SEKALI lagi Ken Umang
berpaling sambil tersenyum. Sebuah panji-panji kemenangan telah
berkibar di hatinya. Ia telah berhasil menundukkan seekor burung
rajawali yang menguasai seluruh langit.
“Hamba minta diri, Tuanku. Hamba mohon maaf apabila Tuanku tidak berkenan di hati,” berkata Ken Umang.
“Pergilah.”
“Hamba Tuanku, mungkin hamba memang sudah tidak diperlukan lagi.”
“Aku bukan pengecut!”
Ken Umang menganggukkan kepalanya.
Kemudian sambil melambaikan tangannya Ken Umang menggerakkan kudanya,
dan meluncur di antara semak-semak perdu dan batang-batang ilalang.
Ketika Ken Umang hilang dibalik
rerungkutan, maka Ken Arok pun menarik nafas dalam-dalam. Kini ia
mempunyai kesempatan untuk menilai dirinya.
“Aku sudah dijebaknya,” desisnya, “tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari gairah hidupnya yang menyala-nyala.”
Dan tiba-tiba teperciklah pengakuannya, “Agaknya aku memang memerlukannya. Aku memang memerlukan yang lain dari Ken Dedes.”
Tiba-tiba Ken Arok menghentakkan kakinya.
“Mudah-mudahan aku tidak terjerumus ke
dalam kesulitan karenanya,” desisnya. Namun demikian terbayanglah
selembar mendung yang akan mengambang di langit Tumapel.
“Apa boleh buat.”
Sambil menundukkan kepalanya Ken Arok pun
kemudian berjalan kembali ke tempat pengawalnya menunggu. Dicobanya
untuk menghilangkan kesan dari apa yang telah terjadi. Tidak seorang
pun yang boleh tahu, setidak-tidaknya untuk sementara waktu.
Demikianlah, maka Ken Arok pun kembali ke
tengah-tengah pengawalnya tanpa memberikan jawaban apapun ketika
pengawalnya bertanya tentang orang berkuda itu.
“Aku tidak menemukannya,” jawabnya, “mungkin kalau aku juga mempergunakan seekor kuda, aku dapat mengejarnya.”
Pengawalnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun masa berburu kali ini tidak begitu
menarik lagi bagi Ken Arok. Ia sendiri tidak begitu gairah mengejar
binatang-binatang buruannya. Bahkan belum lagi sepanjang waktu yang
direncanakan Ken Arok sudah memerintahkan orang-orangnya untuk bersikap
kembali ke padang Karautan.
Ken Arok sendiri tidak dapat mengerti,
kenapa justru dalam keadaan yang demikian wajah Ken Dedes selalu
terbayang di pelupuk matanya.
“Kita percepat masa berburu kali ini,” katanya kepada pengawalnya.
Pengawalnya menjadi heran. Tetapi tidak seorang pun yang bertanya.
“Besok pagi-pagi kita tinggalkan tempat ini.”
Para pengawalnya hanya saling berpandangan.
“Apa yang sudah kita dapat dari perburuan kita kali ini?”
“Dua helai kulit harimau. Satu helai loreng dan satu helai hitam. Sepasang tanduk menjangan branggah,” jawab pengawalnya.
“Baru itu?”
“Hamba Tuanku.”
Ken Arok mengerutkan keningnya.
“Badak bercula satu yang Tuanku inginkan
masih belum kita dapatkan,” berkata pengawalnya pula, kemudian, “dan
bagaimana dengan kulit lembu liar yang kita panggang hari ini?”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Baiklah. Tetapi itu sudah cukup. Aku ingin mengalasi tempat
dudukku dengan kulit harimau loreng itu, untuk mengganti alas yang
sudah tua. Bukankah kau sertakan kepala harimau itu pula.”
“Hamba Tuanku.”
“Sudah cukup. Kita akan segera kembali ke padang Karautan. Ken Dedes pasti sudah menunggu.”
Maka ketika matahari terbit di pagi
harinya, iring-iringan itu pun telah meninggalkan hutan perburuan
kembali ke taman di sebelah padukuhan Panawijen yang baru. Derap
kaki-kaki kuda yang melontarkan debu di atas rerumputan yang kering di
padang Karautan segera menarik perhatian orang-orang yang tinggal di
padukuhan baru itu.
“Akuwu sudah kembali.”
“Ya, Akuwu sudah kembali.”
Beberapa orang pengawal yang berada di
taman di seputar belumbang, yang mengawal pesanggrahan Ken Dedes pun
segera melihat mereka pula.
“Agak lebih cepat dari rencana,” desis para pengawal yang tinggal di pesanggrahan.
Ken Dedes yang segera diberi tahu pun
menjadi heran. Bahkan ia menjadi cemas, kalau sesuatu telah terjadi
sehingga masa berburu itu dipercepat.
Karena itu maka dengan tergesa-gesa ia berkemas untuk menyambut kedatangan suaminya.
Tetapi ternyata Ken Arok yang berkuda di paling depan, tampak segar bugar.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Ketika Ken Arok kemudian meloncat turun dari kudanya, Ken Dedes segera
mendekatinya sambil berkata, “Hamba menjadi cemas Tuanku, karena justru
rombongan ini datang terlampau cepat dari rencana. Syukurlah, kalau
tidak terjadi sesuatu atas Tuanku.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar sambutan
itu. Seperti anak-anak yang merasa bersalah, maka sebelum Ken Dedes
bertanya lebih lanjut, ia berkata, “Tetapi aku tidak sengaja mengubah
rencana ini Ken Dedes. Tiba-tiba saja aku ingin kembali. Seakan-akan
sudah terlampau lama kita tidak bertemu.”
“Ah,” Ken Dedes menjadi kemerah-merahan.
Tetapi ia benar-benar tidak mengerti kenapa Ken Arok itu tiba-tiba
menggandengnya, masuk ke dalam perkemahan.
Tingkah laku Ken Arok benar-benar membuat
Ken Dedes menjadi heran. Meskipun Ken Arok adalah seorang suami yang
baik sejak mereka kawin, namun tiba-tiba saja Ken Arok menjadi seperti
seorang pengantin yang baru saja dipertemukan di pelaminan.
Tetapi Ken Dedes tidak menaruh prasangka
apapun. Ia menyangka bahwa sesuatu sedang bergetar di dalam dada Ken
Arok. Mungkin ia sedang tidak berminat untuk berburu di hutan, atau
kelelahan yang mencengkamnya. Mungkin badannya tetapi juga mungkin
pikirannya.
Sebagai seorang istri yang baik, Ken Dedes berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.
Namun kegelisahan yang kadang-kadang
mencengkam Ken Arok sehingga mempercepat detak jantungnya, teraba oleh
perasaan halus seorang istri. Meskipun Ken Arok berusaha bersikap
sebaik-baiknya, tetapi tangan Ken Dedes merasakan getar yang tidak
wajar pada arus darah suaminya.
Meskipun demikian Ken Dedes tidak segera
bertanya sesuatu. Ia mengharap bahwa ia akan menemukan kesempatan atau
bahkan Ken Arok sendiri akan mengatakannya.
Tetapi Ken Arok tidak mengatakan sesuatu.
Sehari Ken Dedes menunggu. Bahkan di hari berikutnya. Ken Arok sama
sekali tidak mengatakan apa-apa kepadanya.
“Mungkin akulah yang berangan-angan,”
berkata Ken Dedes di dalam hatinya, sehingga dengan demikian ia sama
sekali tidak lagi berniat untuk bertanya, meskipun sikap Ken Arok
kadang-kadang masih menumbuhkan pertanyaan di dalam dirinya.
Demikianlah, maka musim berburu kali ini
telah menimbulkan persoalan baru di dalam istana Tumapel. Persoalan
yang akan berekor panjang sekali.
Pada saatnya, maka rombongan Akuwu pun
kembali dari padang Karautan. Meskipun hasil buruan mereka kali ini
tidak begitu banyak, tetapi kesan yang dalam telah terpahat di hati Ken
Arok. Kesan yang selalu diusahakannya untuk tetap tersembunyi di dasar
hati.
Namun yang tidak disangka-sangka telah
terjadi. Di antara rakyat dari padukuhan Panawijen lama yang sedang
melambai-lambaikan tangan mereka, ketika mereka melepaskan Ken Arok dan
Ken Dedes kembali ke istana. terdapat seseorang yang hampir tidak
mengerti atas penglihatannya sendiri. Hampir tanpa berkedip dicobanya
untuk mengerti, apakah yang duduk di atas punggung kuda di samping
tandu Ken Dedes.
“Bukankah yang berkuda itu adalah Akuwu yang baru?” ia bertanya kepada seseorang yang berdiri di sampingnya.
“Ya. Ken Arok. Ia jugalah yang membantu
kami membangun bendungan itu. Ia jugalah yang atas perintah Akuwu
Tunggul Ametung membangun taman yang sekarang dipakainya sendiri
sebagai pesanggrahan.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian kepalanya digeleng-gelengkannya tanpa sesadarnya.
“Kenapa?” bertanya orang di sampingnya.
“Tidak apa-apa,” jawabnya.
“Apakah kau heran? Memang jalan hidup
seseorang kadang-kadang mengherankan. Tetapi sejak ia masih seorang
pelayan dalam, ia sudah menunjukkan beberapa kelebihan.”
Orang yang bertanya tentang Ken Arok itu mengangguk-angguk.
“Kalau kau melihat sendiri waktu itu, kau
akan sependapat dengan aku, bahwa sudah selayaknyalah ia menjadi
seorang Akuwu dan suami Ken Dedes.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku memang mengaguminya,” katanya kemudian.
Iring-iringan Akuwu itu pun semakin lama
menjadi semakin jauh. Namun orang yang keheran-heranan itu masih saja
berdiri di tempatnya. Bahkan sambil mengusap-usap matanya ia berkata
kepada diri sendiri, “Apakah aku sudah tidak dapat membedakan
penglihatan atas orang-orang Tumapel?”
Akhirnya ketika orang-orang Panawijen
telah meninggalkan tempatnya, orang itu pun berjalan dengan kepala
tunduk, seakan-akan sedang menghitung langkahnya sendiri.
“Aneh. Menurut pendengaranku, orang yang
membunuh Empu Gandring itu jugalah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung,
bernama Kebo Ijo,” desah orang itu di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba ia terkejut sekali sehingga selangkah ia terloncat.
“He, kau terkejut,” bertanya seseorang yang menggamitnya.
“Hem,” orang itu menarik nafas dalam-dalam, “sedikit.”
“Kenapa kau begitu mudah terkejut? Apalagi di siang hari begini?”
“Aku sedang memikirkan sesuatu,” berkata
orang itu. Dan nada suaranya tiba-tiba merendah, “Aku berpikir tentang
Akuwu itu, Agni.”
Mahisa Agni, orang yang telah mengejutkan itu, mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Kenapa dengan Akuwu itu?”
Orang itu tidak segera menyahut. Baru sejenak kemudian ia bertanya, “Kau telah dikenalnya dengan baik.”
“Ya.”
“Kau sudah menjadi keluarga dari Akuwu berdua.”
“Ya.”
Orang itu tidak melanjutkan kata-katanya, sehingga Mahisa Agni bertanya kepadanya.
“Kenapa?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah ada sesuatu yang menarik perhatianmu?”
Sejenak orang itu berpikir. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak apa-apa.”
Namun jawaban itu justru telah membuat Mahisa Agni bertanya-tanya di dalam hati. Dipandanginya orang itu tajam-tajam.
“Aku melihat sesuatu tersembunyi di dalam
hatimu,” Mahisa Agnilah yang kini bertanya. “Ken Dedes adalah adikku.
Mungkin aku dapat menjelaskan teka-teki yang barangkali mengganggumu.”
Orang itu berpikir sejenak. Namun sekali lagi ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak ada apa.”
Jawaban itu justru merupakan teka-teki
yang sulit sekali bagi Mahisa Agni. Karena itu, maka ia menjadi semakin
ingin mengetahui, apakah yang menjadi sebabnya, sehingga orang itu
menaruh perhatian yang asing kepada suami istri itu.
Karena itu maka ia pun mendesak, “Ada sesuatu yang menarik perhatianmu. Dan hal itulah yang ingin aku ketahui.”
Orang itu menggelengkan kepalanya, “Tidak ada apa-apa.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak dapat memaksa orang itu untuk mengatakan sesuatu
kepadanya. Karena itu sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apa
boleh buat. Tetapi sikapmu mengatakan kepadaku, bahwa ada sesuatu yang
kau anggap aneh pada Akuwu dan istrinya.”
“Tidak. Kau berprasangka.”
Mahisa Agni pun kemudian meninggalkannya
sendiri. Sejenak orang itu masih berdiri di tempatnya. Kemudian dengan
langkah gontai ia pun pergi ke padukuhan baru dari rakyat Panawijen.
Namun ternyata penglihatannya itu
benar-benar telah mengganggu perasaannya. Ketika malam datang, sekejap
pun ia tidak dapat memejamkan matanya. Wajah Akuwu yang baru itu selalu
membayang di pelupuk matanya, sehingga bayangan itu kemudian menjadi
beban yang semakin lama semakin berat di hatinya.
“Matakulah yang agaknya sudah rabun,” katanya di dalam hati, “seharusnya aku tidak menghiraukannya.”
Ditutupnya wajahnya dengan kedua belah tangannya. Kemudian ia pun menelungkup. Tetapi wajah Akuwu masih tetap membayanginya.
“Kenapa wajah ini tidak mau pergi?” desisnya.
Namun bagaimanapun juga ia berusaha, wajah itu tetap membayang, bahkan semakin lama semakin jelas.
“Ya, wajah itu. Aku yakin,” tiba-tiba ia menggeram.
“Oh, gila,” desahnya kemudian, “aku sudah menjadi gila.”
Orang itu pun kemudian bangkit dari
pembaringannya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dari biliknya, yang
berada di gandok banjar padukuhan Panawijen baru.
Ketika ia berada di halaman banjar,
terasa hatinya menjadi sedikit tenteram. Terasa sejuknya malam menyusup
sampai ke pusat jantungnya.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “ternyata aku tidak sedang bermimpi. Tetapi apakah aku harus berterus terang?”
Orang itu tidak segera menemukan
jawabnya. Ketika hatinya masih juga diamuk oleh kebingungan. maka
kakinya telah membawanya melangkah keluar halaman banjar, turun ke
jalan yang membujur di tengah-tengah padukuhan.
Tanpa sesadarnya ia kemudian berjalan
selangkah demi selangkah. Ketika para peronda di gardu di depan banjar
bertanya kepadanya, maka jawabnya, “Udara terlampau panas. Aku tidak
dapat tidur, sehingga aku ingin berjalan-jalan menyejukkan diri
sejenak.”
Tidak seorang pun yang mencurigainya. Orang itu adalah tamu terhormat bagi Panawijen, karena ia adalah tamu Mahisa Agni.
Namun meskipun orang itu telah berjalan
hampir mengitari padukuhan, hatinya masih juga disaput oleh
kegelisahan. Bayangan yang mengerikan selalu mengikutinya. Bukan
sekedar bayangan Akuwu Tumapel, istrinya Ken Dedes. Tetapi tiba-tiba
saja ia melihat wajah yang hampir dilupakannya, Empu Gandring.
“Oh, aku akan menjadi benar-benar gila.”
Dan orang itu sama sekali tidak ingin
gila. Karena itu, maka di pagi harinya, setelah semalam suntuk ia tidak
berhasil memejamkan matanya sekejap pun, ia menemui Mahisa Agni.
“Mahisa Agni,” katanya, “aku minta diri. Hari ini aku akan kembali ke Lulumbang.”
“He,” Mahisa Agni terkejut, “kenapa begitu tergesa-gesa?”
“Aku sudah beberapa hari berada di sini.”
“Tetapi sampai kemarin kau sama sekali belum merencanakan untuk segera pulang hari ini.”
“Tentu sudah. Hanya barangkali aku belum mengatakannya kepadamu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
menjadi semakin tidak mengerti akan sikap orang itu. Dan ia berterus
terang mengatakannya. “Aku menjadi bingung sejak kemarin melihat
sikapmu yang asing itu. Aku kira kau memang menyimpan sesuatu di dalam
hatimu. Apakah kau tidak lebih baik berterus terang kepadaku?”
Orang itu mengerutkan keningnya.
“Aku tahu, bahwa kau telah dibebani oleh
sesuatu. Kalau kau menyimpannya di dalam hatimu, maka kau akan selalu
merasa gelisah. Tetapi kalau kau mau mengatakannya, barangkali aku
dapat membantumu, memperingan beban itu.”
Tetapi orang itu menggeleng.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni.
Tatapan mata orang itu melontar jauh sekali.
“Katakan. Kalau itu suatu rahasia, maka aku berjanji, bahwa aku pun akan merahasiakannya.”
Kini orang itu memandang wajah Mahisa
Agni. Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Agni. Aku tidak ingin bahwa
karena salah sangka, atau prasangka-prasangka yang tidak pada
tempatnya, menyebabkan ketenangan yang sudah pulih kembali di Tumapel
ini terguncang.”
“He,” jawaban orang itu benar-benar tidak
disangka-sangka oleh Mahisa Agni. sehingga ia menjadi sangat terkejut
karenanya, “apakah kau melihat sesuatu yang dapat menimbulkan
keguncangan seperti yang kau katakan? Kalau benar demikian, kau pasti
melihat sesuatu yang sangat penting.”
“Tetapi kau jangan mempercayai aku. Aku
tidak mempunyai ketajaman penglihatan dan ingatan seperti seorang
prajurit atau petugas-petugas apapun. Aku hanya sekedar seorang cantrik
padepokan yang tidak berharga.”
“Bukan kau yang menentukan. Tetapi persoalan yang kau lihat itu.”
Orang itu, salah seorang cantrik dari
padepokan di Lulumbang, tidak segera menyahut. Dadanya masih saja
diamuk oleh keragu-raguan yang sangat. Kalimat demi kalimat yang sudah
tersusun dan terkumpul di bibirnya. tiba-tiba ditelannya kembali.
“Lebih baik aku tidak mengatakan sesuatu,
Agni,” berkata orang itu kemudian, “biarlah aku minta diri. Datanglah
sering ke Lulumbang. agar padepokan itu tidak menjadi terlalu sepi
sepeninggal Empu Gandring.”
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku bukan anak-anak lagi. Aku dapat menimbang,
mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu, katakanlah.”
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam.
“Aku tidak mau. karena kesalahan penglihatanku, Tumapel menjadi keruh kembali.”
“Katakan. Katakan,” desak Mahisa Agni.
Dada cantrik itu bergelora dahsyat
sekali. Hampir saja ia tidak dapat menahan diri, sehingga syarafnya
benar-benar terpengaruh oleh persoalan yang disimpannya.
“Jagalah dirimu sendiri,” bisik Mahisa
Agni, “kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tekanan perasaanmu
siang dan malam. Tetapi apabila hal itu sudah kau katakan, maka apapun
akibatnya, namun dadamu akan menjadi lapang.”
“Apakah aku harus mementingkan diriku sendiri?” ia bertanya.
“Apakah kau yakin bahwa akibatnya akan selalu jelek?”
“Ya.”
“Kau salah sangka. Sekali lagi aku
katakan, kalau hal itu kau anggap rahasia, aku akan merahasiakannya.
Kalau kau keliru, aku akan membantu menemukan kebenarannya, kalau aku
mampu.”
Sekali lagi cantrik itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah Agni, tetapi
mudah-mudahan aku keliru atau kau tidak mempercayainya.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
Dibiarkannya cantrik itu menelan ludahnya, kemudian berkata
tersendat-sendat, “Agni. Menurut penglihatanku, orang yang bernama Ken
Arok itulah yang pernah datang ke padepokan Empu Gandring pada saat
Empu Gandring terbunuh.”
“He,” serasa darah Mahisa Agni terhenti
sesaat. Dipandanginya cantrik itu dengan tajamnya, sehingga kepalanya
tertunduk dalam-dalam.
Mahisa Agni tersadar ketika ia mendengar cantrik itu berkata, “Mudah-mudahan aku keliru.”
Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang
untuk menenangkan gejolak di dalam dadanya. Kemudian ia berdesis
perlahan-lahan, “Tetapi bukankah orang yang datang waktu itu ke
padepokan memakai kalung yang berwarna kekuning-kuningan.”
“Ya. Orang itulah yang memakainya.”
tetapi kemudian dilanjutkannya, “sekedar menurut penglihatanku Agni.
Apalagi waktu itu malam hari. Lentera di regol halaman tidak begitu
terang dan mataku barangkali memang sudah rabun.”
Mahisa Agni seolah-olah membeku untuk sejenak. Ia tidak menyangka bahwa ia akan mendengar keterangan serupa itu.
“Sudahlah Agni, jangan kau hiraukan. Aku
hanya sekedar mengurangi beban yang memberati dadaku seperti yang kau
sarankan. Aku tidak bermaksud menuduh Akuwu itu bersungguh-sungguh.”
“Tunggulah sebentar,” berkata Mahisa Agni, “bagaimana pendapatmu tentang Kebo Ijo?”
“Aku belum pernah mengenal Kebo Ijo.”
“Tetapi bentuk tubuhnya jauh berbeda
dengan Ken Arok, sehingga seandainya yang datang waktu itu benar-benar
Kebo Ijo, kau pasti tidak akan keliru bahwa yang datang itu adalah
orang yang sekarang menjadi Akuwu.”
“Entahlah Agni. Sudah aku katakan, aku dapat keliru. Dan kemungkinan itulah yang terbesar dapat terjadi.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia berkata, “Sebaiknya kau tidak pulang ke Lulumbang.”
“Kenapa?”
“Kau tetap tinggal di padukuhan ini.”
“Maksudmu?”
“Demi keamananmu. Meskipun seandainya kau
keliru, tetapi apabila orang yang pernah kau lihat itu benar bukan
Kebo Ijo, dan kini ia masih hidup, maka ia akan berusaha untuk
menghilangkan dan melenyapkan semua saksi, termasuk kau.”
Tetapi cantrik itu menggeleng, “Kalau hal
itu akan dilakukan Agni, waktunya sudah cukup lama. sejak Empu
Gandring terbunuh. Ternyata aku masih tetap hidup sampai ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Tetapi ia menjawab, “Mungkin sampai saat ini kau tidak termasuk
hitungan. Tetapi apabila pembunuh itu teringat, bahwa kau masih ada,
maka kau akan terancam.”
“Kalau hal itu terpaksa terjadi Agni, aku
akan mengalaminya dengan senang hati. Sebagai tanda setiaku kepada
Empu Gandring yang sudah terbunuh lebih dahulu.”
“Kalau persoalannya hanya sekedar itu,
biarlah kau terbenam dalam kesetiaanmu itu. Tetapi mungkin kau yang
masih tetap hidup sangat diperlukan. Apalagi kalau ternyata bahwa
pembunuhnya benar bukan Kebo Ijo. karena aku ikut menentukan, pada saat
Kebo Ijo dihukum mati.”
Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu,
“Memang mungkin orang yang datang itu bukan Kebo Ijo sendiri, tetapi
pesuruhnya, namun apabila ada pembuktian yang lebih nyata, maka hukuman
atas Kebo Ijo menjadi semakin mantap.”
“Tetapi sebaiknya aku kembali ke Lulumbang Agni. apapun yang akan terjadi. Bertahun-tahun aku berada di padepokan itu.”
Cantrik itu berhenti sejenak, “aku
menyesal bahwa aku telah berkunjung kemari pada saat Akuwu datang pula,
untuk berburu, sehingga khayalanku sudah terkacau oleh penglihatanku
yang kacau pula.”
Sekali lagi ia berhenti lalu, “Maafkan
aku Agni bahwa aku telah menumbuhkan prasangka di dalam dirimu. Tetapi
lupakanlah kata-kataku semua. Anggaplah semuanya itu sebagai bualan
yang tidak berharga sama sekali.”
Kepala Mahisa Agni terangguk perlahan.
Cantrik itu alah cantik pamannya sejak ia masih terlalu muda, sehingga
karena itu padepokan Lulumbang seolah-olah adalah tempat kelahirannya
sendiri.
Namun demikian Mahisa Agni masih mencoba
menahannya. Katanya, “Aku tahu bahwa tidak ada tempat lain bagimu
selain Lulumbang. Kesetiaanmu kepada Paman Empu Gandring menumbuhkan
perasaan haru padaku. Tetapi kesetiaanmu dapat juga berbentuk lain.
Bukan sekedar menunggui padepokan itu.”
Mahisa Agni berhenti sejenak, kemudian
katanya, “Aku adalah kemenakannya. Kematian paman telah mengguncangkan
jantungku. Dan aku tidak sekedar menangisinya. Kalau memang ada suatu
jalan yang lebih baik bagimu dan bagiku untuk menyatakan kesetiaan itu,
maka marilah jalan itu kita tempuh.”
“Maksudmu?” bertanya cantrik itu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian, “Kita akan melihat bersama-sama. Meskipun persoalan
Empu Gandring dan Akuwu Tunggul Ametung dianggap sudah selesai, namun
apa salahnya kita melihat kebenaran, apabila itu masih memungkinkan.
Kalau kita kemudian berkesimpulan, apa yang terjadi itu sudah benar,
kita akan menjadi lebih mantap. Tetapi kalau kebenaran itu tidak
seperti yang telah kita lakukan, betapa pahitnya kita harus berani
melihat dan mengakui kesalahan, dan sekaligus harus berani meluruskan
yang salah itu.”
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam.
Terdengar ia bergumam, “Itulah yang aku cemaskan sejak semula. Karena
itu lebih baik aku tidak mengatakan apa-apa.”
“Jangan bersikap begitu. Kalau kau
melihat kesalahan, janganlah kesalahan itu kau endapkan saja di dalam
hatimu, meskipun kau tahu, itu akan menjadi racun sepanjang hidupmu.
Karena apabila demikian, maka apa yang terjadi seterusnya, adalah
perbuatan-perbuatan yang beralaskan kesalahan itu.”
“Tetapi sebaiknya kau berpendirian lain Agni. Anggaplah bahwa mataku sekarang inilah yang salah.”
“Kita tidak dapat menganggap yang salah
itu benar dan yang benar itu salah. Anggapan yang demikian adalah
pengingkaran atas kenyataan.”
Cantrik itu termenung sejenak. Dan Mahisa
Agni berkata seterusnya, “Kau harus menunjukkan kesetiaanmu kepada
paman Empu Gandring. Kalau tuduhan kita atas Kebo Ijo itu memang
keliru, dan kau dapat menemukan pembunuh yang sebenarnya, kamu telah
berbuat kebajikan atas paman yang sudah terbunuh itu.”
“Tetapi tidak,” orang itu tiba-tiba
berkata dengan nada yang tinggi. Terbayang kecemasan merambat di
wajahnya, “aku tidak mau melibatkan diriku dalam kesulitan yang dapat
mengguncang ketenangan Tumapel.”
Tetapi Mahisa Agni menepuk pundaknya,
“Kau sama sekali tidak gentar apapun yang terjadi atasmu, apabila kau
kembali ke Lulumbang, demi kesetiaanmu kepada paman Empu Gandring.
Apakah kau dihinggapi oleh perasaan cemas apabila kau menempuh jalan
lain untuk menyatakan kesetiaanmu itu?”
Cantrik itu tidak menjawab.
“Nah, bagaimana pendapatmu?”
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesah, “Apakah maksudmu, dan apakah yang sebaiknya aku lakukan?”
Mahisa Agnilah yang kemudian menarik
nafas dalam-dalam. Matanya yang redup memandang jauh kepada
bayangan-bayangan matahari yang bermain di dedaunan.
“Kita akan mencari jalan untuk melakukannya,” desis Mahisa Agni.
Cantrik itu berdiam diri sejenak.
“Kau tetap tinggal di sini,” berkata Mahisa Agni, “Aku akan pergi ke Tumapel.”
“Apakah yang akan kau lakukan?”
“Aku akan melihat dan mendengar lebih
banyak tentang Ken Arok dan Ken Dedes. Saat itu perhatian kita
seakan-akan sudah dibatasi oleh tuduhan yang mantap atas Kebo Ijo,
sehingga kita tidak mendapat kesempatan untuk mencari
keterangan-keterangan lain.”
“Mudah-mudahan kau tidak menemukan apa-apa.”
“Mudah-mudahan. Tetapi kita tidak dapat puas dengan apa yang sudah terjadi.”
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau setuju?”
“Kalau itu yang kau kehendaki, aku akan mencobanya.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Agni kemudian,
“dengan demikian kau akan tetap tinggal di sini. Akulah yang besok akan
segera menyusul Akuwu.”
Demikianlah, maka Mahisa Agni menemukan
bahan baru yang terpaksa diperhatikannya, karena cantrik itu adalah
satu-satunya saksi yang masih hidup, yang melihat sendiri orang yang
datang ke padepokan pada saat Empu Gandring terbunuh. Karena itu
keterangannya itu, mau tidak mau harus mendapat tanggapannya.
Betapa pahitnya apabila ternyata apa yang sudah diputuskan itu ternyata keliru.
Di hari berikutnya. Mahisa Agni minta
diri kepada Ki Buyut Panawijen dan kawan-kawannya untuk pergi ke
Tumapel tanpa mengatakan keperluannya yang sebenarnya. Ia masih tetap
merahasiakan keterangan cantrik yang masih belum dapat dipastikan
kebenarannya itu.
Namun pengenalannya atas Ken Arok sebelum
anak muda itu menemukan jalan yang baik, tiba-tiba telah mempengaruhi
Mahisa Agni pula. Terbayang wajah anak muda yang kasar dan liar di
padang Karautan. Anak muda yang melakukan seribu macam kejahatan
sebelum ia menemukan jalan yang lurus di istana Tumapel atas tuntunan
seorang pendeta yang bernama Lohgawe.
“Aku harus mendapat keterangan
selengkap-lengkapnya tentang anak muda itu, apa yang sudah dilakukan
dan apa yang dilakukan kemudian setelah Akuwu terbunuh dan Kebo Ijo
dibunuhnya,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Berbeda dengan kebiasaannya, kali ini
Mahisa Agni justru langsung pergi ke istana sebagai kakak Ken Dedes.
Pada masa Tunggul Ametung menjadi Akuwu, jarang sekali Mahisa Agni mau
tinggal di istana apabila ia berada di Tumapel.
Tetapi tidak seorang pun yang melihat
kelainan itu. Semua orang menganggap, bahwa adalah wajar sekali,
apabila Mahisa Agni mendapat tempat bermalam di istana selama ia berada
di Tumapel.
Dalam pada itu, tidak seorang pun yang
dapat diajaknya berbicara tentang maksudnya. Bahkan pemomong Ken Dedes
yang tua itu, yang sebenarnya adalah ibunya sendiri, tidak juga
diberitahukannya.
Namun setelah beberapa saat ia berada di
istana, timbullah keragu-raguannya untuk meneruskan usahanya. Ia
melihat Ken Arok sebagai seorang Akuwu yang memang diharapkan oleh
rakyat Tumapel. Ia dapat memberi apa yang seharusnya diterima, dan ia
dapat membuat apa yang memang diperlukan.
Ternyata Ken Arok adalah seorang pemimpin yang baik dan bijaksana.
Itulah sebabnya, maka Ken Arok pun
kemudian tidak puas dengan keadaan Tumapel seperti yang sudah
dicapainya. Ia sama sekali tidak senang untuk menundukkan kepalanya
kepada orang lain yang selama ini berkuasa.
“Benar juga kata cantrik itu,” berkata
Mahisa Agni, “apakah aku sekarang akan mengguncangkan Tumapel yang
sedang merambat naik ini? Aku yakin sebentar lagi Ken Arok pasti akan
berhasil. Rakyat Tumapel pasti tidak akan berkeberatan untuk
menyebutnya sebagai seorang raja, bukan sekedar seorang Akuwu.”
Dan Ken Arok memang berusaha untuk pada
suatu ketika menjadi seorang raja. Apalagi Ken Dedes selalu berusaha
untuk mendorong maju.
Namun Ken Dedes tidak menaruh prasangka apapun ketika Ken Arok seakan-akan tidak sabar lagi untuk menunggu esok.
“Kenapa Tuan tergesa-gesa,” bertanya Ken
Dedes, “untuk melakukan pekerjaan yang besar Tuan harus berhati-hati.
Tuan harus mempertimbangkan segala segi.”
“Aku kira semuanya sudah masak. Bukan
karena aku terlampau bernafsu untuk bergelar seorang raja, tetapi sejak
saat ini Tumapel harus berdiri sendiri. Tumapel harus menyebut dirinya
sebagai suatu negara. Dengan demikian kesadaran dan tanggung jawab
rakyatnya akan meningkat.”
“Tetapi apakah Tuanku sudah mempertimbangkan tindakan yang dapat diambil oleh Maharaja Kediri dengan pernyataan Tuan itu?”
“Tumapel sudah siap.”
Ken Dedes tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Apalagi ia mempercayai Ken Arok. bahwa perhitungannya atas
keadaan pada umumnya tidak jauh menyimpang dari yang diinginkannya.
Mahisa Agni yang masih berada di istana
sekali-sekali sempat juga bertemu dengan Ken Dedes. Sempat juga ia
berbicara tentang kemungkinan Ken Arok untuk menyebut dirinya menjadi
seorang raja.
“Bagaimana pendapatmu Kakang?” bertanya Ken Dedes.
“Aku bukan seorang pemimpin pemerintahan
yang dapat menilai keadaan dengan tepat. Tetapi apabila Ken Arok.
maksudku Tuanku Akuwu sudah memperhitungkannya dengan masak, maka aku
kira tidak akan ada keberatan apa-apa lagi.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan Mahisa Agni pun ikut merasakan kegembiraan yang membayang di wajah
adik angkatnya itu.
“Mudah-mudahan kau dapat berbahagia,”
desis Mahisa Agni di dalam hatinya. Dan harapannya itu telah membuatnya
semakin segan untuk melihat kenyataan seperti yang dikatakan oleh
cantrik pamannya.
“Aku kira Tuanku Akuwu akan berhasil,” berkata Mahisa Agni kepada Ken Dedes, “aku mengenal kemampuan dan kecerdasannya.”
“Doamu saja Kakang. Mudah-mudahan semuanya berlangsung dengan baik. meskipun Tuanku agak tergesa-gesa.”
“Tetapi persiapannya memang sudah matang.
Semuanya sudah diperhitungkannya,” Ken Dedes mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi Mahisa Agni tidak pernah sempat berbicara dengan Ken
Arok sendiri. Ken Arok terlampau sibuk dengan tugas-tugasnya. Dengan
rencananya. Ia adalah seorang yang berhati baja. Dan ia adalah seorang
yang mempunyai kecakapan untuk menilai persoalan yang sedang
dikerjakannya.
Seperti Ken Dedes tidak seorang pun yang
mengerti, kenapa Ken Arok begitu tergesa-gesa kali ini untuk menyebut
dirinya seorang raja. Dengan demikian maka Tumapel menjadi terlampau
sibuk. Selain persiapan penobatan, maka Ken Arok telah mempersiapkan
setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Pasukan sandi telah disebarnya
di segenap penjuru, dan bahkan masuk dalam-dalam ke daerah Kediri.
Pasukan yang kuat berjaga-jaga di perbatasan dan hampir setiap saat di
Tumapel harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi apapun yang bakal
terjadi akibat penobatan itu.
“Bukan main,” desis Mahisa Agni di dalam
hati, “ia benar-benar mampu melakukannya. Cita-cita bagi Ken Arok
bukanlah sesuatu yang sekedar mengambang di langit. Tetapi ia berusaha
benar-benar dapat meraihnya dan menelannya. Dan kini ia sedang gigih
berjuang untuk itu. Pada saatnya, seluruh rakyat Tumapel bersorak.
Tumapel kini bukan lagi suatu wilayah kecil di bawah perintah sang
Akuwu yang mengakui kekuasaan Kediri. Kini Tumapel adalah sebuah
kerajaan yang menamakan dirinya Singasari.”
Seluruh rakyat meneriakkan kelahiran suatu kerajaan baru yang bernama Singasari itu.
Dan dengan demikian lahir pula seorang
raja yang menjadi kebanggaan rakyatnya untuk memimpin kerajaan yang
baru itu, Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwa
Bumi, yang menguasai kerajaan Singasari, di sebelah timur Gunung Kawi.
Mahisa Agni yang melihat kemajuan anak
padang Karautan itu hanya dapat mengelus dadanya. Ia ikut menjadi
bangga karenanya. Kalau anak itu masih berkeliaran di padang Karautan,
ia akan tetap merupakan hantu yang tidak saja menakutkan, tetapi oleh
otaknya yang cemerlang, ia akan menjadi iblis yang maha dahsyat. Bahkan
ia pun akan mampu membuat suatu kerajaan tersendiri, yang memerintah
para perampok, pencuri, pemeras dan segala macam penjahat.
Kini kemampuan yang melimpah-limpah itu sudah tersalur. Ken Arok adalah seorang raja yang perkasa.
Pergolakan yang terjadi di Kediri
dimanfaatkannya baik-baik. Pertentangan antara para pendeta dan para
bangsawan. Keputusan Maharaja Kertajaya yang memaksa para pendeta untuk
menyembahnya, telah menggali jurang yang tidak terhubungkan lagi.
Dengan demikian, maka hubungan kedua
negara itu semakin memburuk. Raja Singasari yang bergelar Sri Rajasa
dapat lebih tangkas menangani persoalannya.
Mahisa Agni yang merasa berkewajiban
untuk menemukan pembunuh pamannya yang sebenarnya, menjadi semakin
termangu-mangu. Akhirnya tanpa berbuat sesuatu ia kembali ke padukuhan
Panawijen baru. setelah beberapa lama ia berada di istana Singasari.
Ia memerlukan singgah sebentar ke Lulumbang menemui cantrik-cantrik yang masih menunggui padepokan itu.
“Kawanmu masih berada di Panawijen,”
katanya kepada para cantrik ketika mereka menanyakan seorang kawannya
yang berkunjung kepada Mahisa Agni.
“Kenapa ia tidak segera kembali?”
“Aku menahannya.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jagalah padepokan ini baik-baik. Rawatlah keluarga paman yang masih ada.”
Para cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Apabila aku sampai ke Panawijen, kawanmu akan segera pulang.”
“Ya,” jawab para cantrik, “kami menjadi cemas.”
Dada Mahisa Agni berdesir.
“Kenapa?” ia bertanya.
“Ia jauh melampaui batas waktu yang direncanakan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Ia selamat.”
Anak muda itu hanya sekedar singgah saja di Lulumbang. Kemudian ia pun segera meneruskan perjalanan, kembali ke Panawijen.
Ketika cantrik yang memberitahukan
kepadanya tentang Ken Arok itu bertanya kepadanya. Mahisa Agni hanya
dapat menggelengkan kepalanya, “Seperti kau, aku tidak ingin negara
yang baru lahir ini berguncang. Seluruh rakyat menyambut lahirnya
kerajaan Singasari. Seluruh rakyat mengharap bahwa negara ini akan
segera berkembang. Aku tidak dapat melakukannya. Kepentingan yang
seolah-olah lebih bersifat pribadi ini. terpaksa aku urungkan, meskipun
tidak berarti bahwa kesalahan Ken Arok, seandainya benar
penglihatanmu, menjadi terhapus karenanya.”
Cantrik itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Sudahlah, anggaplah penglihatankulah yang salah.
Singasari memerlukan seorang besar seperti Ken Arok.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan segera kembali ke Lulumbang,” berkata cantrik itu kemudian.
Namun Mahisa Agni tidak dapat
melepaskannya sendiri. Perasaannyalah yang selalu membayangi. Cantrik
itu adalah satu-satunya saksi yang masih dapat mengatakan, siapakah
yang sebenarnya datang ke Lulumbang pada saat Empu Gandring terbunuh.
“Barangkali pembunuh itu sudah
melupakannya, bahwa masih ada seorang saksi,” berkata Mahisa Agni di
dalam hatinya, “selama tidak ada persoalan apapun tentang pembunuhan
itu, maka aku kira cantrik itu pun tidak akan terancam.”
Meskipun demikian Mahisa Agni memerlukan
mengantarkan cantrik itu sampai ke Lulumbang, menyerahkannya kembali
kepada kawan-kawannya.
Dengan demikian Mahisa Agni mencoba untuk
seterusnya melupakan keterangan cantrik itu. Ia menenggelamkan di
dalam kerjanya sehari-hari, membangun padukuhannya yang baru, seperti
juga Singasari membangun dirinya. Kini pemerintahan yang dipimpin oleh
Ken Arok itu mulai terasa sampai ke padukuhan-padukuhan terpencil.
Perlindungan dan bimbingannya memberikan banyak manfaat kepada
daerah-daerah yang semula seakan-akan tidak bertuan.
Namun, adalah berbeda sekali apa yang
terjadi di dalam istana sendiri. Di kala Singasari sedang memencar ke
segala penjuru, keretakan yang perlahan-lahan telah merayapi istana.
Seperti yang dikatakannya sendiri, Ken Arok bukanlah seorang pengecut.
Dan ia memang tidak berlaku sebagai seorang pengecut.
Meskipun belum dilakukannya secara
terbuka, namun ia benar-benar tidak meninggalkan Ken Umang. Bahkan Ken
Umang ternyata mempunyai kecakapan yang seakan-akan ajaib. Ken Arok
sama sekali tidak dapat melepaskannya lagi, bukan sekedar karena
kejantanannya. Tetapi Ken Arok benar-benar memerlukan Ken Umang.
“Tuanku,” berkata Ken Umang pada suatu
kali, “apakah untuk seterusnya Tuanku akan selalu bersembunyi-sembunyi
apabila Tuanku datang mengunjungi hamba seperti ini.”
“Tentu tidak Umang. Pada saatnya aku akan mengumumkan perkawinan kita.”
“Tetapi bagaimana dengan Tuanku
Permaisuri. Bukankah kekuasaan yang Tuanku miliki sekarang berasal dari
Tuan Putri itu, yang mendapat pelimpahan dari Akuwu Tunggul Ametung?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi
kemudian ia menjawab, “Tunggul Ametung bukan seorang raja. Tunggul
Ametung hanya seorang Akuwu. Seandainya kekuasaanku itu aku dapatkan
dari Tunggul Ametung lewat Ken Dedes, maka aku adalah sekedar seorang
Akuwu, tetapi aku adalah seorang raja.”
Ken Umang tertawa pendek. Dan suara
tertawa itu menggelitik jantung Ken Arok. Sambil berjalan hilir mudik
Ken Umang berkata, “Hamba tahu, bahwa pada saatnya Tuanku pasti tidak
akan bersembunyi-sembunyi lagi, karena Tuanku mempunyai kekuasaan untuk
melakukan apa saja. Tetapi pada saatnya itu kapan?”
Ken Arok tidak segera menjawab.
“Tuanku memang seorang raja yang
berkuasa. Tidak seorang pun di Singasari yang berani menentang kehendak
Sri Rajasa,” Ken Umang meneruskan, “tetapi meskipun demikian Sri
Rajasa yang kuasa itu tidak dapat menyakiti hati Permaisuri tercinta.”
“Cukup!” Ken Arok memotong.
Tetapi Ken Umang tertawa. Katanya,
“Tuanku jangan marah. Aku tidak sengaja menyinggung perasaan Tuanku.
Barangkali Tuanku memang terlampau lelah, sehingga mudah sekali
kehilangan pengamatan diri. Karena itu, kami persilakan Tuanku
beristirahat. Tuanku harus melupakan segala kesibukan yang melemahkan
itu meskipun hanya sesaat.”
Ken Arok masih tetap berdiam diri.
“Setuju Tuanku?”
Ken Arok sama sekali tidak bergerak.
Tetapi ketika tangan Ken Umang menyentuhnya, dan bau wewangian meraba
hidungnya. Ken Arok tidak dapat menghindarinya lagi.
“Tuanku memang tidak perlu menyakiti hati
Permaisuri. Hamba sudah puas dengan keadaan sekarang. Apapun yang Tuan
lakukan hamba tidak akan sakit hati.”
“Sudah aku katakan, bahwa aku bukan
pengecut,” jawab Ken Arok, kemudian, “aku sudah berusaha mempercepat
penobatanku, supaya tidak ada persoalan apapun lagi yang dapat
merintangi maksudku, apabila aku akan menyatakan kau sebagai istriku.”
Ken Umang tertawa. Katanya , “Jadi Tuanku
menjadikan Singasari ini suatu kerajaan bukan karena cita-cita Tuan,
bahwa hari depan Singasari akan menjadi lebih baik, tetapi hanya
sekedar agar Tuanku dapat menjadikan hamba sebagai seorang istri yang
terbuka.”
“Bukan, bukan itu,” Ken Arok menyahut dengan serta-merta, “Tetapi keduanya memang bersangkut paut.”
“Sudahlah,” berkata Ken Umang kemudian, “Tuanku memang harus beristirahat.”
Demikianlah, Ken Arok menjadi semakin
terikat oleh Ken Umang yang mempunyai sifat yang berbeda dengan Ken
Dedes. Seperti juga Ken Arok tidak lagi dapat hidup tanpa Ken Dedes, ia
pun tidak dapat lagi terlepas dari Ken Umang. Keduanya diperlukan dan
keduanya mempunyai arti yang tersendiri di dalam kehidupannya.
Maka ketika datang saatnya Ken Dedes
melahirkan, maka sekali lagi rakyat Singasari bersorak. Ken Dedes
melahirkan seorang putra laki-laki. Seorang putra laki-laki yang
tampan.
Namun di antara sorak-sorai rakyat
Singasari itu. justru rajanyalah yang selalu berdesah di dalam hati.
Kelahiran putra laki-laki itu adalah suatu pertanda bagi Ken Arok,
bahwa persoalannya dengan Tunggul Ametung memang belum selesai dengan
terbunuhnya Kebo Ijo.
Meskipun demikian, di hadapan rakyatnya
dan Ken Dedes. Ken Arok sama sekali tidak menyatakan perasaannya. Ia
sama sekali tidak memberikan kesan apapun, sehingga Ken Dedes sama
sekali tidak berprasangka, meskipun ia tahu benar, bahwa kelahiran
putranya itu akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Namun apabila Ken Arok duduk sendiri di
dalam biliknya, ia selalu diburu oleh kegelisahan yang kadang-kadang
sangat menyayat hatinya. Anak itu adalah anak Tunggul Ametung. Bukan
anaknya. Dan anak yang lahir itu adalah seorang anak laki-laki.
“Apakah aku kelak akan mengakuinya sebagai putra Mahkota?” pertanyaan itu selalu mengganggunya setiap kali.
Dengan demikian maka Ken Arok menjadi
semakin tenggelam di dalam pengaruh Ken Umang. Ia berusaha melarikan
dirinya dari kejaran pertanyaan itu, dan mencari ketenteraman kepada
perempuan itu.
Selain kepada Ken Umang, maka Ken Arok
pun telah mencari penyaluran yang lain dari kekecewaannya. Mau tidak
mau, setiap kali ia melihat putra laki-laki Permaisurinya itu, dadanya
selalu berdesir. Wajah bayi itu seakan-akan merupakan bayangan wajah
Tunggul Ametung.
Ken Arok menjadi semakin lekat dengan
punggung kudanya. Ia menjelajahi sudut-sudut Tanah Singasari. Bahkan
Ken Arok pun kemudian tidak lagi mengakui batas kerajaannya sebesar
tanah Tumapel. Ia seolah-olah sudah tidak melihat lagi batas antara
Singasari dan Kediri.
Arus para pendeta yang menyingkir dari
Kediri memberinya kesempatan untuk menghimpun kekuatan di daerah-daerah
yang sebenarnya termasuk daerah Kediri. Namun orang-orang yang tinggal
di daerah itu terlampau terpengaruh oleh para pendeta yang memihak
kepada Ken Arok.
Apalagi Ken Arok sendiri selalu
menumbuhkan gairah yang menyala-nyala di dalam dada para anak-anak muda
Singasari. Di atas punggung kuda Ken Arok menjelajahi pasukan demi
pasukan yang disusun di daerah-daerah yang terpencil sekalipun.
Singasari benar-benar telah siap menghadapi setiap kemungkinan.
Dalam pada itu, kegembiraan atas
kelahiran putra Ken Dedes telah mengguncangkan padukuhan Panawijen.
Mereka bersyukur, bahwa seorang anak padukuhan kecil itu dapat
melahirkan seorang putra yang terhormat. Seorang putra yang menghuni
sebuah istana kerajaan Singasari.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun
telah hampir melupakan maksudnya untuk menemukan pembunuh pamannya.
Meskipun setiap kali keterangan cantrik itu masih juga terngiang, namun
ia selalu berusaha menahan dirinya. Ia tidak akan sampai hati melihat
Ken Dedes kehilangan sekali lagi atau Singasari kehilangan seorang yang
kuat yang dapat membina Singasari menjadi sebuah kerajaan besar.
Bagi rakyat Singasari nama Ken Arok
semakin hari menjadi semakin besar. Usahanya yang merata, serta
kebanggaan yang telah menggetarkan setiap dada, benar-benar telah
mencengkam kecintaan rakyat Singasari kepadanya.
Bagi Ken Arok, kemajuan Singasari
membuatnya semakin berpengharapan, bahwa pada suatu ketika, negaranya
akan menjadi suatu negara yang besar.
Namun betapa kebanggaan melonjak di
hatinya oleh kemajuan yang pesat dari kerajaannya, namun setiap kali
Ken Arok masih harus mengusap dadanya, justru apabila ia berada di
istananya.
Setiap kali ia harus melihat putra Ken
Dedes. Dan setiap kali ia akan teringat kepada Tunggul Ametung dan
tingkah lakunya sendiri, yang telah merenggut nyawa akuwu itu.
Tetapi akhirnya Ken Arok harus menyerah
kepada kenyataan. Kenyataan bahwa anak Ken Dedes itu memang ada.
Seorang laki-laki yang kemudian diberinya nama Anusapati.
“Aku harus berjiwa besar,” ia selalu berusaha menghibur dirinya sendiri.
Tetapi apabila kekecewaan itu tiba-tiba
saja menggelegak di dalam dadanya, ia selalu melarikan dirinya di atas
punggung kuda untuk menyaksikan latihan perang, atau menghilang dan
bersembunyi di rumah Ken Umang.
Namun Ken Arok benar-benar tidak dapat
berbuat demikian untuk seterusnya. Ketika Ken Arok yakin, bahwa rakyat
Tumapel telah berada di dalam genggaman tangannya, maka terjadilah hal
yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Ken Dedes.
Seperti guruh yang tiba-tiba saja meledak
di atas kepalanya, Ken Dedes mendengar berita itu. Ken Arok telah
mengambil seorang istri. Ken Umang. Dan yang lebih menyakitkan hatinya,
adalah, bahwa Ken Umang itu telah mengandung pula. Mengandung putra
Ken Arok sendiri.
Berita itu bagi Rakyat Singasari memang
mengejutkan. Tetapi hanya sesaat. Kebesaran nama Sri Rajasa Batara Sang
Amurwa Bumi benar-benar telah terpahat di hati mereka, sehingga
perkawinannya itu pun sama sekali tidak mampu mengguncangkan
kepercayaan rakyat kepadanya.
Sesuai dengan sifat-sifatnya. Ken Dedes
sama sekali tidak bertanya apapun kepada suaminya. Yang dapat
dilakukannya hanyalah menangis sambil memeluk putranya, Anusapati.
Dicurahkannya kepahitan hidupnya kepada tetesan darahnya.
Betapa Ken Arok berusaha menghiburnya,
namun Ken Dedes benar-benar telah terluka. Apa yang dilakukannya
kemudian terhadap suaminya adalah sekedar melakukan kewajibannya
sebagai seorang istri. Tetapi kesetiaan jasmaniahnya itu. semakin hari
semakin menyakitkan perasaannya.
“Aku tidak dapat mengelabui perasaanku,”
Ken Arok berterus terang, “bukan karena aku tidak mau menerima
kehadiran anak itu. Tetapi aku adalah manusia biasa. Sehingga pada
suatu ketika aku telah tergelincir.”
“Hamba, Tuanku. Hamba pun memang sudah
merasa, bahwa hamba terlampau rendah buat Tuanku. Apalagi sekarang,
setelah Tuanku menjadi seorang raja yang berkuasa. Hamba adalah anak
pedesaan yang tidak berharga. Apalagi hamba memang bukan gadis lagi
ketika hamba Tuanku ambil menjadi istri Tuanku. Tuanku mengetahui
dengan pasti bahwa saat itu hamba telah mengandung.”
“Jangan menyakiti hati sendiri Ken Dedes. Kau telah membuat luka di hatimu menjadi bertambah parah.”
“Hamba sudah terlampau biasa mengalami
kepahitan Tuanku. Barangkali Tuanku tahu pasti, apakah yang sudah
terjadi atas hamba. Hamba melihat kematian seorang laki-laki untuk
pertama kalinya hamba cintai, karena hamba telah diambil dengan paksa
dari ayah hamba. Kemudian hamba harus menyesuaikan diri sebagai seorang
istri dari Akuwu Tunggul Ametung yang mempunyai sifat-sifat yang sulit
dimengerti. Ketika hamba sudah merasa berhasil, suami hamba itu
terbunuh. Tuanku tahu, bahwa perasaan hamba terhadap Tuanku tumbuh
dengan wajar, sebagai perasaan seorang perempuan terhadap laki-laki.
Ketika kita kawin, hamba mengharap bahwa hamba akan berbahagia.”
“Jangan kau siksa dirimu sendiri dengan perasaanmu itu,” potong Ken Arok.
“Tidak Tuanku. Sama sekali tidak.
Kenangan yang kadang-kadang tumbuh ini akan meneguhkan hati hamba,
bahwa memang menjadi kewajiban hamba untuk bertahan dalam setiap
keadaan.”
“Ken Dedes,” berkata Ken Arok, “kau
jangan kecil hati. Kau bagiku adalah seorang perempuan yang paling
berharga. Aku menghargai kau karena sifat-sifatmu.”
Ken Arok berhenti sejenak, kemudian,
“tetapi tidak demikian pandanganku terhadap Ken Umang. Ken Umang bukan
seorang istri yang mengerti keadaan suaminya sampai sedalam-dalamnya,
ia adalah seorang yang menilai setiap keadaan dari tatapan lahiriahnya.
Tetapi aku yakin, kau tidak demikian. Pada suatu saat, seandainya aku
tidak lagi menjadi seorang raja. sikapmu, pandanganmu dan tangkapanmu
atasku tidak akan berubah. Tetapi tidak demikian dengan Ken Umang.
Kalau aku bukan seorang akuwu waktu itu dan apalagi sekarang seorang
raja, maka ia akan lari dariku. Aku sadar akan hal itu Ken Dedes.
Dengan demikian kau akan dapat menimbang, penilaianku atasmu dan
penilaianku atas Ken Umang, justru karena aku menyadari keadaanku
sekarang.”
Ken Dedes menundukkan kepalanya. Meskipun
hatinya pedih, namun sepercik kebanggaan telah mengembang di hatinya.
Ken Arok dapat melihat perbedaan antara dirinya dan Ken Umang.
Sepercik kebanggaan itu telah sedikit
menghiburnya, meskipun saat yang demikian telah mematahkan segenap
kegairahannya terhadap suaminya.
Namun Ken Arok yang kemudian beristrikan
Ken Umang itu, sama sekali tidak mengubah sikapnya terhadap Ken Dedes.
Bahkan tampak ia perlahan-lahan menjadi semakin dekat dengan Anusapati.
Tetapi bagaimanapun juga, baik Ken Arok
maupun Ken Dedes mengetahui dengan pasti bahwa anak itu adalah anak
Tunggul Ametung. Sehingga apabila kemudian lahir anak Ken Arok sendiri
dari Ken Umang, maka perhatian Ken Arok atas Anusapati pun segera
bergeser pula.
Mahisa Agni yang semula telah ingin
melupakan segala-galanya. Tiba-tiba saja telah diguncang kembali oleh
berita perkawinan Ken Arok dengan Ken Umang. Meskipun ia belum melihat
sendiri namun ia sudah dapat membayangkan, bahwa Ken Dedes akan
mengalami kejutan perasaan yang sangat pedih.
Bayangan tentang Ken Dedes itu akhirnya
telah membuat Mahisa Agni menjadi sangat kecewa terhadap Ken Arok. Ken
Arok yang semula berkeliaran di padang Karautan. kemudian mendapat
tempat yang baik di Tumapel itu, kini justru telah membuat sakit hati
kepada Ken Dedes.
“Tetapi aku belum melihatnya sendiri,” ia
mencoba mempergunakan nalarnya, “mungkin ia sama sekali tidak
terpengaruh oleh perkawinan Ken Arok itu. Kalau aku tiba-tiba saja
berbuat sesuatu, sedang Ken Dedes sendiri dapat menerima hal itu dengan
baik, maka akulah yang justru telah membuat luka baru di hati
perempuan itu.”
Meskipun demikian untuk membiarkan hal itu tanpa berbuat apa-apa rasa-rasanya perasaan Mahisa Agni selalu terganggu.
“Aku akan melihat, apa yang sebenarnya terjadi,” katanya kepada diri sendiri.
Demikianlah pada suatu saat. Mahisa Agni
pun segera pergi ke Singasari. Di sepanjang jalan direka-rekanya, apa
yang akan dilakukannya nanti di dalam beberapa kemungkinan. Kalau
begini apa yang harus dilakukan, kalau begitu apa pula yang perlu
dikerjakan.
“Kalau Ken Dedes menderita karenanya,
maka aku harus melakukan sesuatu. Mungkin aku akan membawa cantrik itu
dengan diam-diam dan bersembunyi ke Singasari untuk mengenal apakah
benar Ken Arok itulah yang dimaksud.”
Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa
Agni memasuki istana Singasari lewat regol belakang. Istana itu sudah
sangat berubah menurut pengamatannya. Namun beberapa orang pemimpin
prajurit penjaga yang sedang bertugas masih mengenalinya, sehingga
karena itu maka tanpa kesulitan sama sekali ia dapat masuk ke dalam
istana itu.
“Aku akan bertemu dengan Permaisuri,” katanya pada seorang penjaga.
“Baiklah. Silakan menunggu di serambi belakang.” jawab seorang pelayan dalam.
Kedatangan Mahisa Agni itu pun kemudian
disampaikannya kepada permaisuri, yang dengan tergopoh-gopoh minta
kepada pelayan dalam itu agar dipersilakannya masuk ke ruang belakang.
Dada Mahisa Agni bergetar ketika ia
melihat Ken Dedes menyambutnya dengan titik-titik air mata. Selama ini
kepahitan hati itu selalu disimpannya. Ia hanya dapat menumpahkannya
kepada pemomongnya yang tua. Setiap kali. Dan agaknya tekanan-tekanan
perasaan itu masih juga terasa menyekat di dadanya. Karena itu
kehadiran Mahisa Agni adalah merupakan tempat penumpahan perasaannya
pula yang semakin hari semakin penuh.
“Sudahlah Tuanku,” pemomongnya mencoba
menghiburnya, “jangan Tuanku turuti perasaan itu. Cobalah menimbang
dengan tenang, bahwa yang baik masih lebih banyak dari
kekecewaan-kekecewaan itu.”
Tetapi air mata itu tidak segera kering. Setiap tetes serasa tusukan-tusukan duri yang paling tajam di dinding jantungnya.
“Kakang,” berkata Permaisuri itu,
“hidupku kini tinggallah sisa-sisa yang gersang. seperti gersangnya
padukuhan Panawijen lama. Aku tidak dapat lagi mendengarkan merdunya
kidung dan tidak dapat lagi memandang cerahnya matahari pagi pada
dedaunan. Hatiku telah membeku.”
“Jangan Tuanku,” tetapi mata emban itu
pun telah mulai basah pula, “Tuanku masih cukup muda. Seandainya Tuanku
telah puas dengan menghirup cerahnya kehidupan, maka hidup Tuanku
selanjutnya adalah suatu pengabdian buat putra Tuanku.”
“Itulah satu-satunya sebab, kenapa aku masih tetap hidup emban.”
“Tidak Tuanku. Dalam kemurungan hati, maka putra Tuanku akan terpengaruh pula olehnya.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
“Begitulah Tuanku,” berkata Mahisa Agni,
meskipun ia sendiri tidak meyakininya. Tetapi untuk selalu berdiam diri
tanpa memberikan sesuatu yang dapat memperingan beban Ken Dedes adalah
tidak selayaknya, “Bukankah Tuanku Sri Rajasa mempunyai seorang putra
pula dari istrinya yang lain?”
Tanpa sesadarnya Ken Dedes mengangguk.
“Nah, putra Tuanku Permaisurilah yang kelak harus menjadi putra terbaik dari semua putra-putra Ken Arok.”
Ken Dedes hanya menundukkan kepalanya. Sekali-sekali jarinya menyentuh pelupuk matanya.
“Kau bermalam di istana saja Kakang,” berkata Ken Dedes seterusnya.
Mahisa Agni mengangguk.
“Hamba Tuan Putri,” jawabnya, “memang
tidak ada tempat yang lebih baik daripada istana ini. meskipun di sudut
yang paling tersembunyi. Tetapi bagaimanakah apabila pada suatu saat
hamba datang bersama seorang kawan hamba? Apakah kawan hamba itu pun
diperkenankan bermalam di istana ini pula?”
“Tentu Kakang. Tidak ada keberatan apapun. Aku dapat memberinya izin.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Agni yang tiba-tiba sekilas di dalam ingatannya untuk membawa cantrik itu pula ke Singasari.
Ternyata titik-titik air mata Ken Dedes
telah dengan perlahan-lahan memanaskan darahnya meskipun ia masih tetap
mencoba berpikir sebaik-baiknya. Ia masih tetap mencoba melihat segala
segi dari kepentingan yang jauh lebih besar dari
kepentingan-kepentingan pribadi. Meskipun demikian ia berkata di dalam
hatinya, “Mungkin pada saatnya aku memerlukannya untuk mengetahui
siapakah sebenarnya pembunuh paman Empu Gandring.”
Dan ternyata keinginannya untuk itu
semakin lama justru menjadi semakin kuat. Ketika kemudian ia
meninggalkan ruang dalam dan di antara langsung ke dalam bilik
penginapannya di sudut bangsal belakang, niat itu justru menjadi
semakin berkembang.
“Kasihan anak itu,” desisnya, “seolah-olah sepanjang hidupnya selalu dibayangi oleh mendung yang kelam.”
Ken Arok yang kemudian diberi tahu akan
kehadiran Mahisa Agni menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu benar, bahwa
Mahisa Agni bukanlah sekedar anak pedesaan Panawijen kebanyakan.
Mahisa Agni ternyata memiliki tidak saja kemampuan jasmaniah, tetapi ia
pun termasuk seorang anak muda yang mempunyai kemampuan berpikir yang
kuat.
Tetapi Ken Arok adalah seorang yang
bijaksana. Karena itu, ketika terluang waktu baginya, dalam sidang yang
tidak terlalu banyak persoalan, segera ia memanggil Mahisa Agni
menghadap.
“Begitu lama kau tidak datang Agni?” Ken Arok bertanya.
“Hamba Tuanku,” jawab Mahisa Agni, “hamba terlampau sibuk dengan pekerjaan hamba di padukuhan.”
“Ah,” Ken Arok berdesah, “seandainya aku
tidak terikat oleh tata kehidupan istana, aku sama sekali tidak
menghiraukan jenjang-jenjang sebutan seperti itu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejak
Ken Arok menjadi seorang akuwu, ia sudah mempergunakan sebutan resmi
dalam hubungan pribadi mereka. Namun baru sekarang Ken Arok menyebut
kejanggalan itu. Sebagai dua orang yang pernah berada di dalam satu
lingkungan kerja yang besar, jarak yang tiba-tiba saja membatasi mereka
dalam jenjang kedudukan itu memang terasa janggal. Tetapi kenapa Ken
Arok baru menyadarinya sekarang?
“Sebenarnya aku lebih senang hidup tanpa
hubungan resmi yang mengikat seperti ini,” berkata Ken Arok,
“keharusan-keharusan resmi seorang raja ternyata menjemukan sekali
bagiku, bagi seorang yang biasa hidup di alam terbuka.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Tetapi Tuanku tinggal menjalaninya. Hal itu sudah menjadi
naluri susunan hubungan di antara kita. Antara seorang raja dan
rakyatnya.”
“Ya, ya,” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba suaranya meninggi, “apakah kau sudah melihat kemenakanmu?”
“Hamba Tuanku.”
“Anak yang manis. Anak yang memiliki
pertanda kebesaran,” Ken Arok berhenti sejenak. Dan tanpa
disangka-sangka ia berkata seperti begitu saja terloncat dari bibirnya
sebelum dipertimbangkannya baik-baik. “Anak itu adalah bakal Putra
Mahkota. Ia harus mendapatkan tuntunan sesuai dengan kedudukannya.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Ia belum mendengar hal itu sebelumnya. Ken Dedes sama sekali tidak
pernah mengatakannya. Bahkan dalam nada kecemasannya, Ken Dedes
meragukan kemungkinan itu. Tetapi kini Ken Arok sendirilah yang
mengatakannya.
“Bagaimana pendapatmu Agni?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Sudah tentu hamba akan sangat
berterima kasih Tuanku. Meskipun hanya sentuhan yang betapapun
kecilnya, hamba dapat ikut mengenyam kemurahan hati Tuanku. Kemenakan
hamba akan mendapat anugerah yang akan sangat berarti di masa
depannya.”
“Itu sudah haknya Agni. Ia adalah putra tertua.”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Tetapi
Mahisa Agni bukanlah seorang yang berotak terlampau tumpul. Sikap Ken
Arok yang sangat baik terhadapnya justru menimbulkan persoalan
tersendiri di dalam hatinya.
“Mungkin Ken Arok merasa bersalah,”
katanya di dalam hati, “perkawinannya dengan Ken Umang dapat menjadi
sebab, yang akan dapat menumbuhkan keretakan di dalam istana.
Kehadiranku di sini pasti dihubungkannya dengan kepahitan hati Ken
Dedes.”
Tetapi Mahisa Agni berusaha untuk
bersikap sewajarnya. Sebagai seorang pedesaan yang mendapat kehormatan
begitu tinggi, maka tampak kegembiraan membayang di wajahnya.
Beberapa orang pemimpin Tumapel yang
melihatnya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang baru, yang
belum banyak mengenal Mahisa Agni justru mencibirkan bibirnya.
“Anak padang Karautan ini akan dapat menjadi besar kepalanya.”
Namun setelah Mahisa Agni mundur dari
hadapan Sri Rajasa, dan sidang itu dibubarkan pernyataan baginda
tentang putra Ken Dedes itu menjadi persoalan yang riuh di antara para
pemimpin yang lain. Meskipun tidak seorang pun yang berani
mengemukakannya kepada Ken Arok, namun mereka saling berbisik, “Apakah
sudah wajar bahwa Anusapati yang akan menjadi Putra Mahkota? Bukankah
Anusapati itu bukan putra Sri Rajasa?”
Tetapi beberapa orang yang lain, apabila
yang tua-tua berbisik di antara mereka, “Sri Rajasa memang bijaksana.
Ia tidak melupakan modal kekuasaan yang diterima dari permaisurinya
yang mendapat limpahan kekuasaan dari Akuwu Tunggul Ametung.”
“Terlalu tergesa-gesa,” berkata kelompok
yang lain, “sebaiknya Tuanku Sri Rajasa membicarakannya dahulu dengan
para pemimpin dan tetua Kerajaan Singasari.”
“Tetapi penobatan sebagai Putra Mahkota masih belum dilakukan. Masih ada kemungkinan lain.”
“Sabda Pandita Ratu,” desis yang lain.
Pembicaraan itu ternyata tidak hanya terbatas pada para pemimpin yang
mendengar sendiri keterangan baginda di dalam pasewakan. Hampir seluruh
rakyat, terutama yang tinggal di dalam kota Singasari, telah
membicarakannya.
“Putra Permaisuri itu masih bayi,” berkata seseorang, “apakah sudah sepantasnya membicarakan masalah itu sekarang?”
“Putra Permaisuri itu masih bayi,” berkata seseorang, “apakah sudah sepantasnya membicarakan masalah itu sekarang?”
Yang lain hanya mengangkat pundaknya. Dan yang lain lagi seakan-akan acuh tidak acuh saja akan hal itu.
Namun di dalam pembicaraan sehari-hari
itu. Mahisa Agni ternyata mampu menangkap sikap rakyat Singasari.
Ternyata di antara mereka masih juga ada yang tetap mengenangkan Akuwu
Tunggul Ametung.
Beberapa orang dari rakyat Singasari
masih juga menyebut-nyebut, bahwa anak itu pasti anak Tunggul Ametung.
Ketika Tunggul Ametung terbunuh Ken Dedes lagi mengandung muda.
“Mudah-mudahan anak itu benar-benar menjadi putra Mahkota sehingga Tunggul Ametung kelak akan kembali memegang kekuasaan.”
Dalam pada itu. Ken Dedes yang masih
belum mendengar sendiri hal itu dari Ken Arok, tetapi sudah mendengar
desas-desus yang tersebar menjadi termangu-mangu. Ia sengaja tidak
bertanya kepada Ken Arok tentang hal itu menunggu apakah benar Ken Arok
berkata demikian bukan sekedar untuk menyenangkan Mahisa Agni.
Tetapi pada suatu saat Ken Arok
benar-benar mengatakan hal itu kepadanya. Seperti pada saat ia
mengatakannya di muka sidang yang dihadiri oleh Ken Arok. seakan-akan
begitu saja terloncat dari bibirnya, “Adinda Permaisuri, Anusapati
harus segera mendapat tuntunan untuk menyesuaikan dirinya dengan
kedudukannya. Kelak ia akan menjadi Putra Mahkota, sehingga
pertumbuhannya pun harus disesuaikan dengan keadaan itu.”
Pernyataan yang seakan-akan begitu saja
terloncat dari bibir Ken Arok itu serasa telah mengembangkan seluruh
isi dada Ken Dedes. Ken Arok benar-benar berhasrat menjadikan putranya
yang sulung itu seorang Putra Mahkota.
“Terima kasih, Tuanku. Hamba akan sangat berterima kasih atas kemurahan hati Tuanku.”
“Kenapa?” Ken Arok justru bertanya.
“Kesempatan kepada Anusapati untuk menjadi seorang Putra Mahkota.”
“Bukankah hal itu sewajarnya? He? Aku tidak berbuat menurut kehendakku sendiri. Putra yang sulung akan menjadi Putra Mahkota.”
Ken Dedes menundukkan kepalanya, “Hamba Tuanku.”
Dalam pada itu Ken Arok pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tahu Ken Dedes, bahwa
mungkin selama ini kau telah dicemaskan oleh bayangan-bayangan yang
seakan-akan menjadi kabut yang kelam di atas singgasana, karena aku
mempunyai anak pula dari istriku yang lain. Tetapi sudah aku katakan
kepadamu, bahwa kau adalah istri yang baik. Kau adalah seorang istri
yang sebenarnya. Kau bukan sekedar seorang perempuan yang merindukan
kelebihan duniawi. Karena itu, maka putramulah yang memang sudah
sepantasnya menjadi seorang Putra Mahkota. Jangan hiraukan kata orang
tentang putramu itu. Aku menganggapnya seperti anakku sendiri.”
Ken Dedes tidak menjawab. Tetapi matanya
menjadi berkaca-kaca. Sepercik harapan melonjak di dalam dirinya.
Meskipun hidupnya sendiri seakan-akan selama ini selalu dilingkari oleh
kepahitan, namun pada suatu saat putranya akan menjadi seorang yang
berkuasa di atas Tanah Singasari.
Kesanggupan Ken Arok untuk mengangkat
Anusapati menjadi Putra Mahkota telah memberikan ketenangan dan sedikit
kebanggaan di hatinya. Demikian juga kepada Mahisa Agni. Meskipun
perasaan Mahisa Agni yang tajam menangkap sesuatu yang mendebarkan
jantungnya. Seakan-akan ia melihat sesuatu yang tersembunyi dibalik
kebaikan hati itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak mengatakannya
kepada siapa pun. Di dalam hatinya ia hanya mempersoalkannya dengan
dirinya sendiri. Namun dicobanya untuk menenteramkan kegelisahannya.
“Mungkin aku terlampau berprasangka,”
desisnya di dalam hati, “mungkin pengenalanku atas Ken Arok semasa ia
masih berkeliaran di padang Karautan, dan mungkin juga karena
keterangan cantrik yang masih belum pasti kebenarannya itulah yang
telah menggelisahkan hati.”
Dengan demikian maka Mahisa Agni telah
berusaha menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat
menyakitkan hati Ken Dedes. Ia tidak mau Ken Dedes kehilangan
harapannya untuk menggenggam hari depan lewat putranya Anusapati.
Betapapun keinginan tumbuh di dadanya
untuk melihat kebenaran keterangan cantrik yang tinggal satu-satunya
saksi tentang kematian pamannya, namun niat itu selalu disingkirkannya
jauh-jauh.
Hari-hari yang merambat melampaui ujung
bulan dan tahun telah melahirkan peristiwa-peristiwa yang berlangsung
terus. Betapa dinginnya hati Ken Dedes atas suaminya setelah Ken Arok
kawin dengan Ken Umang, namun ia tidak mau ingkar akan kewajibannya. Di
hari-hari mendatang, maka lahirlah putranya yang berikutnya. Demikian
juga dengan Ken Umang. Kelahiran putranya yang pertama, yang dinamainya
Tohjaya, disusul pula oleh kelahiran adik-adiknya. Semakin lama niat
Mahisa Agni pun seakan-akan menjadi hampir padam sama sekali. Meskipun
ia melihat kelesuan di dalam hidup Ken Dedes, tetapi yang terjadi itu
masih jauh lebih baik daripada peristiwa-peristiwa yang dapat
menghempaskannya sekali lagi ke dalam duka yang mendalam.
Tetapi adalah kebetulan sekali, bahwa
istri Ken Arok yang muda itu adalah Ken Umang. Seorang perempuan yang
seperti dikatakan oleh Ken Arok sendiri, mendambakan dirinya pada
kemewahan lahiriah. Meskipun ia selalu tersenyum di hadapan Ken Arok,
seakan-akan ia tidak pernah menentang niatnya, namun kesempatan yang
didapat oleh Anusapati untuk menjadi Putra Mahkota telah menyakitkan
hatinya, Anusapati adalah bukan keturunan Ken Arok, sehingga tidak
sewajarnyalah bahwa takhta yang diperjuangkannya selama ini akan jatuh
ke tangan orang lain.
Perlahan-lahan namun pasti, Ken Umang
membiuskan gejolak hatinya itu ke telinga Ken Arok. Dengan hati-hati.
Setiap kata disertai belaian tangannya yang halus dan suara tawanya
yang renyah, sehingga hampir tanpa disadarinya Ken Arok mulai
menimbang-nimbang kembali keputusannya itu.
“Tetapi aku tidak dapat berbuat lain,”
katanya di dalam hati, “Anusapati memang berhak menjadi Putra Mahkota.
Bukan salahnya bahwa aku mengawini ibunya selagi ia berada di dalam
kandungan. Tetapi ia lahir dari kandungan ibunya, seorang Permaisuri
Kerajaan Singasari.”
Namun meskipun hanya diketahuinya sendiri
Ken Arok tidak dapat ingkar, bahwa ia selalu dibayangi oleh
kecemasannya bahwa ada golongan-golongan yang selalu menghantuinya yang
masih tetap hidup di dalam kerajaannya.
Ken Arok tidak dapat mengelabui dirinya
sendiri, bahwa di dalam lingkungannya masih ada orang-orang yang tidak
mendapat kepuasan. Meskipun ia tidak tahu lagi, di mana Witantra
sekarang, namun ia tidak dapat melupakannya. Anak Empu Gandring dan
anak laki-laki Kebo Ijo yang menjadi semakin besar. Apabila pada suatu
saat rahasia tentang kematian Akuwu Tunggul Ametung terbuka, maka semua
yang pasti akan menuding wajahnya sambil berkata, “Kau. kaulah
pembunuh itu.”
Karena itu, Ken Arok tidak akan menambah
orang-orang yang menjadi duri di dalam hidupnya. Pengikut-pengikut
Akuwu Tunggul Ametung yang tidak puas dengan keadaan, orang-orang yang
lebih senang berpihak kepada Kediri, dan Mahisa Agni yang masing-masing
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.
Dengan demikian, maka atas dasar beberapa
segi pertimbangan. Ken Arok tidak dapat menolak kehadiran Anusapati
untuk menjadi seorang Putra Mahkota.
Tetapi bagaimanapun juga, sikapnya
sebagai manusia tidak dapat disembunyikannya pula. Semakin lama semakin
nyata, kalau Ken Arok menjadi lebih dekat dengan Tohjaya daripada
Anusapati.
Mahisa Agni yang semakin sering
berkunjung ke istana Singasari untuk mengunjungi adiknya, melihat juga
kejanggalan itu. Justru lebih banyak dari Ken Dedes sendiri.
Kadang-kadang Anusapati yang bermain-main dengan pemomongnya, sama
sekali tidak ditegur oleh Ken Arok yang lewat beberapa langkah saja
daripadanya, dengan wajah yang gelap dan tingkah laku yang kasar.
Kadang-kadang Mahisa Agni melihat hal itu dari kejauhan. Dan ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Meskipun demikian, hal itu sama sekali
masih belum menyakiti hatinya. Ia masih memandang dengan dada lapang,
bahwa Ken Arok pun manusia biasa yang tidak dapat menghindari
guncangan-guncangan perasaannya.
Tetapi yang tidak disangka-sangka telah terjadi.
Ketika Mahisa Agni berjalan-jalan di
halaman istana, tanpa disadarinya ia telah sampai ke batas yang
membelah halaman istana itu menjadi dua bagian. Bagian yang baru, yang
memang dibuat untuk menempatkan Ken Umang, dan bagian yang lama, yang
sudah ada sejak istana itu masih menjadi istana Akuwu Tunggul Ametung.
Tanpa diketahuinya, sepasang mata selalu
memandanginya dari ujung serambi bangsal di halaman sebelah lewat regol
yang lebar. Sepasang mata seorang perempuan yang berlindung dibalik
sudut bangsal itu.
Tiba-tiba perempuan itu memanggil seorang prajurit pengawal. Sambil menunjuk kepada Mahisa Agni ia berkata, “Panggil orang itu!”
Prajurit itu ragu-ragu sejenak.
“Panggil orang itu!” ulangnya.
“Orang itu adalah kakanda Tuanku Permaisuri Tuan Putri.”
“Panggil orang itu!”
Prajurit itu masih termangu-mangu. Tetapi perempuan itu membentaknya, “Panggil orang itu. Cepat!”
Tidak ada pilihan lain dari Prajurit itu. selain menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, “Hamba, Tuan Putri.”
Dengan tergesa-gesa prajurit itu pun
menyusul Mahisa Agni yang sudah menjadi semakin jauh. Kemudian dengan
nafas terengah-engah prajurit itu menggamitnya.
“Tuan,” katanya, “hamba mendapat perintah, tuan diharap datang ke bangsal sebelah.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Kini
barulah ia menyadari bahwa ia telah berjalan terlampau dekat bangsal di
seberang batas halaman istana yang lama.
“Tuan diharap datang sekarang.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
mencoba memandang ke bangsal di sebelah. Tetapi ia tidak dapat melihat
seorang pun di sana kecuali para prajurit yang bertugas.
“Siapakah yang memanggil aku,” bertanya Mahisa Aum.
“Tuan Putri.”
“Tuan Putri Ken Umang maksudmu?”
“Ya. Aku mendapat perintahnya.”
Terasa darah di dada Mahisa Agni menjadi
semakin deras mengalir. Tetapi ia berhadapan dengan seorang prajurit
pengawal yang hanya dapat menjalankan perintah.
Meskipun demikian ia masih bertanya, “Apakah kau tidak keliru?”
“Tidak. Perintah itu jelas.”
“Apa katanya.”
“Tuan Putri menunjuk tuan dari balik bangsal itu.”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Kalau ia
tidak bersedia, maka pengawal yang hanya menerima perintah itu pasti
akan memaksanya. Ia sama sekali tidak mendapat keuntungan apapun
berselisih dengan prajurit yang sedang bertugas.
Karena itu, betapa beratnya ia pergi juga
memenuhi panggilan Ken Umang itu. Namun sudah terasa, bahwa sesuatu
pasti akan terjadi. Sesuatu yang tidak akan menyenangkan hatinya.
Tetapi Mahisa Agni itu terpaksa menyusup
regol yang lebar pada dinding batas halaman itu, diantar oleh prajurit
pengawal yang memanggilnya.
Ketika ia sampai ke ujung serambi
belakang bangsal itu. terdengar suara seorang perempuan dari balik
dinding, “Suruh orang itu duduk di serambi!”
Terasa dada Mahisa Agni melonjak. Ia kini sadar, bahwa ia berhadapan dengan seorang perempuan pendendam.
Tetapi ia masih dapat menyabarkan
dirinya. Meskipun ia tidak duduk di serambi, tetapi ia menunggu di
bawah tangga. Tiba-tiba dari balik pintu muncul seorang perempuan dalam
pakaian yang gemerlapan. Ken Umang.
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia segan memandang wajah perempuan itu.
“Kakang Mahisa Agni,” katanya kemudian, “aku ingin mengucapkan selamat datang di istana Singasari.”
Mahisa Agni dengan susah payah menahan hatinya. Jawabnya, “Terima kasih Tuan Putri.”
“Apakah Kakang Mahisa Agni masih ingat kepadaku?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Sekilas dipandangnya wajah Ken Umang yang sedang tersenyum atas
kemenangannya. Sambil bersandar tiang yang berukir dan bersungging
warna-warna cemerlang ia menyilangkan tangannya di dadanya.
“Ya Tuan Putri. Hamba masih ingat.”
“Di manakah kau pernah bertemu dengan aku?”
Terasa dada Mahisa Agni menjadi semakin
sesak. Dengan tanpa memandanginya ia menjawab, “Aku kira Tuan Putri pun
masih ingat, di mana kita pernah berjumpa.”
Ken Umang terdiam sejenak. Jawaban itu
sama sekali tidak dikehendaki. Sekilas ia melihat dua orang pengawal
berdiri tegak di sebelah menyebelah regol yang menghubungkan bagian
istana yang baru dan bagian yang lama.
“Ya,” berkata Ken Umang kemudian, “aku memang masih ingat. Kita bertemu di rumah Kakang Witantra bukan?”
“Hamba Tuanku.”
“Dan sekarang kita bertemu di sini. Kau tahu, siapa aku sekarang?”
“Hamba Tuanku.”
“Kau ingat, bagaimana kau menyakiti hatiku waktu itu?”
Mahisa Agni berdiri termangu-mangu.
Tetapi ia memang harus menahan dirinya. Kini ia berhadapan dengan istri
muda seorang raja yang perkasa.
“Mahisa Agni,” berkata Ken Umang itu
kemudian, “aku memang sudah berjanji kepada diriku sendiri, bahwa aku
akan menunjukkan kepadamu, bahwa Ken Umang bukan seorang gadis buangan
seperti yang kau sangka. Sekarang kau mengerti, bahwa kau harus
berhamba diri kepadaku.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Untunglah bahwa jasmaniah dan rohaniah ia sudah terlatih untuk menahan
diri. Di sarang Kebo Sindet ia menahan hati betapa sakitnya dijadikan
seorang budak sampai saatnya ia berhasil membinasakannya.
“Nah apa katamu?” bertanya Ken Umang.
“Tidak apa-apa Tuan Putri?” jawabnya.
“Apakah kau menyangka bahwa aku akan mati karena penolakanmu yang kasar itu?”
“Tentu tidak Tuan Putri. Kalau hamba
mengira demikian, hamba tidak akan berani menolak. Dengan demikian
berarti hamba telah membunuh seseorang.”
Dada Ken Umang tiba-tiba bergetar mendengar jawaban itu. Kemarahan yang digalinya sendiri mulai merayapi hatinya.
“Orang yang tidak tahu diri,” ia menggeram, “coba katakan sekarang, siapakah aku.”
Betapapun sakitnya, tetapi Mahisa Agni
berusaha untuk tetap menguasai perasaannya. Maka jawabnya, “Tuan Putri
adalah istri kedua Tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwa Bumi.”
“Nah, sekarang kau harus duduk bersimpuh di hadapanku. Sebagai seorang budak yang duduk di hadapan Tuannya.”
“Itu tidak sewajarnya Tuan Putri.”
“Jangan membantah anak padang Karautan.”
Betapapun juga terasa sengatan menyentuh jantungnya. Sebagai seorang yang mempunyai harga diri Mahisa Agni merasa terhina.
“Hem, alangkah sakitnya,” desisnya di dalam hati, “hukuman sebagai melepaskan dendam serupa ini tidak sepantasnya dilakukan.”
“Ayo lakukan, supaya kau sadar, bahwa kau
benar-benar berhadapan dengan istri seorang Maharaja,” berkata Ken
Umang sambil mengangkat wajahnya.
Tetapi Mahisa Agni menjawab, “Ampun Tuan
Putri. Apakah dengan demikian Tuan Putri tidak merendahkan suami Tuan
Putri, seorang Raja yang perkasa?”
Ken Umang mengerutkan keningnya. “Kenapa? Kau adalah anak pedesaan yang pantas berlutut di bawah kakiku.”
“Hamba adalah kakak ipar suami Tuan
Putri. Kalau Tuan menghinakan hamba demikian, maka adik iparku, akan
terhina pula karenanya.”
Wajah Ken Umang tiba-tiba menjadi tegang.
Sejenak ia berdiri membeku. Dipandanginya Mahisa Agni yang masih saja
melemparkan tatapan matanya jauh-jauh.
Dengan suara gemetar Ken Umang berkata,
“Kau mencoba menakut-nakuti aku? Kau salah, Agni. Sri Rajasa sangat
mencintaiku. apapun yang aku katakan pasti dilakukannya. Seandainya aku
bukan seseorang yang baik hati. yang mengerti perasaan seorang
perempuan, maka aku dapat minta kepada Tuanku Sri Rajasa untuk mengusir
Ken Dedes. Apakah kau tidak percaya?”
Mahisa Agni terkejut mendengar ancaman
itu. Tetapi ia tidak dapat ditakut-takuti pula, sehingga dengan caranya
sendiri ia menjawab, “Tuan Putri. Jangan bermain api. Tuanku Sri
Rajasa sangat mencintai Tuan Putri itu hamba percaya. Karena itu,
apakah yang akan terjadi kalau Tuanku mengetahui, apa yang pernah Tuan
Putri lakukan terhadap hamba.”
“Diam!” tiba-tiba Ken Umang membentak. Wajahnya menjadi merah padam, “Kau akan memeras aku he?”
“Bukan, Tuan Putri. Hamba hanya sekedar
membela diri. Tuanku terlampau bernafsu untuk membalas dendam dengan
cara yang tidak sewajarnya.”
Ken Umang terdiam sejenak. Ditatapnya
wajah Mahisa Agni sebentar. Wajah yang memang pernah menarik
perhatiannya. Sejenak dadanya terguncang oleh kemarahan yang meluap.
Namun sejenak kemudian darahnya serasa semakin lambat mengalir.
“Agni,” katanya perlahan-lahan dalam nada
yang jauh berbeda sehingga Mahisa Agni terkejut karenanya. Tanpa
sesadarnya ia menengadahkan kepalanya memandangi wajah Ken Umang itu.
Sekilas ia melihat perempuan itu tersenyum. Tetapi justru senyum itu
telah mendebarkan jantungnya. Dan ia mendengar Ken Umang itu berkata
lirih, “Agni. berjanjilah bahwa kau akan datang lagi kemari, kapan kau
sukai.”
Kata-kata itu telah menghentakkan dada
Mahisa Agni. serasa akan meruntuhkan jantungnya, ia sama sekali tidak
menyangka. bahwa Ken Umang yang kini telah menjadi istri Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwa Bumi masih juga dihinggapi
sifat-sifatnya yang lama.
Namun dengan demikian justru Mahisa Agni
seakan-akan membeku karenanya. Ia berdiri tegak seperti patung,
meskipun dadanya bergetar dahsyat sekali.
Karena Mahisa Agni tidak menjawab, maka terdengar suara tertawa Ken Umang, “Apakah kau masih juga akan menolak?”
Mahisa Agni masih belum menjawab.
“Pertimbangkan Agni,” berkata Ken Umang,
“manakah yang lebih menguntungkan kau. Ingat, aku adalah istri Raja
Singasari. Istri yang sangat dicintai oleh suaminya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Tuan Putri. Kalau Tuan Putri sangat dicintai oleh Tuanku Sri
Rajasa. Kenapa Tuan Putri menyia-nyiakan cintanya itu?”
Ken Umang tertawa. Katanya, “Kalau aku
seorang Permaisuri, maka aku tidak akan berbuat demikian. Tetapi aku
bukan Permaisuri. Sri Rajasa tidak setiap hari datang ke bangsal ini.
Bahkan kadang-kadang sepekan sekali. Kalau banyak persoalan yang harus
diselesaikan, kadang-kadang dua tiga pekan Tuanku baru berkunjung. Nah,
bayangkan, alangkah sepinya waktu-waktu itu.”
“Tuan Putri,” berkata Mahisa Agni, “umur
kita sudah merambat semakin tua. Tuan Putri sudah bukan seorang
pengantin baru lagi. Putra-putra Tuan Putri telah lahir satu demi satu.
Apakah Tuan Putri masih juga memerlukan orang lain?”
Wajah Ken Umang menegang sejenak. Namun
kemudian ia pun tertawa. “Aku belum tentu yang kau sangka, Agni. Tetapi
aku tidak akan memaksamu sekarang meskipun aku dapat berbuat apa saja
sekehendakku. Aku dapat menangkap kau dengan tuduhan apapun yang aku
kehendaki. Aku dapat mengatakan hitam bagi yang putih, dan mengatakan
putih bagi yang hitam.”
Terasa darah Mahisa Agni menjadi semakin cepat mengalir.
“Pergilah kalau kau mau pergi sekarang.
Tetapi pada saatnya kau pasti akan kembali. Aku akan menyediakan madu
yang paling manis buatmu, atau kau ingin aku memberikan reramuan yang
paling pahit.”
Mahisa Agni hampir kehilangan kemampuan
untuk menahan gelora kemarahan di dalam dadanya. Untunglah bahwa ia
masih tetap menyadari keadaannya. Karena itu maka ia pun membungkuk
dalam-dalam sambil berkata, “Terima kasih Tuanku. Hamba mohon diri.”
“Pintuku selalu terbuka bagimu, Agni.”
Mahisa Agni mengatupkan giginya
rapat-rapat. Suara tertawa Ken Umang yang kemudian mengiringinya
terdengar seperti suara hantu betina yang kehausan darah, melihat
bangkai yang masih segar.
Tetapi Mahisa Agni tidak berani lagi
berpaling. Ia berjalan sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun
di dalam dadanya berkecamuk berbagai perasaan yang menghentak-hentak.
Apa yang telah dialaminya ternyata
seperti api yang telah menyalakan darahnya yang hampir mendingin
kembali. Tingkah laku Ken Umang yang memuakkannya itu membuat Mahisa
Agni menjadi semakin iba kepada Ken Dedes. Sudah tentu bahwa Ken Dedes
tidak akan dapat berbuat seperti Ken Umang meskipun terhadap Ken Arok
sendiri. Dan akibatnya pasti akan semakin menjauhkannya dari Sri
Rajasa, meskipun menurut Ken Umang, waktu yang didapatkannya dari Ken
Arok hanya sepekan atau dua pekan sekali. Tetapi sudah tentu bahwa Ken
Arok akan lebih memperhatikan istri mudanya daripada Ken Dedes.
Sekilas terbayang di dalam angan-angan
Mahisa Agni. sikap Ken Arok terhadap Anusapati. Dan terbayang pula
kasih sayang Raja itu terhadap Tohjaya.
Meskipun hal itu adalah wajar sebagai
suatu sikap manusiawi, tetapi perasaan Mahisa Agni kini seakan-akan
tidak dapat membiarkannya hal itu berlangsung terus.
“Seandainya Ken Arok berhasil menarik
diri sepenuhnya dari dalam lumpur, namun agaknya Ken Umang akan
menyeretnya kembali justru ke dalam kubangan yang paling kotor,”
katanya di dalam hati.
Mahisa Agni sama sekali tidak menyadari,
bahwa tiba-tiba saja keinginannya untuk mengetahui siapakah pembunuh
sebenarnya dari Empu Gandring telah tumbuh kembali. Meskipun ia mencoba
membayanginya dengan sikap. Seolah-olah hal itu hanya sekedar
pekerjaan sambilan.
“Seandainya aku mengetahuinya, maka aku tidak harus berbuat apapun apabila tidak memungkinkannya,” katanya di dalam hati.
Demikianlah maka Mahisa Agni pun segera
minta diri kepada Ken Dedes, pemomongnya dan dalam suatu kesempatan
kepada Ken Arok. Selain untuk mencoba menghubungi untuk yang dapat
menjadi saksi dalam persoalan pamannya, ia juga mencemaskan dirinya
sendiri, kalau Ken Umang benar-benar tidak dapat mengendalikan diri.
Mahisa Agni memerlukan waktu beberapa
lama untuk pantas kembali lagi ke Singasari. Meskipun hampir saja ia
tidak dapat bersabar lagi, namun baru pada bulan berikutnya ia membawa
cantrik yang melihat kehadiran seorang prajurit yang dapat disangka
membunuh Empu Gandring di padepokannya.
“Tetapi untuk keselamatanmu, kau harus dapat menyamar diri,” berkata Mahisa Agni.
“Kalau aku harus mati karena pekerjaan
ini, aku tidak akan menyesal,” berkata cantrik itu “ tetapi aku sama
sekali tidak bermaksud mengguncang keseimbangan yang sudah dicapai oleh
Singasari.”
Mahisa Agni tidak menyahut.
“Apalagi kini,” berkata cantrik itu pula,
“para pendeta di Kediri sudah tidak dapat menahan hati lagi. Mereka
mengalir menuju ke Singasari. Dan agaknya Sri Rajasa pun sudah semakin
bersiaga untuk menanggapi keadaan.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia mengetahui juga bahwa perkembangan keadaan Singasari dan Kediri menjadi semakin panas.
Tetapi ia tidak dapat juga menyingkirkan
sakit hatinya yang tiba-tiba telah terungkit karena kelakuan Ken Umang.
Sehingga meskipun masih dipengaruhi oleh berbagai macam pertimbangan,
ia memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya. Mumpung masih ada
saksi yang dapat memberi arah penyelidikan itu.
Ketika mereka memasuki istana Singasari, cantrik itu berpakaian seperti seorang petani. Petani yang sangat sederhana.
Atas izin permaisuri maka Mahisa Agni dan
petani yang sederhana itu pun bermalam di istana. Semula Ken Dedes
heran melihat orang yang belum pernah dikenalnya itu. Sebagai anak
Panawijen ia mengenal hampir setiap orang. Tetapi orang ini belum
pernah dilihatnya.
“Orang ini orang baru Tuan Putri. Dari beberapa bulan ia tinggal bersama kami di padukuhan Panawijen baru.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Orang
baru ini pasti orang yang dianggap penting oleh Mahisa Agni. Tetapi Ken
Dedes tidak menanyakannya.
Meskipun demikian, Mahisa Agni
seakan-akan mengetahui perasaan Permaisuri itu, sehingga ia pun
berkata, “Tetapi orang ini bukan orang terkemuka di padukuhan kami. Ia
sama sekali belum pernah melihat istana. Karena itu ia ingin ikut
bersamaku.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dari sorot matanya Mahisa Agni dapat melihat keheranan di hati Permaisuri itu.
Tetapi Permaisuri itu berkata, “Baiklah. Pergunakan kesempatan sebaik-baiknya selagi kalian berada di Singasari.”
Sementara mereka berada di istana itu di
hari-hari berikutnya. Mahisa Agni mencoba untuk memecahkan teka-teki
yang sudah sekian lama tersimpan. Pada suatu kesempatan mereka melihat
Sri Rajasa berjalan-jalan di halaman istana. Kemudian pada kesempatan
lain, keduanya melihat Raja Singasari itu berkuda keluar regol halaman
istana bersama beberapa orang pengiringnya. Namun yang meyakinkan bagi
cantrik itu, adalah ketika mereka berkesempatan melihat baginda
bersantap. Baginda dalam pakaian sehari-hari yang sederhana.
Sejenak cantrik itu menjadi gemetar. Ia
tidak dapat dikelabui lagi meskipun semua itu telah terjadi beberapa
tahun yang lalu. Namun ingatannya ternyata masih cukup segar. Seorang
prajurit yang datang dengan tergesa-gesa, menemui Empu Gandring di
Sanggarnya, kemudian pergi di malam itu pula.
“Apakah kau yakin?” bertanya Mahisa Agni.
“Dugaanku kuat. Tetapi sekedar dugaanku.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mengambil keputusan atas dasar
keterangan cantrik itu saja. Karena itu, maka ia pun segera berusaha
untuk mendapatkan keterangan dari sumber-sumber lain. Dengan hati-hati
dihubunginya istri Kebo Ijo. Daripadanya ia mendapat keterangan tentang
kematian suaminya, tentang pintu yang tidak terkunci.
“Kakang Mahisa Agni, kenapa Kakang menggugat hal itu kembali? Biarlah hal itu terjadi.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Bukankah Kakang Mahisa Agni ikut
menentukan bahwa Kakang Kebo Ijo bersalah telah membunuh Akuwu Tunggul
Ametung? Dan barangkali juga Empu Gandring?”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya. Justru karena aku ikut menentukan
kepastian Kebo Ijo bersalah itulah aku tidak dapat melupakan peristiwa
itu.”
“Sudahlah. Luka di hatiku telah sembuh
sedikit demi sedikit. Kalau persoalan itu nanti terungkit kembali, maka
luka di hatiku pasti akan kambuh pula.”
“Maafkan Nyai. Tetapi aku memerlukan keterangan itu. Setidak-tidaknya untuk menenteramkan hatiku sendiri.”
“Sebaiknya Kakang Mahisa Agni melupakannya. Aku pun akan melupakannya.”
“Kau yakin bahwa Kebo Ijo tidak bersalah?”
“Aku yakin. Dan keyakinanku tidak akan goyah.”
“Mungkin pintu yang terbuka itu merupakan salah satu peristiwa yang bersangkut paut.”
“Sudahlah. Jangan kau teruskan Kakang.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Kemudian ia pun minta izin untuk kembali ke istana.
Namun di sepanjang jalan langkah Mahisa
Agni serasa diberati oleh beban yang tidak dapat dilepaskannya. Sambil
menundukkan kepalanya ia berjalan perlahan-lahan. Ternyata ia tidak
langsung menuju ke istana. Ia berjalan berkeliling kota untuk
melihat-lihat perkembangan kota Singasari yang sangat pesat.
Mahisa Agni tertegun ketika ia berdiri di
depan sebuah regol yang besar di pinggir kota. Sebuah padepokan yang
asri dan sejuk di bawah rimbunnya batang-batang sawo kecik yang
berjajar di halaman.
Sejenak Mahisa Agni berdiri
termangu-mangu. Ia mengenal padepokan itu adalah padepokan pendeta
istana. Pendeta Lohgawe, yang telah menarik langsung Ken Arok dari
padang Karautan, dan menyerahkannya ke dalam pengabdian di istana Akuwu
Tunggul Ametung saat itu.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni telah
dicengkam oleh suatu keinginan untuk menghadap Lohgawe. Ia yakin,
sebagai seorang pendeta, Lohgawe akan berpijak pada kebajikan dan
kebenaran.
Dalam keragu-raguan Mahisa Agni berdiri
tegak di samping regol padepokan sambil menatap tanaman yang teratur di
halaman yang luas. yang dilingkungi oleh pagar batu yang tidak
terlampau tinggi.
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba
saja seorang cantrik muncul dari dalam regol. Seperti Mahisa Agni,
cantrik itu pun terkejut. Dengan serta-merta ia menyapanya, “ Apakah Ki
Sanak mencari seseorang?”
Mahisa Agni menjadi bingung. Sejenak ia
mematung dalam kebimbangan. Namun kemudian ia bertanya, “Apalah
padepokan ini, padepokan pendeta Lohgawe?”
Kini cantrik itulah yang termangu-mangu.
Ditatapnya Mahisa Agni beberapa saat. Pertanyaan itu terdengar aneh di
telinga cantrik itu. karena semua orang di seluruh Singasari telah
mengenal, bahwa padepokan itu adalah padepokan pendeta istana yang
bernama Lohgawe.
“Apakah Ki Sanak bukan orang Singasari?” cantrik itu bertanya.
Tergagap Mahisa Agni menjawab, “Bukan. Aku bukan orang kota Singasari, meskipun aku berasal dari wilayah Singasari pula.”
“Dari manakah, Ki Sanak?”
“Padang Karautan.”
Cantrik itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Padepokan ini memang padepokan Pendeta
Lohgawe. Pendeta istana. Apakah Ki Sanak akan menghadap?”
Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Namun
kepalanya kemudian terangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Aku akan menghadap
apabila tidak berkeberatan.”
“Apakah keperluan Ki Sanak?”
Mahisa Agni menjadi bingung. Ia tidak
akan dapat mengatakan keperluannya kepada cantrik itu. Sedangkan ia
menyadari, sebagai pendeta istana, maka tidak setiap orang dapat
menemuinya.
Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba saja
ia sadar, bahwa ia adalah kakak Permaisuri Ken Dedes. Karena itu maka
katanya kemudian, “Kalau Pendeta Lohgawe tidak sedang sibuk katakan,
bahwa kakanda Tuan Putri Permaisuri Singasari akan bertemu.”
Cantrik itu mengerutkan keningnya.
“Maksud Ki Sanak, Ki Sanak adalah utusan kakanda Tuanku Permaisuri?”
Sekali lagi Mahisa Agni termangu-mangu.
Kalau ia mengiakan pertanyaan itu, mungkin perhatian Pendeta Lohgawe
tidak seperti apabila ia langsung menyebut dirinya. Setelah sejenak
berpikir, akhirnya Mahisa Agni menjawab, “Aku adalah orang yang kau
maksud.”
“O, jadi … “ cantrik itu berheran-heran.
Ia melihat seorang laki-laki yang sederhana, yang menyebut dirinya
mula-mula sebagai seorang laki-laki yang datang dari padang Karautan.
Tetapi kemudian ia menyebut dirinya sebagai kakak permaisuri Singasari.
Dalam keragu-raguan Mahisa Agni bertanya, “Apakah kau bukan orang Singasari?”
Pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan yang pernah diajukannya itu telah membingungkan cantrik itu.
“Kalau kau orang Singasari,” berkata
Mahisa Agni seterusnya, “pasti mengetahui, bahwa Tuan Putri Ken Dedes
berasal dari padepokan Panawijen. Putri seorang Pendeta yang bernama
Empu Purwa. Aku adalah putra laki-laki dari Pendeta tersebut.”
“O, maaf tuan. Maaf.” cantrik itu terbungkuk-bungkuk, “aku tidak tahu, bahwa tuan adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes.”
“Tidak mengapa. Sekarang, sampaikan kepada Bapa Lohgawe bahwa aku akan menghadap.”
“Maaf, nama tuan?”
“Mahisa Agni.”
Cantrik itu membungkukkan kepalanya.
Kemudian dibawanya Mahisa Agni masuk ke padepokan yang asri itu.
Sementara ia menunggu, oleh cantrik itu Mahisa Agni dipersilakan duduk
di pendapa padepokan, menghadap ke taman yang diwarnai oleh bunga dan
dedaunan yang beraneka warna.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam
ketika ia tinggal duduk seorang diri. Cantrik-cantrik yang lewat di
halaman dan batu-batu kerikil di seputar taman, mengingatkannya kepada
padepokan yang dihuninya sejak kanak-kanak. Padepokan Panawijen.
Meskipun Padepokan Empu Purwa tidak sebaik padepokan pendeta istana
ini, namun padepokan itu pun cukup memberikan kesan yang menarik.
Belumbang, yang berisi ikan gurame dan tawes, binatang peliharaan raja
kaya dan iwen yang berkeliaran di halaman, angsa, itik dan semacamnya.
Mahisa Agni terperanjat ketika cantrik
yang membawanya masuk memanggilnya, “Tuan, aku sudah menyampaikan
kepada Bapa Pendeta. Tuan dipersilakan masuk.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Bagaimana ia akan mulai dengan persoalan yang selama ini tersimpan di dalam hatinya?
Tetapi ia sudah terlanjur berada di dalam halaman padepokan itu. Ia tidak akan dapat pergi tanpa menemui Pendeta Lohgawe.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera
mengikuti cantrik itu. Lewat longkangan di sebelah pendapa, masuk ke
bagian belakang padepokan.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya ketika
ia melihat seorang yang duduk terpekur di serambi. Seorang pendeta yang
tua namun masih memancarkan kesegaran jasmaniah.
Mahisa Agni belum pernah duduk berhadapan
muka dengan pendeta itu. Kini ia dapat melihat dengan jelas, bahwa
pendeta itu adalah pendeta yang agak berbeda dengan gurunya, Empu
Purwa, dan juga berbeda dengan Empu Sada. Pendeta ini kulitnya agak
kehitam-hitaman. Berhidung mancung dan bermata tajam. Namun tampak
kelunakan dan kesabaran yang seakan-akan tiada berbatas. Di keningnya
tergurat garis-garis umurnya, sekaligus memancarkan sorot
kebijaksanaan.
Mahisa Agni membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Aku akan menghadap Bapa Pendeta, apabila berkenan di hati Bapa.”
“Marilah Anakmas. Silakan,” suaranya berat dan lunak.
Mahisa Agni pun kemudian naik ke serambi dan duduk bersila sambil menundukkan kepalanya di hadapan Pendeta Lohgawe.
“Aku sudah diberi tahu oleh cantrik, bahwa Anakmas adalah kakanda Tuanku Permaisuri Ken Dedes.”
“Ya, Bapa Pendeta.”
“Aku sebenarnya agak terkejut mendapat
kunjungan yang tiba-tiba dari Anakmas tanpa seorang utusan pun yang
memberitahukan hal itu kepadaku terlebih dahulu.”
“Oh, maafkan Bapa Pendeta,” sahut Mahisa
Agni dengan serta-merta. Kini baru ia menyadari tata hubungan orang
istana yang jauh berbeda dengan tata hubungan orang-orang di padang
Karautan.
Dalam kehidupannya sehari-hari di padang
Karautan ia sama sekali tidak pernah menghiraukan tata hubungan serupa
itu. Bahkan kedatangannya ke istana Singasari pun hampir tidak pernah
mempergunakan tata cara apapun. Ia datang dan masuk ke istana lewat
regol belakang. Baru saat itulah ia memberitahukan kedatangannya kepada
Ken Dedes.
Mahisa Agni mengangkat wajahnya ketika
Lohgawe kemudian berkata, “Tetapi bukan sekedar karena kedatangan
Anakmas yang tiba-tiba. Aku terkejut karena Anakmas begitu memerlukan
berkunjung ke padepokan ini.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi a menyadari sesuatu yang hampir tidak pernah
dihiraukannya. Ia adalah kakak seorang permaisuri. Meskipun ia perah
menolak gelar kebangsawanan dari istana Tumapel saat itu, dan kemudian
juga setelah Ken Arok menjadi akuwu, sehingga kini Tumapel telah
menjadi kerajaan. Namun bagi orang lain, kakak seorang permaisuri
memang mendapat tempat yang tersendiri.
“Bapa Pendeta,” berkata Mahisa Agni
kemudian dengan hati-hati, “sebenarnya aku hanya sekedar ingin
berkunjung kemari. Aku tidak mempunyai suatu keperluan yang khusus.
Karena itu, apabila bapa Pendeta sedang sibuk degan tugas-tugas Bapa
Pendeta, aku tidak akan mengganggu.”
“Oh tidak, tidak Ngger. Aku tidak sedang
berbuat apa-apa. Aku memang sedang duduk-duduk di serambi ini, ketika
cantrik itu memberitahukan kedatangan Anakmas.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Agni, “aku akan sangat menghargai waktu ini.”
“Silakan. Silakan Angger duduk-duduk di sini mengawani aku,” berkata Lohgawe sambil tersenyum.
“Sudah lama sebenarnya aku ingin datang
sekedar berkunjung,” berkata Mahisa Agni kemudian, “tetapi baru
sekarang aku mendapat kesempatan. Setiap kali aku datang ke Singasari,
waktuku tidak terlampau banyak tersisa.”
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia pun bertanya, “Di manakah Anakmas selama ini tinggal?
Apakah masih tetap berada di Panawijen?” Lohgawe berhenti sejenak,
kemudian, “Bukankah Tuan Putri berasal dan Panawijen?”
“Panawijen telah kering bapa Pendeta,” jawab Mahisa Agni, “padepokan Empu Purwa pun telah kering pula.”
“Jadi?”
“Aku kini tinggal di padang Karautan.”
Pendeta Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah dahinya menjadi berkerut-merut.
“Ya Bapa Pendeta. Kami telah membuka padukuhan baru di padang Karautan bersama baginda sebelum menjadi akuwu.”
“Ya, ya. Aku mendengar bahwa Baginda
dahulu, selagi ia masih menjadi pelayan dalam, pernah mendapat tugas
untuk ikut serta membuka padang Karautan.”
“Ya Bapa Pendeta. Ternyata Baginda memang mengenal padang Karautan dengan baik, seperti mengenal isi istana sekarang ini.”
Pendeta Lohgawe tidak segera menjawab. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut-merut.
“Pekerjaan membangun bendungan, susukan
dan parit-parit ditambah lagi dengan sebuah taman dan belumbang yang
luas itu dapat ditanganinya dengan sempurna.”
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak ada orang lain yang dapat melakukannya selain Baginda yang saat itu bernama Ken Arok.”
“Bukan Anakmas,” jawab Lohgawe, “bukan
hanya sekedar Baginda. Tetapi para prajurit yang pada waktu itu ikut
besertanya, dan orang-orang Panawijen sendiri ikut menentukan.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi kini ia benar-benar berusaha untuk mengarahkan pembicaraan.
“Memang bapa Pendeta,” jawab Mahisa Agni,
“tetapi tanpa mengenal medan dengan baik, pekerjaan yang besar itu
tidak akan dapat berjalan dengan lancar. Dan ternyata Baginda yang pada
waktu itu bernama Ken Arok mengenal padang Karautan dengan baik.”
Pendeta Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dengan sareh ia menjawab, “Ya Ngger. Agaknya memang demikian.”
“Baginda memang seorang yang luar biasa
bapa,” berkata Mahisa Agni kemudian, “kemampuannya membangun padang
Karautan membayangkan kemampuannya di bidang-bidang lain. Ternyata
Baginda mampu juga membangun kerajaan Singasari yang megah. Bahkan
agaknya Baginda tidak hanya akan berhenti sampai sekian.”
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Saat itu, Baginda yang masih bernama Ken
Arok, telah menganggap padang Karautan seperti ia menangani kerajaan
Singasari sekarang. Ia mulai dari modal yang sekecil-kecilnya dibumbui
oleh bermacam-macam keadaan, maka jadilah apa yang kita lihat
sekarang.”
Lohgawe tidak segera menjawab.
“Bapa Pendeta,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “apakah Bapa Pendeta tidak mengetahui, bahwa Baginda memang
benar-benar telah mengenal padang Karautan sebelum ia datang bersama
para prajurit?”
Lohgawe menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia meraba-raba janggutnya yang tidak terlampau panjang.
“Marilah kita lihat Baginda seperti keadaannya sekarang ini Anakmas,” berkata Lohgawe kemudian.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sambil
menganggukkan kepalanya pula ia berkata, “Ya Bapa Pendeta. Aku memang
melihat Baginda seperti apa adanya sekarang. Aku hanya sekedar
mengagumi, betapa seseorang mampu merambat untuk mencapai tangga
tertinggi dari kehidupannya.”
“Asal kita berbuat dengan tekun dan penuh
ketulusan hati, kita akan dapat mencapai, setidak-tidaknya mendekati
ujung dari cita-cita kita.”
“Ya, Bapa. Aku mengagumi, selagi
seseorang tidak memanjat mata tangga yang dibuat dari korban-korban
nafsu mementingkan diri sendiri.”
Tampaklah perubahan membersit di wajah
Lohgawe. Tetapi hanya sesaat. Kemudian wajah itu pun telah menjadi
bening seperti semula. Bahkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata, “Benar Ngger. Benar. Kita tidak dapat berdiri di atas timbunan
korban-korban yang tidak bersalah, sekedar untuk memuaskan nafsu kita.
Bahkan untuk mencapai cita-cita yang bagaimanapun baiknya, kita tidak
dapat membenarkan setiap cara apapun tanpa menghiraukan nilai-nilai
peradaban untuk mencapai tujuan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Bapa Pendeta, menilik sifat-sifat Baginda Sri
Rajasa, maka Baginda pasti tidak akan berbuat serupa itu. Baginda pasti
berjuang lewat jalan yang seharusnya dilalui untuk mencapai tingkat
puncak seperti yang diharapkannya.”
Kini Pendeta Lohgawe tidak dapat lagi
menyembunyikan perasaan yang membayang di wajahnya. Tampak sesuatu
terlontar dari kerut-merut di keningnya.
Tetapi ternyata bahwa Lohgawe adalah
seorang yang benar-benar bijaksana, sehingga sejenak kemudian ia
berkata, “Angger Mahisa Agni memang seorang yang memiliki pandangan
yang sangat tajam. Aku mengerti apa yang Angger maksudkan. Dan aku
mengerti kenapa Angger berbuat demikian. Anakmas adalah kakak Tuanku
Permaisuri, sedang Anakmas melihat, bahwa Baginda Sri Rajasa tidak
berdiri seperti yang Angger harapkan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Beberapa tahun lamanya ia hidup di padepokan bersama seorang pendeta
yang bijaksana pula. Karena itu, maka ia pun mampu untuk menjajaki
sifat-sifat kependetaan Lohgawe. Meskipun ia sadar bahwa Pendeta
Lohgawe pun adalah manusia biasa pula, seperti gurunya. Empu Purwa yang
pada suatu saat menjadi khilaf dan berbuat kesalahan yang besar bagi
kemanusiaan dengan memecah bendungan Panawijen.
“Bapa Pendeta,” berkata Mahisa Agni, “aku minta maaf bahwa aku telah terdorong untuk menanyakan hal itu.”
“Tidak apa Anakmas. Anakmas memang
berkepentingan. Tetapi kalau pertanyaan itu Angger teruskan, maka sudah
pasti, aku akan sampai pada suatu kesulitan yang tidak akan dapat aku
atasi.”
Mahisa Agni terdiam sejenak. Ia mencoba
merenungkan kata-kata Pendeta Lohgawe itu. Namun ia sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa apa yang dikatakan oleh Pendeta Lohgawe itu,
sebenarnya adalah jawaban dari semua pertanyaan yang tersimpan di dalam
dadanya.
Mahisa Agni tahu pasti, bahwa Lohgawe
tidak akan dapat berbohong. Sebagai seorang pendeta ia akan mengatakan
putih bagi yang putih dan hitam bagi yang hitam. Sehingga apabila ia
sampai ke puncak pertanyaannya, maka Lohgawe pasti tidak akan dapat
menjawabnya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
Mahisa Agni berkata, “Baiklah Bapa. Aku tidak akan bertanya lebih jauh,
karena sebenarnya Bapa telah memberitahukan apa yang ingin aku
ketahui.”
“Baiklah Ngger. Tetapi aku tahu, bahwa
Angger adalah seorang yang bijaksana. Angger tahu apa yang sebaiknya
Angger lakukan dan apa yang tidak sebaiknya Angger perbuat.”
“Aku tahu Bapa. Tetapi perkenankanlah aku bertanya satu hal lagi.”
Pendeta Lohgawe mengerutkan keningnya. Terbayang keragu-raguan yang tidak lagi dapat disembunyikan pula.
“Maaf Bapa Pendeta,” berkata Mahisa Agni, “pertanyaanku terlampau sederhana. Pertanyaan seorang anak padang Karautan.”
Lohgawe masih tetap berdiam diri.
“Bapa,” suara Mahisa Agni menjadi semakin
lambat dan datar, “apakah Bapa merestui perjuangan Baginda sampai ke
tempatnya yang sekarang?”
Lohgawe adalah Pendeta yang hampir
mumpuni. Ia menguasai ilmu yang kasatmata dan yang tidak kasatmata.
Itulah sebabnya maka pertanyaan Mahisa Agni itu dapat ditangkap sampai
jauh ke dalam inti maknanya. Bukan sekedar pertanyaan seorang yang
datang dari padang Karautan atau seorang kakak dari seorang perempuan
yang kecewa karena dimadu, bukan pula sekedar pertanyaan seorang yang
iri hati. Tetapi Lohgawe menelusuri masalahnya dari sumber segala yang
ada. Sangkan paraning dumadi.
Pendeta itu menarik nafas dalam-dalam.
Mahisa Agni bukan orang yang harus dipersoalkan. Tetapi bahwa ia
mendapat hasrat untuk melakukannya, itulah yang menjadi pusat perhatian
Lohgawe.
Ken Arok sekarang justru berada di pintu
kemasyhuran. Ia sedang berusaha menghadapi Kediri yang tidak senang
melihat perkembangan Singasari yang tumbuh di atas tanah Tumapel. Namun
sementara itu Kediri telah melakukan kesalahan yang dapat menikam
jantung sendiri. Menurut keputusan Maharaja Kediri, maka semua pendeta
harus menyembahnya, sebagai dewa tertinggi. Sehingga para pendeta yang
mempunyai banyak pengaruh itu telah memalingkan wajah mereka ke
Singasari.
Pada saat itulah, dari pusat adanya, Ken Arok telah mendapatkan sepercik tuntutan lewat Mahisa Agni.
Dengan demikian maka Pendeta Lohgawe yang
mempunyai penglihatan yang lepas hampir tidak berbatas itu segera
melihat, kabut yang gelap membayangi tahta Singasari yang kini masih
sedang menanjak.
“Memang tidak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari tangan-Nya,” katanya di dalam hati.
Karena Lohgawe tidak segera menjawab, maka Mahisa Agni pun mendesaknya. “Bagaimana Bapa?”
“Anakmas Mahisa Agni,” berkata Pendeta
itu kemudian, “aku tahu bahwa Anakmas menganggap, sebagai seorang
pendeta aku tidak akan melakukan pemalsuan. Tingkah laku, kata-kata
maupun kesaksian. Sejak semula aku memang sudah menyangka, bahwa
Anakmas akan mendorong aku sampai ke sana. Aku tidak akan dapat ingkar
dari pertanyaan itu. Tetapi sekali lagi aku mengharap bahwa Anakmas
cukup bijaksana. Seandainya seekor ular bersembunyi di dalam tiang
rumahku, sudah tentu aku tidak akan langsung menebang tiang itu untuk
membunuh ularnya. Justru aku tahu, bahwa di atas atap rumah itu banyak
orang yang sedang bersembunyi menyelamatkan diri dari kejaran seekor
harimau.”
Terasa sesuatu bergetar di dada Mahisa Agni. Ia langsung dapat menangkap makna dari kata-kata Pendeta Lohgawe itu.
Justru karena itu, Mahisa Agni diam
mematung. Darahnya serasa berjalan semakin lambat. Ditatapnya wajah
Pendeta Lohgawe yang kini telah menjadi bening kembali, justru setelah
ia mengatakan apa yang tersimpan di dalam hatinya.
Ketika Mahisa Agni akan mengucapkan
sepatah kata, Lohgawe mendahului, “Itulah Anakmas. Bukankah kau
menghendaki untuk mengetahui kenyataan itu? Dan agaknya Yang Maha
Tunggallah yang membawa kau kemari, seperti Yang Tunggal membawa Ken
Arok kepadaku.”
Lohgawe berhenti sejenak, kemudian,
“Terserahlah kepada Anakmas. Apakah yang menurut Anakmas baik
dilakukan. Aku menganggap bahwa Anakmas telah mendapat kebijaksanaan
yang tidak terbatas.”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya,
“Tidak sejauh itu Bapa Pendeta. Kini terasa betapa bodohnya aku.
Setelah aku mendengar jawaban yang aku tunggu-tunggu itu, justru aku
menjadi kehilangan akal. Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya aku
lakukan.”
“Angger memang perlu penenangan. Aku sudah pasrah. Apa yang Angger lakukan adalah yang paling baik.”
Mahisa Agni menjadi semakin bingung.
“Jangan kau paksa untuk mengambil
kesimpulan sekarang Anakmas. Kalau Anakmas sudah menjadi tenang, maka
Anakmas akan melihat cahaya itu di hati Anakmas.”
Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya.
“Lupakanlah untuk sejenak. Apakah Anakmas mempunyai persoalan yang lain?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak Bapa Pendeta. Aku tidak mempunyai keperluan apapun.”
“Kalau begitu, kita mempunyai waktu untuk
berbicara tentang banyak hal. Tentang jalan-jalan yang menjadi semakin
rata, bangunan-bangunan yang bertambah megah di atas Singasari ini.”
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni menundukkan
kepalanya sambil berkata, “Aku mohon diri Bapa Pendeta. Aku kira aku
telah berbuat suatu kesalahan. Aku telah didorong oleh
perasaan-perasaan yang selama ini terdesak jauh ke sudut hati yang
paling tersembunyi. Tetapi aku tidak berhasrat untuk berbuat apapun.”
Lohgawe tersenyum. “Jangan mengambil keputusan sekarang.”
Kini Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia berkata, “Aku mohon diri Bapa Pendeta.”
Sekali lagi Lohgawe tersenyum, “Baiklah Anakmas.”
“Aku mohon restu, agar aku tidak dilihat oleh kegelapan, oleh iri dan dengki.”
“Kalau kau sadar akan dirimu, maka kau tidak akan terjerumus ke dalamnya.”
“Mudah-mudahan Bapa Pendeta.”
Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan
padepokan itu dengan hati yang kisruh. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya
dilakukan. Setela ia ia mendapat jawaban atas teka-tekinya, maka kini
justru ia diharapkan pada suatu teka-teki baru yang lebih sulit.
Mahisa Agni menjadi semakin bingung lagi,
karena ia sadar tidak seorang pun yang dapat diajaknya berbicara.
Cantrik yang dibawanya dari Lulumbang itu pun tidak.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni teringat
kepada emban tua pemomong Ken Dedes. Ia akan dapat berkata berterus
terang kepada ibunya sendiri. Sudah tentu bahwa ibunya tidak akan
berbuat apa-apa yang dapat mencelakakannya. Dan bahkan mungkin ibunya,
yang selama ini dekat dengan Ken Dedes, dapat mengatakan, apa yang
pernah dilihatnya.
Maka ketika ia mendapat kesempatan, pada
malam hari ia berkunjung ke bilik emban tua itu tanpa dicurigai oleh
para pengawal. Keduanya adalah orang-orang Panawijen, dan emban tua itu
adalah pemomong permaisuri.
Dengan hati-hati Mahisa Agni mencoba
untuk mengarahkan pembicaraan. Dikatakannya pula bahwa ia telah bertemu
dengan janda Kebo Ijo, dengan Lohgawe dan menurut sepengetahuan
cantrik yang dibawanya itu.
“Bagaimanakah pendapat ibu?”
Sejenak orang tua itu tidak menjawab. Perlahan-lahan kepalanya menunduk, dan titik-titik air pun berjatuhan satu demi satu.
“Kenapa ibu menangis?” bertanya Mahisa Agni.
“Ceritamu membuat hatiku trenyuh, Agni.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah
terjadi. Tetapi tangkapan naluriku mengatakannya demikian. Aku melihat
hubungan yang tidak wajar sebelumnya antara Ken Dedes dan Ken Arok.”
“Apakah ibu percaya bahwa akhir dari peristiwa itu memang demikian.”
Perlahan ibunya mengangguk.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kini ia yakin, bahwa ia telah menemukan pembunuh Empu Gandring,
pembunuh Akuwu Tunggul Ametung dan jawaban atas pertanyaan, kenapa Ken
Arok membunuh Kebo Ijo sebelum ada keputusan dari pemimpin yang tujuh.
Namun kesimpulan itu ternyata telah
memukul dadanya, seakan-akan menjadi bengkah. Sekilat dikenangnya akan
Witantra, yang terusir dari kedudukannya karena keyakinannya. Kebo Ijo
tidak bersalah. Dan ia, Mahisa Agni yang terburu nafsulah yang saat itu
naik ke atas arena, untuk memperkuat keputusan, bahwa Kebo Ijo telah
bersalah.
Penyesalan yang tiada taranya telah
meremas jantungnya. Karena itu maka kebenciannya kepada Ken Arok pun
tiba-tiba meledak. Dengan nada yang tajam ia berdesis, “Aku akan
membunuh Ken Arok.”
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba
saja ibunya meloncat memeluknya. Di antara isak tangisnya ia berkata,
“Jangan Agni. Jangan. Bagaimanapun juga, Ken Dedes tidak akan ikhlas
melihat suami pilihannya itu terbunuh. Apalagi kaulah yang
membunuhnya.”
Emban tua itu berhenti sejenak, kemudian,
“Apalagi saat ini di mana setiap orang Singasari menggantungkan
harapannya kepada Baginda Sri Rajasa.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Pelukan ibunya serta titik-titik air matanya serasa telah menyejukkan
hatinya. Meskipun demikian ia tidak dapat menyembunyikan penyesalan
yang tiada taranya terhadap sikapnya yang telah menjerumuskan Kebo Ijo
ke dalam kehinaan dan telah mengusir Witantra dari Tumapel.
“Seandainya saat itu aku tidak menjadi
gila, aku kira keadaan akan berbeda. Kalau Ken Arok sendiri tidak turun
ke arena, sudah pasti, sulitlah untuk mencari pimpinan prajurit yang
dapat mengalahkannya. Bahkan Ken Arok pun belum pasti,” berkata Mahisa
Agni di dalam hatinya, “tetapi semuanya sudah terlanjur. Aku ikut
memberikan tenagaku melanggar nilai-nilai kebenaran.”
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab,
maka ibunya berkata seterusnya, “Tenanglah Mahisa Agni. Jangan
tergesa-gesa. Kalau kau masih juga tergesa-gesa maka kau akan
mengulangi kesalahanmu itu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepala. Ia mencoba mengerti nasihat ibunya.
“Baiklah, Ibu. Aku akan
mempertimbangkannya,” sahut Mahisa Agni. “Tetapi aku tidak dapat
mengingkari kesalahan itu. Aku harus menemui Witantra.”
“Kenapa.”
“Aku harus minta maaf kepadanya.”
“Bagaimana kalau terjadi salah paham?”
“Aku tidak akan berbuat apa-apa.”
Ibunya termenung sejenak. Namun kemudian
ia berkata, “Baiklah Mahisa Agni tetapi hati-hatilah. Kita tidak tahu,
bagaimana sikap Witantra sekarang.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok aku akan berangkat menemuinya.”
Keesokan harinya, Mahisa Agni minta diri
kepada ibunya, Ken Dedes dan karena ia tidak dapat menemui Sri Rajasa,
maka permohonannya disampaikan oleh permaisuri, untuk meninggalkan
Singasari. Setelah ia mengembalikan cantrik yang menjadi satu-satunya
saksi itu, maka ia pun sejenak menengok padukuhan Panawijen baru.
“Aku akan pergi Ki Buyut,” berkata Mahisa Agni.
“Ke mana lagi Anakmas akan pergi?”
“Aku belum tahu. Tetapi sebagai seorang laki-laki aku ingin menambah pengalaman dalam perantauan.”
“Tetapi kami selalu menunggu kedatanganmu.”
“Tentu Ki Buyut, pada saatnya aku pasti akan kembali.”
Maka setelah menyiapkan bekal seperlunya,
Mahisa Agni pun berangkat meninggalkan padang Karautan. Beberapa orang
dan kawan-kawannya memandangi debu yang terlontar dari kaki-kaki
kudanya sampai ke kejauhan.
Berbagai pertanyaan bergolak di dalam
hati orang-orang Panawijen baru. Agaknya Mahisa Agni akhir ini selalu
gelisah, sehingga agaknya ia mencari ketenteraman di dalam perantauan.
Sementara itu Mahisa Agni berpacu dengan cepatnya. Tetapi tiba-tiba ia sadar, ke mana ia akan pergi.
Karena itu maka ia pun segera menarik kekang kudanya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.
“Apakah aku harus bertanya kepada Mahendra. Mungkin ia tahu, ke mana Witantra pergi,” desisnya.
Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Mahendra
tidak sedewasa Witantra. Mungkin ia masih menyimpan dendam di dalam
hatinya, sehingga akan timbul salah paham seperti yang ditakutkan oleh
ibunya.
“Kalau begitu aku akan menemui Panji
Bojong Santi,” Mahisa Agni pun masih ragu-ragu, “apakah ia masih ada
sekarang? Kalau ia masih hidup, maka ia pun pasti sudah semakin tua.”
Tetapi Mahisa Agni kemudian memutuskan
untuk pergi ke padepokan Panji Bojong Santi. Ia mengharap bahwa Panji
Bojong Santi tidak bersikap kekanak-kanakan menghadapi persoalan ini.
Dengan keragu-raguan yang mencengkam
dadanya Mahisa Agni memasuki padepokan Panji Bojong Santi. Ketika ia
melihat orang tua itu masih ada, meskipun sudah menjadi semakin tua. Ia
tidak dapat menahan hatinya. Demikian ia mengikat kudanya pada
sebatang pohon, langsung ia memeluk kaki orang tua itu.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia berkata lirih, “Angger Mahisa Agni.”
“Ya. Bapa. Aku datang kali ini untuk menyerahkan diriku.”
Bojong Santi mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
“Bapa pasti sudah tahu, apa yang sudah aku lakukan atas Kebo Ijo.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Sekarang, kenapa Angger ingin
menyerahkan diri kepadaku?”
“Aku telah keliru Bapa. Aku waktu itu
menjadi gila, dibius oleh sikap Ken Arok yang mengagumkan. Tetapi kini
aku yakin seperti Witantra, Mahendra dan Bapa sendiri yakin, bahwa Kebo
Ijo tidak bersalah.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil mengusap pundak Mahisa Agni orang tua itu berkata,
“Duduklah. Kita akan berbicara.”
Mahisa Agni pun kemudian mengangkat
kepalanya dan duduk di hadapan Panji Bojong Santi. Meskipun wajah itu
sudah semakin tua tetapi kedalaman dan ketenangan masih nampak jelas di
wajah itu.
“Sekarang kau pun yakin, Anakmas?”
“Ya, Bapa”
“Apakah kau berhasil menemukan orang yang kain cari?”
Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya.
“Baiklah. Aku ikut bergembira.”
“Bapa,” berkata Mahisa Agni, “aku telah bertekad untuk menemui Witantra. Aku harus minta maaf kepadanya.”
Panji Bojong Santi tersenyum. “Kau memang berjiwa besar Ngger.”
“Aku adalah orang yang paling bodoh waktu itu.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Kau akan dapat menemuinya kelak.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia
mengharap untuk dapat segera menemui Witantra. Perasaan bersalah yang
serasa meretakkan dadanya itu harus segera ditumpahkannya. Karena itu
maka ia mendesaknya, “Bapa, apakah aku tidak segera dapat menemuinya.
Kalau Bapa Panji Bojong Santi tidak berkeberatan, memberikan arah
tempat tinggalnya, aku akan mencarinya.”
“Tempatnya terlampau asing Ngger. Karena
itu, sebaiknya seorang mengantarkanmu, kau tidak akan dapat pergi
sendiri dan menemukan dengan segera. Waktumu akan habis terbuang
melingkar-lingkar mencari jalan untuk sampai ke tempat Witantra
sekarang.”
“Begitu jauhkah Witantra menyepi diri?”
“Ia mendapatkan ketenangan di tempatnya yang baru. Ia mendapat tempat yang baik untuk menyempurnakan ilmunya lahir dan batin.”
“Tetapi kalau ia terpisah dari kehidupan, ilmu itu akan tetap tersimpan di dalam dirinya.”
Panji Bojong Santi tersenyum. Katanya,
“Mungkin begitu, tetapi mungkin juga tidak. Kadang-kadang kita
menemukan arus air yang tidak kita ketahui sumbernya. Apabila kita
melihat sumber di pegunungan yang terasing, kita menyangka, bahwa air
itu tidak akan berguna. Padahal arus air yang kita lihat yang pertama
adalah kelanjutan saluran air dari sumber yang terasing itu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menyadari bahwa ilmu itu dapat berguna tanpa diamalkannya
sendiri. Tetapi ada perantara yang dapat mempergunakan ilmu itu untuk
kepentingan yang berarti.
“Angger Mahisa Agni,” berkata Panji
Bojong Santi kemudian, “apakah yang pernah dilakukan oleh Empu Purwa
pada akhir-akhir ini? Setelah ia kecewa karena kehilangan putrinya,
seolah-olah ia sama sekali sudah tidak pernah berhubungan dengan dunia
lagi. Tetapi di antara Empu Purwa dan dunia ramai ada Angger Mahisa
Agni. Ada jalur yang masih menghubungkannya, sehingga ilmu itu tidak
sekedar karatan tersimpan tanpa arti.”
“Ya. ya Bapa. Aku mengerti sekarang.”
“Nah, beristirahatlah di sini sehari dua hari. Aku akan memanggil orang yang pernah melihat tempat itu.”
“Kenapa sehari dua hari Bapa.”
“Angger tidak terlampau lelah.”
“Aku masih segar. Aku dapat berangkat sekarang.. Aku dapat berjalan terus tiga hari tiga malam kalau diperlukan.”
“Mungkin Angger yang sedang dikejar oleh perasaan sendiri dapat berbuat demikian. Tetapi kuda Angger akan kepayahan.”
“Ya, Bapa. Kudaku memang perlu beristirahat. Tetapi tidak sampai sehari apalagi dua hari.”
Panji Bojong Santi menarik nafas
dalam-dalam. Ia melihat perasaan Mahisa Agni yang tersiksa. Ia merasa
wajib untuk segera bertemu dengan Witantra.
Karena itu Panji Bojong Santi tidak
sampai hati untuk memperpanjang siksaan batin Mahisa Agni itu. Karena
itu, maka ia pun segera memanggil seorang cantriknya yang pernah pergi
ke tempat Witantra untuk mengantarkan Mahisa Agni.
Maka ketika matahari terbit di keesokan
harinya, berangkatlah Mahisa Agni diantar oleh seorang cantrik menempuh
perjalanan yang berat untuk menemui Witantra. Panji Bojong Santi
melepaskannya tanpa waswas karena ia pun sudah yakin pula, bahwa
Witantra pasti cukup dewasa menanggapi persoalan itu. Witantra pasti
tidak akan sekedar dibakar oleh dendam. Ia akan dapat menanggapi
keadaan sewajarnya.
Bersamaan dengan itu, Panji Bojong Santi
telah menyuruh seorang cantriknya untuk memanggil Mahendra. Mahendra
yang kini hidup di dunianya sendiri. Ia mencoba untuk hidup menjadi
manusia kebanyakan, dengan kerja dan usaha, mendirikan rumah tangga.
Tetapi Panji Bojong Santi masih belum
yakin, bahwa Mahendra dapat melupakan persoalan Kebo Ijo seperti halnya
Witantra. Mahendra yang lebih muda dari Witantra dipengaruhi oleh
lingkungan hidupnya, mungkin akan menentukan sikap yang lain.
“Aku harus memberitahukan kepadanya,
bahwa ia tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirinya
sendiri,” berkata Panji Bojong Santi di dalam hatinya, “ia harus dapat
menanggapi keadaan ini dengan hati yang lapang.”
Sementara itu. Mahisa Agni yang berpacu
bersama seorang cantrik kini telah mulai menerobos hutan belukar.
Kadang-kadang mereka terpaksa berhenti sejenak, bahkan turun dari
kuda-kuda mereka untuk merambah sulur-sulur yang melintang di jalan
setapak yang mereka lalui.
“Jalan ini tidak pernah dilalui orang,” berkata cantrik itu, “sebenarnya aku takut berjalan hanya berdua saja lewat jalan ini.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni.
“Kalau ada penyamun yang kebetulan
melihat kita lewat, maka celakalah kita. Kalau bekal kita saja yang
dimintanya, beruntunglah kita. Tetapi kalau ini?” cantrik itu menunjuk
lehernya.
Betapapun ketegangan membelit hati Mahisa
Agni, namun ia sempat juga tersenyum sambil berkata, “Jangan takut
tidak ada penyamun yang akan mencegat perjalanan kita. Kita tidak
membawa apapun yang berharga.”
“Tetapi mereka tidak tahu bahwa kita
tidak membawa barang berharga. Setidak-tidaknya kuda kita dapat mereka
rampas dan mereka ambil.”
“Jangan takut,” desis Mahisa Agni, “karena itu, marilah kita berusaha secepat-cepatnya meninggalkan tempat ini.”
“Aku tidak tahu kenapa Panji Bojong Santi
mempercayai aku seorang diri mengantarkan kau ke tempat Witantra.
Kalau terjadi sesuatu atasmu, maka akulah yang akan disalahkannya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak dapat menyalahkan cantrik yang belum mengenalnya itu.
Cantrik itu merasa bertanggung jawab, bahwa ia harus mengantarkan
Mahisa Agni sampai ke tempat Witantra. Hanya itulah yang diketahuinya.
Agaknya Panji Bojong Santi memang tidak merasa perlu memberitahukan
tentang dirinya kepada cantrik itu.
Setiap desir di sebelah jalan setapak itu
telah membuat cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni itu bersiaga. Ia
selalu meraba-raba hulu pedang pendeknya. Agaknya Panji Bojong Santi
memang mengajarinya untuk mempergunakan pedang pendek itu apabila
perlu, meskipun ilmu itu sangat terbatas. Tetapi agaknya cantrik itu
pun cukup tangkas untuk membela diri terhadap perampokan-perampokan dan
penyamun-penyamun.
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Agni kemudian,
“jangan hiraukan apa-apa lagi. Kita sama sekali tidak bermaksud
mengganggu siapa pun. Kita hanya sekedar berjalan, lewat jalan ini.”
“Memang kita tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Tetapi merekalah yang akan mengganggu kita.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Coba. kalau kau dapat membuat sedikit
perhitungan. Banyak orang-orang Kediri yang terpaksa menyingkir dari
tempat tinggalnya karena mereka tidak sepaham dengan
ketentuan-ketentuan baru di negerinya, terutama mengenai nafas hidup
keagamaan. Sementara itu ketegangan di batas kedua negeri Singasari dan
Kediri menjadi semakin tegang. Apakah dalam keadaan serupa itu, tidak
banyak perampok-perampok yang memancing keuntungan?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Dari mana kau tahu bahwa keadaan Kediri
dan Singasari menjadi kian menegang.”
“Panji Bojong Santi sering memberi banyak
cerita kepada kami tentang keadaan di luar padepokan kami,” jawab
cantrik itu, “juga Panji Bojong Santi yang memberi aku peringatan,
bahwa perampok-perampok selalu mempergunakan segala kesempatan, bahkan
orang-orang yang sedang dalam kesulitan sekalipun sama sekali tidak
dihiraukannya.”
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“He. kau dengar ringkik kuda?” tiba-tiba cantrik itu menjadi tegang.
Mahisa Agni memang mendengar ringkik
kuda. Tetapi ia tidak mendengar derap langkahnya. Karena itu menurut
perhitungan Mahisa Agni kuda itu bukan kuda yang sedang berpacu,
berjalan atau sedang dikendarai oleh seseorang. Kuda itu sedang
berhenti atau bahkan dituntun oleh pemiliknya.
Tetapi Mahisa Agni memperlambat kudanya sambil mempertajam telinganya.
“Kalau kita bertemu dengan perampok apa
boleh buat. Sebenarnya Panji Bojong Santi selalu berpesan, kami tidak
boleh berkelahi. Tetapi sudah tentu kami tidak akan menyerahkan milik
kami kepada perampok-perampok.”
“Aku kira mereka bukan perampok,” berkata Mahisa Agni.
“Kalau bukan perampok, siapakah yang berada di tengah hutan seperti ini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Memang ada beberapa kemungkinan. Mungkin perampok
tetapi mungkin juga tidak. Menilik ceritamu, orang-orang Kediri yang
menyingkir itu dapat saja terjerumus ke dalam hutan ini. Bukankah hutan
ini ada di sekitar perbatasan, atau katakan, bahwa sebelah menyebelah
hutan ini merupakan daerah yang berlainan.”
Cantrik itu mengerutkan keningnya.
“Ya, memang mungkin.”
Beberapa saat kemudian mereka melihat
sekelompok orang yang berdiri termangu-mangu. Dalam sekilas, Mahisa
Agni dan cantrik itu pun segera mengetahui, bahwa orang-orang itu
benar-benar orang-orang Kediri yang menyingkir dari kampung halamannya
oleh ketidakpuasan atas tata kehidupannya yang baru.
Agaknya mereka terkejut sekali ketika
mereka melihat Mahisa Agni dan cantrik itu muncul dari balik
gerumbul-gerumbul liar. Dengan sigapnya beberapa orang di antara mereka
segera mempersiapkan diri, sedang yang lain, perempuan dan anak-anak,
melingkar saling berpelukan dengan wajah yang pucat.
“Siapa kalian?” bertanya salah seorang yang agaknya merupakan pimpinan rombongan itu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi sebelum ia menjawab, cantrik yang merasa dirinya menjadi
pemimpin rombongan kecil itu pun menyahut, “Kamilah yang bertanya,
siapakah kalian?”
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak.
Namun pemimpin itu kemudian menjawab, “Tanpa menyembunyikan kenyataan
kami. bahwa kami adalah orang-orang Kediri yang menyingkir, karena
pendeta kami telah ditangkap.”
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus.”
“Kenapa bagus?” desis Mahisa Agni perlahan-lahan.
Cantrik itu kemudian dengan serta-merta
berkata pula, “Tidak, tidak bagus. Sayang sekali pendeta itu sudah
terlanjur ditangkap. Sebaiknya ia pergi ke Singasari. Bukankah kalian
juga akan pergi ke Singasari?”
“Ya,” jawab pemimpin rombongan itu.
“Pergilah. Kami orang-orang Singasari.”
Pemimpin itu menjadi termangu-mangu. Kemudian ia pun bertanya, “Manakah jalan yang harus aku tempuh.”
“Lurus. Kau dapat mengikuti jejak
kuda-kuda kami dalam arah yang berlawanan. Kau akan keluar dari hutan
ini di wilayah Singasari. Mengerti?”
Pemimpin itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Terima kasih. Tetapi kami tidak dapat memastikan bahwa kami
akan dapat memasuki wilayah Singasari.”
“Kenapa?”
“Aku sadar, bahwa perjalanan kami pasti
diikuti. Baginda sudah mengeluarkan perintah, semua orang Kediri, tidak
boleh menyeberang perbatasan.”
Cantrik itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mahisa Agni pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Mereka
sadar bahwa Maharaja Kediri akan menyebar orang-orangnya di segenap
perbatasan, untuk mencegah orang-orang yang berusaha menyeberang.
Kadang-kadang mereka dapat mencegah, tetapi kadang-kadang beberapa
orang berhasil lolos, sehingga para pengawal harus mengejar mereka.
“Apakah kepergianmu diketahui oleh para prajurit Kediri?” bertanya cantrik itu.
“Aku tidak tahu. Tetapi sekarang setiap
dahan mempunyai telinga dan setiap tikungan mempunyai mata. Itulah
sebabnya sekarang arus orang-orang Kediri agak terbendung.”
“Kalau begitu, cepatlah.”
“Kami tidak akan dapat berjalan cepat. Di antara kami terdapat perempuan dan anak-anak.”
“Tetapi kalian sudah agak jauh dari perbatasan. Mungkin orang Kediri tidak akan menghiraukan kau lagi.”
Tetapi belum lagi pembicaraan itu
selesai. terdengar derap beberapa ekor kuda. Lamat-lamat mereka
mendengar cambuk yang meledak dan ringkik kuda yang berkepanjangan.
Pemimpin kelompok itu menjadi gelisah.
Ketika ia berpaling memandangi orang-orangnya, dilihatnya beberapa di
antara mereka menjadi pucat.
“Kita tidak akan kembali ke Kediri. Kita
akan menjadi pangewan-ewan seperti sekelompok orang dari Padepokan Watu
Putih kemarin. Diarak di sekeliling kota dengan cemoohan yang paling
hina.”
Orang-orangnya tidak menjawab.
“Kita laki-laki, dan kita bersenjata.”
Tiba-tiba mereka sadar, bahwa mereka memang bersenjata.
Beberapa orang di antara mereka telah meraba senjata-senjata mereka sambil berdesis, “Ya, kami bersenjata.”
“Setidak-tidaknya, enam atau tujuh orang dari kita dapat melawan.”
“Aku juga masih mampu berkelahi,” berkata seorang laki-laki tua.
“Jadi delapan orang.”
Pemimpin itu pun kemudian melangkah maju. Disuruhnya perempuan dan anak-anak agak menjauh.
“Berdoalah. Mudah-mudahan kami dapat melindungi kalian.”
Seorang perempuan yang menggenggam patrem tiba-tiba berkata, “Aku ikut bertempur.”
“Jagailah anak-anak. Jangan kehilangan akal.”
Perempuan itu masih tegak di tempatnya.
Namun ketika terpandang olehnya tatapan mata pemimpinnya, maka ia pun
kemudian melangkah surut, dan bergabung dengan perempuan-perempuan dan
anak-anak yang saling berdesakan dengan wajah yang pucat.
“Apakah yang datang itu para prajurit Kediri,” bertanya Cantrik itu.
“Aku kira, mereka adalah orang-orang yang
sedang berburu orang. Mereka mengikuti jejak kami. Setiap kepala,
mendatangkan hadiah yang baik bagi mereka. Mungkin mereka bukan
prajurit-prajurit, dan bahkan kadang-kadang para perampok dan penyamun
yang mengetahui kehadiran kami di daerah kerja mereka. Mereka mengejar
kami, merampas milik kami, kemudian menyerahkan kami kepada para
prajurit untuk mendapatkan hadiah yang cukup baik.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Apakah
hal itu dapat terjadi dalam pemerintahan Baginda Kediri yang sekarang?
Ataukah memang ada orang-orang yang sengaja menumbuhkan kesan yang
sama sekali tidak menguntungkan bagi Kediri?”
“Saat yang tepat bagi Ken Arok,” Mahisa
Agni menarik nafas dalam-dalam, “Ia memang cerdas dan mampu
memperhitungkan keadaan yang dihadapinya. Ia akan berhasil menguasai
Kediri sebagaimana ia telah berhasil menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam
kematian sekaligus tuduhan yang paling hina.”
Derap kuda yang melingkar-lingkar
seakan-akan memenuhi hutan itu pun masih bergema terus. Namun telinga
Mahisa Agni segera dapat mengetahui dari mana mereka datang. Mereka
tidak berpacu terlampau cepat, tetapi juga tidak terlampau lambat.
“Nah. kita akan berkelahi untuk
mempertahankan diri,” berkata pemimpin rombongan itu, “aku adalah orang
yang paling bertanggung jawab atas rombongan ini. Karena itu, Ki Sanak
berdua lebih baik menyingkir, supaya kalian tidak disangka membantu
kami. Orang-orang yang sedang berburu itu kadang-kadang sama sekali
tidak mempergunakan nalar, apalagi rasa perikemanusiaan.”
Mahisa Agni tertegun sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya cantrik kawannya itu berdiri termangu-mangu.
“Silakan Ki Sanak. Terima kasih atas petunjuk kalian jalan ke Singasari.”
“Aku orang Singasari,” berkata cantrik itu tiba-tiba.
“Jangan mempersulit diri sendiri. Kalian
tidak usah terlibat dalam persoalan ini. Kami sudah mempunyai delapan
orang yang akan mengangkat senjata kami masing-masing untuk melindungi
perempuan dan anak-anak kami.”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni memandang
perempuan-perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Tiga orang perempuan
itu, dua orang setengah baya. Beberapa orang anak-anak, dan tiga orang
gadis-gadis muda. Ketika terpandang olehnya sepasang mata yang
berkilat. Mahisa Agni berdesir. Ia sudah terlampau tua untuk memandangi
wajah-wajah gadis-gadis. Tetapi gadis itu pun tiba-tiba menundukkan
kepalanya.
Yang pertama-tama merayap di hati Mahisa
Agni adalah sebuah kenangan tentang Ken Dedes. Betapa ia mengalami,
ketakutan yang sangat, pada saat Kuda Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung
mengambilnya.
“Seperti gadis itu,” desisnya. Dan tiba-tiba ia mengerutkan keningnya, “He, gadis itu memang mirip dengan Ken Dedes.”
“Persetan!” Mahisa Agni tiba-tiba
menggeram. Dan ia pun terperanjat ketika ia mendengar pemimpin
rombongan itu berkata, “Mereka telah datang. Menyingkirlah.”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni melangkah
beberapa langkah surut. Cantrik, kawan seperjalanannya menjadi
ragu-ragu. Namun kemudian ia pun mendekati Mahisa Agni sambil berbisik,
“Tinggallah di sini. Aku tidak dapat berdiam diri.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Dilihatnya wajah cantrik yang bersungguh-sungguh itu. Sambil memegangi
hulu pedang pendeknya ia siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku harus membantu orang-orang itu.
Mereka berada dalam ketakutan.” cantrik itu terdiam sejenak, “lihatlah
perempuan dan anak-anak itu.”
Sekali lagi Mahisa Agni memandangi
perempuan dan anak-anak itu. Sekali lagi matanya membentur sepasang
mata yang cerah dari antara mereka. Betapa wajahnya pucat oleh
ketakutan yang sangat namun tampak bahwa wajah itu memiliki kelebihan
dari wajah-wajah yang lain.
Sementara itu. beberapa orang berkuda
telah muncul dari balik dedaunan. Pemimpin dari orang-orang berkuda itu
segera memberi isyarat untuk berhenti.
“Nah. Itulah mereka!” teriak salah seorang dari mereka.
Pemimpin rombongan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hem, kau telah membuat kami
gelisah. Kami kira bahwa kami akan kehilangan kalian. Namun akhirnya
kami menemukan juga.”
Pemimpin rombongan orang-orang Kediri
yang akan menyeberang itu masih berdiam diri. Tetapi tangannya telah
melekat di hulu pedangnya. Dipandanginya saja orang-orang yang
menyusulnya itu dengan wajah yang tegang.
“Jangan banyak tingkah seperti beberapa
orang yang lain. Marilah kita kembali ke Kediri, Tidak ada apa-apa.
Kalian akan disambut dengan baik.”
Pemimpin rombongan orang-orang yang
menyeberang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Apakah kalian
menyangka bahwa aku tidak tahu, apa yang diperlakukan atas orang-orang
yang dapat ditangkap dalam perjalanan menyeberang ke Singasari?”
“Nah. Kalau demikian, kenapa kalian masih juga akan menyeberang?”
“Perlakuan Baginda terhadap para pendeta sangat menyakitkan hati.”
Pemimpin rombongan orang-orang yang
menyusul itu pun tertawa. Katanya, “Kalian terlampau mementingkan diri
kalian sendiri. Kalian merasa bahwa kedudukan kalian jauh lebih tinggi
dari rakyat Kediri yang lain. Kalau kalian menganggap diri kalian
seperti rakyat kebanyakan, maka perlakuan itu tidak akan terasa
terlampau menyakitkan hati.”
“Kami tidak minta yang berlebih-lebihan.
Tetapi kami tidak akan mungkin mengubah pandangan kami dalam kebaktian
kami terhadap sesembahan kami.”
Pemimpin orang-orang yang menyusul itu
pun kemudian berkata, “kau juga terlampau banyak bicara seperti
orang-orang lain. Kami adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman.
Menyerahlah, supaya kami tidak memperlakukan kalian,
perempuan-perempuan dan anak-anak, apalagi gadis-gadis itu. Seperti
yang pernah terjadi.”
Pemimpin orang-orang yang menyeberang itu
mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandangi
perempuan-perempuan yang ketakutan dan anak-anak mulai menangis.
“Menyerahlah!”
Tetapi pemimpin itu menggelengkan
kepalanya, “Aku sudah terlanjur menempuh perjalanan begini jauh. Aku
tidak akan kembali. Lebih baik kami berkubur di sini daripada kami
harus menjadi tontonan di sepanjang jalan Kediri.”
“Kalian tidak ada bedanya dengan
kelinci-kelinci yang terpaksa kami selesaikan sebelumnya,” pemimpin
rombongan yang menyusul itu tersenyum. Kemudian dipandanginya
gadis-gadis di antara perempuan-perempuan yang ketakutan, “ada juga
gadis-gadis di antara kalian. Apa boleh buat.”
Terasa rambut-rambut di seluruh tubuh gadis-gadis itu meremang.
“Mereka benar-benar serombongan pemburu
manusia,” desis cantrik itu kepada Mahisa Agni, “Sepuluh orang. Apa
boleh buat. Aku tidak akan dapat diam. Mungkin aku akan berkelahi
mati-matian.”
“Kalau kau mati, bagaimana dengan aku?” bertanya Mahisa Agni.
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, “Kau dapat menyusur jalan sempit ini. Terus sampai
pada suatu saat kau akan terhalang oleh sebuah rawa-rawa yang sempit.
Kau berbelok ke kiri. Kemudian kau akan sampai pada lereng pegunungan
yang terjal. Kali ini kau berbelok ke kanan. Kau akan segera menjumpai
padukuhan-padukuhan kecil. Di situ kau bertanya, di mana rumah
Witantra. Kau akan sampai kepadanya.”
“Masih amat jauh. Jangan mati.”
“Aku akan berusaha untuk tidak mati.”
Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah.”
(bersambung ke jilid 52).
No comments:
Write comments