“Anggaplah bahwa yang terjadi adalah
karma. Bukankah ayahanda Tunggul Ametung mengambil ibunda dengan cara
yang tidak ibunda sukai? Dan bukankah Ayahanda Tunggul Ametung telah
melakukan kesalahan yang merusak kehidup ibunda selanjutnya? Ibunda,
dalam hal ini ibunda jangan menyalahkan diri sendiri. Karma akan berlaku
dimana-pun hamba bersembunyi. Kutuk seorang pendeta di Panawijen pasti
akan berlaku. Dan hamba-pun akan memanggul karma itu sebagai seorang
putera dari Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tidak, tidak anakku. Kau tidak bersalah.
Kau adalah anakku. Aku mencintaimu seperti aku mencintai adik-adikmu.
Karena itu, aku tidak rela akan kematianmu itu.”
Tangis Ken Dedes yang tertahan-tahan
membuat hati Anusapati bagaikan tergores duri. Pedih. Tetapi ia masih
bertahan dan berkata, “Hamba tahu ibunda mencintai hamba. Tetapi karma
adalah diluar jangkauan kemampuan manusia. Dan keris yang ada di tangan
Sri Rajasa itu-pun hanya sekedar sebagai lantaran. Sudahlah ibu. Jangan
hiraukan hamba. Anak hambalah yang akan menggantikan hamba dihadapan
ibunda. Jika hamba telah memanggul karma, maka akan bersihlah anak hamba
dari kemungkinan-kemungkinan yang pahit. Dan biarlah keris itu kini
tetap di tangan Sri Rajasa.”
“Tidak, tidak,” Ken Dedes berdesis diantara sedu sedannya.
“Sudahlah ibunda, hamba mohon diri. Hamba mohon diri untuk selama-lamanya.”
“Anusapati, Anusapati,” tiba-tiba
ibundanya bangkit dan memeluknya erat-erat. Katanya, “Kau jangan membuat
hatiku semakin parah Anusapati.”
Anusapati menarik nafas. Jawabnya. “Tidak
ibunda. Hamba akan tersenyum apa-pun yang akan terjadi. Hamba akan
menerimanya dengan ikhlas sehingga kepergian hamba tidak akan membuat
hati ibunda terluka.”
“Tidak. Kau tidak boleh pergi,” suara Ken Dedes lemah, “anakku, maafkan ibumu. Aku, aku telah membohongimu.”
Anusapati mengangkat wajahnya. Pelukan ibunya-pun terlepas perlahan.
“Kenapa ibunda membohongi hamba? Apakah
ternyata ayah hamba bukan Akuwu Tunggul Ametung, atau apakah, ayahanda
Tunggul Ametung tidak mati terbunuh oleh Ayahanda Sri Rajasa?”
“Bukan, bukan itu.”
“Lalu?”
“Aku membohongimu. Keris itu tidak ada pada ayahandamu Sri Rajasa. Keris itu ada padaku.”
“O,” Anusapati menarik nafas dalam-dalam, “jadi keris itu ada pada ibunda?”
Ken Dedes mengangguk-angguk. Betapa-pun
ia menahan hati, tetapi air matanya meleleh semakin deras, “Ya
Anusapati. Keris itu ada padaku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
Tetapi ia bertanya, “Kenapa ibunda membohongi hamba? Apakah ibunda
tidak menganggap penting bahwa keris itu tidak boleh berada di sembarang
tangan?”
“O, justru karena aku menganggap keris
itu akan dapat menentukan kelanjutan sejarah Singasari, maka aku telah
menyimpannya baik-baik.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu katanya, “Ibunda. Jika keris itu memang ada pada ibunda, apakah
hamba dapat memohon agar keris itu ibunda berikan kepada hamba?”
“Itulah yang aku cemaskan Anusapati.”
jawab ibundanya, “Karena itulah, maka aku berbohong kepadamu. Tetapi
ternyata kau menjadi berputus-asa dan seakan-akan kau membiarkan dirimu
sendiri mengalami kematian, tanpa berbuat sesuatu.”
“Bukan ibunda. Jika memang keris itu ada
pada Ayahanda Sri Rajasa, hamba memang tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Tetapi ternyata keris itu ada pada ibunda. Karena itu, maka hamba mohon
agar keris itu diserahkan kepada hamba. Hamba akan menyimpannya
baik-baik.”
Ken Dedes menggelengkan kepalanya. “jangan anakku. Biarlah ibunda menyimpannya.”
“Apakah sebabnya ibunda tidak mengijinkan
hamba menyimpan keris itu, karena justru jiwa hambalah yang kini paling
terancam karenanya?”
“Tidak Anusapati. Aku akan menyimpannya
baik-baik. Aku mengerti bahwa jiwamu terancam karenanya. Dengan demikian
aku tidak akan menyerahkan keris itu kepada siapa-pun juga. Aku akan
menyimpannya baik-baik sehingga dengan demikian jiwamu-pun akan selamat.
Aku adalah ibumu Anusapati, dan aku akan selalu berusaha agar kau tidak
terancam oleh bencana yang sama seperti ayahandamu Tunggul Ametung.”
“Mungkin ibunda berniat demikian,” jawab
Anusapati, “tetapi apakah ibunda dapat bertahan jika pada suatu saat
Ayahanda Sri Rajasa datang kepada ibunda dan minta agar keris itu
diserahkan? Mungkin ibunda berkeberatan. Tetapi Sri Rajasa dapat memaksa
Ibunda dengan cara apa-pun juga sehingga akhirnya keris itu jatuh
ketangannya.”
Ken Dedes menggeleng. Katanya, “Anusapati, keris ini tidak boleh berpindah tangan. Aku akan mempertahankannya.”
“Tentu Ayahanda Sri Rajasa akan dapat
mengambilnya. Jangankan ibunda seorang perempuan, sedangkan keris itu
dapat dicurinya dari tangan Kebo Ijo, seorang perwira prajurit Tumapel
yang memiliki kelebihan karena Kebo Ijo adalah saudara seperguruan
pamanda Witantra.”
“O,” Ken Dedes menundukkan kepalanya.
“Apakah ibunda pernah mengenal paman
Witantra? Seorang Panglima yang tidak ada duanya di Tumapel waktu itu.
Panglima pasukan pengawal yang justru tersingkir karena Ia ingin
membersihkan nama Kebo Ijo dan dikalahkan oleh Pamanda Mahisa Agni di
arena? Ternyata semuanya telah terjebak. Semua orang telah berhasil
dikelabui oleh seorang yang bernama Ken Arok.”
Ken Dedes menundukkan kepalanya sambil
memegangi keningnya. Kini semuanya terbayang dengan jelas. Semuanya
seakan-akan baru kemarin terjadi. Bagaimana rakyat Tumapel berkabung
karena Akuwu Tunggul Ametung terbunuh. Kemudian dengan penuh kemarahan
mereka menuduh Kebo Ijo telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Yang belum
lagi air mata rakyat Tumapel yang menangisi kematian Tunggul Ametung
itu kering, ia sudah memasuki jenjang perkawinan bersama seorang anak
muda yang tampan pada waktu itu, dan seorang prajurit yang perkasa, yang
bernama Ken Arok.
“Ibunda,” berkata Anusapati kemudian
seakan-akan membangunkan ibundanya dari lamunan, “hamba menunggu
keputusan ibunda. Jika ibunda memperbolehkan biarlah keris itu hamba
saja yang menyimpannya. Mungkin paman Mahisa Agni berpendirian lain dan
menganggap perlu untuk menyimpannya. Hamba percaya bahwa jika keris itu
ada pada Pamanda Mahisa Agni, Ayahanda Sri Rajasa tidak akan berani
mengambilnya. Dengan terang-terangan atau dengan sembunyi-sembunyi,
karena di Singasari, orang yang paling disegani oleh Ayahanda Sri Rajasa
adalah Pamanda Mahisa Agni.”
Ken Dedes masih belum menjawab.
Dan Anusapati-pun berkata seterusnya,
“Tetapi jika ibunda tidak berkenan menyerahkan keris itu kepada hamba,
maka biarlah hamba sekali lagi mohon diri. Tidak ada harapan lagi bagi
hamba untuk membebaskan diri.”
“O, Anusapati.” desis Ken Dedes, “kau berhasil memaksa aku untuk menyerahkan keris itu. Ternyata aku tidak dapat berbuat lain.”
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar.
“Tetapi ingat anakku. Keris itu bukan
alat untuk menyebarkan dendam. Jika kau dikejar oleh dendam dihatimu,
dan kau mempergunakan keris itu, maka akan tumbuh dendam yang lain di
antara keturunan Sri Rajasa. Dan dendam itu akan selalu menghantuimu
setiap saat.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Hamba tidak mendendam ibunda. Hamba telah mendengar pesan
Pamanda Mahisa Agni, bahwa hamba tidak diperkenankan berbuat apa-apa,
selain berusaha menghindarkan diri dari bencana. Salah satu cara yang
dapat hamba tempuh adalah menyembunyikan keris ini. Bukan untuk
dipergunakan.”
Ken Dedes memandang puteranya sejenak. Di
wajah itu memang terbayang wajah ayahandanya, Tunggul Ametung. Wajah
yang semula sangat ditakutinya ketika Akuwu itu datang mengambilnya ke
Panawijen dengan sorot mata yang merah.
“Kuda Sempana lah sumber dari bencana ini,” desisnya di dalam hati.
Tetapi semuanya itu sudah lama lampau.
Semuanya itu sudah terjadi. Jika ia sendiri tidak ikut mengembangkan
peristiwa-peristiwa berikutnya, maka akibatnya-pun tidak akan separah
ini.
Ken Dedes mengangkat wajahnya ketika ia
mendengar Anusapati kemudian berkata, “Ibunda. Jika memang berkenan
dihati ibunda, hamba mohon keris itu dapat hamba terima dan hamba simpan
sebaik-baiknya. Mumpung kini Pamanda Mahisa Agni masih berada di
Singasari. Biarlah hamba mohon pertimbangan, apakah yang sebaiknya hamba
lakukan dengan keris itu, dan barangkali Pamanda Mahisa Agni mempunyai
cara yang baik yang dapat hamba lakukan.”
Ken Dedes masih ragu-ragu. Terbayang ditatapan matanya kecemasan yang mencengkam.
“Apakah ibunda ragu-ragu?” bertanya Anusapati.
Dengan jujur Ken Dedes menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, “Ya Anusapati. Sebenarnyalah aku ragu-ragu.
Tetapi aku kira tidak ada yang lebih baik bagimu daripada menyimpan
keris itu. Tetapi sekali lagi, keris itu hanya dapat aku serahkan padamu
untuk disimpan. Jika dengan demikian kau akan terhindar dari bencana.”
“Tentu ibunda. Hamba hanya sekedar akan menyimpan keris itu. Hamba tidak akan mempergunakannya.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak kemudian ia-pun berdiri dan melangkah perlahan-lahan masuk
kedalam ruangan sempit di sebelah biliknya.
Anusapati menunggu ibundanya dengan hati
yang berdebar-debar. Ia belum pernah melihat keris buatan Empu Gandring
itu. Seandainya ibundanya memberikan keris yang mana-pun juga, maka
ia-pun akan mempercayainya.
Ketika ibundanya Ken Dedes keluar dari
ruang sempit itu dengan membawa sebuah peti, maka hatinya kian
bergejolak. Jika benar keris itu keris Empu Gandring, maka keris itulah
yang sudah menghabisi jiwa ayahandanya.
“Inilah keris itu Anusapati,” berkata
Permaisuri itu dengan suara bergetar. Bukan hanya suaranya, tetapi
tangannya yang memegang peti itu-pun bergetar.
Perlahan-lahan Ken Dedes meletakkan peti
itu di pembaringan. Kemudian dengan hati-hati sekali ia merabanya sambil
berkata, “Bukan maksudku untuk memperluas dendam di setiap hati,
Anusapati, apakah kau mengerti maksudku?”
“Hamba mengerti ibunda.”
“Simpanlah keris ini baik-baik. Dan
lupakanlah bahwa kau menyimpan keris ini, keris yang mempunyai sangkut
paut dengan ayahandamu. Jika kau berhasil melupakannya, kau akan
mendapatkan ketenteraman.”
“Hamba akan berusaha ibunda.
Mudah-mudahan hamba dapat melupakannya bahwa hamba telah menyimpan dan
menyembunyikan keris ini demi keselamatan hamba.”
Ken Dedes tidak menjawab. Tetapi hatinya
bagaikan terpecah karenanya. Ia benar-benar harus memilih, Sri Rajasa
atau Anusapati anaknya yang lahir dari tetesan darah Akuwu Tunggul
Ametung.
“Inilah Anusapati,” desis Ken Dedes sambil menyerahkan peti itu kepada Anusapati.
Ternyata bahwa tangan Anusapati-pun
menjadi gemetar pula. Dengan dada yang berdebar-debar tangannya yang
gemetar itu-pun kemudian membuka peti itu.
Dadanya berdesir ketika ia melihat keris
yang ada di dalam peti itu. Keris yang tidak seperti dibayangkannya,
keris dengan sarung emas bertatahkan intan berlian. Bukan pula dengan
ukiran yang indah. Tetapi keris itu disarungkan dalam wrangka yang
sederhana dan ukirannya adalah sebatang kayu cangkring yang belum
dibentuk.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia memang pernah mendengar bahwa keris itu sebenarnya masih belum
siap sama sekali ketika Ken Arok mengambilnya dan kemudian membunuh
Empu Gandring agar Empu itu tidak dapat mengatakan, bahwa yang memesan
keris itu kepadanya adalah Ken Arok yang kini bergelar Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi.
Sesaat kemudian maka peti itu-pun
ditutupnya kembali. Anusapati tidak sampai hati untuk menarik keris itu
dari wrangkanya dihadapan ibunya. Ia yakin bahwa keris itu pasti masih
bernoda darah yang membeku karena sepengetahuannya keris buatan Empu
Gandring itu tidak pernah dimandikan.
Sejenak kemudian, setelah getar didadanya
agak mereda, maka Anusapati-pun mohon diri kepada ibunya untuk membawa
keris itu dan menyimpannya.
“Bagaimana jika seseorang melihat kau
membawa peti itu Anusapati? Mungkin seseorang akan menjadi curiga dan
mengatakan kepada orang lain bahwa kau membawa sebuah peti dari bilik
ini.”
“Apakah ada orang yang mengetahui bahwa peti ini berisi keris Empu Gandring itu ibunda?”
“Tidak. Tetapi bahwa kau membawa sesuatu
dari bilik ini memang dapat dicurigai. Mungkin aku sekedar berprasangka.
Tetapi jika benar-benar demikian, dan kecurigaan itu sampai ditelinga
Tohjaya dan Ayahanda Sri Rajasa, maka ia pasti akan bertanya kepadamu
atau kepadaku, apakah yang ada didalam peti itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu katanya, “Baiklah ibunda, jika demikian aku akan membawa kerisnya
saja. Petinya biarlah aku tinggalkan disini.”
“Apalagi keris itu Anusapati,” jawab ibunda, “ciri keris itu mudah sekali dikenal.”
Anusapati mengamati keris itu sekali
lagi. Memang keris itu mudah sekali dikenal. Tetapi sepintas lalu, keris
itu tidak berbeda dengan keris-keris yang lain. justru sederhana sekali
bentuk dan warnanya.
“Ibunda,” berkata Anusapati kemudian.
“hamba akan membawanya tanpa peti ini. Keris hamba akan hamba tinggal
didalam peti ini, dan hamba akan menggantinya dengan keris Empu Gandring
ini.”
“Sudah aku katakan Anusapati,” keris itu
mempunyai ciri yang mudah dikenal oleh siapapun. Meskipun orang itu
tidak mengenalnya bahwa keris ini adalah keris Empu Gandring, tetapi
mereka pasti akan segera tertarik melihat, kesederhanaan keris ini,
apalagi ukirannya yang terbuat dari kayu cangkring.”
“Hamba akan membawanya dengan hati-hati
ibunda. Hamba akan berusaha menyembunyikannya dibawah tangan hamba. Dari
bangsal ini hamba akan langsung pergi ke bangsal hamba dan kemudian
menemui paman Mahisa Agni untuk mengatakan kepadanya bahwa keris Empu
Gandring itu ada ditangan hamba. Apakah sebaiknya yang pantas hamba
lakukan menurut pertimbangan Pamanda Mahisa Agni.”
Ken Dedes termangu-mangu sejenak. Tetapi
kemudian ia-pun berkata, “Hati-hatilah. Rasa-rasanya keris itu sendiri
masih menuntut karena kematian Empu yang membuatnya.”
“Itulah sebabnya keris ini harus
disembunyikan. Dan seperti kata ibunda, aku akan berusaha melupakan,
bahwa akulah yang telah menyembunyikan keris ini.”
“Terserahlah kepadamu Anusapati.”
Anusapati kemudian mengambil kerisnya
yang terselip dilambung. Kemudian keris itu-pun diletakkannya didalam
peti, setelah ia mengambil keris Empu Gandring.
Dengan hati-hati keris itulah yang
kemudian disisipkan di pinggangnya. Ukirannya tepat berada dibawah
tangan Anusapati yang tergantung disisi tubuhnya.
“Mudah-mudahan tidak ada orang yang
melihatnya ibunda, agar tidak timbul persoalan-persoalan baru yang dapat
mengguncangkan istana ini.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Namun
ia masih berkata, “Anusapati, aku masih harus mencari jawab jika pada
suatu saat Ken Arok datang kepadaku dan menanyakan keris itu seperti
kedatanganmu kini.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi terbayang kecemasan di wajah ibunya meskipun Ken Dedes itu
kemudian berkata, “Tetapi biarlah jangan kau hiraukan. Aku akan berusaha
untuk menjawabnya meskipun saat ini aku belum menemukan alasan yang
sebaik-baiknya.”
Anusapati masih termangu-mangu. Karena itu ia-pun tidak segera berbuat sesuatu.
“Kenapa kau bimbang?” bertanya ibunya, “bagiku ternyata keris itu memang lebih baik ada padamu daripada ada pada Sri Rajasa.”
“Terima kasih ibu,” berkata Anusapati kemudian, “sekarang hamba mohon diri.”
“Hati-hatilah Anusapati.”
Anusapati kemudian meninggalkan ibunya
sendiri di dalam biliknya. Sejenak ia berdiri dipintu bangsal sambil
memandang berkeliling. Ternyata tidak banyak orang yang berkeliaran di
halaman. Seorang juru taman dan dua orang prajurit yang melintas.
Anusapati-pun kemudian melangkah menuruni tangga. Di sebelah pintu duduk dua orang emban sambil menunduk dalam-dalam.
Dengan hati-hati Anusapati pun melangkah
meninggalkan bangsal itu. Tangannya hampir tidak melenggang sama sekali
karena ia berusaha untuk menyembunyikan ciri-ciri keris yang aneh itu.
Sepeninggal Anusapati, kedua emban yang
duduk di sebelah pintu itu-pun saling berpandangan. Tetapi mereka masih
tetap ragu-ragu untuk mendekati bilik Permaisuri. Menurut dugaan mereka,
Permaisuri yang sedang sakit itu selalu saja marah-marah kepada
puteranya laki-laki yang sulung itu.
Barulah ketika mereka mendengar
Permaisuri memanggil, mereka-pun datang mendekat dan dengan hati yang
berdebar-debar mereka memasuki pintu bilik. Ketika mereka melampaui
pintu bilik mereka melihat Permaisuri itu berbaring dipembaringannya
sambil berselimut kain berwarna kelam menutupi seluruh tubuhnya, kecuali
wajahnya.
“Ambilkan air panas emban,” suara Ken Dedes lambat dan parau.
Kedua emban itu-pun saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Hamba tuan
Puteri. Tetapi apakah hamba harus mengambil air panas untuk minum atau
untuk keperluan yang lain?”
“Aku ingin minum air yang panas sekali. Taruhlah sedikit pangkal jahe dan gula kelapa.”
“O, hamba tuan Puteri.”
Salah seorang dari kedua emban itu-pun
kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu untuk membuat air
jahe bagi tuan Puteri Ken Dedes.
Dalam pada itu, Anusapati yang berjalan
dengan hati-hati telah sampai di halaman bangsalnya. Langkahnya menjadi
semakin cepat, meskipun ia berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan
bagi siapa-pun juga.
Demikian Anusapati sampai di bangsalnya,
maka ia-pun menarik nafas dalam-dalam. Keringatnya terasa terperas dari
dalama tubuhnya oleh ketegangan meskipun jarak yang dilewatinya sudah
terlampau sering dilaluinya. Namun kali ini, dengan keris Empu Gandring
dilambung, maka jarak itu rasa-rasanya menjadi sepuluh kali lipat.
Setelah hatinya agak tenang, dan keringatnya berkurang, barulah ia masuk
ke ruang dalam menemui isterinya yang sedang duduk bersama anak
laki-lakinya.
“O, dari manakah ayahanda datang?”
bertanya anak laki-lakinya, “tampaklah ayahanda lelah sekali. Keringat
ayahanda membasahi seluruh tubuh.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun
ia-pun kemudian tersenyum sambi berkata, “Udara panasnya bukan main.
Ayahanda tidak pergi kemana-mana. Ayahanda baru datang dari regol depan,
melihat-lihat kegiatan para prajurit.”
Anak laki-lakinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia-pun telah asyik lagi dengan permainannya.
Tetapi ternyata bahwa isteri Anusapati
itu tidak secepat anaknya menerima keterangan itu. Dari sorot matanya
masih tampak berbagai macam pertanyaan yang tidak terucapkan.
Sejenak kemudian maka Anusapati-pun
segera masuk ke dalam biliknya. Tetapi ia tidak mau membuat isterinya
menjadi gelisah. Karena ia tidak bermaksud mengatakan apa-pun juga
tentang keris itu dan tentang dirinya sendiri.
Sebelum isterinya menyusul masuk kedalam
bilik itu, maka Anusapati-pun segera menyimpan keris Empu Gandring dan
meletakkannya di antara beberapa pusakanya yang lain, sebelum ia dapat
menyimpannya secara khusus.
“Aku harus menemui paman Mahisa Agni
lebih dahulu,” berkata Anusapati didalam hatinya, “aku harus mendapat
petunjuk tentang keris itu.”
Karena itu, maka ia-pun segera minta diri kepada isterinya untuk pergi kebangsal pamannya.
“Kakanda akan pergi lagi?” bertanya isterinya.
Anusapati tersenyum. Ia sadar, bahwa
isterinya-pun melihat kesibukannya yang meningkat pada saat-saat
terakhir. Tetapi ia masih belum mengatakan sesuatu.
“Aku akan menemui Pamanda Mahisa Agni. Mungkin pamanda akan segera meninggalkan Singasari.”
Isterinya tidak menyahut. Tetapi dimatanya membayang kecemasan dan kegelisahan.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia mencoba tersenyum dan berkata, “Jika kau memerlukan aku,
perintahkanlah seorang prajurit pengawal memanggil aku di bangsal
Pamanda Mahisa Agni.”
Isterinya menganggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak berani mendesak lebih jauh lagi meskipun sebenarnya hatinya
sudah bergejolak. Sebagai seorang puteri dari keturunan Maharaja di
Kediri, ia merasa asing di Singasari. Bahkan ia merasa bahwa ia berada
dalam lingkungan yang sangat mencemaskan. Apalagi akhir-akhir ini
Anusapati tampaknya sedang terlibat dalam suatu kesibukan yang sangat
penting.
Beberapa keanehan yang dialaminya
membuatnya semakin kecut. Bau yang sangat wangi, bunyi yang tidak
dikenal dan wajah-wajah yang kadang-kadang memandanginya dengan
tajamnya, seakan-akan sengaja menunjukkan kebencian dan dendam yang
tertahan di dalam hati.
Untunglah bahwa Ken Dedes bersikap sangat
baik kepadanya. Dan bahkan Permaisuri itu rasa-rasanya bagaikan ibunya
sendiri. Setiap kali ia selalu menghiburnya dan menenteramkan
kegelisahannya. Adik-adiknya-pun sangat baik kepadanya. Adik-adik
Anusapati yang lahir dari Ken Dedes. Tetapi adik-adik Anusapati yang
lahir dari Ken Umang sama sekali acuh tidak acuh saja kepadanya.
“Tenangkan hatimu,” berkata Anusapati, “bukankah di siang hari kita tidak pernah mengalami apa-pun juga.”
Isterinya menganggukkan kepalanya pula.
“Nah, baiklah. Hati-hatilah mengawasi
anak kita. Ia menjadi semakin nakal. Jika ia keluar bangsal, suruhlah
pemomongnya mengikutinya kemana ia pergi.”
“Baiklah kakanda,” jawab isterinya,
meskipun kata-katanya itu bagaikan meloncat begitu saja dari bibirnya
tetapi tidak dari hatinya.
Anusapati-pun kemudian mengambil kerisnya
yang lain dan keluar pula dari biliknya. Dengan susah payah ia menahan
perasaannya yang bergejolak, agar orang-orang yang melihatnya tidak
menjadi curiga melihat sikapnya.
Perlahan-lahan Anusapati melangkah
menuruni tangga. Di halaman bangsalnya yang ditanami berbagai macam
pohon bunga ia berhenti sejenak. Dipetiknya setangkai bunga menur yang
putih. Kemudian diselipkannya bunga itu diatas telinganya.
Langkahnya terhenti pula didepan gardu penjaga. Sambil tersenyum ia bertanya, “Berapa orang yang bertugas di sini hari ini?”
Prajurit pengawal yang bertugas menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, “Dua orang tuanku. Seperti biasanya.”
“O, dan dimalam hari?”
Prajurit itu menjadi heran. Selama ini
masih belum ada perubahan apa-apa. Namun demikian ia menjawab juga,
“Lima orang tuanku dan dua orang penghubung. Tetapi pada saat-saat yang
dianggap gawat, kadang-kadang ditambah lagi dengan dua orang pengawal.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
meskipun ia hampir tidak mendengar jawaban itu. Apalagi ketika pengawal
itu menambahkan, “Bahkan kadang-kadang masih ditambah lagi apabila
perlu.”
Anusapati masih mengangguk-angguk. Bahkan
masih tersenyum-senyum meskipun angan-angannya sama sekali tidak
melekat pada jawaban prajurit-prajurit itu.
“Jagalah baik-baik,” katanya kemudian, “aku akan pergi sebentar.”
Sekali lagi prajurit itu menjadi heran.
Pangeran Pati itu hampir tidak pernah memberikan pesan seperti itu
disiangi hari. Jika ia pergi, maka ia-pun pergi sajalah. Jika ia datang,
ia-pun hanya sekedar berpaling dan tersenyum sedikit. Memang
kadang-kadang Putera Mahkota itu menghampiri mereka dan bercakap-cakap.
Tetapi hampir tidak pernah berpesan seperti itu di siang hari, selain
apabila memang sedang timbul persoalan. Itu-pun dimalam hari, seperti
pada saat-saat terjadi hal-hal yang aneh di sekitar bangsal ini.
Tetapi prajurit itu tidak menjawab. Ia
hanya mengangguk dalam-dalam. Demikian juga seorang kawannya. Dengan
wajah yang aneh keduanya memandang Anusapati yang melangkah
perlahan-lahan meninggalkan mereka. “Tampaknya Pangeran Pati itu sedang
gelisah,” berkata seorang prajurit.
“Ya. Akhir-akhir ini tampaknya sibuk sekali. Hilir mudik setiap kali.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, Anusapati berjalan
melintasi halaman istana Singasari menuju ke bangsal pamannya Anusapati
selama ia berada di Singasari. Betapa-pun ia tergesa-gesa untuk segera
menyampaikan ceritera tentang keris yang kini sudah ada ditangannya,
namun langkah Pangeran Pati itu tampaknya tenang-tenang saja, dan bahkan
seakan-akan tanpa maksud sama sekali.
Sementara itu, sepasang mata
memandanginya dengan tajamnya dari balik gerumbul perdu agak jauh dari
bangsal Mahisa Agni. Ketika ia melihat Anusapati dari kejauhan, ia-pun
segera berlindung dibalik segerumbul pohon bunga soka merah.
Tetapi orang itu terkejut ketika
tiba-tiba saja seorang juru taman yang membawa sebuah cangkul telah
berdiri di sebelahnya sambil menggamitnya.
“Gila, kau lagi,” ia menggeram.
Juru taman itu adalah Sumekar. Katanya
sambil tersenyum, “Kau harus berterima kasih kepadaku, karena aku tidak
menyebutmu akan membunuhku malam itu.”
Orang itu memandang Sumekar dengan tajamnya. Betapa dendam memancar dari sorot matanya itu.
“Jangan memandang aku begitu,” berkata Sumekar, “aku dapat mati kaku disini.”
“Persetan. Kau memang harus mati.”
“Tidak. Kau sudah gagal membunuh aku. Seharusnya, kau tidak boleh berusaha mengulanginya.”
“Apa katamu? Nanti malam aku akan membunuhmu.”
“Benar?”
“Ya, pasti.”
Sumekar tidak segera menyahut. Dilontarkannya pandangan matanya ke halaman, dan ternyata Anusapati sudah tidak tampak lagi.
Prajurit itu-pun kemudian berpaling juga. Dan ia-pun kehilangan Anusapati pula.
“Kau memang gila,” bentak prajurit itu, “nanti malam aku akan benar-benar membunuhmu.”
“Jangan.”
“Aku tidak peduli.”
“Jika demikian, sekarang aku akan melaporkan kepada para prajurit pengawal, bahwa kaulah yang akan membunuhku malam itu.”
“Gila,” prajurit itu membelalakkan matanya.
“Jangan, nanti aku akan berteriak.”
Prajurit itu menjadi ragu-ragu. Jika juru
taman itu benar-benar berteriak, maka para pengawal akan mendengarnya.
Mereka akan berlari-larian datang dan ia kehilangan kesempatan untuk
ingkar.
“Apakah aku harus berteriak.”
Tiba-tiba prajurit itu tersenyum, “Aku
tidak bersungguh-sungguh. Sebenarnya malam itu-pun aku tidak ingin
membunuhmu. Aku hanya ingin membuatmu jera, agar kau tidak menipuku
lagi. Tetapi kau sudah berteriak. Seandainya kau tidak berteriak,
aku-pun tidak akan benar-benar mencekikmu. Aku bukan pembunuh seperti
yang kau sangka.”
“Benar begitu?”
“Ya. Bukanlah aku seorang prajurit.
Prajurit pengawal? Tugasku adalah melindungi setiap orang di dalam
istana ini dan tentu bukan untuk membunuhmu.”
Tatapan Sumekar memancarkan keragu-raguan.
“Kau ragu-ragu,” prajurit itu tertawa
pendek, “tentu kau ragu-ragu. Tetapi tidak apa, pada saatnya kau akan
mengetahui bahwa aku berkata sebenarnya. Aku benar-benar tidak akan
membunuh. Selama aku menjadi seorang prajurit, aku belum pernah
membunuh. Apalagi membunuh seorang juru taman, sedang di peperangan-pun
aku tidak membunuh.”
Sumekar memandang orang itu sejenak. Namun ia-pun ikut tertawa pula. Katanya, “Apa benar yang kau katakan?”
“Tentu, apakah kau masih belum percaya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Baiklah. Aku percaya. Dan sekarang, apakah yang akan kau lakukan disini?”
“Dan kau?” prajurit itu-pun bertanya.
Sumekar mengerutkan keningnya. Katanya,
“Bukankah aku seorang juru taman yang bertugas di halaman ini. Aku
mengurusi semua tanaman bersama beberapa orang kawanku. Tanaman perdu,
pohon-pohon bunga, sampai pohon sawo kecik dan pohon beringin. Itu semua
adalah tugas kami.”
Prajurit itu mengangguk-angguk.
“Nah, aku minta diri. Aku akan bekerja lagi.”
Prajurit itu tersenyum meskipun di dalam
hati ia mengumpat-umpat. Ia tidak melihat kemana Anusapati menghilang.
Tetapi ia hampir pasti, bahwa Anusapati masuk kedalam bangsal Mahisa
Agni.
Sejenak kemudian Sumekar-pun meninggalkan
prajurit itu seorang diri. Namun langkahnya tertegun ketika Sumekar
mendengar prajurit itu berkata, “He, nanti malam aku pergi kepondokmu.
Aku akan membawa makanan yang paling enak buatmu.”
“Benar?” bertanya Sumekar.
“Ya. Apakah kau tinggal di belakang di antara para kamba Istana ini?”
“Ya, aku tinggal di gubug paling ujung.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tunggulah, aku pasti datang.”
“Kau sangat baik. Aku minta maaf bahwa aku pernah berprasangka buruk terhadapmu.”
“Aku nanti malam bertugas. Tetapi lewat tengah malam, aku sudah beristirahat. Aku akan datang saat itu.”
“Lewat tengah malam?” bertanya Sumekar,
“kenapa lewat tengah malam? Tetangga-tetangga kadang-kadang marah jika
mereka terganggu di malam hari. Mereka bekerja sehari penuh, sehingga di
malam hari mereka ingin beristirahat.”
“Apakah kau sangka aku akan berteriak-teriak?”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, “Baiklah jika demikian. Aku akan menunggu.”
“Baiklah, pergilah kepekerjaanmu.”
Sepeninggal Sumekarj prajurit itu
menggeram. Katanya kepada diri sendiri, “Nanti malam aku harus dapat
membunuhnya dengan cara apapun. Tanpa mengeluarkan tenaga aku akan dapat
membunuhnya. Tetapi ia tidak boleh mendapat kesempatan untuk berteriak.
Ia harus terdiam pada serangan yang pertama.”
Sambil menggeretakkan giginya prajurit
itu-pun kemudian berlalu. Ia tidak mendapatkan bahan apa-pun juga
tentang Anusapati. Juru taman itu telah mengganggunya lagi.
Namun ia sama sekali tidak menyangka
bahwa apabila benar-benar ia berusaha untuk membunuh juru taman itu,
maka pada suatu ketika juru taman itu akan kehilangan kesabarannya dan
bahkan juru taman itu akan dapat membunuhnya tanpa mengadakan perlawanan
apapun.
Dalam pada itu, Anusapati-pun telah
sampai ke bangsal pamannya. Dengan ragu-ragu Anusapati menceriterakan,
apa yang sudah terjadi.
“Keris itu sekarang sudah aku simpan baik-baik paman.”
Mahisa Agni-pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Dengan demikian, kau sudah mengurangi kemungkinan
pahit yang dapat terjadi atasmu Anusapati. Keris Empu Gandring adalah
keris yang sangat tajam. Bukan saja tajam ujungnya, tetapi juga tuahnya.
Setiap goresan betapa-pun kecilnya, akan berarti maut.”
“Ya paman,” jawab Anusapati. Lalu,
“tetapi yang sekarang menjadi pikiranku, apakah yang dapat dikatakan
oleh ibunda Permaisuri apabila ayahanda bertanya kepadanya tentang keris
itu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Mungkin Ayahanda Sri Rajasa dapat menjadi sangat marah dan menimpakan kesalahannya kepada ibunda.”
Mahisa Agni merenung sejenak. Namun
kemudian katanya, “Aku kira ia tidak akan berani berbuat begitu terhadap
ibundamu Anusapati. Selain Sri Rajasa harus mengingat asal usul
kekuasaannya yang besar itu sekarang, juga karena ibundamu mempunyai
seorang anak laki-laki yang digelari oleh rakyat Singasari sebagai
Kesatria Putih. Disamping Kesatria Putih, ibundamu adalah adikku, yang
ikut serta dalam perjuangan mempersatukan tanah Singasari. Setiap
prajurit Singasari mengetahuinya dan setiap prajurit Singasari
mengakuinya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia-pun kemudian bertanya, “Jadi apakah tidak mungkin ayahanda
mengambil suatu tindakan mendahului peristiwa-peristiwa yang dapat
terjadi menurut perhitungannya?”
“Maksudmu, Sri Rajasa mengambil tindakan
terhadap ibundamu dan lebih daripada itu, berusaha untuk mendapatkan
keris itu kembali?”
“Demikianlah paman.”
“Memang mungkin Anusapati,” berkata
Mahisa Agni, “namun jika demikian, maka persoalannya akan menjadi
terbuka. Setiap prajurit di halaman istana ini harus memilih. Dan Sri
Rajasa tidak akan berani menghadapi akibat itu pada saat ini.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun ia
masih tetap dibayangi oleh kegelisahan tentang ibunya, “Paman, jika
Ayahanda Sri Rajasa tidak dapat mengendalikan kemarahannya, maka yang
pertama-tama akan mengalami akibatnya adalah ibunda. Apakah aku dapat
berdiam diri jika Ayahanda Sri Rajasa berbuat sesuatu atas ibunda Ken
Dedes meskipun ibunda seorang Permaisuri, yang di dalam persoalan keris
itu pasti akan mempunyai pertimbangan tersendiri?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Katanya, “Tentu kita tidak dapat membiarkan ibundamu menjadi sasaran
kemarahan Sri Rajasa. Tetapi bukankah itu baru merupakan dugaan?
Meskipun demikian Anusapati, aku akan pergi kebangsal Permaisuri. Aku
akan pura-pura menengoknya dan menungguinya. Jika pada saat itu Sri
Rajasa datang, aku akan dapat membantu ibundamu di dalam persoalan keris
yang kau bawa itu.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “tetapi
bukankah keris itu sudah bertahun-tahun ada di tangan ibundamu dan Sri
Rajasa tidak pernah bertanya sesuatu tentang keris itu? Tentu tidak
dengan tiba-tiba saja ia datang hari ini dan mempersoalkannya. Kecuali
jika ada seseorang yang melihat keris itu ditanganmu.”
“Aku kira tidak ada seorang-pun yang melihatnya paman.”
“Jika demikian tentu tidak ada pula yang menyampaikannya kepada Sri Rajasa, dan ia-pun tidak akan berbuat apa-apa hari ini.”
“Mudah-mudahan. Tetapi aku berharap agar
paman dapat menengok ibunda barang sejenak. Mungkin ada orang yang
melihatnya di luar pengetahuanku. Aku akan segera kembali kebangsal.
Jika ayahanda langsung mencari keris itu ke bangsal, maka isteriku akan
mati ketakutan.”
“Dan jika kau ada di bangsalmu?”
“Tentu aku akan mempertahankan keris itu.
Jika ayahanda memaksa apaboleh buat. Seperti kata paman Mahisa Agni,
persoalannya akan menjadi persoalan terbuka. Dan aku akan kehilangan
baktiku kepada Ayahanda Sri Rajasa. Aku berharap bahwa orang-orang
Singasari akan mengetahui bahwa aku berbuat dengan wajar. Bukan berbuat
sebagai seorang anak yang durhaka.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Itulah tekad yang sebenarnya yang tersimpan di dada Anusapati. Tetapi
Mahisa Agni masih berharap bahwa hal itu tidak akan segera terjadi.
Meskipun demikian, Anusapati memang harus berhati-hati menanggapi
keadaan yang berkembang dengan pesatnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja
Mahisa Agni ingin melihat keris itu. Apakah benar keris yang diberikan
kepada Anusapati itu keris Empu Gandring. Mungkin ibunya hanya sekedar
menenangkan hatinya, sementara keris itu masih tetap disimpannya
sendiri.
Karena itu, maka Mahisa Agni-pun kemudian berkata, “Anusapati, apakah aku dapat melihat keris itu.”
“Tentu paman. Apabila paman berkenan melihat keris itu, aku persilahkan setiap saat paman datang ke bangsalku.”
“Aku akan datang sore nanti Anusapati. Setelah aku menengok ibundamu, maka aku akan singgah di bangsalmu.”
“Silahkan paman. Aku akan menerima paman
dengan senang nati, bahkan aku ingin mendapat keterangan dari paman
Mahisa Agni, apakah benar keris itu keris Empu Gandring yang telah
mengambil nyawa ayahanda Akuwu Tunggul Ametung.”
Dada Mahisa Agni berdesir. Ternyata Anusapati-pun mempunyai keragu-raguan meskipun tidak terlampau besar.
Demikianlah maka Anusapati-pun kemudian
minta diri. Sementara Mahisa Agni-pun kemudian berkemas untuk pergi
menghadap Permaisuri.
Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa
Agni memasuki bilik Ken Dedes. Dilihatnya adik angkatnya itu terbaring
di pembaringan berselimut kain panjang yang berwarna kelam. Sementara
dua orang emban duduk disebelah pintu bilik yang tidak tertutup rapat,
“Kau kakang,” desis Ken Dedes.
“Berbaringlah,” berkata Mahisa Agni sambil melangkah masuk.
Ken Dedes-pun kemudian menyuruh kedua embannya itu meninggalkannya.
“Rasa-rasanya aku benar-benar menjadi sakit kakang,” desis Permaisuri itu, “kepalaku menjadi pening dan badanku menjadi dingin.”
Mahisa Agni-pun kemudian duduk di atas
sebuah dingklik kayu yang dialasi dengan kulit domba yang lunak. Sambil
memandang wajah Ken Dedes yang buram Mahisa Agni berkata, “Tuan Puteri
terlampau memikirkan keadaan yang berkembang dengan cepatnya saat ini.
Sebaiknya tuan Puteri mencoba melupakannya.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi
ia berkata dengan nada yang dalam dan perlahan-lahan seakan-akan hanya
ingin didengarnya sendiri, “Tetapi bagaimana aku akan melupakannya. Baru
saja Anusapati datang kepadaku dan minta keris Empu Gandring itu. Aku
sudah mencoba untuk mengingkarinya, bahwa akulah yang membawa keris itu.
Tetapi aku tidak berhasil.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Mungkin itu bukan kesalahan Pangeran Pati, tetapi hambalah
yang bersalah. Namun bukan maksud hamba untuk mendorong Pangeran Pati
berbuat sesuatu. Tetapi sebenarnyalah bahwa hamba ingin pengamanan yang
lebih jauh lagi, karena keris itu akan dapat menjadi bahaya yang
sebenarnya bagi Pangeran Pati.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedang Mahisa Agni berkata selanjutnya, “Tetapi hamba masih belum
memikirkan bahwa hal itu memang dapat menimbulkan kepedihan pada tuan
Puteri. Kegelisahan dan mungkin juga kecemasan, jika kemudian tuanku Sri
Rajasa datang untuk mengambil keris itu.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
“Itulah yang ingin hamba tanyakan kepada
tuan Puteri apakah hal itu yang membuat tuan Puteri gelisah dan bahkan
merasa benar-benar menjadi sakit.”
Ken Dedes menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Bukan kakang. Aku sudah pasrah kepada Yang Maha Agung. Aku
akan mengatakan bahwa keris itu hilang. Aku tidak tahu lagi dimana aku
menyimpannya karena sudah bertahun-tahun tidak aku hiraukan lagi.”
“Apakah tuanku Sri Rajasa akan mempercayainya?”
“Mungkin tidak. Tetapi aku bertekad untuk tidak mengatakan yang sebenarnya apa-pun yang akan terjadi atasku.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Pada suatu saat, Ken Dedes memang sampai pada suatu pilihan, bahwa ia
harus menyelamatkan anaknya.
“Apakah tuan Puteri benar-benar sudah mengambil keputusan demikian?”
“Ya. Aku sudah mengambil keputusan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Tuan Puteri. Hamba rasa seandainya tuan Puteri berkata
demikian, Sri Rajasa tidak akan dapat memaksa. Selama hamba berada di
Singasari, sudah tentu hamba akan ikut bertanggung jawab. Jika pada
suatu saat Sri Rajasa mengambil sikap yang keras, maka apaboleh buat.
Tentu hamba tidak akan membiarkan tuan Puteri mengalami sesuatu akibat
keris itu.”
Tiba-tiba saja Ken Dedes bangkit duduk dibibir pembaringan. “Apa yang akan kau lakukan kakang?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Hamba tidak ingin berbuat apa-apa tuan Puteri. Tetapi adalah
kuwajiban hamba melindungi tuan Puteri, karena hamba adalah saudara tua
tuan Puteri. Memang yang paling berhak melindungi tuan Puteri adalah
suami tuan Puteri, di dalam hal ini adalah tuanku Sri Rajasa. Tetapi
jika bahaya itu datang justru dari Sri Rajasa, maka aku masih berhak
untuk berbuat sesuatu jika tuan Puteri menghendakinya.”
Ken Dedes memandang Mahisa Agni sejenak.
Namun kemudian wajahnya segera tertunduk. Terbayang di dalam rongga
matanya Mahisa Agni itu di masa mudanya. Ketika ia hampir saja menjadi
korban nafsu Kuda Sempana yang ingin melarikannya dari Panawijen dan
mengambilnya langsung dari bendungan ketika ia sedang mencuci. Mahisa
Agni yang tiba-tiba muncul dari balik tanggul telah menyelamatkannya,
setelah Wiraprana tidak berdaya berbuat sesuatu atas Kuda Sempana, yang
saat itu menjadi prajurit Tumapel.
Kemudian dengan penuh tanggung jawab,
Mahisa Agni selalu melindunginya. Bahkan kemudian ia mendengar pula,
bahwa Mahisa Agni pernah berperang tanding melawan Mahendra dengan
menyebut dirinya sebagai Wiraprana, sehingga ia berhasil mengalahkannya.
Dan pada saat ia diambil dengan kekerasan dari Panawijen, Mahisa Agni
hampir saja terbunuh oleh sebuah keris justru ia berusaha
mempertahankannya.
Dan kini, ketika umurnya telah bertambah
dengan puluhan tahun, Mahisa Agni masih tetap melindunginya sebagai
seorang kakak yang bertanggung jawab, meskipun sebenarnya ia hanyalah
seorang saudara angkat.
Namun Ken Dedes tidak dapat melihat
tembus kepusat jantung Mahisa Agni. Betapa hati anak muda yang bernama
Mahisa Agni itu terguncang ketika ia mendengar dengan telinganya
sendiri, bahwa Ken Dedes, gadis padepokan Panawijen itu mencintai
seorang anak muda bernama Wiraprana. Pada saat itu Mahisa Agni hampir
menjadi gila karenanya, dan bahkan ia serdirilah yang hampir saja
membinasakan Wiraprana karena hatinya yang gelap.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Masa
muda yang penuh dengan khayalan-khayalan yang manis itu kini telah
lalu. Panawijen yang hijau subur itu tinggallah kenangan, karena daerah
itu kini menjadi kering kerontang. Panawijen telah menjadi kering karena
kutuk ayahnya yang tidak dapat menahan luapan kemarahan dan memecahkan
bendungan yang sanggup mengairi tanah persawahan. Meskipun kini ada
padukuhan baru yang hijau di pinggir padang Karautan, namun padukuhan
yang baru ini tidak dapat memberikan kenangan semanis Panawijen yang
lama, Panawijen tempat ia dibesarkan sampai saatnya ia menjadi seorang
gadis remaja.
Dalam pada itu selagi Ken Dedes tenggelam
di dalam dunia kenangan, Mahisa Agni-pun duduk sambil menundukkan
kepalanya pula. Dalam keheningan itu-pun ia telah dibayangi oleh
berbagai persoalan. Tetapi berbeda dengan Ken Dedes yang mengenangkan
masa lalunya, Mahisa Agni sedang mereka-reka apakah yang dapat dilakukan
seandainya Sri Rajasa tiba-tiba saja mengambil sikap yang keras dan
terbuka.
“Mungkin Sri Rajasa telah mempersiapkan
diri,” berkata Mahisa Agni didalam hatinya, “lewat beberapa orang
Senapati yang dapat dipengaruhinya untuk menyingkirkan Anusapati, ia
sudah menyiapkan sepasukan prajurit untuk bertindak dengan cepat didalam
istana ini. Jika persoalannya telah dapat dikuasainya di dalam istana,
maka ia akan dapat menyebarkan keterangan sekehendak hatinya, dan
memberikan kepercayaan kepada prajurit yang tersebar di seluruh
Singasari. Bahkan para Panglima yang ada dipusat pemerintahan ini-pun
akan dapat kelabuinya. Sri Rajasa dapat saja menuduh Anusapati melawan
kehendaknya dan tidak lagi tunduk kepadanya. Dan ia masih dapat membuat
alasan-alasan yang bagaimana-pun juga.”
Namun dalam pada itu, selagi Ken Dedes
mengenangkan masa-masa remajanya yang indah, dan yang menjadi semakin
indah didalam bayangan masa lampau, dan selagi Mahisa Agni sibuk dengan
perhitungan yang mendebarkan, Sri Rajasa sendiri sedang duduk merenung.
Semua orang yang mendekatinya diusirnya, seakan-akan ia ingin duduk
dalam kesepian. Dalam dunianya yang terasing.
Seperti Ken Dedes dan Mahisa Agni, maka
yang bermain didalam diri Sri Rajasa-pun adalah angan-angannya.
Angan-angan yang bergeser dari waktu kewaktu. Dari masa lampau kemasa
kini dan kemasa yang mendatang.
Dengan nafas yang berat, Sri Rajasa duduk
bersandar tiang di serambi belakang bangsalnya yang sepi. Dilihatnya
dedaunan yang bergerak ditiup angin. Rasa-rasanya angin yang bertiup
perlahan-lahan itu telah mengusap keningnya pula, seperti usapan tangan
yang lembut.
Ken Arok, yang bergelar Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi itu belum pernah merasakan kelembutan tangan ibunya di
masa kanak-anak. Sejak bayi ia sudah tersisih dari keluarganya dan hidup
dalam lingkungan yang tidak terpuji.
Dalam suatu dunia yang gelap. Ia hidup
dari rumah seorang pencuri, berpindah ke rumah seorang penjudi dan
perampok. Kemudian hidup dipandang Karautan dan menghantui sesamanya.
Sehingga pada suatu saat ia terlempar kedalam istana yang megah ini.
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu
menarik nafas dalam-dalam. Adalah jauh berbeda dengan angan-angan Mahisa
Agni dan Anusapati, bahkan Ken Dedes. Pada saat terakhir, Sri Rajasa
seakan-akan mulai mampu melihat kedalam dirinya sendiri. Seakan-akan ia
dihadapkan pada sebuah bayangan yang jelas tentang dirinya dan segala
perbuatannya.
“Sudah cukup,” tiba-tiba saja ia
berdesah, “aku sudah cukup lama menerima kurnia Yang Maha Agung. Mungkin
aku memang kekasih dewa-dewa. Tetapi aku tidak dapat ingkar melihat
kenyataan pada diri Ken Dedes. Ia adalah perempuan pinunjul yang pantas
melahirkan seorang besar di tanah ini.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang ke dalam semak-semak yang
rimbun, ia tidak melihat lagi warna bunga-bungaan yang beraneka. Tetapi
yang membayang adalah semak-semak di padang Karautan. Semak yang bahkan
kadang-kadang berduri. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukan.
Apabila ia ingin bersembunyi, maka ia-pun menyusup saja kedalamnya tanpa
menghiraukan kulitnya yang berjalur-jalur merah tersangkut duri.
“Betapa hidup ini bagaikan mimpi di
malam-malam yang panjang dan terputus-putus,” berkata Ken Arok didalam
hatinya. “Seperti hidupnya sendiri bagaikan mimpi yang patah-patah
hampir tidak dapat dipercaya. Sebagai seorang anak liar di padang
Karautan, kini ia cepat duduk dengan megahnya di atas tahta Singasari.”
“Aku telah menyia-nyiakan kesempatan yang
ada padaku. Didalam kamukten ini aku tidak berusaha membersihkan
diriku, tetapi aku justru lebih banyak menodai diriku sendiri dengan
berbagai macam kesenangan dan cita-cita yang menyimpang dari keinginan
Yang Maha Agung,” desisnya ketika terbayang di wajahnya seorang gadis
yang ditemuinya dihutan perburuan dan berhasil menjebaknya. Seperti
kehidupan liar yang ditempuhnya dimasa mudanya, dengan memperkosa
gadis-gadis, maka ia-pun terjebak dalam kehidupan yang liar bukan atas
kehendaknya. Maka ia-pun terjebak untuk mengambil Ken Umang menjadi
isterinya, sehingga lahirlah anak demi anak. Namun kini ia melihat,
bahwa ia tidak dapat lagi mengelakkan pengaruh perempuan itu yang justru
semakin lama terasa semakin kuat.
Ken Arok bergeser setapak. Angan-angannya
menjadi semakin tajam menyoroti dirinya sendiri. Dan ia-pun melihat
dirinya sendiri kini telah berdiri di tengah-tengah arus sungai yang
deras. Berhenti atau terus, ia sudah terlanjur basah. “Jika aku harus
berjalan terus, aku tidak lagi berbuat karena suatu keyakinan.” ia
berkata kepada diri sendiri, “yang aku lakukan hanyalah karena semuanya
sudah terlanjur. Dan didalam saat yang paling sulit, tentu aku tidak
akan dapat melepaskan Tohjaya yang tamak itu.”
Namun Ken Arok tidak juga dapat
menyalahkan Tohjaya. Ia telah ikut membentuk Tohjaya menjadi seorang
pemimpin. Seorang yang bercita-cita terlampau tinggi tanpa mengingat
alas yang diinjaknya. Jika perlu, ia akan berdiri diatas alas mayat
Anusapati dan siapa-pun juga untuk mencapai singgasana Singasari.
Bayangan-angan itulah agaknya yang selalu
menghantui Ken Arok. Bayangan-angan yang saling berbenturan antara
warna-warna yang bertentangan di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, selagi Ken Arok itu
merenung, terdengar desir perlahan-lahan mendekatinya. Ketika ia
berpaling dilihatnya dikejauhan, Tohjaya berdiri termangu-mangu. Agaknya
ia sudah mendengar dari para prajurit yang bertugas, bahwa Sri Rajasa
sedang tidak mau dikunjungi oleh siapapun. Tetapi agaknya Tohjaya masih
ingin juga mencobanya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Justru pergolakan di dalam hatinya itulah yang telah mendorongnya untuk
memanggil Tohjaya menghadap, karena ia tidak mau dengan tiba-tiba saja
bersikap lain.
Dengan dada yang berdebar-debar Tohjaya
mendekati Ken Arok. Beberapa langkah daripadanya ia berhenti
termangu-mangu. Baru ketika Ken Arok mengangguk, ia maju lagi beberapa
langkah.
“Kenapa kau ragu-ragu?” bertanya Ken Arok.
“Ampun ayahanda,” sahut Tohjaya, “para prajurit mengatakan bahwa ayahanda sedang ingin duduk sendiri.”
“Ya, aku tidak ingin diganggu oleh
masalah-masalah yang membuat kepalaku bertambah pening. Aku ingin
beristirahat barang sejenak, karena badanku-pun terasa kurang enak.”
“Ampun ayahanda. Hamba tidak ingin membicarakan sesuatu. Hamba hanya ingin datang menghadap.”
Sri Rajasa mengangguk-angguk. “Baiklah.
Jika demikian, duduklah sebaik-baiknya. Aku agak segan berbicara tentang
persoalan-persoalan yang dapat memberati pikiranku hari ini.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun
ia-pun berkata, “Ampun ayahanda. Hamba memang tidak ingin mempersoalkan
sesuatu. Tetapi hamba hanya ingin sekedar bertanya.”
“Apa?”
“Apakah sakit ibunda Permaisuri masih cukup parah ayahanda?”
“O,” Ken Arok merenung sejenak. Lalu, “aku tidak tahu. Mudah-mudahan sakitnya sudah sembuh sama sekali.”
“Sebenarnya ibunda Ken Umang ingin
menghadap ibunda Permaisuri untuk sekedar menengoknya. Tetapi ibunda Ken
Umang agak merasa takut kalau-kalau ibunda Permaisuri tidak
menerimanya.”
“Kenapa tidak menerima?”
“Mungkin karena ibunda Permaisuri ingin
beristirahat, tetapi mungkin juga karena ibunda tidak ingin bertemu dan
berbicara didalam keadaan itu dengan ibunda Ken Umang.”
“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu,” sahut Sri Rajasa.
“Itulah sebabnya maka ibunda mohon pertimbangan ayahanda.”
Sri Rajasa tidak segera menjawab.
Sebenarnya ia tidak senang mendengar pertanyaan itu. Ia sedang
menenteramkan hatinya dan menerawang hidupnya sendiri. Namun demikian ia
tidak sampai hati untuk menolak pertanyaan itu.
Karena itu, maka Sri Rajasa kemudian menjawab, meskipun seakan-akan asal saja terlontar dari mulutnya, “jangan pergi sekarang.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi
menilik sikap Sri Rajasa, Tohjaya-pun sadar, bahwa ayahandanya itu
sedang dirisaukan oleh sesuatu yang tidak dimengertinya.
“Mungkin Kakanda Anusapati,” berkata
Tohjaya di dalam hatinya. Baginya setiap persoalan yang tidak
menyenangkan bagi ayahandanya, adalah persoalan yang ditumbuhkan oleh
Anusapati.
Namun jawaban itu sebenarnya bagi Sri
Rajasa adalah jawaban yang dapat diucapkannya waktu itu. Dengan demikian
maka Tohjaya pasti tidak akan bertanya apa-pun lagi.
Tetapi ternyata bahwa Tohjaya masih tetap
tidak beranjak. Bahkan sejengkal ia bergerak maju sambil bertanya,
“Ayahanda. Tampaknya ayahanda sedang memikirkan sesuatu. Jika berkenan
dihati ayahanda, apakah hamba dapat mengetahuinya dan apakah hamba dapat
ikut membantu memecahkannya?”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Tetapi
ia-pun kemudian mencoba tersenyum dan menjawab, “Tidak Tohjaya. Tidak
ada apa-apa yang sedang aku pikirkan. Aku hanya ingin beristisahat
karena aku terlampau lelah.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dihatinya ia masih saja diganggu oleh sikap dan kerut-merut di wajah ayahandanya.
“Tohjaya,” berkata Sri Rajasa,
“tinggalkan aku seorang diri. Sebentar lagi aku akan beristirahat
dipembaringan. Rasa-rasanya badanku terlampau letih beberapa hari ini.”
Tohjaya memandang ayahanda dengan heran.
Biasanya ayahnya tidak pernah tampak begitu letih dan lesu. Sri Rajasa
adalah seorang yang penuh gairah menanggapi kehidupan ini. Wajahnya
selalu memancarkan luapan perasaan dan matanya bagaikan menyala. Sri
Rajasa tidak pernah menjadi tampak terlalu murung dan merasa seperti
saat itu.
“Ayahanda,” tiba-tiba saja Tohjaya bertanya, “apakah ayahanda merasa bahwa badan ayahanda tidak enak?”
“Tidak Tohjaya, aku tidak apa-apa. Aku
hanya letih. Akhir-akhir ini aku menghadapi banyak persoalan yang
menyangkut kelangsungan hidup Singasari.”
“Tetapi ayahanda tidak memberitahukan
kepada hamba. Jika hamba mengetahuinya, maka biarlah hamba ikut
memikirkannya. Selama ini ayahanda selalu mempersoalkan keadaan
Singasari dengan hamba. Dan ayahanda menganggap bahwa pikiran hamba baik
juga dipertimbangkan oleh ayahanda.”
“Ya. Aku memang memerlukan bantuan
pikiranmu. Aku-pun akan mendengarkan pendapatmu. Tetapi tidak sekarang.
Aku ingin beristirahat. Aku ingin tidur senyenyak-nyenyaknya.”
Tohjaya menjadi semakin heran. Tetapi ia
tidak mau menimbulkan kegelisahan yang semakin mengganggu ayahandanya,
sehingga karena itu ia tidak mendesaknya lagi. Bahkan ia mencoba untuk
mengalihkan pembicaraan. Katanya, “Ayahanda. Mungkin ayahanda memang
terlampau lelah. Sudah lama ayahanda tidak pergi berburu.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak menyahut.
“Apakah ayahanda tidak ingin berburu? Dengan demikian ayahanda dapat melupakan kelelahan yang agaknya mulai mengganggu.”
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.
“Jika ayahanda berkenan, hamba akan ikut serta berburu untuk mendapatkan kesegaran baru.”
Sri Rajasa memandang Tohjaya sejenak. Lalu katanya, “Dalam keadaan serupa ini, aku tidak dapat meninggalkan Istana.”
“Bukankah ada para Panglima yang dapat ayahanda serahi pemerintahan?”
Sri Rajasa menggelengkan kepalanya. Namun
tanpa disangkanya Tohjaya berkata, “O, apakah ayahanda berpikir tentang
Pamanda Mahisa Agni yang kini sedang berada di istana ini. Ayahanda
dapat mengusirnya. Biarlah ia segera pergi dan kembali ke Kediri.”
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Dan
karena itu Tohjaya berkaca terus, “Ayahanda, kehadiran Pamanda Mahisa
Agni memang memberikan pengaruh yang buruk di istana ini. Kakanda
Anusapati selalu saja hilir mudik dari bangsalnya sendiri kebangsal
ibunda Permaisuri, kemudian ke bangsal Pamanda Mahisa Agni. Bukan hanya
sekali dua kali sehari, tetapi berulang kali. Kemudian Pamanda Mahisa
Agni pergi mengunjunginya dan kemudian pergi ke bangsal ibunda
Permaisuri.”
“Ken Dedes sedang sakit Tohjaya. Adalah
wajar sekali jika pamanmu Mahisa Agni menungguinya. Ia adalah saudara
tua ibundamu Permaisuri. Kegelisahan Anusapati-pun dapat dimengerti.
Bukankah ibunya sedang sakit. Mungkin ia memang diminta oleh ibundanya
untuk menghubungi pamannya. Tidak hanya sekali, mungkin sekali dua kali
sehari.”
“Tetapi tentu bukan karena sakit ibunda Permaisuri saja ayahanda.”
“Jangan berprasangka terlalu jauh Tohjaya.”
“Tetapi sikap Kakanda Anusapati sudah
menjadi semakin memuakkan. Bukankah kita sudah berkeputusan untuk
mengusirnya dari kedudukannya dan dari istana ini? Ayahanda, jika
ayahanda tidak cepat bertindak di dalam keadaan ini, maka ia akan sempat
memperbaiki kedudukannya.”
Dada Sri Rajasa berdesir. Ia memang
pernah mengatakan, bahwa sebenarnya Anusapati tidak diperlukannya lagi.
Tetapi ketika ia mendengarnya hal itu sekali lagi, rasa-rasanya sesuatu
bergetar di hatinya. Sekilas terbayang cahaya yang silau pada diri Ken
Dedes. Dan Ken Arok pernah mendengar bahwa cahaya yang demikian adalah
pertanda bahwa orang itu akan meneteskan keturunan agung.
Tohjaya memandang wajah ayahnya yang
berubah-rubah itu. Kadang-kadang tegang, namun kadang-kadang seolah-olah
Sri Rajasa sudah pasrah pada keadaan yang terjadi. Bahkan sekali-sekali
ia memejamkan matanya dan melihat di dalam kekelaman, dunia yang tidak
dapat dimengertinya membentang dihadapannya.
“Ayahanda,” Tohjaya menjadi cemas.
“Aku memang lelah sekali Tohjaya,” jawab Sri Rajasa, “aku ingin beristirahat sejenak. Apakah keperluanmu sudah selesai?”
“Hamba tidak mempunyai keperluan yang
khusus ayahanda. Hamba hanya ingin menghadap ayahanda. Barangkali ada
titah ayahanda yang harus hamba lakukan.” Tohjaya berhenti sejenak.
Lalu, “atau, jatuhkanlah perintah atas namba ayahanda. Hamba akan
melakukannya. Dengan, beberapa orang prajurit, hamba dapat menyelesaikan
tugas ini.”
“Maksudmu membunuh Anusapati?”
Dada Tohjaya berdesir. Tetapi ia mengangguk sambil menyahut, “Hamba ayahanda.”
“Ah, kau. Apakah kau masih saja berusaha
menyembunyikan kenyataan. Beberapa kali usaha itu dilakukan, tetapi
selalu gagal. Kiai Kisi bahkan telah terbunuh. Tidak mustahil bahwa
sebenarnya Anusapati telah menciun rencana itu.”
“Aku memang pernah mendengar tentang Kiai Kisi meskipun tidak begitu jelas. Tetapi itu tentu karena kebodohannya.”
“Kemudian sepasukan prajurit yang
berusaha membinasakan Kesatria Putih. Namun justru senjata
prajurit-prajurit yang menyamar itu tertumpuk dipintu gerbang pada pagi
harinya. Apakah kau masih mempunyai rencana lain?”
“Ayahanda, hamba tidak ingin
berpura-pura. Jika hamba harus membunuhnya, maka hamba akan datang
dengan dada tengadah dan membunuhnya. Melawan atau tidak melawan.”
“Kau akan menjadikan persoalan ini terbuka?”
Tohjaya ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk. “Ya. Apaboleh buat.”
“Kau memang bodoh sekali Tohjaya.”
Tohjaya terkejut mendengar kata-kata yang
keras itu. Hampir tidak pernah Sri Rajasa mengatakan demikian tentang
dirinya. Karena itu untuk beberapa saat lamanya ia tidak dapat berkata
apa-pun juga.
“Tohjaya,” berkata Sri Rajasa, “saat ini
Mahisa Agni berada di Singasari. Ia dapat berbuat banyak apabila kita
terlibat dalam benturan terbuka.”
“Tentu tidak ayahanda. Jika ayahanda
menjatuhkan perintah kepada para Panglima untuk menangkapnya. Betapa-pun
kuatnya Pamanda Mahisa Agni, namun para Panglima adalah bukan orang
kebanyakan pula.”
“Tohjaya,” tiba-tiba suara Sri Rajasa
merendah, “tinggalkan aku seorang diri. Aku lelah sekali. Aku sedang
segan sekali memikirkan apa-pun juga, termasuk Anusapati dan Mahisa
Agni. Bahkan tentang Singasari sekalipun.”
Tohjaya menjadi semakin termangu-mangu. Ia tidak dapat mengerti sikap ayahandanya yang belum pernah dijumpainya itu.
Namun kesimpulan dihatinya adalah, bahwa ayahandanya memang benar-benar sedang terlalu lelah dan benar-benar ingin beristirahat.
Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata,
“Sudahlah ayahanda. Agaknya ayahanda memang benar-benar harus
beristirahat. Perkenankan hamba mohon diri.”
Sri Rajasa mengangguk. “Ya. Aku memang akan beristirahat sama sekali tanpa persoalan apapun.”
“Baiklah ayahanda. Dan hamba akan
mengatakannya kepada ibunda Ken Umang, bahwa untuk saat ini ibunda Ken
Umang tidak sebaiknya pergi ke bangsal ibunda Permaisuri.”
“Ya,” jawab Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu agar Tohjaya tidak mempersoalkannya lagi.
Tohjaya-pun segera minta diri. Di halaman
bangsal Sri Rajasa ia berhenti sejenak. Dilihatnya seorang prajurit
berdiri termangu-mangu di kejauhan.
“He,” katanya kepada pengawalnya, “apakah prajurit itu ingin menghadap aku?”
“Hamba akan bertanya kepadanya tuanku,” jawab prajurit itu.
Sejenak kemudian seorang pengawal Tohjaya
mendekati prajurit yang termangu-mangu itu. Ketika ia bertanya
kepadanya, maka prajurit itu menjawab, “Aku akan menyampaikan sesuatu
kepada tuanku Tohjaya.”
“Marilah. Tuanku Tohjaya melihat kau termangu-mangu. Karena itu aku diperintahkannya bertanya kepadamu.”
Prajurit yang termangu-mangu itu-pun
kemudian dibawa menghadap. Dengan dahi yang berkerut merut Tohjaya
bertanya, “Apa yang akan kau katakan?”
“Ampun tuanku,” berkata prajurit itu dengan ragu-ragu.
“Jangan ragu-ragu. Katakan yang ingin kau katakan. Bahkan seandainya kau mempunyai permintaan sekalipun.”
“Hamba tuanku. Memang ada yang ingin hamba katakan.” ia berhenti sejenak. Lalu, “apakah hamba diperkenankan mengucapkannya.”
“Katakan. Mungkin tentang kuda atau tentang senjata atau kau prajurit yang sering ikut bersamaku berburu?”
“Ya tuanku. Hamba kadang-kadang mengawal tuanku di dalam dan di luar istana.”
“Aku tahu.”
“Hamba, tuanku, sebenarnyalah hamba ingin mengatakan sesuatu tentang Putera Mahkota.”
“He?” Tohjaya terbelalak.
“Tentang kakanda tuanku itu. Kesibukannya luar biasa setelah Pamanda Mahisa Agni ada di halaman istana.”
Tohjaya tidak menyahut. Dibiarkannya
orang itu berbicara terus. Katanya, “Apakah tuanku tidak menaruh
perhatian terhadap kesibukan kakanda tuanku itu?”
Tohjaya menganguk dan berkata, “Tentu, tentu.”
“Nah, hamba menyaksikan sendiri, tuanku
Pangeran Pati itu selalu mondar mandir dari bangsal tuan puteri Ken
Dedes ke bangsal pamanda tuanku Mahisa Agni.”
“Aku sudah tahu. Tetapi apa yang akan kau katakan selanjutnya?”
“O,” orang itu menjadi kecewa, “jadi tuanku sudah mengetahuinya.”
“Aku sudah tahu. Sekarang katakan yang ingin kau katakan tentang Kakanda Anusapati,” geram Tohjaya.
“Itulah yang akan hamba katakan tuanku.”
“Hanya itu?”
“Hamba tuanku.”
Wajah Tohjaya menegang sesaat. Namun
kemudian sambil mendorong orang itu dengan kakinya sehingga orang itu
terjatuh berguling di tanah.
“Pergi kau penjilat bodoh,” bentak Tohjaya yang hatinya memang sedang gelap, “aku tidak perlu keteranganmu itu.”
Orang itu dengan takutnya bangkit dan
duduk di tanah. Tetapi ia sama sekali tidak berani memandang lagi wajah
Tohjaya yang sedang marah.”
Tohjaya-pun kemudian tidak
menghiraukannya lagi. Dengan tergesa-gesa ia-pun pergi meninggalkan
prajurit yang duduk dengan kepala tunduk itu diiringi oleh para
pengawalnya.
Ketika Tohjaya sudah tidak tampak lagi,
maka orang tu-pun segera berdiri sambil mengumpat perlahan-lahan. Tetapi
ia tidak berani menunjukkan kemarahannya itu kepada orang lain. Sekali
ia berpaling memandang para prajurit yang bertugas di bangsal Sri
Rajasa. Ketika ia melihat prajurit-prajurit itu tersenyum, sekali lagi
ia mengumpat.
Dengan tergesa-gesa ia-pun kemudian
meninggalkan halaman bangsal itu. Mulutnya tidak hentinya mengumpat,
meskipun tidak ada seorang-pun yang mendengarnya.
Prajurit itu tertegun ketika ia mendengar
suara seseorang yang tertawa dibalik gerumbul. Ketika ia berpaling
dilihatnya seorang juru taman yang berjongkok sambil menyiangi sebatang
pohon. Namun prajurit itu tahu pasti bahwa orang itulah yang sedang
tertawa.
“Kenapa kau tertawa he?” prajurit itu membentak.
Juru taman itu berpaling sambil menjawab, “Aku tidak bermaksud tertawa. Tetapi aku tidak dapat menahannya.”
“Gila. Aku bunuh kau,” orang itu membelalakkan matanya, “kau juru taman yang gila itu. Seharusnya kau benar-benar sudah mati.”
Wajah juru taman itu menjadi pucat.
“Jangan menyesal. Aku memang akan membunuhmu.”
“Jangan.”
“Apa peduliku. Aku akan mencekikmu.”
“Aku akan berteriak.”
“Persetan.”
“Prajurit-prajurit itu akan datang
kemari. Dan aku akan berceritera bahwa pada malam hari itu, kau pulalah
yang akan membunuhku. Sekarang kau berusaha memfitnah Pangeran Pati
dengan mengatakan ceritera-ceritera bohong kepada tuanku Tohjaya. Kau
dapat dituduh mengadu domba.”
“Gila, gila kau.”
“Nah, aku akan berteriak sekarang. Matamu menjadi liar. Kau benar-benar akan membunuhku.”
Mata prajurit itu memang menjadi liar. Dipandanginya prajurit-prajurit yang bertugas di depan bangsal. Belum begitu jauh.
Jika juru taman itu berteriak, di antara mereka pasti akan datang dan mengusut persoalannya.
“Aku akan berteriak,” juru taman itu mengulang.
“Jangan, jangan.”
“Apa peduliku. Aku akan berteriak.”
“Jangan, jangan. Aku tidak benar-benar
akan membunuhmu. Bukankah aku sudah mengatakan. Aku akan berkunjung ke
rumahmu membawa oleh-oleh buat anak binimu.”
“Aku tidak mempunyai anak bini. Aku hidup sendiri.”
“O, jika demikian aku akan membawa oleh-oleh buatmu.”
“Bawalah uang sebanyak-banyaknya. Aku lebih senang kau membawa uang.”
Prajurit itu membelalakkan matanya. Tetapi ia-pun segera memaksa dirinya untuk tersenyum.
“Baik, baik. Aku akan membawa uang
buatmu. Aku benar-benar akan datang malam nanti. O, malam nanti adalah
malam yang baik untuk berkunjung ke rumahmu.”
“Terima kasih. Aku akan menunggumu.”
Prajurit itu tidak menyahut lagi. Sambil
mengkibas-kibaskan pakaiannya yang kotor oleh debu maka ia-pun kemudian
meninggalkan juru taman itu sendiri.
Sepeninggal prajurit itu, Sumekar-pun
menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Tentu bukan ia
sendiri penjilat di dalam istana ini. Tentu masih banyak orang-orang
yang berusaha mengambil keuntungan dari setiap perkembangan persoalan.
Jika penjilat-penjilat semacam itu masih juga mendapat kesempatan, maka
istana ini pasti akan segera terbakar.”
Sejenak Sumekar berdiri termangu-mangu.
Kemudian ia-pun meninggalkan pohon yang sedang disianginya. Ia tiba-tiba
saja ingin berbicara dengan Anusapati atau Mahisa Agni.
“Mungkin ada perkembangan yang belum aku mengerti,” berkata Sumekar didalam hati.
Sumekar-pun kemudian meninggalkan tempat
itu. Sambil membawa alat-alat seorang juru taman, maka ia-pun pergi ke
taman di halaman bangsal Mahisa Agni. Ternyata seorang juru taman yang
lain sedang membersihkau daun-daun kuning yang berguguran karena angin
yang agak kencang.
“He, dimana kau?” bertanya juru taman itu kepada Sumekar.
“Aku sedang menyiangi pohon ceplok piring itu.”
“Halaman ini menjadi sangat kotor. Bukankah ini tugasmu?”
“Ya,” jawab Sumekar, “baiklah, aku selesaikan.”
Juru taman itu-pun kemudian menyerahkan
sapu lidinya kepada Sumekar sambil berkata, “Pekerjaanku sendiri sudah
selesai. Jika masih sibuk biarlah aku selesaikan pekerjaan ini.”
“Kenapa kau serahkan sapu ini kepadaku?”
Juru taman itu tersenyum. Katanya, “Jadi bagaimana? Apakah aku harus melanjutkannya.”
“Tidak,” jawab Sumekar, “aku akan
membersihkannya. Jika bukan aku, tentu tuanku Mahisa Agni akan marah
karena tidak akan dapat sebersih bekas tanganku.”
“Macam kau. Coba biarlah aku yang
menyelesaikan. Nanti, kita tunggu, apakah tuanku Mahisa Agni akan marah
atau tidak. Kita bertaruh. Rangsum makan kita tiga hari.”
Sumekar merenung sejenak, lalu menggelengkan kepalanya, “Tidak mau. Aku tidak tahan untuk tidak makan tiga hari.”
“Nah, jika demikian jangan sombong.”
“Baik. Aku tidak akan sombong.”
Juru taman itu memandang Sumekar dengan
kerut-merut dikeningnya. Lalu ia-pun meninggalkannya sambil menggerutu,
“Kau sudah mulai kambuh lagi.”
Sumekar tertawa. Dipandanginya saja
kawannya itu sampai hilang dibalik gerumbul-gerumbul pohon bunga di
sudut halaman, ia memang menghendaki agar orang itu pergi meninggalkan
bangsal itu.
Sambil membersihkan halaman Sumekar
mendekati dua orang prajurit yang bertugas di regol. Sejenak ia
termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun bertanya, “Ki Sanak, apakah tuanku
Mahisa Agni ada didalam bangsal?”
“Kenapa?” bertanya prajurit itu.
“Tidak apa-apa. Aku hanya akan
membersihkan pohon-pohon bunga sampai ke longkangan samping. Jika tuanku
Mahisa Agni sedang beristirahat, aku takut, kalau aku mengejutkannya.
Tuanku Mahisa Agni menurut pendengaranku adalah seorang Senapati yang
keras hati. Jika sekali aku dipukulnya, maka kepalaku akan dapat lepas
karenanya.”
“Tidak,” jawab prajurit itu, “tuanku Mahisa Agni sedang keluar.”
“Kemana?”
“Aku tidak tahu. Tuanku Mahisa Agni tidak
pernah membawa seorang pengawalpun. Bukan saja di halaman istana,
tetapi juga jika ia pergi keluar. Mirip sekali dengan tuanku Pangeran
Pati.”
Sumekar menganggukakan kepalanya. Lalu
katanya, “Jika demikian, mumpung tuanku Senapati itu tidak ada, aku akan
menyiangi tanaman dilongkangan. Selama tuanku Mahisa Agni ada di
Singasari, aku hampir tidak pernah mendapat kesempatan melakukannya,
sehingga pohon bunga-bunga di longkangan itu menjadi kurus dan layu.”
“ Lakukanlah.”
Sumekar-pun kemudian pergi kelongkangan
samping. Dilihatnya pintu butulan bangsal itu tertutup. Dan ia-pun sama
sekali tidak mendekati pintu yang tertutup itu.
Demikianlah untuk beberapa saat lamanya
Sumekar berada dilongkangan. Ia memang menunggu sampai Mahisa Agni
datang. Ia ingin mendengar sesuatu tentang perkembangan terakhir dari
hubungan yang kalut antara Sri Rajasa, Permaisurinya dan Putera Mahkota.
Ternyata dalam pada itu, Mahisa Agni
masih duduk merenung di bangsal Permaisuri. Tetapi tidak lama kemudian
berkata, “Sudahlah tuan Puteri, hamba akan kembali ke bangsal hamba.
Untuk waktu yang sejauh dapat hamba usahakan, hamba akan tetap berada di
Singasari. Kecuali jika hamba tidak mempunyai kesempatan lagi karena
perintah Sri Rajasa. Tetapi sebelum perintah itu mendesak, hamba masih
akan tetap disini.”
“Terima kasih kakang. Awasilah Anusapati.
Hatiku selalu cemas bagaikan melepaskan anak yang baru pandai merangkak
di pinggir jurang.”
“Baiklah tuan Puteri, hamba akan selalu
mencoba mengawasinya. Hamba akan mencoba mengendalikannya agar Putera
Mahkota itu tidak bertindak tergesa-gesa.”
“Terima kasih.” suaranya-pun kemudian merendah, “tidak ada orang lain yang kini dapat aku percaya selain kau kakang.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Kata-kata itu diucapkan oleh Ken Dedes. Tetapi kini setelah rambutnya hampir berwarna rangkap.
“Tuan Puteri,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “aku menjunjung tinggi kepercayaan itu. Baik sebagai seorang
saudara laki-laki, mau-pun sebagai seorang Senapati Agung di Singasari.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk pula. Namun terasa betapa kecemasan yang sangat selalu membayangi Permaisuri itu.
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun
mohon diri sambil berpesan perlahan-lahan sekali, “Tuan Puteri. Tuan
Puteri harus tetap menyadari, bahwa sesungguhnya tuan Puteri tidak
sedang sakit. Jika tuan Puteri tidak menyadarinya, maka akan dapat
terjadi, tuan Puteri benar-benar menjadi sakit, atau rasa-rasanya
seakan-akan tuan Puteri benar-benar sakit.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Sambil
mencoba tersenyum ia menjawab, “Ya kakang. Kadang-kadang aku lupa bahwa
sebenarnya aku hanya berpura-pura saja sakit, sehingga rasa-rasanya aku
benar-benar menjadi sakit.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia melihat bahwa sebenarnyalah Ken Dedes sedang
menderita sakit. Bukan badannya, tetapi hatinya yang kemudian
mempengaruhi jasmaniahnya.
Sejenak kemudian Mahisa Agni-pun
meninggalkan bangsal Ken Dedes. Namun agaknya masih terlampau siang
untuk singgah di bangsal Anusapati. Karena itu, maka ia-pun
berjalan-jalan saja di halaman tanpa tujuan sekedar untuk mengisi waktu.
Tanpa disadarinya ia-pun menyusuri
dinding yang membatasi halaman istana Singasari yang lama dengan istana
yang dibangun oleh Ken Arok untuk isterinya yang muda Ken Umang. Dan
tanpa sesadarnya pula Mahisa Agni melangkah didepan regol yang terbuka.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar seseorang-menyapanya, “Kakang Mahisa Agni.”
Mahisa Agni berpaling. Hatinya bagaikan
berguncang ketika dilihatnya Ken Umang berdiri di seberang regol yang
terbuka itu sambil tersenyum.
“O, ampun tuan Puteri,” sahut Mahisa Agni dengan suara gemetar. “Hamba tidak tahu bahwa tuan Puteri berdiri di situ.”
“Ah, kenapa kau masih saja mempergunakan
basa-basi itu? Kita sama-sama berasal dari keturunan orang kecil.
Panggil saja aku Ken Umang.”
“Tentu tidak tuan Puteri,” jawab Mahisa
Agni, “keturunan kita tidak mempengaruhi kedudukan kita sekarang. Tuan
Puteri adalah isteri Maharaja di Singasari.”
“Dan kau adalah Senapati Agung dan
sekaligus wakil Mahkota di Kediri. Selisih kedudukanmu dengan Sri Rajasa
sendiri hanya selapis.”
“Ampun tuan Puteri Hamba sangat berterima
kasih atas kemurahan Sri Rajasa itu. Dan karena itulah>hamba merasa
betapa kecilnya diri hamba.”
Ken Umang tertawa. Katanya, “Sikapmu
belum berubah kakang. Kau masih saja takut kepadaku. Bukan karena
kedudukanku. Aku tahu, bahwa kau menganggapi aku seorang wanita yang
sangat rendah. Meskipun aku berkedudukan tinggi, yang kini menjadi
perempuan kedua sesudah Permaisuri, tetapi sikapmu dan tatapan matamu
tetap tidak ingkar, bahwa setelah aku tinggal di istana ini, aku masih
juga mencoba menyeretmu kedalam perbuatan yang tercela itu. Tetapi itu
dahulu kakang.”
“Ampun tuan Puteri. Hamba sekali-kali tidak pernah menganggap tuanku sebagai seorang perempuan yang rendah. Sama sekali tidak.”
Ken Umang tertawa. Sekali ia berpaling memandang beberapa orang emban yang duduk agak jauh daripadanya.
Mahisa Agni yang masih berdiri diseberang
regol menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun umur mereka sudah
menjadi semakin tua, tetapi kesan yang ada didalam hatinya tentang Ken
Umang-pun masih belum dapat dilupakannya. Agaknya Ken Umang menyadarinya
sehingga seakan-akan ia dapat membaca isi hati Mahisa Agni.
“Kakang,” berkata Ken Umang. “sekarang
kita sudah merayapi tahun demi tahun. Meskipun tampaknya kau masih lebih
muda dari umurmu yang sebenarnya, dan barangkali aku masih juga pantas
untuk mengganggumu, tetapi aku kira sekarang aku mempunyai kepentingan
yang lain.”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Katanya, “Sebenarnyalah kata tuan Puteri. Hamba memang sudah tua.”
“Itu tidak penting,” sahut Ken Umang.
Lalu, “Kakang Mahisa Agni. Kakang tentu sudah melihat perkembangan
istana Singasari sekarang ini.”
“Ya tuan Puteri, perkembangan Singasari benar-benar menggembirakan.”
“Bukan itu yang aku maksud. Tetapi penghuni-penghuni istana ini. Tegasnya keluarga kita, keluarga Sri Rajasa.”
“O,” Mahisa Agni memandang wajah Ken Umang sejenak. Tetapi kepalanya-pun segera tertunduk kembali.
“Kakang Mahisa Agni,” berkata Ken Umang, “bukankah kau adalah paman dari Anusapati?”
“Hamba tuan Puteri,” jawab Mahisa Agni dengam jantung yang berdebaran.
“Sebagai seorang ibu aku senang melihat
anak-anak hidup dalam kegembiraan. Apalagi Anusapati sudah mempunyai
seorang anak laki-laki yang menjadi semakin besar.” Ken Umang berhenti
sejenak. Lalu, “Tetapi alangkah sedih hati seorang ibu bila melihat
anak-anaknya bertengkar. Bagiku, Tohjaya dan Anusapati adalah
anak-anakku. Aku tidak membeda-bedakannya. Tetapi Anusapati bersikap
aneh terhadapku dan terhadap adiknya Tohjaya. Seakan-akan kami berdua
adalah musuhnya. Nah, tolong, sampaikan kepada Anusapati, bahwa kami
menganggapnya sebagai keluarga yang tidak terpisah. Anusapati adalah
anakku dan Tohjaya-pun putera kakanda Permaisuri, dan sebaliknya. Apakah
kau mengerti maksudku?”
“Hamba tuan Puteri.”
“Nah, jika demikian, nasehatkan kepada
Anusapati, agar ia dapat bersikap lebih baik. Agar ia dapat sedikit
mendekatkan diri kepada adiknya.”
Mahisa Agni menarik nafas, tetapi ia
menyahut, “Hamba tuan Puteri. Hamba akan memperingatkannya. Anusapati
memang harus bersikap baik terhadap tuanku Tohjaya.”
Jawaban itu sama sekali tidak diharapkan
oleh Ken Umang. Ia ingin mendengar Mahisa Agni membantahnya agar timbul
persoalan untuk memancing pendapat Mahisa Agni yang sebenarnya terhadap
keadaan yang sedang berkembang itu.
Dan justru karena itu maka untuk sesaat
Ken Umang terdiam. Dipandanginya Mahisa Agni dengan sorot mata yang
aneh. Sebenarnyalah Ken Umang menjadi heran, kenapa Mahisa Agni begitu
saja mengiakan kata-katanya tentang Anusapati.
Karena Ken Umang tidak segera menyahut,
maka Mahisa Agni melanjutkannya, “Tuan Puteri. Perkenankanlah hamba
mohon maaf atas segala kelakuan dan tingkah laku Anusapati sampai saat
ini apabila tidak berkenan di hati tuan Puteri Ken Umang.”
Ken Umang masih tetap berdiam diri.
Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang. Namun sejenak kemudian tampaklah
ia menjadi kebingungan.
Baru sejenak kemudian Ken Umang berkata
patah-patah, “jadi, jadi kau membenarkan kata-kataku bahwa Anusapati
memang anak muda yang tidak tahu diri?”
“Karena hamba tidak berada di Singasari
tuanku, maka hamba tidak dapat menyebutkannya. Tetapi karena menurut
tuanku, Anusapati telah berbuat kurang baik, maka biarlah hamba
memperingatkannya.”
Justru Ken Umanglah yang menjadi jengkel
karenanya. Ia tidak berhasil memancing pertengkaran. Jika Mahisa Agni
menjadi marah, dan mereka berbantah, maka ada alasan untuk segera minta
kepada Sri Rajasa, agar Mahisa Agni segera diperintahkan kembali ke
Kediri, karena Mahisa Agni sudah menghinakan isteri Sri Rajasa.
Tetapi usaha itu ternyata belum berhasil.
Namun demikian Ken Umang masih juga berusaha. Katanya, “Kakang Mahisa
Agni. Siapakah yang bertanggung jawab atas segala perbuatan Anusapati
itu?”
“Ampun tuan Puteri. Tentu tanggung jawab
Anusapati sendiri. Apalagi Anusapati kini sudah bukan anak-anak lagi. Ia
sudah seorang dewasa, bahkan ia sudah seorang ayah. Itulah sebabnya
maka ia harus sudah bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sadar
atau tidak sadar.”
“Tetapi ia tidak tiba-tiba saja menjadi
dewasa. Tentu ada yang mendidiknya sejak kanak-anak. Orang itulah yang
bertanggung jawab atas segala macam tingkah laku Anusapati.”
“Maksud tuanku, apakah yang bertanggung jawab tuanku Permaisuri?”
Ken Umang menjadi ragu-ragu sejenak. Namun untuk memancing pertengkaran ia menjawab, “Ya. kanda Permaisuri dan kau.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia memandang sekilas kesudut halaman itu, dilihatnya beberapa
orang prajurit bertugas. Demikian juga didepan regol bangsal Ken Umang.
Karena itu Mahisa Agni harus
berhati-hati. Bukan karena ia takut menghadapi tindakan kekerasan,
tetapi ia sadar sepenuhnya bahwa Ken Umang memang sedang memancing
perselisihan. Jika ia bersikap keras dan berbantah, tentu
prajurit-prajurit itu akan menjadi saksi. Demikian juga beberapa orang
emban yang duduk tidak begitu jauh dari Ken Umang.
Jika demikian, maka akan timbul berbagai macam akibat yang barangkali terlalu jauh baginya.
Karena kesadaran itulah maka Mahisa Agni
tetap pada sikapnya. Ia sekali-sekali membungkukkan kepala dengan tangan
bersilang. Sama sekali tidak ada sikap menentang dan melawan setiap
kata-kata Ken Umang.
“Apa katamu Mahisa Agni,” Ken Umanglah yang mulai membentaknya.
Sekali lagi Mahisa Agni membungkukkan
kepalanya. Jawabnya, “Ampun tuan Puteri. Jika menurut pendapat tuan
Puteri hamba ikut bertanggung jawab, maka baiklah hamba akan mencoba
membetulkan kesalahan hamba. Sudah hamba katakan, bahwa hamba akan
mencegah Anusapati, agar ia kemudian bersikap baik dan tidak memusuhi
tuanku Tohjaya. Tetapi tentang sikap dan tanggung jawab tuanku
Permaisuri, itu ada diluar kekuasaan hamba. Hamba tidak berhak
menegurnya meskipun ia adalah adik hamba.”
“Kenapa kau tidak berhak? Kau adalah saudara tuanya. Meskipun ia seorang Permaisuri, ia tetap adikmu.”
“Hamba tidak berani melakukannya. Hamba
takut kepada tuanku Sri Rajasa. Tuanku Permaisuri kini bukan menjadi
tanggungan hamba lagi sejak ia bersuami. Segala tingkah laku dan
perbuatannya telah menjadi tanggung jawab suaminya.”
“O. jadi kau menyalahkan tuanku Sri Rajasa?”
“Bukan maksud hamba. Tetapi sebaiknya tuanku Sri Rajasalah yang memberinya peringatan. Hamba justru takut kepada Sri Rajasa.”
“Pengecut? Kenapa kau takut? Tentu Sri
Rajasa tidak sempat berbuat seperti itu. Tuanku Sri Rajasa adalah
Maharaja yang berkuasa di Singasari. Ia tidak sempat mengurusi isterinya
saja. Apalagi kakanda Permaisuri yang hampir tidak pernah menarik
perhatian Sri Rajasa.”
Terasa dada Mahisa Agni berguncang.
Tetapi ia masih harus menahan hati. Sambil membungkukkan kepalanya ia
berkata. “Sebenarnyalah hamba akan menjalankan semua perintah karena
hamba hanyalah seorang abdi di istana ini. Meskipun hal itu bertentangan
dengan kemauan hamba sendiri misalnya, tetapi apabila hal itu harus
hamba kerjakan, hamba akan mengerjakannya. Jika memang tuanku Sri Rajasa
memerintahkan kepada hamba untuk memberikan peringatan kepada tuanku
Permaisuri.”
“Kau memang bodoh sekali,” Ken Umang
menjadi marah, “Jika tuanku Sri Rajasa sempat memerintahkan kepadamu, ia
tidak memerlukan kau lagi. Mengerti?”
Mahisa Agni menahan nafasnya sejenak. Lalu, “Hamba mengerti tuanku.”
“Jadi kaulah yang bertanggung jawab seluruhnya atas kelakuan Anusapati itu. Mengaku atau tidak mengaku.”
Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap sadar. Jika ia bersikap seperti
Ken Umang pula, maka orang-orang yang melihatnya akan dapat menjadi
saksi, bahwa ia telah berani menentang isteri Sri Rajasa.
Karena itu, sambil membungkuk dalam-dalam
ia berkata betapa-pun ia menahan hati, “Hamba tuan Puteri. Hamba memang
bersalah karena hamba tidak dapat mengajar anak itu bersikap baik.
Tetapi hamba berjanji untuk memperbaiki kesalahan itu.”
“O, gila, gila. Kau memang bukan
laki-laki jantan. Kau hanya berani merunduk seperti budak yang paling
hina. Apakah kau sadar, bahwa sikapmu sama sekali bukan sikap seorang
Senapati besar?”
“Mungkin tuan Puteri benar,” jawab Mahisa
Agni, “hamba memang tidak dapat bersikap lain kali ini, karena hamba
berhadapan dengan junjungan hamba. Memang sangat berbeda dengan sikap
seorang Senapati di peperangan.”
Kemarahan Ken Umang sudah sampai ke
puncaknya sehingga ia berteriak, “Apakah kau dapat bersikap yang lebih
baik dari sikap seorang penjilat.”
Sebenarnya kesabaran Mahisa Agni-pun sudah sampai diujung ubun-ubun. Tetapi ia masih memaksa diri untuk tetap bersabar.
Sementara itu beberapa orang prajurit
yang melihat dari kejauhan-pun menjadi heran. Semula mereka memang
menjadi berdebar-debar. Jika Mahisa Agni berbantah dengan Ken Umang,
meskipun Mahisa Agni adalah seorang Senapati, tetapi ia dapat dianggap
bersalah dan ia dapat dengan serta-merta diperintahkan untuk
meninggalkan istana Singasari ke Kediri. Tetapi ternyata sikap Mahisa
Agni itu diluar dugaan mereka. Mahisa Agni sama sekali tidak menunjukkan
sikap menentang. Bahkan sikap hormatnya agak berlebih-lebihan.
“Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh
tuan Puteri,” berkata para prajurit itu di dalam hati. Namun
sebenarnyalah mereka dengan mudah dapat menduga, bahwa Ken Umang sengaja
memancing persoalan agar Mahisa Agni segera diperintahkan meninggalkan
Singasari. Tetapi para prajurit itu tidak mengetahui persoalan yang
sebenarnya telah terjadi. Mereka hanya menganggap bahwa kehadiran Mahisa
Agni itu menguntungkan Anusapati, karena setiap orang-pun mengetahui
bahwa Anusapati dan Tohjaya agaknya sukar dirukunkan, dan setiap orang
tahu bahwa Sri Rajasa agak berpihak kepada Tohjaya. Bukan kepada
Anusapati. Bagi mereka yang mengetahui keadaan Anusapati yang
sebenarnya-pun mengerti, bahwa Sri Rajasa ternyata tidak dapat menerima
kehadiran anak Tunggul Ametung itu dengan sepenuh hati.
Sedang prajurit yang lain, yang
mengetahui persoalan yang sedang dihadapinya itu-pun berkata, “Mahisa
Agni memang seorang yang bijaksana. Sebagai seorang Senapati Agung di
Singasari ia membiarkan dirinya dicaci maki oleh isteri muda Sri Rajasa.
Tampaknya itu suatu kekalahan baginya, tetapi sebenarnyalah bahwa
Mahisa Agnilah yang menang, jika ia tetap dapat bertahan.
Prajurit itu terkejut ketika ia melihat
tiba-tiba saja Ken Umang menghentak-hentakkan tangannya sambil
berteriak, “Pengecut yang paling buruk di seluruh Singasari. Aku akan
mengatakannya kepada Sri Rajasa, bahwa kau tidak pantas menjadi seorang
Senapati Agung di Singasari. Kau hanya pantas menjadi seorang penjilat
yang rendah dan hina. Ternyata kau tidak dapat mempertahankan sikapmu
dan mempertanggung jawabkan segala macam perbuatanmu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
masih harus berlahan sedikit lagi. Ternyata bahwa Ken Umang sendiri
sudah kehilangan kesabarannya meskipun ia telah dengan sengaja memancing
persoalan.
“Pergi, pergi dari hadapanku penjilat
yang rendah,” berkata Ken Umang, “aku tidak mau berhubungan lagi dengan
orang semacam kau. Kau hanya pantas berhubungan dengan budak-budakku,
dengan hamba-hambaku yang paling rendah.”
Dada Mahisa Agni bagaikan retak
karenanya. Tetapi ia masih tetap bertahan dengan segenap kemampuan
perasaannya. Rasanya lebih mudah untuk bertahan melawan sepuluh orang
prajurit dalam benturan jasmaniah daripada harus bertahan membiarkan
dirinya dihinakan.
“Pergi, pergi,” teriak Ken Umang kemudian.
“Hamba tuanku, hamba akan pergi jika memang tuanku kehendaki.”
“Aku tidak mau melihat wajahmu lagi.”
Mahisa Agni membungkuk dalam-dalam. Namun
ia-pun kemudian terkejut ketika ia mendengar seseorang berkata, “Paman,
kita tetap disini. Aku adalah Putera Mahkota. Paman harus mendengarkan
segala perintahku.”
Semua orang yang mendengar suara itu-pun
berpaling. Mereka melihat Anusapati berdiri bertolak pinggang dengan
wajah yang merah padam.
Ternyata bukan Mahisa Agnilah yang kehabisan kesabaran, tetapi justru Anusapati yang justru sedang mencarinya.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berbisik, “Tahankan perasaanmu
Anusapati. Ingat, kau mempunyai kepentingan yang lebih besar daripada
harga dirimu. Aku sudah membiarkan diriku dihinakan dihadapan banyak
orang karena kepentingan yang lebih besar itu.”
Anusapati menggeretakkan giginya. Bahkan
ia masih juga berkata, “Hanya perintah Ayahanda Sri Rajasa sajalah yang
berada diatas perintahku, karena aku adalah Pangeran Pati. Bahkan ibunda
Permaisuri-pun tidak dapat mengubah keputusanku.”
Semua orang yang menyaksikan hal itu
menjadi berdebar-debar. Para prajurit yang sedang bertugas menjadi
termangu-mangu. Prajurit yang bertugas di halaman bagian istana yang
lama dan bagian istana yang baru. Kedua pihak tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan. Yang mereka cemaskan adalah apabila Tohjaya mengetahui
persoalan itu. Ia pasti tidak akan tinggal diam.
Sementara itu, wajah Ken Umang menjadi
bagaikan menyala mendengar kata-kata Anusapati orang yang paling
dibencinya itu. Sehingga justru karena itu, maka mulutnya bagaikan
terbungkam karenanya.
Anusapati yang sudah sampai pada batas
kesabarannya itu masih juga berkata, “Paman Mahisa Agni. Aku perintahkan
paman tetap tinggal disini. Paman harus mengawasi setiap orang yang ada
di halaman ini. Seluruh halaman istana Singasari. Yang lama mau-pun
yang baru adalah wewenang Ayahanda Sri Rajasa. Dan limpahan kekuasaan
Putera Mahkota adalah sama dengan kekuasaan Maharaja.”
“Omong kosong,” teriak Ken Umang. “kau sudah gila. Kau sangka Sri Rajasa senang melihat tampangmu?”
Anusapati sama sekali tidak menjawab
kata-kata Ken Umang. Bahkan kemudian dibelakanginya perempuan itu sambil
berkata lantang, “Aku akan merobah halaman istana ini. Aku akan menutup
regol ini dengan dinding batu.”
Kemarahan Ken Umang bagaikan memecahkan
dadanya. Hampir diluar sadarnya ia berteriak, “Emban, panggil Tohjaya.
Ada orang gila masuk ke dalam istana.”
Emban itu tidak menunggu lebih lama. Berlari-lari ia pergi ke bangsal Ken Umang untuk memanggil Tohjaya yang ada didalamnya.
“Anusapati,” desis Mahisa Agni kemudian, “kau lihat, akibat dari peristiwa ini akan berkepanjangan.”
“Aku sudah siap paman. Apa-pun yang akan
terjadi, aku akan menghadapinya. Meskipun seandainya harus ada
pertentangan terbuka dengan Sri Rajasa. Aku akan menyatakan diriku di
depan setiap orang, bahwa akulah yang berhak atas tahta ini.”
“Anusapati,” potong Mahisa Agni, “kendalikan perasaanmu.”
“Maaf paman. Aku akan mengendalikan persaanku. Tetapi tidak sekarang.”
Mahisa Agni masih akan menjawab. Tetapi
ia terkejut ketika ia mendengar suara Ken Umang, “Nah, itulah orang gila
itu Tohjaya. Kau harus mengusirnya. Bukan saja mengusir dari regol itu,
tetapi kau harus mengusirnya dari istana dan bahkan dari Singasari.”
Tohjaya tidak menghiraukan apa-pun lagi.
Ia tidak rela menyaksikan ibunya yang dihinakan oleh siapa-pun juga,
meskipun ia seorang Pangeran Pati. Apalagi ia sadar, bahwa Pangeran Pati
ini memang harus disingkirkan.
Karena itu maka ia-pun segera mendekati
Anusapati sambil berkata lantang, “Apakah kau memang sudah mulai gila
Kakanda Anusapati?”
Anusapati memandang Tohjaya sejenak.
Namun kemudian terdengar ia tertawa, “Ha, aku memang menunggu kau
adinda. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa aku punya hak untuk
berbuat apa saja di istana ini, karena aku adalah Pangeran Pati. Jika
sampai saat Ayahanda Sri Rajasa tidak lagi memegang pemerintahan, entah
karena atas kehendak sendiri, atau karena umurnya yang pendek.”
“Tutup mulutmu,” teriak Tohjaya.
“Anusapati,” Mahisa Agni masih ingin mencegah, “kenapa kau kehilangan akal he? Apakah kau memang benar-benar gila?”
Tetapi Anusapati benar-benar tidak
menghiraukannya lagi. Bahkan katanya, “Kau mau apa Tohjaya. Coba
berbuatlah sesuatu kalau kau berani.”
Tohjaya benar-benar terbakar mendengar
tantangan itu. Karena itu, makan tiba-tiba saja ia meloncat menyerang
dengan garangnya. Tetapi Anusapati sudah memperhitungkannya. Karena itu,
ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan serangan membabi buta itulah yang
ditunggu-tunggunya.
Dengan gerak yang lebih cepat dari gerak
Tohjaya, maka Anusapati-pun menghindar. Tetapi ia tidak sekedar
menghindari serangan Tohjaya. Bahkan sekaligus ia menyerangnya pula.
Serangan itu benar-benar tidak diduga
oleh Tohjaya. Apalagi kecepatan bergerak Anusapati jauh melampaui
kemampuannya, sehingga karena itu, maka Tohjaya-pun kemudian terlempar
dan jatuh terguling di tanah.
Ternyata Anusapati yang sudah kehabisan
akal itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Ia masih ingin meloncat
membunuhnya. Namun ia tidak dapat menghindarkan diri dan sebuah
benturan yang dahsyat sehingga Anusapati itulah yang kemudian terlempar
dan jatuh terguling.
Dengan serta-merta Anusapati meloncat
bangkit. Namun ia tertegun ketika ia melihat, pamannya Mahisa Agnilah
yang berdiri dihadapannya.
Sejenak Anusapati melihat Tohjaya tertatih-tatih bangun. Namun kemudian dipandanginya wajah pamannya yang tegang.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni. Betapa
tegang wajahnya, namun kata-katanya tetap sareh dan tenang, “Apakah kau
memang sengaja ingin membuat tontonan di halaman Istana ini atau kau
ingin memamerkan kemampuanmu. Aku berterima kasih bahwa kau
mempertahankan martabatku. Tetapi aku kurang senang melihat darahmu yang
masih terlampau mudah menyala. Cobalah, tenanglah sedikit. Lihatlah
banyak orang yang menonton peristiwa ini, seperti orang melihat ayam
bersabung. Padahal kalian adalah bangsawan tertinggi di Singasari saat
ini. Apakah kau mengerti?”
Anusapati tidak segera menjawab. Dengan
wajah yang tegang dipandanginya pamannya yang berdiri tegak seperti batu
karang. Alangkah garangnya. Tentu dipeperangan Mahisa Agni akan tampak
lebih garang lagi. Dengan senjata di tangan dan wajah yang tegang.
Ternyata perbawa itu meresap kedalam dada
Anusapati. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk lesu. Sebuah penyesalan
telah merayapi hatinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Dan rasa-rasanya
semakin lama semakin banyak mata yang memandanginya.
Perlahan-lahan terdengar suaranya
bergumam didalam mulutnya, “maafkan aku paman. Ternyata aku telah
kehilangan pengamatan diri. Penghinaan yang tiada batasnya itu membuat
dadaku bagaikan terbelah.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
menjadi berlega hati ketika dilihatnya bahwa Anusapati sudah mulai
berhasil menguasai perasaannya.
Namun selagi Mahisa Agni mulai merasa
tenang, setelah ketegangan yang sangat mencengkam hatinya, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara Tohjaya lantang, “Ayahanda, inilah orang gila yang
ingin mengacaukan istana itu.”
Dengan serta-merta Mahisa Agni berpaling.
Dadanya berdesir ketika dilihatnya Sri Rajasa berdiri tegak diiringi
oleh beberapa orang pengawal. Dengan sorot mata yang menyala
dipandangnya Mahisa Agni dan Anusapati berganti-ganti.
“Sudah tiba saatnya bagi ayahanda untuk bertindak.”
Tetapi Sri Rajasa masih tetap berdiri diam seperti patung.
Tohjaya menjadi heran sejenak. Demikian
ibunya Ken Umang. Perlahan-lahan isteri muda Sri Rajasa itu melangkah
maju sambil berkata, “Kakanda Sri Rajasa. Alangkah cemasnya hati hamba
melihat ananda Anusapati berbuat di luar sadarnya. Hamba tidak tahu apa
yang seharusnya hamba lakukan. Sedangkan kakang Mahisa Agni sama sekali
tidak berbuat apa-pun juga untuk menenangkan keadaan. Bahkan ia sama
sekali tidak bersikap seperti orang tua.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya.
Perlahan-lahan ia melangkah maju mendekati Anusapati yang berdiri
termangu-mangu di sebelah Mahisa Agni. Beberapa langkah daripadanya
berdiri Tohjaya dengan wajah yang tengadah.
“Kakanda,” berkata Ken Umang, “sebaiknya
kakanda menimbang dengan adil. Hamba lihat pakaian Tohjaya yang kotor
dan kusut itu? Ananda Anusapati lah yang telah melakukannya tanpa
disangka-sangka.”
Sri Rajasa menjadi semakin dekat, sehingga dada Mahisa Agni-pun menjadi semakin berdebar-debar.
“Jika semuanya harus terjadi saat ini,
apaboleh buat,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “meskipun aku
tidak dapat memperhitungkan, bagaimana akhir dari setiap persoalkan yang
dapat timbul karenanya.”
Agaknya Anusapati-pun mencemaskannya
pula. Jika ayahandanya tidak dapat mengekang dirinya pula, maka yang
terjadi adalah bencana yang maha dahsyat. Bukan saja bagi pimpinan
tertinggi Singasari, tetapi bagi Singasari dan rakyatnya.
Gejolak hati Anusapati itu telah mendorongnya berbisik ditelinga Mahisa Agni, “Paman, Trisula itu aku bawa sekarang.”
“Ah,” Mahisa Agni berdesah. Tetapi ada
semacam air yang menitik di jantungnya yang sedang membara. Sadar atau
tidak sadar, Mahisa Agni harus mengakui, bahwa Sri Rajasa adalah bukan
manusia kebanyakan. Ia memiliki kelebihannya. Ia memiliki kelebihan yang
tidak dapat dimengerti oleh sesamanya.
Sejenak Sri Rajasa berdiri dengan tegang.
Namun kemudian ia berkata, “Aku mengerti apa yang telah terjadi.
Seorang perwira yang melihat peristiwa ini langsung menyampaikannya
kepadaku. Dengan tergesa-gesa aku datang kemari, karena yang terjadi
adalah sepercik noda yang paling kotor pada keluarga Maharaja di
Singasari. Dan aku melihat bagian terakhir dari tontonan yang
mengasyikkan ini.”
Semua orang yang mendengar kata-kata itu
menjadi gemetar. Suara Sri Rajasa sudah menjadi agak gemetar oleh
perasaaan yang tertahan didalam dadanya.
Ken Umang memandang Sri Rajasa tanpa
mengedipkan matanya. Seakan-akan ia menunggu, keputusan apakah yang akan
diambilnya didalam keadaan itu.
Sementara itu Tohjaya bergeser selangkah
mendekati ayahandanya. Dalam ketegangan itu ia berkata, “Ayahanda dapat
bertindak sekarang.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya, aku memang dapat bertindak. Dan aku memang akan
bertindak sebaik-baiknya.”
“Tentu ayah,” sahut Tohjaya.
Anusapati membeku ditempatnya, sedang wajah Mahisa Agni tidak lagi disaput ketegangan yang dalam membayang di wajah itu.
Sekilas ia memandang berkeliling.
Dilihatnya beberapa orang Senapati berdiri tegang. Bahkan Panglima
pasukan pengawalnya-pun telah ada di halaman itu pula.
“Benar seperti sabungan ayam,” berkata
Mahisa Agni di dalam hatinya, “Tetapi apaboleh buat. Aku tidak dapat
menduga, apa saja yang akan dilakukan oleh para prajurit ini.”
Sejenak Mahisa Agni memandang ke kejauhan
menembus kesuraman senja yang mulai turun. Seorang juru taman berdiri
di sebelah gerumbul yang lebat. Sekali-sekali ia berlindung dibalik
gerumbul itu, dan sekali ia menampakkan dirinya jika kebetulan Mahisa
Agni memandangnya. Juru taman itu adalah Sumekar.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Juru taman itu akan dapat ikut menentukan akhir dari peristiwa yang
tidak diinginkannya apabila hal itu terpaksa terjadi di halaman ini,
dibatas antara istana yang lama dan yang baru.
Sejenak orang-orang yang berdiri
berpencaran itu termangu-mangu. Mereka memandang Sri Rajasa dan Mahisa
Agni berganti-ganti. Tanpa mereka sadari, nafas mereka-pun seakan-akan
berkejaran. Yang berdiri dengan tegang itu adalah dua orang Raksasa yang
tidak ada bandingnya di Singasari.
Sri Rajasa adalah seorang yang bagi
Mahisa Agni adalah orang yang aneh. Orang yang memiliki kelebihan tanpa
dicarinya. Karena itulah maka orang mengatakan bahwa Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa itu adalah kekasih dewa-dewa.
Tetapi bagi Sri Rajasa, Mahisa Agni
adalah orang yang aneh. Satu-satunya anak muda yang mampu mengimbanginya
selagi ia masih berkeliaran di Padang Karautan. Dan Ken Arok vang
bergelar Sri Rajasa itu mengetahui, bahwa Mahisa Agni pada waktu itu,
memiliki sebuah pusaka yang baginya sangat mengerikan. Jauh lebih
mengerikan dari pusaka yang selama ini dianggapnya pusaka yang paling
keramat, Keris Empu Gandring. Dan pusaka itu hanyalah sebuah trisula
yang tidak seberapa besarnya. Tetapi dapat bercahaya seperti matahari
yang menyilaukan.
Namun Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa
itu memang tidak akan berbuat apa-apa. Setelah beberapa kali ia menarik
nafas dalam-dalam, maka ia-pun berkata, “Aku minta kalian kembali
kebangsal masing-masing.”
Tohjaya terkejut mendengar perintah itu.
Bahkan yang lain-pun tidak kalah terkejut pula. Mahisa Agni yang tegang
dan Anusapati yang berdebar-debar saling berpandangan sejenak.
“Aku tidak senang melihat pertengkaran
itu,” berkata Sri Rajasa lebih lanjut, “sejak lama aku selalu
memperingatkan, sikap bermusuhan itu sangat memalukan. Apalagi kalian
adalah Putera seorang Maharaja yang sangat dihormati. Tindakan kalian
itu tentu merendahkan martabatku sebagai seorang Raja yang memerintah
seluruh Singasari sekarang ini.”
Ken Umang memandang ken Arok dengan sorot
mata yang aneh. Memang ia tidak mengerti akan perintah itu. Ia berharap
agar Sri Rajasa mengambil tindakan yang paling keras terhadap
Anusapati. Hukuman yang dapat merendahkan nilainya sebagai seorang
Putera Mahkota. Menghinakannya, dan akan lebih baik lagi jika kemudian
mengusirnya dari Istana.
Ken Umang menjadi lebih heran lagi ketika
ia mendengar Sri Rajasa itu berkata, “Aku mengucapkan terima kasih
kepadamu Mahisa Agni.”
Tohjaya menjadi tegang sejenak. Dan ia
mendengar Sri Rajasa melanjutkan, “Aku melihat dari kejauhan apa yang
kau lakukan. Ternyata bahwa kau berdiri diatas ikatan keluarga yang ada
pada dirimu. Meskipun kau paman Anusapati dari saluran darah ibunya,
retapi kau sudah berusaha sebaik-baiknya mencegah pertengkaran ini. jika
kau tidak menghalangi Anusapati, maka aku kira Tohjaya akan mengalami
cidera yang dapat membahayakan jiwanya. Jika demikian maka tidak akan
ada gunanya lagi aku membina daerah ini dengan mempertaruhkan semua yang
ada padaku.”
Tidak seorang-pun yang menyahut. Bahkan tidak seorang-pun yang bergerak meskipun hanya sekedar ujung jari kakinya.
“Jika Tohjaya mengalami cedera, apalagi
sampai membahayakan jiwanya, maka Anusapati harus dihukum. Dengan
demikian aku akan kehilangan kedua-duanya sekaligus. Kehilangan Pangeran
Pati yang akan menggantikan kedudukanku, dan kehilangan Tohjaya
satu-satunya orang akan dapat menggantikan kedudukan Anusapati apabila
terjadi sesuatu dengannya. Memang aku masih mempunyai beberapa orang
anak laki-laki. tetapi aku harus membinanya dari permulaan sekali.” Sri
Rajasa berhenti sejenak. Lalu, “karena itu tindakan Mahisa Agni memang
pantas dipuji.”
Betapa mereka yang mendengar kata-kata
Sri Rajasa itu tidak dapat mengartikannya dengan segera. Ada yang heran,
ada yang tidak percaya kepada pendengarannya, tetapi ada yang
menganggap, bahwa itu adalah sikap yang bijaksana.
“Nah,” sekali lagi Sri Rajasa berkata,
“Sekarang kembalilah kebangsal masing-masing. Jangan menjadi tontonan di
sini. Semakin cepat semakin baik.”
“Kakanda,” Ken Umanglah yang akan
memotong kata-kata Sri Rajasa. Tetapi Sri Rajasa mendahuluinya, “Kau-pun
sebaiknya meninggalkan tempat ini. Adalah kurang baik jika kau berada
di antara wajah-wajah yang tegang dan sikap bermusuhan.”
Ken Umang menahan gejolak didalam
dadanya. Tetapi ia tidak berani membantahnya. Digamitnya Tohjaya dan
dengan isyarat diajaknya Tohjaya meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu Mahisa Agni-pun kemudian
menggandeng Anusapati meninggalkan tempat itu sambil berkata kepada Sri
Rajasa, “Sikap Tuanku sangat bijaksana. Hamba mengucapkan terima kasih.”
“Apakah mungkin aku berbuat lain?” bertanya Sri Rajasa.
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan
itu. Tetapi ia-pun menjawab, “Memang tidak ada sikap lain bagi seorang
yang bijaksana.”
“Bagi yang tidak bijaksana?”
“Tuanku, hamba tidak dapat mengatakannya, karena ternyata yang ada adalah seorang yang sangat bijaksana.”
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak berkata apa-pun lagi. Dipandanginya langkah Anusapati di
samping Mahisa Agni, dan di arah yang lain Tohjaya berjalan di belakang
ibunya, Ken Umang.
Sri Rajasa menggelengkan kepalanya ketika
perasaannya mulai menilai kedua anak muda itu. Ia tidak mau melihat
kenyataan bahwa ternyata anak Tunggul Ametung itu mempunyai banyak
kelebihan dari anaknya.
“Ibunyalah yang memiliki kelebihan.
Adalah bodoh sekali bahwa aku tidak pernah memikirkan dengan
sungguh-sungguh kemungkinan yang ada pada Mahisa Wonga Teleng.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu
merenung sejenak. Ia mulai membayangkan kemungkinan yang ada pada Mahisa
Wonga Teleng. Ia adalah anaknya dan anak Ken Dedes. Jika benar Ken
Dedes memiliki kemungkinan yang besar pada keturunannya, maka Mahisa
Wonga Teleng-pun pasti memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
“Tetapi sudah terlambat,” ia berkata
didalam hatinya, “Anusapati sudah mulai meloncati pagar yang selama ini
berhasil aku lingkarkan mengelilingi. Tetapi ternyata pada suatu saat
anak itu telah melepaskan dirinya dari semua kungkungan. Sebelumnya ia
tidak pernah berani berbuat apa-apa-pun jangankan seperti yang
dilakukannya saat ini.”
Tiba-tiba terlintas didalam
angan-angannya. Ken Dedes yang sedang terbaring di pembaringannya. Tentu
Ken Dedes sudah mengatakan semuanya tentang Anusapati. Tentu Ken Dedes
juga mengatakan saat-saat kematian Tunggul Ametung, dan tentu sekarang
Anusapati sedang di dalam gejolak yang paling dahsyat yang pernah
dialaminya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Seakan-akan ia sudah dihadapkan pada suatu keadaan yang sama-sama.
Seakan-akan ia sedang memandang cahaya matahari yang kemerah-merahan,
yang sebentar lagi akan turun dan hinggap dipunggung pegunungan.
Kesempatan itu adalah kesempatan terakhir untuk memandang wajah bumi
karena sebentar lagi matahari itu akan tenggelam.
“Tentu tidak akan mungkin lagi dapat
terbit di Timur,” katanya didalam hati, “aku memang bukan matahari. Jika
saat tenggelam itu datang, maka biarlah namaku tenggelam pula
bersamanya. Tetapi jangan Singasari.”
Ken Arok itu-pun kemudian perlahan-lahan
melangkahkan kakinya kembali kebangsalnya. Pengawal-pengawalnya-pun
mengikutinya dari kejauhan. Ketika Ken Arok kemudian masuk kedalam
bangsalnya, maka para prajurit itu-pun tinggal di gardu penjagaan
mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Agni membawa
Anusapati ke bangsalnya. Ketika mereka berjalan lewat didepan seorang
juru taman yang sedang berjongkok, maka Mahisa Agni-pun memberikan
isyarat kepadanya sambil berbisik, “Nanti malam aku datang ke gubugmu.”
Sumekar sama sekali tidak menyahut.
Justru ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Baru ketika keduanya sudah
menjadi semakin jauh. Sumekar itu baru berdiri dan berjalan tergesa-gesa
meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, cahaya matahari memang
sudah mulai pudar. Semakin lama semakin suram. Dan sebentar lagi, maka
seluruh Singasari itu-pun ditelan oleh kegelapan malam.
Di bangsal Anusapati, Mahisa Agni duduk
tepekur dihadap oleh Anusapati. Agak sulit baginya untuk memberikan
beberapa nasehat kepada Putera Mahkota itu. Karena ia tahu, bahwa selama
ini Anusapati selalu menjaga perasaan isterinya. Ia selalu berusaha
untuk menghindarkan semua pembicaraan yang dapat membuat isterinya
menjadi semakin berkecil hati. Sebagai seorang perempuan yang hidup
dilingkungan yang asing, maka ia memerlukan ketenangan di dalam
lingkungannya yang baru itu.
Karena itu, maka Mahisa Agni-pun menunggu hingga pada suatu kesempatan ia dapat mengatakannya.
Ketika Mahisa Agni yakin bahwa isteri
Anusapati itu tidak berada di dalam bilik sebelah yang mungkin dapat
mendengar suaranya, barulah ia berkata, “Anusapati. Ternyata keadaan
sudah menjadi semakin panas dan gawat. Tetapi aku melihat perkembangan
lain pada Sri Rajasa itu.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Katanya hampir berbisik, “Aku masih belum yakin paman. Tetapi
mudah-mudahan Ayahanda Sri Rajasa dapat melihat kebenaran tentang
hubunganku dengan Adinda Tohjaya. Tetapi seandainya demikian, hal itu
tentu sudah terjadi beberapa saat lamanya.”
“Pikiran dan perasaan seseorang dapat
berkembang Anusapati,” berkata Mahisa Agni kemudian, “dan aku berharap,
bahwa Sri Rajasa akan mengalaminya.”
“Mungkin pada suatu saat paman. Tetapi
jika ibunda Ken Umang mendapat kesempatan berbicara maka ayahanda tentu
akan bersikap lain pula.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Memang sulit bagi Ken Arok untuk berjalan surut. Dan jika ia tetap maju,
maka jarak perjalanan itu menjadi semakin dekat.
“Hati-hatilah Anusapati,” berkata Mahisa
Agni kemudian, “aku berharap keadaan bertambah baik. Tetapi aku juga
berharap agar kau tidak lengah. Sudah sepantasnya kau membawa trisula
kecil itu kemana-pun kau pergi. Tetapi ingat, jangan kau pergunakan jika
kau tidak dalam keadaan terpaksa. Terpaksa sekali.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku berjanji akan menemui Sumekar. Malam
sudah menjadi semakin gelap. Besok aku kembali melihat keris itu.
Sekarang waktunya agaknya kurang baik bagiku untuk melihat keris itu.
Jika ada satu dua orang yang sempat melihatnya, maka udara yang panas
ini tentu akan mendidih. Besok aku akan kembali untuk melihat keris
itu.”
“Apakah aku harus membawanya ke bangsal paman?”
Mahisa Agni menggeleng, “Aku tidak mengatakan demikian sekarang. Aku tidak tahu, jika keadaan besok akan berkembang.”
Anusapati menundukkan kepalanya.
“Sekarang, biarlah aku pergi ke gubug Sumekar. Aku perlu berbicara sedikit dengan juru taman itu.”
“Silahkanlah paman.”
“Ingat, dalam keadaan serupa ini, trisula
kecil itu jangan terpisah dari dirimu. Bukanlah trisula itu tidak
mengganggumu jika kau sembunyikan di dalam lapisan ikat pinggangmu.”
Anusapati menganggukkan kepalanva. Pesan
itu menyatakan bahwa Mahisa Agni-pun menjadi sangat cemas terhadap
perkembangan keadaan.
Namun Mahisa Agni itu-pun kemudian
berpesan, “Tetapi ingat pula Anusapati, bahwa trisula itu bukan senjata
dan yang dipergunakan jika itu bukan cara terakhir satu-satunya jalan
yang dapat kau tempuh.”
Sekali lagi Anusapati mengangguk sambil menjawab, “Ya paman, aku mengerti.”
“Nah, tinggal sajalah di bangsalmu. Kau
dapat sedikit memberikan pesan, meskipun tidak berterus-terang terhadap
para pengawal di halaman, agar mereka-pun berhati-hati pula.”
“Ya paman.”
“Nah, biarlah aku pergi sekarang. Bukankah anakmu sudah tidur?”
“Sudah paman.”
“Besok saja aku menemuinya.”
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun kemudian
meninggalkan bangsal itu. Ia tidak segera pergi kegubug Sumekar tetapi
ia berjalan kebangsalnya sendiri. Perlahan-lahan seperti seorang jejaka
berjalan di bawah cahaya bulan yang sedang purnama.
Mahisa Agni harus yakin bahwa tidak ada
orang yang mengetahui sedap pertemuannya dengan Sumekar, mau-pun
Anusapati dengan Sumekar agar Sumekar tidak segera terlibat dalam
keadaan yang panas itu. Dengan demikian ada seorang yang kuat, yang
masih dapat diharapkan berbuat sesuatu di luar perhitungan Sri Rajasa.
Tetapi jika pertentangan yang tampaknya
akan menjadi terbuka itu berkembang, Mahisa Agni memerlukan kekuatan di
luar istana itu. Jika kemudian terjadi bentrokan-bentrokan senjata
dengan terbuka, dan Sri Rajasa mempergunakan kekuasaan dan haknya
sebagai seorang Maharaja, maka dengan sangat terpaksa Mahisa Agni-pun
harus menghadapinya dengan cara serupa. Tetapi karena ia tidak berhak
memberikan perintah langsung kepada para prajurit yang ada di Singasari,
maka ia harus mendapatkan kekuatan lain yang dapat melindungi Anusapati
bersamanya. Bukan sekedar melindunginya karena ia takut mati, tetapi
melindungi dirinya dan Anusapati bersama segala macam cita-cita dan
kemungkinannya.
Setelah malam menjadi semakin gelap, maka
Mahisa Agni-pun keluar lagi dari bangsalnya. Kepada prajurit yang
mengawal bangsalnya ia berkata, “Udara sangat panas didalam. Aku akan
keluar sebentar.”
Prajurit-prajurit itu memandanginya
sejenak. Seakan-akan ingin bertanya, kemanakah ia akan pergi didalam
keadaan yang bagi para prajurit, agak kalut itu? Meskipun mereka tidak
melihat pertentangan sampai keakar hati Mahisa Agni, Anusapati, Tohjaya
dan orang-orang yang terlibat lainnya termasuk Sri Rajasa sendiri, namun
mereka melihat pertengkaran antara Anusapati dan Tohjaya sebagai
anak-anak muda yang kian tidak mau hidup dalam suasana persaingan.
Sayang persaingan diantara mereka itu sama sekali tidak mendorong mereka
kearah yang lebih baik dari pertengkaran yang kasar. Seperti
pertengkaran anak-anak seorang rakyat kebanyakan saja. Bahkan hampir
saja mereka berkelahi dalam arti yang sebenarnya di hadapan banyak
orang.
Mahisa Agni dapat menangkap dari sorot
mata para prajurit itu, pertanyaan-pertanyaan yang bergulat di dalam
hati mereka. Karena itu ia-pun tersenyum sambil berkata, “jangan cemas.
Anak-anak itu tidak akan berkelahi lagi, apalagi memperluas pertengkaran
mereka, meskipun orang-orang tua terpaksa ikut campur.”
Para prajurit itu-pun tersenyum pula.
Bahkan tersipu-sipu karena Mahisa Agni dapat menebak pertanyaan didalam
hatinya dengan tepat.
(bersambung ke jilid 77).
No comments:
Write comments