpelanting agak jauh dari tempatnya terguling. Mungkin
tubuhnya terantuk sebuah batu yang menjorok dan melemparkannya beberapa
langkah. Tetapi setelah mereka berputar-putar beberapa langkah dari
tempat itu, tubuh Empu Sada tidak mereka temukan.
“Apakah orang tua itu anak demit?” geram
Kebo Sindet, yang kemudian berkata kepada Wong Sarimpat, “He, Sarimpat.
Apa katamu sekarang?”
Keringat dingin mulai mengaliri punggung orang itu. Bahkan kemudian dadanya yang sakit terasa menjadi semakin pedih.
“Ia tidak akan dapat meninggalkan tempat
ini Kakang,” katanya. Tetapi ia sudah tidak yakin lagi akan kata-katanya
sendiri, “Mungkin ia berhasil merangkak beberapa langkah. Tetapi tidak
akan terlampau jauh.”
“Orang itu harus kita temukan,” teriak Kebo Sindet yang benar-benar dibakar oleh kemarahannya.
Namun tiba-tiba terdengar orang itu hampir memekik, “Lihat. Bukankah ini jejak setan itu?”
Tertatih-tatih Wong Sarimpat mendatangi
kakaknya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar, Apakah Empu Sada
benar-benar mampu melarikan diri dari tangan mereka?”
Demikian ia berdiri di samping kakaknya,
segera ia melihat apa yang dikatakan oleh Kebo Sindet. Di antara
batang-batang ilalang mereka melibat seolah-olah sebuah jaluran yang
memanjang. Ilalang yang terinjak-injak kaki Empu Sada menjadi roboh dan
seakan-akan membelah kedua sisinya. Dengan demikian, maka jejaknya akan
terlampau mudah diikuti. Apabila Empu Sada yang terluka, yang berjalan
terhuyung-huyung bersandar pada tongkatnya.
Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata, “Inilah jejak orang sekarat itu. Kita pasti
akan menemukannya Kakang. Orang itu pasti belum terlampau jauh.”
Kebo Sindet tidak segera menjawab.
Ternyata ia terpaksa berpikir menghadapi orang aneh itu. Orang yang
ternyata memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa.
“Mari Kakang,” ajak Wong Sarimpat tidak sabar.
“Mari,” sahut Kebo Sindet sambil
melangkah maju. Tetapi dalam pada itu Kebo Sindet terpaksa
memperhitungkan keadaan dirinya. Kedua tangannya yang telah terluka.
Pelipisnya yang serasa telah menjadi retak. Ia tinggal mempercayakan
dirinya pada ketangkasan dan kekuatan kakinya. Sedang adiknya pun telah
hampir mati pula karena luka di dada.
“Hem,” katanya di dalam hati, “Apakah Empu Sada masih mampu bertempur?”
Tetapi kembali nafsunya mencengkam
dadanya. Empu Sada harus ditangkapnya. Kini ia yakin bahwa orang itu
masih hidup, dan ia akan dapat membunuh dengan caranya. Mungkin dengan
cara yang belum pernah dilakukannya.
Karena itu maka Kebo Sindet pun segera
berjalan tergesa-gesa. Meskipun kedua tangannya dan pelipisnya serasa
pecah, tetapi kedua kakinya masih cukup mampu untuk berjalan agak cepat.
Tetapi Wong Sarimpat tidak mampu berjalan secepat kakaknya. Sambil
terbungkuk-bungkuk ia melangkah maju semakin lama semakin jauh dari Kebo
Sindet.
Dengan seksama Kebo Sindet mengikuti
jejak Empu Sada di antara batang-batang ilalang. Namun ia sama sekali
tidak meninggalkan kewaspadaan. Setiap kali ia mendengar gemeresik di
sekitarnya, segera ia berhenti dan mempersiapkan diri. Tetapi ternyata
suara itu adalah suara kelinci-kelinci liar yang berlari karena
ketakutan.
“Bekas ini cukup panjang,” desisnya.
Tetapi Kebo Sindet tidak mendengar jawaban. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya adiknya samar-samar agak jauh di belakangnya.
Tetapi Kebo Sindet tidak memedulikan. Ia
tidak mau kehilangan buruannya, sehingga justru ia mempercepat
langkahnya. Namun ia tidak dapat terlampau cepat. Ia harus mengamati
setiap langkah supaya ia tidak kehilangan jejak.
Ternyata jejak yang harus ditelusur oleh
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat cukup panjang. Kadang-kadang ia kehilangan
jejak untuk sesaat. Seolah-olah jalur yang menjelujur itu menghilang ke
dalam semak-semak. Apabila demikian, maka Kebo Sindet harus menjadi
sangat berhati-hati. Orang itu menyangka bahwa Empu Sada bersembunyi ke
dalam semak-semak itu. Tetapi kemudian ternyata, bahwa di sebelah
semak-semak itu, ditemukan kembali jejak Empu Sada yang memanjang. Dan
kembali Kebo Sindet berjalan menyusurinya.
Tetapi jejak itu cukup panjang. Bahkan
terlalu panjang. Apa lagi Wong Sarimpat yang berjalan agak jauh di
belakang Kebo Sindet. Orang itu mengumpat tak habis-habisnya. Namun di
samping kemarahan yang semakin dalam, ia pun menjadi heran. Apakah orang
yang sudah terluka dan terpelanting ke dalam jurang itu masih mampu
berjalan sedemikian, ia tetap yakin, bahwa suatu ketika ia akan
menjumpai tubuh itu terbaring di t as ah dengan lemahnya.
Wong Sarimpat itu terkejut ketika ia
mendengar kakaknya berteriak menggigilnya, “He Sarimpat. Lihat ini. Di
sini jejak itu lenyap.”
Dada Wong Sarimpat berdesir. Segera ia
berusaha mempercepat langkahnya. Kata-kata kakaknya benar-benar telah
membuatnya menjadi sangat cemas.
Ketika ia sampai ke dekat Kebo Sindet ia
melihat batang-batang ilalang menjadi sangat tipis, bahkan kemudian
hampir lenyap. Yang terbentang kemudian adalah sebuah lapangan rumput
yang sempit dengan gerumbul-gerumbul liar di sana-sini. Kemudian di
hadapan padang rumput itu mereka melihat sebuah sendang yang agak luas.
Wong Sarimpat dan Kebo Sindet telah
mengenal tempat itu baik-baik. Mereka telah mengetahui bahwa sandang itu
cukup luas. Bahkan di tengah-tengah sendang itu tumbuh semacam tumbuhan
air yang berbahaya. Ganggeng. Yang menurut cerita ganggeng itu sering
menelan binatang atau manusia sebagai makanannya. Tetapi Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat tidak meyakininya. Yang mereka ketahui adalah, bahwa
ganggeng itu berakar banyak dan panjang, sehingga apabila seseorang
berenang melampaui sekelompok tumbuh-tumbuhan ganggeng, maka tubuhnya
pasti akan terbelit. Apabila seseorang menjadi bingung dan kehilangan
akal, maka mustahil ia dapat melepaskan diri dari belitan akar ganggeng
yang sangat banyak dan panjang-panjang.
“Ia meninggalkan gerumbul alang-alang ini, Kakang. Ia pergi ke tempat terbuka.”
Kebo Sindet meng-angguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu benar bahwa lapangan rumput itu terlampau sempit. Di
ujung, lereng bukit gundul itu bertemu dengan sisi sendang, sehingga tak
seorang pun yang akan mampu melampauinya. Yang dapat dilakukan adalah,
terjun ke dalam sendang atau mendaki tebing yang curam, yang keduanya
sangat sulit. Tak seorang pun yang dapat mendaki tebing yang sangat
curam itu dan tak seorang pun yang akan dapat melampaui tebaran tumbuhan
ganggeng di tengah-tengah sendang itu. Apabila seseorang masuk ke dalam
sendang, maka satu-satunya kemungkinan untuk hidup adalah kembali sisi
ini.
Apabila seseorang tidak mendaki tebing
dan tidak terjun ke dalam sendang, maka satu-satunya jalan adalah
kembali meninggalkan tempat yang terbuka, masuk ke dalam semak-semak
batang-batang ilalang bertebaran memenuhi sisi bukit gundul itu.
Karena itu maka Kebo Sindet itu menggeram “Tidak ada kemungkinan lain.”
Wong Sarimpat yang mengenal tempat itu
sebaik kakaknya, tahu benar maksud kata-kata itu, sehingga dengan
serta-merta ia menjawab “Ya, tidak ada kemungkinan lain. Marilah kita
lihat batang-batang ilalang di sekitar tempat ini. Kalau tidak ada bekas
kakinya meninggalkan tempat ini, maka orang itu pasti mencoba melarikan
diri menyeberang sendang itu.”
Kebo Sindet tidak menjawab. Segera ia
berjalan menyusur pinggiran semak-semak ilalang yang memagari tempat
terbuka itu. Dicobanya untuk menemukan jejak apabila Empu Sada mencoba
meninggalkan tempat itu. Wong Sarimpat pun kemudian berbuat serupa.
Dengan seksama ia meneliti setiap langkah. Diamatinya dengan penuh
kewaspadaan. Bukan saja jejak kaki, tetapi apabila tiba-tiba dari balik
semak-semak dan batang-batang ilalang itu mematuk sebatang tongkat
panjang. Tongkat Empu Sada.
Tetapi sampai ke ujung, sampai
semak-semak ilalang itu bertaut dengan sisi sendang di sebelah yang
lain, mereka sama sekali tidak menemukan jejak itu. Tak ada tanda-tanda
pada semak-semak ilalang itu seperti yang pernah mereka lihat. Tak ada
batang-batang ilalang yang roboh karena terinjak kaki.
Kebo Sindet itu menggeram. Dadanya seakan-akan menjadi pepat karena kemarahannya.
“Setan itu telah lenyap,” umpatnya “bagaimana mungkin ia bisa lari?”
“Tidak mungkin!” sahut Wong Sarimpat,
“Tidak mungkin! Orang itu aku kira telah terjun ke dalam Sendang. Ia
tidak tahu sama sekali bahaya yang telah menunggunya. Selain tubuhnya
yang lemah, maka ganggang itu pasti akan menelannya.”
“Aku belum yakin,” sahut kakaknya, “ia
adalah orang yang sangat cerdik. Otaknya tajam tidak seperti otakmu.
Mungkin ia masuk ke dalam sendang di sepanjang tepi semak-semak ini
sekedar menghilangkan jejak. Kemudian ia masuk kembali di antara batang
ilalang beberapa langkah dari tempat ini.”
Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan
kepalanya. Hal itu pun memang mungkin terjadi. Tetapi Empu Sada tidak
akan dapat terlampau jauh menyusur tepi sendang ini, sebab di sebelah
yang agak dalam, tepi sendang ini menjadi curam. Karena itu maka ia
sependapat ketika kakaknya berkata, “Kita telusuri tepi sendang ini.
Apabila kita sampai di tempat yang curam itu, kita belum menemukan
jejaknya, maka baru kita yakin bahwa orang tua itu terjun ke dalam
sendang.”
Keduanya pun kemudian dengan hati-hati
masuk ke dalam pinggiran sendang yang landai dan tidak terlampau dalam.
Perlahan-lahan mereka berjalan sambil mengamati semak-semak ilalang di
pinggir sendang itu. Setiap ada tanda-tanda yang mencurigakan maka
segera mereka berdua mengamatinya dengan seksama.
Tetapi kembali mereka menjadi kecewa.
Mereka sama sekali tidak menemukan jejak apapun sehingga mereka sampai
ke sisi sendang yang curam.
Kemarahan Kebo Sindet menjadi semakin
memuncak. Dadanya serasa akan meledak karena kemarahannya itu. Wong
Sarimpat pun mengumpat tidak habis-habisnya sehingga kakaknya
membentaknya “He, tutup mulutmu! Sekarang terbukti bahwa kau masih saja
selalu menuruti angan-anganmu yang bodoh. Coba katakan sekarang, di mana
Empu Sada itu.”
Wong Sarimpat tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram.
“Ayo, sekarang kita menyusuri tepi
sendang ini. Mungkin Empu Sada hanya sekedar masuk ke dalam air
merendamkan tubuhnya, untuk nanti menepi kembali.”
“Marilah,” sahut adiknya.
Kembali keduanya berjalan menyusuri tepi
sendang itu. Sekali-kali mereka berhenti agak lama dan memperhatikan
permukaan sendang itu, seandainya mereka melihat sesuatu. Tetapi
permukaan air yang datar itu, sama sekali tidak dinodai oleh sesuatu
apapun. Mereka sama sekali tidak melihat wajah air beriak, atau sebuah
kepala yang muncul ke permukaan air.
“Tak ada orang yang mampu merendam diri
sekian lama bersama seluruh tubuhnya. Sekali-kali ia harus muncul ke
atas permukaan air untuk mengambil nafas,” geram Kebo Sindet.
“Mungkin ia telah berenang agak ke tengah dan lenyap ditelan ganggeng.”
“Kau masih juga berangan-angan. Mungkin dan mungkin lagi.”
Wong Sarimpat terdiam. Tetapi hatinya bergumam, “Lalu apakah orang itu dapat lenyap menjadi asap?”
Beberapa lama mereka menunggui sendang
itu. Bahkan kemudian Kebo Sindet melihat sesuatu di tepi sendang itu.
Sepotong kain kecil berwarna ungu.
“Kacu, kau lihat?” teriak Kebo Sindet.
“Ya, kacu,” sahut Wong Sarimpat dengan serta-merta
“Pasti seseorang telah datang kemari. Lihat, apakah yang dibendeli dalam kacu itu.”
Wong Sarimpat segera memungut sepotong
kain berwarna ungu, yang ternyata di dalamnya ada sesuatu benda yang
terbalut. Ketika Kebo Sindet membuka sepotong kain berwarna ungu itu,
maka tiba-tiba ia berkata, “Ini pasti milik Empu Sada.”
“Pasti. Kau lihat bumbung kecil ini?
Isinya adalah sebuah reramuan obat-obatan. Mungkin obat-obatan ini
pulalah yang telah membuatnya menjadi kuat dan dapat menempuh jarak
ini.”
Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia mengumpat tak habis-habisnya. Sambil membanting
potongan kain itu di tanah ia berkata lantang, “Ia pasti terjun ke dalam
sendang ini. Pasti. Tetapi dengan demikian ia pasti menemui ajalnya
pula, berkubur di dalam perut pelus yang menunggui sendang ini.”
Kebo Sindet yang berwajah beku itu
berdiri mematung di tepi sendang. Tetapi matanyalah yang memancarkan
gejolak di dalam dadanya. Apabila Empu Sada itu lepas dari tangannya,
maka orang itu akan menjadi orang yang paling berbahaya baginya. Orang
itu pasti mendendamnya pula. Tetapi untuk sementara, Empu Sada pasti
masih harus menyembuhkan luka-lukanya yang pasti lebih berat dari
lukanya sendiri. Empu Sada itu pun pasti tidak akan segera dapat
berhubungan dengan Mahisa Agni atau Tunggul Ametung. Dengan demikian
masih akan timbul salah paham di antara mereka karena hubungan mereka
yang terlampau jelek di masa-masa yang lampau.
Dalam pada itu Wong Sarimpat masih juga
berteriak, “He Empu yang gila. Jangan bersembunyi di dalam air. Kau akan
mampus ditelan ganggeng. Ayo keluarlah!”
Namun suaranya yang melontar itu hanya disahut oleh gemanya sendiri. Gema yang memantul dari lereng-lereng bukit gundul.
“Tak ada orang yang dapat hidup di dalam
air,” berkata Kebo Sindet kemudian. Kita tunggu di sini untuk sejenak.
Kalau kita sudah yakin, bahwa Empu Sada tidak sekedar merendam diri,
maka kita akan mendapat kesimpulan, bahwa orang itu telah mencoba
melarikan diri, menyeberangi sendang ini.”
“Dan ia akan mampus di antara ganggeng-ganggeng itu.”
Kebo Sindet tidak menjawab. Tetapi ia
berdiri dengan gelisah. Dengan dada yang menghentak-hentak ia berjalan
mondar-mandir. Ia mengharap melihat sebuah kepala tersembul di permukaan
air. Tetapi ia tidak melihatnya, meskipun cukup lama ia berada di
pinggir sendang itu. Ia tidak melihat sebuah kepala yang muncul di
permukaan air.
“Kalau orang tua itu berada di dalam air, maka sekali-sekali ia akan muncul dan akan segera dapat kita lihat.”
“Ya,” sahut Wong Sarimpat keras-keras, “tetapi orang itu sangat bodoh. Dan ia mencoba berenang menyeberang.”
Kebo Sindet tidak menyahut. Dibiarkannya
adiknya berteriak memanggil nama Empu Sada dan sekali-kali ia
terbatuk-batuk karena dadanya serasa menjadi pepat. Namun demikian ia
berhasil mengatur pernafasannya, maka dipuaskannya hatinya dengan
berteriak-teriak untuk mengurangi himpitan kekecewaannya atas hilangnya
Empu Sada.
Akhirnya Kebo Sindet menjadi tidak sabar
lagi. Menurut perhitungannya, ia telah terlalu lama berdiri, dan
kemudian duduk, untuk sejenak lagi berdiri, di tepi sendang itu. Kalau
benar Empu Sada masuk ke dalam sendang itu, maka ia pasti sudah mati
lemas, atau mati dibelit ganggang. Sedang kemungkinan yang lain tidak
ada.
“Aku harap orang itu sudah mampus,” desis Kebo Sindet.
“Pasti. Pasti sudah mampus,” teriak Wong
Sarimpat. Kemudian keras-keras ia berkata “Kalau belum ia pasti akan
muncul di permukaan air.”
“Mari kita kembali. Kita lihat Kuda
Sempana, apakah ia masih utuh atau tinggal Kerangkanya saja
dirobek-robek anjing liar,” berkata Kebo Sindet.
“Apakah keberatan kita Kakang?” sahut Wong Sarimpat “biar sajalah Kuda Sempana itu mampus pula.”
“Aku masih memerlukan anak itu. Mungkin
masih ada keterangan-keterangan yang bisa diperas daripadanya.
Bersikaplah baik terhadap anak itu.”
Wong Sarimpat menggeram. Kepada Kuda
Sempana ia mempunyai tanggapan yang serupa seperti kepada gurunya dan
kepada Cundaka yang telah dibunuhnya. Tetapi karena kakaknya
menghendaki, maka betapa berat perasaannya, ia harus memenuhinya.
Keduanya pun kemudian meninggalkan
sendang itu. Kebo Sindet pun kini telah yakin, bahwa Empu Sada pasti
akan mati di tengah-tengah sendang itu. Tak ada orang yang dapat menahan
nafasnya sekian lama, sepanjang mereka berdua berada di tepi sendang
itu. Dan tak ada orang yang akan dapat menyeberangi sendang itu dengan
selamat. Orang itu pasti akan tenggelam dibelit oleh ganggeng yang
tumbuh lebat hampir di segenap sudut sendang itu. Sedangkan apabila Empu
Sada tetap tinggal di tepi, maka setiap kali ia mengambil nafas maka
pasti akan dilihatnya.
Ketika keduanya mulai melangkahkan
kakinya, maka tiba-tiba Wong Sarimpat membungkukkan badannya. Diraihnya
beberapa buah batu dan dilempar-lemparkannya ke dalam sendang itu sambil
berteriak, “Mampuslah kau! Mampuslah!”
Tetapi batu-batu itu tidak terlampau
besar, dan wajah sendang itu terlampau luas. Tetapi Wong Sarimpat
berbuat asal sekedar berbuat saja. Ia hanya ingin melepaskan kekecewaan,
kemarahan dan dendam karena luka di dadanya.
Suara Wong Sarimpat yang mengumpat-umpat
semakin lama terdengar semakin jauh dari sendang itu. Ketika dadanya
menjadi sakit, barulah ia terdiam dan terbatuk-batuk. Seterusnya orang
itu tidak lagi berteriak dan mengumpat-umpat.
Dengan tertatih-tatih keduanya berjalan
menerobos semak-semak ilalang di sekitar bukit gundul itu. Bahkan Kebo
Sindet pun kemudian menjadi agak tergesa-gesa. Ia takut Kuda Sempana
yang ditinggalkannya akan dikerumuni oleh anjing-anjing hutan, menjadi
makanan mereka yang menyenangkan.
Ia masih merasa perlu atas Kuda Sempana.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh anak itu. Meskipun apa yang akan
dilakukan kelak atasnya, mungkin sama sekali tidak menyenangkan bagi
Kuda Sempana, tetapi Kebo Sindet masih merasa perlu untuk bersikap baik
terhadapnya. Kebo Sindet pun memperhitungkan, bahwa Kuda Sempana
bukanlah seorang pengecut yang berlebihan. Mungkin ia akan
mempertahankan harga dirinya, dan membiarkan dirinya mati apabila ia
dicoba untuk diperas dengan kasar. Tetapi dengan cara lain, mungkin anak
muda yang kehilangan gurunya itu akan menjadi lunak. Meskipun apabila
terpaksa, maka segala cara akan ditempuh oleh kedua hantu lereng bukit
gundul itu.
Demikianlah maka kedua orang itu pun
kemudian menganggap bahwa Empu Sada telah berusaha melarikan dirinya
dengan menyeberangi sendang. Dengan demikian maka mereka pun menganggap
bahwa orang itu pasti sudah binasa di tengah-tengah sendang itu dibelit
ganggeng.
“Tidak mungkin Empu Sada dapat
melenyapkan diri seperti asap,” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya,
“dan tidak mungkin seseorang mampu menyeberangi sendang itu dengan
selamat.”
Meskipun demikian, Kebo Sindet itu berkata, “Besok kita kembali ke tempat ini untuk meyakinkan kematian Empu Sada.”
“Baik,” sahut adiknya.
Kembali mereka berdiam diri sambil melangkah di antara batang ilalang menuju ke lereng pendakian bukit gundul itu.
Sementara itu Empu Sada masih mencoba
bersembunyi di dalam air. Baginya cara itu adalah satu-satunya jalan. Ia
belum mengenal daerah itu dengan baik, sehingga ia tidak tahu, ke mana
ia akan lari. Sedangkan pada saat itu, suara kedua orang liar itu sudah
semakin dekat. Untunglah bahwa ia merasa terlampau lemah untuk mencoba
melarikan diri dengan merenangi sendang yang tidak dilihatnya tepi di
ujung lain karena malam yang pekat.
Maka tak ada pilihan lain baginya
daripada terjun ke dalam air. Dengan menahan dingin dan pedih pada luka
di dadanya, ia merendam dirinya. Hanya kepalanya sajalah yang semula
masih berapa di atas air. Tetapi ketika didengarnya suara Kebo Sindet
dan Wong Sarimpat semakin dekat, dan ketika samar-samar telah dilihatnya
kedua orang itu mendekati tepi sendang maka segera dibenamkannya
segenap tubuhnya.
Orang tua itu mempergunakan gelagah
ilalang untuk menahan supaya ia tetap dapat bernafas meskipun dengan
mulutnya. Satu ujung gelagah itu dimasukkannya ke dalam mulutnya, sedang
ujungnya yang lain dicuatkannya ke atas permukaan air. Dengan demikian
ia masih mampu melakukan pernafasan meskipun dengan mulutnya.
Namun usaha itu ternyata telah
menyelamatkannya. Ternyata Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak
memperhitungkan sedemikian jauh, sehingga ketika mereka berada di tepi
sendang itu cukup lama, dan tidak dilihatnya sebuah kepala yang
kadang-kadang tersembul ke atas air untuk menarik nafas, maka mereka
menganggap bahwa Empu Sada tidak berada di tempat itu. Tidak berada di
tepian sendang yang dangkal.
Meskipun Empu Sada merendam seluruh
tubuhnya, termasuk kepalanya di dalam air, namun samar-samar ia
mendengar suara Wong Sarimpat mengumpat-umpat. Memanggil-manggilinya dan
berteriak-teriak menentu
Ketika Wong Sarimpat melemparkan batu ke
dalam sendang itu, maka hampir saja batu itu mengenainya, bahkan hampir
saja mengenai kepalanya. Tetapi untunglah, bahwa kepalanya nyaris
terkena lemparan itu.
Akhirnya suara ribut Wong Sarimpat itu
pun lenyaplah. Tidak ada lagi umpatan-umpatan yang didengarnya. Tidak
ada lemparan-lemparan batu yang dirasakannya.
Meskipun demikian Empu Sada tidak segera
berani muncul ke permukaan air. Ia masih takut apabila kedua orang itu
masih menunggui di tepi sendang. Dengan demikian, maka usahanya merendam
diri semakin lama, sehingga ia menggigil kedinginan dan kesakitan yang
sangat pada dadanya itu akan sia-sia.
Tetapi akhirnya Empu Sada itu pun yakin
bahwa kedua orang itu telah pergi. Perlahan-lahan ia mencoba
menjengukkan matanya ke permukaan air. Dan kini tidak dilihatnya lagi
seseorang di pinggir sendang itu. Dengan teliti diamatinya setiap
bayangan yang betapapun samar-samarnya. Mungkin bayangan itu adalah
kedua orang liar yang memuakkan itu. Namun akhirnya ia mendapat
kesimpulan bahwa kedua orang itu memang telah pergi.
Perlahan-lahan Empu Sada bangkit berdiri.
Air tempatnya bersembunyi sebenarnya tidak terlampau dalam. Masih belum
melampaui perut. Namun karena Empu Sada berhasil merendamkan seluruh
tubuhnya, dan cahaya bintang-bintang di langit yang sama sekali tidak
membantu memecahkan gelap malam, maka kedua orang liar itu tidak
melihatnya.
Empu Sada yang kedinginan itu kemudian melangkah menepi. Lututnya gemetar dan darahnya serasa hampir membeku.
“Gila!” gumamnya, “pengalaman ini adalah
pengalaman yang paling menarik sepanjang hidupku. Sepanjang petualangan
yang pernah aku lakukan. Telah berpuluh kali aku berkelahi, berpuluh
kali terluka dan berpuluh kali membunuh lawan. Namun belum pernah aku
merendam diri selama ini, hanya sekedar ingin menghindari kedua setan
bukit gundul ini.”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia meraba-raba ikat pinggangnya, diketahuinya bahwa kacu sepotong
yang dipakainya untuk membalut obat-obatnya terjatuh.
“Hem, pasti ketika aku membenahi diri sebelum aku terjun kemari.”
Empu Sada pun kemudian mencari sepotong
kain ungunya. Ketika kemudian kain sepotong itu ditemukan, maka
gumamnya, “Kedua orang itu pasti melihat potongan kain ini. Kalau
demikian, maka mereka pasti sudah tahu bahwa aku masuk ke dalam sendang
ini.”
Empu Sada kini menyadari keadaan diri
sepenuhnya. Kedua orang yang mencarinya pasti menyangka, bahwa ia telah
mencoba melarikan diri merenangi sendang itu. Namun Empu Sada kemudian
tidak dapat mengambil kesimpulan, bagaimanakah anggapan Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat atas dirinya. Empu Sada tidak dapat segera mengetahui,
bahwa Wong Sarimpat dan Kebo Sindet telah menganggapnya mati ditelan
ganggeng di tengah-tengah sendang itu.
Karena itu, maka Empu Sada itu pun
kemudian bergumam, “Mungkin mereka masih berusaha untuk segera menemukan
aku. Karena itu aku harus segera pergi.”
Empu Sada segera melangkahkan kakinya.
Beberapa langkah kemudian ia masih menemukan bumbungnya yang berisi
reramuan obat-obatan. Tetapi sebagian dari obat-obatnya telah
berserak-serak di atas rerumputan dan tak mungkin lagi dikumpulkannya.
Tetapi sebagian kecil yang masih berada di dalam bumbungnya itu pun
masih dapat menghiburnya.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Angin yang dingin berhembus menyusur bukit. Alangkah dinginnya.
Empu Sada yang tua itu menggigil
kedinginan. Pakaian dan tubuhnya basah kuyup oleh air sendang tempatnya
berdiam diri. Tetapi ia tidak mempunyai ganti, sehingga meskipun
perasaan dingin menggigit sampai ke tulang, maka terpaksa pakaian yang
basah itu pun tetap dipakainya.
Kini ia dihadapkan pada persoalan,
bagaimana ia dapat keluar dari tempat ini. Ia harus mampu menghilangkan
segala macam kesan, bahwa ia masih berada di tempat itu. Ia harus
memelihara anggapan bahwa Empu Sada lenyap ke dalam sendang. Lari
menyeberangi sendang itu, supaya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak
berusaha mengejarnya dengan mencari jejaknya. Sebab ia merasa bahwa ia
masih belum mampu untuk meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Ketika Empu Sada sampai ke semak-semak
ilalang, maka ia memperhitungkan keadaan. Ia harus berjalan tanpa
meninggalkan jejak. Karena itu, maka dicarinya jejak Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat. Dengan hati-hati Empu Sada berjalan di sepanjang jejak
mereka, di atas batang-batang ilalang yang telah roboh terinjak-injak
kaki-kaki mereka. Namun di suatu tempat ia harus memisahkan diri dari
jejak itu dan mencari kesempatan yang baik tanpa menimbulkan kecurigaan.
Demikianlah dengan hati-hati Empu Sada
berjalan tertatih-tatih. Tubuhnya yang kedinginan, dan dadanya yang
pedih merupakan penghambat yang mengganggunya. Tetapi ia menyadari
keadaan sepenuhnya. Ia harus pergi sejauh-jauhnya.
Akhirnya jejak kaki yang diikutinya itu
pun keluar dari semak ilalang. Tetapi kedua orang liar itu pasti menuju
ke sisi bukit gundul yang landai, tempat mereka mendaki naik ke tempat
mereka berkelahi semula. Sendang Empu Sada pun kemudian memilih arah
yang lain. Kalau masih kuat ia harus berjalan sampai pagi. Semakin jauh
semakin baik. Ia masih belum berpikir ke mana ia harus pergi.
Tetapi tanpa disengaja, Empu Sada telah
memilih jalan kembali. Jalan yang berlawanan dengan jalan yang
ditempuhnya pada saat ia datang ke bukit gundul ini.
Sementara itu Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat yang menganggap bahwa Empu Sada telah mati, bahkan hampir dapat
mereka pastikan, dengan tergesa-gesa menurut kemampuan yang masih
mereka miliki, telah mendaki bukit gundul itu kembali. Wong Sarimpat
yang selalu diganggu oleh perasaan nyeri di dadanya. berkali-kali
terpaksa berhenti terbatuk-batuk, sehingga kakaknya berjalan semakin
jauh di depan.
Ketika mereka sampai ke atas bukit gundul
itu, mereka melihat Kuda Sempana telah berhasil berdiri tegak. Bahkan
dengan pedang di tangan ia menggeram, “Ayo, kalau kalian telah berhasil
membunuh guruku serta saudara seperguruanku, kenapa kalian tidak sanggup
membunuh aku sama sekali?”
Tetapi Kuda Sempana menjadi heran ketika
ia melihat wajah hantu yang membeku itu Tiba-tiba tersenyum. Betapapun
malam diwarnai oleh kegelapan serta obor di dekatnya telah padam, namun
Kuda Sempana dapat melihat senyum itu. Senyum pada wajah yang beku,
sehingga karena itu, maka hatinya menjadi ngeri. Seolah-olah ia melihat
sesosok mayat yang tersenyum kepadanya.
Ketika Kebo Sindet melangkah selangkah
lagi mendekatinya, tiba-tiba Kuda Sempana yang hatinya keras sekeras
batu hitam itu melangkah surut sambil berteriak, “Jangan, jangan dekati
aku!”
Tetapi wajah itu masih tersenyum. Senyum
yang benar-benar telah menggetarkan dada Kuda Sempana. Bukan karena Kebo
Sindet adalah seorang sakti yang setingkat dengan gurunya.
Ia sebenarnya telah bersedia untuk mati
sekalipun. Tetapi ketika ia melihat seakan-akan sesosok mayat tersenyum
kepadanya, hatinya bergolak dahsyat sekali.
Tanpa dikehendakinya kembali ia berteriak, “Pergi, pergi, atau pedangku akan memenggal lehermu itu.”
Namun Kuda Sempana terkejut pula ketika
ia mendengar Kebo Sindet itu berkata dengan tenang “Kuda Sempana.
Sadarilah keadaanmu, dan apakah kau mau mendengar keteranganku?”
Suara itu sangat berbeda dengan wajah
yang ditatapnya. Wajah itu benar-benar mengerikan, tetapi suara itu
terasa tenang dan bersungguh-sungguh.
“Aku ingin berkata sesuatu kepadamu. Aku
harap kau dapat mendengarnya dengan tenang. Menimbang dengan bijaksana.
Sebenarnya aku tidak mempunyai maksud yang jelek terhadapmu.”
Kini Kuda Sempana terdiam seperti patung.
Ia sama sekali tidak melihat sikap pemusuhan dari Kebo Sindet yang
mengerikan itu. Bahkan terasa sikapnya sejak semula tidak berubah,
meskipun telah terjadi perkelahian antara orang itu dengan gurunya.
Sejenak kemudian Wong Sarimpat pun telah
berdiri di sampingnya pula. Sikap orang ini memang agak berbeda dengan
sikap kakaknya. Tetapi meskipun demikian, ia pun telah berusaha berbuat
sebaik-baiknya. Ia ingin mencoba berbuat seperti kakaknya, menenangkan
hati Kuda Sempana. Katanya “Apakah kau masih merasa tubuhmu terlampau
lemah Kuda Sempana? Kalau demikian, aku akan berusaha menyembuhkanmu.”
Kuda Sempana memandangi orang kasar itu
dengan penuh kecurigaan. Tetapi ia tidak menemukan kesan apapun pada
wajah Wong Sarimpat. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar
Wong Sarimpat tertawa terbahak-bahak, “Matamu masih memancarkan
kecurigaan.”
Kuda Sempana tidak segera menyahut, namun terdengar giginya gemeretak.
Tetapi Wong Sarimpat masih saja tertawa
berkepanjangan, sehingga akhirnya ia berhenti dengan sendirinya karena
dadanya menjadi sakit. Sambil terbungkuk-bungkuk ia batuk-batuk. Kedua
tangannya menekan dadanya yang sakit itu.
Yang berkata kemudian adalah Kebo Sindet,
“Jangan bimbang lagi Kuda Sempana. Aku masih tetap pada pendirianku.
Aku ingin menolongmu menangkap Mahisa Agni. Menjerahkannya kepadamu.”
Kuda Sempana masih tetap berdiam diri. Ia
masih belum menemukan sikap yang sebaik-baiknya harus dilakukan. Dalam
pada itu Kebo Sindet itu berkata “Jangan hiraukan lagi gurumu. Aku
terpaksa membunuhnya. Sekian lama aku menunggu kesempatan ini. Dendam
yang tersimpan di dalam dada ini seakan-akan tidak tertahankan lagi.
Mungkin kau belum mengetahuinya, persoalan yang selama ini seolah-olah
ingin dilupakan oleh gurumu. Tetapi bagiku, sebelum gurumu berkubur di
bukit gundul ini, hatiku masih belum puas. Tetapi meskipun kau adalah
muridnya, namun kau tidak ikut campur dalam persoalan ini. Kau sama
sekali tidak mengetahui ujung dan pangkalnya, sehingga kau kami bebaskan
dari setiap tindakan apapun.”
Kuda Sempana masih menggenggam pedang di
tangannya. Ia masih juga belum dapat menentukan, sikap apakah yang
sebaiknya dilakukan. Tetapi akhirnya Kuda Sempana itu mencoba untuk
memilih kemungkinan yang paling panjang. Kalau ia melawan, maka ia pasti
akan mati. Tetapi kalau ia membiarkan dirinya menurut perintah kedua
orang itu, maka ia akan tetap hidup. Selagi ia masih hidup, maka
kemungkinan-kemungkinan yang lain masih dapat terjadi. Berbeda sekali
dengan apabila ia terbunuh malam ini.
Meskipun demikian Kuda Sempana masih juga
berdiam diri. Tanpa dikehendakinya, sekali ia berpaling memandangi
mayat saudara seperguruannya yang masih terbaring di atas batu-batu
padas di atas bukit gundul itu.
“Jangan hiraukan jahanam itu!” teriak
Wong Sarimpat sehingga Kuda Sempana terkejut karenanya. Orang itu telah
mendapat upahnya sendiri. Kalau ia tidak terlampau sombong, maka ia
tidak akan menemui nasib begitu jelek.
Kuda Sempana masih belum menjawab.
“Kuda Sempana,” berkata Kebo Sindet “mari
ikutlah kami. Kau akan tinggal bersama kami sampai kau dapat berbuat
sesuatu atas Mahisa Agni. Aku berjanji akan menangkapnya hidup-hidup
untukmu. Aku dapat menangkapnya pada sebuah tonggak yang kuat. Dan kau
akan dapat berbuat sesuka hatimu. Mungkin kau akan membunuhnya, atau
mungkin kau akan membiarkannya tersiksa atau cacat untuk seumur
hidupnya.”
Kuda Sempana tidak dapat segera
mengetahui perasaannya sendiri. Apakah ia menjadi bergembira mendengar
tawaran itu, atau tiba-tiba ia telah kehilangan nafsu untuk berbuat
demikian. Guncangan-guncangan perasaannya masih saja mengganggunya.
Kematian saudara seperguruannya dan mungkin gurunya sendiri, benar-benar
telah mempengaruhi cara dan kejernihannya berpikir.
Namun ketika sekali lagi Kebo Sindet
mengajaknya, maka sekali lagi Kuda Sempana menjatuhkan pilihannya pada
kemungkinan yang paling jauh, yaitu, ia ingin tetap hidup, sebelum
ditemukannya jalan yang sebaik-baiknya dilakukan.
“Mari ikut aku,” ajak Kebo Sindet pula. Kuda Sempana tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Bagus!” berkata Kebo Sindet. Kembali
wajah yang beku itu tersenyum. Dan kembali Kuda Sempana menjadi ngeri
melihat senyum itu. Terbayang di wajahnya, sesosok mayat yang bangkit
dari kuburnya dan tersenyum kepadanya.
Tetapi Kebo Sindet sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Segera ia berjalan kembali ke gubuknya.
Kuda Sempana yang masih saja ragu-ragu
merasa punggungnya disentuh. Ketika ia berpaling Wong Sarimpat telah
berdiri di belakangnya. Terdengar kemudian suara tertawanya memekakkan
telinga. Di antara suara tertawanya itu ia berkata, “Marilah Kuda
Sempana. Kau akan menemukan tempat tinggal yang baru di antara kami. Kau
akan segera mengenal cara hidup orang-orang Kemundungan. Orang
Kemundungan ternyata terlampau baik terhadap kami. Mereka merasa bahwa
kami telah melindungi mereka dari setiap kejahatan yang dapat terjadi.
Kini baik penjahat-penjahat yang berkeliaran di padukuhan-padukuhan.
Sejak Baginda di Kediri bertindak lebih keras terhadap kejahatan dan
agaknya diikuti pula oleh setiap akuwu termasuk Akuwu Tunggul Ametung,
maka penjahat-penjahat lari bertebaran di padukuhan-padukuhan terpencil.
Tetapi ternyata sampai saat ini Kemundungan masih tetap lepas dari
pengaruh kejahatan itu.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya,
tetapi ia tidak menjawab. Ketika sekali lagi ia merasa tangan Wong
Sarimpat menyentuhnya, maka kakinya pun terayun melangkah mengikuti Kebo
Sindet yang telah beberapa langkah di muka. Ketika sekali lagi ia
berpaling ke arah tubuh Cundaka yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali
Elo, terdengar Wong Sarimpat berkata, “Sebelum matahari bertengger di
atas punggung bukit di ujung timur itu, maka yang tinggal di sini adalah
kerangkanya saja. Anjing-anjing liar segera akan menerkamnya dan
merobek-robeknya.”
Terasa bulu-bulu tengkuk Kuda Sempana
meremang. Bagaimanapun juga orang itu adalah saudara seperguruannya yang
telah lama bergaul dan bahkan orang itu telah berusaha membantunya pula
untuk mencapai maksudnya, meskipun ia tahu, bahwa Cundaka itu pun
mempunyai pamrih juga. Namun ketika ia melihat tubuh itu terbaring di
atas batu-batu padas, maka hatinya berdesir pula.
Tetapi Kuda Sempana tidak mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu. Setiap kali ia tertegun, maka terasa
Wong Sarimpat menyentuhnya. Sentuhan yang semakin lama terasa menjadi
semakin kasar, meskipun orang itu masih juga tertawa-tawa.
Akhirnya Kuda Sempana berjalan menurut
irama langkah Kebo Sindet meninggalkan bukit gundul itu. Meninggalkan
tempat yang tidak akan pernah dilupakannya.
Ketika kemudian mereka menuruni bukit
gundul itu, terasa dada Kuda Sempana menjadi bergelora. Kemarin ia
menuruni bukit ini pula bersama guru dan seorang saudara seperguruannya.
Kini ia menuruni bukit itu bersama dua orang yang belum pernah dikenal
sebelumnya.
Berbagai perasaan bergumul di dalam
hatinya. Kadang-kadang ia ingin melepaskan diri dari kedua orang itu,
tetapi kadang-kadang apabila dilihatnya punggung Kebo Sindet, ingin ia
menghunjamkan pedangnya ke punggung itu. Tetapi tiba-tiba disadarinya,
bahwa di belakangnya berjalan tertatih-tatih Wong Sarimpat. Meskipun
orang itu tampaknya telah hampir mati, tetapi ia masih cukup berbahaya.
Apalagi baginya, yang kini tidak memiliki kekuatan sepenuhnya.
Kuda Sempana terkejut ketika tiba-tiba ia
melihat Kebo Sindet berhenti dan berpaling. Dari sela-sela bibirnya
yang beku terdengar orang itu berkata, “He, Kuda Sempana, apakah kau
masih menggenggam pedang di tangan? Sarungkanlah. Sebentar lagi jalan
akan menjadi semakin sulit. Pedang itu akan berbahaya bagimu. Apabila
kau terpeleset jatuh, maka mungkin sekali tajam pedang itu akan menyobek
kulitmu sendiri.”
Kuda Sempana memandangi wajah Kebo Sindet
dengan tajamnya. Namun kemudian tanpa dikehendakinya sendiri, tangannya
tergerak menyarungkan pedang itu pada wrangka dilambungnya.
“Bagus! Hati-hatilah berjalan,” berkata
Kebo Sindet itu pula “Baru apabila kita bertemu dengan gerombolan anjing
liar, mungkin kau perlukan pedangmu itu untuk menghalaunya.”
Kuda Sempana masih saja berdiam diri.
Ketika Kebo Sindet berjalan kembali, maka Kuda Sempana pun berjalan pula
lewat jalan setapak yang kemarin pernah dilaluinya pula. Berbelit-belit
di antara batu-batu padas yang menjorok tajam dan kadang-kadang
seakan-akan menghadang di tengah jalan.
Di tempat inilah ia kemarin melihat Wong
Sarimpat di bawah jalan ini, kemudian di atas punggung kuda berlari
mendaki lereng yang curam ini. Kemarin ia masih mengagumi orang yang
kasar yang disangkanya terlampau jujur itu. Tetapi ternyata orang itu
telah membunuh guru dan saudara seperguruannya.
Kebo Sindet ternyata sengaja berjalan
perlahan-lahan supaya Kuda Sempana dan Wong Sarimpat yang terluka itu
tidak tertinggal terlampau jauh. Namun demikian, mereka semakin lama
menjadi semakin dekat pula dengan gubuk di lereng bukit gundul itu.
Gubuk yang berada di mulut gua.
Bulu kuduk Kuda Sempana meremang ketika
teringat kata-kata Kebo Sindet, bahwa di dalam gua itu terdapat banyak
kerangka manusia. Siapa yang masuk ke dalam gua itu, tidak akan dapat
keluar kembali.
“Apakah aku akan dimasukkan ke dalam gua
itu pula?” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya. Tetapi kemudian
ditenangkannya hatinya sendiri. Apapun yang akan terjadi akan
dihadapinya, walau mati sekalipun.
“Ini adalah akibat yang mungkin sekali
terjadi,” katanya di dalam hati pula, “Kalau aku berhasil, sempurnalah
hasilnya, kalau gagal, tebusannya maut.”
Akhirnya mereka berhenti juga di muka
gubuk Kebo Sindet. Dalam kegelapan Kuda Sempana masih dapat mengenali
gubuk itu. Mulut gubuk itu masih saja menganga seperti pada saat Kuda
Sempana meninggalkannya. Dan ruangan di dalam gubuk itu pun masih saja
gelap pekat.
“Wong Sarimpat,” berkata Kebo Sindet “buatlah api! Nyalakan pelita! Apakah kau masih mempunyai minyak?”
“Masih Kakang,” sahut Wong Sarimpat yang kemudian berjalan memasuki gubuknya.
Kuda Sempana merasa perbedaan penerimaan
atas dirinya. Ketika ia datang bersama gurunya, maka seolah-olah kedua
orang itu acuh tak acuh saja. Tetapi kini terasa keduanya menjadi
terlampau baik terhadapnya.
Anak muda itu bukanlah anak muda yang
terlampau dungu. Betapapun juga ia dapat mengerti dan merasakan, bahwa
ada sesuatu kepentingan atasnya dari kedua orang itu. Samar-samar ia
melihat kepada persoalan yang akan dihadapinya Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat akan memperalatnya.
Tetapi Kuda Sempana sudah tidak akan
dapat melepaskan diri lagi. Ia sekarang dan seterusnya pasti hanya akan
menjadi alat mati. Alat yang tidak dapat menentukan sikapnya sendiri.
Namun ia tidak akan menerima nasib itu tanpa perlawanan. Ia harus
mempergunakan otaknya, bukan tenaganya. Sebab ia pasti tidak akan mampu
melawan keduanya. Bahkan satu pun tidak, meskipun sudah terluka.
Ketika lampu telah menjala, maka Kebo
Sindet segera mempersilakan Kuda Sempana itu masuk ke dalam. Ketika
mereka sudah duduk di atas amben yang kemarin mereka pakai pula,
terdengar Kebo Sindet berkata, “Kuda Sempana. Lupakanlah gurumu dan
saudara seperguruanmu. Tinggallah di sini seperti di rumah sendiri. Aku
dan Wong Sarimpat segera akan berusaha menyembuhkan luka-luka kami.
Dalam waktu yang singkat kami akan memenuhi permintaanmu. Menangkap
Mahisa Agni hidup-hidup bagi kami sama sekali bukan pekerjaan yang
sulit. Kami heran, kenapa gurumu tidak mampu melakukannya apabila ia
benar-benar bermaksud menangkapnya. Karena itu, bagi kami gurumu
merupakan penghalang terbesar. Bahkan aku mempunyai perhitungan bahwa
gurumu sengaja akan menjebak kami. Selain itu kami memang mempunyai
persoalan yang lama terpendam dengan gurumu. Lambat laun kau pasti akan
mengetahuinya juga.”
Tiba-tiba Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian ia bertanya, “Apakah paman berkata sebenarnya?”
Kebo Sindet memandang Kuda Sempana dengan
wajahnya yang beku. Tetapi sorot matanya memancarkan perasaan yang
aneh. Kenapa Kuda Sempana menjadi lunak hatinya dengan tiba-tiba.
Perubahan itu berlangsung terlampau cepat. Namun Kebo Sindet tidak
segera dapat menarik ke simpulan. Bahkan kemudian ia menjawab, “Tentu.
Aku berkata sebenarnya.”
Kuda Sempana terdiam sesaat. Ia ingin
segera berpura-pura bergembira mendengar jawaban itu, tetapi ia tidak
dapat. Beruntunglah ia bahwa ia tidak mampu berbuat demikian karena
kejutan perasaan yang baru saja dialami.
Kebo Sindet adalah seorang yang licin. Ia
akan mampu melihat perubahan yang tidak wajar apabila Kuda Sempana
dengan tiba-tiba menyatakan sikapnya yang berlawanan dengan sikapnya
sebelumnya. Namun karena Kuda Sempana masih dicengkam oleh perasaannya,
maka justru sikapnya itu telah menghilangkan kecurigaan Kebo Sindet.
Sejak saat itu Kuda Sempana terpaksa
tinggal di dalam gubuk itu pula. Gubuk Kebo Sindet. Betapa hatinya ingin
melepaskan diri dari lingkungan yang sama sekali tidak di kehendaki
itu, tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan. Setiap kali ia selalu
berada di antara kedua orang liar itu atau salah seorang daripadanya.
Namun setelah beberapa hari Kuda Sempana
berada di tempat itu, sikap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sama sekali
tidak berubah. Mereka masih bersikap baik dan ramah. Bahkan mereka
agaknya sangat memperhatikan kebutuhannya.
Dalam beberapa hari itu Kuda”Sempana
dapat mengetahui cara hidup Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kedua
mendapat makanan mereka dari orang-orang Kemundungan. Meskipun
orang-orang Kemundungan sendiri adalah orang-orang miskin, namun Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat tidak akan pernah merasa kekurangan. Mereka
mendapat makanan mereka dalam dua bentuk. Makanan masak, yang tinggal
menyuapkan saja ke dalam mulut, dan bahan-bahan mentah yang dikehendaki.
Buah-buahan, pala kependam dan pala gumantung. Kedua orang itu
seolah-olah menjadi raja kecil dalam padukuhan yang terpencil itu.
Di dalam gubuk Kebo Sindet memang
terdapat mulut gua. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak berani
memasuki gua itu. Setiap kali ia mendengar Kebo Sindet atau Wong
Sarimpat berkata kepadanya. Setiap orang yang mencoba masuk ke dalamnya,
maka orang itu tidak akan pernah keluar lagi. Bahkan selama itu, Kuda
Sempana belum pernah melihat Kebo Sindet atau Wong Sarimpat sendiri
masuk ke dalamnya.
Yang diketahui oleh Kuda Sempana dengan
pasti, selama ini Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selalu mengobati diri
mereka masing-masing. Ternyata luka-luka yang mereka derita bukanlah
luka-luka yang ringan. Hanya karena daya tahan tubuh-tubuh mereka yang
luar biasa sajalah, maka mereka tidak hancur karenanya. Mereka bahkan
masih tampak tetap segar.
(bersambung ke Jilid 21)
No comments:
Write comments