“Tidak ada seorang-pun Anusapati,“ desis Mahisa Agni.
“Bagaimana kalau ada seseorang yang mengintip? Prajurit pengawal misalnya?”
“Aku tentu mendengar kehadirannya. Terutama desah nafasnya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia percaya akan kata-kata pamannya. Kalau ada orang yang mengintipnya,
maka Mahisa Agni pasti mendengarnya.
Karena itu, meskipun Anusapati tidak
menirukan tata geraknya, tetapi ia dapat mempertunjukkan kepada
pamannya, sikap tangan dan kaki Tohjaya dalam ilmu yang asing bagi
Anusapati itu.
Mahisa Agni mengikuti sikap Anusapati
dengan saksama, ia melihat bagaimana tangannya dan kakinya bersikap,
dengan gerakan-gerakan kecil untuk meyakinkan keterangannya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Cukup Anusapati. Aku
sudah melihat sikap itu, tetapi belum di dalam tata gerak yang lengkap.”
“Tetapi apakah paman sudah dapat mengatakan tentang sikap itu?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Aku belum, akan mengatakan sesuatu Anusapati.”
“Jadi bagaimana dengan penjelasan tentang ilmu itu?”
“Kita akan mencari waktu. Aku akan ikut
bersamamu ke tebing itu pada suatu saat nanti. Kau dapat memberitahukan
kepada pamanmu Sumekar. Kita akan pergi bersama-sama.“
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, usahakan secepatnya. Aku dapat
meninggalkan istana ini setiap saat. Kalau persoalanmu sudah dianggap
selesai, maka aku harus segera kembali ke Kediri.”
Anusapati-pun kemudian berusaha menjumpai
Sumekar dan memberitahukan keinginan Mahisa Agni. Mereka-pun kemudian
berjanji, pada suatu malam untuk bertemu di tempat yang telah mereka
tentukan.
Demikianlah, pada saat yang mereka
janjikan, dengan diam-diam Anusapati keluar dari istana seperti
biasanya. Hampir bersamaan waktunya Sumekar dan Mahisa Agni-pun
diam-diam telah meninggalkan istana pula pergi ke tempat yang sudah
mereka tentukan.
Namun langkah mereka tertegun ketika
mereka melihat sesosok tubuh mengikuti perjalanan mereka. Tetapi agaknya
orang yang mengikuti mereka itu, tidak merasa perlu untuk
menyembunyikan diri ketika ketiganya berhenti dan menunggunya.
Semakin dekat, Mahisa Agni, Sumekar dan Anusapati-pun segera mengenalnya, Witantra.
“O, kau,“ sapa Mahisa Agni.
Witantra tertawa. Sejenak mereka saling menyapa tentang keselamatan masing-masing.
“Sudah agak lama kita tidak bertemu,”
berkata Mahisa Agni, “adalah kebetulan bahwa hari ini aku mengikuti
Anusapati ke tempat ini.”
“Bukan suatu kebetulan. Aku mendengar kehadirannya di Singasari.”
“Siapakah yang memberitahukannya?”
“Tidak ada. Tetapi kehadiran orang-orang besar cepat diketahui oleh rakyat.”
“Ah,“ Mahisa Agni berdesah. Dan keduanya tertawa.
“Berbeda dengan seorang juru taman,“ potong Sumekar, “tidak seorang-pun yang menghiraukan kehadirannya.”
Mereka tertawa semakin keras. Bahkan Anusapati-pun tersenyum pula.
“Aku sengaja menunggumu,” berkata
Witantra, “aku yakin bahwa kau akan pergi ke tebing itu. Kau pasti akan
memberikan beberapa latihan kepada tuanku Putera Mahkota selama kau ada
di Singasari, sehingga kehadiranmu tidak sia-sia bagi Putera Mahkota.”
Mahisa Agni tersenyum. Kepalanya
terangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berkata, “Kali ini kau salah tebak.
Kehadiranku di Singasari pasti tidak akan sia-sia bagi tuanku Putera
Mahkota meskipun aku tidak memberikan beberapa latihan tertentu. Dan
bahkan kali ini-pun aku tidak akan memberikan beberapa macam latihan,
tetapi justru aku akan melihat sesuatu yang baru.”
“Apakah yang telah menarik perhatianmu itu?”
“Marilah kita lihat, Tuanku Putera Mahkota akan memperlihatkan sesuatu yang sangat menarik.”
Witantra mengerutkan keningnya.
“Kalau begitu tidak sia-sia aku
menunggumu beberapa malam di tempat ini. Apa-pun kepentingannya, tetapi
kau benar-benar telah datang kemari,” berkata Witantra kemudian.
Mereka-pun kemudian bersama-sama pergi ke
tebing yang curam itu. Sejenak kemudian maka Anusapati-pun sudah siap
mempertunjukkan gerakan-gerakan yang disangkanya bersumber dari Sri
Rajasa itu.
“Paman Sumekar,” berkata Anusapati, “aku
sudah menunjukkan kepada paman sejak aku melihat tata gerak ilmu yang
tidak aku kenal itu. Kalau kali ini aku keliru, paman dapat
memperingatkannya.”
“Baiklah tuanku,“ jawab Sumekar.
Mereka-pun kemudian duduk di atas batu
yang banyak berserakan di tepian itu, sedang Anusapati-pun segera mulai
menirukan tata gerak dan sikap Tohjaya yang asing itu.
Mahisa Agni, Witantra dan Sumekar
mengamati tata gerak Anusapati itu dengan saksama. Mereka bertiga telah
mewakili tiga perguruan dengan pangkal ilmu yang berbeda-beda meskipun
di antara mereka kadang-kadang saling pengaruh-mempengaruhi.
Wajah ketiganya semakin lama menjadi
semakin tegang. Mereka melihat sesuatu yang mendebarkan jantung, seperti
Sumekar berdebar-debar ketika ia melihat untuk pertama kalinya.
Ketika Anusapati selesai, maka ia-pun
segera bertanya kepada Mahisa Agni, “Bagaimana paman? Apakah paman
melihat kesamaan tata gerak itu dengan unsur-unsur gerak Ayahanda Sri
Rajasa?”
Mahisa Agni merenung sejenak. Namun
kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak. Sama sekali
tidak. Tetapi ilmu itu cukup mendebarkan.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Sesuatu
tergetar di dadanya. Namun ia masih bertanya, “Jadi, maksud paman, bukan
ayahanda yang memberikan ilmu itu kepada Adinda Tohjaya.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Namun demikian tampaklah bahwa ia sedang berpikir tentang tata gerak
yang baru saja dilihatnya.
“Jadi,” bertanya Anusapati mendesak, “ilmu dari manakah Adinda Tohjaya mendapatkannya?”
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “Sri
Rajasa adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki ilmu yang hampir tidak
ada tandingnya di muka bumi ini. Aku tidak dapat mengatakan, apakah ada
seorang yang dapat menandinginya. Tetapi ia tidak mengerti tentang
ilmunya sendiri. Ia tidak mengerti apakah yang sebenarnya dimilikinya
menurut patokan tertentu. Dan sudah barang tentu Sri Rajasa tidak akan
dapat memberikannya kepada orang lain seperti yang selalu harus
dilakukan oleh seorang guru. Sri Rajasa sendiri tidak tahu gerak-gerak
dasar dari ilmunya yang dahsyat itu.“
Anusapati memandang Mahisa Agni dengan heran.
“Paman,” berkata Anusapati, “jadi dari
manakah Ayahanda Sri Rajasa mendapatkan ilmunya itu? Apa guru Ayahanda
Sri Rajasa sengaja menurunkan ilmunya kepada ayahanda sebagai pewaris
terakhir dan membuat ayahanda bingung dikemudian hari atas ilmu yang
dimilikinya sendiri? Bukankah dengan demikian ayahanda hanya dapat
mempergunakan ilmunya itu didalam pertempuran yang sebenarnya, tetapi
tidak dapat mewariskannya kepada siapapun?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Itulah kekuasaan Yang Maha Agung. Ia dapat membuat
seseorang menguasai sesuatu tanpa mempelajarinya dari siapa-pun juga.”
Anusapati mengerutkan keningnya.
“Tetapi itu pula petunjuk dari
kekuasaannya, bahwa Sri Rajasa yang mendapat ilmunya langsung tanpa
dipelajarinya itu, tidak dapat mewariskannya kepada siapapun.”
“Pamanda mengetahui betul tentang keadaan ayahanda?”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Hampir saja ia mengatakan bahwa ia mengenal Ken Arok sejak di Padang
Karautan. Untunglah bahwa ia segera dapat menguasai perasaannya. Namun
demikian Mahisa Agni sendiri membayangkan, bagaimana untuk pertama
kalinya ia menjumpai Hantu Karautan itu di Padang Karautan bersama
gurunya Empu Purwa.
Dan Mahisa Agni berkata di dalam hatinya,
“Bukan tidak ada yang dapat mengalahkannya. Trisula kecil itu masih ada
padaku. Sebagai hadiah Siwa, ia tidak terlawan oleh siapa-pun juga.”
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat mengatakan
hal itu kepada siapapun. Hanya ia sendirilah yang mengetahui tentang
trisula kecil peninggalan gurunya itu.
“Pada suatu saat aku harus mewariskan
trisula itu kepada seseorang,” berkata Mahisa Agni, “tetapi akan sangat
berbahaya sekali apabila di saat-saat kekecewaan terhadap Sri Rajasa ini
memuncak. Apalagi apabila Anusapati mengetahui tentang dirinya
sendiri.”
“Paman Mahisa Agni,” bertanya Anusapati
kemudian, “jadi bagaimana menurut pendapat paman tentang ilmu Adinda
Tohjaya itu sebenarnya?”
“Aku tidak dapat mengatakan Anusapati.
Tetapi di sini ada tiga orang yang mewakili tiga perguruan. Kami
semuanya tidak mengenal dengan pasti ilmu itu. Apakah Witantra dapat
mengatakannya?”
Witantra menggelengkan kepalanya. “Aku belum mengenalnya. Tetapi watak dari ilmu itu agak mencemaskan aku.”
Mahisa Agni dan Sumekar hampir berbareng
menganggukkan kepalanya. Dan Mahisa Agni menyahut, “Itulah yang perlu
mendapat perhatian. Yang pasti, di dalam istana kini ada seorang guru
yang perlu mendapat pengamatan. Mungkin orang itu sudah lama berada di
dekat Tohjaya, tetapi menilik ceritera Anusapati, agaknya baru untuk
beberapa lama Tohjaya benar-benar mempelajari ilmu dari padanya, setelah
ia menganggap gurunya, perwira prajurit kemanakan Ken Umang itu tidak
dapat dimanfaatkannya lagi.”
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Yang penting,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “kita wajib mengetahui, siapakah yang ada di belakang Tohjaya
saat ini. Agaknya Tohjaya tidak akan menjadi semakin baik. Dengan ilmu
yang dikuasainya, ia akan menjadi semakin sombong dan merasa dirinya
besar.”
“Apalagi ilmu yang dipelajarinya adalah
ilmu yang kasar. Bukankah menilik tata gerak dan wataknya, ilmu itu agak
kurang sesuai bagi para kesatria.“ sahut Witantra.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ilmu yang ada pada Sumekar-pun mempunyai bentuk yang agak
kasar, sesuai dengan petualangan gurunya di masa lampau. Tetapi sejalan
dengan perkembangan jiwa Empu Sada, serta watak Sumekar sendiri, maka
lambat laun, ilmu itu mempunyai bentuk yang berubah, meskipun tidak pada
gerak dasar dan sifat-sifatnya. Tetapi ilmu yang ada pada Tohjaya itu
adalah ilmu yang lain.
Sekilas Mahisa Agni teringat kepada
sepasang iblis yang pernah menguasainya. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet.
Meskipun tidak sejalan, tetapi kedua jenis ilmu itu mempunyai persamaan
watak dan sifat.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “di
dalam keadaan yang khusus, kau harus menerima tantangan Tohjaya untuk
berlatih. Tetapi sudah tentu yang tidak akan mencemarkan namamu. Dapat
saja kau kalah di hadapan guru, perwira prajurit itu. Tetapi kau wajib
menghindar apabila ada saksi-saksi lain. Kau dapat mempergunakan alasan
apapun, supaya orang tidak terbiasa mengagumi Tohjaya sebagai seorang
putera yang memiliki kelebihan dari padamu secara berlebih-lebihan.”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Lebih daripada itu, usahakan untuk
mengetahui, siapakah sebenarnya yang berdiri di belakang Tohjaya itu.
Tentu dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan.”
Anusapati masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya Sumekar yang ikut
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tanpa ditunjuk, ia merasa bahwa
ia-pun ikut serta mendapat kuwajiban itu, mengetahui, siapakah
sebenarnya yang telah memberikan ilmu kepada Tohjaya. Ilmu yang
mencemaskan beberapa orang yang berilmu hampir sempurna itu pula.
“Karena itu Anusapati,” berkata Mahisa
Agni, “di dalam latihan-latihan, kau harus sangat hati-hati. Kalau orang
itu hadir sebagai saksi di dalam latihan-latihan khusus bersama Tohjaya
tanpa kau ketahui, ia akan dapat mengenal tata gerak yang lain dari
tata gerak yang kau terima dari perwira saudara sepupu Ken Umang itu,
seperti kau mengenal tata gerak Tohjaya yang lain itu.”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Kecuali semuanya itu,” berkata Mahisa
Agni, “kau harus berlatih semakin tekun, agar pada suatu saat, kau tidak
akan tersusul oleh Tohjaya, bagaimana-pun juga ia memeras semua
kemampuan yang ada padanya untuk mempelajari ilmu dari gurunya itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sebagai pengetahuan, kau akan aku beri
beberapa petunjuk tentang ilmu-ilmu yang kasar seperti yang sedang
dipelajari oleh Tohjaya, yang justru telah dipilih oleh Sri Rajasa,”
berkata Mahisa Agni pula, “sebenarnyalah bahwa ilmu yang dimiliki oleh
Sri Rajasa tanpa dipelajari dari siapa-pun itu, terpengaruh oleh banyak
hal, termasuk juga ilmu yang kasar.”
“Aku juga menerima warisan ilmu yang kasar,” berkata Sumekar.
“Tetapi terpengaruh oleh pribadimu dan
perubahan pandangan hidup dari gurumu, maka ilmumu-pun perlahan-lahan
telah bergeser. Tetapi ilmu Sri Rajasa masih tetap seperti dahulu.“
sahut Mahisa Agni, “tetapi terlebih-lebih dari ilmu siapapun, aku
menguasai beberapa tata gerak dan unsur-unsur dari ilmu Kebo Sindet,
seperti kakak seperguruan adi Sumekar, Kuda Sempana.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Besok aku akan memberimu beberapa petunjuk sebagai pengalaman.”
Demikianlah, di malam berikutnya, Mahisa
Agni bersama-sama Sumekar dengan diam-diam telah membawa Anusapati ke
tempat itu. Witantra-pun hadir pula menunggui Mahisa Agni memberikan
beberapa petunjuk kepada Anusapati. Karena selama ini Anusapati selalu
terkungkung di dalam tembok istana, maka ia memerlukan
pengalaman-pengalaman. Di luar dinding istana ada berpuluh-puluh
perguruan yang mempunyai ciri-cirinya sendiri dan Mahisa Agni berusaha
memperkenalkan Anusapati dengan beberapa jenis ilmu-ilmu itu.
“Kalau kau sudah mengenal, maka kau akan
menemukan cara untuk mengatasinya apabila pada suatu saat kau terpaksa
menghadapi ilmu-ilmu semacam itu, termasuk ilmu yang kasar,” berkata
Mahisa Agni.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan tekun ia menangkap beberapa jenis
tata gerak. Bahkan oleh Mahisa Agni ia dihadapkan pada ilmu-ilmu itu.
Bagaimana ia harus mengatasinya.
Demikianlah Anusapati mendapat pengalaman
baru. Ternyata Mahisa Agni menguasai beberapa jenis unsur dasar dari
berbagai macam ilmu, yang seolah-olah telah menghadapkan Anusapati
melawan orang-orang dari berbagai jenis perguruan.
Dengan dasar ilmunya yang telah masak,
Anusapati berusaha menanggapi keadaan. Meskipun mula-mula agak canggung,
namun akhirnya ia dapat berusaha menyesuaikan dirinya menghadapi
berbagai macam ilmu.
Ternyata pengalaman yang demikian itu
perlu. Mahisa Agni yang berada di sarang Kebo Sindet beberapa lama
sebelum ia berhasil mengalahkannya, telah mencoba mengenal baik-baik
ilmu yang kasar itu, dan mempelajari, bagaimana berusaha mengatasi dan
menguasainya apabila pada suatu saat mereka harus berbenturan.
“Nah, kau harus mempunyai beberapa
pengalaman itu,” berkata Mahisa Agni, “karena kau tidak dapat keluar
dari dinding istana tanpa pengawasan, maka dengan cara ini kau mengenali
ilmu-ilmu yang bermacam-macam itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia merasa sangat beruntung memiliki seorang paman seperti Mahisa Agni.
Selain seorang paman yang baik, ia juga mempunyai pengetahuan, dalam
olah kanuragan yang luas sekali. Pengalaman yang sangat banyak yang akan
sangat bermanfaat baginya, karena ia sendiri tidak akan dapat mencari
pengalaman seperti Mahisa Agni.
Di malam-malam berikutnya, maka Anusapati
berusaha untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman itu. Bukan saja
Anusapati tetapi juga Sumekar yang masih belum begitu luas pula
pengalamannya, karena ia agak lama berada di istana, mengawani
Anusapati.
Dari Mahisa Agni dan Witantra, keduanya
menyadap pengalaman yang sangat berguna bagi mereka. Bahkan di dalam
kesempatan tersendiri, keduanya dituntun oleh Mahisa Agni dan Witantra
mencoba mengenyam bermacam-macam ilmu itu untuk melengkapi ilmu mereka
sendiri.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni,
“sebenarnya kau kini sudah lengkap. Meskipun kau belum pernah terjun di
dalam dunia petualangan yang liar, namun sedikit banyak kau telah sempat
mangkhayalkannya. Di dalam keadaan yang terpaksa dan tiba-tiba, kau
tidak akan mengecewakan lagi, asal kau tekun mempelajarinya.”
“Terima kasih paman,“ jawab Anusapati,
“aku sudah mendapat gambaran, betapa liarnya dunia yang berada di luar
pengamatan dan perlindungan tata peradaban. Bahkan di dalam dunia yang
beradab-pun terdapat sifat-sifat itu. Bahkan jauh lebih berbahaya dari
dunia petualangan itu sendiri, karena sifat-sifat yang tidak beradab di
dunia peradaban selalu diselubungi rapat-rapat.”
Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban
Anusapati itu. Ternyata hatinya benar-benar telah terluka oleh keadaan
di sekitarnya di dalam istana ini. Seolah-olah ia hidup di dalam liarnya
peradaban yang justru lebih berbahaya dari liarnya hutan belukar.
Tetapi Mahisa Agni tidak berkata apa-pun
lagi. Di dalam kekecewaan itu masih terasa sedikit kebanggaan pada
dirinya. Mudah-mudahan kebanggaan itu akan dapat berkembang, sehingga
Anusapati akan dapat membentuk pribadinya sebagai seorang Pangeran Pati
yang seutuhnya.
Beberapa malam selama Mahisa Agni ada di
Singasari itu, ternyata telah banyak memberikan pengalaman kepadanya. Ia
belajar menyesuaikan diri melawan tata gerak dari ilmu olah kanuragan
dari segala macam watak dan sifat, meskipun yang membawakannya Mahisa
Agni atau Witantra, yang sudah barang tentu tidak akan dapat seliar
orang-orang liar yang sebenarnya. Tetapi dalam saat yang bersamaan,
Anusapati masih harus juga menghadiri latihan-latihannya yang sama
sekali sudah tidak bergairah.
Namun Anusapati masih tetap mengharapkan
latihan-latihan serupa itu diadakan terus, sehingga pada saat-saat
tertentu ia akan dapat memancing Tohjaya untuk mengadakan latihan
seperti yang dikehendakinya, justru apabila tidak ada orang lain.
Agaknya Tohjaya-pun mempunyai maksud yang
sama. Ia memang mendapat pesan dari gurunya, agar ia selalu dapat
mengamati, sampai berapa jauh kemajuan Anusapati di dalam olah
kanuragan.
“Tuanku harus melihat dan menilainya
setiap saat,” berkata guru Tohjaya, “kalau tuanku sudah tidak bergairah
lagi mengikuti latihan-latihan itu, maka pada suatu saat perwira yang
bodoh itu akan melihat bahwa tuanku telah membawakan sesuatu yang baru
baginya, sehingga dapat menumbuhkan kegelisahan padanya. Tentu ia tidak
akan berani menegur tuanku. Dengan demikian ia akan mencari cara untuk
melepaskan sakit hatinya, ia akan dapat menempa tuanku Anusapati dan
membuat menjadi seorang laki-laki. Siapa tahu, pada suatu saat ia akan
dapat menyamai tuanku.”
“Tidak mungkin,“ jawab Tohjaya, “sejak
saat-saat terakhir aku menjadi semakin jauh meninggalkannya. Apakah yang
dapat dilakukan? Perwira yang mengaku pamanku itu-pun tidak akan dapat
berbuat apa-apa. Meskipun ia bekerja keras riang dan malam, namun pada
dasarnya kakang Anusapati tidak memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu
kanuragan.”
Gurunya mengangguk-angguk. Tetapi ia
masih memperingatkan, “Masih belum pasti tuanku. Yang paling baik bagi
tuanku, mengamatinya setiap saat. Arena latihan itu dapat tuanku jadikan
tempat untuk mengawasinya.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Disaat-saat tertentu, tuanku dapat mengadakan latihan-latihan, khusus untuk maksud tersebut.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud gurunya dan ia-pun berniat untuk melakukannya.
Di saat yang pendek, istana Singasari
ternyata telah disibukkan dengan berita, bahwa Sri Rajasa bermaksud
untuk mencarikan jodoh tuanku Putera Mahkota. Hampir setiap orang
membicarakannya niat itu, dan hampir setiap orang menebak-nebak,
siapakah yang akan menjadi isteri Putera Mahkota dan yang kelak akan
menjadi Permaisuri itu.
“Tentu sudah ada pilihan,” berkata salah seorang.
“Belum pernah disebut-sebut,“ jawab yang lain.
“Hanya kita, orang kecil-kecil ini tidak
mengetahui. Tetapi sudah tentu bahwa pembicaraan tentang perkawinan
Putera Mahkota, tuanku Sri Rajasa, dan tuan Puteri, pasti sudah
mempunyai pilihan. Tetapi pilihan itu belum diumumkan.”
“Belum tentu. Mungkin baru timbul niat itu.”
“Kalau begitu apakah kau mempunyai anak perawan?”
“Ah. Macammu. Meskipun aku mempunyai
sepasukan anak perawan, apakah kau kira penghuni istana itu pernah
melihat perawan-perawan kecil seperti anakku, anakmu dan anak-anak lain
dipadukuhan kita.”
“He, apakah kau tidak tahu, bahwa tuanku Permaisuri yang sekarang, tuanku Ken Dedes berasal dari pedukuhan pula?”
“Dari padepokan seorang pendeta.”
“Apakah bedanya?”
“Ada bedanya. Ia masuk ke dalam istana Tumapel sebagai isteri Akuwu.”
“Permasuri Akuwu?”
“Ya. Permaisuri Akuwu. Kemudian barulah ia menjadi Permaisuri tuanku Sri Rajasa.”
“Ah. Kenapa harus melingkar-lingkar. Tuanku Ken Dedes berasal dari padepokan.”
“Kalau begitu anakmu barangkali yang akan diambil menantu oleh Sri Rajasa.”
“Dan aku akan pingsan tujuh hari tujuh malam.“
Demikianlah setiap orang sudah
membicarakannya. Meskipun pihak istana belum berniat mengumumkan, tetapi
desas-desus itu tersebar lebih cepat dari terbang kapuk dihembus angin.
Dalam pada itu, Ken Dedes-pun telah
membicarakannya dengan sungguh-sungguh, masalah perkawinan Anusapati
yang dianggapnya akan membuka kemungkinan baru bagi kehidupannya yang
serba suram.
Tetapi sebenarnyalah bahwa pimpinan
Kerajaan Singasari, termasuk Sri Rajasa sendiri, Mahisa Agni dan tuanku
Permaisuri masih belum menemukan calon isteri Anusapati.
“Kita tidak akan menemukannya di
Singasari,” berkata Sri Rajasa. “Tidak ada seorang gadis-pun yang
seimbang dengan kedudukan Anusapati. Bangsawan yang ada di Singasari,
adalah sekedar keturunan seorang Akuwu. Aku adalah Maharaja yang pertama
dan aku belum menebarkan keturunan kebangsawanan di sini.”
Setiap orang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Mahisa Agni-pun segera menangkap maksudnya. Sri Rajasa
ingin melemparkan pilihannya kepada keturunan bangsawan berdarah raja
dari Kediri. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak berkata apa-pun juga.
Sebenarnya bagi Mahisa Agni, darah bangsawan atau bukan tidak begitu
penting, karena ia sendiri menyadari, bahwa ia bukan keturunan
bangsawan. Ken Dedes juga bukan keturunan bangsawan, bahkan Ken Arok
juga bukan keturunan bangsawan.
“Tetapi ia telah dipilih oleh Brahma
menjadi anaknya,” berkata Mahisa Agni didalam hatinya. Terbayang
warna-warna merah yang di saat-saat tertentu dapat menyala di ubun-ubun
Ken Arok sebagai ciri pilihan Brahma.
Namun dijawabnya sendiri, “Brahma memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya. Apakah ia keturunan bangsawan, atau Hantu Karautan.”
Namun ternyata Ken Arok itu sendirilah yang ingin memilih seorang bangsawan untuk dijadikan menantunya.
“Jadi, apakah kata kalian tentang
perempuan yang akan dijadikan isteri Anusapati itu?” bertanya Ken Arok
kepada beberapa orang pemimpin yang sedang bermusyawarah tentang
perkawinan Anusapati.
“Bagaimana kalau tuanku menyerahkannya kepada tuanku Anusapati,” berkata seseorang di antara mereka.
Ken Arok menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Anak-anak tidak dapat berpikir bening, ia tidak berpandangan
jauh. Ia hanya terbatas pada suatu keinginan yang langsung menyentuh
hatinya. Yang baik. Yang cantik. Tetapi ia tidak dapat menilai di dalam
keseluruhan.”
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyatakan pendapatnya lagi.
Beberapa orang yang lain sama sekali
tidak berkata apapun. Mereka hanya mengangguk-angguk kecil. Karena
sebenarnya mereka sama sekali tidak mempunyai bahan yang dapat mereka
kemukakan, baik kepada Sri Rajasa, maupun kepada Permaisuri yang juga
hadir.
“Bagaimana kalau kita memandang agak jauh,” berkata Sri Rajasa. “Tidak di sekitar Singasari, tetapi kita memandang ke Kediri.”
Beberapa orang saling berpandangan
sejenak. Namun di dalam hati mereka berkata, “Kediri adalah suatu negeri
yang sudah dikalahkan. Kalau salah seorang puterinya menjadi seorang
permaisuri, maka Kediri akan bangkit lagi. Hati rakyatnya tergugah akan
harga diri mereka.”
Tetapi Sri Rajasa berkata di dalam hati,
“Biarlah Anusapati mendapat isteri dari kerajaan yang telah ditundukkan
itu. Setiap orang tidak tahu, apa yang akan terjadi besok atau lusa.
Juga apabila Anusapati dapat tersisih dari kedudukannya. Anak itu
agaknya kurang mempunyai bekal dan terlebih-lebih wibawa untuk kelak
menjadi seorang raja. Mungkin ia dapat menjabat kedudukan Mahisa Agni
sekarang dengan isteri yang dibawanya dari Kediri sendiri.”
Namun sudah barang tentu bahwa alasan itu
tidak dikemukakannya. Karena itu, maka setiap orang meraba-raba menurut
penilaian mereka sendiri. Kenapa Kediri?
Pembicaraan itu tidak segera menemukan
kesimpulan. Pada umumnya mereka hanya menunggu titah Sri Rajasa daripada
ingin menyatakan pendapatnya. Itulah sebabnya, maka pembicaraan serupa
itu hampir tidak ada gunanya. Tetapi bagi Sri Rajasa, seakan-akan ia
telah mengumpulkan pendapat dan apa yang dilakukan kemudian seakan-akan
merupakan tanggung jawab bukan saja dari dirinya sendiri, tetapi dari
seluruh peserta musyawarah.
Karena tidak ada seorang-pun yang
mengajukan pendapatnya, maka Sri Rajasa kemudian berkata, “Aku masih
akan berbicara dengan kalian sekali lagi. Pikirkan apa yang paling baik.
Seperti apa yang aku katakan, bagaimana dengan Kediri?”
Orang-orang yang hadir hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sri Rajasa berkata, “Kediri adalah
kerajaan yang lebih tua dari Singasari, meskipun Singasari berhasil
menguasainya di dalam suatu lingkaran kesatuan. Nah, pikirkanlah. Apakah
yang paling baik.”
Meskipun pada dasarnya, Sri Rajasa tidak
memaksakan pendapatnya, tetapi tidak ada seorang-pun yang dapat
menunjukkan jalan lain. Permaisuri-pun tidak mempunyai pendapat lain.
Memang di sekitar kehidupan Anusapati bahkan di dalam istana dan
rumah-rumah para pemimpin pemerintahan, tidak ada seorang gadis yang
pantas dikemukakan. Itulah sebabnya, maka pada suatu saat, Sri Rajasa
mengambil keputusan untuk memanggil Mahisa Agni.
“Tidak ada keputusan lain yang lebih
baik,” berkata Sri Rajasa, “kau yang berada di Kediri dan Anusapati
adalah kemanakanmu. Aku harap kau dapat menemukan seorang gadis
bangsawan yang baik dan sesuai bagi Anusapati.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kau pernah memikirkannya, bahwa ada seorang puteri yang pantas buat menantu raja Singasari?”
“Belum tuanku. Hamba belum pernah memikirkannya.”
“Baiklah. Masih ada waktu. Bukankah kita tidak terlampau tergesa-gesa meskipun semakin cepat semakin baik?”
“Hamba tuanku.”
“Adalah tugasmu menemukan puteri itu dan
atas nama Maharaja Singasari, meminangnya sama sekali. Kau sebagai wakil
Sri Rajasa, tetapi juga sebagai pamannya.”
“Kalau tuanku sudah melimpahkan tugas itu
kepada hamba, hamba akan melakukannya sebaik-baiknya, meskipun hamba
masih akan selalu datang menghadap untuk mohon pertimbangan.”
“Tentu, tentu. Dan Kediri-pun bukan suatu
keputusan yang mutlak. Seandainya tidak ada seorang puteri-pun yang
pantas dan baik buat Anusapati, maka kita akan berbicara lagi.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Hamba tuanku,” sedang di dalam hati ia berkata, “Tampaknya
Sri Rajasa-pun bersikap baik. Longgar dan bersungguh-sungguh. Tetapi
siapa tahu, apa yang disimpannya di dalam hati.”
Tetapi Mahisa Agni hanya dapat
melaksanakan perintah itu sejauh-jauh dapat dilakukan. Untuk menjalankan
tugas dan untuk kepentingan kemanakannya yang selalu dicengkam
keprihatinan.
Tetapi hal itu ternyata dapat
dimanfaatkan pula oleh Mahisa Agni. Dengan demikian ia akan dapat
mondar-mandir, Kediri dan Singasari. Dengan demikian pula ia akan dapat
selalu membicarakan berbagai masalah dengan Anusapati, Sumekar dan
bahkan dengan Witantra tanpa dicurigai.
Bahkan pada suatu saat Mahisa Agni sempat
melihat kedua Putera Sri Rajasa itu berlatih. “Bukan main,” berkata
Mahisa Agni tiba-tiba ketika ia melihat tata gerak Tohjaya yang hanya
dilontarkannya dengan seenaknya, “Kau memang seorang anak muda yang
memiliki kelebihan.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan bangga ia bertanya, “Apakah paman melihat kelebihan itu?”
“Tentu. Aku orang yang sudah lama berada
didalam lingkungan olah kanuragan. Aku kira aku tidak salah menilai.”
Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu ia bertanya kepada guru Tohjaya,
“Kedua muridmu memang aneh. Kenapa dapat tercipta jarak yang menurut
pengamatanku cukup jauh dari keduanya? Bukankah mereka selalu berlatih
bersama dan menerima tuntunan yang sama pula?”
“Ya tuan. Aku mencobanya untuk tidak membedakan keduanya. Aku mencoba agar keduanya memiliki kemampuan yang seimbang.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Memang setiap orang mempunyai kemampuan tersendiri.
Mungkin yang kau berikan sama, tetapi daya tangkap keduanyalah yang
tidak sama.”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar. Bahkan ia tidak dapat menahan
perasaannya lagi, dan berkata, “Tuan, sebenarnya aku menjadi sedih.
Justru tuan dengan jujur memuji kelebihan-kelebihan tuanku Tohjaya.
Tetapi akulah yang merasa seolah-olah aku tidak berbuat adil. Tuanku
Tohjaya adalah kemanakan sepupuku, sedang tuanku Anusapati adalah
kemanakan tuan.”
“Ah,” desis Mahisa Agni. “aku tidak
pernah memikirkan hal itu. Aku tahu, bahwa hampir setiap guru tidak
pernah menilai muridnya dengan cara itu. Aku percaya bahwa kau juga
tidak menilai murid-muridmu dengan cara itu pula. Jika tejadi perbedaan
tingkat ilmunya, itu pasti terjadi karena perbedaan daya tangkap
murid-murid itu sendiri.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia merasa semakin kecil berhadapan dengan Mahisa Agni yang
dadanya seakan-akan selapang luas lautan.
“Tuan terlampau percaya,” desis perwira itu, “tuan tidak melihat kelemahan seseorang.”
“Setiap orang pasti mempunyai kelemahan. Tetapi setiap orang akan berusaha mengurangi kelemahan itu.”
Perwira itu terdiam sejenak. Hampir saja
ia terdesak oleh kekecilan dirinya dan mengatakan bahwa Tohjaya
mempunyai ilmu yang tersalur dari perguruan yang lain. Itulah agaknya
yang membuatnya mempunyai kelebihan yang agak menyolok dari Anusapati.
Untunglah ia sadar, bahwa sama sekali tidak bijaksana mengatakannya hal
itu di hadapan Tohjaya dan Anusapati.
Tetapi agaknya sikap Mahisa Agni itu
benar-benar telah mempengaruhinya. Perwira itu benar-benar telah kagum
atas kebesaran pribadi Mahisa Agni. Dengan demikian, maka timbullah
niatnya untuk mengatakannya hal itu dengan cara yang lain. Ia ingin
menunjukkan bahwa Tohjaya menyimpan ilmu yang lain selain ilmu yang
diturunkannya. Karena itu, tiba-tiba saja maka ia berkata kepada kedua
muridnya, “Tuanku berdua. Apakah tuanku kali ini bersedia melakukan
latihan khusus dihadapan pamanda tuanku. Tuanku pasti akan mendapatkan
petunjuk yang sangat berharga. Tuanku tahu bahwa paman tuanku adalah
seorang prajurit yang tidak terkalahkan di medan perang.”
“Ah,” desah Mahisa Agni, “kau memuji. Itu terlampau berlebih-lebihan.”
“Tidak tuan. Aku berkata sebenarnya.”
lalu perwira itu berkata pula kepada Tohjaya, “tuanku, hamba kira saat
ini jarang sekali akan terulang.”
Tohjaya mengangkat dadanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Terserah kepada kakang Anusapati. Apakah ia bersedia atau tidak.”
“Tuanku Putera Mahkota,” berkata perwira
itu, “keadaan ini sangat berbeda dengan keadaan pada waktu tuanku
Mahisa-wonga-teleng berada di arena ini. Sekarang yang berdada di sini
adalah pamanda tuanku yang sempurna.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Sekilas
dipandanginya wajah pamannya. Ketika ia melihat pamannya memberikan
isyarat kepadanya, maka ia-pun kemudian menjawab, “Baiklah. Tetapi aku
minta, kau mengawasi dari dekat. Aku sebenarnya agak takut.”
Tohjaya tertawa. Katanya, “Kenapa Kakanda
Anusapati takut? Kita bersama telah mendapat ilmu yang sama. Dan sudah
barang tentu aku tidak akan berlaku seperti kita benar-benar bertempur.”
“Jangan terlampau berkecil hati
Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “kau adalah seorang Putera Mahkota.
Kalau kau dibayangi oleh ketakutan saja, maka kau tidak akan dapat
berdiri sebagai seorang Putera Mahkota yang baik. Berlatihlah dengan
tekun dan bersungguh-sungguh.”
Anusapati mencoba untuk menunjukkan
keragu-raguan sikap. Agaknya ia berhasil sehingga gurunya berkata,
“Hamba akan berada di dekat tuanku. Jika keadaan memaksa hamba dapat
menghentikan latihan setiap saat.”
Akhirnya Anusapati menganggukkan
kepalanya. Katanya dengan nada rendah, “Baiklah. Aku akan berlatih.
Tetapi tidak terlampau lama, dan jangan menyakiti tubuhku seperti
beberapa saat yang lalu. Tiga hari rasa sakit itu masih saja
mencengkamku.”
Tohjaya tertawa sambil berkata, “Bukankah
kakanda seorang anak laki-laki. Maksudku seorang laki-laki. Kakanda
sudah bukan anak-anak lagi. Sebentar lagi kakanda akan mengalami masa
yang paling berbahagia. Bukankah kakanda akan segera kawin? Nah, bekali
kakanda dengan ilmu seorang laki-laki.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun mengangguk perlahan, “Baiklah. Kita akan berlatih.”
Tohjaya mengerutkan keningnya mendengar
kesanggupan Anusapati. Namun sejenak kemudian ia tertawa sambil berkata,
“Nah, begitulah. Kakanda benar-benar seorang laki-laki. Kakanda dapat
menunjukkan kepada Pamanda Mahisa Agni, apakah yang sudah kakanda capai
selama kakanda berada di bawah asuhan guru-guru kita selama ini. Baik
yang sudah meninggal itu, maupun yang sekarang.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Sampai berapa jauh kita akan berlatih?”
“Sejauh-jauhnya. Seolah-olah kita benar-benar berkelahi.”
“Ah.”
“Itulah baru namanya latihan olah
kanuragan. Bukan latihan menari. Mungkin Kakanda Anusapati lebih cakap
menari daripada berlatih olah kanuragan.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
Tohjaya-pun kemudian melepas pedangnya.
Diberikan pedangnya itu kepada pengawalnya. Kemudian ia-pun
menyangkutkan ujung kain panjangnya pada ikat pinggangnya di punggung.
“Marilah kakanda.”
“Perlahan-lahan Anusapati memasuki
lapangan. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan. Memancing ilmu Tohjaya
yang tersembunyi. Kemudian kalah.”
Sudah tentu bahwa serangan Tohjaya harus
ada yang mengenainya. Dan ia tidak dapat berpura-pura. Serangan itu
pasti akan benar terasa sakit ditubuhnya. Tetapi ia harus melakukannya,
dan ia harus menyediakan dirinya untuk menjadi sasaran serangan Tohjaya,
asal serangan itu tidak berbahaya dan tidak membuatnya terluka di
dalam.
Demikianlah keduanya-pun kemudian telah
siap di arena. Anusapati yang berdiri termangu-mangu sekali-sekali
berpaling kepada Mahisa Agni, sedang Tohjaya sambil tersenyum-senyum
melangkah maju mendekati kakaknya.
“Apakah kakanda sudah siap?” bertanya Tohjaya.
Anusapati memandang gurunya. Dan ia-pun bertanya, “beritahukan, kapan kami akan mulai?”
“Baiklah tuanku. Sekarang tuanku hamba persilahkan mempersiapkan diri.”
Anusapati kemudian bersiap. Ia berdiri
pada kedua kakinya yang renggang, dan merendah sedikit pada lututnya.
Kemudian ia berputar pada tumitnya sambil menyilangkan tangannya didada.
“Bagus,” Tohjaya tertawa, “begitukah guru
kita memberitahukan, bagaimana kita harus bersiap menghadapi lawan.
Kakanda Anusapati benar-benar menguasainya, sehingga setiap unsur gerak
telah dilakukannya dengan sempurna. Tetapi apabila perkelahian yang
sebenarnya berlangsung, maka sebelum Kakanda Anusapati selesai melakukan
unsur-unsur gerak itu satu demi satu, maka tubuh Kakanda Anusapati
pasti sudah berguling-guling di tanah.”
Anusapati yang sudah bersiap itu-pun
kemudian berdiri tegak kembali. Dipandanginya Tohjaya dengan herannya,
kemudian ia berpaling kepada Mahisa Agni dan gurunya berganti-ganti.
“Tuanku sudah melakukan gerakan yang
benar,” berkata gurunya, “kenapa tuanku ragu-ragu. Mungkin tuanku
Tohjaya menganggap tuanku terlampau lamban.”
Suara tertawa Tohjaya masih
berkepanjangan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya,
ya begitulah.” Lalu ia bertanya kepada Mahisa Agni, “Bagaimanakah
pendapat paman? Bukankah paman seorang Senapati yang tidak terkalahkan
di peperangan. sehingga paman pasti akan dapat menilai tata gerak
Kakanda Anusapati. Apakah paman mengaguminya?”
Mahisa Agni tersenyum. Dipandanginya
Anusapati yang berdiri termangu-mangu. Namun demikian di dalam hatinya
Mahisa Agni berkata, “Apakah yang mendorong Tohjaya berbuat demikian?
Agaknya hal ini terlalu berlebih-lebihan.”
Dengan demikian Mahisa Agni mengetahui, betapa beratnya peranan yang harus dilakukan oleh Anusapati selama ini.
“Kau harus berbuat lebih cepat sedikit
Anusapati. Seperti yang dikatakan oleh gurumu. Kau sudah melakukan tata
gerak yang benar, hanya kurang cekatan sedikit. Nah mulailah.”
Anusapati-pun kemudian mengulanginya,
agak lebih cepat sedikit. Tetapi Tohjaya ingin menunjukkan kelebihannya
yang jauh dari Putera Mahkota itu. Sehingga dengan tiba-tiba saja,
selagi Anusapati mempersiapkan diri, Tohjaya sudah melakukan loncatan
yang panjang langsung menyerang Anusapati.
Dada gurunya serasa berdentang. Ia
benar-benar tidak menyangka, bahwa Tohjaya sampai hati berbuat demikian,
sehingga karena itu ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi dalam pada
itu, Anusapati yang terkejut melihat serangan itu, ternyata tanpa
sesadarnya telah berguling menghindari serangan yang cukup berbahaya.
Kalau serangan itu mengenainya, maka pasti akan dapat membuatnya
benar-benar kesakitan. Dan apabila ia benar-benar dalam keadaan seperti
yang diperankan, ia pasti akan pingsan dan barangkali terluka di dalam.
Tetapi hal itu tidak terjadi. Justru
karena itu, gurunya berdiri saja termangu-mangu sejenak. Hampir ia tidak
percaya bahwa Anusapati berhasil menghindarkan diri, meskipun dengan
cara yang sangat sederhana. Menjatuhkan diri, kemudian berguling-guling
menjauhi lawannya.
Tohjaya-pun terkejut pula. Hampir ia
tidak percaya ketika kakinya sama sekali tidak menyentuh tubuh
Anusapati. Bahkan kemudian terasa nyeri ketika ujung-ujung jarinya
menyentuh tanah.
Sejenak Tohjaya berdiri dengan tegangnya.
Dipandanginya Anusapati yang tertatih-tatih berdiri. Nafasnya menjadi
terengah-engah dan wajahnya menjadi gelisah.
“Aneh,” desis Tohjaya.
Namun di dalam hati gurunya juga berdesis, “Aneh.”
“Apa yang aneh?” bertanya Anusapati kepada Tohjaya.
Tohjaya tidak segera menjawab. Ditatapnya
Anusapati yang sudah berdiri tegak dengan tajamnya, seolah-olah ia
ingin mengetahui kekuatan apakah yang sudah menggerakkannya sedemikian
cepatnya.
Karena Tohjaya tidak menjawab, maka Mahisa Agni mendesaknya, “Apakah yang aneh?”
“Aku heran paman,” berkata Tohjaya,
“tiba-tiba saja kakang Anusapati menjadi sangat lincah. Ia mampu
bergerak sedemikian cepatnya menghindari seranganku.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Katanya, “Tidak ada yang aneh. Tentu wajar sekali kalau Anusapati dapat
menghindari serangan itu. Serangan yang hanya sekedar mau tidak mau.
Serangan yang dilontarkan tidak lebih dari seperempat dari segenap
kemampuan dan kecepatan bergerak yang ada. Apalagi aku tidak melihat
gerakan olah kanuragan yang sebenarnya dari angger Anusapati.
Seakan-akan Anusapati bergerak berdasarkan dorongan naluriah, seperti
apabila disenja hari, seekor binatang terbang hampir membentur mata
kita. Kita tidak pernah berlatih, tetapi kecepatan gerak kita melampaui
kecepatan binatang kecil yang terbang kemata kita itu. Begitu binatang
itu menyentuh kita, maka kelopak mata kita yang sudah tertutuplah yang
dibenturnya.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya Anusapati sejenak, namun kemudian ia bertanya kepada diri
sendiri, “Apakah benar aku hanya melepaskan seperempat dari tenaga dan
kemampuan yang ada padaku?” Tetapi ia mempunyai kesimpulan lain, “Jika
kecepatan itu dianggap hanya seperempat dari segenap kemampuanku,
ternyata aku-pun sama sekali masih terlampau kecil dimata Paman Mahisa
Agni. Tetapi paman masih lebih menghargai aku, karena ia menganggap apa
yang dilakukan oleh Kakanda Anusapati sama sekali bukan karena
kemampuannya, tetapi hanya sekedar gerakan naluriah.”
Namun sementara itu, baik Mahisa Agni,
Anusapati maupun perwira prajurit yang menjadi pelatih kedua putera Sri
Rajasa itu melihat, sesuatu yang lain pada serangan Tohjaya. Kekuatan
yang dilontarkan adalah kekuatan yang didapatnya dari gurunya yang lain.
meskipun agaknya Tohjaya masih berusaha menyesuaikan tata geraknya
dengan ajaran gurunya yang menungguinya saat itu.
“Bukan salahku,” berkata perwira itu di
dalam hatinya, “adalah berbahaya sekali bagi tuanku Tohjaya. Ia
mempergunakan dua unsur kekuatan yang tidak dapat luluh. Apabila ia
selalu mempergunakan cara itu, maka lambat laun ia akan mengalami
gangguan yang akan membuatnya menyesal.” Tetapi aku tidak berhak
memberinya peringatan.
Tetapi bukan itu saja. Bukan hanya karena
ia tidak berhak, tetapi di sudut hatinya terbersit suatu pikiran,
“Biarlah. Biarlah ia menyesal bahwa ia sudah membuat aku menjadi
bersakit hati. Seolah-olah aku sama sekali tidak mampu melatihnya
menjadi seorang laki-laki yang baik.”
Tetapi perwira itu merasa bahwa agaknya
karena ia tidak dapat menundukkan kepalanya saja seperti yang
dikehendaki oleh saudara sepupunya, agar ia berbuat curang atas kedua
muridnya itu.
“Ia memerlukan bantuan orang lain.” katanya di dalam hati.
Dalam pada itu Tohjaya yang masih
termangu-mangu sejenak mulai menyadari keadaannya. Karena itu maka
katanya. “Baiklah. Apakah kita akan melanjutkan latihan ini?”
Pelatihnya memandang Anusapati sejenak.
Tetapi tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk menyaksikan tata gerak
Tohjaya lebih banyak lagi. Karena itu katanya kepada Anusapati,
“Silahkan tuanku.”
Anusapati menjadi ragu-ragu sejenak.
Tetapi ia-pun kemudian melangkah maju. Ditatapnya wajah gurunya sejenak,
lalu katanya, “Baiklah. Tetapi terasa bulu-bulu tengkukku meremang.”
Tohjaya tersenyum. Sambil menengadahkan
kepalanya ia berkata, “Jangan takut. Aku adalah Tohjaya yang selama ini
berlatih bersama Kakanda Anusapati.”
Demikianlah maka keduanya segera bersiap.
Perlahan-lahan mereka saling mendekat. Dan sejenak kemudian latihan
itu-pun segera mulai.
Agaknya Tohjaya tidak ingin mengulangi
serangannya yang dapat membahayakan Anusapati. Ia sadar, bahwa Mahisa
Agni adalah paman Anusapati. Ia tentu tidak akan membiarkan kemanakannya
mengalami bencana. Meskipun demikian ia harus menunjukkan bahwa ia
mempunyai kelebihan yang jauh dari Anusapati.
Ketika latihan itu kemudian mulai
berlangsung, maka Mahisa Agni memperhatikan segalanya dengan saksama.
Seperti yang diduganya dan seperti yang dikehendaki oleh pelatih itu,
maka karena kecakapan Anusapati. Tohjaya telah melepaskan beberapa jenis
unsur gerak yang asing tanpa disadarinya.
“Apakah kau melihat sesuatu?” bertanya Mahisa Agni sambil berbisik kepada pelatih Anusapati itu.
Perwira itu menganggukkan kepalanya.
Dipandanginya kedua pengawal Tohjaya sejenak. Kemudian ia menjawab
lirih, “Itulah yang ingin aku tunjukkan kepada tuan.”
“O,” desis Mahisa Agni, “jadi kau sudah tahu?”
“Ya tuan.”
“Kau tahu siapakah yang memberinya?”
Perwira itu menggelengkan kepalanya.
“Aneh sekali, aku tidak tahu maksud Sri Rajasa dengan caranya.”
Perwira itu ragu-ragu sejenak. Hampir saja ia mengatakan apa yang tersimpan dihatinya. Tetapi niatnya itu-pun diurungkannya.
“Apakah kau tidak ingin melihat, siapakah yang memberi bekal lain pada Tohjaya itu?”
“Tentu tuan. Tetapi aku tidak dapat.”
“Asal kau sempat mengawasi Tohjaya pada
saat-saat yang kau sangka mungkin. Kau ikuti ia kemana perginya. Mungkin
malam hari. Jika demikian bahkan akan lebih menguntungkan bagimu.”
“Mungkin di tempat tertutup.”
“Kau dapat memanjat?”
Pelatih itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kenapa selama ini tidak terkilas dikepalanya, untuk
mengetahui siapakah guru Tohjaya itu. Meskipun seandainya ia tidak akan
berbuat apa-apa, tetapi ia dapat mengetahui orang yang telah
merangkapinya, menuntun Tohjaya di dalam olah kanuragan.
Karena itu maka katanya kemudian, “Aku tidak pernah memikirkan sebelumnya tuan. Tetapi apakah aku sebaiknya melakukannya?”
“Ah, kau aneh,” berkata Mahisa Agni, “sudah tentu semuanya itu terserah kepadamu.”
“Tetapi apakah hal itu baik aku lakukan?”
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja.
Sudah barang tentu bahwa ia tidak
terlampau jauh melibatkan dirinya. Ia tidak akan menempatkan dirinya
sebagai pangkal dari perbuatan seandainya perwira itu benar-benar ingin
melakukannya.
“Bagaimanakah pendapat tuan?” bertanya perwira itu mendesak.
“Jangan bertanya kepadaku. Sudah tentu
aku tidak akan dapat mendorongmu untuk melakukan perbuatan ini. Aku
hanya bertanya. Sekedar bertanya. Keputusannya ada padamu. Bahkan
tanggung jawab-pun ada padamu. Seandainya kau tertangkap karenanya, maka
kaulah yang akan mengalami segalanya. Bukan aku. Karena itu aku tidak
mau menjadi penyebab bahwa pada suatu saat kau digantung. Setiap orang
akan mendengar alasanmu, bahwa akulah yang menyuruhmu. Kalau aku tidak
ikut digantung, maka semua orang akan berkata bahwa akulah yang
manyebabkan kau dihukum.”
“Tidak tuan. Aku tidak akan menyalahkan siapa saja. Aku akan bertanggung jawab sendiri.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia
masih mengawasi latihan yang sedang berlangsung antara kedua putera Sri
Rajasa itu. Semakin lama semakin seru, dan Tohjaya-pun mulai melepaskan
ilmu rangkapnya tanpa disadarinya.
“Memang berbahaya,” berkata Mahisa Agni
di dalam hati, “bukan saja berbahaya bagi lawannya, tetapi berbahaya
bagi dirinya sendiri.”
Perwira pelatihnya yang kemudian juga
terdiam, memandangi latihan itu pula. Ia mengikutinya dengan saksama.
Setiap tata gerak yang terlontar dari keduanya, memang sangat menarik
perhatian. Ia sudah mengetahui, bahwa Tohjaya tidak saja mempergunakan
ilmu yang didapat daripadanya. Tetapi beberapa tata gerak yang lain
telah terlontar pula.
Berbeda dengan Tohjaya, Anusapati-pun
membuatnya heran pula. Ia masih berada di dalam lingkungan ilmu yang
diberikannya. Tetapi kadang-kadang sesuatu yang tidak terduga-duga telah
terjadi. Anusapati mampu mempergunakan unsur-unsur gerak yang justru
tidak terpikirkan oleh gurunya di dalam hubungan yang hampir tidak
berbatas. Seperti air yang mengalir melalui jalur-jalur yang lurus
lapang tanpa rintangan apapun.
Sekali-sekali gurunya menggelengkan
kepalanya. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Aneh sekali. Putera
Mahkota itu menemukan susunan tata gerak yang mengherankan. Tetapi
jelas, bahwa unsur-unsurnya dalam unsur-unsur ilmu yang aku berikan.”
Tetapi gurunya tidak pernah mengerti,
bahwa justru karena kematangan sikap Anusapati, maka ia mampu
mempergunakan unsur-unsur gerak yang diterimanya dengan baik dan cepat.
Meskipun ia juga tidak sengaja membuat gurunya heran, tetapi di dalam
keadaan tertentu ia tidak dapat menghindari lagi. Adalah lebih baik
mempergunakan ilmu yang diterimanya itu dalam tataran yang lebih tinggi
daripada ia mempergunakan ilmu yang lain yang akan membuat gurunya
menjadi semakin bingung.
Namun nampaknya latihan itu masih akan
berlangsung lama. Tohjaya tidak lagi terlampau bernafsu untuk segera
menjatuhkan Anusapati. Tetapi ia sengaja ingin mempermainkannya.
Kadang-kadang ia menyerang dan mendesak Anusapati sampai beberapa
langkah surut. Kemudian dengan tenangnya ia melangkah ketengah arena,
memberi kesempatan agar Anusapati menyerangnya. Apabila Anusapati
meloncat menyerang, dengan gerak yang sederhana ia mengelak sambil
tertawa dan berkata, “Aku di sini Kakanda Anusapati.”
Demikianlah latihan itu berlangsung
terus. Anusapati telah membiarkan dirinya setiap kali ditertawakan oleh
Tohjaya. Namun setiap kali ia membuat dahi gurunya berkerut karena tata
geraknya yang tidak terduga-duga. Tetapi Tohjaya yang sibuk dengan
kemenangannya sama sekali tidak menghiraukannya, meskipun kadang-kadang
ia kecewa juga, bahwa serangannya tidak mengenai sasaran atau usahanya
untuk membuat Anusapati kehilangan arah, kadang-kadang gagal.
“Tuan,” perwira pelatih itu mengulangi
desakannya, “bagaimana pendapat tuan kalau aku berusaha mengetahui,
siapakah yang menjadi guru yang lain dari tuanku Tohjaya.”
“Ah,” desis Mahisa Agni, “kau bukan anak-anak lagi. Kau dapat menimbang mana yang baik dan mana yang buruk.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba ia mengambil keputusan, “Aku akan mencoba
melihat. Mencoba. Kalau berhasil baik, sukurlah. Kalau tidak, biarlah.”
Tetapi tiba-tiba sebuah pertanyaan
melonjak dikepalanya, “Bagaimana kalau dihukum mati karena Sri Rajasa
menemukan aku mengintip latihan itu?”
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, “Seperti orang pergi berperang. Menang atau mati.”
Dengan demikian perwira itu tidak
mendesak Mahisa Agni lagi. Ia sadar, bahwa Mahisa Agni tidak mau
terlibat di dalam persoalan ini meskipun ialah yang pertama-tama
menyalakan keinginan itu di dalam hatinya.
Keduanya kini memperhatikan latihan itu
dengan saksama. Anusapati menjadi semakin lama semakin terdesak.
Kadang-kadang serangan-serangan Tohjaya mengenainya dan melemparkannya.
Kadang-kadang ia jatuh terguling. Dan kadang-kadang bahkan seperti
seekor ayam di gelanggang, Berlari-lari mengelilingi arena apabila
Tohjaya mendesaknya terus.
Tohjaya menjadi semakin gembira. Seperti
anak-anak mendapat mainan yang mengasyikkan. Setiap kali terdengar ia
tertawa. Namun kadang-kadang ia mengerutkan keningnya karena
kegagalannya.
Guru Anusapati dan Tohjaya itu tiba-tiba
menjadi curiga. Apakah Anusapati benar-benar tidak mampu mengimbangi
Tohjaya? Putera Mahkota itu kadang-kadang mampu bergerak secepat
serangan Tohjaya, justru apabila serangan itu berbahaya baginya. Tetapi
sampai begitu jauh perwira itu tidak melihat unsur-unsur gerak yang
lain, selain unsur-unsur gerak yang diberikannya, meskipun kadang-kadang
dalam susunan yang ia sendiri tidak pernah memikirkannya.
Tetapi latihan itu sendiri kemudian tidak
menarik lagi baginya. Yang dipikirkannya adalah bagaimana ia dapat
mengetahui siapakah yang telah menuntun Tohjaya dengan ilmu yang menurut
penilaiannya agak terlampau kasar dan berbahaya.
Karena itu tanpa menghiraukan latihan itu lagi ia berkata, “Aku akan melakukannya.”
“Apa?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku akan berusaha melihat tuanku Tohjaya
latihan dengan gurunya yang lain. Aku akan melihat apakah gurunya itu
seorang manusia sempurna tanpa tanding?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah kau memutuskan demikian?”
“Ya tuan.”
“Kau sudah menimbang akibatnya?”
“Sudah tuan.”
“Terserahlah kepadamu.”
“Aku akan menanggung segala akibatnya.
Kalau aku berhasil aku akan memberitahukan kepada tuan, siapakah gurunya
itu. Apakah ia orang istana atau orang di luar istana.”
“Itu-pun terserah kepadamu. Tetapi aku
tidak akan menolak. Setidak-tidaknya aku ikut mengetahuinya pula,
meskipun seandainya tidak-pun tidak apa-apa.”
“Aku harap tuan bersedia. Aku tidak akan
melibatkan tuan seperti yang tuan harapkan, meskipun tuanlah yang telah
menumbuhkan niat itu di dalam hatiku. Aku tidak tahu, apakah tuan
sengaja berbuat demikian atau tidak.”
Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut.
Sejenak kemudian mereka kembali mengamati
latihan yang sedang berlangsung itu. Anusapati semakin lama menjadi
semakin terdesak, sedang Tohjaya semakin menjadi gembira karenanya. Kini
ia telah memilih cara ini untuk menunjukkan kemenangannya. Ia tidak
ingin dengan sekali banting, Anusapati tidak dapat bangun lagi. Tetapi
ia ingin memperlakukan Anusapati seperti kucing yang sedang
mempermainkan seekor tikus kecil.
Ketika serangan Tohjaya mengenai lengan
Anusapati sehingga Anusapati terpelanting jatuh, Tohjaya tertawa
terbahak-bahak. Katanya, “Marilah kakanda. Jangan berbaring di tanah.
Nanti sajalah kakanda beristirahat sama sekali setelah latihan ini
selesai.”
Tertatih-tatih Anusapati berusaha untuk
bangkit. Tetapi ketika ia tegak, maka serangan Tohjaya telah melandanya.
Sekali lagi ia terdorong dan jatuh berguling di tanah.
Terdengar suara tertawa Tohjaya semakin
keras. Sambil memandang Mahisa Agni dan perwira pelatih itu
berganti-ganti, ia bertolak pinggang menikmati kemenangannya.
Kali ini Anusapati tidak segera bangkit.
Sambil menyeringai kesakitan ia berlutut dan bersandar pada kedua
tangannya. Tetapi ketika Mahisa Agni memandangnya tanpa setahu Tohjaya
ia memejamkan sebelah matanya, sehingga hampir saja Mahisa Agni tertawa
karenanya.
“Sudahlah,” berkata gurunya, “latihan sudah selesai. Tuanku Anusapati sudah tampak terlampau lelah.”
Tohjaya masih tertawa. Katanya, “ Bertanyalah kepada Kakanda Anusapati. Apakah ia bersedia meneruskan latihan ini atau tidak.”
Perwira itu mendekati Anusapati sambil bertanya, “Apakah latihan masih akan diteruskan?”
Anusapati menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak, Aku sudah lelah sekali.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia mendekati Mahisa Agni sambil berkata, “Inilah Kakanda
Anusapati paman. Ia selalu mengakhiri latihan-latihan serupa ini sebelum
waktunya. Sebenarnya Kakanda Anusapati akan dapat lebih maju apabila ia
tidak terlampau malas.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, apakah pendapat paman atas kita berdua?”
“Mengagumkan,” jawab Mahisa Agni.
“Siapakah yang mengagumkan?”
Mahisa Agni tersenyum. Sekilas dilihatnya
perwira prajurit yang menjadi pelatih kedua putera Sri Rajasa itu
menolong Anusapati bangkit berdiri.
“Aku kagum melihat kelincahanmu. Kau
bergerak cepat dan tangkas. Agaknya kau berlatih dengan tekun. Selain
latihan-latihan yang kau lakukan disini, kau pasti selalu berlatih
pula.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menegang. “Maksud paman?”
“Maksudku, kau tentu mengulangi tata
gerak yang kau dapat dari gurumu ini diwaktu-waktu yang lain. Mungkin
sebelum mandi. Dipagi hari bangun tidur atau waktu-waktu dan
kesempatan-kesempatan yang lain. Hal itu memang banyak sekali
berpengaruh. Tata gerak yang telah kau kuasai akan menjadi masak.”
“Ya paman.” Tohjaya mengangguk-anggukkan
kepalanya, “aku kira paman menyangka aku mengadakan latihan dan menerima
tuntunan dari orang lain.”
Mahisa Agni masih tersenyum. “Aku menyangka lain.”
Tohjaya memandang Mahisa Agni dengan
tajamnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Paman benar. Aku memang selalu
mengulangi ilmu yang aku terima di setiap kesempatan. Tetapi agaknya
Kakanda Anusapati memang malas sekali.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Sekilas ia berpaling kepada Anusapati yang berdiri berpegangan kepada
pelatihnya sambil menyeringai. Nafasnya terdengar semakin cepat
mengalir.
Katanya kemudian, “Anusapati memang
kurang mantap. Tetapi apabila ia sedikit tekun, maka ia akan dapat
menambah kemampuannya. Secara naluriah sebenarnya Anusapati mempunyai
kelebihan. Tetapi ia tidak memanfaatkannya.”
Tohjaya memandang Mahisa Agni dengan tajamnya. Kemudian ia bertanya, “Kelebihan apakah yang paman maksudkan?”
“Anusapati mempunyai tanggapan yang cepat
secara naluriah. Kalau ia dengan rajin melatih diri, maka seolah-olah
ia akan mempunyai indera yang dapat menangkap apa yang akan dilakukan
oleh lawan di dalam perkelahian.”
“Apakah benar begitu?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana dengan aku paman?”
“Sudah aku katakan. Kau dapat bergerak
cepat dan tangkas. Jarang sekali orang dapat bergerak secepat kau.
Meskipun tanggapan naluriahmu wajar, maksudku tidak ada kelebihan dari
orang lain, namun gerak yang kemudian kau lakukan ternyata melampaui
kesempatan seseorang mencernakan tanggapannya.”
Tohjaya mengangguk-angguk. Namun kemudian
ia tersenyum mendengar pujian itu. Bahkan kemudian ia bertanya, “Apakah
kemampuanku masih akan dapat berkembang?”
“Tentu. Kau dan Anusapati masih mempunyai
kemungkinan yang sangat luas. Kalau kalian berdua benar-benar
mempergunakan waktu sebaik-baiknya, kalian akan menjadi anak muda yang
perwira. Kalian akan menjadi kesatria yang benar-benar diharapkan bagi
Singasari.”
Tohjaya masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak senang mendengar Kemungkinan yang dapat
dicapai oleh Anusapati. Meskipun demikian ia berkata didalam hatinya,
“Aku berlatih pada seorang pelatih yang khusus. Setiap saat aku
memerlukannya, ia akan hadir tanpa mengenal waktu. Sudah tentu jarak
yang ada di antara kami akan menjadi semakin jauh. Apalagi kalau Kakanda
Anusapati masih tetap malas seperti sekarang.”
“Berlatihlah terus,” berkata Mahisa Agni sambil menepuk bahu Tohjaya.
“Terima kasih paman,” sahut Tohjaya.
Mahisa Agni-pun kemudian minta diri,
setelah ia menasehatkan agar latihan itu dihentikan, karena Anusapati
sudah terlampau lelah.
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun segera
meninggalkan arena. Ia masih akan menemui Permaisuri dan Sri Rajasa
sendiri. Masih ada yang akan dibicarakan mengenai
kemungkinan-kemungkinan perkawinan Anusapati.
Dalam pada itu, perwira prajurit yang
menjadi pelatih Tohjaya dan Anusapati itu benar-benar ingin melihat,
siapakah sebenarnya orang yang telah merebut kepercayaan Sri Rajasa
untuk membentuk puteranya menjadi seorang laki-laki yang kuat dan
mumpuni didalam olah kanuragan.
“Apakah orang itu sudah lama berada di
istana, atau orang yang termasuk baru?” bertanya perwira itu kepada diri
sendiri. Sebenarnyalah ia tidak tahu, bahwa guru Tohjaya itu sudah ada
sejak lama, namun baru beberapa saat kemudian Tohjaya benar-benar
berlatih kepadanya, karena perwira itu tidak sependirian dengan gurunya
yang sudah meninggal. Dengan demikian Tohjaya tidak dapat
mengharapkannya lagi. Itulah sebabnya maka ia kemudian memberatkan
latihan-latihannya kepada gurunya yang tersembunyi itu.
Dengan demikian maka perwira itu bertekad
untuk selalu mengawasi Tohjaya, siang dan malam, apabila ia keluar dari
bangsalnya. Tetapi waktu yang sehari semalam itu ternyata tidak dapat
dikuasainya terus menerus. Kadang-kadang ia menjadi lengah selagi ia
makan di dalam biliknya dibagian belakang istana itu. Atau selagi ia
mandi, Tohjaya menyeberangi longkangan di belakang bangsal ayahanda.
Disanalah ia berlatih bersama gurunya yang khusus itu.
Tetapi perwira itu tidak putus asa. Ia
selalu berusaha. Bahkan ia berpendirian, “Kalau tidak sekarang, besok
aku pasti akan menjumpainya. Kalau tidak besok, biarlah lusa, atau di
hari kemudian.
Beberapa hari kemudian Mahisa Agni-pun
meninggalkan istana Singasari kembali ke Kediri. Perwira itu memerlukan
menemuinya untuk mengucapkan selamat jalan. Tetapi ia juga berkata, “Aku
belum berhasil. Tuan sudah akan meninggalkan istana.”
“Aku akan mondar mandir sebelum
perkawinan Anusapati benar-benar dapat berlangsung. Kita masih belum
menemukan bakal isteri yang mantap untuk Putera Mahkota.”
Pelatih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Mudah-mudahan tuan masih menjumpai aku di istana ini.”
“Kenapa?”
“Siapa tahu, besok atau lusa, aku benar-benar digantung.”
“Ah. Kalau kau sudah ragu-ragu, hentikan
saja usahamu. Apakah untungnya kau menemukan oang itu? Kau hanya sekedar
menuruti perasaanmu. Mungkin kau menjadi puas melihat orang itu. Tetapi
mungkin kau justru menjadi gila dan kehilangan pertimbangan nalar.”
“Aku akan tetap berpikir bening. Doakan saja tuan.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya,
“Hati-hatilah. Di sekitarmu terdapat banyak orang-orang yang luar biasa.
Jangan sampai kau menjerumuskan dirimu.”
“Aku akan sangat berhati-hati.”
Tetapi perwira itu sama sekali tidak
mengetahui, bahwa Mahisa Agni-pun telah berpesan kepada Sumekar, agar ia
berusaha mengawasi gerak-gerik perwira itu dan apabila mungkin
sekaligus menemukan pelatih Tohjaya yang tersembunyi itu.
“Awasilah perwira itu,” berkata Mahisa
Agni, “kasihan apabila ia terjerumus kedalam kesulitan. Menilik lontaran
unsur-unsur gerak yang ada pada Tohjaya, maka gurunya yang kasar itu
memang mempunyai banyak kelebihan. Sayang, ia bukan seorang guru yang
baik, sehingga ia tidak menghiraukan perkembangan jasmani muridnya sama
sekali.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia memang mempunyai dugaan yang sama. Kedua guru Tohjaya itu agaknya
memang bukan guru-guru yang baik. Perwira prajurit saudara sepupu Ken
Umang masih kurang selapis untuk membentuk Tohjaya menjadi seorang yang
mumpuni, karena perwira itu sendiri, masih belum mencapai suatu
tingkatan yang dapat dibanggakan di dalam olah kanuragan, meskipun untuk
mendasari kedua anak-anak muda itu agaknya ia mampu juga melakukannya,
bahkan ia agak lebih baik dari guru Tohjaya yang terbunuh. Sedang
gurunya yang lain, menilik tata geraknya, adalah seorang yang berilmu
kasar dan bersumber pada ajaran yang kurang dapat dipertanggung
jawabkan.
“Perwira itu ingin melihat, siapakah
orang yang telah ditunjuk oleh Sri Rajasa untuk menjadi guru Tohjaya
pula,” berkata Mahisa Agni, dan ia menceriterakan apa yang akan
dilakukan oleh perwira itu.
Karena pesan itulah, maka Sumekar-pun
kemudian mempunyai tugas tambahan. Setiap kali ia ada kesempatan, maka
dengan pakaian yang dapat membantu membayanginya, ia selalu berkeliaran
di halaman istana. Dengan berkerudung kain hitam, tutup wajah hitam dan
semua serba hitam, Sumekar berusaha untuk memenuhi pesan Mahisa Agni.
“Paman Sumekar sekarang senang bermain hantu-hantuan,” desis Anusapati.
Sumekar hanya tersenyum saja. Tugas itu termasuk tugas yang berat baginya.
“Aku ingin ikut pada suatu kali,” minta Anusapati.
“Jangan tuanku. Tuanku Sri Rajasa adalah seorang luar biasa. Seolah-olah ia memiliki indera rangkap.”
“Bukankah dengan demikian akan berbahaya juga bagi paman?”
“Hamba hanya seorang juru taman tuanku.”
“Kalau kau hanya seorang juru taman,
apakah kepentinganmu untuk mengetahui guru Tohjaya? Seorang juru taman
sama sekali tidak berkepentingan apa-apa selain cangkul, pupuk kandang,
sapu dan sebagainya. Setiap datang saatnya menerima upah dari kerjanya,
kenaikan pangkat dan kebutuhan-kebutuhan lain. Makan dan sedikit
kebanggaan. Apalagi?”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
“Ternyata paman bukan seorang juru taman. Justru paman telah sudi merendahkan diri menjadi seorang juru taman.”
“Tuanku, meskipun hamba bukan juru taman
karena hamba memerlukan pekerjaan untuk kehidupan hamba, tetapi harga
hamba sama sekali tetap tidak sebanding dengan tuanku. Bukankah tuanku
Putera Mahkota yang sebenarnya? Siapa-pun hamba, hamba adalah seorang
dari padesaan. Dari sebuah padepokan yang hampir dilupakan orang.”
“Paman memang suka merendahkan diri.
Apakah paman tahu nilai dari tugas yang paman lakukan? Aku tahu paman
berbuat sesuatu yang berbahaya dan kadang-kadang mengancam jiwa paman
itu, sekedar untuk kepentinganku. Bukankah dengan demikian nasibku
sebagai Putera Mahkota sebagian telah paman selamatkan?”
“Nasib tidak berada di tangan kita
tuanku. Kita hanya sekedar berusaha. Dan hamba-pun sekedar berusaha
seperti tuanku juga berusaha.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Tetapi paman telah mempertaruhkan diri sendiri.”
“Tuanku,” berkata Sumekar, “hamba tidak
mempunyai kekuasaan apa-apa di Singasari. Tuanku adalah Putera Mahkota
yang apabila datang saatnya, akan menjadi Raja Besar di Singasari.
Adalah berbahagia sekali bahwa hamba dapat mengenal langsung seorang
Raja Besar. Tidak banyak orang yang mendapat kebahagiaan demikian. Hanya
orang-orang besar di istana sajalah yang mengenal secara pribadi
seorang Raja.” Sumekar berhenti sejenak, lalu “tetapi lebih dari pada
itu, bukankah dengan demikian hamba telah dapat mengangkat diri hamba
sendiri, ikut di dalam pemerintahan? Karena hamba yakin, bahwa tuanku
akan berbuat sebaik-baiknya. Apabila hamba dapat menyerahkan setitik
air, maka hamba-pun merasa telah ikut serta didalam kebesaran tuanku
itu. Tanpa tuanku, hamba tidak dapat berbuat apa-apa bagi Singasari yang
besar ini.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan Sumekar berkata terus, “Karena itu, tuanku jangan berbuat sesuatu
yang terlampau berbahaya. Ini-pun hanya suatu usaha untuk keselamatan
tuanku. Biarlah hamba saja yang bermain hantu-hantuan berkerudung kain
hitam agar hamba tidak mudah dilihat di malam hari.”
“Di siang hari?”
“Di siang hari hamba tidak berani.”
Anusapati tersenyum. Memang tidak mungkin untuk melakukannya di siang hari.
Demikianlah, maka Sumekar-pun berusaha
untuk mengetahui, di manakah Tohjaya berlatih. Kadang-kadang ia
mengawasi perwira prajurit yang juga selalu mengendap-endap di malam
hari untuk mencari tempat yang dipergunakan oleh Tohjaya. Tetapi
keduanya masih belum berani untuk mendekati bangsal Sri Rajasa. Apalagi
mereka sama sekali tidak menduga, bahwa latihan itu akan dilakukan di
belakang bangsal itu.
Namun akhirnya, setelah seluruh istana
mereka awasi meskipun mereka tidak berjanji untuk melakukan bersama,
tanpa dapat mereka ketemukan, maka mereka-pun sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa satu-satunya tempat yang belum pernah mereka intai
adalah longkangan di belakang bangsal Sri Rajasa.
Tetapi untuk melakukannya adalah sangat
berbahaya. Selain bangsal itu dijaga ketat, maka untuk sampai ke
belakang bangsal itu, hampir tidak ada jalan sama sekali. Apalagi mereka
menyadari, bahwa Sri Rajasa adalah seorang yang ajaib. Seorang yang
pilih tanding.
Tetapi pada suatu saat, datang juga
kesempatan yang meskipun belum pasti, namun tampaknya seperti membuka
jalan bagi keduanya untuk melakukan tugas mereka masing-masing.
Sumekar menjadi berdebar-debar ketika ia
mendengar berita bahwa Sri Rajasa ingin berburu seperti kebiasaan yang
di lakukannya. Tetapi kali ini puteranya yang biasanya ikut serta, ingin
tinggal di istana.
“Adinda Tohjaya tidak ikut serta,” berkata Anusapati kepada Sumekar, “katanya, ia ingin memperdalam olah kanuragan.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan hamba mendapat kesempatan untuk melihat latihan itu,” berkata Sumekar.
Dan bersamaan dengan itu, perwira saudara
sepupu Ken Umang-pun berkata didalam hatinya, “Mudah-mudahan aku
mendapat kesempatan. Aku harap bahwa aku-pun tidak dibawanya serta di
dalam perburuan itu.”
Ternyata bahwa perwira itu kemudian tidak
dibawa serta oleh Sri Rajasa. Bahkan ia mendapat pesan, agar
latihan-latihan bagi Tohjaya agak dipercepat.
“Anak itu sudah dewasa penuh,” berkata Sri Rajasa.
Ketika pada suatu pagi, Sri Rajasa
beserta para pengiringnya keluar dari istana, Sumekar berdiri
termangu-mangu di regol petamanan. Dari kejauhan ia melihat
iring-iringan itu menyusup regol samping dan turun ke jalan raya.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia-pun melangkah maju. Ia mengerutkan keningnya ketika
dilihatnya perwira pelatih Tohjaya dan Anusapati berdiri termangu-mangu
pula.
Dari kejauhan Sumekar melihat Tohjaya
berjalan bersama Anusapati masuk kembali kehalaman samping setelah
mereka melepaskan ayahanda pergi berburu di regol istana. Di belakang
mereka dua orang prajurit pengawal Tohjaya berjalan dengan tegapnya.
Tanpa menghiraukan perwira perajurit itu Tohjaya berjalan langsung ke
biliknya. Namun Anusapati masih juga berpaling sambil menganggukkan
kepalanya.
Perwira itu memandang keduanya dengan
kening yang berkerut-merut. Namun kemudian ia-pun meninggalkan tempatnya
dan kembali ke tempat tinggalnya, di dalam lingkungan istana itu pula.
Sumekar hanya dapat memandang mereka
dengan dada yang berdebar-debar. Di regol dalam kedua anak-anak muda itu
berpisah, Masing-masing pergi ke bangsalnya.
Perlahan Sumekar-pun melangkah maju. Kini
ia berjalan di longkangan tengah. Sekali-sekali ia berhenti sambil
mengamati pohon bunga-bungaan yang tumbuh di pinggir longkangan itu.
Namun kemudian ia melanjutkan langkahnya ke regol dalam. Tetapi Sumekar
sudah tidak melihat kedua putera Sri Rajasa itu lagi.
“He, apa yang kau lakukan disini,” bertanya seorang prajurit ketika ia melihat Sumekar berdiri termangu-mangu.
“O, tidak apa-apa tuan. Aku hanya melihat-lihat kalau ada tanaman yang kurang terpelihara.”
Prajurit itu tidak menghiraukannya lagi. Ditinggalkannya Sumekar yang masih berdiri termangu-mangu itu.
Namun dalam pada itu Sumekar sempat
memperhatikan bangsal Sri Rajasa meskipun dari kejauhan. Bangsal yang
berdiri megah di tengah-engah halaman yang luas. Meskipun setiap kali
Sumekar selalu bergantian dengan kawan-kawannya juru taman membersihkan
halaman itu dan memelihara tanaman yang tumbuh di sekeliling bangsal dan
di tepi-tepi dinding, namun rasa-rasanya ia masih ingin memperhatikan
bangunan itu seteliti-telitinya.
“Di belakang bangsal itu ada sebuah
longkangan yang tertutup. Sebuah pintu butulan di samping, menghubungkan
bagian belakang bangsal itu dengan halaman yang luas di sekitarnya.
Diwaktu senggang Sri Rajasa sering duduk di bagian belakang bangsal itu.
Kadang-kadang seorang diri apabila ia tidak ingin diganggu.”
Sumekar berkata kepada diri sendiri,
“hanya longkangan di belakang bangsal itu, di depan serambi yang sering
dipergunakan oleh Sri Rajasa lah yang belum pernah aku jenguk selama aku
mencari pelatih yang tersembunyi itu. Agaknya sekarang aku mendapat
kesempatan. Tanpa Sri Rajasa, agaknya aku akan lebih mudah untuk
melakukannya. Guru Tohjaya yang tersembunyi itu pasti tidak akan dapat
menyamai Sri Rajasa menilik caranya memberikan ajaran kepada muridnya.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ketika
ia melihat dua orang prajurit peronda yang lewat melintasi halaman,
maka ia-pun melangkah ke samping dan berjongkok di samping sebatang
pohon kemuning yang sedang tumbuh.
Tetapi kedua prajurit itu sama sekali
tidak menghiraukannya. Mereka hanya melintas halaman, dan hilang diregol
sebelah kiri, regol yang menghubungkan bagian istana ini dengan halaman
bangsal sebelah, bangsal yang dipergunakan oleh Tohjaya. Di sebelah
bangsal itulah terdapat sebuah bangsal lain pula. Bangsal Ken Umang yang
seolah-olah terpisah dari istana lama ini oleh dinding batu. Tetapi
regol-regol yang terdapat di sepanjang dinding itu agaknya selalu
terbuka, siang dan malam. Bahkan Sumekar sendiri pernah untuk beberapa
hari bekerja di belahan istana itu, yang sehari-hari mempunyai
petugas-petugasnya sendiri. Juga mempunyai juru taman sendiri di
petamanannya.
“Aku harus segera menemukannya, sebelum
pada suatu saat jatuh keputusan hari perkawinan tuanku Anusapati,”
berkata Sumekar di dalam hatinya.
Sejenak kemudian Sumekar-pun meninggalkan
halaman yang luas itu kembali ke petamanan. Dilihatnya beberapa orang
kawannya sedang beristirahat, duduk di bawah sebatang pohon sawo kecik.
“He. dari mana kau?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Melihat kemuning yang sedang tumbuh itu.”
“Di halaman dalam?”
“Ya.”
“Bagaimana?”
“Pohon itu sudah mulai semi.”
Kawan-kawannya tidak menghiraukannya
lagi. Mereka sedang membuka bungkusan bekal mereka. Ketan serundeng
kelapa muda. Jenang alot dan pondoh jagung.
Sumekar-pun kemudian duduk pula di antara
mereka. Namun angan-angannya masih saja tersangkut pada longkangan di
belakang bangsal Sri Rajasa.
“Jangan pura-pura. Kau memang anak manja,” bentak salah seorang kawannya.
Sumekar berpaling sambil mengerutkan keningnya.
“He, kau mesti dipersilahkan. Kalau
tidak, kau pura-pura tidak acuh saja pada jenang alot dan ketan
serundeng yang dibawa oleh jajar yang lencir kuning ini. Tetapi nanti
kalau sudah habis kau menggerutu sepanjang hari. Bahkan semalam suntuk
kau tidak akan dapat tidur nyenyak.”
“O,” Sumekar tersenyum, “maaf. Aku tidak
bermaksud manja dan harus dipersilahkan. Bukankah aku harus mengenal
sopan santun? Siapa tahu, aku tidak termasuk dalam rencana pembagian
rejeki itu.”
“He, benar begitu? Kau berharap agar kau tidak masuk di dalam lingkungan kami yang menerima rejeki.”
“Bukan, bukan begitu.”
Kawannya bersungut-sungut, “Jangan banyak
cakap. Lihat, betapa aku berusaha memuaskan orang yang membawa makanan
ini.” Dan dengan lahapnya ia menyuapi mulutnya dengan ketan serundeng.
Sumekar tersenyum. Sejenak ia termangu-mangu, namun sejenak kemudian ia mengulurkan tangannya, memungut sepotong jenang alot.
“Nah begitu. Jangan malu-malu dan jangan berpura-pura malu.”
Semuanya tertawa. Sumekar juga tertawa.
Namun hampir berbareng mereka berdiri
serentak ketika mereka melihat Putera Mahkota muncul di regol petamanan.
Bahkan pemimpin juru taman yang ikut makan bersama kawan-kawannya,
dengan tergesa-gesa membungkus sisa makanan itu dan sambil menelan
makanan yang sedang dikunyahnya, melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati
Putera Mahkota.
“Apakah yang kalian kerjakan?” bertanya Anusapati.
“Ampun tuanku. Hamba dan kawan-kawan
hamba sedang makan beberapa potong makanan yang dibawa oleh salah
seorang dari kawan hamba.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan pemimpin juru taman itu menarik nafas dalam-dalam ketika Putera
Mahkota itu berkata, “Selesaikan sama sekali. Kemudian, aku ingin salah
seorang dari antara kalian untuk memperbaiki sebatang pohon soka yang
rusak.”
“Kenapa tuanku?”
“Aku tidak sengaja telah menginjaknya, ketika aku berusaha menangkap seekor burung jalak yang masih muda.”
“Pohon soka di sebelah tangga bangsal tuanku?” bertanya Sumekar.
“Ya.”
“Hambalah yang menanamnya.”
“Kalau begitu, kau sajalah yang melihatnya. Apakah pohon soka itu masih dapat tumbuh atau harus diganti yang baru.”
Sumekar mengangguk-angguk. Sejenak
dipandanginya kawan-kawannya. Kemudian ia menatap bungkusan makanan yang
masih belum habis itu.
Pimpinan juru taman yang berdiri di
sebelahnya mengerutkan keningnya sambil berdesis, “Hamba tuanku,”
berkata Sumekar kemudian, “hamba akan melihatnya.”
“Marilah,” berkata Anusapati sambil melangkah mendahului.
Ketika Sumekar mulai melangkahkan
kakinya, pemimpin juru taman itu berkata perlahan-lahan, “Anak yang
malang. Kau tidak sempat ikut menikmati makanan ini lebih banyak lagi.”
“Kalau kalian tidak menyisihkan beberapa
potong untukku, aku akan memancing kalian agar kalian diberi tugas, yang
sangat berat dari Tuanku Putera Mahkota.”
“Apa misalnya?”
“Memotong pohon sawo kecik itu.”
Kawan-kawannya tertawa tanpa mereka
sadari sehingga Anusapati yang masih belum begitu jauh berhenti dan
berpaling sehingga suara tertawa itu dengan serta merta terputus.
Sumekar-pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah mengikuti Anusapati.
Tanpa dicurigai oleh kawan-kawannya.
Sumekar yang sedang membetulkan sebatang pohon soka itu dapat berbicara
panjang dengan Anusapati tentang Tohjaya.”
“Hamba akan melihat longkangan di belakang bangsal ayahanda tuanku.”
“Berbahaya paman.”
“Hamba tuanku. Tetapi hamba mempunyai
dugaan bahwa di sanalah tuanku Tohjaya berlatih. Tidak ada tempat lain.
Semuanya sudah aku lihat, dan agaknya perwira itu sudah melihatnya
pula.”
“Apakah kalian berdua?”
“Tidak tuanku. Hamba tahu bahwa perwira
itu juga berusaha menemukan tempat berlatih tuanku Tohjaya dari kakang
Mahisa Agni. Tetapi perwira itu tidak tahu, bahwa aku-pun sedang
berusaha mencarinya dan sekaligus mengawasi perwira itu. Menurut kakang
Mahisa Agni, kalau guru Tohjaya yang tersembunyi itu mengetahuinya, maka
perwira itu tidak akan dapat melawannya. Menurut penilaian kakang
Mahisa Agni, guru Tohjaya yang penuh dengan rahasia itu agaknya
mempunyai beberapa kelebihan.”
“Seandainya demikian apakah paman akan melibatkan diri?”
“Kalau perlu tuanku. Itulah sebabnya
hamba mengenakan pakaian hitam dan kerudung muka. Mudah-mudahan aku
tidak dapat dikenal. Dengan demikian, aku akan tetap dapat berada di
istana ini.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, “Tetapi paman harus benar-benar berhati-hati. Apakah
paman dan paman Mahisa Agni yakin, bahwa orang yang tersembunyi itu akan
dapat paman kuasai? “
Sumekar menggelengkan kepalanya, “Tidak tuanku, memang tidak.”
Anusapati mengerutkan keningnya.
Terbayang betapa beratnya tugas Sumekar kali ini. Kalau ia gagal, maka
ia akan menjadi korban pula. Sedangkan Sumekar tidak tahu pasti,
kemampuan orang yang bakal dihadapinya.
“Tuanku,” berkata Sumekar kemudian, “sudah hamba perhitungkan apa yang dapat terjadi atas hamba. Hamba pohon doa restu tuanku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun demikian ia berkata, “Aku akan melihat apa yang terjadi
meskipun dari kejauhan. Aku akan mempergunakan pakaian seperti paman
Sumekar.”
“Jangan tuanku. Kalau tuanku terlibat
dalam soal ini dan ternyata dapat diketahui, maka pengorbanan itu
terlampau besar. Singasari akan mengalami kegoncangan.”
“Aku hanya akan melihat dari kejauhan
saja. Aku berjanji bahwa aku akan menghindarkan diriku dari keterlibatan
lebih jauh daripada melihat dari kejauhan saja.”
“Jangan tuanku.”
“Paman Sumekar. Bukankah aku bukan
anak-anak lagi. Aku akan dapat menjaga diriku. Bukankah hanya sekedar
bersembunyi dan melarikan diri apabila perlu?”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
“Paman jangan terlampau mencemaskan aku.”
Sumekar tidak dapat mencegahnya lagi.
Betapa-pun beratnya, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya, “Dari
kejauhan tuanku. Jangan sekali-sekali melibatkan diri apa-pun yang akan
terjadi atas hamba. Mungkin hamba akan menjadi korban. Tetapi itu adalah
kuwajiban dan akibat yang wajar.”
“Aku berjanji paman.”
“Baiklah. Nanti malam hamba akan pergi ke belakang bangsal tuanku Sri Rajasa.”
“Apakah paman akan singgah di bangsal ini?”
“Hamba akan memberikan tanda. Mungkin
tuanku akan segera mengenal apabila hamba menirukan suara burung tuhu.
Hamba akan berada di sudut halaman samping bangsal Sri Rajasa. Sebelum
hamba sendiri akan melihat longkangan itu, hamba akan mencoba mengikuti
perwira prajurit yang menjadi pelatih tuanku itu. Hamba kira ia-pun akan
pergi kelongkangan itu. Selama ini hamba selalu mengikutinya. Ia sudah
mengelilingi seluruh bagian dari istana ini, seperti hamba. Tetapi
agaknya ia-pun tidak berani pergi kelongkangan belakang dari bangsal
tuanku Sri Rajasa.”
“Baiklah paman. Aku akan menunggu isyarat paman.”
“Suara burung tuhu, tiga kali berturut-turut.”
“Ya paman.”
“Tuanku, hamba persilahkan langsung pergi ke sudut kanan halaman samping sebelah Utara dari bangsal itu.”
“Aku akan datang. Aku akan memberikan
isyarat pula, dan apabila paman sudah ada di sana, aku harap paman
menjawab. Tetapi kalau paman belum ada, paman harus memberi isyarat pula
ketika paman datang.”
“Baiklah tuanku. Kita akan
memperdengarkan suara cengkerik. Kita masing-masing akan memberikan
isyarat itu, dan kita masing-masing harus menjawabnya. Kalau kita
melihat seseorang di sudut istana itu tetapi tidak menjawab, maka pasti
bukan salah seorang di antara kita. Kita harus menghindarinya.”
“Baiklah paman.”
Demikianlah, maka mereka-pun telah
membicarakan beberapa hal mengenai rencana mereka, isyarat-isyarat yang
akan mereka pergunakan dan akibat yang dapat timbul kemudian apabila
guru Tohjaya itu dapat melihat atau mengetahui kehadiran mereka.
Agaknya semua pembicaraan sudah menjadi
matang. Meskipun Sumekar masih mencoba mencegah Anusapati, tetapi
Anusapati tetap pada pendiriannya.
Sehari-harian Anusapati merasa gelisah.
Seolah-olah ia tidak sabar menunggu saat yang dijanjikan oleh Sumekar.
Ia harus menunggu suara burung tuhu tiga kali berturut-turut. Kemudian
ia harus pergi ke sudut halaman bangsal Ayahanda Sri Rajasa itu.
Anusapati mengenal halaman itu dengan
baik. Ia sering bermain-main di sana. Karena itu, ia tahu benar,
darimana ia harus datang, dan kemana ia harus pergi apabila diperlukan.
Ia mengenal tempat-tempat yang dijaga oleh para prajurit. Ia mengenal
gardu-gardu pengawal dengan baik. Terlebih dari itu, ia mengenal
tempat-tempat yang gelap di malam hari.
Demikianlah, dengan gelisahnya Anusapati
menunggu. Ketika malam tiba, ia masuk kedalam biliknya, menyediakan
pakaian yang akan dipakainya. Dikumpulkannya segala macam pakaian hitam
yang ada padanya. Kain hitam dan tutup muka seperti Sumekar. Karena kain
hitamnya tidak mencukupi untuk menutup seluruh tubuhnya, maka Anusapati
berniat untuk mengenakannya sebagai kain saja. Ia tidak memakai pakaian
yang lain. Dan selembar untuk membalut sebagian dari wajahnya.
Ketika malam menjadi semakin kelam, di
kejauhan Anusapati mendengar suara burung tuhu tiga kali berturut-turut.
Ia sadar bahwa waktunya telah tiba. Ia harus segera pergi ke bangsal
Ayahanda Sri Rajasa.
Anusapati-pun kemudian dengan hati-hati
keluar dari bangsalnya. Semua orang agaknya telah tidur nyenyak. Di muka
pintu ia berhenti sejenak. Diperhatikannya halaman yang sepi, kalau ada
prajurit yang sedang meronda.
Seperti apabila ia pergi meninggalkan
istana, pergi ke pinggir sungai yang curam itu, ia-pun kemudian hilang
di dalam gelap. Di bawah rimbunnya pohon bunga dan batang-batang perdu
di halaman istana, Anusapati menyelinap dari bayangan yang kegelapan
kebayangan yang lain. Nyala obor di kejauhan memancarkan cahaya
kemerah-merahan yang tidak begitu terang, sehingga Anusapati tidak
banyak menemui kesulitan.
Sejenak kemudian ia sudah berada di
sekitar halaman bangsal Sri Rajasa yang sepi. Namun dengan demikian
terasa dadanya menjadi semakin berdebar-debar.
Hati Anusapati berdesir ketika ia melihat
sesosok tubuh dengan cepatnya melintas beberapa langkah saja
daripadanya. Seperti tanpa memiliki bobot tubuh itu meloncat di dalam
kegelapan, ke atas dinding batu yang cukup tinggi.
Anusapati mengerutkan keningnya. Ia
tertarik sekali pada bayangan itu. Semula ia menyangka bahwa bayangan
itu pasti Sumekar. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Setelah beberapa
saat kemudian, barulah ia pasti, bahwa bayangan itu adalah perwira
prajurit yang mendapat tugas untuk melatih Tohjaya dan dirinya sendiri
di dalam olah kanuragan.
“Ternyata ilmunya cukup tinggi,” desis Anusapati di dalam hatinya, “ia pasti mampu bergerak dengan cepat dan lincah.”
Perlahan-lahan Anusapati mendekatinya.
Tetapi selama bayangan itu masih berada di atas dinding, meskipun
terlindung oleh dedaunan, Anusapati berhenti pada jarak tertentu. Ia
tidak mendekati lagi, karena ia menyangka, bahwa pendengaran orang
itu-pun cukup tajam, sehingga desah nafasnya akan dapat didengarnya.
Beberapa saat bayangan itu bertengger di atas dinding batu. Agaknya ia menunggu saat yang sebaik-baiknya untuk berbuat sesuatu.
Agaknya setelah ia yakin, bahwa tidak
seorang-pun yang mengamatinya, maka ia-pun segera meloncat turun di
dalam lingkungan halaman bangsal Sri Rajasa.
Anusapati-pun kemudian meloncat pula
dibagian yang lain dari dinding itu. Ia tidak mau kehilangan perwira
itu. Karena itu dengan hati-hati ia-pun meloncat masuk ke halaman dan
berlindung sebaik-baiknya.
Tetapi baru saja ia menenangkan
pernafasannya, ia melihat sesosok tubuh yang lain telah bertengger pula
dekat sekali dengan tempatnya bersembunyi. Tetapi kali ini dibarengi
suara cengkerik yang berderik perlahan-lahan.
“Nah, pasti paman Sumekar,” desisnya. Dan
dugaannya kali ini ternyata tidak meleset. Ketika ia membatas isyarat
itu, maka bayangan itu-pun segera beringsut dan meloncat turun di
sampingnya.
“Tuanku,” desis Sumekar, “hamba mengikuti perwira itu.”
“Ia berada di halaman ini. Aku juga mengikutinya. Ia bersembunyi di bawah rumpun pering cendani itu.”
“Apakah ia tidak melihat kita disini?”
“Aku kira tidak.”
“Tetapi kita tidak melihatnya juga, apabila ia bergeser dari tempatnya di sepanjang rumpun cendani itu.”
“Ia tidak dapat pergi kemana-mana tanpa
kita ketahui. Bukankah bagian itu tertutup oleh dinding yang tinggi? Aku
kira ia tidak akan meloncati dinding itu, karena ia tahu, bahwa di
belakang dinding itu adalah bagian dari petamanan ibu Ken Umang.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau ia bergeser, ia pasti akan
melewati sela-sela antara rumpun cendani itu dan dinding yang membatasi
longkangan belakang itu. Ia pasti tidak akan berani meloncat ke atas
dinding batas itu pula. Jika di dalam ada seseorang, maka orang di dalam
longkangan itu pasti akan segera mengetahuinya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Jadi jalan manakah yang paling baik dilalui?”
“Pohon sawo kecik itu.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Hamba juga sudah menduga, bahwa jalan itulah yang paling baik.
Seandainya hamba pergi sendiri, hamba-pun akan meloncat ke atas dahan
sawo kecik itu.”
“Kalau perwira itu juga berpikir demikian, dan ia juga meloncat pada dahan sawo itu. kita kehilangan tempat untuk bertengger.”
“Sawo yang lain tuanku.”
“Ada kekurangannya. Jaraknya terlampau jauh, dan mudah diketahui oleh orang yang berada dicabang sawo yang pertama.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi mereka-pun terdiam, bahkan menahan nafas mereka, ketika dua orang
prajurit peronda lewat beberapa langkah saja dihadapan mereka.
Baru setelah prajurit itu hilang dibalik regol, keduanya menarik nafas dalam-dalam.
“Mudah-mudahan perwira itu menemukan jalan lain.” desis Sumekar.
Anusapati dan Sumekar-pun kemudian
terdiam. Mereka memperhatikan rumpun cendani itu dengan seksama. Mereka
tidak mau kehilangan perwira prajurit yang sedang berusaha melihat
dimana Tohjaya berlatih.
Ternyata perwira itu seperti juga
Anusapati dan Sumekar, ia mengenakan pakaian serba hitam. Ia-pun
menganggap bahwa pakaian hitam adalah pakaian yang paling baik baginya
untuk bersembunyi di malam hari.
Setelah menunggu sejenak, maka Anusapati
dan Sumekar-pun melihat, bayangan yang bergerak-gerak di sela-sela
rumpun bambu cendani itu, sehingga mereka bergeser sejengkal maju.
“Paman,” bisik Anusapati, “agaknya dari
tempat itu, ia dapat mendengar seandainya ada seseorang yang sedang
berlatih di balik dinding.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak menjawab. Kini mereka berdua dengan tajamnya mengikuti
prajurit itu dengan tatapan mata mereka. Sejenak mereka berteka-teki,
dimanakah perwira itu akan mencari tempat untuk melihat longkangan
belakang bangsal Sri Rajasa?
Tanpa diduga-duga, ternyata perwira itu
memilih tempat yang lain sama sekali dari perhitungan Sumekar dan
Anusapati. Ternyata perwira itu kemudian meloncat ke atas atap bangsal
yang kehitam-hitaman, sehingga ketika ia menelungkup, maka hampir tidak
dapat dilihat sama sekali, bahwa ada seseorang di atas atap itu.
Sumekar dan Anusapati saling berpandangan sejenak. Kemudian bersama-sama mereka tersenyum.
“Terang juga pikiran orang itu,” desis Anusapati.
“Ya tuanku. Ia tahu benar, bahwa bangsal itu sekarang sedang kosong karena tuanku Sri Rajasa sedang tidak ada di istana.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian, “Lalu, bagaimana dengan kita?”
“Kita masih mendapat tempat tuanku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kemudian ia menggamit Sumekar sambil menunjuk ke arah perwira
yang berada di atas atap itu, “Ia bergeser ke samping. Ia akan melihat
longkangan itu dari bumbungan atap.”
“Marilah, kita memanjat pohon sawo itu.
Tetapi kita harus berhati-hati. Kita harus memanjat dibalik batangnya,
supaya apabila tidak disadarinya ia berpaling, ia tidak akan dapat
melihat kita.”
“Baiklah.”
Keduanya kemudian dengan hati-hati
mendekati pohon sawo di pinggir halaman. Sumekar yang berada di belakang
Anusapati berkata, “Silahkan tuanku naik. Aku akan mengamati keadaan di
bawah pohon ini.”
Anusapati mengangguk. Dengan hati-hati
ia-pun kemudian meloncat naik dan memanjat batang sawo itu sampai pada
dahan yang paling bawah.
Setelah Anusapati duduk di atas dahan itu, maka Sumekar-pun kemudian naik pula.
Keduanya kemudian naik semakin tinggi.
Tetapi kini mereka merasa bahwa tidak akan ada orang yang melihat mereka
di dalam rimbunnya dahan-dahan.
Dari sebatang dahan yang condong keatas
dinding longkangan di belakang itu. mereka dapat menyaksikan bagian
dalam dengan saksama, selama mereka masih tetap dapat melihat perwira
yang menelungkup di bumbungan atap bangsal istana.
Ketika mereka menjengukkan kepalanya,
dada keduanya tiba-tiba berdesir. Terasa detak jantung mereka menjadi
semakin keras memukul dinding dada mereka, sehingga seolah-olah tidak
tertahankan lagi.
Dari tempatnya, mereka melihat apa yang
selama ini mereka cari. Tohjaya yang sedang asyik berlatih di bawah
tuntunan seorang guru yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
Perlahan-lahan Anusapati berdesis,
“Itulah orangnya. Benar-benar diluar dugaan. Orang itu adalah seorang
yang tampaknya halus, sopan dan lembut. Tetapi pancaran ilmunya ternyata
begitu kasar dan garang.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia-pun sama sekali tidak menduga, bahwa salah seorang dari penasehat Sri
Rajasa sendirilah yang telah menuntun Tohjaya di dalam olah kanuragan.”
Dalam pada itu, perwira yang bertengger
di bumbungan bangsal itu-pun tidak kalah terperanjatnya dari kedua orang
yang berada di dahan pohon sawo itu. Orang itu sama sekali tidak
mencerminkan seorang yang kasar dan keras. Tetapi di dalam olah
kanuragan ternyata ia adalah seorang yang kasar dan tanpa menghiraukan
nilai-nilai budi sama sekali.
Perwira yang menelungkup di atas
bumbungan atap itu untuk sejenak membeku. Tetapi ternyata kemudian ia
tidak puas dengan sekedar mengetahui. Ia ingin melihat, latihan-latihan
yang diberikannya kepada Tohjaya.
Jarak dari bumbungan atap dan dari pohon
sawo itu kelongkangan belakang tidak begitu dekat. Tetapi mereka dapat
melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Mereka dapat melihat dengan
jelas, betapa Tohjaya ditempa dengan kerasnya oleh gurunya. Tanpa
menghiraukan kemampuan jasmaniah Tohjaya sendiri, gurunya mencoba
memaksa Tohjaya menjadi seorang yang berilmu tinggi di dalam waktu yang
singkat seperti dipesankan oleh Ayahanda Sri Rajasa.
Ketika orang yang dengan diam-diam
menyaksikan latihan itu melihat, bagaimana Tohjaya harus
berguling-guling di tanah. Meloncat seperti bilalang, tetapi kemudian
meloncat seperti kijang. Berlari sambil melepaskan serangan dengan
tiba-tiba kepada pelatihnya, kemudian menghindari serangan-serangan yang
diluncurkan oleh gurunya itu. Bahkan sekali-sekali Tohjaya telah
dilemparkan keudara dan sekali ia harus berputar, kemudian jatuh di atas
kakinya.
“Latihan yang berat sekali,” desis Anusapati.
“Kasihan,” sahut Sumekar, “kalau tuanku
Tohjaya tidak tahan, maka tubuhnya akan rusak. Tetapi kalau tahan
mengalami tempaan yang demikian kerasnya, ia akan menjadi sepotong besi
baja yang kuat sekali, tetapi tidak mampu berpikir dan bertindak di
dalam saat-saat yang penting. Ia hanya dapat mengulang dan menirukan
tata gerak yang pernah dipelajarinya dengan keras dan kasar.”
“Tetapi ia akan dituntun oleh pengalaman dikemudian hari berdasarkan bekal yang ada padanya.”
“Gerakan-gerakan naluriah. Ia tidak
mempunyai kemampuan menciptakan suasana di dalam suatu perkelahian yang
sebenarnya. Ia tidak dapat mempergunakan akalnya. Kemampuannya
tergantung pada kekuatan dan ketrampilannya saja. Sekali ia berbuat
kesalahan, sulit sekali baginya untuk menemukan jalan kembali.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Tetapi pengalaman dapat membuatnya mengenal kekurangan itu paman.”
“Lambat sekali tuanku. Hamba pernah
mempelajari ilmu yang kasar dan keras. Tetapi guru hamba memperhatikan
akal yang ada pada hamba. Kadang-kadang hamba dihadapkan pada kesulitan
yang harus hamba pecahkan. Bukan sekedar membenturkan kepala pada batang
pisang, kemudian batang besi yang dilapisi sabut kelapa, dan lambat
laun batang-batang besi tanpa lambaran apapun. Tetapi hamba juga diajar
mempergunakan nalar dan memecahkan persoalan.”
Anusapati tidak menjawab. Tetapi ia
membenarkan kata-kata Sumekar itu. Ia sendiri mengalami latihan yang
berat di bawah asuhan Mahisa Agni. Sebelum ia mulai dengan menyerap ilmu
yang sebenarnya, ia sudah harus melatih tubuhnya dengan gerakan-gerakan
yang melelahkan. Namun demikian, ia merasa bahwa ia setiap kali
mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu menurut getar didadanya
sendiri. Ia tidak selalu harus menirukan gerak demi gerak tanpa
mempersoalkan gerak itu sendiri.
Meskipun demikian, baik Anusapati mau-pun
Sumekar masih belum dapat memastikan bahwa demikianlah latihan-latihan
yang dilakukannya setiap hari. Sehingga Anusapati berkata, “Mungkin pada
saat lain, Tohjaya mendapat kesempatan untuk mempergunakan otaknya,
bukan sekedar tenaganya.”
Sumekar tidak menyahut. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu, latihan yang berlangsung
di longkangan belakang istana itu semakin lama menjadi semakin keras.
Agaknya guru Tohjaya itu ingin agar Tohjaya dengan cepat menjadi seorang
yang berilmu tinggi.
Sementara Tohjaya memeras tenaganya
dengan latihan yang keras itu, gurunya yang lain, perwira prajurit yang
juga saudara sepupu ibunya, menyaksikan latihan-latihan itu dengan dada
yang berdebar-debar. Ia mengerti juga, bahwa dengan demikian tubuh
Tohjaya lah dapat menjadi korban nafsu yang terlampau besar tanpa
menghiraukan akibat yang dapat timbul karenanya.
“Orang itu memiliki ilmu yang tinggi,”
desis perwira itu kepada diri sendiri, “tetapi kenapa ia tidak dapat
mempertimbangkan kemungkinan yang jelek yang dapat menimpa putera Sri
Rajasa? Dan kenapa Sri Rajasa sendiri tidak pernah berkeberatan
menyaksikan latihan-latihan itu apabila ia berkesempatan?”
Tetapi perwira itu tidak mengetahui,
bahwa Sri Rajasa tidak pernah menghiraukan cara dan usaha yang telah
dilakukan oleh penasehatnya itu, karena Sri Rajasa sendiri tidak pernah
mengalami masa penempaan seperti itu. Alamlah yang menempanya menjadi
seorang yang pilih tanding. Kesulitan dan kekerasan Padang Karautan lah
yang membuatnya menjadi seperti Sri Rajasa yang sekarang. Lebih dari
itu, ia adalah kekasih Dewa Brahma. Ia adalah seorang yang lahir karena
kekuasaan Dewa itu.
Tetapi Tohjaya bukan lahir karena
kekuasaan Dewa Brahma, bukan pula kekasih Siwa dan bukan pengejawantahan
Wisnu. Ia memang dilahirkan oleh seseorang yang mempunyai kelebihan
dari manusia biasa. Tetapi bukan berarti bahwa Dewa yang mengasihi Ken
Arok harus mengasihi anak yang diturunkannya.
Itulah sebabnya, maka Tohjaya tidak dapat
terbentuk seperti Ken Arok. Ia harus melalui latihan-latihan yang
terlampau berat bagi kemampuan jasmaniahnya. Tetapi ia tidak mau surut.
Hatinya yang sombong memaksanya untuk menjadi seorang yang tidak
terkalahkan, bukan saja oleh seisi istana, tetapi seluruh daerah
kekuasaan Singasari harus mengakui kelebihannya kelak.
Karena itu, betapa hatinya semakin lama
menjadi semakin tegang menyaksikan latihan itu. Sebenarnya ia dapat
membiarkan saja apa yang akan terjadi atas Tohjaya itu kelak. Namun
karena Tohjaya itu juga muridnya dan juga kemenakannya, maka terasa juga
sesuatu yang membebani hatinya.
“Aku tidak peduli,” ia mencoba untuk
mengusir perasaan itu, “ia dan ayah ibunya, sudah mengesampingkan aku.
Bahkan menghinaku. Terserah, akibat apa saja yang dapat timbul
karenanya.”
Perwira prajurit itu mengatupkan giginya
rapat-rapat. Tetapi ia masih saja tetap digetarkan oleh debar di dalam
dadanya. Kadang-kadang bahkan ia menggigit bibirnya melihat Tohjaya
terlempar keudara, kemudian jatuh terbanting di tanah. Seharusnya ia
jatuh di atas kedua kakinya, tetapi kadang-kadang ia gagal.
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam
ketika ia melihat Tohjaya mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sambil
tersenyum gurunya menepuk punggung Tohjaya sambil berkata, “Latihan
yang berat tuanku. Tetapi tuanku akan menjadi seorang anak muda yang
maha perkasa.”
Tohjaya mencoba tersenyum juga. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Hampir patah tulang punggungku.”
“Tetapi sekarang dengan mudahnya tuan akan dapat mengalahkan kakanda tuanku, di depan atau tidak di depan saksi-saksi.”
Tohjaya tertawa. Tetapi ia tidak
menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan ke serambi, memungut sebuah gendi
dan minum beberapa teguk air dari dalamnya.
Baik Sumekar dan Anusapati, mau-pun
perwira prajurit yang bertengger di atas bumbungan atap, dapat menangkap
percakapan itu meskipun tidak begitu jelas, karena keduanya sama sekali
tidak menyangka bahwa ada orang yang mengintai latihan itu.
Namun demikian, ketika mereka sudah beristirahat, mulailah perhatian mereka terpecah pada keadaan di sekeliling mereka.
Ketika tanpa dikehendakinya sendiri,
perwira yang berada di atas bumbungan atap itu bergerak, ia telah
membuat sebuah bunyi yang telah menarik perhatian.
Tetapi keduanya agaknya tidak
menghiraukannya lebih lama lagi. Meskipun mereka tergerak sejenak, namun
kemudian mereka telah tenggelam pada sebuah pembicaraan yang asyik.
“Satu hal yang harus tuanku ingat,”
berkata gurunya, “tuanku masih harus menyimpan ilmu ini. Tetapi agaknya
tuanku terlampau sulit melakukannya, sehingga kadang-kadang di dalam
latihan yang biasa tuanku lakukan, unsur-unsur gerak ini tersembul juga
di antara ilmu yang tidak berarti yang sampai sekarang masih saja tuanku
pelajari itu.”
“Apakah salahnya?” bertanya Tohjaya.
Gurunya tersenyum, “Untuk sementara, kalau mungkin, jangan dahulu. Tetapi apabila sudah terlanjur, apaboleh buat.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia-pun tertawa. Katanya, “Itu bukan persoalanmu. Semua yang
ditentukan oleh Ayahanda Sri Rajasa adalah tanggung jawab Ayahanda Sri
Rajasa. Aku mohon kepada ayahanda, dan ayahanda telah menentukan.
Siapakah yang akan menolak?”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dahulu ayah memerintahkan agar aku
menerima ilmumu di samping ilmu yang aku terima dari guru yang meninggal
itu, perlahan-lahan. Tetapi kemudian ayahanda berkeputusan lain. Aku
mohon semuanya dipercepat, dan ayahanda membenarkannya. Nah, siapakah
yang akan berani mempersoalkan meskipun aku berguru lima, sepuluh atau
seratus orang apabila ayahanda sudah mengijinkan? Siapakah yang akan
menentang keputusan ayahanda? Seandainya ayahanda bukan seorang raja
besarpun, tidak ada orang yang berani menolak keputusannya. Karena
ayahanda adalah seorang yang tidak terkalahkan di seluruh jagad ini.”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tidak ada seorang-pun yang dapat membantah, bahwa Sri Rajasa
seolah-adalah manusia yang tidak terkalahkan.
Hanya Sumekar dan Anusapati berpendapat lain. Apakah Sri Rajasa itu dapat mengalahkan Mahisa Agni?
Tetapi mereka tidak akan
mempersoalkannya. Kini mereka sedang menyaksikan Tohjaya di arena
latihannya yang dirahasiakan. Anak muda itu terlampau percaya bahwa Sri
Rajasa adalah tempat gantungan yang tidak tergoyahkan.
“Apalagi perwira prajurit yang mengaku
dirinya saudara sepupu ibunda Ken Umang itu. Aku kira ia sama sekali
tidak ada artinya bagi Ayahanda Sri Rajasa.”
“O,” sahut gurunya, “sebenarnya orang itu
tidak memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi agaknya ibunda tuan
Puteri tidak mengetahui, sehingga memanggilnya dan sekedar memberinya
pekerjaan di istana ini.”
Tohjaya tertawa. Katanya, “Pada suatu saat akulah yang akan mengajarnya dalam olah kanuragan.”
Alangkah sakit hati perwira prajurit yang
ada di atas bumbungan atap rumah itu. Bagaimana-pun juga ia menahan
hatinya, namun terasa juga tangannya gemetar.
Namun ia tidak mau melibatkan diri dalam
kesulitan. Karena itu, ia tidak berbuat apa-apa betapa-pun sakit
hatinya. Tetapi ia berusaha untuk pada suatu saat dapat bertemu dengan
guru Tohjaya itu. Ia ingin mengatakan dengan caranya, bahwa ilmu orang
itu-pun bukan ilmu yang paling sempurna, “Suatu kali, ia pasti akan
keluar dari istana untuk keperluan apapun. Aku atau orang itu yang akan
mati. Sikapnya sungguh memuakkan, seolah-olah ia memiliki nyawa rangkap
tujuh.”
Dalam pada itu, Sumekar dan Anusapati-pun
menjadi berdebar-debar. Kalau perwira yang ada dibumbungan atap itu
tidak dapat menahan hati, maka pasti akan terjadi sesuatu diarena
latihan itu.
Tetapi ternyata bahwa perwira itu tidak
berbuat apa”. Dengan sekuat tenaga ia menahan hatinya.. Meskipun
demikian, ia telah menanamkan suatu dendam di hati, dendam yang setiap
saat akan dapat meledak.
“Kalau Mahisa Agni datang,” berkata
perwira itu di dalam hatinya, “aku akan segera menyampaikannya. Mungkin
ia akan mengambil sikap tertentu.”
Tetapi agaknya justru Anusapati lah yang
tidak dapat menahan hati. Darah mudanyalah yang terasa telah menggelitik
jantung. Betapa-pun juga ia menahan diri, namun akhirnya ia berbisik,
“Paman, apakah aku boleh turun sebentar ke arena itu?”
Sumekar terkejut. Katanya, “Jangan
tuanku, Perwira yang bersembunyi di bumbungan atap itu-pun agaknya telah
menahan diri. Kenapa tuanku justru ingin terlibat dalam persoalan yang
akan berakibat panjang?”
“Ia tidak mengenal aku.”
“Tetapi kalau tutup wajah tuanku itu terlepas, maka semuanya akan rusak, juga pamanda Mahisa Agni akan terlibat.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, kenapa Sumekar telah menahannya.
“Hamba juga tidak akan berbuat apa-apa.
Hamba hanya ingin tahu, siapakah guru tuanku Tohjaya itu. Setelah hamba
tahu, hamba tidak berniat untuk berbuat itu. Juga karena tugas dari
pamanda Mahisa Agni, harus mengamati perwira itu. Sebab menurut
penilaian pamanda Mahisa Agni, meskipun ia belum tahu kemampuan guru
tuanku Tohjaya itu, namun dapat diperkirakan bahwa ilmunya agak lebih
tinggi dari perwira itu. Barulah apabila terjadi sesuatu, apalagi yang
mengancam jiwanya, hamba akan melerainya dengan cara hamba.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Namun tiba-tiba mereka telah terkejut,
sama sekali di luar dugaan bahwa sekali lagi perwira di atas bumbungan
itu berbuat kesalahan. Tanpa disadarinya, oleh kemarahan yang menyala
dihati, dan oleh pemusatan kehendak untuk menahan diri, tangannya telah
meremas sebatang kayu hiasan diatas bumbungan itu. Terdengar suara
gemeresak, kemudian sekeping kecil kayu telah berguling di atas atap,
kemudian jatuh dilongkangan-belakang.
Perwira itu sendiri ternyata telah
terkejut oleh katelanjurannya. Ia sadar, bahwa sepotong kecil kayu yang
terjatuh itu akan sangat menarik perhatian.
Sejenak ia termangu-mangu. Namun sejenak
kemudian ia berdesis, “Apaboleh buat. Aku sudah berusaha untuk tidak
membuat ribut di istana. Tetapi agaknya yang terjadi bukan yang aku
kehendaki.”
Karena itu, perwira itu mengikat selubung
hitamnya di wajahnya. Ia masih tetap berusaha untuk tidak dikenal, agar
ia dapat membatasi persoalan. Kecuali apabila ia kemudian tidak dapat
tetap berahasia.
Ternyata dugaan perwira prajurit itu
benar. Sepotong kecil kayu yang terjatuh dari atas itu telah menarik
perhatian mereka yang ada dilongkangan belakang. Dengan ragu-ragu guru
Tohjaya itu memungut sepotong kayu itu. Kemudian diamat-amatinya dengan
saksama. pecahan kayu itu masih baru, desisnya, “aneh.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Kemudian
ditengadahkan wajahnya. Tetapi perwira itu telah berusaha untuk
menyembunyikan diri dibalik bumbungan.
“Kepung bangsal ini,” perintah guru
Tohjaya, lalu “tuanku tetap disini. Aku akan keluar. Kedua pengawal itu
supaya berada di sebelah Utara dan Selatan bangsal.”
Kedua pengawal Tohjava itu tidak menunggu
perintah lagi. Mereka segera berlari-larian keluar dan yang seorang
berjaga-jaga disebelah Selatan yang lain disebelah Utara, sedang guru
Tohjaya atu-pun segera pergi kebagian Timur dari bangsal itu.
Perwira yang berada di atas bumbungan itu
tidak dapat bersembunyi lagi. Karena itu, ia-pun justru meloncat dan
bertengger di atas. Dalam pakaian hitam dan tutup wajah yang hitam,
perwira itu bagaikan hantu yang berjongkok di atas bangsal yang sedang
kosong karena Sri Rajasa sedang pergi berburu.
Keempat orang yang mencarinya itu hampir
bersamaan telah melihat perwira itu. Karena itu, maka guru Tohjaya-pun
segera berkata, “He, turunlah. Marilah kita berbicara. Apakah yang
sebenarnya kau kehendaki?”
Perwira itu tidak menjawab. Ia berjongkok
di atas bumbungan seperti acuh tidak acuh saja terhadap kata-kata guru
Tohjaya yang juga merangkap sebagai penasehat istana.
“Turunlah. Jangan memaksa aku meloncat
naik. Kalau terjadi keributan di atas atap, maka semua prajurit yang
sedang meronda akan melihat, dan kau tidak akan mendapat kesempatan
lagi. Tetapi kalau kau turun dan berbicara barang sejenak, maka masih
ada kemungkinan lain buatmu.”
Orang yang diatas atap itu sama sekali tidak menghiraukannya.
“Baiklah. Kalau kau tidak mau turun, akulah yang akan naik. Namun bersamaan dengan itu, maka para peronda-pun akan berdatangan.”
Karena orang yang di atas atap itu masih
diam, maka seperti tanpa bobot, guru Tohjaya itu-pun meloncat ke atas
atap. Dengan hati-hati ia merayap naik mendekati perwira prajurit yang
sudah lebih dahulu berada diatas. Namun demikian, ia selalu siap untuk
menghadapi kemungkinan apabila bayangan di atas atap itu tiba-tiba saja
menyerangnya.
Tetapi bayangan hitam diatas atap itu
tidak menyerang. Bahkan tanpa diduga-duga, bayangan itu bagaikan
terbang, terjun meluncur kebawah dan langsung terjun kelongkangan,
dihadapan Tohjaya yang berdiri termangu-mangu.
Gurunya yang juga menjadi penasehat Sri
Rajasa itu menjadi cemas. Karena itu, secepat kilat, ia-pun menyusulnya
terjun dilongkangan itu juga.
Tetapi ternyata orang yang berpakaian
hitam itu tidak berbuat sesuatu atas Tohjaya. ia hanya berdiri tegak
diatas kedua kakinya yang bagaikan tertancap jauh kedalam tanah.
Sejenak kemudian kedua guru Tohjaya itu sudah berhadapan. Tohjaya sendiri bergeser selangkah kesamping.
“Siapakah kau?” bertanya gurunya yang kasar itu.
Perwira prajurit yang berpakaian serba
hitam itu tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan nada suara yang dirobah
ia berkata, “Latihan yang menarik. Aku tidak mengira bahwa didalam
istana ada seorang guru yang begitu dahsyatnya seperti orang yang
sehari-hari menjadi penasehat raja. Seorang yang halus dan lembut.
Seorang yang ramah tamah dan rendah hati. Tetapi setelah aku melihat,
bagaimana ia melontarkan ilmunya, alangkah dahsyatnya.”
Penasehat raja itu mengerutkan keningnya.
Sekali lagi ia bertanya, “Siapakah kau? Kenapa kau berani masuk ke
dalam istana dan lebih-lebih lagi kelongkangan ini?”
Perwira itu tertawa. Ia masih berusaha
untuk merubah suaranya, “Kau tidak perlu mengetahui siapa aku. Aku dapat
menyebut lebih dari sepuluh nama yang semuanya tidak akan kau kenal.”
Penasehat raja itu berkata pula, “Apakah
kau menyadari apa yang kau lakukan ini? Aku dapat menangkapmu dan
menyerahkannya kepada Sri Rajasa.”
“Aku sadar,” jawab perwira itu, “tetapi aku juga dapat menghindarkan diri.”
“Jangan terlampau sombong. Di halaman
istana ini ada lebih dari lima puluh orang prajurit. Separo dari mereka
sedang bertugas di gardu-gardu. Yang lain siap untuk dibangunkan, dan
ikut menangkapmu, betapapun kau memiliki kemampuan berkelahi.”
Sumekar dan Anusapati heran mendengnr
kata-kata itu. Penasehat raja itu tetap dalam sikap yang sehari-hari
ditunjukkannya. Ia bukan seorang yang sombong, bahkan sedikit rendah
hati. Tetapi bagaimana mungkin ia dapat menuntun Tohjaya dalam latihan
yang begitu kasar dan di luar perhitungan, seolah-olah ilmu itu
diterimanya dari Kebo Sindet seperti yang sering dikatakan oleh Mahisa
Agni.”
Perwira prajurit itu-pun menjadi heran
pula. Penasehat raja itu tidak seperti yang diduganya. Kasar,
membentak-bentak dan kemudian menyerang dengan garangnya. Karena itu,
maka ia-pun mencoba memancing sikapnya yang sebenarnya, katanya, “Kenapa
kau berceritera tentang limapuluh orang prajurit yang ada didalam
istana ini? Kenapa kau tidak berkata bahwa kau sendiri dapat menangkap
aku atau membunuhku? Kenapa kau menyerahkan hal itu kepada limapuluh
orang prajurit di halaman ini?”
Penasehat raja itu tersenyum. Ditatapnya
orang berpakaian hitam dan berkerudung hitam pula menutupi wajahnya itu
tajam-tajam, seakan-akan ingin langsung menembus kain itu.
“Kenapa kau bertanya begitu? Lima puluh orang prajurit itu dapat menangkapmu. Itu sudah cukup.”
“Ya, kenapa limapuluh orang prajurit? Kenapa bukan kau sendiri?”
Ternyata jawab penasehat raja itu telah
mengejutkan mereka yang mendengarnya sekali lagi. Justru kali ini
Sumekar menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sesadarnya.
Ternyata orang yang disangkanya ramah
tamah, rendah hati dan lembut itu adalah orang yang paling sombong yang
pernah dilihat sepanjang hidupnya. Sambil tersenyum dengan nada yang
ramah dan merendah penasehat raja itu menyahut, “Ki Sanak. Aku kira
duapuluh lima orang prajurit itu sudah cukup. Tuanku Tohjaya dan kedua
pengawalnya tidak usah ikut bersusah payah membantu mereka menangkapmu.
Adalah jarang sekali seseorang besar yang bernilai sama dengan limapuluh
orang prajurit itu.”
Perwira itu termangu-mangu sejenak.
“Karena itu Ki Sanak, jangan mengharap
aku turun tangan. Kalau lima puluh orang prajurit itu gagal menangkapmu
barulah kau memaksa aku untuk berbuat sesuatu. Sebab, agaknya Ki Sanak
masih belum terlampau masak untuk mencoba menggerakkan aku untuk berbuat
sesuatu.
Jawaban itu benar-benar telah menyayat
jantung perwira itu. Alangkah sakit hatinya. Penasehat raja itu agaknya
mempunyai suatu keahlian yang tidak diduganya. Merendahkan orang lain
dengan gayanya yang khusus, seolah-olah ia adalah seorang yang ramah
tamah dan rendah hati.
“Ki Sanak,” berkata penasehat itu, “aku
adalah orang yang tidak ingin menunjukkan kemampuanku kepada siapapun.
Karena itu aku melatih tuanku Tohjaya dengan bersembunyi dilongkangan
ini. Aku adalah orang yang paling rendah hati diseluruh istana ini. Aku
adalah orang yang tidak pernah menyombongkan diri dengan segala macam
cara, karena aku adalah orang yang yakin akan nilai dan harga diriku
sendiri.”
Dada perwira itu benar-benar hampir
meledak karenanya. Adalah orang yang paling sombong sajalah yang
mengatakan dengan merundukkan kepalanya, bahwa ia adalah orang yang
tidak pernah menyombongkan dirinya.
“Nah,” berkata penasehat raja itu,
“karena itu, sebaiknya kau berterus terang, siapakah kau dan apakah
maksudmu datang kemari dimalam hari. Apakah kau sekedar ingin tahu
apakah kau sengaja mencuri ilmu yang aku berikan kepada tuanku Tohjaya?”
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab sambil mengangguk dalam-dalam, “Ya. Sebenarnyalah
aku pernah mendengar seseorang yang memiliki ilmu termulia di dunia.
Seorang yang rendah hati dan sama sekali seperti pengakuannya sendiri,
bukannya seorang yang sombong. Karena itulah maka aku memerlukan datang
keistana Singasari untuk melihat, apakah benar-benar seperti kata orang,
bahwa seorang penasehat raja Singasari ini benar-benar memiliki ilmu
yang tanpa tanding,” orang berpakaian hitam itu berhenti sejenak, lalu
“tetapi aku agak kecewa bahwa ia lebih senang mempergunakan lima puluh
orang prajurit untuk menangkap aku daripada ia melakukannya sendiri.
Karena sebenarnyalah, aku dapat mengalahkan tidak hanya limapuluh orang
prajurit, tetapi lebih dari tujuhpuluh lima. Tetapi aku tidak pernah
mengatakannya kepada siapapun, karena aku tidak mau disangka sebagai
seseorang yang tidak terkalahkan, apalagi diketahui bahwa ternyata
ilmuku lebih tinggi dari penasehat raja yang rendah hati ini.”
Sumekar dan Anusapati mengumpat di dalam
hati. Ternyata perwira itu mampu juga bersombong setinggi langit, mereka
melihat wajah penasehat raja itu menjadi tegang.
Sejenak guru Tohjaya yang kasar itu
tercenung. Ia tidak menyangka bahwa ada seseorang yang dapat menyamai
sikapnya. Sombong, namun diselubungi dengan kata-kata yang ramah dan
lembut.
Karena itu, kemarahannya yang tertahan
dan selalu disaput dengan sikap yang ramah itu mulai pudar. Wajahnya
perlahan-lahan menegang.
“Jangan mengungkat kemarahanku Ki Sanak,” berkata penasehat itu, “aku benar-benar dapat membunuhmu.”
“Aku sudah terlanjur masuk kedalam
halaman ini. Bagaimana-pun juga aku pasti akan ditangkap dan dihukum.
Karena itu, lebih baik kita mencoba membuktikan, apakah benar guru
putera Sri Rajasa itu tidak terkalahkan? Aku datang dari jauh. Aku akan
kecewa sekali, kalau aku terpaksa membunuh limapuluh orang prajurit yang
tidak bersalah. Apakah tidak lebih baik seorang saja?”
“Gila,” tiba-tiba wajahnya yang sehari-hari tampak lembut itu mengeras. “Jangan membuat aku marah.”
“Maaf Ki Sanak. Aku memang mencari jalan
membuat Ki Sanak marah. Semula aku sudah hampir putus asa. Orang seramah
dan selembut kau pasti tidak akan dapat marah bagaimana-pun juga aku
berusaha.”
Penasehat itu berusaha menahan diri
sekuat tenaga. Namun ledakan-akan yang terjadi didadanya telah
memaksanya berkata, “Kau memang pantas untuk ditangkap dan dihukum
paling berat di halaman depan istana disaksikan oleh seluruh isi
istana.” Orang itu berhenti sejenak, lalu “eh, maksudku, dihukum
dialun-alun disaksikan oleh seluruh rakyat. Nah. jangan menyesal. Aku
benar-benar akan menangkapmu, dan menyerahkan kau kepada Sri Rajasa,
apakah Sri Rajasa nanti kembali dari berburu.”
“Kaukah yang akan menangkap? Ternyata aku telah mendapat kehormatan tertinggi di istana ini.”
Wajah penasehat raja itu menjadi semakin
tegang. Kini ia tidak dapat menyembunyikan kemarahannya lagi. Dengan
demikian maka watak yang sebenarnya-pun perlahan-lahan muncul
dipermukaan sikapnya.
“Kau terlampau sombong,” suaranya mulai kasar, “apakah kau sangka kau bernyawa rangkap.”
“Tidak. Aku tidak menyangka demikian. Aku
hanya ingin membuatmu marah dan mendapat kehormatan berkelahi dengan
seorang penasehat raja, guru yang terpercaya dari putera Sri Rajasa,
meskipun kau dengan masih harus dibantu oleh seorang guru yang lain,
seorang perwira prajurit saudara sepupu Ken Umang.”
“Bohong,” penasehat itu membentak, “aku
sama sekali tidak memerlukannya. Persetan dengan orang itu. Sebenarnya,
ia tidak mempunyai ilmu apapun.”
“Jika demikian, orang itu pasti tidak
akan mendapat kepercayaan untuk menggurui dua orang putera Sri Rajasa
sekaligus. Apalagi yang seorang adalah Putera Mahkota.”
“Ya. Perwira itu hanya pantas menjadi
guru Putera Mahkota, yang tidak lebih dari seorang perempuan yang lemah.
Sebentar lagi Putera Mahkota itu tidak akan berarti apa-apa bagi
Singasari. Dan Singasari akan mempunyai seorang putera yang perkasa,
menjadi Putera Mahkota atau bukan, namun ditangannyalah kelak kekuatan
Singasari akan berpusat.”
“Dan orang itu adalah tuanku Tohjaya ini?” sahut perwira yang berkerudung hitam itu.
“Ya.”
(Bersambung jilid ke 65)
No comments:
Write comments