Setiap kali beberapa orang prajurit atau
perwira telah mencoba meloncat ke atas dinding batu untuk melihat bagian
atas dari setiap bangunan yang ada.
Tetapi belum ada suatu kelompok-pun yang menjumpai seseorang yang mencurigakan.
Kelompok yang mendapat tugas di bagian
belakang, telah membangunkan setiap orang yang tinggal di sana.
Pondok-pondok yang tertutup rapat harus dibuka. Dua atau tiga orang
prajurit memasuki setiap rumah, mengamati setiap orang yang ada di dalam
pondok-pondok itu, kalau-kalau mereka menemukan orang asing. Tetapi
mereka tidak menemukan apa-apa.
Beberapa orang prajurit muda berebutan
memeriksa pondok para emban. Tetapi mereka kehilangan nafsu penelitian
mereka ketika beberapa orang emban yang terdapat di dalam pondok itu
mulai bertanya, “Siapakah yang mau kau cari?”
Salah seorang prajurit menjawabnya sambil bergurau, “Kau.”
“Ah. Tentu bukan aku. Tetapi mBok ayu
ini,” katanya sambil mendorong seorang kawannya sehingga hampir saja
melanggar prajurit yang sedang memeriksa ruangan-ruangan itu.
Karena prajurit itu membawa pedang
telanjang, maka emban itu hampir saja menyentuh ujungnya seandainya
prajurit itu tidak dengan cepat menariknya.
“Kau, kau,” emban yang didorong itu meloncat sambil mencubit gadis yang mendorongnya.
“Aduh, aduh sakit.”
“Kau nakal sekali. Ayo apakah kau sudah jera.”
“Sudah. Aku sudah jera.”
“Ssst,” prajurit-prajurit yang ada di
dalam pondok itu berdesis, “jangan ribut. Aku sedang bertugas. Kalau kau
mulai bergurau maka kami tidak akan dapat menjalankan tugas kami dengan
baik.”
Emban-emban itu tertawa. Salah seorang berkata, “Pandai juga kau memilih tugas.”
“Sudah kami rencanakan. Kami harus menggeledah seisi pondok ini. Mungkin kalian menyembunyikan orang asing disini.”
“Silahkan,” berkata emban-emban itu.
“Kalian harus menunggui kerja kami supaya
kalian tidak kehilangan apa-pun juga. Kami-pun akan menggeledah kalian
seorang demi seorang, kalau-kalau kalian menyembunyikan orang asing itu
di dalam pakaian kalian.”
“Jadi?”
“Kami geledah pakaian yang kalian pakai.”
“Tidak mau, tidak mau,” emban-emban yang masih muda itu berteriak hampir berbareng.
“Ssst,” sekali lagi prajurit-prajurit itu
berdesis, “jangan berteriak-teriak. Kami akan dicurigai oleh para
prajurit dan perwira yang ada di luar. Mereka mungkin menjadi iri, dan
memaksa kami keluar. Kalau para perwira itu menangani sendiri, kalian
tidak akan dapat menolak seandainya mereka akan menggeledah seluruh
tempat ini termasuk kalian masing-masing.”
“Tidak mau, tidak mau.”
“Kalau begitu tenanglah. Berkumpullah diruang tengah ini. Seluruhnya. Kami akan memasuki setiap ruangan.”
Demikianlah maka penelitian itu dilakukan secermat-cermatnya. Tidak ada tempat yang terlampaui.
Sementara itu, kelompok yang langsung
dipimpin oleh Panglima pasukan pengawal sudah sampai pula di bangsal Sri
Rajasa. Mereka masih menemukan Tohjaya, dua orang prajurit pengawalnya,
beberapa orang prajurit yang lain. yang ikut serta mengawal bangsal itu
setelah ada tanda bahaya, dan gurunya, penasehat Sri Rajasa itu.
“Kau,” desis Tohjaya ketika Panglima itu mendekati bangsal.
Panglima pasukan pengawal itu
menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian sambil mendekat ia
berkata, “Hamba tuanku. Hamba sedang meronda berkeliling setelah hamba
mendengar tanda bahaya dari luar istana.”
“Ya. Aku memerintahkan para pengawal membunyikan tanda bahaya. Apakah tanda bahaya itu merambat keluar kota?”
“Hamba tuanku. Bukan saja halaman istana
ini yang kini diliputi oleh kecemasan. Tetapi beberapa bagian di luar
istana agaknya telah mendengar pula. Hamba telah memerintahkan kesiagaan
di luar istana pula. bukan hanya di dalam istana.”
“Bagus,” Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya, “sekarang apakah yang kau lakukan?”
“Kami menjelajahi isi halaman ini untuk mencari orang-orang yang diberitakan masuk ke dalam halaman ini.”
“Bukan diberitakan. Tetapi pasti. Aku melihatnya sendiri.”
Dalam pada itu Anusapati-pun kemudian mendekat sambil berkata, “Adinda Tohjaya melihat orang-orang itu?”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang mendekat itu. “Kakanda Anusapati?” ia bertanya.
“Ya, aku,” sahut Anusapati.
“Apakah yang kakanda lakukan?”
“Aku bersama dengan para prajurit sedang meronda.”
“Apakah kakanda tidak mendengar tanda bahaya?”
“Justru karena aku mendengar tanda bahaya.”
Tohjaya termangu-mangu sejenak. Ia-pun
menjadi heran. “Justru karena ia mendengar tanda bahaya.” Tohjaya
mengulang di dalam hatinya.
“Jadi, kakanda tidak tinggal saja di dalam bangsal? Apakah kakanda menyadari bahaya yang sedang membayangi halaman istana ini?”
“Aku menyadari. Itu adalah salah satu kuwajibanku justru karena Ayahanda Sri Rajasa tidak ada.”
Tohjaya menjadi berdebar-debar mendengar
kata-kata Anusapati. Seperti para perwira prajurit yang menyertainya,
sama sekali tidak mengira bahwa pada suatu saat Anusapati benar-benar
bersikap sebagai Putera Sri Rajasa.
“Aku telah memerintahkan pula untuk
menutup halaman ini dan mencarinya sampai kita semua mendapatkan
orang-orang yang masuk kedalam istana itu, karena aku yakin, tidak
seekor cicak-pun yang akan dapat keluar dari istana ini. Setiap jengkal
dinding sudah diawasi. Aku sudah mengelilingi halaman istana sebelum aku
sampai ke regol depan dan menemui Panglima pasukan pengawal.”
Tohjaya menjadi semakin berdebar-debar.
Dan Anusapati-pun berkata pula, “Nah, sekarang kami sedang mencari
orang-orang itu di segala sudut. Kami telah membagi pasukan yang ada
menjadi empat kelompok kecil, untuk meneliti setiap jengkal tanah di
dalam halaman istana.”
“Kenapa aku tidak melakukannya lebih
dahulu,” Tohjaya berkata di dalam hatinya dengan penuh penyesalan,
“kenapa aku tetap tinggal di bangsal ini menunggui angin?”
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Untuk
menutup kekecewaannya Tohjaya berkata, “Aku sudah menemukan mereka
bertiga sebelum kalian berbuat sesuatu. Akulah yang memerintahkan tanda
itu dibunyikan.”
“Apakah kau tidak berusaha menangkapnya?” bertanya Anusapati tiba-tiba.
Pertanyaan itu terasa menyinggung
perasaan Tohjaya. Namun ia menjawab, “Aku sudah bertempur melawan
ketiganya. Tetapi mereka melarikan diri.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Kalau perintahmu tidak terlambat adinda Tohjaya, maka
orang-orang itu pasti tidak akan dapat keluar istana ini. Tetapi kalau
Adinda Tohjaya terlambat, dan tanda-tanda itu berbunyi justru setelah
yang kau katakan tiga orang itu sudah berada di luar istana, maka kita
pasti tidak akan dapat menemukannya.”
“Aku tidak terlambat,” berkata Tohjaya
lantang, “tetapi aku memerlukan waktu. Setelah ketiganya melarikan diri,
aku baru dapat memerintahkan pengawalku untuk membunyikan tanda bahaya
dan menghubungi para petugas di malam ini.”
“Jadi Adinda Tohjaya bersama pengawal-pengawal itu?”
“Ya.”
“Di bangsal ini?”
Tohjaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi
ia-pun menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku berada di bangsal ini bersama
pengawal-pengawalku.”
“Dan penasehat ayahanda Sri Rajasa itu?”
Sekali lagi Tohjaya menjadi ragu-ragu.
Namun ia harus mengiakannya pula, “Ya. Bersama penasehat Ayahanda Sri
Rajasa. Aku sedang mempelajari beberapa isi rontal.”
“Apakah pengawal-pengawal adinda tidak membantu berusaha menangkap salah seorang dari mereka?”
Wajah Tohjaya menjadi merah. Untunglah
bahwa didalam gelapnya malam perubahan wajah itu tidak nyata kelihatan.
Sambil mengumpat di dalam hati ia menjawab, “Pertanyaan kakanda adalah
pertanyaan yang aneh. Sudah tentu kami semuanya berusaha sejauh-jauh
dapat kami lakukan. Tetapi sudah aku katakan, mereka melarikan diri.
Kalau kakanda bertanya apakah aku tidak mengejarnya, aku akan menjawab,
bahwa aku sudah mengejarnya bersama para pengawal. Tetapi aku tidak akan
dapat menjawab kalau kakanda bertanya, kenapa aku tidak dapat
menangkapnya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, meski-pun ia tersenyum di dalam hati.
Agaknya Panglima pasukan pengawal yang
mengetahui bahwa ada jarak pada kedua putera Sri Rajasa itu berkata,
“Ampun tuanku berdua. Tugas kita sekarang adalah mencari orang-orang itu
dan menemukannya. Kemudian menangkap mereka hidup atau mati.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Panglima itu cukup bijaksana sehingga karena itu ia menjawab,
“Ya. Kita sekarang mencari orang itu. Kita akan menangkap hidup atau
mati.”
Suasana yang sudah mereda itu tiba-tiba
melonjak ketika Mahisa-wonga-teleng menyambung dari kejauhan, “Tetapi
benarkah ada orang-orang yang memasuki istana ini?”
Tohjaya yang sudah menahan hati itu
hampir-hampir saja menjadi marah kepada Mahisa-wonga-teleng. Namun
agaknya ia masih berusaha menahan hatinya. Meskipun demikian ia
menjawab, “Agaknya aku masih dapat mempercayai otakku Adinda
Mahisa-wonga-teleng. Aku masih dapat membedakan antara sebuah mimpi dan
kenyataan yang terjadi dihadapanku, bahkan yang telah memaksa aku untuk
bertempur.”
Mahisa-wonga-teleng tidak menjawab lagi.
Tetapi hatinya agak menjadi berdebar-debar juga. Ternyata ia telah
menyinggung perasaan Tohjaya.
“Sudahlah.” Panglima itu sekali lagi menengahinya, “kita jangan membuang-buang waktu. Kita harus segera menemukan orang itu.”
“Ya, marilah, kita lanjutkan usaha kita malam ini. Selambatnya besok pagi-pagi, orang itu harus sudah tertangkap.”
Panglima itu-pun kemudian menganggukkan
kepalanya dalam-dalam kepada Tohjaya sambil berkata, “Hamba akan
melanjutkan tugas hamba tuanku. Hamba sengaja tidak melihat keadaan di
dalam bangsal dan sekitarnya karena di sini ada tuanku serta para
pengawal. Seandainya orang-orang itu kembali ke bangsal ini atau
kelongkangan di belakang, hamba serahkan kepada tuanku.”
“Seharusnya kau tidak usah mengatakannya.
Apakah tanpa pesan itu aku tidak akan berbuat apa-apa seandainya mereka
kembali dan bersembunyi di sini?”
Dada Panglima itulah kini yang berdesir.
Ia adalah seorang prajurit yang tertinggi di dalam kesatuannya. Ia
mempunyai wewenang dan kekuasaan. Adalah tidak pada tempatnya bahwa
Tohjaya bersikap begitu kasar kepadanya.
Tetapi sebagai orang yang telah cukup
matang, Panglima itu masih menahan hati. Ia sadar pula bahwa ia
berhadapan dengan putera terkasih dari Sri Rajasa. Karena itu maka
ia-pun manganggukkan kepalanya sekali lagi sambil berkata, “Ampun
tuanku. Hamba tidak bermaksud apa-apa. Hamba hanya terlampau
berhati-hati. Kalau hal itu tidak berkenan di hati tuanku, biarlah aku
mencabut ucapan itu kembali.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Yang kemudian menyahut adalah penasehat Sri Rajasa, “Silahkanlah. Mungkin waktu akan sangat berharga bagi kalian.”
“Terima kasih,” desis Panglima itu, lalu, “Hamba mohon diri tuanku.”
“Ya,” jawab Tohjaya singkat.
Panglima itu-pun kemudian meninggalkan
bangsal Sri Rajasa. Anusapati dan adiknya. Mahisa-wonga-teleng-pun minta
diri pula kepada Tohjaya. Dan jawab Tohjaya-pun sesingkat jawabannya
kepada Panglima itu.
Beberapa langkah setelah mereka
meninggalkan bangsal itu, Mahisa-wonga-teleng bertanya kepada Anusapati,
“Kakanda, kenapa kakanda Tohjaya ada di tempat itu?”
Anusapati menggeleng, “Aku tidak tahu.
Mungkin ia mengikuti orang-orang yang dikatakannya memasuki halaman
Istana ini. Atau ia sengaja mengawasi bangsal yang kosong itu, agar
tidak dipergunakan sebagai tempat persembunyian orang-orang yang sedang
kita cari.”
“Tetapi kita tidak mencari di sekitar bangsal itu. Orang-orang itu justru akan merasa aman bersembunyi di sana.”
“Ah kau. Dengan demikian adinda Tohjaya akan merasa tidak mendapat kepercayaan.”
“Tetapi ternyata kakanda Tohjaya tidak dapat menangkap.”
“Seandainya ia berada di sana, maksudku
orang-orang itu, mereka tidak akan dapat keluar dari halaman ini. Pada
suatu saat mereka pastu akan dapat kita tangkap juga.”
Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tetap tidak mengerti, kenapa Tohjaya berada di
bangsal Ayahanda Sri Rajasa justru ketika Ayahanda Sri Rajasa tidak ada
di istana.
“Mungkin ayahanda memang sudah
mengijinkan Kakanda Tohjaya dengan orang-orang yang mengawaninya itu
berada di bangsal itu,” katanya di dalam hati untuk menenteramkan
hatinya itu sendiri.
Demikianlah maka kelompok-kelompok
prajurit yang sedang mencari orang-orang yang dikatakan memasuki istana
itu sudah mengelilingi semua sudut. Tidak ada sejengkal tanah-pun yang
lepas dari pengawasan mereka. Namun demikian mereka tidak menemukan
seorang-pun juga. Mereka tidak menemukan orang-orang yang mencurigakan.
Sambil mengusap keringat di kening,
Panglima pengawal itu berdesis, “Ternyata kita tidak menemukan apa-pun
juga. Tetapi apa yang dikatakan oleh tuanku Tohjaya itu pasti benar.
Soalnya adalah, apakah ketika tanda bahaya berbunyi, orang-orang itu
sudah berhasil keluar dari halaman istana ini. Jika demikian, kita tidak
akan dapat menangkap mereka.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, “Tetapi bukankah di luar halaman ini penjagaan telah
diperkuat pula?”
“Tetapi sudah tentu setelah tanda bahaya itu berbunyi tuanku.”
Sekali lagi Anusapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia sependapat dengan
Panglima itu. Sudah tentu bahwa Tohjaya memerlukan waktu sebelum tanda
bahaya itu berbunyi.
Tetapi Anusapati tersenyum di dalam hati.
Ia tahu benar apa yang sebenarnya telah terjadi. Lebih dari Tohjaya dan
gurunya. Lebih dari setiap orang di dalam istana itu. Bahkan perwira
prajurit yang lebih dahulu turun kelongkangan dan bertempur melawan guru
Tohjaya itu-pun tidak mengetahui selengkap yang diketahuinya.
Meski-pun demikian Anusapati tidak dapat
menjelaskannya kepada siapa-pun juga. Ditahannya saja perasaan ini di
dalam hati. Ia akan menunggu sampai Mahisa Agni pada suatu saat
berkunjung ke Singasari. Ia akan menceriterakan apa yang telah terjadi
di dalam halaman istana itu.
Ketika fajar mulai menyingsing di Timur,
semuai kelompok telah kembali ke regol depan. Mereka berkumpul di gardu
induk untuk menyampaikan laporan mereka kapada Panglima pengawal istana.
“Aneh,” desis Panglima itu.
“Apakah kalian mencurigai seseorang?” bertanya Anusapati.
Hampir berbareng para pemimpin kelompok
menyahut, “Tidak tuanku. Hamba tidak melihat tanda-tanda yang dapat
menimbulkan kecurigaan. Apalagi pada seseorang.”
Anusapati mengangguk-angguk. Lalu katanya
kepada Panglima itu, “Mungkin kita terlambat. Maksudku, tanda bahaya
itulah yang terlambat sehingga orang-orang itu sempat meloncat keluar.”
Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya,
“Mungkin tuanku. Hamba juga menyangka demikian. Hamba menduga bahwa
apabila tanda itu tepat pada waktunya, para pengawal cukup cepat
bertindak. Setidak-tidaknya pasti ada satu dua orang yang melihatnya
meloncat meskipun dari kejauhan. Karena menurut laporan, begitu tanda
yang pertama berbunyi, maka semua prajurit yang mendengarnya langsung
menjaga semua regol dan mengawasi segenap dinding.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, “Aku melihat sendiri. Aku-pun segera melihat
berkeliling halaman istana.” Anusapati diam sejenak, “kita akan
bersama-sama melaporkannya kepada Ayahanda Sri Rajasa. Kau dan aku.
Ayahanda tidak akan dapat menyalahkan kita semua para prajurit. Kalau
Ayahanda Sri Rajasa menganggap bahwa kesempatan lepas dari orang-orang
itu merupakan suatu kesalahan, ayahanda harus menimbang secara adil,
siapakah yang sebenarnya bersalah.”
Panglima itu merenung sejenak. Desisnya,
“Hamba tuanku. Hamba akan menyampaikan laporan apa yang ada dan apa yang
sebenarnya terjadi.”
Demikianlah maka malam itu, istana
Singasari telah dilanda oleh suatu teka-teki yang menggemparkan. Sebelum
matahari naik. maka berita itu telah tersebar hampir ke seluruh kota.
Orang-orang Singasari segera
mempercakapkan peristiwa itu dengan setiap orang yang mereka jumpai. Di
jalan-jalan, di pasar, di rumah-rumah tetangga dan bahkan di
tikungan-tikungan.
“Pasti hantu dari prajurit-prajurit Kediri yang ingin membalas dendam,” berkata salah seorang dari mereka.
“Kenapa tidak kepada Sri Rajasa atau
Mahisa Agni. Merekalah yang telah membinasakan para pemimpin puncak di
Kediri. Kenapa hantu itu justru datang ke bangsal yang sedang kosong
itu?”
“Tentu mereka tidak berani menghadapi Sri
Rajasa. Mereka masih tetap ketakutan. Juga kepada Mahisa Agni. Itulah
sebabnya mereka berusaha menakut-nakuti puteranya terkasih, Tohjaya.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Bukan,
pasti bukan hantu. Mereka pasti orang-orang Kediri yang mendendam.”
“Tetapi kenapa mereka dapat hilang begitu saja?”
“Pasti dengan aji panglimunan. Mereka
menjadi tidak kelihatan. Dengan demikian mereka dapat leluasa keluar
lewat regol betapapun rapatnya penjagaan.”
“Kalau Kediri mempunyai tiga orang saja yang memiliki ilmu itu yang sebenarnya, Singasari tidak akan dapat mengalahkannya.”
“Kenapa?”
“Dengan mudahnya mereka akan membunuh semua prajurit Singasari di garis perang. Bahkan Sri Rajasa dan Mahisa Agni.”
“Bodoh kau. Sri Rajasa dan Mahisa Agni
memiliki aji Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu. Mereka akan melihat yang
tidak tampak oleh mata biasa, dan mereka akan mendengar apa yang tidak
terdengar oleh telinga wadag ini. Meskipun mereka dapat melenyapkan diri
dengan aji Panglimunun, namun baik Sri Rajasa dan Mahisa Agni tetap
dapat melihat mereka dan mendengar langkahnya.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Itulah sebabnya mereka datang pada saat Sri Rajasa tidak ada
dan demikian pula Mahisa Agni.”
“Tetapi apa maksudnya? Kalau mereka akan
mengganggu putera-putera Sri Rajasa, mereka pasti dapat melakukannya.
Mereka tidak usah bertempur dan melarikan diri.”
Mereka-pun terdiam. Sejenak mereka mencoba mencari alasan untuk membenarkan pendirian masing-masing.
Namun tiba-tiba saja tanpa mereka
duga-duga, seorang anak laki-laki yang berdiri di antara mereka
bertanya, “Siapakah mereka itu paman?”
“Tidak ada yang tahu.”
“Kenapa mereka memakai selubung hitam seandainya memang belum ada seorang-pun yang tahu? Apa pula gunanya?”
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan
orang-orang tua. Anak itu berkata dengan jujur, seperti apa yang
tersirat di dalam hatinya.
Karena itu, maka beberapa orang tua-tua
itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka kemudian berkata,
“Ya, kenapa kita tidak bertanya seperti anak itu? Buat apa sebenarnya
mereka memakai tutup wajah?”
Yang lain mengangguk-angguk, “Ya, sudah
tentu mereka takut dikenal. Apakah mereka sebenarnya orang-orang yang
memang sudah dikenal di istana?”
“Ah. Itu adalah urusan orang-orang istana. Bukan urusan kita.”
Ternyata pertanyaan itu-pun sudah tumbuh
pula dikalangan orang-orang istana. Ketika para pengawal pasti, bahwa
orang-orang itu tidak dapat diketemukan sampai pagi hari berikutnya,
maka Panglima pengawal itu-pun bergumam hampir kepada diri sendiri,
“Aneh. Tetapi apa pula gunanya mereka memakai tutup wajah?”
Anusapati yang masih berada di antara
para prajurit itu-pun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia-pun menyahut,
“Ya. Apa pula gunanya mereka mempergunakan tutup kepala? Ada dua
kemungkinan. Mereka memang orang-orang yang sebenarnya sudah dikenal di
istana ini atau orang-orang yang takut dikenal kemudian karena mereka
memang sering datang ke Singasari.”
Panglima itu mengangguk-angguk. Ia-pun kemudian bertanya, “Bagaimana pendapat tuanku?”
“Aku mengira bahwa mereka memang
orang-orang yang sudah dikenal dan sudah mengenal liku-liku istana.
Mereka dapat tanpa diketahui oleh seorang penjaga-pun mencapai pusat
dari halaman istana yang luas ini. Mereka berhasil mendekati bangsal
Ayahanda Sri Rajasa dan bahkan masuk kelongkangan belakang menurut
Adinda Tohjaya. Kemudian mereka dapat menghilang tanpa diketahui oleh
para penjaga. Menurut dugaanku orang-orang itu sudah cukup mengenal isi
istana ini.”
Panglima itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Hamba-pun berpendapat, bahwa hamba harus mengawasi
setiap orang di dalam istana ini. Hamba wajib mencurigai mereka yang
tinggal di dalam.”
“Tetapi menurut pengamatanku, sulitlah
mencari, jangankan tiga, seorang saja di antara isi istana ini yang
mampu berbuat seperti yang dikatakan oleh Adinda Tohjaya.”
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Sehari berikutnya, halaman istana
seakan-akan masih tertutup rapat-rapat. Tidak boleh ada orang yang
keluar atau masuk tanpa pengamatan khusus.
Perwira prajurit, guru Tohjaya dan
Anusapati-pun sudah mengunjungi pusat-pusat pengawasan halaman istana
digardu induk. Seperti Anusapati dan Panglima pasukan pengawal ia
sependapat, bahwa setiap orang memang harus dicurigai.
“Tetapi tiga orang yang berilmu. Apakah
ada satu saja orang-orang di dalam halaman ini yang mampu berbuat
seperti dikatakan oleh tuanku Tohjaya?”
Pertanyaan itu memang telah menyentuh
setiap dada. Hanya para Panglima dan prajurit-prajurit pilihan sajalah
yang memiliki kemampuan yang begitu tinggi. Dan pada umumnya mereka
berada di luar istana.
Tetapi ada juga yang melihat,
setidak-tidaknya seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Perwira prajurit
yang menjadi guru Tohjaya dan Anusapati.
“Tetapi orang itu tidak mempunyai
kepentingan apapun. Apa pula maksudnya berbuat onar?” bertanya
orang-orang yang telah menyorotinya di dalam hati, “apakah ia sekedar
mencobai muridnya?”
Tetapi orang lain justru berpikir,
“Apakah Sri Rajasa sendiri yang telah memasuki halaman ini bersama dua
orang prajurit pilihan. Ia agaknya ingin melihat kesiagaan istana
Singasari dengan langsung.”
Ada pula yang berpikir, “Mungkin Mahisa Agni.”
Namun tidak ada seorang-pun yang dapat
mendekatkan dugaannya. Semuanya hanyalah sekedar dugaan yang masih belum
dapat disertai dengan bukti atau alasan yang mapan.
Demikianlah maka penjagaan di istana
Singasari itu-pun menjadi semakin ketat di hari berikutnya. Sampai
saatnya Sri Rajasa datang kembali dari berburu.
Istana Singasari yang nampak sepi untuk
beberapa hari itu-pun rasa-rasanya menjadi hidup kembali. Bangsal di
pusat halaman itu-pun menjadi terang benderang, justru karena Sri Rajasa
sudah berada di dalamnya.
Setelah Sri Rajasa beristirahat dan
menikmati hasil buruannya, membagikan daging binatang buruan, dan
menyimpan kulitnya, kulit harimau, kijang dan seekor biawak raksasa,
barulah Panglima pengawal istana berani melaporkan apa yang sudah
terjadi di istana. Panglima itu sengaja mengambil kesempatan yang
pertama sebelum orang lain menyampaikannya.
Wajah Sri Rajasa tiba-tiba menjadi merah
padam. Sambil menghentakkan tangannya ia berkata, “Dan kalian tidak
berhasil menangkap orang-orang itu?”
“Ampun tuanku,” berkata Panglima,
“sekejap setelah tanda bahaya berbunyi, kami sudah siap mengepung
istana. Tidak seorang-pun yang dapat lolos lewat mana-pun juga. Tuanku
Putera Mahkota-pun segera hadir di gardu induk dan bersama kami
mengelilingi segenap sudut istana ini, sementara para pengawal dan
prajurit tetap di tempat masing-masing. Bukan saja para prajurit yang
bertugas, tetapi para prajurit di barak keprajuritan di sebelah istana
ini-pun sebagian telah diperbantukan ke dalam istana.”
Sejenak Sri Rajasa terdiam. Tampak betapa
gelora yang dahsyat telah melanda dadanya. Sementara Panglima itu
meneruskan, “Putera tuanku yang lain-pun telah ikut pula di dalam usaha
itu. Tuanku Tohjaya berada di bangsal tuanku, tuanku Mahisa-wonga-teleng
ikut pula bersama kami dan tuanku Anusapati.”
Darah Sri Rajasa serasa telah mendidih.
Adalah suatu penghinaan, bahwa tiga orang berkerudung hitam telah
memasuki halaman istana. Meskipun para prajurit telah dengan cepatnya
berusaha mengepung istana sehingga tidak memberinya kesempatan lolos,
tetapi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, orang-orang itu tidak
dapat ditangkap.
Panglima itu-pun kemudian menceriterakan
bahwa Tohjaya telah terlibat dalam perkelahian melawan ketiga orang itu.
Namun mereka berhasil lolos juga.
Sri Rajasa menggeretakkan giginya. Hampir
saja ia bertanya, kenapa penasehatnya yang menggurui Tohjaya tidak
menangkap mereka. Tetapi untunglah bahwa ia sadar, dan menunda
pertanyaannya itu dalam kesempatan yang lain.
“Aku mengharap mereka kembali,” berkata Sri Rajasa, “aku ingin melihat siapakah sebenarnya mereka itu.”
Panglima pasukan pengawal itu-pun duduk sambil menundukkan kepalanya. Agaknya Sri Rajasa benar-benar telah marah.
Demikianlah akhirnya Panglima itu
diijinkan untuk meninggalkan bangsal. Yang menghadap kemudian adalah
Tohjaya bersama penasehat Sri Rajasa yang telah ditunjuk untuk
memberikan latihan-latihan kepada puteranya itu.
Dari mereka Sri Rajasa-pun mendengar
laporan yang sama, bahkan lebih terperinci lagi. Tohjaya dapat
menceriterakan bagaimana mereka seorang demi seorang turun dan
berkelahi. Bagaimana gurunya telah turun tangan, tetapi tidak dapat
mengimbangi kemampuan mereka. Salah seorang dari ketiga orang itu
ternyata memiliki kemampuan di atas gurunya, sehingga mereka sama sekali
tidak berhasil menangkapnya.
“Gila,” Sri Rajasa menggeram, “penghinaan tiada taranya bagi Sri Rajasa.”
Di hari berikutnya, justru telah keluar
suatu perintah yang aneh bagi para pengawas. Tetapi ketika Panglima
pengawal telah menghadap Sri Rajasa, ia mendapat penjelasan tentang
perintah itu.
“Aku memang menghendaki, agar orang-orang
itu menganggap bahwa kita sudah lengah. Penjagaan harus dikembalikan
seperti biasa. Tetapi harus ada gardu-gardu pengawas yang khusus dan
terlindung. Aku mengharap bahwa orang-orang itu akan datang kembali. Aku
ingin tahu, apakah orang itu mampu melawan Sri Rajasa.”
Barulah Panglima pasukan pengawal itu
menjadi jelas. Dan ia-pun segera mengatur segala macam persiapan untuk
melakukan perintah Sri Rajasa itu.
Dalam pada itu, di suatu kesempatan
Anusapati berkata kepada Sumekar, “Kita sekarang mengalami kesulitan
untuk meloncat keluar paman. Di beberapa tempat telah dibuat gardu-gardu
pengawas yang khusus. Dengan demikian, maka hampir setiap jengkal
dinding dapat diawasi secara tersembunyi.”
Sumekar menganggukkan kepalanya sambil
tersenyum. “Hamba tuanku. Akibat dari permainan perwira yang telah
memaksa kita untuk ikut serta.”
“Kita tidak akan dapat keluar lagi untuk
waktu yang agak lama,” berkata Anusapati kemudian, “tetapi kau masih
mempunyai kesempatan, justru di siang hari apabila kau ingin menjumpai
paman Witantra.”
“Ya. Hamba masih mempunyai waktu.”
Demikianlah, maka istana Singasari itu
seolah-olah telah tertutup. Setiap saat Sri Rajasa menunggu untuk
mengetahui, sampai dimana kemampuan orang berkerudung itu.
Namun Sri Rajasa bukan seseorang yang
terlampau cepat menentukan keputusan dalam setiap persoalan. Ia cukup
teliti dan mempunyai perhitungan yang tajam. Seperti kebanyakan orang di
dalam istana itu, Sri Rajasa-pun menyimpan kecurigaan bahwa sebenarnya
orang di dalam istana itu sendirilah yang telah melakukannya, sehingga
ia tidak perlu lari melintasi dinding yang betapa-pun ketatnya
pengawasan.
Namun demikian, kecurigaan itu lambat
laun terasa pula. Setiap kali Sri Rajasa memanggil seseorang yang pantas
dicurigainya untuk dipertemukan dengan Tohjaya. Meskipun persoalan yang
dibicarakan adalah persoalan-persoalan yang sama sekali tidak
bersangkut paut dengan peristiwa itu, namun Sri Rajasa mengharap bahwa
Tohjaya akan dapat mengenal sikap orang itu.
Tetapi dengan cara itu, Tohjaya tidak
berhasil menemukan. Yang dipanggil oleh Tohjaya justru para perwira dan
Panglima, orang-orang penting yang memiliki kemampuan cukup, dan perwira
prajurit saudara sepupu Ken Umang. Tetapi perwira yang memang merasa
dicurigai itu masih berhasil menyembunyikan setiap kesan yang
memungkinkan membuka rahasianya.
Yang sama sekali tidak dicurigai di dalam
hal ini adalah Sumekar dan Anusapati. Mereka sama sekali tidak dihitung
sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu.
Meskipun demikian kecurigaan Sri Rajasa
atas orang-orang dalam memang membuat keduanya cemas. Apabila lambat
laun perwira prajurit itu tidak berhasil menyembunyikan rahasia ini,
maka ia akan mengalami nasib yang sangat buruk.
Disaat-saat Sumekar mendapat kesempatan
di siang hari berjalan-jalan keluar istana, ia tidak dapat menahan
desakan keinginannya untuk mengatakan hal ini kepada Witantra, sehingga
sambil tersenyum Witantra berkata, “Kalian telah menyusahkan diri kalian
sendiri. Tetapi kasihan juga perwira itu.” Witantra berhenti sejenak,
lalu, “Baiklah, aku akan membebaskannya dari kecurigaan itu.”
“Maksudmu?” bertanya Sumekar.
Witantra tertawa. Jawabnya kemudian, “Aku
akan berbuat sesuatu sehingga timbul kesan bahwa yang telah
melakukannya adalah memang orang di luar istana.”
“Tetapi apakah hal itu tidak akan dapat menimbulkan salah paham?”
Witantra mengerutkan keningnya. Ia tidak
segera mengetahui maksud Sumekar sehingga ia bertanya, “Apakah yang kau
maksud dengan salah paham?”
“Mungkin Sri Rajasa akan menduga
terlampau jauh. Mungkin ia menyangka bahwa akan ada semacam
pemberontakan yang didahului dengan perbuatan-perbuatan aneh untuk
menunjukkan kelebihan mereka yang akan memberontak. Atau dugaan-dugaan
lain yang semacam itu.”
“Aku hanya akan melakukannya satu atau
dua kali untuk menyelamatkan orang-orang yang mungkin dicurigai, padahal
orang itu tidak pernah berbuat apa-apa, karena Sri Rajasa tidak akan
mungkin mencurigai seorang juru taman atau Putera Mahkota yang dungu
itu.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya,
namun kemudian. “Tetapi apakah tidak mungkin bahwa Sri Rajasa akan
menduga, bahwa hal itu dilakukan oleh Mahisa Agni yang berada di
Kediri?”
Witantra mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berkata, “Aku akan menunggu Mahisa Agni berada di istana
Singasari. Bukankah kini ia sering berkunjung kemari untuk membicarakan
masalah Putera Mahkota yang sudah sepantasnya kawin?”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Tetapi apakah hal itu tidak akan terlampau berbahaya bagimu?”
Witantra tertawa. Katanya, “Kalau hanya sekedar melarikan diri, aku kira aku tidak akan kalah dari Sri Rajasa.”
Sumekar-pun tersenyum. Ia percaya, bahwa
Witantra memiliki beberapa kelebihan dari orang kebanyakan. Witantra
pasti sudah mengetahui, betapa tinggi ilmu Sri Rajasa, sehingga ia akan
dapat mengira-ngirakan, apa yang sebaiknya dilakukan.
Demikianlah, maka persoalan orang-orang
berpakaian hitam yang memasuki istana itu, dengan sengaja dihapus dari
pembicaraan sehari-hari. Sri Rajasa sendiri memerintahkan, agar masalah
itu tidak selalu diulang-ulang, selalu dibicarakan dan menjadi bahan
kecemasan bagi penghuni istana.
“Mereka tidak akan berani datang apabila
aku berada di istana,” berkata Sri Rajasa, “bahkan aku mengharap ia
sekali-sekali datang mengunjungi aku. Karena itu, jangan terlampau ketat
menjaga dinding istana. Beri mereka kesempatan masuk. Aku sendiri akan
menangkapnya.”
Dengan demikian, maka masalah orang-orang berkerudung hitam itu sudah tidak pernah diucapkan lagi oleh orang-orang Singasari.
Ketika orang-orang di dalam dan di
sekeliling istana sudah melupakannya, maka Mahisa Agni mendapat
kesempatan untuk mengunjungi Singasari. Dengan penuh harapan ia
menghadap Sri Rajasa untuk menyampaikan kelanjutan persoalan Anusapati
yang dianggap sudah agak terlampau lambat kawin bagi seorang Putera
Mahkota.
“Hamba menghadap untuk menyampaikan hasil pembicaraan hamba dengan para bangsawan di Kediri,” berkata Mahisa Agni.
“Lalu?”
“Seorang bangsawan yang berdarah Tumapel telah menyetujui permintaan hamba.”
“Kenapa berdarah Tumapel?”
“Adalah menguntungkan sekali bagi kesatuan Singasari dan Kediri.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah kau sudah meneliti lajur keturunannya?”
“Hamba tuanku. Sudah hamba ketahui semuanya.”
“Apa katamu?”
“Menurut hamba, pantaslah apabila keturunan kebangsawanannya akan dikuatkan bagi sisihan Putera Mahkota.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukan kepalanya. “Terserahlah kepada ibunya.”
Dada Mahisa Agni berdesir. Agaknya Sri
Rajasa hampir tidak peduli, apa saja yang akan terjadi dengan Anusapati.
Namun demikian Mahisa Agni berkata lebih jauh, “Ampun tuanku. Hamba
telah mendahului tuanku, bahwa hamba telah membayangkan kepada keluarga
itu, bahwa tuanku menghendaki puterinya bagi Putera Mahkota.”
“Kau adalah pamannya. Kau pasti dapat mempertimbangkannya.”
“Tetapi yang ingin hamba persembahkan kepada tuanku adalah, bahwa di dalam keluarga itu terdapat dua orang gadis kakak beradik.”
“Jadi, yang mana yang kau kehendaki?”
“Ampun tuanku, bagaimana kalau kedua-duanya?”
“Kedua-duanya?”
“Maksud hamba, yang seorang bagi putera tuanku yang muda, tuanku Tohjaya.”
“He,” wajah Sri Rajasa menjadi
berkerut-merut. Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berkata, “Aku
sama sekali belum pernah berbicara dengan ibunya. Aku kira tidak
menginjak perkawinan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menjadi agak kecewa. Katanya, “Hamba sudah menyinggungnya.
Tetapi ampun tuanku bahwa hamba agak mendahului tuanku. Menurut tilikan
hamba, tuanku Tohjaya-pun sudah cukup dewasa. Sudah sepantasnya apabila
tuanku Tohjaya-pun segera menginjak perkawinan.”
“Aku akas berbicara dengan ibunya. Tetapi tidak untuk waktu yang singkat”
Mahisa Agni mengangguk-angguk pula.
Sedang Sri Rajasa berkata didalam hatinya, “Tidak pantas bahwa putera
kebanggaan Sri Rajasa mendapatkan seorang isteri saudara sekandung
dengan isteri Anusapati yang bodoh itu. Tohjaya harus mendapat isteri
yang lebih tinggi derajatnya.”
Meskipun demikian Sri Rajasa berkata,
“Kalau kau sudah pernah memberikan harapan pada keluarga itu,
terlebih-lebih kepada anak gadisnya, bagaimana kalau yang seorang kita
kawinkan dengan Mahisa-wonga-teleng?”
Mahisa Agni terperanjat. “Apakah tidak masih terlampau muda tuanku?”
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Memang
Mahisa-wonga-teleng masih terlampau muda. Tetapi ia sudah tumbuh menjadi
seorang anak muda yang pantas disebut dewasa.
“Mungkin umurnya masih terlampau muda,”
berkata Sri Rajasa. “Tetapi tiga tahun lagi ia sudah seorang anak muda
yang dewasa. Sudah tentu bahwa seandainya Anusapati akan diikat dalam
perkawinan, tidak akan kita selenggarakan tahun ini. Kita akan melakukan
persiapan seperlunya. Kalau saat perkawinan itu akan berlangsung tahun
depan, maka umur Mahisa-wonga-teleng-pun sudah menjadi semakin mendekati
batas kedewasaannya sehingga sudah pantas baginya untuk segera kawin di
tahun berikutnya.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi
kepalanya terangguk-angguk. Kalau perhitungan Sri Rajasa demikian, maka
dua tahun lagi Mahisa-wonga-teleng memang sudah pantas untuk menjadi
seorang suami, meski-pun seorang suami muda.
“Aku kira ibunya tidak akan
berkeberatan,” berkata Sri Rajasa. “Bukan Mahisa-wonga-teleng yang
terlampau cepat, tetapi Anusapati dan Tohjaya lah yang agak lambat.”
“Jika demikian, kenapa bukan tuanku Tohjaya?”
“Aku memerlukan pembicaraan dengan
ibunya. Sedangkan Mahisa-wonga-teleng adalah saudara seibu dengan
Anusapati, sehingga pembicaraan tentang masalah perkawinan tidak akan
merupakan masalah baru,” Sri Rajasa berhenti sejenak, lalu, “apalagi kau
adalah pamannya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Segala sesuatu tergantung kepada
kebijaksanaan tuanku. Hamba akan melaksanakan saja semua titah tuanku.”
“Aku akan berbicara dengan Permaisuri.
Aku rasa ia tidak akan berkeberatan. Kemudian pembicaraan seterusnya,
kau sendiri dapat mengaturnya. Pada saatnya, aku akan menyampaikan
keputusan itu kepada sidang para pemimpin dan tetua Singasari.
Mudah-mudahan mereka tidak berkeberatan.”
“Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya.”
“Untuk sementara tinggallah di istana
Singasari. Kau tidak perlu mondar-mandir setiap kali dalam pembicaraan
ini. Aku akan memberikan keputusanku, sehingga pada saat kau kembali ke
Kediri, semuanya sudah selesai. Kita tinggal menunggu saat yang akan
kita tentukan itu.”
“Hamba tuanku. Hamba akan menjunjung titah tuanku.”
Demikianlah maka untuk beberapa lama
Mahisa Agni berada di istana Singasari. Ia telah bertemu dengan Ken
Dedes di dalam persoalan Anusapati.
Mahisa Agni terkejut ketika pada suatu
saat perwira prajurit saudara sepupu Ken Umang, datang menemuinya.
Dengan gelisah ia mengamati keadaan di sekitarnya. Ketika ia yakin bahwa
tidak ada seorang-pun yang mengetahuinya, maka ia-pun mulai berceritera
tentang usahanya untuk mengetahui guru Tohjaya yang dianggapnya telah
menyainginya itu.
“Kau berhasil?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku berhasil tuan,” jawabnya, “tetapi aku menjumpai keajaiban di dalam hal itu.”
“Keajaiban?”
“Ya tuan. Suatu hal yang sama sekali
tidak aku sangka-sangka.” Dan perwira itu-pun kemudian menceriterakan,
bagaimana ia tidak dapat lagi menghindarkan diri dari perkelahian
melawan guru Tohjaya itu. Tetapi tiba-tiba telah hadir pula dua orang
yang kebetulan sekali mempergunakan penutup wajah seperti dirinya
sendiri.
“Kau tidak mengenal keduanya?”
“Sama sekali tidak tuan.” ia berhenti
sejenak, lalu, “Dan ternyata peristiwa itu telah menggemparkan istana
sampai Sri Rajasa kembali dari perburuannya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jadi penasehat raja itulah yang telah menuntun Tohjaya dengan
cara yang kasar untuk mempelajari ilmu yang kasar itu pula.
Namun demikian, ceritera tentang dua
orang yang berkerudung hitam itu telah menarik perhatian Mahisa Agni
pula. Tetapi sebelum ia mendengar ceritera itu dari sumber yang lain, ia
sudah dapat menduga, siapakah kira-kira dua orang yang tiba-tiba ada
pula di longkangan belakang bangsal Sri Rajasa itu.
Ternyata dugaan Mahisa Agni tidak salah.
Disaat lain, ia bertemu dengan Anusapati. Sambil tersenyum Anusapati
menceriterakan pula apa yang telah terjadi.
“Orang itu menjadi bingung,” berkata Mahisa Agni, “ia menganggap hal itu sebagai suatu keajaiban.”
Anusapati tertawa. Katanya, “Pada suatu saat, paman Sumekar akan berceritera pula.”
Demikianlah, ketika Mahisa Agni sempat
berjalan-jalan di taman, ia menjumpai Sumekar di antara para juru teman.
Namua Sumekar sempat juga menemukan waktu untuk berceritera. Tetapi
karena ia yakin bahwa Anusapati sudah mengatakan tentang semuanya, maka
yang dikatakannya justru pertemuannya dengan Witantra.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, “jadi Witantra akan ikut pula bermain-main.”
“Ya. Ia akan membuat Sri Rajasa menjadi
semakin bingung.” Sumekar berhenti sejenak, “tetapi bukan itulah
tujuannya. Ia ingin membebaskan setiap orang di dalam istana ini dari
kecurigaan. Karena sampai saat ini, meskipun seakan-akan tidak ada
masalah lagi tentang tiga orang berkerudung itu, namun sebenarnya
penyelidikan masih terus dilakukan. Kadang-kadang seseorang dipanggil
langsung oleh tuanku Tohjaya, apabila mungkin ia masih dapat
mengenalinya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku percaya bahwa Witantra akan dapat melakukannya.
Saat ini aku tidak dapat mengatakan, siapakah yang lebih unggul dari
keduanya setelah kakang Witantra mengasingkan dirinya untuk waktu yang
lama.”
Ceritera-ceritera itu ternyata telah
sangat menarik perhatian Mahisa Agni. Ia tahu bahwa Witantra hanya ingin
sekedar membebaskan prasangka orang-orang yang terdekat dengan Tohjaya,
kepada mereka yang mungkin dicurigai. Memang tidak mustahil bahwa pada
suatu saat, orang-orang Tohjaya yang tidak segera dapat menemukan ketiga
orang itu, akan segera bertindak kasar. Mereka dapat menangkap siapa
saja yang tidak disukainya dan dipaksakannya untuk mengakui perbuatan
itu.
Tetapi lebih dari itu, dengan demikian
Sri Rajasa akan membuat pertimbangan di setiap tindakannya. Ia tidak
akan segera tenggelam dalam kebanggaan, seolah-olah di seluruh permukaan
bumi tidak ada orang yang dapat mengimbanginya setelah ia berhasil
mengalahkan Maharaja di Kediri. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan
terperosok ke dalam pemujaan terhadap dirinya dan bertindak
sewenang-wenang.
“Kapan Witantra akan melakukannya?” bertanya Mahisa Agni kemudian.
“Segera setelah kakang Mahisa Agni ada disini.”
“Kenapa menunggu aku ada di sini? Apakah Witantra masih juga memerlukan seorang penonton bagi pertunjukannya yang menarik itu?”
“Kami menjadi cemas, bahwa Sri Rajasa
akan salah paham. Menurut penilaian orang-orang Singasari, hanya ada dua
orang yang memiliki kemampuan melampaui kemampuan orang kebanyakan.
Yang pertama adalah Sri Rajasa sendiri, yang kedua adalah Mahisa Agni.
Para Panglima dan prajurit pilihan tidak ada seorang-pun yang mampu
menyamainya. Dengan demikian, apabila Witantra melakukannya selagi
kakang Mahisa Agni tidak ada di istana, maka mungkin akan timbul dugaan,
setidak-tidaknya bagi kebanyakan orang, bahwa kakang Mahisa Agni lah
yang telah melakukannya.”
“Ah. Apakah akan sampai begitu jauh?”
“Mudah-mudahan tidak. Tetapi tidak akan ada orang yang berani berbuat demikian selain kakang Mahisa Agni.”
Mahisa Agni tersenyum. Ternyata
pertimbangan mereka sudah sampai begitu jauh, yang barangkali justru
tidak terpikir sama sekali oleh Sri Rajasa.
Namun demikian Mahisa Agni berkata,
“Terima kasih, bahwa kalian di sini masih sempat juga mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasku. Jika demikian, kita
tinggal menunggu kapan kakang Witantra akan membuat tontonan yang aneh
itu.”
“Dengan demikian, kita yang ada di dalam
istana ini akan bebas dari segala kecurigaan. Terutama perwira prajurit
itu. Sorotan yang paling tajam ditujukan kepadanya.”
“Sorotan yang tepat. Tetapi sampai saat ini ia masih sanggup mengelak.”
“Tetapi pada suatu saat ia akan tersudut
ke dalam kesulitan sehingga ia tidak akan dapat mengelak lagi, kasihan.
Ia akan menjadi bahan pangewan-ewan meskipun ia seorang saudara sepupu
tuan puteri Ken Umang.”
“Baiklah kita menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Witantra.”
Demikianlah, selama di Singasari Mahisa
Agni mendapat kesempatan untuk menyaksikan suatu peristiwa yang cukup
menarik, selain ia harus menunggu keputusan Sri Rajasa mengenai
perkawinan Putera Mahkota yang masih harus dibicarakan di dalam sidang.
Mahisa Agni mengerti bahwa ia sendiri akan dipanggil di dalam sidang itu
untuk memberikan penjelasan tentang semua pembicaraan yang pernah
dilakukan di Kediri.
Meskipun demikian, meskipun Mahisa Agni
percaya kelebihan yang ada di dalam diri Witantra, ia masih juga
berdebar-debar menunggu kehadirannya di dalam istana, karena ia sadar
bahwa Sri Rajasa adalah seorang yang ajaib sejak ia masih berkeliaran di
Padang Karautan.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni teringat
kepada sebuah pusaka kecil yang diterimanya dari gurunya. Sebuah Trisula
yang kini telah disimpannya baik-baik. Trisula yang mempunyai pengaruh
langsung kepada Sri Rajasa di dalam sikap jasmaniah.
“Tetapi Sri Rajasa akan segera mengenal benda itu,” desisnya.
Demikianlah, maka hampir setiap malam
Mahisa Agni selalu berdebar-debar. Sehingga pada suatu saat dari Sumekar
ia mendapat kabar, bahwa malam nantilah Witantra akan hadir di halaman
istana.
“Apakah ia akan datang seorang diri?”
“Ya. Ia akan datang seorang diri. Jika
kehadirannya telah diketahui orang, dan tanda bahaya sudah berbunyi,
maka kakang Mahisa Agni diminta untuk menampakkan diri dihadapan umum.
Setidak-tidaknya di gardu induk bersama para Panglima.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu benar maksud Witantra, agar tidak seorang-pun yang
menyangka, bahwa ialah yang telah berbuat gila-gilaan itu.
Ketika malam kemudian tiba, Mahisa Agni
menjadi gelisah. Anusapati yang mengetahui akan kehadiran Witantra
itu-pun menjadi gelisah pula. Sejak matahari terbenam, ia sudah berada
di bangsalnya. Dicobanya menenangkan dirinya dengan membaca beberapa
helai rontal. Namun sama sekali tidak sebuah huruf-pun yang tersangkut
dihatinya.
Sumekar-pun tidak beranjak pula dari
pondoknya. Ia masih berbicara beberapa patah kata dengan juru taman yang
lain, yang tinggal di pondok itu pula. Namun kemudian ia segera
merebahkan diri di pembaringannya.
Hanya Mahisa Agni lah yang masih tetap
duduk tepekur di bangsal penginapannya. Sekali-sekali ia berdiri dan
berjalan mondar-mandir. Ketika ia membuka pintu dan menyembulkan
kepalanya, dilihatnya dua orang pengawal berjaga-jaga di muka bangsal
itu.
Menjelang tengah malam, Mahisa Agni-pun
telah merebahkan dirinya di pembaringan sambil bertanya kepada diri
sendiri, “Apakah Witantra menggagalkan niatnya malam ini?”
Dalam pada itu Witantra-pun telah siap
dengan rencananya. Ia sadar bahwa permainannya itu adalah permainan yang
berbahaya. Tetapi dengan demikian ia akan menyelamatkan orang-orang
yang mungkin dicurigai di dalam halaman istana.
Seperti yang pernah dikatakan oleh
Sumekar, maka ia-pun mengenakan pakaian yang serupa. Berkerudung hitam
dan hampir menutup seluruh tubuhnya.
Sebagai bekas Panglima pengawal istana,
maka Witantra telah mengenal segala sudut istana dengan baik. Meskipun
kini istana Singasari telah berubah, tetapi pokok-pokok bentuknya masih
diingatnya. Ditambah dengan, petunjuk Sumekar, maka seolah-olah Witantra
setiap hari masih saja berada di halaman yang luas itu.
Ketika ayam jantan berkokok di tengah
malam, maka Witantra-pun mulai merayap mendekati istana. Dari Sumekar ia
tahu, dimana para penjaga bertugas mengawasi dinding istana itu.
Seperti yang dikehendaki oleh Sri Rajasa, maka para penjaga memang
memberi kesempatan kepada orang yang dianggapnya masih akan masuk
kembali ke dalam istana Singasari.
Ketika Witantra berdiri di seberang jalan
yang mengelilingi dinding halaman istana hatinya memang menjadi
berdebar-debar. Tetapi kemudian ia membulatkan tekadnya dengan
kepercayaan bahwa ia pasti masih akan mampu menghindarkan dirinya dari
tangan Sri Rajasa. Ia menganggap bahwa tidak akan ada orang lain yang
dapat mengimbangi ilmunya, dalam kecepatan lari. Satu-satunya yang
mungkin adalah Sri Rajasa. Dan Sri Rajasa baginya kini bukan lagi
manusia ajaib yang tidak terkalahkan, meskipun ia sadar, bahwa Sri
Rajasa adalah seseorang yang melampaui manusia kebanyakan.
Demikianlah, Witantra-pun semakin
mendekat ke dinding istana yang menurut petunjuk Sumekar tidak medapat
pengawasan terlampau ketat. Seperti seekor bilalang ia melenting dan
hinggap di atas dinding istana langsung menelungkup melekat. Dalam
kegelapan malam, bayangan hitam itu sama sekali tidak dapat segera
dilihat oleh mata biasa.
Sejenak Witantra beristirahat sambil
menahan nafas. Ia tidak ingin bersembunyi seluruhnya. Ia justru ingin
menimbulkan keributan. Karena itu, ia justru harus menampakkan dirinya.
Sejenak Witantra menunggu. Ketika ternyata halaman itu sunyi ia-pun segera meloncat masuk.
Perlahan-lahan Witantra merayap di halaman. Berlindung dan gerumbul yang satu kegerumbul yang lain.
Ia pertama-tama ingin menampakkan dirinya
di dekat gardu sebelah bangsal Sri Rajasa. Kemudian apabila para
prajurit yang meronda membunyikan tanda bahaya, ia akan berlari di
sepanjang dinding penyekat antara halaman istana yang lama dan halaman
bagian istana yang baru, tempat kediaman Ken Umang. Dinding penyekat itu
akan langsung sampai ke dinding yang mengelilingi istana ini.
Memang tidak mudah untuk berlari cepat di
atas dinding yang tidak terlampau tebal itu. Tetapi sudah tentu bahwa
Witantra akan dapat melakukannya.
Dengan menahan nafasnya Witantra melalui
beberapa gardu peronda tanpa diketahui oleh para prajurit yang ada di
dalamnya. Apalagi mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa ada bayangan
hitam yang merayap-rayap di balik batang-batang bunga yang cukup
rimbun. Sedangkan beberapa orang di antara mereka sudah menjadi kantuk
pula.
Sejenak kemudian Witantra-pun telah
sampai di halaman bangsal Sri Rajasa. Dicobanya untuk mengenal kembali
daerah itu. Beberapa bagian masih juga belum berubah.
Lamat-lamat telinga Witantra yang tajam
itu mendengar suara gemerisik langkah kaki di belakang bangsal.
Kadang-kadang ia mendengar loncatan-loncatan yang cepat. Karena itu maka
segera ia menduga bahwa seperti yang dikatakan oleh Witantra, Tohjaya
pasti sedang mengadakan latihan di belakang bangsal Sri Rajasa.
Tetapi kali ini bangsal itu tidak sedang kosong. Sri Rajasa ada didalamnya.
Sejenak kemudian Witantra-pun sudah
bertengger di atas dahan sawo kecik. Dari dahan itu ia dapat melihat apa
yang sedang dilakukan oleh Tohjaya di belakang bangsal itu.
Witantra yang berada di dahan sawo kecik
itu menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang dikatakan oleh Sumekar,
Tohjaya memang jatuh ketangan seorang guru yang aneh. Seolah-olah guru
itu tidak menghiraukan kemampuan jasmaniah muridnya sama sekali. Ia
harus berlatih melakukan gerakan-akan yang terlampau berat baginya.
Apalagi terlampau kasar.
“Sri Rajasa memang orang yang aneh,”
berkata Witantra di dalam hatinya, “ia mampu berkelahi melawan Maharaja
di Kediri, bahkan mengalahkannya. Tetapi ia tidak mengerti bagaimana ia
mendidik anaknya sendiri dalam olah kanuragan. Ternyata anaknya yang
terkasih itu sudah diserahkan kepada seorang guru yang sama sekali tidak
terpuji.”
Witantra-pun kemudian melihat, bagaimana
Tohjaya harus jatuh bangun melayani kehendak gurunya. Keringatnya
bagaikan terperas dari segenap wajah kulitnya.
Mungkin Tohjaya dapat menjadi seorang
yang luar biasa. Tetapi umurnya pasti tidak akan panjang.
Tulang-ulangnya akan menjadi retak sebelum mengeras. Latihan itu
terlampau tergesa-gesa.
Tetapi Witantra tidak menghiraukannya
lagi. Ia sedang melakukan permainan tersendiri. Kini ia tidak ingin
menampakkan dirinya pada gardu di sebelah bangsal itu. Tetapi ia ingin
bertengger menonton latihan itu, sehingga guru Tohjaya pasti akan segera
melihatnya. Sebuah keributan kecil akan segera membangunkan Sri Rajasa,
sementara Tohjaya akan memerintahkan pengawalnya membunyikan tanda
bahaya.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia tidak boleh segera keluar dari halaman. Sri Rajasa pasti harus
melihat, bagaimana ia meloncat keluar dan menghilang di dalam kegelapan.
Dengan demikian ia tidak akan lagi mencari-cari orang di dalam halaman
ini.
Demikianlah maka Witantra merayap semakin
maju. Ia tidak saja berdiri pada sebatang dahan sawo kecik, tetapi
ia-pun kemudian meloncat keatas pagar batu di pinggir longkangan
belakang itu.
Ternyata guru Tohjaya itu sedang sangat
asyik mengajar Tohjaya sehingga kehadiran Witantra yang berpakaian serba
hitam itu tidak segera diketahuinya.
Tetapi ternyata pelatih itu tidak sebodoh
yang disangka oleh Witantra. Meskipun ia masih terus melatih Tohjaya,
namun ternyata sejenak kemudian matanya telah tertarik oleh bayangan
hitam yang bergerak-gerak di belakang dedaunan.
“Gila,” ia berkata di dalam hatinya
ketika ia yakin bahwa yang bergerak-gerak itu adalah bayangan seseorang
yang berkerudung hitam. Meskipun orang itu berlindung di balik dedaunan,
namun jelas baginya, bahwa bayangan itu adalah seseorang yang mencoba
mengintip latihan yang sedang diselenggarakannya.
“Orang itu ternyata benar-benar kembali
seperti dugaan Sri Rajasa,” berkata pelatih itu di dalam hatinya,
“tetapi sekarang ia tidak akan dapat pergi karena Sri Rajasa ada di
dalam bangsal.”
Dalam pada itu, pelatih itu masih tetap
berpura-pura tidak melihat bahwa bayangan hitam dibalik dedaunan itu
adalah bayangan seseorang.
Namun ia-pun ternyata pula tidak dapat
tetap mengelabui Witantra. Ketika ia mencoba membisikkan sesuatu kepada
Tohjaya, sambil melemparkan tatapan matanya meskipun hanya sekejap, maka
Witantra-pun mengetahui pula, bahwa pelatih itu telah melihatnya.
Tetapi seperti pelatih itu, Witantra-pun tidak beringsut dari tempatnya.
Ia juga masih tetap berpura-pura tidak tahu, bahwa orang-orang yang ada
dilongkangan itu telah melihatnya.
Dalam pada itu, Tohjaya-pun mendengar
gurunya berbisik, “Dengarlah, jangan bertanya dan jangan menimbulkan
kesan bahwa kau mendengarkan kata-kataku.”
Tohjaya tidak bertanya apa-pun juga. Ia
mengerti, pasti ada sesuatu yang tidak wajar. Sedang gurunya berkata
terus, “Diatas dinding longkangan ini ada seseorang yang memakai
kerudung hitam mengintip latihan ini seperti yang pernah kita saksikan
dahulu.”
“Oh,” tetapi Tohjaya tidak bertanya terus.
“Tetapi sekarang ia tidak akan dapat lolos. Kalau Sri Rajasa mengetahui, maka orang itu pasti akan tertangkap.”
“Jadi, apakah aku harus memberitahukan kepada ayahanda?” bertanya Tohjaya perlahan-lahan sekali sambil berlatih terus.
“Kalau orang itu mengetahui, ia akan melarikan diri sebelum tuanku Sri Rajasa terbangun.”
“Aku kira ayahanda masih belum tidur selama kaki kita masih berderap dilongkangan ini.”
“Tuanku akan hamba lemparkan kepada
pengawal tuanku. Berpura-puralah tidak segera dapat bangkit supaya
mereka menolong tuanku. Berbisiklah kepada mereka, bahwa salah seorang
harus membunyikan tanda bahaya, meskipun perintah yang akan diberikannya
adalah mengambil air untuk tuanku yang hampir pingsan.”
Tohjaya mengerti maksud gurunya. Karena itu, maka ia-pun mengangguk sambil menjawab, “Baik guru.”
Sejenak kemudian maka latihan itu-pun
menjadi semakin sengit. Tohjaya-pun kemudian terlempar beberapa langkah,
hampir saja menimpa pengawalnya yang menyaksikan di pinggir arena.
Terdengar Tohjaya merintih perlahan. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa kedua pengawalnya mendekatinya.
Dalam kesempatan itulah Tohjaya
memberikan pesan kepada kedua pengawalnya. Ketika salah seorang dari
mereka akan berpaling, Tohjaya mencegahnya, “Sst, jangan sampai orang
itu mengetahui bahwa kita sudah melihatnya.”
Sejenak kemudian pelatihnya perlahan-lahan mendekatinya sambil bertanya, “kenapa tuanku Tohjaya?”
Kedua pengawal itu tidak menyahut.
“Ambillah air,” perintah gurunya.
“Baik, baik tuan.”
Salah seorang pengawal Tohjaya itu-pun
segera meninggalkan arena. Ia mendapat pesan untuk menyampaikannya
kepada prajurit pengawal Sri Rajasa, kemudian ia sendiri harus
membunyikan tanda bahaya sebelum orang itu berhasil keluar dari istana.
Tetapi Witantra tensenyum di dalam hati.
“Cerdik juga orang-orang itu,” katanya
kepada diri sendiri, karena ia mengerti, bahwa kepergian prajurit itu
pasti bukan untuk sekedar mengambil air.
Dugaan Witantra memang segera ternyata.
Prajurit yang menerima pesan itu segera memberanikan diri memasuki
bangsal dan langsung mengetuk pintu Sri Rajasa.
Ternyata Sri Rajasa memang belum tidur,
meski-pun sudah berada dipembaringannya. Hampir saja ia membentak karena
prajurit itu sudah mengejutkannya. Namun karena prajurit itu berbisik,
maka niatnya-pun diurungkannya.
“Ampun tuanku,” bisik prajurit itu,
“orang berkerudung hitam itu benar-benar kembali. Ia berada di
longkangan belakang sekarang ini.”
Sri Rajasa segera meloncat berdiri.
Dibenahinya pakaiannya sejenak. Kemudian dengan tergesa-gesa ia-pun
meloncat keluar dari biliknya.
Namun pada saat itu, Witantra telah
bergerak menjauh, sehingga guru Tohjaya itu mengira bahwa Witantra
berniat untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia-pun tidak
ingin melepaskannya sambil menunggu Sri Rajasa.
(Bersambung jilid ke 66).
No comments:
Write comments