“Anusapati,” suara ibunya lirih tetapi
serasa meresap sampai ke pusat jantung, “endapkan perasaanmu. Jangan kau
biarkan hatimu melonjak-lonjak. Aku mengerti perasaanmu anakku. Bahwa
kau seakan-telah melihat wajahmu sendiri di wajah air yang bening
tenang. Seolah-olah kau melihat bahwa wajahmu bukan lagi wajah keturunan
dewa-dewa, tetapi kau melihat dirimu sebagai manusia biasa. Tetapi
jangan menyesali diri. Bahwa apa yang kita terima dari yang Maha Agung
adalah yang paling baik buat kita.”
Anusapati tidak menjawab. Kepalanya
perlahan-lahan tertunduk dalam-dalam. Terasa di dada ibunya, nafas
anaknya yang seakan-akan mengalir seperti banjir.
“Duduklah Anusapati.”
Anusapati tidak dapat menilai sikapnya
sendiri. Perlahan-lahan ia duduk di atas dingklik kayu dan ibunya-pun
melepaskannya dari pelukannya.
“Jangan terbakar oleh kenyataan yang memang harus kau hadapi.”
Anusapati mengangguk. Dengan suara yang
parau ia berkata, “Ibu, jika demikian, maka siapakah sebenarnya hamba?
Siapakah Akuwu Tunggul Ametung dan siapakah ibunda sendiri dihadapan
Akuwu dan Sri Rajasa.”
“Anusapati,” berkata ibunya kemudian,
“seperti yang aku katakan, aku adalah Permaisuri Akuwu Tunggal Ametung
di Tumapel. Tetapi ketika aku sedang mulai mengandung, maka Akuwu
Tunggul Ametung meninggal dunia. Dalam kesepian yang pedih, hadirlah
seorang anak muda bernama Ken Arok, sehingga akhirnya aku dikawininya.
Karena itulah maka kau lahir setelah aku menjadi Permaisuri Ken Arok
yang menggantikan kedudukan Akuwu Tunggul Ametung.”
Wajah Anusapati yang tunduk menjadi
semakin tanduk. Namun dalam pada itu, di dalam dadanya bergolak berbagai
macam perasaan. Kadang-kadang ia dapat mengerti apa yang telah terjadi.
Tetapi keagungan cintanya kepada ibunya, rasa-rasanya melonjak ketika
ia mendengar, bahwa ibundanya kawin dengan Ken Arok begitu cepat setelah
ayahnya meninggal, sehingga ketika ia lahir ibundanya telah menjadi
Permaisuri Ken Arok, yang menggantikan kedudukan Akuwu Tunggul Ametung.
Demikianlah maka rasa-rasanya ibundanya
sama sekali tidak menjadi berduka cita atas kematian ayahandanya. Bahkan
dengan segera ia telah berhasil menggantungkan cintanya kepada orang
lain.
Dan tiba-tiba saja, di luar sadar
bibirnya telah bergetar dan melontarkan kata-kata, “Apakah ibunda tidak
mencintai Akuwu Tunggul Ametung?”
Ken Dedes terkejut mendengar pertanyaan itu. Sehingga ia-pun bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu?”
“Ibu, jika ibu mencintai ayahanda Akuwu
Tunggul Ametung seperti yang ibu katakan, apakah ibu dapat melakukannya?
Belum lagi api pembakaran mayat ayahanda padam, ibunda telah
melangsungkan perkawinan dengan orang yang ibunda sebut bernama Ken Arok
dan yang kemudian menjadi Akuwu di Tumapel, dan yang sekarang ini
bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?”
“Kau salah mengerti anakku. Aku mencintai
ayahandamu Akuwu Tunggul Ametung. Kematiannya membuat aku kesepian dan
kehilangan pegangan. Pada saat itu hadir orang yang dapat memberi aku
jalan pelepasan.”
“Dan ibu segera melupakan ayahanda dan
kawin dengan laki-laki itu. Bukan saja ibunda dikawininya, tetapi hak
atas Tumapel itu-pun sekaligus ibunda serahkan kepadanya.”
“Anusapati.”
Dan tiba-tiba saja Anusapati menjadi
kehilangan pengamatan dirinya. Tekanan perasaan yang tidak tertahankan
membuatnya bagaikan terbakar. Karena itu maka katanya kemudian dengan
suara parau, “Jika ibunda mencintai ayahanda Akuwu Tunggul Ametung, maka
tidak begitu mudahnya ibunda mencintai orang lain. Dan jika ibunda
tidak mencintai Sri Rajasa, ternyata ibunda adalah seorang yang
mendambakan nafsu semata-mata.”
“Anusapati.”
“Ibunda. Bukankah yang terjadi sekarang
ini akibat dari perbuatan dosa ibunda itu? Hambalah yang sekarang harus
menanggung akibatnya. Dihinakan dan disisihkan dari hubungan kasih
keluarga tanpa mengetahui sebab musababnya. Baru sekarang hamba tahu,
bahwa bukan salah Sri Rajasa, bukan salah Tohjaya dan bukan salah
siapa-pun juga. Sebenarnyalah bahwa hamba memang bukan keluarga mereka.
Dan hamba memang pantas untuk dihinakan dan dijauhkan dari kasih
keluargaku.”
“Cukup Anusapati, cukup. Aku sudah
mengatakan, bahwa akulah yang bersalah. Akulah yang telah berbuat dosa.
Tetapi bukan maksudku untuk membuat kau menderita karenanya. Meskipun
kau bukan putera Sri Rajasa, tetapi kau tetap mendapatkan hakmu sebagai
Putera Mahkota.”
“Apakah artinya kedudukan itu sekarang
ibunda. Hamba pasti sudah menjadi sampah di halaman istana ini jika
tidak ada paman Mahisa Agni. Hamba pasti tidak akan bernilai lebih baik
dari seorang juru taman jika paman Mahisa Agni tidak berbuat sesuatu
yang mengagumkan atas hamba. Paman Mahisa Agnilah yang membuat hamba
diterima oleh rakyat Singasari karena mereka menganggap bahwa hambalah
Kesatria Putih itu seutuhnya. Dan itu adalah hasil perbuatan paman
Mahisa Agni, seperti juga kemampuan yang hamba miliki sekarang, sehingga
hamba selamat dari kematian oleh tangan Kiai Kisi.”
Ken Dedes terhenyak dipembaringannya.
Dengan kedua belah tangannya ia menutup wajahnya yang basah karena air
mata. Namun agaknya dada Anusapati masih juga pepat, sehingga ia masih
juga berkata, “Dan sekarang hamba harus melihat bahwa diri hamba
sebenarnya tidak lebih dari seorang anak yang sudah tidak berbapa. Hamba
adalah seorang yang memang sebenarnya tidak berharga bagi Sri Rajasa,
karena hamba adalah anak orang lain. Anak yang ditinggalkan didalam
perut ibunda oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan dan sangkut
pautnya dengan Ken Arok. Bahkan hamba adalah manusia yang paling
terkutuk dimata Ken Arok itu karena setiap kali Sri Rajasa melihat
hamba, maka pasti ia akan teringat kepada Akuwu Tunggul Ametung. Betapa
bencinya Ken Arok terhadap Akuwu Tunggul Ametung karena Akuwu itu telah
merampas kegadisan Ibunda dimasa muda dan meninggalkan seorang anak
laki-laki yang akan tetap membuatnya terkenang atas kekecewaannya itu.
Dan apalagi anak laki-laki itu sekarang merasa dirinya berhak untuk
menyebut dirinya Putera Mahkota,” suara Anusapati terputus sejenak.
Lalu, “alangkah malunya hamba kepada diri sendiri. Jika aku tahu tentang
diri hamba, maka hamba tidak akan menerima kedudukan itu. Hamba akan
manyingkir dari istana ini dan mengikuti paman Mahisa Agni dipadepokan
yang terpencil itu. Paman Mahisa Agni pasti akan rela melepaskan
kedudukan yang betapa-pun tingginya, karena sebenarnya paman Mahisa Agni
sama sekali tidak menginginkannya, ia ada di dalam istana pada waktu
itu hanya semata-mata karena hamba. Dan ia kini berada di Kediri sebagai
wakil Mahkota, adalah karena paman ingin tetap mempunyai pengaruh dalam
pemerintahan Singasari juga semata-mata karena hamba.”
“Kau salah Anusapati,” sahut ibunya
disela-sela isaknya yang tertahan, “pamanmu Mahisa Agni mengasihimu.
Tetapi jangan disangka bahwa pamanmu tidak mencintai Singasari. Semua
yang diperbuatnya adalah untuk Singasari.”
“Hamba tahu ibu. Tetapi Singasari bagi
paman Mahisa Agni bukan sekedar kekuasaan Sri Rajasa. Singasari adalah
keseluruhan wadah dan isinya. Dan Singasari adalah suatu kesatuan yang
utuh sekarang ini. Tetapi paman Mahisa Agni-pun tahu, bahwa Singasari
sedang diancam oleh ketamakan seorang isteri dan anak dari yang berkuasa
sekarang. Jika hamba mengatakan bahwa paman Mahisa Agni telah berbuat
banyak sekali untuk hamba sakarang ini, hamba yang sudah terlanjur
menjadi Putera Mahkota itu-pun adalah karena Pamanda Mahisa Agni
mencintai Singasari dan mengasihi hamba. Jika tidak, maka paman Mahisa
Agni tidak akan membina hamba menjadi seorang yang mampu berbuat sesuatu
seperti sekarang ini, dan paman Mahisa Agni tentu tidak akan berusaha
membendung kekuasaan yang akan melimpah kepada tangan yang menurut paman
Mahisa Agni tidak akan dapat mempertahankan dan apalagi mengembangkan
Singasari yang sekarang ini. Jika paman Mahisa Agni tidak mempedulikan
hamba, tetapi semata-mata mempedulikan Singasari, maka ia akan dapat
berbuat lain dari yang dilakukannya sekarang. Tetapi jika paman Mahisa
Agni hanya mengasihi hamba dan tidak mengingat Singasari, maka alangkah
baiknya jika hamba pergi kepada paman Mahisa Agni di Kediri dan
bersama-sama memberontak. Maka pasti Singasari akan pecah dan
kemungkinan terbesar kami akan menang. Tetapi Singasari akan digenangi
darah rakyatnya yang sedang berusaha mengembangkan negeri ini.”
Ken Dedes tidak lagi dapat membendung air
matanya yang mengalir semakin banyak. Bahkan kemudian terdengar isaknya
semakin lama menjadi semakin keras. Dan tiba-tiba saja diantara
tangisnya ia berkata, “Sudah aku katakan Anusapati. Aku memang bersalah.
Jika aku tidak bertemu dan tidak menerima orang itu disaat aku
kehilangan Akuwu Tunggal Ametung, maka keadaannya akan jauh berbeda.
Sebenarnyalah bahwa aku akan memilih hidup dipadepokan jika aku mendapat
kesempatan. Tetapi tidak. Aku tidak dapat memilih selain harus pasrah
diri di istana Tumapel.”
“Tentu tidak. Ibunda tentu akan dapat
memilih. Jika ibunda tetap berbakti kepada ayahanda Tunggul Ametung, dan
jika ibunda benar-benar mencintainya, maka ibunda tidak akan
melakukannya meskipun orang yang bernama Ken Arok itu setiap hari duduk
berimpuh di bawah kaki ibunda, namun yang kini akhirnya telah menginjak
tengkuk keturunan ibunda. Tentu pada saat ibunda menerima lamaran Akuwu
Tunggul Ametung, ibunda merasa sangat berbahagia, tetapi bukan karena
mencintai Akuwu Tunggul Ametung. Ibunda saat itu hanya memandang bahwa
ibunda menerima lamaran seorang Akuwu, sedangkan ibunda adalah seorang
gadis padepokan. Tetapi karena itulah, maka sepeninggal Akuwu Tunggul
Ametung, maka seketika itu pula ibunda sudah barhasil melupakannya.”
“Anusapati.”
“Kenapa ibu tidak berani melihat wajah sendiri betapa-pun buruknya.”
“Tidak. Tidak,” tiba-tiba Ken Dedes
berdiri. Dipandanginya wajah anaknya dengan tajamnya. Dan tiba-tiba saja
diluar sadarnya ia berkata, “Kau salah. Sama sekali salah. Akuwu
Tunggul Ametung tidak datang kepada ayahku untuk melamar sebagai
lazimnya seorang laki-laki meminang seorang gadis. Tetapi aku telah
dirampas dan dilarikannya dengan paksa. Aku telah diambilnya tanpa
setahu ayahku, seorang pendeta dipadepokan Panawijen. Kakekmu telah
kehilangan aku bukan karena lamaran seorang Akuwu.”
Jawaban ibunya itu telah membuat dada
Anusapati berdentangan. Semula ia ragu-ragu mendengar keterangan itu,
seakan-akan bahwa ayahnya yang baru dikenalnya itu telah menculik ibunya
yang bernama Ken Dedes itu dari padepokan, sehingga oleh hentakan
berbagai perasaan di dadanya, ia bahkan tidak mempercayainya.
Kebenciannya kepada Sri Rajasa, yang tertahan-tahan dan yang tiba-tiba
saja meledak setelah mengetahui bahwa Sri Rajasa sama sekali bukan
ayahnya, meluap tanpa dapat dikendalikannya. Dan itulah sebabnya maka ia
tidak dapat menelan kenyataan yang dihadapkan ibunya kepadanya, bahwa
ayahnya yang sebenarnya itu-pun telah melakukan kesalahan yang tidak
dapat dimaafkan.
Karena itu maka katanya, “Ibunda.
Ternyata bahwa ibunda telah memutar balikkan kenyataan. Hamba tidak
dapat mengerti yang manakah yang benar. Ibunda mula-mula mengatakan
bahwa ibunda mencintai ayahanda Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian ibunda
mengatakan bahwa ayahanda Akuwu Tunggul Ametung telah berbuat kesalahan.
Ibunda tidak diambil dari padepokan dengan upacara kebesaran lamaran
seorang Akuwu, tetapi ibunda telah dilarikannya. Yang manakah yang harus
hamba percaya. Tetapi bahwa ibunda telah mencintai Sri Rajasa itulah
yang benar. Bahkan mungkin kematian ayahanda Tunggul Ametung adalah
suatu hal yang menyenangkan sekali bagi ibunda, karena ibunda telah
terlepas dari sangkar yang telah dibuat oleh Akuwu Tunggul Ametung.”
“Anusapati,” wajah ibunnya menjadi merah
padam, “kau adalah anakku. Aku melahirkan kau dengan bertaruh nyawa.
Sekarang kau berani menghinaku. Anusapati, apa-pun yang telah aku
lakukan, tetapi aku mencintaimu. Kau adalah anakku yang selalu membuat
aku prihatin. Aku mengharap kau kelak tidak mengalami masa-masa yang
paling pahit didalam hidupmu. Dan kini selagi aku berusaha dengan
segenap hati, kau … kau … “ suara Ken Dedes terputus dikerongkongan.
Namun agaknya hati Anusapati telah
tertutup. Kepahitan hidup dan kenyataan yang bercampur baur itu
membuatnya kehilangan pegangan.
Karena itu maka katanya, “Ibunda. Kenapa
ibunda masih juga mengatakan bahwa ibunda mencintai hamba, mencintai
ayah? Jika ibunda mempertahankan kedudukanku sekarang sebagai Putera
Mahkota, sebenarnya sama sekali bukan untuk kepentingan hamba, tetapi
semata-mata karena ibunda ingin tetap duduk di atas kedudukan ibunda,
seorang Permaisuri. Alangkah nistanya martabat seorang Permaisuri yang
harus turun dari kedudukannya karena ada perempuan lain yang
mendesaknya.”
“Anusapati, Anusapati,” Ken Dedes
membentak hampir menjerit sehingga seorang emban yang mendengarnya
diluar menjadi termangu-mangu. Tetapi justru karena ia mengetahui bahwa
agaknya Permaisuri marah dan bahkan bertengkar dengan Putera Mahkota, ia
sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan rasa-rasanya tubuhnya
menjadi gemetar dan dadanya berdebar-debar.
Dalam pada itu, Ken Dedes yang menjadi
marah pula, justru kehilangan kemampuan untuk mengucapkan kata-kata. Ia
tidak pernah menyangka bahwa ia harus bertengkar dengan Anusapati. Anak
yang selama ini membuatnya sangat berprihatin. Namun yang kemudian
menjadi salah paham ketika ia mendengar kenyataan tentang dirinya itu.
Namun karena Ken Dedes seakan-akan
menjadi terbungkam itulah, maka ternyata dadanya telah menggeletar. Yang
tidak dapat diucapkannya itulah yang seakan-akan telah mengambang
didalam dirinya, sehingga karena itulah maka tanpa disadarinya, dari
dalam dirinya telah memancar cahaya yang hanya tampak oleh mata hati
yang telah terbuka.
Ternyata bahwa selama ini, selama
Anusapati mengalami pembajaan diri, serta dasar-dasar ilmu Gundala Sasra
dan bahkan sekaligus kemampuan menyerapan dari kekuatan yang
tersembunyi dalam dirinya, ternyata bahwa Anusapati yang muda itu-pun
telah mampu mempergunakan mata hatinya di luar sadarnya. Dan itulah
sebabnya, maka tiba-tiba saja ia melihat cahaya yang menyilaukan dari
tubuh ibunya. Tubuh yang disaat-saat tertentu seakan-akan telah memancar
dalam bentuk yang berlainan.
Anusapati sejenak membeku di tempatnya.
Namun cahaya yang silau itu rasa-rasanya langsung menusuk tubuhnya dan
menghunjam jauh kepusat jantungnya, sehingga tiba-tiba saja ia menutup
wajahnya sambil berkata, “Ibu, jangan ibu …”
Sejenak Ken Dedes termangu-mangu. Ia tidak mengerti apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Namun dalam pada itu, meskipun Anusapati
telah menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tetapi cahaya itu
bagaikan menembus pelupuk matanya yang terpejam.
“Ibunda,” tiba-tiba Anusapati berlutut, “ampun ibunda. Ampun.”
Ken Dedes yang sedang marah itu tiba-tiba
tergugah pula hatinya ketika ia melihat anaknya berlutut. Seakan-akan
ia telah dihadapkan kembali kepada Anusapati dalam keadaan sehari-hari.
Anak laki-lakinya yang selalu dirundung oleh kepahitan dan tekanan
perasaan. Karena itulah maka hatinya-pun manjadi cair. Perlahan-lahan ia
mendekati anaknya dan sekali lagi dipeluknya kepala anaknya yang sedang
berjongkok itu. Katanya, “Anusapati. Bangkitlah. Ibu tidak marah lagi.”
Tetapi Anusapati masih memejamkan matanya dan menutup wajahnya meskipun terasa pelukan ibunya yang hangat.
“Anusapati, kenapa kau seakan-akan menjadi silau dan menutup wajahmu dengan tanganmu. Pandanglah, inilah ibumu.”
Anusapati mendengar suara ibunya itu.
Suara yang lembut. Karena itu, maka perlahan-lahan ia membuka matanya
dan mengangkat tangannya yang menutup wajahnya itu.
Kini ia tidak melihat apa-pun lagi.
Perlahan-lahan ia memandang ibunya yang masih memeluknya. Tetapi ibunya
itu adalah ibunya yang dilihatnya setiap hari.
Karena itu, maka sadarlah Anusapati,
bahwa sebenarnyalah bahwa ibunya bukannya orang kebanyakan. Bukannya
gadis padepokan seperti gadis-gadis padepokan yang lain. Tetapi ibunya
tentu mempunyai kelebihan. Meskipun Anusapati tidak tahu apakah arti
dari cahaya yang seakan-akan memancar dari jantung ibunya itu, namun
bagi Anusapati, cahaya itu pasti mempunyai arti yang dalam.
Dengan demikian maka sambil memeluk
ibunya ia tidak dapat lagi menahan air matanya yang mengambang
dipelupuknya. Katanya dalam nada yang berat terputus-putus, “Ampunkan
hamba ibunda. Hamba ternyata telah berbuat kasar terhadap ibunda. Sama
sekali bukan maksud hamba. Mungkin didorong oleh gejolak perasaan yang
tidak dapat hamba kuasai lagi.”
“Sudahlah Anusapati,” sahut Ken Dedes
sambil membelai rambut anaknya yang masih berjongkok sambil memeluknya,
“jangan hiraukan lagi dan lupakanlah apa yang sudah terjadi. Terimalah
kenyataan tentang dirimu dengan sikap dewasa. Alangkah beratnya bagi
ibunda untuk menunjukkan kenyataan ini kepadamu. Mungkin karena ibunda
tidak mempunyai keberanian, tetapi juga mungkin karena ibunda menunggu
sampai ibunda yakin bahwa kau sudah cukup kuat menerima kenyataan ini,
maka barulah sekarang ibunda mengatakannya.”
“Ibunda,” berkata Anusapati, “lalu apakah
yang seharusnya hamba perbuat. Kini hamba telah dapat melihat kenyataan
tentang diri hamba.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya, “Cobalah, cernakan dahulu apa yang kau ketahui. Barulah kau
berpikir dengan bening, apakah yang sebaiknya kau lakukan.”
Anusapati mengangguk. Perlahan-lahan
dilepaskannya ibunya. Dan dengan kepala tunduk ia-pun kemudian duduk
diatas dingklik kayu sambil merenung.
“Ibu,” tiba-tiba ia bertanya, “apakah
sebabnya maka ayahanda Tunggul Ametung yang saat itu menjadi Akuwu
Tumapel meninggal? Apakah ayahanda Tunggul Ametung memang sudah tua atau
karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh para dukun yang
paling pandai dari seluruh Tumapel?”
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang
mendebarkan. Jika Ken Dedes menjawab yang sebenarnya, maka ia cemaskan
bahwa Anusapati akan mengalami kejutan lagi dan kehilangan pengamatan
diri. Tetapi jika ia tidak berkata sebenarnya, maka niatnya untuk
mengungkapkan kenyataan tentang anaknya itu sama sekali belum tuntas.
Dengan demikian maka anaknya tidak akan dapat mengambil sikap yang telah
didasari oleh pengertian yang bulat tentang dirinya. Mungkin ia justru
menjadi putus asa dan kehilangan segenap gairah untuk hidup dan
kehilangan cita-cita buat masa depannya. Tetapi mungkin dendam telah
membakar jiwanya namun dengan sasaran yang tidak seharusnya. Jika dendam
Anusapati semata-mata ditujukan kepada Tohjaya dan ia bertindak
terhadap putera Sri Rajasa itu, maka ia akan mengalami nasib yang tidak
menguntungkan. Ia dapat ditangkap dan dihukum seberat-eratnya. Padahal
Tohjaya bukannya sasaran dendam yang sebenarnya.
“Tetapi apakah aku akan membiarkan anakku mendendam?” Ken Dedes bertanya kepada diri sendiri.
Sebuah persoalan cepat berkecamuk di
dalam hati Ken Dedes. Jika masalahnya tidak akan menyangkut masa depan
anaknya, maka Ken Dedes sama sekali tidak akan membiarkan anaknya
terjerumus kedalam dendam yang tidak ada ujungnya. Jika sekiranya Ken
Arok tidak berusaha menyambut hari depan Anusapati, maka persoalannya
pasti akan sudah dilupakan oleh Ken Dedes, meskipun ia sendiri mengalami
kepahitan perasaan karena hadirnya Ken Umang. Hal itu adalah karena
kesalahan yang telah dilakukannya sendiri. Tetapi bagi Anusapati,
persoalan yang dihadapi bukan semata-mata persoalan dendam karena
ayahnya telah terbunuh, tetapi yang lebih penting baginya adalah
persoalan masa depannya. Karena itu jika Anusapati berbuat sesuatu,
alasannya harus condong kepada kepentingan hari depan. Bukan semata-mata
karena ia mendendam.
Karena ibunya tidak segera menjawab, maka
Anusapati-pun mendesak, “Ibunda, bukan maksud hamba untuk menggubah
persoalan yang sudah lama berlaku. Tetapi apakah ibunda dapat
mengatakan, apakah sebabnya ayahanda Tunggal Ametung meninggal dunia,
selagi hamba belum lahir?”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Anakku. Persoalan ini bagaikan hantu yang selalu membayangi
hati ibu. Tetapi karena aku sudah mengatakan sebagian dari kenyataanmu
maka aku tidak akan menyembunyikannya lagi.”
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar.
Tetapi kini ia berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak diguncang oleh
perasaannya dan kehilangan kendali. Apa-pun yang akan dikatakan oleh
ibunya akan diterimanya dan dicernakannya baik-baik tanpa kehilangan
akal dan berbuat kasar terhadap ibunya yang hampir seperti dirinya
sendiri, selalu dicengkam oleh keprihatinan.
Dengan demikian, wajah Anusapati-pun
menjadi tenang dan tidak lagi membayangkan kegelisahan yang
melonjak-lonjak seperti ketika ia mendengar tentang ayahnya.
Melihat ketenangan Anusapati, hati Ken
Dedes menjadi agak tatag. Sejenak dipandanginya anaknya yang duduk diam.
Kemudian diaturnya perasaannya yang mulai bergejolak. Persoalan yang
akan dikatakannya sebenarnya adalah persoalan yang lebih penting dari
persoalan siapakah ayah Anusapati itu.
“Anusapati,” berkata ibunya, “Akuwu
Tunggul Ametung meninggal bukan karena ia sudah terlalu tua. Bukan pula
karena Akuwu sakit dan tidak dapat diobati lagi.”
“Jadi,” terasa hati Anusapati melonjak.
Tetapi ia-pun segera berusaha menguasainya kembali. “Apakah ayahanda
gugur di peperangan?”
Ken Dedes menggelengkan kepalanya.
“Apakah maksud ibu, ayahanda meninggal dengan tiba-tiba?”
“Ya Anusapati. Ayahanda itu meninggal dengan tiba-tiba.”
“Kenapa ibunda?”
“Anusapati. Alangkah sedihnya jika aku terpaksa mengatakan kepadamu. Ayahandamu meninggal karena pembunuhan.”
“Ayahku dibunuh orang?”
“Ya Anusapati.”
Wajah Anusapati menjadi merah padam.
Tetapi dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai perasaannya.
Bagaimana-pun juga ia masih juga bertanya, “Bagaimana hal itu dapat
terjadi ibu. Jika ayahanda mati dibunuh orang, ibunda dapat juga
melupakannya dalam waktu yang singkat. Masih belum seumur hamba di dalam
kandungan.”
Mata Ken Dedes menjadi basah. Jawabnya,
“Itu adalah dosaku Anusapati. Jangan kau ulang lagi. Aku sudah merasa
bahwa hal itu adalah dosa yang beranak pinak, sehingga diriku
seakan-akan tidak lagi dapat menempatkan diri dihadapan Yang Maha Agung.
Sekali aku berbuat dosa, maka aku harus melindungi dosa itu dengan
dosa-dosa yang lain terhadap sesama manusia. Tetapi aku sadar, bahwa aku
tidak akan dapat menyembunyikannya terhadap Yang Maha Agung.”
Wajah Anusapati tertunduk lesu. Jika ia
menyebut dosa itu lagi, maka hati ibunya pasti akan semakin remuk.
Karena itu maka ia-pun bertanya, “Apakah orang-orang Tumapel waktu itu,
pasukan-pasukan pengawal dan para prajurit tidak dapat menemukan
siapakah yang membunuh ayahanda Tunggal Ametung, yang pada waktu itu
menjabat sebagai Akuwu di Tumapel?”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam untuk
mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Dengan sisa keberanian,
ketenangan dan pasrah diri yang tulus, maka ia-pun kemudian bertata,
“Pada waktu itu tidak ada orang yang dapat mengetahui siapakah yang
telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Tuduhan yang utama ditujukan
kepada seorang pelayan dalam yang memiliki sebilah keris yang masih
tertancap ditubuh Tunggul Ametung.”
“Siapakah orang itu?”
“Orang itu bernama Kebo Ijo. Dan ia sudah menjalani, hukumannya. Ia dibunuh karena kesalahan itu.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Hukuman yang setimpal baginya. Tetapi apakah pamrih Kebo Ijo
dengan membunuh ayahanda Tunggal Ametung?”
Sejenak Ken Dedes tidak menyahut. Ia
masih harus mengatasi gejolak didalam dirinya untuk dapat sampai pada
keterangan yang sebenarnya tentang kematian Akuwu Tunggul Ametung.
“Anusapati,” berkata Ken Dedes kemudian,
“tetapi ternyata bahwa tuduhan itu keliru. Akhirnya, setelah pembunuhan
itu terjadi beberapa lama, dapat diketahui bahwa pembunuhnya sama sekali
bukan Kebo Ijo.”
“O, dan Kebo Ijo sudah terlanjur dibunuh?”
“Ya. Kebo Ijo telah terbunuh.”
“Tetapi apakah pembunuh yang sebenarnya akhirnya dapat diketahui?”
Terasa debar didada Ken Dedes menjadi
semakin cepat. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengatakan keadaan yang
sebenarnya kepada anaknya seutuhnya.
“Anusapati,” berkata Ken Dedes kemudian,
“memang akhirnya pembunuh yang sebenarnya itu-pun diketahui pula. Ia
tidak saja membunuh Akuwu Tunggal Ametung. Tetapi ia juga membunuh Empu
Gandring, seorang Empu yang telah membuat keris untuknya dan keris itu
pulalah yang telah mengakhiri hidup Akuwu Tunggul Ametung.”
“Alangkah terkutuknya. Tetapi apakah ibu mengetahui siapakah orang itu?”
Ken Dedes mengangguk dengan ragu-ragu.
“Siapakah orang itu ibunda?”
Sesaat Ken Dedes tidak dapat mengucapkan kata-kata. Sekali lagi ia merasa disimpang jalan yang panjang.
“Ibunda,” desak Anusapati.
Namun Ken Dedes-pun kemudian mengumpulkan
semua kekuatan batin yang ada padanya untuk mengatakannya apa yang
sebenarnya sudah terjadi. Karena itu dengan suara yang serak ia berkata,
“Anusapati. Yang terjadi kemudian hampir diluar kemampuanku untuk
mengatasinya. Selagi aku mengagumi usaha Ken Arok untuk menyatukan
seluruh daerah Singasari, maka tahulah aku siapakah sebenarnya yang
telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung.” Ken Dedes berhenti sejenak. Lalu,
“orang itu adalah orang yang kini berkuasa di Singasari.”
“Sri Rajasa,” suara Anusapati terputus.
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Namun
untuk mengucapkan kata-katanya yang terakhir ternyata Ken Dedes telah
memaksa diri dengan segenap kekuatannya. Karena itulah, maka setelah
kata-kata itu terucapkan, ia-pun menjadi seolah-olah lemas tidak
bertenaga lagi.
Betapa hati Anusapati bergejolak. Tetapi
betapa ia berrusaha untuk menahan diri. Apalagi ketika ia melihat ibunya
seakan-akan hendak menjadi pingsan karenanya.
Dengan sigapnya ia menangkap tubuh ibunya
dan membawanya kepembaringan. Perlahan-lahan dibaringkannya tubuh itu.
Ketika Anusapati memandang wajahnya, alangkah pucatnya.
Tetapi Ken Dedes tidak pingsan. Bahkan ia
masih dapat tersenyum betapa pahitnya. Katanya hampir tidak terdengar,
“Anusapati. Aku sudah memaksa diri untuk mengatakannya. Aku mengharap
bahwa kau benar-benar dapat bersikap dewasa.”
Anusapati yang gemetar itu tidak segera menjawab. Dengan tegangnya ia berdiri di pinggir pembaringan ibunya.
“Anusapati,” desis ibunya, “duduklah.”
Seperti dipukau oleh pesona yang tidak
dimengertinya. Anusapati-pun kemudian duduk disebuah dingklik kayu
sambil menunduk dalam-dalam. Namun dari sela-sela bibirnya ia berkata,
“Pembunuh itu kini duduk di atas tahta Singasari.”
“Ya Anusapati. Pembunuh itu kini berkuasa di Singasari dan berkuasa pula atas diri kita.”
“Tidak,” Anusapati menghentak, “aku akan
melepaskan kekuasaan ini. Aku menarik keputusanku untuk membunuh Tohjaya
dan mengasingkan diri apabila aku tidak terbunuh oleh Sri Rajasa.
Tetapi sekarang aku berkeputusan lain. Aku akan tetap berada di istana.
Bukan Tohjayalah yang harus dibunuh.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Meskipun Anusapati tidak mengucapkan, tetapi ia mengerti makna dari
kata-kata yang terpotong itu.
Meskipun demikian Ken Dedes sudah
menyadari, bahwa hal itu memang mungkin sekali terjadi. Ia sudah
menjatuhkan pilihan. Bukan lagi kenangan yang indah dimasa mudanya, yang
penting baginya kini, tetapi adalah hari depan yang panjang bagi
anaknya, bagi Singasari dan bagi keturunannya.
Tatapi Ken Dedes-pun sadar, bahwa Sri
Rajasa bukannya seorang yang hanya pandai merayunya dimasa muda. Tetapi
ia adalah seorang prajurit yang pilih tanding. Bahkan ia telah berhasil
mengalahkan Maharaja di Kediri yang mempunyai kesaktian tiada taranya.
Karena itulah maka Ken Dedes-pun kemudian
berkata dengan suara yang lemah, “Anusapati. Datanglah kembali kepada
pamanmu. Katakan apa yang kau dengar dari mulutku. Kau harus menurut
segala nasehatnya. Hanya pamanmulah orang yang memiliki kemampuan
seimbang dengan Sri Rajasa, meskipun pamanmu seorang yang besar dan
lahir dipadepokan yang terpencil.” Suara Ken Dedes terputus sejenak.
Lalu, “Sri Rajasa-pun bukan seorang keturunan raja dimana-pun juga.
Tetapi ia adalah kekasih dewa-dewa.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia memang tidak akan dapat meninggalkan Mahisa Agni yang selama ini
telah menempatkannya pada tempat yang wajar di mata rakyat Singasari,
bahwa sebenarnyalah ia Putera Mahkota. Dihadapan rakyat Singasari ia
dapat menunjukkan, bahwa ia tidak kalah dari putera kebanggaan Sri
Rajasa, Tohjaya. Dan di malam hari ia dikenal sebagai Kesatria Putih
yang memberikan kedamaian hati bagi rakyatnya.
Karena itu, maka sejenak kemudian
Anusapati-pun minta diri kepada ibunya. Katanya, “Ibunda, hamba akan
menghadap paman Mahisa Agni. Agaknya paman Mahisa Agni-pun mengetahui
semua persoalan yang ibunda katakan. Tetapi paman mengharap bahwa ibunda
sendirilah yang menyampaikannya kepada hamba.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Ya. Pamanmu mengetahui semuanya. Tetapi akulah yang memang
seharusnya mengatakan kepadamu.”
Dengan dada yang bergelora maka
Anusapati-pun kemudian meninggalkan ibunya dan pergi mendapatkan
pamannya. Ia tidak dapat menunggu sampai besok. Ia ingin segera
mendengar apakah yang akan dikatakan oleh pamannya itu kepadanya.
Tetapi ternyata bahwa kesibukan Anusapati
yang berjalan hilir mudik dari bangsal pamannya kebangsal ibunya
kemudian kembali lagi itu mendapat perhatian dari seorang prajurit yang
sangat dekat dengan Tohjaya. Bahkan kadang-kadang ia ikut mengawalnya,
apabila Tohjaya memerlukan pengawal lebih dari pengawalnya sendiri jika
ia keluar istana.
“Tentu ada sesuatu yang penting,” berkata prajurit itu didalam hati.
Tiba-tiba saja prajurit itu terkejut
ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang
juru taman berdiri dibelakangnya.
“Apakah yang kau perhatikan? Apakah kau sedang mengintip seseorang.”
“Persetan dengan kau.”
“Aku tahu pasti. Kau sedang mengintip Putera Mahkota.”
“Apakah kau gila?”
Juru taman itu menggeleng. Jawabnya
sambil tersenyum, “Aku tidak gila. Tetapi aku tahu pasti. Kau
mencurigainya dan kau akan mengatakannya kepada tuanku Tohjaya.”
“Aku sumbat mulutmu dengan tumitku jika kau mengigau.”
“Sst, aku tidak mengigau. Jika kau perlukan keterangan, aku dapat memberimu banyak sekali.”
“He,” prajurit itu ternyata tertarik pada keterangan juru taman itu.
“Kau dapat menemui aku nanti malam. Aku
mempunyai banyak ceritera tentang Putera Mahkota. Kau mau? Aku
menunggalmu di sudut taman yang gelap itu.”
Sumekar tidak menunggu jawaban prajurit
itu. Dengan tenangnya ia melangkah pergi dan hilang dibalik dinding
taman istana Singasari.
Prajurit itu termangu-mangu sejenak.
Putera Mahkota sudah tidak tampak lagi. Tetapi kesanggupan juru taman
itu untuk berceritera tentang Putera Mahkota sangat menarik
perhatiannya, sehingga karena itu maka ia-pun berhasrat untuk datang
malam nanti di sudut taman seperti yang dikatakan oleh juru taman itu.
Dalam pada itu, Anusapati-pun sudah
menghadap pamannya dengan wajah yang gelisah. Tetapi agaknya Mahisa Agai
sudah dapat mengerti, bahwa Anusapati sudah mendengar kenyataan tentang
dirinya dari ibunya.
“Duduklah Anusapati,” pamannya mempersilahkan.
Anusapati-pun kemudian duduk dengan wajah yang tunduk.
“Kau tampak letih sekali.”
Anusapati mengangguk. Katanya dengan nada
datar, “Ibunda sudah mengatakan semuanya tentang diriku dan tentang
kematian ayahandaku yang sebenarnya. Akuwu Tunggul Ametung.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Kemudian ia-pun menganggukkan kepalanya. Katanya, “Kau sekarang sudah
cukup matang. Anakmu sudah semakin besar. Karena itu, pertimbanganmu
sekarang bukan pertimbangan anak muda, tetapi pertimbangan orang tua.”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Apakah kata ibumu tentang kematian Akuwu Tunggal Ametung?”
“Yang membunuh ayahanda Tunggal Ametung itulah yang sekarang duduk di atas tahta Singasari.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ibumu benar. Ialah yang telah membunuh ayahandamu
yang sebenarnya. Tetapi apakah kau telah dicengkam oleh dendam karena
kematian ayahandamu itu?”
Anusapati tidak menyahut.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “memang
lain rasanya orang yang langsung mengalaminya dan orang yang berdiri
diluar. Tetapi justru karena aku tidak langsung terlibat didalamnya,
maka aku sempat berpikir apakah yang sebaiknya kau lakukan.”
“Ya paman. Aku memerlukan sekali petunjuk disaat serupa ini.”
“Aku yakin bahwa Sri Rajasa benar-benar berhasrat menyingkirkan kau.”
“Ya paman. Aku-pun yakin.”
“Karena itu Anusapati, jalan yang harus
kau tempuh sama sekali bukan pembalasan dendam itu. Kau harus melupakan
apa yang sudah terjadi. Sri Rajasa telah menebus kesalahan yang besar
itu dengan perbuatan yang besar.”
Anusapati mengangkat wajahnya.
Dipandanginya Mahisa Agni dengan penuh pertanyaan. Dan bibirnya-pun
mengucapkannya pula, “Apakah maksud paman?”
“Kau harus memandang kedepan. Kau
sekarang adalah Putera Mahkota. Yang harus kau lakukan adalah menyiapkan
dirimu untuk menjadi seorang Maharaja di Singasari.”
“Tetapi Ayahanda Sri Rajasa akan menggusir aku. Bukankah baru saja paman mengatakan demikian?”
“Itulah soalnya yang kau hadapi. Jika kau
terpaksa mempertahankan diri, adalah karena kau Putera Mahkota yang
akan disingkirkan. Maksudku, kau tidak usah mempersoalkan yang sudah
terjadi. Tetapi kau tidak harus menyerahkan masa depanmu kepada orang
yang pernah membunuh ayahmu itu. Apakah kau mengerti maksudku?”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Apakah ada perbedaan di antara keduanya paman? Apakah hal itu
bukan sekedar untuk menenteramkan hati sendiri, agar kita tidak salalu
dicengkam oleh dendam, dan seolah-olah nafsu kita telah dikuasai oleh
dendam semata-mata. Tetapi yang pada hakekatnya akan melahirkan tindakan
yang sama?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Tidak Anusapati. Persoalannya tidak sama, dan yang akan kau
lakukan-pun tidak akan sama. Jika kau digerakkan oleh dendam dihati,
maka kau akan menjadi garang. Kau akan mencari kesempatan untuk
melepaskan dendammu. Dan kaulah yang mengambil tindakan kapan saja yang
kau anggap baik. Tetapi jika bukan itu soalnya, maka kau tidak akan
mengambil tindakan apapun. Tetapi kau akan tetap berhati-hati. Kau akan
melindungi dirimu sendiri. Aku yakin bahwa Sri Rajasa tidak akan
mempergunakan para prajurit dan Senapati untuk memaksakan kehendaknya.
Aku yakin bahwa jika demikian maka Singasari akan benar-benar terpecah,
karena Sri Rajasa-pun tahu benar, bahwa aku mempunyai pengaruh yang kuat
pula pada para Senapati di Singasari. Lebih daripada itu, aku telah
minta agar kakang Witantra-pun berbuat sesuatu untuk menekankan pengaruh
para Senapati dari Pasukan Pengawal, agar mereka tidak mudah diperalat
oleh Sri Rajasa dan Tohjaya di dalam persoalan ini.”
“Apa yang dapat dilakukan oleh paman Witantra?”
“Mudah-mudahan ia berhasil meskipun hanya sekedar membantu rencana kita yang besar.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia mengerti maksud pamannya. Ia tidak boleh mengambil sikap yang kasar
terlebih dahulu. Ia harus menunggu. Tetapi berapa lama ia harus menunggu
dalam kegelisahan dan kecemasan, karena setiap saat bahaya dapat
menerkamnya dari segala penjuru.
Karena itulah maka Anusapati merasa bahwa
dirinya benar-benar berdiri di atas titian yang telalu sempit di atas
sebuah jurang yang dalam. Jika ia salah langkah, maka ia pasti akan
terjerumus dan hancur berkeping-keping.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni kemudian
yang seakan-akan dapat mengetahui perasaan Pangeran Pati itu, “memang
kau seolah-olah berada di dalam pendadaran yang sangat berat. Tetapi aku
yakin bahwa kau akan dapat mengatasinya.”
“Semoga paman,” jawab Anusapati, “aku akan berusaha.”
“Hati-hatilah Anusapati,” berkata Mahisa
Agni kemudian, “aku akan berusaha berada di Singasari untuk waktu yang
agak panjang. Tetapi jika perintah Sri Rajasa datang setiap saat agar
aku kembali ke Kediri, maka aku-pun harus segera melakukannya.”
Anusapati mengangguk.
“Aku akan berbicara dengan Sumekar.
Ternyata ia merupakan seorang kawan yang sangat setia bagimu. Jangan
lupa, bahwa kau harus selalu berhubungan dengan juru taman itu. Suasana
pasti akan meningkat terus. Apalagi karena kau selalu mondar mandir
antara bangsal ibundamu dan bangsal ini. Jika ada seseorang yang
memperhatikan, maka itu berarti pertada bahwa yang akan terjadi akan
cepat terjadi. Sri Rajasa tentu memperhitungkan apa yang kau lakukan
sekarang ini.”
“Baiklah paman,” berkata Anusapati
kemudian, “kini aku mohon diri. Aku sekarang sudah jelas dimana aku
berdiri. Dengan demikian aku akan dapat mempertimbangkan sikap yang
paling baik yang dapat aku lakukan.”
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni kemudian
dengan ragu-ragu, “aku masih ingin mengingatkan kau kepada pemberianku
itu. Dalam keadaan seperti sekarang ini apa salahnya jika benda itu
tidak terpisah daripadamu.”
“O,” Anusapati mengangguk-angguk, “terima
kasih paman. Aku akan selalu membawanya. Aku tahu bahwa benda itu
sangat berguna dalam suatu saat yang paling gawat.”
“Benda itu berpengaruh siang dan malam. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, bahwa benda itu sama sekali bukan sebuah senjata.”
“Ya paman.”
“Jika kau manginginkan senjata
Anusapati,” berkata Mahisa Agni kemudian, “kau dapat bertanya kepada
ibumu. Sebenarnya yang penting bagimu bukan untuk mempergunakan senjata
itu, tetapi agar senjata itu tidak dipergunakan oleh orang lain terutama
Sri Rajasa sendiri atau Tohjaya.”
“Senjata apakah yang paman maksud?”
“Sebilah keris yang keramat.”
“Keris?” Anusapati mengerutkan keningnya.
“Ya. sebilah keris. Keris itulah yang
dipergunakan oleh Sri Rajasa untuk membunuh korbannya. Yang pertama
adalah pembuat keris itu sendiri.”
“Siapa paman?”
“Empu Gandring.”
“O,” Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Empu Gandring lah yang membuat keris
itu, dan Empu Gandring pulalah korban yang pertama. Keris itu adalah
keris yang sangat keramat.”
Anusapati mendengarkan ceritera Mahisa Agni dengan cermatnya sebagai pelengkap ceritera ibundanya.
“Dimanakah keris itu sekarang disimpan paman?” bertanya Anusapati.
“Keris itu disimpan oleh ibundamu.”
“Ibunda? Kenapa bukan oleh Ayahanda Sri Rajasa?”
“Aku tidak tahu pasti, kenapa begitu.
Tetapi aku kira ayahandamu pada saat itu ingin melupakan apa yang sudah
dilakukannya. Empu Gandring itu adalah pamanku, dan kemudian Akuwu
Tunggul Ametung, setelah dengan cermatnya ia menjerumuskan sahabatnya
kedalam bencana.”
“Ibunda juga menyebutnya,” berkata Anusapati kemudian.
“Nah, cobalah. Usahakanlah agar keris itu
jatuh ke dalam tanganmu. Tetapi tanpa niat yang buruk, sakedar
menghindarkan kemungkinan yang paling pahit bagimu sendiri, apabila
dalam keadaan yang gawat ini Sri Rajasa teringat kepada senjata yang
telah bernoda darah itu dan timbul keinginannya untuk mempergunakannya
lagi.”
Anusapati menjadi tegang sejenak.
“Anusapati, ciri yang paling jelas dari
keris itu adalah tangkainya. Hulu keris itu bukannya sebuah ukiran yang
rumit dan bertahtakan permata, tetapi hulu keris itu adalah sepotong
dahan cangkring yang kasar dan belum dibentuk sama sekali.”
“Dahan cangkring yang kasar,” Anusapati mengulangi.
“Ya. Itulah keris yang telah mengakhiri hidup pamanku dan ayahandamu.”
“Baiklah paman. Aku akan menghadap ibunda. Aku akan memohon agar keris itu diperkenankan aku simpan.”
“Tetapi kau tidak usah menghadap
sekarang. Jarak antara bangsal ini dan bangsal ibumu akan menjadi lekuk
bekas kakimu. Besok sajalah kau menghadap.”
“Satu malam adalah waktu yang panjang paman. Di malam nanti semuanya akan dapat tarjadi.”
“Aku masih ada disini. Aku akan
memberitahukan kepada Sumekar dan kau memiliki trisula yang dapat
membantumu khusus menghadapi kejahatan.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang ia sudah hilir mudik antara kedua bangsal itu. Karena itu maka
katanya, “Baiklah paman. Besok pagi-pagi jika aku masih berkesempatan
melihat matahari terbit, aku akan menghadap ibunda untuk memohon agar
keris itu dapat aku simpan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya,
katanya kemudian, “Kau harus mencoba untuk menenangkan hatimu jika kau
kembali kepada isterimu. Baginya kau adalah sandaran yang tidak boleh
goyah, agar keluargamu tidak menjadi lebih gelisah dari kau sendiri.”
Anusapati menganggukkan kepalanya, “Ya paman. Aku akan mencoba.”
“Nah, jika demikian, pulanglah kebangsalmu. Temuilah isteri dan anakmu yang barangkali sudah menunggu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi kecemasan di dadanya masih saja bergejolak. Bahkan terbayang di
angan-angannya bahwa jalan dari bangsal pamannya itu sampai
kebangsalnya, telah penuh oleh prajurit-prajurit yang dipasang oleh
Tohjaya untuk menjebaknya.
Tetapi Anusapati-pun kemudian mohon diri juga dengan hati yang tegang.
Langkahnya kemudian menjadi sangat
hati-hati. Diperhatikannya setiap gerumbul petamanan dan pohon bunga di
sebelah menyebelah lorong di halaman istana itu.
Anusapati mengerutkan keningnya ketika ia
melihat Sumekar berdiri sambil memotong daun-daun bunga yang kuning.
Ketika ia lewat di sampingnya, maka ia-pun berhenti sejenak sambil
berkata, “Paman Mahisa Agni ingin berbicara.”
Sumekar mengangguk. Katanya, “Hamba sudah bertemu.”
“Ada lagi yang akan dikatakannya.”
“Ya tuanku. Hamba akan menunggu.” Sumekar
berhenti sejenak lalu, “Hamba sudah mendengar langkah yang semakin
dekat dengan puncak dari persoalan tuanku. Tetapi hamba tidak tahu apa
yang harus hamba lakukan. Barangkali perintah itulah yang akan hamba
terima dari pamanda tuanku.”
Anusapati tidak menyahut. Ia-pun kemudian melanjutkan langkahnya sambil berdesis, “berhati-hatilah paman.”
Sumekar mengangguk dalam-dalam. Tetapi ia
berdiam diri sambil memandang langkah Putera Mahkota yang sedang
dibelit oleh perasaan prihatin yang dalam.
“Aku harus membantunya. Mungkin aku dapat
terbuat sesuatu meskipun aku harus siap mengorbankan apa-pun yang aku
miliki. Tetapi Singasari memang harus dipertahankan agar tidak jatuh ke
tangan seseorang seperti tuanku Tohjaya,” berkata Sumekar di dalam hati.
Ternyata bahwa Sumekar yang sudah lama
berada di istana, dan yang sudah lama merasa hidup dalam tugas yang
dibebankan kepadanya oleh Mahisa Agni menjadi pemomong Anusapati, merasa
bahwa ia wajib untuk berbuat sesuatu sehingga jiwanya-pun setiap kali
menjadi semakin tegang. Ialah yang mendahului rencana Anusapati sendiri,
bahwa Sri Rajasa memang harus disingkirkan agar ia tidak mengambil
sikap terlebih dahulu untuk mengusir Anusapati dan menempatkan Tohjaya
dalam kedudukan yang tertinggi kelak.
Ketegangan itu agaknya menjadi semakin
memuncak di dalam jiwanya. Namun ia masih selalu berusaha untuk menahan
diri, agar tindakannya justru tidak merugikan usaha Mahisa Agni untuk
membentengi kedudukan Pangeran Pati.
Dalam pada itu, Mahisa Agni-pun
sebenarnya menjadi gelisah pula. Memang malam itu sesuatu dapat terjadi
atas Anusapati. Karena itu maka ia-pun berusaha untuk menemui Sumekar
dan berbicara dengan juru taman itu.
“Bayangilah bangsal itu. Barangkali kau mempunyai kesempatan yang lebih baik dari aku,” berkata Mahisa Agni.
Sumekar menganggukkan kepalanya.
“Semuanya sudah menjadi jelas bagi Putera
Mahkota,” berkata Mahisa Agni lebih lanjut, “ia sudah mengenal dirinya
dan Sri Rajasa.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Lalu ia-pun bertanya, “Apakah hal itu membuat Pangeran Pati menentukan sikap?”
“Aku mencegahnya. Ia tidak boleh berbuat
sesuatu. Yang penting baginya adalah mempertahankan diri dari tahta
Singasari agar Singasari tidak terbenam karena ketamakan seorang
perempuan yang bernama Ken Umang.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Desisnya kemudian, “Satu-satunya jalan sekarang adalah menyingkirkan Sri
Rajasa itu sendiri untuk menyelamatkan hasil usahanya yang besar dengan
mempersatukan Singasari.”
“Tentu memerlukan pertimbangan yang matang,” sahut Mahisa Agni.
“Aku kira tidak ada jalan lain. Jika kita
sekedar menyingkirkan Tohjaya maka Sri Rajasa masih mungkin untuk
berbuat sesuatu yang lain, karena Ken Umang mempunyai anak laki-laki
yang lain. Tindakan yang pahit dari Sri Rajasa dapat dialami pula oleh
tuanku Anusapati.”
“Baiklah kita pertimbangkan. Tetapi kita
tidak boleh tergesa-gesa. Sementara ini Anusapati sudah memiliki senjata
untuk mempertahankan dirinya, jika Sri Rajasa sendiri akan bertindak
atasnya. Sedangkan jika ia memerintahkan orang lain, maka Anusapati
cukup masak untuk melawannya.”
“Tetapi Sri Rajasa dapat berbuat sesuatu yang tidak kita duga lebih dahulu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia memang tidak ingkar bahwa Sri Rajasa dapat berbuat apa
saja, seperti ketika ia sedang berusaha memanjat keatas tahta Tumapel
saat itu. Dan kini, ia-pun sedang berusaha menempatkan anaknya yang
lahir dari perempuan yang tamak itu untuk menggantikannya. Tentu usaha
Sri Rajasa tidak akan kalah kerasnya dengan usahanya untuk
kepentingannya sendiri saat itu.
Namun demikian Mahisa Agni masih
mengekang persoalan itu agar tidak berkembang dengan tergesa-gesa
sehingga mungkin justru akan salah jalan.
“Sumekar,” berkata Mahisa Agni kemudian,
“jika terjadi sesuatu, dan kau merasa sulit untuk memecahkannya, berilah
tanda agar aku dapat membantumu.”
“Apakah tanda itu?”
“Apakah yang dapat kau berikan sebagai isyarat. Suara burung, suara ayam atau suara apa?”
Sumekar merenung sejenak, namun ia-pun tertawa, “Yang paling mudah bagiku adalah suara seekor katak.”
“Tanpa ada hutan? “ Mahisa Agni-pun bersenyum.
“Apa boleh buat.”
Mahisa Agni-pun menyahut, “Baiklah. Jika
aku mendengar suara katak yang berkepanjangan maka aku akan keluar dari
bangsal dan pergi ke arah suara itu.”
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun menjadi agak tenang. Sumekar adalah orang yang selama ini dapat dipercaya.
Sebelum mereka berpisah maka Sumekar-pun
menceriterakan tentang seorang prajurit yang selalu mengawasi Anusapati
ketika ia berjalan hilir mudik.
“Orang itu berbahaya,” berkata Sumekar.
“Biarlah. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
“Prajurit itu adalah pengawal Tohjaya.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Aku sudah memanggilnya nanti malam. Aku
mengatakan kepadanya bahwa aku mempunyai ceritera yang menarik, tentang
Putera Mahkota.”
“Apa yang akan kau oeriterakan?”
“Aku tidak ingin menceriterakan apa-apa. Aku ingin membungkamnya untuk selama-lamanya.”
“Ah,” desah Mahisa Agni, “jangan mulai
dengan korban pertama justru orang yang tidak berkepentingan. Kita
menghindari korban sejauh-jauhnya.”
“Tetapi orang itu berbahaya. Berbahaya bagi Pangeran Pati dan berbahaya bagimu kakang.”
“Aku mengerti, tetapi kenapa orang itu harus dibunuh?”
“Lalu apakah yang harus aku lakukan terhadapnya untuk mengamankan Pangeran Pati.”
“Belokkan perhatiannya.”
“Aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya, bahwa aku akan mengatakan sesuatu yang penting padanya.”
“Apa saja dapat kau katakan. Justru yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan ini.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian, “Baiklah kakang Mahisa Agni. Aku akan mengekang diri,
tetapi agaknya aku menjadi lebih bernafsu untuk segera bertindak
daripada Putera Mahkota sendiri.”
Mahisa Agni menepuk pundak Sumekar. Lalu katanya, “Jagalah dirimu, terutama perasaanmu.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kepalanya terangguk kecil.
Demikianlah maka Mahisa Agni menjadi agak
tenang. Ia percaya bahwa Sumekar pasti akan mengawasi Anusapati. Tetapi
ia-pun cemas bahwa Sumekar yang telah lama bergaul dengan Anusapati,
bahkan lebih rapat dari dirinya sendiri itu menjadi terlampau setia, dan
bahkan karena perasaan iba yang mendalam, Sumekar dapat bertindak lebih
keras dari Anusapati mendiri apabila batas kesabaran dan kekangan
perasaannya telah lewat.
Dalam pada itu, malam yang hitam
perlahan-lahan menyelubungi istana Singasari. Seakan-akan seperti
perasaan beberapa pemimpin Singasari sendiri yang menjadi kelam pula
karenanya.
Di belakang bangsal, Sri Rajasa duduk
termenung seorang diri, seakan-akan merenungi masa-masa yang telah lama
lampau, masa kini dan masa mendatang.
Dalam kebimbangan ia mencoba untuk
mencari jalan keluar agar ia tidak merusakkan usahanya sendiri selama ia
memegang pemerintahan. Seperti Mahisa Agni yang menyadari kekuatannya
dan para Senapati yang akan berpihak padanya keperselisihan yang terjadi
itu menjadi perselisihan yang keras dalam benturan senjata, maka Sri
Rajasa-pun menyadarinya pula. Setiap keadaan yang berkembang di
Singasari, ia harus memperhitungkan kemungkinan yang dapat dilakukan
oleh Mahisa Agni. Sedang menurut perhitungannya, Mahisa Agni pasti akan
melindungi Anusapati. Bukan saja karena Anusapati itu adalah
kemanakannya, tetapi Mahisa Agni tentu sudah dapat menduga siapakah yang
telah membunuh pamannya, Empu Gandring.
Dalam pada itu, tiba-tiba Sri Rajasa itu
seakan-akan dihadapkan pada masa lampaunya dipadang Karautan. Di
saat-saat ia pertama kali bertemu dengan Mahisa Agni.
Sebagai orang yang ditakuti dipadang
Karautan, maka ia merasa heran, bahwa ada anak muda yang mampu dan
berani melawannya. Hanya karena keajaiban yang ada pada dirinya, maka ia
tidak dapat dikalahkan oleh Mahisa Agni itu. Tetapi ketika kemudian
Mahisa Agni memegang sebuah trisula, maka ia-pun menjadi cemas karena
silau yang tajam.
Trisula yang kecil itu seakan-akan
memancarkan sinar yang tidak terkira memancar menyilaukan matanya,
sahingga ia tidak lagi dapat melihat lawannya. Dengan demikian Mahisa
Agni pada waktu itu dapat menyerangnya tanpa perlawanan sama sekali.
Betapa-pun kuat daya tahan tubuhnya, namun karena Mahisa Agni-pun
memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan manusia kebanyakan, maka
akhirnya ia-pun menjadi semakin lama semakin lemah.
Dan sekarang Mahisa Agni tumbuh menjadi
raksasa yang tiada terkira kemampuannya. Ia sudah berhasil membunuh
Senapati besar dari Kediri. Gabungan antara kemampuan yang tiada taranya
dengan trisula kecil itu, bagi Sri Rajasa adalah kekuatan yang
mencemaskan jantungnya.
Adalah dapat dimengerti bahwa Mahisa Agni
membencinya karena ia telah membunuh pamannya dan kini seakan-akan
telah menyia-nyiakan adik perempuannya meskipun masih tetap dalam
kedudukannya sebagai seorang Permaisuri. Kemudian usahanya untuk
mengusir kedudukan Anusapati tentu sangat menyakitkan hatinya pula.
Berbagai macam pikiran dan perasaan
bercampur baur dihati Sri Rajasa. Bahkan kadang-kadang ia mengenang
dengan jelas, apa yang pernah dilakukannya terhadap Empu Gandring dan
Akuwu Tunggul Ametung.
Terbayang bagaimana Empu Gandring
menunjukkan kepadanya keris yang masih belum siap itu. Bagaimana kecewa
yang saat itu mencengkamnya. Namun kemudian bagaimana hatinya bergolak
tidak terkendali lagi dan hampir diluar sadarnya tangannya telah
terjulur dan keris Empu Gandring itu menghunjam ditubuhnya sendiri.
Terbayang bagaimana orang tua itu menahan
rasa sakit dan berkata kepadanya, agar keris itu dihancurkan saja,
karena keris itu untuk selanjutnya akan menelan korban demi korban.
Tiba-tiba Sri Rajasa memejamkan matanya.
Bayangan itu serasa menjadi semakin jelas dan seakan-akan didalam
kesiapan di halaman dalam bangsalnya, sebuah bayangan berdiri
memandanginya. Bayangan seorang tua yang baik, yang tersenyum ramah
kepadanya dan meskipun dadanya telah terluka namun ia masih juga
memberinya peringatan agar keris itu dihancurkan.
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu
menjadi berdebar-debar. Bayangan itu bagaikan bergerak mendatangnya.
Sambil tersenyum Empu Gandring berkata kepadanya, “Keris itu akan
menelan korban demi korban.”
“Tidak, tidak,” suara Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa, “keris itu tidak akan menelan korban lagi.”
Tetapi bayangan yang tersenyum kepadanya
itu berkata, “Aku tidak ingin melihat korban itu berjatuhan lagi.
Terutama kau sendiri angger.”
“Tidak, tidak,” Ken Arok memejamkan
matanya. Meskipun ia seorang yang tidak terkalahkan, namun dihadapan
Empu Gandring ia merasa terlampau kecil. Bukan karena Empu Gandring
memiliki kemampuan melebihi dirinya, tetapi justru karena senyumnya yang
sama sekali tidak membayangkan dendam itulah yang tidak dapat
diatasinya.
Namun ketika ia membuka matanya, bayangan
itu telah tidak ada dihadapannya lagi. Yang tampak olehnya adalah
kegelapan halaman dalam bangsalnya. Sinar lampu yang melontar menyentuh
dedaunan membuat gambaran yang aneh didalam penglihatan Ken Arok.
Tidak. Bayangan itu masih ada. Bayangan
itu berdiri di antara dedaunan. Tetapi bayangan itu bukan lagi bayangan
Empu Gandring yang tersenyum.
Bayangan itu adalah bayangan wajah yang marah dengan soror mata yang menyala. Bayang Akuwu Tunggul Ametung.
Dengan ujung jarinya ia menunjuk ke wajah Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa, “Kau. Kau.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa menjadi
semakin berdebar-debar. Dan bayangan itu melangkah semakin dekat.
Ditelinganya Ken Arok mendengar Akuwu itu berkata, “Kau sudah membunuh
aku dan merampas isteriku. Sekarang kau akan menyia-nyiakan anakku. Aku
tidak rela Ken Arok. Aku tidak mendendam kematianku, apalagi karena kau
sudah berhasil menjadikan Tumapel sebuah negara yang besar yang dinamai
Singasari.” suara yang terdengar ditelinga Ken Arok itu berhenti
sejenak. Lalu, “Tetapi ternyata kau akan mengusir anakku, Ken Arok. Kau
akan mengusir Anusapati dari kedudukan yang memang menjadi haknya. Kau
akan memberikan hak itu kepada anakmu yang lahir dari perempuan yang
tamak dan dibakar oleh nafsu yang tidak terkendali itu. Aku tidak rela.
Aku akan membunuhmu bukan karena dendam karena kematianku, tetapi
semata-mata karena aku berusaha melindungi anakku.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu mematung di tempatnya. Wajah Akuwu Tunggul Ametung itu tampaknya bagaikan membara.
Tetapi ketika Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam dan berusaha menggugah kesadarannya sepenuhnya, maka
bayangan itu-pun menjadi kabur dan perlahan-lahan hilang sama sekali.
Yang tampak kemudian adalah cahaya lampu di dedaunan yang bergerak-gerak
disentuh angin malam.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kini
ialah yang sengaja membayangkan wajah Anusapati yang suram dan tunduk
dalam-dalam. Alangkah jauh bedanya antara pancaran wajah Akuwu Tunggul
Ametung dan puteranya Anusapati.
Tetapi Ken Arok mengerutkan keningnya.
Perbedaan itu bukan perbedaan yang mendalam. Perbedaan itu hanyalah
perbedaan kecil karena pengaruh lingkungannya. Akuwu Tunggul Ametung
adalah seorang Akuwu yang berkuasa, ditakuti oleh bawahannya dan
memiliki kemampuan yang mengagumkan, sedang Anusapati hidup dalam
tekanan batin yang tiada taranya, sehingga karena itulah maka wajahnya
seakan-akan selalu tampak muram.
Namun dalam pada itu keduanya memiliki cahaya mata yang mendebarkan. Cahaya mata yang menatap jauh kedepan.
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu
menarik nafas dalam-dalam. Bayangan-angan yang dilihatnya itu ternyata
telah menggetarkan hatinya. Seakan-akan orang-orang yang telah
dibunuhnya itu datang, kepadanya untuk memberinya peringatan, bahwa
Singasari benar-benar akan dilanda oleh goncangan yang dahsyat.
Namun dalam pada itu, selagi Ken Arok
mulai mengenang kembali masa-masa lampau itu, tiba-tiba saja seseorang
berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang. Berbeda dengan Empu
Gandring yang berwajah tenang, dan berbeda pula dengan Akuwu Tunggul
Ametung yang meskipun tidak mendendamnya tetapi ia tidak rela bahwa
anaknya akan disia-siakan, maka yang dilihatnya kini adalah seorang yang
memandangnya dengan penuh kebencian. Dengan suara lantang ia berkata,
“Aku memang mendendammu Ken Arok. Aku akan berusaha untuk melepaskan
dendamku dengan cara apa-pun juga. Aku tidak ikhlas mengenang kematianku
yang sia-sia karena perbuatanmu. Kau memang licik seperti iblis. Kau
pergunakan sifat-sifatku yang kurang baik untuk kepentinganmu yang jauh
lebih jahat dari sifat-sifatku sendiri. Apalagi kau sudah menjerumuskan
aku kedalam kematian yang rendah. Tunggulah bahwa saat itu akan datang.
Kau-pun akan mati dengan luka didadamu. Kau tidak usah menyesal Ken
Arok. Hantu Karautan tidak pantas untuk berlama-lama duduk di atas
tahta.”
“O,” Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa
itu mengeluh. Ia sadar, bahwa sebenarnya tidak ada seorang-pun
dihadapannya. Ia sadar, bahwa Kebo Ijo itu hanya ada di dalam
angan-angannya. Tetapi seakan-akan ia melihatnya dengan pasti seperti
wajahnya yang luka oleh senjata dan mengantarkan kematiannya.
“Sekarang semuanya bangkit kembali di
dalam kenangan,” desah Ken Arok. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa ia
memang telah membunuh ketiganya dengan licik sekali. Ia .dapat menepuk
dada tanpa kegelisahan apa-pun juga meskipun ia mengenang juga kematian
Maharaja Kediri, karena kematian itu terjadi dimedan perang. Tetapi
tidak demikian dengan Empu Gandring, Akuwu Tunggul Ametung dan Kebo Ijo.
Namun tiba-tiba Sri Rajasa itu
menggeretakkan giginya. Katanya, “Persetan dengan mereka. Mereka tidak
dapat berbuat apa-apa lagi atasku. Sekarang aku berkuasa, dan sekarang
aku dapat berbuat apa saja. Apalagi mereka yang sudah mati, sedangkan
yang masih hidup-pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi atasku.”
Tetapi belum lagi ia selesai, mulai
membayang wajah Mahisa Agni yang tenang dan dalam. Sebuah trisula yang
silau dan Permaisurinya yang dapat memancarkan cahaya yang aneh.
“Gila, semuanya menjadi gila.”
Sri Rajasa menghentakkan dirinya.
Kemudian sambil mengatupkan giginya rapat-rapat ia meninggalkan tempat
itu dan masuk kedalam biliknya. Dengan hati yang bergejolak, ia-pun
membanting dirinya di atas pembaringannya. Namun Sri Rajasa tidak segera
dapat memejamkan matanya. Setiap kali hilir mudik berganti-ganti
bayangan yang mengganggunya. Yang sudah mati mau-pun yang masih hidup
kini.
Dalam pada itu, selagi malam menjadi
gelap, Sumekar segera melakukan pesan Mahisa Agni. Meskipun sambil
bersembunyi, ia dapat mengawasi bangsal Putera Mahkota. Tetapi ketika ia
teringat pesannya kepada prajurit yang ditemuinya sedang mengawasi
Pangeran Pati itu, ia menjadi bimbang.
“Aku akan menunggu prajurit itu sejenak. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.”
Tetapi hatinya tetap risau, sedang para prajurit yang bertugas semuanya berkumpul di bagian depan bangsal.
Tiba-tiba saja Sumekar mendapat akal.
Dilontarkannya sebuah batu yang besar kesisi bangsal itu sehingga
mengejutkan para penjaga. Beberapa orang datang dengan tergesa-gesa, dan
mereka menemukan sebongkah batu.
“Aneh,” desis salah seorang dari mereka.
“Aneh. Batu sebesar ini,” sahut yang lain.
Mereka-pun segera bersibak ketika
Anusapati yang mendengar suara itu pula datang mendekat. Diamat-amatinya
batu itu dengan saksama. Dan ia-pun sependapat, bahwa bukan kekuatan
orang kebanyakan yang dapat melemparkan batu sebesar itu.
“Hatilah berjaga-jaga,” pesan Anusapati
kepada para prajurit, “jika ada sesuatu yang mencurigakan, berilah aku
isyarat. Aku sendiri yang akan menyelesaikan jika kalian menemui
kesulitan.”
“Hamba tuanku,” jawab pemimpin peronda
itu. Ia percaya bahwa Anusapati akan mampu menyelesaikan jika
benar-benar ada kekuatan yang melampaui kekuatan manusia kebanyakan
datang ke bangsal itu. Karena itu, mereka hanya bertugas untuk
mengawasinya dengan baik.
Karena itulah maka para prajurit yang
bertugas itu-pun segera berpencar. Di setiap sudut terdapat dua orang
dengan senjata telanjang berdiri dan berjalan hilir mudik, Sumekar
menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa ada kekhawatiran untuk
mencari siapakah yang melemparkan batu itu. Dan Anusapati tidak mau
meninggalkan isteri dan anaknya dalam keadaan itu.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Usahanya untuk memencar para prajurit itu telah berhasil. Dan ternyata
bahwa Anusapati tidak memerintahkan seorang-pun untuk mencarinya.
Agaknya Anusapati berpendapat, tidak akan ada gunanya untuk mencari
orang yang melemparkan batu itu. Jika orang itu masih belum pergi, maka
orang itu tentu orang yang mapan untuk bertempur, sedangkan Anusapati
sendiri tidak akan sampai hati meninggalkan bangsalnya, karena hal itu
dapat sekedar merupakan pancingan saja agar ia meninggalkan isteri dan
anaknya.
Dengan demikian, maka bangsal Putera
Mahkota itu kini diliputi oleh kesiagaan yang tinggi, sehingga karena
italah maka Sumekar-pun kemudian dengan tenang meninggalkannya sejenak.
Ditempat yang sudah dijanjikan, maka
Sumekar-pun menunggu kedatangan prajurit itu sejenak. Namun ia kini
harus menyiapkan ceritera apakah yang akan dikatakannya kepada prajurit
itu. Semula ia hanya akan menjebaknya dan melepaskan jejak pengintaian
prajurit itu. Namun ternyata Mahisa Agni tidak menyetujuinya dan ia
harus mendapatkan ceritera yang akan dikatakannya.
Sejenak kemudian, maka prajurit itu-pun
dilihatnya merunduk-runduk menuju kesudut taman yang gelap seperti yang
dikatakannya. Namun ternyata bahwa prajurit itu-pun telah bersiap jika
ia hanya sekedar dijiebak oleh Sumekar.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata bahwa ia merasa aneh terhadap dirinya sendiri. Ketika ia
memandang prajurit itu, rasa-rasanya ia menyadari betapa dirinya
sekarang dicengkam oleh perasaannya saja. Jika Mahisa Agni tidak
memperingatkannya, maka prajurit itu-pun pasti akan segera menemui
ajalnya.
“Pengaruh pertentangan antara Sri Rajasa
dan Tohjaya di satu pihak dengan Pangeran Pati dilain pihak membuat aku
kadang-kadang terbenam di dalamnya. Sebenarnya aku dapat berdiri di
luar, tetapi karena Pangeran Pati itu seakan-akan sudah menjadi
momonganku, maka rasa-rasanya akulah yang justru bertanggung jawab. Bagi
Singasari, lebih baik akulah yang harus tenggelam daripada tuanku
Anusapati apabila memang seharusnya demikian. Jika kakang Mahisa Agni
setuju, barangkali aku dapat segera melakukannya.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ketika
prajurit itu-pun kemudian sampai di tempat yang dikatakannya, maka
Sumekar-pun segera berdesis.
Prajurit itu terkejut. Namun Sumekar berkata, “Jangan terkejut. Aku menunggumu disini.”
Prajurit itu memandang Sumekar yang duduk didalam kegelapan, lalu katanya, “Apa yang kau kerjakan disitu?”
“Menunggumu. Bukankah aku berjanji menunggumu disini?”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu ia-pun duduk di sebelah Sumekar sambil berkata, “Cepat
katakan. Apakah yang kau ketahui tentang Pangeran Pati itu.”
“Jangan tergesa-gesa, duduklah. Barangkali kau masih lelah bertugas sehari-harian.”
“Jangan merajuk seperti anak-anak. Cepat katakan.”
“Apakah kau masih akan bertugas lagi?”
“Jangan banyak bicara. Aku tampar
mulutmu. Cepat katakan apa yang kau ketahui. Jika aku katakan semuanya
nanti kepada tuanku Tohjaya, maka kita pasti akan mendapat hadiah.”
“Ah, Kaulah yang akan mendapat hadiah. Bukan aku.”
“Kita berdua.”
“Dan kau benar-benar akan memberi aku hadiah itu?”
“Tentu. Kau akan mendapat bagian. Tetapi cepat, sebelum aku kehabisan kesabaran.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Katanya, “Baiklah.”
Prajurit itu menunggu, tetapi Sumekar
tidak segera mengatakan sesuatu sehingga sekali lagi prajurit itu
membentaknya meskipun tidak cukup keras, “Cepat. Jangan berbuat gila
terhadapku. Apakah kau memerlukan uang untuk keteranganmu itu.”
“Ya,” sahut Sumekar, “sekedarnya. Aku kemarin kalah bermain kemiri. Aku mempunyai hutang kepada kawan-kawanku juru taman juga.”
“Gila, aku patahkan tulang rahangmu. Peduli dengan hutangmu. Cepat katakan.”
Prajurit itu-pun segera meraih lengan
Sumekar dan mengguncangnya. Dan Sumekar-pun sama sekali tidak
melawannya. Sambil mendorong Sumekar sehingga ia terjatuh prajurit itu
berkata, “Aku injak lehermu jika kau memperlambat keteranganmu. Biar
saja aku tidak mendengar keterangan apapun, tetapi aku puas jika aku
dapat membunuhmu. Tidak ada seorang-pun yang akan mengetahui siapakah
yang membunuhmu juru taman gila.”
“Jangan terlampau kasar,” sahut Sumekar, “aku menjadi takut dan semua ingatanku akan hilang.”
“Cepat, cepat.”
“Baiklah,” Sumekar-pun kemudian
memperbaiki duduknya. Sejenak ia merenung. Namun sejenak kemudian ia
berkata, “Ki Sanak. Jika kau ingin tahu dan barangkali dengan demikian
kau dapat memberi petunjuk kepada tuanku Tohjaya bahwa tuanku Anusapati
tidak berhak atas tahta, adalah bahwa ibu Anusapati itu sebenarnya bukan
seorang puteri bangsawan. Ia adalah seorang gadis desa. Ia datang dari
padukuhan Panawijen.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Ya, terus?”
“Itulah keteranganku. Kau dapat menceriterakannya kepada tuanku Tohjaya.”
“He,” prajurit itu membelalakkan matanya, “hanya itu?”
Sumekar memandang prajurit itu dengan
heran. Selangkah ia bergeser surut dan berkata, “Ya itu. Bukankah hal
itu penting sekali bagi tuanku Tohjaya?”
“Gila, aku sobek mulutmu. Aku tidak perlu igauan semacam itu. Cepat katakan apa yang kau ketahui tentang tuanku Anusapati?”
“Itulah, itulah yang aku ketahui. Apakah hal itu bukan suatu keterangan yang penting.”
“Kau gila. Setiap hidung di Singasari
tahu bahwa tuanku Permaisuri berasal dari Panawijen. Bahwa tuan Puteri
Ken Dedes seorang gadis padepokan. Itu bukan keterangan yang aneh lagi
bagi tuanku Tohjaya.”
“O,” Sumekar mengerutkan keningnya, “apakah tuanku Tohjaya sudah, mengetahuinya? Dan bagaimana dengan tuanku Sri Rajasa?”
“Semua orang sudah tahu bodoh. Semua orang?”
“Akulah yang tidak tahu bahwa semua orang sudah mengetahuinya. Aku kira kabar ini merupakan kabar yang baik bagimu.”
Prajurit yang marah itu tiba-tiba
mencengkam leher Sumekar sambil menggeram, “Kau harus aku bunuh
sekarang. Aku baru menyadari kebodohanku sekarang. Jika demikian kau
siang tadi sekedar menghindarkan Putera Mahkota dari pengawasanku.
Ternyata setelah aku mendengarkan bicaramu. Putera Mahkota tidak aku
lihat lagi. Dan barangkali kau sengaja melenyapkan jejaknya dihadapan
tuanku Tohjaya dan Sri Rajasa,” prajurit itu berhenti sejenak. Lalu,
“He, jika demikian kau pasti seorang pengikut Pangeran Pati.”
Dada Sumekar menjadi berdebar-debar. Dan
prajurit itu berkata seterusnya, “jangan ingkar. Dan sekarang kau
mencoba mempermainkan aku ya? Aku tidak dapat kau kelabui. Dan itulah
sebabnya kau menebak tempat ketika kau lihat aku memperhatikan Pangeran
Pati itu hilir mudik dari bangsal tuanku Permaisuri ke bangsal yang
dipergunakan oleh kakanda tuanku Permaisuri, Mahisa Agni.”
Sumekar masih belum menjawab. Dan
wajahnya masih kelihatan ketakutan dan bergeser semakin surut, “Maaf,
aku sama sekali tidak berniat demikian.”
“Bohong,” tiba-tiba saja cengkaman tangan
orang itu menjadi semakin kuat, “ayo katakan. Apakah kau pengikut
Putera Mahkota? Siapa saja pengikut yang lain?”
“Aku tidak tahu, aku tidak.”
“Jangan berbohong. Aku dapat membunuhmu
sekarang dan melemparkan mayatmu ke dalam gerumbul pertamanan yang kau
pelihara itu. Setiap orang besok akan terkejut mendengar bahwa seorang
juru taman telah terbunuh. Tetapi mereka tidak tahu siapa yang telah
membunuh.”
“Kau akan membunuhku?” bertanya Sumekar.
“Ya.”
“Apakah cukup alasan bagimu untuk
membunuh seseorang? Bukankah aku hanya berbuat kesalahan kecil, karena
aku tidak tahu bahwa seluruh rakyat Singasari sudah mengetahui bahwa
tuanku Permaisuri adalah seorang yang berasal dari padesan.”
“Kesalahanmu bukan sekedar mempermainkan
aku dengan pura-pura tidak mengetahui hal itu. Tetapi bahwa kau sudah
menggagalkan pengawasanku terhadap Putera Mahkota yang akan dapat aku
pergunakan sebagai bahan laporanku kepada tuanku Tohjaya. Lebih dari
itu, kau sudah mengetahui bahwa di dalam udara Singasari yang panas ini,
aku sudah menentukan sikap dan berpihak.”
“Aku juga berpihak kepadamu, kepada tuanku Tohjaya,” berkata Sumekar.
“Aku tidak peduli,” prajurit itu mengguncang leher Sumekar yang masih dicengkamnya, “aku tidak mempercayaimu.”
“Tetapi, tentu ada yang akan menemukan mayatku.”
“Tentu. Meskipun demikian tidak
seorang-pun yang akan mengetahui siapa yang telah melakukan. Tidak ada
seorang-pun yang tahu aku datang kemari, dan tidak ada seorang-pun yang
tahu bahwa kita pernah berhubungan.”
“Tetapi jangan kau bunuh aku.”
“Persetan,” tangan prajurit yang
mencengkam leher Sumekar menjadi semaki kuat menekan, sehingga napas
Sumekar menjadi terengah-engah.
“Aku dapat berteriak,” berkata Sumekar tersendat-sendat.
“Kau tidak akan mempunyai kesempatan
berteriak. Coba berteriaklah,” prajurit itu-pun kemudian menyentakkan
tangannya sehingga ia mencengkam leher Sumekar dengan sekuat tenaganya.
Sumekar benar-benar merasa tercekik
sehingga nafasnya hampir terputus karenanya. Sudah barang tentu ia tidak
akan membiarkan dirinya mati dengan cara itu.
Karena itu, maka ia-pun kemudian mencoba
menghentakkan dirinya. Seakan-akan tidak disadarinya, kakinya telah
menghantam perut prajurit yang mencekiknya. Demikianlah kerasnya,
sehingga prajurit itu-pun telah terlempar selangkah surut dan
cekikannya-pun terlepas. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Sumekar
masih akan berani meronta dan bahkan mendorongnya dengan kakinya.
“Gila,” prajurit itu menggeram.
“Aku akan berteriak,” berkata Sumekar,
“jika kau menyerang sekali lagi, aku akan berteriak sekuat-tenagaku.
Tentu ada prajurit yang dapat mendengarnya.”
Prajurit itu menggeram. Namun ia sudah
terlanjur bertindak. Jika Juru taman itu tidak dibunuhnya, maka ia akan
dapat menjadi orang yang sangat berbahaya baginya, dan bahkan jika ia
sempat mengatakannya kepada Anusapati. maka Anusapati dapat mengambil
tindakan atasnya sebelum ia berbuat apa-apa.
Karena itu, maka sejenak ia berdiri
tegak. Ia tidak boleh memberikan kesan bahwa ia masih akan menyerang
agar Sumekar tidak berteriak dan mengejutkan para prajurit.
“Jangan ganggu aku lagi,” berkata Sumekar sambil melangkah surut.
Tetapi prajurit itu ternyata tidak
membiarkannya. Selagi Sumekar bergeser, itu-pun segera meloncat
menerkam. Menurut perhitungannya, Sumekar tidak akan berkesempatan
mengelak. Tangannya pasti akan langsung berhasil mencengkam leher juru
taman itu.
Namun dugaannya ternyata keliru. Prajurit
itu sama sekali tidak menyentuh tubuh juru taman itu. Diluar dugaannya,
maka juru taman itu mengelak kesamping, sehingga justru karena itu,
maka prajurit itu-pun jatuh tertelungkup di atas tanah yang mulai basah
oleh embun.
Dengan cepatnya prajurit itu meloncat
berdiri. Matanya menjadi semakin merah dan nafasnya tiba-tiba
terengah-engah oleh kemarahan yang menyesak dadanya.
“Kau gila. Kau masih juga sekarat sebelum
kau mati. Jangan membuat aku marah sekali, sehingga aku mengambil
keputusan yang mengerikan. Cepat menyerah dan beri kesempatan aku
mencekikmu sampai mati.”
“Ki Sanak,” berkata juru taman itu,
“jangan berbuat kasar. Aku akan benar-benar berteriak. Bukankah aku
tidak bersalah sama sekali. Kaulah yang bersalah karena kau berusaha
mengadu domba antara kedua putera Sri Rajasa. Kau mencari kelemahan dan
mungkin kesalahan tuanku Pangeran Pati, lalu kau ceriterakan kepada
tuanku Tohjaya. Tetapi sebaliknya kau-pun akan menceriterakan
kelemahan-kelemahan tuanku Tohjaya kepada tuanku Putera Mahkota. Nah,
apakah sebenarnya keuntungan yang kau dapat dengan perbuatanmu yang
licik itu?”
“Persetan,” geram prajurit itu, “aku
tidak peduli. Aku memang akan membunuhmu. Apa-pun yang aku lakukan, kau
tidak usah mempersoalkannya. Aku sekarang akan membunuhmu, dan habis
perkara.”
“Tetapi tidak bagiku. Tentu aku tidak
senang kau membunuhku karena aku masih ingin tetap hidup meskipun aku
menjadi semakin tua. Aku masih senang menjadi juru taman di Singasari.
Aku masih senang memelihara taman-tamanan. Karena itu, jika kau masih
tetap menyerang aku, aku akan berteriak.”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak.
Tetapi ia menjadi semakin bernafsu untuk membunuhnya. Karena itu, maka
sekali lagi ia bersiap untuk meloncat menerkam juru taman itu.
Sumekar melihat kedua kaki prajurit yang
sudah siap untuk meluncur itu. Sejenak ia termangu-mangu. Sebenarnya
kesabarannya sudah sampai pada batasnya.
“Jika saja kakang Mahisa Agni tidak berpesan mawanti-mawanti,” katanya didalam hatinya.
Dalam keragu-raguan itu ia melihat
prajurit itu mulai bergerak. Karena ia masih belum dapat menemukan
keputusan, maka tiba-tiba saja mulutnya benar-benar telah berteriak,
“Tolong, tolong.”
Suaranya terputus ketika kedua tangan
prajurit itu menerkam lehernya. Tangan itu bagaikan hendak mematahkan
tulangnya sehingga karena itu Sumekar berusaha untuk melepaskannya.
Dalam saat yang pendek dan tiba-tiba itu
ia tidak mempunyai kesempatan berpikir. Karena itu yang dapat
dilakukannya justru menjatuhkan dirinya sehingga keduanya-pun
berguling-guling beberapa kali.
Dalam keadaan itu, prajurit itu-pun tidak
segera dapat memusatkan kekuatan pada kedua tangannya untuk mencekik
juru taman itu, bahkan tangannya mengendor sejenak dan prajurit itu
masih harus menahan dirinya yang sedang berguling itu. Tetapi
rasa-rasanya dorongan loncatannya terlalu keras sehingga untuk beberapa
lamanya ia tidak berhasil menahan dirinya dan karena itu maka keduanya
masih saja berguling beberapa kali.
Dalam pada itu, ternyata suara juru taman
itu dapat didengar oleh beberapa prajurit yang sedang bertugas. Sejenak
mereka termangu-mangu. Namun suara itu jelas mereka dengar sehingga
sejenak kemudian pemimpin peronda digardu yang terdekat dengan taman
itu-pun bersama dengan dua orang prajurit pengawal yang lain,
berlari-lari memasuki taman yang gelap.
Sejenak mereka berdiri termangu-mangu
karena mereka tidak segera melihat sesuatu. Namun sejenak kemudian
mereka mendengar suara di sudut yang gelap seseorang yang mengaduh
tertahan.
Dengan sigapnya ketiganya berlari-lari
kearah suara itu. Beberapa langkah mereka berhenti dan dengan isyarat
pemimpinnya memberikan perintah untuk memencar.
Dengan senjata telanjang ketiganya
melangkah mendekati arah suara itu. Namun mereka terkejut ketika mereka
mendengar langkah orang berlari-lari menjauh. Tetapi sejenak kemudian
suara itu-pun hilang dari telinga mereka.
Namun demikian, mereka masih mendengar dengus nafas dan keluhan tertahan-tahan itu.
Pemimpin peronda itu termangu-mangu
sejenak. Namun sejenak kemudian ia meloncat ke balik gerumbul pohon
bunga-bunga an sambil mengacungkan senjata.
“Siapa?”
Yang terdengar adalah suara keluhan pendek.
“Kenapa kau he? Siapa kau?”
Kedua prajurit yang lain-pun segera mendekat. Mereka melihat seseorang terbaring di tanah dengan nafas yang hampir terputus.
“Kau juru taman he?”
Yang terbaring itu adalah Sumekar. Ia-pun
kemudian duduk dengan pertolongan para prajurit peronda itu. Namun
nafasnya masih tetap terengah-engah.
“Kenapa kau he?”
“Itu, itu,” suara Sumekar terputus-putus.
“Apa yang terjadi?”
“Leherku,” jawab Sumekar sambil memegangi lehernya sendiri.
“Kau dicekik. He?”
Sumekar menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tetapi tangannya masih tetap memegang lehernya.
“Siapakah yang mencekikmu?”
Sumekar menggelengkan sambil menjawab,
“Aku tidak tahu. Seseorang tiba-tiba saja mencekik leherku sehingga aku
hampir mati. Aku hanya mendapat kesempatan berteriak sekali.”
“Ya, kami mendengar. Dan kami mendengar langkah orang berlari. Untunglah bahwa kau masih hidup.”
“Hampir saja aku mati,” berkata Sumekar.
“Marilah,” berkata pemimpin prajurit pengawal yang sedang meronda itu, “tetapi kenapa kau berada disini malam-malam begini?”
“Aku sedang mencoba menanam sebatang
manggis putih. Setiap saat aku menitikkan air pada batang yang sedang
mulai tumbuh itu. Adalah jarang sekali terdapat sebatang pohon manggis
putih di Singasari. Aku mendapat benihnya dari seorang kawanku di
Batil.”
“Kau tanam ditaman ini?”
“Ya. Aku tanam ditaman ini.”
“Lalu, kenapa kau dicekik orang?”
“Orang itu telah mencuri batang manggis
putih itu. Aku mencoba mempertahankannya. Tetapi aku dicekiknya sampai
hampir saja aku mati.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah tuah pohon manggis putih sehingga seseorang telah mencurinya?”
“Ketenteraman dan derajat. Kawanku di
Batil menemukan benihnya di hutan belantara. Ia mendapatkan beberapa
batang di tengah hutan, dan sebuah manggis putih yang masak. Diambilnya
buah masak itu bijinya-pun ditanamnya di rumah. Ternyata hanya dua
batang pohon manggis putih yang dapat tumbuh. Satu ditanamnya sendiri
dan yang satu lagi dibawanya kemari.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya seakan-akan kepada diri
sendiri, “Ketenteraman dan derajad.” Lalu tiba-tiba, “Tetapi siapakah
orang itu? Dari mana ia tahu bahwa kau mempunyai sebatang pohon manggis
putih?”
“Aku tidak tahu. Dan aku belum pernah melihat orang itu.”
Prajurit itu berpikir sejenak. Kemudian
katanya kepada prajurit yang lain, “Kita cari di halaman istana ini.
Jika ada orang yang tidak dikenal atau siapa-pun yang membawa sebatang
pohon manggis orang itu harus ditangkap.”
“Apakah aku harus pergi ke gardu induk.”
“Ya.”
Prajurit itu-pun segera meninggalkan
taman dan pergi ke gardu induk untuk melaporkan peristiwa yang terjadi
di dalam taman dan seperti yang dikatakan oleh pemimpinnya, sebaiknya
dicari di seluruh taman dan halaman, seseorang yang telah mencuri batang
manggis putih itu.
Dalam pada itu, maka pemimpin peronda
itu-pun memapah Sumekar dibawa kegardunya. Tetapi Sumekar minta agar ia
dibawa saja keponooknya.
Aku akan mencoba untuk beristirahat sebaik-baiknya. Jika pernafasanku berjalan baik, aku kira aku sudah tidak apa-apa lagi.”
“Apakah orang itu tidak mengancammu lagi?”
“Aku kira ia tidak akan berani datang
lagi, apalagi karena orang itu mengetahui bahwa suaraku telah didengar
oleh para prajurit.”
Pemimpin peronda itu berpikir sejenak. Lalu, “Baiklah, Aku bawa saja kau ke gubugmu.”
Sejenak kemudian maka Sumekar-pun telah
berbaring di dalam biliknya, setelah ia menyelarak pintu, “Apakah kau
dapat berjalan kepembaringanmu?” bertanya prajurit-prajurit itu dari
luar pintu.
“Ya, aku sudah berbaring sekarang.”
“Baiklah. Hati-hatilah.”
“Sepeninggal prajurit itu, Sumekar-pun
segera duduk di bibir pembaringannya sambil menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata nafasnya benar-benar menjadi sesak. Bukan karena cekikan
prajurit yang akan membunuhnya, tetapi justru karena ia harus menahan
nafas beberapa saat dan berpura-pura kesakitan.
“Kenapa aku tidak membunuhnya saja,”
tiba-tiba ia menggeram. Tetapi kemudian terngiang ditelinganya suara
Mahisa Agni yang melarangnya melakukan pembunuhan-pembunuhan serupa itu
apa-pun alasannya.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Hampir
saja ia kehilangan pengendalian diri. Prajurit itu hampir saja
memaksanya untuk melawan dan membunuhnya sama sekali.
Untunglah bahwa ia masih sempat
mengendalikan dirinya. Meskipun demikian lehernya terasa juga agak sakit
oleh cengkaman prajurit yang mencekiknya itu.
Dalam pada itu, prajurit pengawal yang
meronda dan menjumpai seorang juru taman yang hampir mati dikebun
itu-pun telah melaporkannya ke gardu induk. Karena itulah maka beberapa
prajurit-pun segera berpencaran mencari orang yang telah berusaha
membunuh juru taman itu.
Tetapi mereka tidak menemukan seseorang
di dalam halaman istana Singasari itu. Mereka tidak menemukan orang lain
kecuali para prajurit yang sedang bertugas. Dan sudah barang tentu
bukan salah seorang dari para prajurit itulah yang telah melakukannya.
Jika yang melakukannya salah seorang dari mereka maka juru taman itu
akan dapat mengenalnya. Setidak-tidaknya dari pakaian dan
kelengkapannya. Tetapi juru taman itu mengatakan bahwa yang melakukannya
itu bukan seorang prajurit Singasari.
Sementara itu, prajurit yang telah
berusaha membunuh juru taman itu menjadi berdebar-debar. Kegelisahan
yang sangat mencengkam hatinya. Tentu juru taman itu dapat mengenalnya
dan apabila ia dibawa oleh para peronda untuk menemukan orang yang telah
berusaha membunuhnya, maka ia akan dapat mengenalnya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain
daripada menunggu. Jika juru taman itu datang dan menunjuk hidungnya,
maka ia akan ingkar. Tidak ada bukti-bukti yang dapat memberatkan
tuduhan itu.
Namun ternyata bahwa juru taman itu tidak
ikut dengan para peronda yang sedang mencarinya. Juru taman itu tidak
datang menunjuk hidungnya dengan tuduhan itu. Dengan demikian maka para
prajurit itu-pun tidak menemukan seorang-pun yang pantas mereka curigai
melakukan percobaan pembunuhan itu.
“Beberapa hal serupa ini terjadi,” desis
seorang prajurit, “setiap kali terjadi sesuatu, maka setiap kali kita
tidak dapat menemukan seorang-pun yang dapat dituduh melakukannya.
Apalagi benar-benar berhasil menangkap mereka selagi mereka sedang
berbuat.”
Kawannya menganggukkan kepalanya.
Katanya, “Suatu pertanda buruk. Sejak di halaman ini muncul bayangan
yang berkerudung hitam dan bahkan yang telah dikejar sendiri oleh Sri
Rajasa. Kemudian berturut-turut peristiwa yang aneh, dan yang terakhir
adalah bau yang menusuk hidung itu, rasa-rasanya Singasari telah diraba
oleh suatu peristiwa yang menggetarkan isi dada.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam.
Hampir setiap orang di dalam istana Singasari sebenarnya telah merasakan
nafas yang agaknya semakin menyesakkan isi istana. Tetapi mereka tidak
mengerti dan sama sekali tidak mempunyai gambaran apakan yang sebenarnya
akan terjadi.
“Kita tidak usah melaporkan hal ini
kepada Panglima Pasukan Pengawal,” berkata perwira yang malam itu
bertugas memimpin penjagaan di seluruh istana dan lingkungannya. Hal ini
hanya akan menambah persoalan yang semakin bertumpuk di istana ini.
Bagaikan rasa-rasanya langit menjadi semakin buram. Setiap saat hujan
dapat turun dengan lebatnya. Bahkan dengan petir dan guruh.”
Para prajurit yang ada di sekitarnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti, bahwa laporan yang
disampaikan tentang hal itu hanya akan menambah kemarahan Panglima yang
sudah menjadi semakin pening memikirkan keamanan di dalam lingkungan
istana yang menjadi semakin memburuk.
Demikianlah, malam itu Sumekar
benar-benar telah menghindari suatu pembunuhan. Bahkan justru dirinya
sendirilah yang telah dibiarkannya menjadi sasaran kemarahan prajurit
itu, sehingga mencengkam lehernya dan mencekiknya. Jika juru taman itu
bukan Sumekar maka di taman itu tentu sudah terjadi pembunuhan. Tetapi
juru tamannyalah yang mati terbunuh oleh prajurit itu, bukan sebaliknya.
Di pagi-pagi benar, Mahisa Agni telah
bangun dan membersihkan dirinya. Tanpa menimbulkan kecurigaan ia
berjalan-jalan di taman di halaman istana itu. Dilihatnya beberapa orang
juru taman sudah mulai melakukan tugas mereka dan terpencar di halaman
yang luas. Seorang berjalan hilir mudik membawa air untuk menyiram
tetamanan. Yang lain menyapu halaman dan membersihkan tanaman disekitar
bangsal-bangsal. Yang lain membersihkan daun-daun kuning yang gugur
dibawah pohon-pohon besar dan pohon bunga-bungaan.
Sumekar-pun telah sibuk pula di antara
mereka. Dengan tekun dan sungguh-sungguh ia menyiangi pohon-pohon bunga
yang sedang tumbuh.
Perlahan-lahan Mahisa Agni yang
berjalan-jalan menghirup udara dipagi yang cerah itu mendekatinya. Lalu
berdiri di sampingnya sambil bertanya, “Apakah yang terjadi?”
Sumekar-pun menceriterakannya apa yang telah terjadi semalam ditaman itu.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Aku juga
mendengar derap kaki para prajurit. Tetapi aku tetap diam di
pembaringanku. Agaknya mereka sedang mencari prajurit yang siap
membunuhmu.”
“Ya, demikianlah agaknya.”
Mahisa Agni masih tersenyum. Ia dapat
membayangkan bagaimana Sumekar harus menahan diri. Jika ia tidak
berhasil mengendalikan dirinya, maka ia tidak akan menemui kesulitan
apa-pun untuk membunuh prajurit itu.
“Kau telah berhasil adi Sumekar,” berkata
Mahisa Agni kemudian, “jika kau tidak berhasil, maka suasana pagi ini
di istana Singasari akan menjadi sangat keruh. Prajurit Singasari akan
berlari-larian dari sebuah gardu kegardu yang lain, mengabarkan bahwa
seorang prajurit telah terbunuh di taman. Tetapi karena kau berhasil
mempertahankan kesabaranmu, maka pagi ini kita tidak melihat keributan
apapun. Mungkin beberapa orang prajurit pengawal sedang membicarakan
peristiwa yang mereka lihat semalam tentang dirimu, tetapi pembicaraan
itu akan segera berakhir. Tetapi jika sesosok mayat prajurit pengawal
terbujur mati, persoalannya pasti akan menjadi berkepanjangan.
Bagaimana-pun juga prajurit pengawal di istana Singasari memiliki
kesetia-kawanan yang mendalam.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena mereka tidak menemukan
pembunuhnya, maka setiap orang di istana ini akan dicurigai. Bahkan
mungkin mereka akan mencuriga aku, mencurigai Putera Mahkota dan
beberapa orang lain. Kecurigaan itu tentu akan menyulitkan gerak kita
selanjutnya, dan apabila akhirnya mereka mengetahui bahwa orang itu
termasuk salah seorang pengawal Tohjaya, maka mereka pasti akan segera
mencari sasaran kecurigaan mereka pada pihak yang lain. Hal itu akan
dapat menimbulkan kesan yang kurang dan tidak menguntungkan bagi
Pangeran Pati.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan ia-pun merasa beruntung juga bahwa ia tidak membiarkan luapan
perasaannyalah yang berbicara.
“Lebih dari itu Sumekar,” berkata Mahisa
Agni, pagi ini Anusapati akan menghadap ibunda Permaisuri untuk
membicarakan sesuatu yang penting sebagai kelanjutan pembicaraannya
kemarin. Jika suasana pagi ini suram, maka pembicaraan itu tidak akan
membawa hasil seperti yang diharapkan oleh anak itu.”
“Aku mengerti kakang. Aku akan tetap berusaha mempertahankan keseimbangan perasaanku untuk waktu-waktu mendatang.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Agni,
“mungkin aku tidak dapat terlalu lama tinggal di Singasari. Jika Sri
Rajasa menganggap kehadiranku di sini mengganggu, maka aku pasti akan
segera diperintahkannya untuk kembali ke Kediri. Namun sementara ini aku
berusaha untuk lebih lama lagi tinggal dan minta agar Permaisuri masih
tetap berpura-pura sakit.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mudah-mudahan Mahisa Agni masih dapat memperpanjang kehadirannya di
istana Singasari dalam keadaan yang gawat ini. Jika demikian maka ia
tidak akan dibebani oleh perasaan tanggung jawab yang terlampau berat
atas Putera Mahkota, karena tanpa Mahisa Agni, maka ialah orang yang
paling tua yang dapat dianggap menjadi pelindung Anusapati.
Sejenak kemudian, pembicaraan itu-pun
mulai berkisar dari keadaan yang semakin meruncing itu kepembicaran lain
yang tidak berarti. Ketika seorang juru taman yang lain mendekati
mereka, maka Mahisa Agni sedang bertanya kepada Sumekar tentang manggis
putihnya yang hilang.
“Aku tidak melihat batang manggis putih yang kau tanam dan kau katakan hilang itu,” bertanya seorang kawannya.
“Aku menanamnya di sudut itu,” jawab
Sumekar, “pohon manggis putih itu tidak dapat tumbuh sebesar pohon
manggis biasa. Batangnya lebih kecil, tetapi daunnya lebih rimbun dan
lebih kecil sedikit.”
“Aku belum pernah melihatnya,” berkata kawannya.
“Aku juga belum,” sahut Sumekar kemudian,
“aku baru mendengar dari kawanku yang melihat pohon itu tumbuh di
tengah hutan dan berhasil menanam bijinya meski-pun, hanya dua batang.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “sayang. Jika benar yang hilang itu sebatang pohon manggis putih.”
“Tentu benar. Kawanku itu tidak pernah berbohong.”
“Mungkin kawanmu itu memang tidak pernah berbohong, tetapi kaulah yang berbohong.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Terasa
dadanya berdebaran. Hampir saja ia menyangka bahwa juru taman itu telah
mengetahui bahwa sebenarnya ia tidak menanam sebatang pohon manggis
putih.
Namun kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam ketika ia mendengar Mahisa Agni tertawa pendek sambil
berkata, “Apakah juru taman yang seorang ini sering berbohong.”
“Tidak, tidak tuan,” jawab juru taman kawan Sumekar itu, “aku tidak bermaksud mengatakan demikian.”
Sumekar-pun tertawa pula. Katanya, “Hampir saja aku marah. Aku kira kau bersungguh-sungguh.”
“Tentu tidak. Kau adalah seseorang yang
paling baik di taman ini. Kau membiarkan rangsum makananmu diterima oleh
siapa-pun yang memerlukannya, dan bahkan kau kadang-kadang membawa
makanan jika kau bekerja.”
“Ada-ada saja kau,” sahut Sumekar, “hanya
apabila aku sedang mutih sajalah aku tidak menerima rangsumku karena
aku sedang tidak makan nasi.”
Mahisa Agni tersenyum, sedang juru taman itu-pun tertawa.
Dan sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun
berkata, “Kerjalah. Agaknya aku di sini mengganggu kalian karena kalian
telah berhenti bekerja. Atau kalian memang memanfaatkan kehadiranku ini
untuk bermalas-malas?”
Kedua juru taman itu tertawa semakin
keras, sehingga beberapa orang yang mendengarnya memandanginya dengan
heran. Seorang juru taman yang lain yang kebetulan sedang melintas
sambil membawa seonggok sampah, telah berhenti termangu-mangu.
“Berjalanlah terus,” berkata juru taman yang sedang tertawa itu. Lalu, “Aku telah menerima hadiah dari tuanku Mahisa Agni.”
Orang itu tidak berjalan terus, justru ia
berhenti sambil mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian diletakkannya
sampah itu dan berjalan mendekat, “Apakah aku juga akan menerima
hadiah.”
“Mintalah kepada kawanmu itu,” sahut
Mahisa Agni, “ialah yang membagi hadiah hari ini, karena hari ini adalah
hari yang baik baginya.”
Juru taman itu bersungut-sungut. Tetapi
ia tidak berani berbuat apa. Sambil berjongkok ia memandang Mahisa Agni
yang melangkah pergi meninggalkan taman itu.
“Gila kau,” juru taman itu menggerutu,
sedang kawannya masih saja tertawa berkepanjangan, sedang Sumekar hanya
tersenyum-senyum saja memandang kawannya yang kecewa.
Dalam pada itu, selagi para juru taman
itu berkelakar, Anusapati telah meninggalkan bangsalnya menuju ke
bangsal ibundanya. Meskipun kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu tetapi
akhirnya ia menetapkan bahwa ia harus melangkah terus menjumpai ibunda
Permaisuri.
“Mudah-mudahan ibunda tidak salah sangka,” berkata Anusapati.
Kedatangannya ternyata telah mengejutkan tuan Puteri. Selagi hari masih pagi. Putera Mahkota sudah datang menghadapnya.
“Ampun ibunda,” berkata Anusapati. “hamba datang terlampau pagi.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Lalu
katanya, “Anusapati, aku menjadi berdebar-debar. Dalam keadaan ini kau
tentu mempunyai kepentingan yang mendesak.”
Tetapi Anusapati menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Tidak ibunda, sebenarnya hamba tidak mempunyai kepentingan
yang memaksa hamba untuk datang terlampau pagi. Tetapi, agaknya karena
hamba tidak mempunyai tugas hari ini, maka daripada hamba tidak berbuat
sesuatu di bangsal hamba, maka hamba telah berjalan tanpa tujuan di
halaman. Tetapi akhirnya hamba telah memasuki bangsal ibunda.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebagai seorang ibu, Ken Dedes seakan-akan dapat membaca
perasaan puteranya, sehingga karena itu maka dengan lembut ia berkata,
“Anusapati, kemarilah. Adik-adikmu tidak ada di bangsal ini. Karena itu,
jika kau memang mempunyai kepentingan, katakanlah! Aku masih tetap
ibumu.”
Anusapati mengangkat wajahnya sejenak, namun kemudian kepalanya itu-pun ditundukkannya.
“Kemarilah, mendekatlah.”
Anusapati bergeser maju. Tetapi ia masih belum mengatakan sesuatu. Sikap ibunya yang lembut justru membuatnya menjadi ragu-ragu.
“Anusapati,” berkata Ken Dedes, “jangan
menyimpan sesuatu lagi di dalam hatimu. Jika kau ingin mengatakan
sesuatu itu, katakanlah. Kau sudah tahu siapakah sebenarnya dirimu dan
kau-pun bukan lagi anak-anak yang belum pandai membuat
pertimbangan-angan.”
Anusapati masih dicengkam oleh kebimbangan.
“Katakanlah. Jika kau tidak mengatakan
sesuatu, hatiku akan menjadi risau, karena aku tahu, bahwa kau masih
menyimpan sesuatu yang tidak kau ucapkan.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya, “Baiklah ibunda. Jika ibunda dapat membaca hati hamba, maka
sebenarnyalah masih ada sesuatu yang menyangkut di dalam dada ini.
Tetapi sebelumnya hamba minta maaf yang sebesar-besarnya, apabila hamba
akan menyinggung perasaan ibunda.”
Ibunya tersenyum betapa pahitnya.
Katanya, “Katakanlah Anusapati. Hatiku telah menjadi kebal. Maksudku,
aku sudah terlampau sering berjuang melawan perasaanku. Kini lebih baik
kau berterus terang.”
“Ibunda,” berkata Anusapati, “bukankah menuruti ibunda, ayahanda telah mati terbunuh oleh Sri Rajasa?”
Ibunya mengerutkan keningnya. Namun ia-pun menganggukkan kepalanya.
“Ibunda,” sambung Putera Mahkota, “bukankah ayahanda terbunuh oleh sebilah keris?”
Wajah Ken Dedes menegang sejenak. Tetapi sekali lagi ia menganggukkan kepalanya.
“Dan bukankah keris itu kini masih tetap di dalam simpanan.”
“Ya anakku,” sahut Ken Dedes, “ayahandamu Sri Rajasa telah menyimpan keris itu.”
Sejenak Anusapati terdiam. Dipandanginya wajah ibundanya dengan sorot mata yang mengandung beribu macam pertanyaan.
Tetapi bagi Ken Dedes meskipun Anusapati
tidak mengucapkan sepatah katapun, namun tatapan mata Anusapati itu
rasa-rasanya bagaikan sikap yang langsung tidak mempercayainya, sehingga
Permaisuri itu berkata, “Anusapati, apakah kau tidak percaya kepadaku?”
“Tidak, ibunda. Tentu aku percaya kepada
ibunda. Apalagi sekarang. Ibunda sudah mengatakan tentang hamba berterus
terang. Jika ibunda ingin mengatakan yang tidak benar kepada hamba,
maka tentu ibunda tidak akan mengatakan kepada diri hamba, dan tentang
ayahanda yang sebenarnya.”
Sesuatu berdesir didada Ken Dedes.
“Sekarang hamba sudah mengetahui bahwa
ayahanda Tunggal Ametung terbunuh. Dan pembunuhnya adalah Sri Rajasa
yang telah mengangkat hamba menjadi seorang Putera Mahkota, tetapi yang
telah mengancam hamba pula untuk melepas jabatan hamba itu,” sambung
Anusapati kemudian. “Dan lebih dari itu hamba mengetahui bahwa keris
yang telah mengambil jiwa ayahanda yang sebenarnya, yaitu Akuwu Tunggul
Ametung ada pada Sri Rajasa Batara Sang Ainurwabumi.”
Ken Dedes tidak segera menyahut.
“Ibunda,” berkata Anusapati lebih lanjut,
“menurut pendengaran hamba, Sri Rajasa memang seseorang yang luar biasa
sejak mudanya. Meskipun ayahanda Akuwu Tunggul Ametung-pun seseorang
yang memiliki kelebihan, tetapi suatu kenyataan, bahwa ayahanda Akuwu
Tunggul Ametung telah terbunuh oleh Sri Rajasa, sehingga dengan demikian
dapat ditarik kesimpulan, bahwa Sri Rajasa memang orang linuwih.”
Ken Dedes menundukkan kepalanya.
“Jika demikian ibunda,” berkata
Anusapati, “maka nasib hamba-pun sudah dapat dibayangkan. Dengan keris
itu Ayahanda Sri Rajasa yang sakti dapat berbuat apa saja yang
diingininya. Itulah sebabnya maka hamba datang kepada ibunda. Jika keris
itu ada pada ibunda, karena keris itu diketemukan pada tubuh Ayahanda
Akuwu Tunggul Ametung, yang saat itu adalah suami ibunda, maka hamba
ingin agar keris itu diberikan kepada hamba, semata-mata untuk
keselamatan hamba. Dari pada hambalah yang bersembunyi, maka lebih baik
hamba menyembunyikan saja keris itu.”
Tetapi sambil menundukkan kepalanya
dalam-dalam Ken Dedes menggelengkan kepalanya. Katanya, “Sayang
Anusapati. Keris itu tidak ada padaku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudan dengan suara yang dalam ia berkata, “Baiklah ibunda. Jika
demikian, maka hamba-pun akan pasrah. Meskipun barangkali hamba masih
akan berusaha menyembunyikan diri, terutama pada malam hari, namun
barangkali usaha itu tidak akan banyak bermanfaat.”
“Maksudmu,” bertanya Ken Dedes.
“Ibunda,” berkata Anusapati kemudian,
“selagi Pamanda Mahisa Agni ada di Singasari, biarlah hamba akan mohon
diri kepada pamanda.”
“Apa maksudmu Anusapati? Apa?”
“Ampun ibunda. Sebenarnya bukan maksud
hamba. Tetapi seakan-akan hamba melihat sesuatu yang tidak akan dapat
hamba hindari. Seolah-olah hamba berjalan di sepanjang jalan yang amat
panjang dan sempit. Jalan lurus tanpa jalan simpang sama sekali. Di
depan dan di belakang hamba adalah api yang semakin lama menjadi semakin
besar menjalar di sepanjang jalan, sedang di sebelah menyebelah jalan
adalah jurang yang sangat dalam.” Anusapati berhenti sejenak, lalu. “O,
itulah mimpi hamba ibunda. Dan mimpi itu berkata kepada hamba, bahwa
hamba harus mohon diri kepada Pamanda Mahisa Agni yang sudah memimpin
hamba dan mengasuh hamba dengan diam-diam sehingga hamba berhasil
menamakan diri hamba sebagai Kesatria Putih. Tetapi betapa dikagumi dan
dipuji oleh rakyat Singasari, namun Kesatria Putih tidak akan dapat
melepaskan diri dari tangan Sri Rajasa yang masih menyimpan Keris sakti
buatan Empu Gandring. Keris yang bertangkai kayu cangkring dan mempunyai
kemampuan yang tidak terkirakan, sehingga baik Tunggul Ametung maupun
siapa saja, tidak akan dapat bertahan sampai fajar, jika dimalam hari ia
tergores oleh ujung keris itu meskipun lukanya hanya seujung rambut.”
“Anusapati, anakku,” suara Ken Dedes menjadi serak.
“Hamba akan mohon diri ibunda. Hamba-pun
akan mohon diri kepada pamanda, kepada siapa-pun yang hamba kenal dengan
baik. Kepada, isteri hamba dan terlebih-lebih lagi kepada anak hamba
yang sedang tumbuh. Hamba tahu pasti, bahwa pada suatu saat, keris
itu-pun akan menggores tubuh hamba meskipun hanya seujung rambut.
Tanda-tanda itu sudah hamba lihat. Bau wangi yang tidak terkirakan di
sekitar bangsal hamba. Kemudian batu yang besar terjatuh tanpa sangkan.
Keributan di taman dan berbagai tanda-tanda yang lain. Yang terakhir
mimpi hamba yang buruk dan keris yang tidak ada pada ibunda itu.”
Anusapati berhenti sejenak. Lalu, “sudahlah ibunda, hamba mohon diri.
Hamba mohon agar segala kesalahan hamba dimaafkan. Dan hamba titipkan
anak isteri hamba kepada ibunda.”
“Anusapati. Anusapati,” Ken Dedes tidak
dapat menahan air matanya yang dibendungnya di pelupuk. Perlahan-lahan
air yang bening itu-pun meleleh di pipinya.
Anusapati hanya menundukkan kepalanya. Tetapi ia-pun terharu mendengar sedu-sedan ibundanya.
“Anusapati,” berkata ibunda, “kenapa kau
minta diri kepadaku, kepada pamanmu dan kepada semua orang yang kau
kenal dengan baik? Kenapa kau begitu yakin bahwa ayahandamu yang
sekarang akan melakukannya atasmu, seperti yang pernah dilakukannya atas
ayahandamu yang sebenarnya Tunggul Ametung?”
“Ibunda,” berkata Anusapati, “jika
Ayahanda Sri Rajasa membunuh ayahanda Akuwu Tunggul Ametung tentu
bukannya dilakukan dengan tanpa maksud. Tentu ada sesuatu yang
mendorongnya berbuat demikian. Tentu Sri Rajasa ingin duduk di atas
Singgasana Tumapel waktu itu atau keinginan yang lain yang bagi Sri
Rajasa yang bernama Ken Arok itu tidak kalah nilainya, yaitu ibunda Ken
Dedes. Dan bagi Sri Rajasa, hamba adalah semacam noda yang mengotori
keinginannya itu. Hamba juga menodai keinginan Sri Rajasa untuk tetap
berada di atas tahta Tumapel yang telah berhasil dikembangkannya menjadi
Singasari sekarang. Dan hamba-pun akan merupakan noda dalam hubungan
keluarga antara Sri Rajasa dan ibunda Ken Dedes, karena hamba lahir
bukan karena hubungan tersebut.”
“Anusapati,” potong Ken Dedes, “sudahlah. Tetapi itu bukan berarti bahwa jiwamu selalu terancam.”
“Tentu ibunda,” sahut Anusapati, “betapa
tidak, jika Sri Rajasa ingin tetap mempertahankan apa yang sudah
dicapainya, maka aku harus disingkirkan. Jika Sri Rajasa telah membunuh
Akuwu Tunggul Ametung dan berhasil menguasai tahta Singasari sekarang,
maka ia tidak akan melepaskan tahta itu kepada orang lain. Dan hamba
adalah orang lain bagi Sri Rajasa. Juga setelah Sri Rajasa berhasil
memperisteri ibunda Ken Dedes, maka bagi Sri Rajasa aku telah mengotori
hubungan itu karena hamba lahir bukan atas kehendaknya.”
“Anusapati, sudahlah. Sudahlah.”
“O, maaf ibunda. Hamba telah berbicara
terlampau jauh. Tetapi maksud hamba adalah semata-mata untuk menekankan
keyakinan hamba, dan kenapa hamba telah memohon diri.” Anusapati
berhenti sejenak. Lalu, “jika hamba masih sempat memandang matahari
terbit, maka hamba pasti masih akan menghadap ibunda di hari-hari
mendatang. Tetapi jika tidak, hamba sudah mohon diri dan mohon maaf atas
semua kesalahan hamba, sehingga kematian hamba tidak lagi dibebani oleh
rasa bersalah kepada ibunda. Sedangkan kepada Ayahanda Sri Rajasa,
hamba tidak akan mohon maaf, karena hamba tidak merasa pernah bersalah
kepadanya, karena hamba tidak berbuat sesuatu selain mengalami kepahitan
perasaan yang tiada taranya.”
“Anusapati,” suara Ken Dedes terputus.
“Sudahlah ibunda. Hamba mohon diri. Hamba
mohon diri dari hadapan ibunda dan hamba mohon diri untuk seterusnya
jika hamba sudah tidak sempat menghadap ibunda lagi. Mudah-mudahan hamba
dapat sampai kehadapan Yang Maha Agung tanpa membawa setitik dosapun.”
“Tidak. Tidak,” suara Ken Dedes terputus
oleh isaknya, “kau tidak boleh pergi Anusapati. Aku memerlukanmu. Isteri
dan anakmu memerlukanmu dan terlebih-lebih lagi Singasari
memerlukanmu.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Ya ibunda. Yang jelas bagi hamba adalah isteri dan anak hamba
memerlukan hamba. Tetapi apakah Singasari memerlukan hamba?”
“Ya. Ya. Kau adalah keturunan Akuwu
Tunggul Ametung dan keturunan Ken Dedes. Jalur itulah sebenarnya yang
memegang hak atas tahta Tumapel yang kemudian menjadi Singasari
sekarang.”
“Tetapi Tumapel bukan Singasari ibunda. Tumapel lebih kecil dari Singasari yang meliputi daerah Kediri lama.”
“Tetapi alas berpijak Sri Rajasa waktu itu adalah Tumapel dengan segala isi dan kekuatan yang terkandung di dalamnya.”
“Ya,” Anusapati mengangguk-anggukkan
kepalanya, “mungkin jalur itu benar. Tetapi yang berkuasa sekarang sama
sekali tidak menghendaki hal itu. Dan apalagi keris yang bertuah itu ada
ditangannya. Maka segores kecil itu akan melukai tubuh hamba yang tidak
berguna ini, dan hamba akan segera terkapar mati seperti ayahanda
Tunggul Ametung, seperti Empu Gandring dan seperti, Kebo Ijo yang tidak
pernah mengetahui kesalahannya yang sebenarnya sampai akhir hayatnya
karena fitnah.”
“Tidak. Kau tidak akan mati karena keris itu Anusapati.”
“Kenapa? Kenapa ayahanda Tunggul Ametung
mengalami? Kenapa justru Empu Gandring sendiri mengalami dan kenapa
orang yang sama sekali tidak bersalah seperti Kebo Ijo juga harus mati?”
suara Anusapati menurun, “dan kini akan segera datang giliran hamba.
Singasari akan memiliki Pangeran Pati yang lain. Tohjaya, putera Sri
Rajasa yang lahir dari isteri yang dicintainya sampai sekarang, Ken
Umang.”
“Tidak. Tidak. Itu tidak mungkin,” Ken
Dedes yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya itu-pun kemudian
meletakkan dirinya dipembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah ibunda. Jangan menangis. Sudah
ada yang akan menyambung umur hamba. Yaitu anak hamba. Biarlah anak
hamba itu tetap hidup.”
Kata-kata Anusapati itu justru membuat
tangis ibundanya semakin pedih. Di sela-sela tangisnya itu ia masih akan
berkata sesuatu. Tetapi yang terdengar adalah kata-kata yang tidak
begitu jelas.
Anusapati-pun kemudian berdiri
termangu-mangu. Tetapi isak ibunya yang menyesakkan dada itu membuatnya
menjadi iba. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berjongkok di sisi
pembaringan.
“Sudahlah ibunda. Jangan menangis.
Biarlah adinda Mahisa Wonga Teleng menemani ibunda untuk menenteramkan
hati ibunda. Biarlah hamba menyuruh seseorang memanggilnya.”
“Jangan, jangan Anusapati.”
“Atau adinda yang lain, adinda yang lebih muda lagi.”
“Tidak. Semuanya jangan melihat aku
menangis seperti ini. Biarlah mereka tidak mengetahui betapa hatiku
menjadi sangat pedih mengenangkan semuanya yang pernah terjadi, justru
semakin dekat aku dengan hari-hari tua, dan saat-saat aku akan menghadap
kembali ke hadapan Yang Maha Agung. Dan ini adalah hukuman yang berat
yang harus aku tanggungkan karena dosa-dosaku di waktu aku masih muda.
Diwaktu aku tidak pernah merasakan kepuasan hidup, sehingga aku telah
bertualang tanpa meninggalkan istana Tumapel dan yang sekarang menjadi
Singasari ini.”
“Jangan menyalahkan diri sendiri ibu.”
“Bukankah kau juga melihat kesalahan itu?
Kadang-kadang kita memang perlu melihat kesalahan sendiri Anusapati.
Dan aku sudah melihatnya.”
“Tetapi ibu tidak perlu menangis lagi.”
Ken Dedes mencoba menahan isak tangisnya.
Namun terasa dadanya seakan-akan menjadi retak karenanya. Sehingga
karena itulah ia masih saja berbaring dipembaringannya. Bahkan kini
terasa seluruh tubuhnya gemetar dan matanya berkunang-kunang.
“Anusapati, Anusapati,” desisnya.
Anusapati bergeser mendekat, “Ibu, ibunda.”
“Dengarlah Anusapati,” berkata Ken Dedes
kemudian, “aku tidak dapat melepaskan kau. Aku tidak dapat membiarkan
kau terbunuh seperti ayahanda Akuwu Tunggul Ametung.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah kau tidak mempunyai suatu cara
untuk menyelamatkan diri? Misalnya kau ikut bersama pamanmu ke Kediri
atau daerah lain di luar istana ini?”
“Aku adalah Putera Mahkota ibu. Putera
Mahkota harus berada di istana. Memang mungkin seorang Pangeran Pati
keluar dari istana. Tetapi hanya untuk waktu yang pendek. Selanjutnya ia
harus segera kembali keistana.”
“Tetapi untuk keselamatanmu Anusapati.
Kau dapat pergi untuk waktu yang cukup lama meskipun pada suatu saat kau
akan kembali lagi keistana ini.”
“Ibunda,” berkata Anusapati selanjutnya,
“yang berkuasa di Singasari adalah Ayahanda Sri Rajasa. Jika Ayahanda
Sri Rajasa memanggil, kapan-pun hamba harus datang menghadap. Hamba
tidak dapat dengan alasan apa-pun memperpanjang waktu kepergian hamba.
Apalagi apabila ayahanda mengetahui bahwa hamba sedang bersembunyi.”
“Ah,” Ken Dedes berdesah, “jadi apakah kau tidak melihat jalan apa-pun untuk menghindarkan diri?”
Ken Dedes menjadi heran ketika ia melihat
Anusapati tersenyum. Agaknya anaknya itu sudah demikian ihlas
menyerahkan jiwanya. Katanya, “Ibunda, hamba tidak ingin bersembunyi.
Biarlah apa yang akan terjadi atas hamba itu terjadi. Jika hamba
bersembunyi dimana-pun dengan alasan apapun, maka hamba adalah seorang
pengecut. Apalagi Sri Rajasa akan dapat mengambil suatu keputusan untuk
menetapkan orang lain menjadi Pangeran Pati. Dan Sri Rajasa dapat
mengambil keputusan dan mengumumkan bahwa hamba adalah seorang buruan
karena kesalahan apa-pun yang dapat dibuatnya. Jika demikian maka
keadaan hamba akan menjadi sangat sulit. Jika prajurit-prajurit
menemukan hamba, maka hamba akan mati di ujung berpuluh-puluh tombak dan
pedang. Tombak yang tumpul dan sama sekali tidak bertuah. Tetapi jika
hamba tetap berada di istana, maka hamba akan mati tergores keris yang
telah membunuh ayahanda Tungul Ametung. Keris bertuah yang telah
diciptakan seorang Empu yang sakti pada jaman Tumapel itu. Bukanlah
dengan demikian hamba akan menjadi lebih berbangga hati? Apalagi tuah
keris itu akan dapat mengantarkan sukma hamba kepada Yang Maha Agung.
Tetapi tidak demikian dengan tombak-tombak dan pedang-pedang besi
karatan itu.”
(bersambung ke jilid 76).
No comments:
Write comments