MAKA PADA HARI itu JUGA,
pimpinan pemerintahan Tumapel telah mengumumkan keputusan itu. Di hari
berikutnya, di alun-alun Tumapel akan dilakukan perang tanding.
Demikianlah segala macam persiapan telah
dilakukan. Sebuah panggungan telah dibangun di alun-alun sebagai ajang
dari perang tanding itu.
Keputusan itu pun segera saja menjalar
dari setiap mulut ke setiap telinga, sehingga belum lagi matahari terbit
di keesokan harinya, rakyat di seluruh Tumapel telah mendengar apa yang
akan terjadi itu.
Keputusan itu telah mengejutkan keluarga
Witantra yang baru saja pulang dari rumah Kebo Ijo. Dengan cemas
istrinya bertanya, apakah yang akan terjadi.
“Aku telah menempuh jalan satu-satunya,” desis Witantra.
Istrinya segera terdiam. Ia adalah istri
seorang senapati yang harus dapat mengerti tugas-tugas suaminya. Namun
terasa kali ini hatinya menjadi berdebar-debar. Suaminya tidak akan
berangkat perang melawan kekuatan yang manapun juga di luar kekuatan
Tumapel. Tetapi suaminya kali ini akan melakukan perang tanding untuk
membela nama adik seperguruannya.
“Nyai,” berkata Witantra, “aku tidak
terlampau bernafsu untuk menyelamatkan nama Kebo Ijo itu sendiri. Tetapi
aku ingin mempertahankan keyakinanku. Kebo Ijo tidak bersalah.”
“Tetapi bagaimana dengan bukti-bukti itu, Kakang?” bertanya istrinya.
“Itulah kelemahanku. Aku tidak mempunyai
bukti apapun,” sahut suaminya, “tetapi, sebelum Kebo Ijo berusaha
melarikan diri, aku hampir dapat meyakinkan pemimpin yang enam itu,
bahwa Kebo Ijo tidak akan sebodoh itu, seandainya ia memang melakukan
pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung. Yang aku sesalkan adalah
kebodohan Kebo Ijo yang ingin melarikan diri, sehingga dalam perkelahian
melawan Ken Arok ia telah terbunuh. Meskipun demikian, namanya harus
dicuci. Nama Kebo Ijo dan nama seluruh perguruan.”
Istrinya tidak menyahut lagi.
Bagaimanapun juga, sebagai seorang istri yang mencintai suaminya, terasa
bahwa keluarganya sedang berada di depan pintu gerbang malapetaka.
Demikianlah, maka semalam sebelum perang
tanding itu dilaksanakan, baik Mahisa Agni maupun Witantra hampir tidak
dapat tidur sekejap pun.
Witantra merasa, bahwa ia memang tidak
dapat memberikan bukti-bukti sangkalannya atas kesalahan Kebo Ijo.
Sehingga ia naik ke arena semata-mata berdasarkan keyakinan yang ada
padanya.
“Kalau Kebo Ijo benar-benar tidak
bersalah sesuai dengan keyakinanku, maka sungguh tidak adil, apa yang
telah terjadi atasnya. Ia menjadi korban nafsu yang menyala di hati
orang lain.”
Dan pada saat yang sama Mahisa Agni
berkata di dalam hatinya, “Kenapa aku harus naik ke arena? Sayang, bahwa
aku harus berhadapan dengan Witantra. Tetapi apa boleh buat. Setiap
kesalahan harus mendapat hukuman. Seandainya Kebo Ijo masih hidup, aku
pasti tidak akan begitu bernafsu mempertahankan keputusan atas
kesalahannya. Aku tidak bernafsu bahwa Kebo Ijo harus dihukum mati.
Tetapi ia sudah mati. Dan kesalahan ini tidak boleh ditimpakan kepada
orang lain lagi, seandainya keputusan tentang Kebo Ijo dapat dibatalkan.
Dengan demikian, maka harus ada orang lain yang akan menerima hukuman
atas kematian Akuwu, selain kematian Kebo Ijo. Alangkah tidak adilnya.
Hanya karena nama Kebo Ijo diselamatkan di atas arena perang tanding.”
Dengan demikian, keduanya merasa, bahwa mereka akan bertempur untuk mempertahankan keyakinan masing-masing, demi keadilan.
Ketika fajar menyingsing, maka Witantra
segera mempersiapkan dirinya. Setelah mandi dan mencuci rambutnya,
Witantra segera masuk ke dalam biliknya untuk sejenak mengheningkan
hati. Dicoba melihat ke dirinya sendiri. Siapa dan apakah dia
sebenarnya. Dari mana dan ke mana ia akan pergi sebelum dan sesudah
hidup ini.
Kemudian setelah ia selesai menimbang
diri, maka mulai terbayang wajah gurunya yang kekurus-kurusan. Yang
selama ini telah menempanya dalam olah kanuragan.
“Bukan maksudku untuk membanggakan diri,” desisnya, “tetapi aku tidak mempunyai alat yang lain.”
Terbayang, betapa ia mesu diri di
saat-saat terakhir. Di saat ia merasa tersisih dari Akuwu Tunggul
Ametung. Namun justru dengan demikian ia merasa bahwa bahaya semakin
dekat mengancam Tumapel. Karena itu, maka ia telah memperdalam ilmu yang
telah dimilikinya.
Dari hari ke hari ilmunya kian
bertambah-tambah sempurna, sehingga akhirnya kemampuannya mencapai
tingkat yang hampir setinggi gurunya. Ia hanya memerlukan setapak lagi
untuk sampai ke puncak. Tetapi yang setapak itu belum sempat dilakukan,
karena yang setapak itu memerlukan segenap pemusatan segala inderanya
untuk waktu yang agak banyak.
Namun, untuk naik ke arena Witantra telah
membawa bekal yang cukup itulah sebabnya, maka ia dengan tenang
mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun demikian,
terasa di sudut hatinya sesuatu yang selalu menyentuh-nyentuh
perasaannya. Getaran yang tidak dikenalnya, seakan-akan memberi isyarat
kepadanya bahwa kali ini yang dihadapinya, meskipun bukan salah seorang
senapati perang, atau manggala pasukan apapun, namun Mahisa Agni adalah
seseorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Lebih daripada itu, Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang sangat
dikenalnya. Seorang yang baik, seorang yang jujur dan sama sekali tidak
dikendalikan oleh nafsu. Tetapi sayang, kematian pamannya telah
membuatnya menjadi mata gelap.
Sedang Mahisa Agni pun telah mencoba
mempersiapkan dirinya pula lahir dan batin. ia pun sadar, siapakah
Witantra. Agaknya Witantra tidak berhenti seperti beberapa saat yang
lampau. Karena itu, maka ia pun selalu mencoba menilai diri.
“Witantra adalah orang yang baik,”
katanya di dalam hati, “tetapi sayang, bahwa ia telah tergelincir.
Meskipun demikian, ia bagiku tetap seorang prajurit yang jarang ada
duanya. Seorang prajurit yang berdiri tegak di atas garis
keprajuritannya.”
Demikianlah waktu yang semalam itu
agaknya telah mengendapkan dua hati yang sedang menggelegak itu.
Meskipun mereka masih tetap di dalam pendirian masing-masing untuk naik
ke arena, tetapi mereka sudah tidak lagi dibakar oleh kemarahan yang
meluap-luap. Mereka kini adalah orang-orang yang merasa bertanggung
jawab atas keyakinannya, dan menghadapi pertanggungan jawab itu dengan
sepenuh kesadaran.
Pada hari itu, rakyat Tumapel seperti
terhisap seluruhnya keluar dari rumahnya pergi ke alun-alun. Tua muda,
laki-laki perempuan. Hampir tidak ada yang ketinggalan.
Semuanya ingin melihat, apa yang akan terjadi di arena.
Kematian Akuwu Tunggul Ametung adalah
persoalan yang telah mengguncangkan seluruh Tumapel. Kemudian disusul
oleh kematian Kebo Ijo dan keputusan perang tanding ini sebagai ekor
dari peristiwa pembunuhan itu.
Setelah menghadap pemimpin yang enam di
pagi-pagi benar, maka Mahisa Agni pun telah siap untuk pergi ke
alun-alun bersama-sama keenam pemimpin itu. Namun sebelum ia berangkat,
maka seorang perempuan tua telah menemuinya. Perempuan tua pemomong Ken
Dedes. Dan perempuan tua pemomong Ken Dedes itu adalah ibunya.
“Aku ingin berbicara dengan kau, Agni,” bisik perempuan tua itu.
Agni tidak menjawab. Ia tahu bahwa
perempuan tua itu ingin berbicara seorang diri, tanpa didengar oleh
orang lain. Karena itu tanpa menjawab sepatah kata pun ia mengikuti
perempuan tua itu memasuki suatu bilik yang kosong di bagian belakang
istana.
“Di bilik sebelah Tuan Putri terbaring,” desisnya.
“Apa katanya mengenai perang tanding ini?”
“Ken Dedes tidak tahu, apa yang akan terjadi itu.”
“Kenapa?”
“Tidak seorang pun boleh memberitahukan.
Setiap kali ia selalu diganggu oleh kejutan-kejutan yang kadang-kadang
tidak dapat diatasinya sehingga pingsan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Agni,” berkata perempuan tua itu, “kenapa kau tidak berbicara dengan aku dahulu sebelum kau menentukan sikap ini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Maksud Ibu? “ ia bertanya.
“Kalau kau berbicara dengan aku, Agni, sebagai seorang emban dan sebagai ibumu, aku akan mencoba mencegahnya.”
“Kenapa?”
“Sudah tentu sebagai seorang ibu, aku
mencemaskan nasibmu, Agni. Kau adalah satu-satunya anakku. Kau adalah
penyambung hidupku. Dan sebagai seorang emban, aku memang meragukan,
apakah benar Angger Kebo Ijo telah melakukannya.”
Dada Ken Arok berdesir, ia tidak terkejut
ketika ia mendengar alasan ibunya sebagai seorang ibu yang mencemaskan
nasib anaknya. Tetapi ia menjadi heran, kenapa ibunya dapat mengatakan
bahwa ia meragukan kesalahan Kebo Ijo.
“Kenapa Ibu meragukannya?”
“Aku tidak tahu Agni. Aku memang orang
bodoh. Aku terlampau dipengaruhi oleh perasaanku. Seandainya belum
terlanjur, maka aku akan dapat bercerita panjang lebar tentang keadaan
Ken Dedes.”
“Aku ingin mendengar.”
“Terlambat. Meskipun aku mencemaskan kau,
Agni, tetapi aku tidak dapat melarang kau atau mempengaruhi dengan
segala macam cara, sehingga kau ragu-ragu naik ke arena. Meskipun
mungkin sikap dan kata-kataku ini sudah membuat kau ragu-ragu, tetapi
kau akan segera melupakannya. Apalagi karena Kebo Ijo sendiri sudah
mati.”
Perempuan tua itu berhenti sejenak. Lalu,
“Sudahlah. Hati-hatilah. Kalau kau naik ke arena, berdoalah. Bukan saja
agar kau mendapat kemenangan, tetapi yang terpenting bagimu, agar kau
mendapat sinar terang di hatimu.”
“Apa sebenarnya yang tersimpan di hati ibu?”
“Jangan kau tanyakan sekarang. Kau sudah
berada di atas sebuah keputusan untuk perang tanding. Kalau kau mendapat
perlindungan dan menang, kau masih mempunyai banyak kesempatan
mendengar ceritaku. Segala sesuatu masih dapat diperbaiki. Karena itu,
kau harus berusaha sebaik-baiknya. Tetapi kalau kau kalah, maka kau
tidak akan mendapat kemungkinan apapun. Sebab, kau harus tahu, akibat
dari kekalahan di arena untuk mendukung suatu sikap atas suatu
keputusan.”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Ia
tahu benar, bahwa perang tanding yang demikian, menurut ketentuan,
berlangsung sampai salah seorang kalah dan mati.
“Sudahlah Agni, pergilah.”
Mahisa Agni mengangguk perlahan-lahan.
Kemudian tanpa sesadarnya ia berlutut di hadapan ibunya, mencium
tangannya kemudian sambil berdiri ia berkata, “Aku mohon restu, Ibu.
Mudah-mudahan aku dapat mempertahankan keyakinanku, untuk menegakkan
keadilan di atas bumi Tumapel.”
Ibu menarik nafas dalam-dalam.
“Aku berdoa untuk kemenanganmu, Agni.
Tetapi aku tahu bahwa Angger Witantra adalah seorang yang baik. Seorang
yang kuat. Dan kau akan menghadapinya.”
“Ya, Ibu. Aku menyadari.”
“Pergilah.”
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah
meninggalkan ibunya, keluar dari bilik itu. Demikian Mahisa Agni hilang
dibalik pintu, perempuan tua itu terhuyung-huyung melangkah ke sudut.
Sejenak ia berpegangan tiang yang tegak dengan kokohnya. Namun kemudian
ia jatuh berlutut. Tanpa dapat ditahan-tahan lagi ia menangis
sejadi-jadinya. Ia melihat dan merasakan, bahwa Tumapel memang sedang
dilanda oleh kekalutan.
“Anakku,” desisnya, “mudah-mudahan kau
selamat. Meskipun dengan keselamatanmu itu, maka sebuah keadilan telah
terguncang. Aku mempunyai keyakinan seperti Angger Witantra, bahwa bukan
Angger Kebo Ijo yang telah berbuat. Aku melihat apa yang terjadi
sebelum peristiwa pembunuhan ini, dan aku melihat perasaan Ken Dedes
setelah peristiwa itu terjadi. Dan aku menarik sebuah kesimpulan, bahwa
tangan yang lainlah yang telah berbuat. Tetapi aku terlampau bodoh dan
terlampau lemah. Aku tidak mempunyai keberanian seperti Angger Witantra,
dan Mahisa Agni ternyata kurang mempunyai bahan pertimbangan. Ia masih
terlalu muda.”
Perempuan itu menangis sepuas-puasnya.
Bilik itu adalah bilik yang jarang sekali dimasuki oleh siapa pun. Yang
biasa berada di dalam bilik itu di sore hari adalah Permaisuri Ken Dedes
dan kadang-kadang Akuwu sendiri hadir bersamanya untuk sekedar
bercakap-cakap.
Tetapi sejak Akuwu terbunuh dan sejak Ken Dedes selalu berada di dalam biliknya, maka bilik ini hampir setiap saat kosong.
Ketika pemomong Ken Dedes itu sudah puas
menangis, maka ia pun kemudian mengusap air matanya yang tersisa dengan
ujung kainnya, kemudian dengan langkah yang berat keluar dari bilik itu
menuju ke bilik permaisuri.
Ketika ternyata permaisuri masih tidur
maka ia menarik nafas dalam-dalam. Kepada setiap emban ia telah
berpesan, agar permaisuri dijauhkan dari setiap berita mengenai
persoalan Akuwu Tunggul Ametung beserta semua akibat-akibatnya, termasuk
perang tanding yang akan dilakukan.
Pada saat itu, di alun-alun Tumapel,
rakyat sudah berjejal-jejal menunggu perang tanding yang akan datang.
Mereka sama sekali tidak menghiraukan beberapa orang perempuan sedang
berada dalam kecemasan. Mereka adalah Nyai Witantra, pemomong Ken Dedes
dan janda Kebo Ijo. Mereka mencemaskan orang-orang yang mereka kasihi
dalam nada yang berbeda-beda.
Ketika matahari memanjat langit semakin
tinggi, maka hadirlah pemimpin Tumapel yang enam bersama Mahisa Agni.
Kemudian naik ke atas panggung yang khusus, seorang yang akan berdiri
berlawanan, Witantra.
Sejenak kemudian maka seorang pemimpin
yang tertua naik ke arena dan memberikan kata-kata pengantar yang
singkat. Betapa pedihnya melihat putra-putra Tumapel yang terbaik justru
akan berhadapan di arena. Namun mereka ternyata tidak dapat
dipertemukan lagi di dalam keyakinan. Witantra dengan keyakinannya dan
Mahisa Agni yang mendukung keyakinan pemimpin yang enam.
Ketika kemudian seorang prajurit memukul
bende, alun-alun itu seakan-akan meledak oleh gemuruhnya sorak
orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu. Mereka yang sudah lama
tidak melihat perang tanding semacam itu, serta mereka yang ingin
melihat orang-orang terkuat di Tumapel akan bertempur. Mereka sama
sekali tidak menghiraukan lagi, bahwa dengan demikian berarti bahwa
kesatuan Tumapel sedang retak. Apabila tidak ada tangan yang kuat untuk
membina Tumapel, maka Tumapel sedang meluncur ke dalam jurang
perpecahan.
Tetapi sorak-sorai yang membahana itu pun
kemudian berangsur mereda ketika mereka melihat kedua orang itu naik ke
arena. Ternyata keduanya sama sekali tidak seperti yang mereka
bayangkan. Mereka sama sekali tidak berwajah merah padam. Sorot mata
mereka tidak menjadi buas dan liar.
Keduanya naik ke arena dengan kepala
tunduk. Keduanya mengenakan pakaian keprajuritan. Dan kali ini Witantra
sama sekali tidak memakai tanda-tanda kebesarannya. Baik sebagai seorang
prajurit pengawal, maupun sebagai seorang manggala kesatuan dan salah
seorang pemimpin tertinggi dari pemimpin yang tujuh di Tumapel.
Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi sama sekali tidak terpancar nafsu dari mata mereka.
Ternyata bahwa keduanya adalah
orang-orang besar. Mereka adalah orang-orang yang cukup dewasa
menanggapi persoalan. Meskipun di dalam hati mereka menyala tekad untuk
mempertahankan keyakinan, namun sama sekali tidak membayang nafsu yang
tidak terkendali.
Seorang pemimpin yang lain naik juga ke arena, memberikan keterangan tentang keharusan yang berlaku di dalam perang tanding.
“Perang tanding ini berlangsung sampai
salah seorang mati, atau atas kehendak yang menang, yang kalah tidak
dibunuhnya, tetapi sudah yakin, bahwa ia tidak akan dapat melawan dan
memenangkan perang tanding ini apabila dilanjutkan, atas persetujuan
kami.”
Witantra sama sekali tidak mengajukan
keberatan sama sekali, meskipun ia kurang mantap dengan ketentuan itu,
karena pemimpin yang enam itu sendiri kesemuanya berdiri di satu pihak.
Tetapi Witantra masih yakin, bahwa mereka adalah orang-orang yang
memiliki jiwa besar dan jujur menghadapi keputusan ini.
Sedang Mahisa Agni pun masih saja
menundukkan kepalanya. Kata-kata ibunya ternyata masih saja terngiang di
telinganya. Namun ia selalu ingat pula pesan ibunya itu, “Aku berdoa
untuk kemenanganmu Agni.”
Ketika semuanya telah siap, maka
terdengarlah suara bende sebagai tengara, bahwa perang tanding sudah
akan dimulai. Bende pertama memberi tanda bahwa keduanya siap berada di
tempat masing-masing. Bende kedua, mereka harus bersiap untuk mulai
dengan perang tanding, dan ketika bende ketiga terdengar, maka perang
tanding itu pun segera mulai.
Namun justru penonton yang berjejal-jejal
itu sama sekali tidak lagi bersuara seperti orong-orong terinjak kaki.
Diam. Diam dalam ketegangan. Mereka terpengaruh oleh sikap kedua orang
yang kini berada di arena. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan nafsu
berkelahi yang meluap-luap.
Bahkan mereka masih melihat keduanya maju
selangkah dan melihat bibir Witantra bergerak-gerak. Tetapi
kata-katanya terlampau lambat untuk didengar oleh mereka, “Aku terpaksa
melakukan Agni.”
Dan Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya, “Aku mengerti Witantra. Kita bukan lagi anak-anak yang sedang diseret oleh nafsu.”
“Baiklah. Tanda untuk mulai sudah berbunyi.”
“Aku sudah siap.”
Keduanya menjadi semakin mendekat.
Betapapun dada mereka menampung persoalan itu dengan nafas kedewasaan,
namun mereka pun menjadi semakin tegang juga. Mereka menyadari, bahwa di
dalam perang tanding ini mereka bukan saja sekedar mempertahankan
keyakinan, tetapi juga mempertahankan nyawa.
Demikianlah, maka mereka pun telah
berusaha melupakan semua kenangan tentang hubungan mereka selama ini.
Kini mereka sedang mengemban suatu tugas yang adil menurut sudut pandang
masing-masing.
Sejenak kemudian mulailah Witantra menyerang. Meskipun ia masih sedang berusaha menjajaki kemampuan lawannya.
Mahisa Agni yang telah siap pun segera
menanggapinya, dengan hati-hati ia menghindari serangan pertama itu.
Seperti juga Witantra ia mencoba untuk mengetahui, sampai di mana
kemampuan lawannya.
Dengan demikian maka dalam
gerakan-gerakan yang pertama, tampaklah betapa kedua belah pihak berbuat
dengan sangat hati-hati. Keduanya memang bukan orang-orang yang mudah
terbakar oleh nafsu tanpa kendali. Sehingga dengan demikian, maka
perkelahian itu sama sekali tidak berlangsung seperti apa yang
diharapkan oleh sebagian dari para penontonnya. Mereka mengharap, yang
naik ke arena adalah ayam sabungan, yang demikian bertemu dengan lawan,
langsung berkelahi dengan mata gelap.
Keenam pemimpin yang lain yang berada di
dalam sebuah panggungan khusus menyaksikan pertempuran itu dengan
berdebar-debar. Seandainya ada jalan lain, maka jalan yang satu ini
memang harus dihindari. Setiap serangan dari masing-masing pihak terasa
telah menggetarkan dada mereka.
Namun keenam pemimpin yang lain itu pun
menyadari, betapa kedua orang yang bertempur itu bukanlah orang-orang
yang masih dikuasai oleh nafsu melulu.
Tetapi dengan demikian, agaknya,
kecemasan di hati mereka pun menjadi semakin tajam. Orang-orang yang
demikian itu adalah orang-orang yang matang di dalam ilmunya, sehingga
perkelahian itu pun semakin, lama akan menjadi semakin sengit. Apabila
pertempuran itu nanti akan sempat ke puncaknya maka pasti akan membuat
setiap jantung seakan-akan berhenti berdetak. Di antara para penonton
terdapat seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Kali ini ia tidak
sedang bertugas di manapun juga, karena ia memang seharusnya berada di
alun-alun. Ia adalah seorang pelayan dalam yang ikut langsung menangani
masalah Kebo Ijo. Apalagi kematian Kebo Ijo adalah karena tangannya.
Dengan seksama ia mengikuti pertempuran
yang terjadi di arena. Tidak seperti orang-orang kebanyakan, maka
penilaian Ken Arok jauh lebih dalam. Seperti pemimpin yang enam, maka ia
mengharap, pada saatnya perang tanding itu akan menjadi perang tanding
yang paling dahsyat yang pernah berlangsung di arena alun-alun Tumapel.
Demikianlah pertempuran itu pun setiap
saat telah meningkat. Ketika keduanya telah mulai dibasahi oleh
keringat, maka ketegangan di dalam hati keduanya pun meningkat pula,
seperti ketegangan di hati pemimpin yang enam, para pemimpin prajurit,
para pandega. Senapati dan prajurit-prajurit yang bertugas di seputar
arena dan di sekeliling alun-alun. Demikian juga ketegangan di dalam
dada Ken Arok. Bahkan yang tampak olehnya di saat itu bukanlah sekedar
pergulatan di dalam arena itu, Tetapi Ken Arok memandang alun-alun itu
sebagai lautan manusia Tumapel. Tiba-tiba terasa dadanya mengembang.
Orang-orang itulah tujuan dari segala macam rencananya. Menguasai
semuanya itu.
Tiba-tiba Ken Arok itu tersenyum sendiri.
Sebagian terbesar rencananya telah dapat berjalan dengan baik. Apa yang
terjadi di arena itu adalah salah satu dari permainannya. Dan ia
berbangga karenanya. Witantra adalah pemimpin tertinggi dari pasukan
pengawal istana. Mahisa Agni adalah seorang yang pilih tanding, kakak
Permaisuri Ken Dedes.
Ia mengharap bahwa akhir dari perang
tanding ini adalah, Mahisa Agnilah yang menang. Dengan demikian maka
Witantra yang selama ini menentang keputusan tentang Kebo Ijo, tidak
akan lagi mengganggunya. Apabila Witantra masih ada, maka ia pasti kelak
mengadakan penyelidikan untuk menemukan pembunuh Akuwu Tunggul Ametung
yang sebenarnya.
Kalau Witantra kalah dalam perang tanding ini berarti Witantra telah tersingkirkan untuk selama-lamanya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun
hatinya masih saja berdebar-debar. Meskipun perang tanding di arena itu
telah meningkat, namun masih belum mencapai puncak dari kemampuan
keduanya. Keduanya masih mencari-cari setiap kemungkinan untuk
menyelesaikan perang tanding ini dengan pasti. Kesalahan yang kecil
sekalipun akan dapat menggagalkan usaha salah seorang dari mereka.
“Apabila perang tanding ini selesai, dan
Mahisa Agni dapat menguasai keadaan, maka aku akan sampai pada rencana
terakhir. Aku harus sampai pada kepastian untuk dapat kawin dengan Ken
Dedes. Jika hal itu terjadi, maka tidak ada satu atau dua orang lainnya,
akulah yang akan menguasai Tumapel. Akulah yang akan menguasai manusia
ini seluruhnya termasuk Mahisa Agni, pemimpin yang enam itu dan bahkan
Ken Dedes.”
Ken Arok masih saja tersenyum sendiri.
Diedarkannya pandangan matanya. Dipandanginya setiap prajurit yang
sedang bertugas, dan bahkan, kemudian keenam pemimpin Tumapel yang
berada di panggung yang khusus. Katanya pula di dalam hatinya, “Suatu
saat, kalian akan menjadi orang-orangku yang harus patuh kepada
perintahku.”
Ken Arok seolah-olah tersadar, ketika ia
melihat guncangan dalam perang tanding di arena. Sebuah serangan yang
dahsyat, sedahsyat badai, telah mendorong Mahisa Agni, sehingga Mahisa
Agni terjatuh. Serangan berikutnya beruntun mengejar Mahisa Agni yang
berguling-guling menjauhi lawannya. Namun agaknya Witantra tidak
memberinya kesempatan.
Ken Arok menahan nafas. Ia melihat
seolah-olah Mahisa Agni tidak berkelahi di dalam puncak kemampuannya
sedang Witantra agaknya telah mulai mengerahkan ilmu-ilmu puncaknya.
Namun nafasnya seakan-akan berhenti
ketika tiba-tiba saja ia melihat Mahisa Agni mengerahkan kemampuannya.
Agaknya ia tidak segera menerima usaha Witantra untuk segera memaksakan
akhir dari perang tanding ini. Karena itu, maka Mahisa Agni pun kemudian
telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada padanya, untuk
melepaskan diri dari keadaan yang sulit, yang tiba-tiba saja telah
melibatnya.
Karena ia tidak berhasil mencapai jarak
dengan lawannya, maka tiba-tiba Mahisa Agni telah mempergunakan sepasang
tangannya untuk melontarkan diri melenting, justru menyerang lawannya.
Witantra terkejut mengalami serangan yang
tidak terduga-duga itu. Mahisa Agni telah menjulurkan kedua kaki
kirinya sambil membelakangi lawannya, didorong oleh kekuatan lenting
tangannya.
Karena itu, maka Witantra tidak sempat
untuk mengelak. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya, merendah sedikit
pada lututnya dan membentur kedua kaki Mahisa Agni itu dengan sikunya.
Sebuah benturan yang keras telah terjadi.
Mahisa Agni hampir saja tertelungkup. Dengan susah payah ia menjatuhkan
dirinya pada pundaknya untuk seterusnya berguling beberapa kali. Sedang
Witantra terguncang dan terdorong dua langkah surut.
Terdengar keduanya menggeram. Tetapi
Witantra tidak segera dapat mengejar Mahisa Agni. karena
keseimbangannya. Karena itu maka selagi ia mencoba untuk tegak, Mahisa
Agni telah berhasil meloncat berdiri tegak pula di atas kedua kakinya.
Sejenak kemudian mereka pun telah
berloncatan maju menyerang dengan garangnya. Witantra bertempur dengan
lincah dan tangguh. Setiap langkahnya diperhitungkannya, dan setiap
geraknya selalu mendebarkan hati lawannya. Namun Mahisa Agni semakin
lama menjadi semakin mantap. Ketika keringatnya telah membasahi seluruh
tubuhnya, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mempergunakan segenap
kemampuannya meskipun ia masih tetap mempergunakan akalnya. Namun
tandangnya telah benar-benar menjadi seperti banteng ketaton.
Beberapa saat yang lampau, ia pernah
bertempur mati-matian melawan seorang iblis yang paling buas, tidak saja
di seluruh Tumapel, tetapi di seluruh Kediri. Setelah ia menyempurnakan
ilmunya di bawah bimbingan gurunya, Empu Purwa, dan Empu Sada, maka ia
telah berhasil mencari suatu tingkatan ilmu yang dapat mengatasi ilmu
iblis itu, dan bahkan mengatasi ilmu gurunya dan ilmu Empu Sada seorang
demi seorang.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni tidak
terlampau banyak mengalami kesulitan, ketika ia berperang tanding
melawan Witantra, yang masih belum berhasil menyamai gurunya, Panji
Bojong Santi.
Namun Witantra adalah seorang yang
mempunyai otak yang cerdas. Karena itu, maka segera ia menyesuaikan
dirinya dalam pertempuran itu. Ia lebih banyak mempergunakan
perhitungan-perhitungan yang teliti, daripada benturan-benturan yang
mungkin dapat terjadi. Meskipun demikian, ia masih belum menyadari,
bahwa Mahisa Agni yang sekarang adalah Mahisa Agni yang hampir tidak ada
duanya.
Di kejauhan, di belakang para penonton
yang lain, guru Witantra menyaksikan perkelahian itu sambil mengusap
dada. Segera ia menyadari, bahwa lawan Witantra pasti tidak akan dapat
dikalahkan oleh muridnya. Betapapun muridnya berusaha dengan segala
kemampuan ilmu dan akal. Namun kemungkinan untuk menang dalam perang
tanding itu terlampau tipis, dan bahkan hampir tidak ada sama sekali.
“Bagaimana Guru?” bertanya seseorang.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
“Aku tidak menyangka, bahwa murid Empu Purwa itu kini telah berhasil
mencapai tingkat gurunya.”
Muridnya yang bertanya itu Mahendra,
mengerutkan keningnya. “Maksud Guru, bahwa tingkat ilmu Mahisa Agni
telah melampaui Kakang Witantra?”
“Aku kira demikian.”
Mahendra menggigit bibirnya. Ia sama
sekali tidak menyangka, bahwa suatu ketika kakaknya Witantra benar-benar
akan berhadapan dengan Mahisa Agni di arena.
“Jadi bagaimana, Guru?” bertanya Mahendra cemas.
Gurunya menggelengkan kepalanya, “Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa Mahendra. Mereka naik ke arena sebagai dua orang lelaki.”
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang setiap campur tangan gurunya dalam perang tanding itu pasti hanya
akan menodai nama kakak seperguruannya.
“Kasihan Witantra,” desis gurunya, “ia
telah dibakar oleh keyakinannya. Aku sudah memperingatkan, agar ia
mempergunakan cara lain. Apalagi kini ternyata bahwa anak muda yang
melawannya itu mempunyai ilmu yang aneh. Aku melihat sebuah perkembangan
ilmu Empu Purwa yang diwarnai oleh tata gerak yang luar biasa dari ilmu
Empu Sada.”
“Empu Sada?” desis Mahendra, “maksud guru Empu Sada guru Kuda Sempana?”
Panji Bojong Santi mengangguk.
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. Meskipun ilmunya sendiri tidak jauh berada di bawah kakak
seperguruannya, namun terasa sulitnya mengikuti tata gerak Mahisa Agni.
Di arena, ternyata bahwa Witantra pun
telah merasakan, bahwa sekali-kali ia ketinggalan dari kecepatan gerak
Mahisa Agni. Bahkan dalam beradu tenaga, dalam benturan-benturan yang
terjadi, Witantra pun merasa pula, bahwa Mahisa Agni mempunyai beberapa
kelebihan daripadanya. Karena itu, maka dadanya pun menjadi
berdebar-debar. Ia menjadi cemas bahwa ia tidak akan berhasil
membersihkan nama Kebo Ijo dan nama perguruannya. Sama sekali bukan
karena nyawanya sendiri.
Demikianlah, perang tanding itu semakin
lama menjadi semakin memuncak. Witantra telah terpaksa mengerahkan
segenap kemampuan yang ada padanya, lahir dan batin. Semua unsur-unsur
gerak yang dimilikinya, dilandasi oleh pengalaman yang tiada terhitung
banyaknya yang tersimpan di dalam dirinya, serta tekad yang
menyala-nyala di dalam dadanya. Namun demikian ia masih tetap sadar
sepenuhnya, sehingga karena itu, ia tidak pernah kehilangan akal.
Dalam pada itu, lambat laun, Mahisa Agni
pun menjadi semakin mantap. Meskipun ia tidak dapat meyakini bahwa ia
dapat mengalahkan Witantra, namun ia merasa, bahwa ilmunya selapis lebih
tinggi dari lawannya. Kalau ia tidak melakukan kesalahan, maka ia
berharap untuk dapat memenangkan perang tanding itu.
Karena itu, tanpa kehilangan pengamatan
diri Mahisa Agni setapak demi setapak maju terus. Semakin lama ia
semakin berhasil mendesak lawannya.
Namun, Witantra tidak dengan mudah
menjadi berputus asa. Betapa ia heran, bahwa Mahisa Agni ternyata
memiliki ilmu yang tidak dapat diimbanginya. Meskipun demikian, dengan
cermat Witantra bertempur terus. Diperasnya segenap kemampuan, akal dan
tekadnya untuk tetap bertahan. Mempertahankan hidupnya dan
mempertahankan keyakinannya.
Karena itu, maka perkelahian itu pun
menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya sama sekali tidak
bersenjata. Namun keduanya memiliki kemampuan yang luar biasa, sehingga
senjata bagi mereka hampir tidak banyak artinya.
Dalam puncak perkelahian itu. mereka
saling mendesak, saling menyerang dan saling membenturkan kekuatan
masing-masing. Tangan-tangan mereka bergerak dalam irama maut. Mereka
sudah tidak dapat lagi membatasi diri dan menahan-nahan kekuatan dan
kemampuan. Semua ilmu yang ada telah mereka tumpahkan. Semua.
Ken Arok yang tegang, lambat laun mulai menarik nafas lega. Ia melihat Mahisa Agni telah menguasai keadaan.
Setiap kali ia selalu berhasil mematahkan
serangan Witantra dan bahkan menyerangnya kembali. Meskipun sekali dua
kali serangan Witantra terasa sangat berbahaya, namun Mahisa Agni selalu
dapat menghindarinya.
Tetapi justru dengan demikian, maka
Witantra menjadi mapan. Ia merasa bahwa ia akan gagal mempertahankan
keyakinannya. Namun ia tidak kehilangan akal. Ia bahkan pasrah diri
dalam keadaannya, sehingga perlawanannya justru menjadi semakin mantap.
Kedewasaannya sama sekali tidak menyeretnya ke dalam perbuatan putus asa
yang berbahaya.
“Bukan main,” gumam Mahisa Agni di dalam
hatinya, “betapa tenang dan mantapnya pertimbangan di dalam hatinya.
Witantra memang seorang yang mempunyai kedewasaan berpikir. Sayang ia
harus mengorbankan nama dan nyawanya.”
Dalam pada itu Witantra pun berkata di
dalam hatinya, “Mahisa Agni telah sampai ke puncak ilmunya yang luar
biasa. Agaknya ia telah dimatangkan oleh gurunya, sehingga ia telah
mencapai tingkat seperti gurunya sendiri. Namun demikian ia berhasil
menguasai dirinya dengan sikap dewasa. Meskipun ia masih semuda itu, ia
sempat mengendalikan diri. Tetapi sayang, kali ini ia telah dibakar oleh
kepedihan perasaannya karena ia telah kehilangan paman dan iparnya.
Sehingga ia telah bertempur untuk suatu keyakinan yang keliru menurut
penilaianku. Tetapi apa boleh buat. Sudah menjadi garis hidupku, bahwa
mungkin sekali aku harus mati di tangannya.”
Demikianlah, maka pertempuran itu merayap
ke ujungnya. Keduanya telah memeras segenap kemampuan dan tenaga,
sehingga semakin lama tenaga mereka pun semakin menurun pula.
Sehingga agaknya tidak ada jalan bagi Witantra untuk mengakhiri pertempuran itu seperti yang diharapkannya.
Meskipun demikian, di bagian terakhir
dari perkelahian itu telah benar-benar menggetarkan jantung. Sekali-kali
karena ketenangan dan kematangannya, Witantra masih juga berhasil
mengenai lawannya. Suatu kesalahan kecil dari Mahisa Agni telah
membuatnya terpelanting. Sebuah pukulan yang dahsyat telah mengenai
dagunya. Sebelum ia dapat berdiri tegak, maka Witantra mencoba
menggunakan kesempatan itu. Dengan sebuah loncatan panjang ia memburu.
Dengan sisi telapak tangannya ia berhasil mengenai pundak Mahisa Agni.
Sekali lagi Mahisa Agni terdorong surut. Hampir saja ia kehilangan
keseimbangan, namun justru ia meloncat mundur untuk mengambil jarak,
sehingga ia mempunyai waktu untuk tegak di atas kedua kakinya. Namun
kali ini pun Witantra tidak membiarkannya. Ia tidak akan mendapat
kesempatan serupa ini lagi. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia
meloncat maju mendekati lawannya. Kakinya kali ini diputarnya mendatar
setinggi lambung.
Sebuah sambaran yang deras telah
menyentuh tubuh Mahisa Agni. Kaki Witantra tepat mengenai lambungnya.
Betapa perutnya menjadi mual. Apalagi Witantra telah mempergunakan
sepenuh tenaganya.
Mahisa Agni kali ini terdorong ke
samping. Namun betapa ia dilibat oleh serangan-serangan beruntun, ia
tidak menjadi bingung. Ia sadar sepenuhnya ketika ia melihat Witantra
berputar sekali lagi di atas satu kakinya. Maka ketika kaki Witantra
yang lain menyambarnya, selagi ia masih belum sempat menguasai
keseimbangan seutuhnya, maka ia pun justru menghindar dengan menjatuhkan
dirinya, sehingga kali ini Witantra telah kehilangan sasaran.
Sebelum Witantra sempat menarik kakinya,
maka sambil berguling Mahisa Agni telah menangkap kaki itu, dan sebuah
putaran yang tiba-tiba dibarengi dengan berat badannya sendiri, Mahisa
Agni berhasil memutar Witantra, sehingga ia pun terbanting jatuh. Namun
Witantra pun tidak menyerahkan dirinya begitu saja. Secepatnya ia
menelungkupkan dirinya menyentakkan kakinya yang berada di dalam
tangkapan Mahisa Agni dan menyerang sekaligus dengan kakinya yang lain.
Begitu cepatnya, sehingga Mahisa Agni
hampir saja kehilangan kesempatan. Tepat pada saatnya Mahisa Agni
berhasil menghindar sambil meloncat ke samping.
Namun waktu yang sekejap itu pun telah
dimanfaatkan pula oleh Witantra. Dengan tangkasnya ia melenting berdiri
di atas telapak kakinya.
Sebuah desir yang tajam telah tergores di
jantung Mahisa Agni. Ketika tanpa disengaja ia mengusap bibirnya, maka
tangannya telah diwarnai oleh setitik darah dari mulutnya.
Bagaimanapun juga, maka jantung Mahisa
Agni menjadi bergelora karenanya. Pundaknya terasa sakit dan perutnya
masih juga mual. Namun dalam pada itu, kaki Witantra pun menjadi betapa
sakitnya. Nafasnya telah menjadi semakin sesak dan tenaganya pun telah
semakin susut.
Darah di bibir Mahisa Agni ternyata telah
membuatnya semakin garang. Sakit di pundaknya sama sekali tidak
mengganggu geraknya, dan bahkan mual di perutnya pun lambat laun telah
hilang.
Namun pada saat yang demikian, agaknya
Witantra telah tidak melihat kemungkinan untuk memenangkan perkelahian
itu. Karena itu, maka ia akan segera mengambil jalan yang paling cepat.
Dengan suatu loncatan panjang ia mengambil jarak dari lawannya. Kemudian
diheningkannya hatinya, dipusatkannya segenap kemampuan lahir dan
batinnya. Dalam sekejap ia telah mampu membangunkan puncak dari kekuatan
ilmunya, aji pamungkasnya.
Mahisa Agni terkejut melihat sikap itu.
Ia tidak menyangka bahwa perang tanding ini benar-benar perang tanding
antara hidup dan mati. Sudah barang tentu bahwa ia tidak akan membiarkan
dirinya hancur lumat dihantam oleh kekuatan yang tiada taranya. Karena
itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya dalam kemampuannya yang
tertinggi. Gundala Sasra.
“Terpaksa aku membentur Bajra Pati itu,” desisnya, “kalau tidak, maka aku tidak akan keluar dari arena ini.”
Keduanya tidak memerlukan waktu yang
lama. Puncak ilmu mereka seakan-akan telah siap untuk muncul ke
permukaan setiap saat. Dan kali ini pun puncak ilmu dari kedua perguruan
itu pun telah siap.
Ken Arok yang menyaksikan keduanya itu
pun menahan nafasnya. Ia tidak dapat membayangkan, apakah yang akan
terjadi apabila keduanya nanti berbenturan. Bahkan ketika keduanya siap
untuk meloncat dan melepaskan ilmu puncak masing-masing, Ken Arok
menjadi gemetar, dan darahnya pun serasa berhenti mengalir.
Demikian juga para pemimpin, para
manggala, pandega dan senapati-senapati yang mampu menangkap getaran di
wajah kedua orang yang berada di arena itu.
Kecuali mereka, Panji Bojong Santi dan
Mahendra pun menjadi berdebar-debar. Orang tua yang kekurus-kurusan itu
meraba dadanya dengan telapak tangannya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Tidak ada kekuatan yang dapat mencegah lagi.”
Mahendra pun menjadi tegang. Dan bibirnya terkatup rapat-rapat.
Sekejap kemudian, hampir setiap orang
yang berada di seputar arena di alun-alun Tumapel itu memejamkan mata
mereka. Mereka tidak sampai hati melihat betapa dahsyatnya benturan yang
terjadi di antara keduanya. Keduanya adalah anak-anak terbaik dari bumi
Tumapel. Keduanya adalah kekuatan yang dahsyat dari tanah ini.
Akibat dari benturan itu memang dahsyat
sekali. Keduanya terlempar beberapa langkah surut. Mahisa Agni merasa,
seakan-akan dadanya menjadi retak, dan matanya berkunang-kunang.
Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari persendiannya. Namun ia masih
tetap sadar. Dengan susah payah ia menempatkan dirinya, pada keadaan
yang sebaik-baiknya ketika ia terbanting jatuh. Ia masih sempat berusaha
mengangkat kepalanya sehingga tidak terbentur lantai arena sambil
menekuk lututnya dan merentangkan tangannya. Namun kemudian ia menjadi
lemah, dan seakan-akan terkulai tidak berdaya.
Dengan sekuat sisa tenaganya. Mahisa Agni
masih mencoba untuk mengatur jalan pernafasannya. Ia masih tetap dalam
pemusatan segenap kekuatan lahir dan batinnya. Sehingga lambat laun,
betapapun lambatnya ia berhasil menguasai keadaan dirinya. Darahnya
menjadi semakin lancar, dan tulang-tulangnya pun seakan-akan telah
saling berhubungan kembali. Namun terasa betapa badannya seakan-akan
terhimpit oleh gunung Kawi. Ketika terasa sesuatu di pipinya, maka
Mahisa Agni sadar, bahwa darah telah meleleh dari mulutnya.
“Dadaku terluka di dalam,” desisnya.
Namun tiba-tiba terbayang kembali bahwa
di arena itu masih ada Witantra. Lawannya yang baru saja membenturkan
kekuatan puncaknya melawan Gundala Sasra. Karena itu, maka dikerahkannya
kemampuannya, dan perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya. Ia tidak mau
telentang saja untuk menerima nasibnya, sampai Witantra datang menginjak
lehernya.
Tetapi ketika dengan susah payah ia
bangkit dan bersandar pada kedua tangannya, sementara kedua kakinya
masih tetap menjelujur, ia melihat Witantra masih terbaring diam.
“Oh, agaknya ia pun terluka parah seperti
aku,” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “namun agaknya keadaanku
masih agak lebih baik.”
Maka segera diingatnya apa yang baru saja
terjadi. Perang tanding yang dahsyat. Namun di dalam perang tanding itu
Mahisa Agni menyadari, bahwa tingkat ilmunya masih lebih tinggi
setataran dari lawannya. Dan kini, dalam penerapan ilmu puncaknya pun
ternyata, bahwa Mahisa Agni lebih kuat dari Witantra. Perlahan-lahan
Mahisa Agni berusaha bangkit. Terhuyung-huyung ia berdiri. Ketika ia
berusaha menarik nafas dalam-dalam, terasa dadanya menjadi pedih. Namun
karena itu, justru ia mengulanginya beberapa kali, sehingga terasa
tubuhnya agak menjadi lebih segar, meskipun dadanya serasa masih pepat.
Tertatih-tatih Mahisa Agni melangkah
maju. Sejenak kemudian langkahnya tertegun. Ia masih melihat Witantra
terbaring diam. Namun tiba-tiba dahinya berkerut. Perlahan-lahan
Witantra membuka matanya. Seperti dirinya sendiri, dari mulut Witantra
pun telah meleleh darah. Agaknya ia pun terluka di dalam dadanya.
Dengan susah payah Witantra mencoba
menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali. Dan ia pun menyeringai
menahan sakit, betapa dadanya serasa terbelah.
Samar-samar ia melihat Mahisa Agni
berdiri beberapa langkah daripadanya. Sekilas terbayang di kepalanya,
apa yang baru saja terjadi. Namun kemudian terbayang tubuh yang tegak
berdiri itu maju mendekatinya dan tanpa kesulitan apapun mencekiknya
sampai mati, karena ia masih belum mampu berbuat apapun juga.
Dan ternyata Witantra memang melihat
Mahisa Agni itu setapak maju. Setapak lagi. Sedang pandangan mata
Witantra masih juga agak kabur.
Tidak ada kemungkinan lain bagi Witantra
daripada pasrah diri kepada nasibnya. Kepada kekuasaan Yang Maha Agung.
Ia sama sekali bukan seseorang yang mudah jatuh ke dalam keputusasaan.
Seperti saat itu ia pun sama sekali tidak berputus asa. Tetapi adalah
suatu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya, bahwa tubuhnya sama
sekali tidak dapat digerakkannya untuk melawan. Tangannya serasa telah
terlepas dari tubuhnya dan dadanya serasa telah pecah.
Ketika ia memaksa diri menggerakkan
kakinya, maka betapa sakit tulang-tulang belakangnya sampai meraba
ubun-ubun. Karena itu ia hanya dapat menyeringai, kemudian membiarkan
apa saja yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni atasnya.
Tetapi Mahisa Agni yang melangkah
tertatih-tatih mendekatinya itu tertegun dan berhenti beberapa langkah
daripadanya. Ia melihat bahwa Witantra seakan-akan sama sekali tidak
bergerak. Pimpinan tertinggi pasukan pengawal itu terbaring di lantai
arena tanpa berdaya sama sekali menolak apa saja yang akan terjadi
atasnya, sebagai akibat dari usahanya untuk mempertahankan keyakinannya.
Witantra yang masih terbaring itu semakin
lama menjadi semakin sadar akan keadaan di sekelilingnya. Dan ia
menjadi heran kenapa Mahisa Agni masih saja berdiri mematung. Kenapa
anak muda itu tidak segera menyelesaikan tugasnya, membunuhnya sama
sekali.
Dalam keragu-raguan menghadapi lawannya
itu. Witantra masih juga berusaha untuk mengatur pernafasannya.
Satu-satu ia mencoba menyegarkan dadanya yang seolah-olah telah pecah.
Sementara itu di luar arena, Ken Arok
mengerutkan keningnya. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang.
Kenapa Mahisa Agni tidak segera menyelesaikan lawannya yang sudah tidak
berdaya? Betapa lemahnya Mahisa Agni saat itu, namun ia masih mampu
berjalan maju. Mendekap leher Witantra sampai ia tidak dapat menarik
nafas lagi. Bahkan tanpa mengeluarkan tenaga sama sekali ia akan dapat
melakukannya. Dengan mendekap hidung Witantra, maka lambat laun Witantra
akan terputus juga nafasnya.
Tetapi kenapa Mahisa Agni masih tegak di tempatnya?
Beberapa orang yang lain pun menjadi
heran. Perang tanding itu adalah perang tanding sampai mati. Apakah
Mahisa Agni menganggap bahwa Witantra sudah tidak akan dapat melawannya
lagi dan tidak akan membunuhnya? Tetapi apabila demikian, hal itu akan
sangat berbahaya bagi Mahisa Agni sendiri. Witantra pada dasarnya adalah
seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kalau ia masih hidup, maka ia
tidak akan dapat melupakan kekalahannya. Ia hanya memerlukan waktu yang
singkat untuk menyempurnakan ilmunya. Dan setelah itu, maka perang
tanding ini pasti akan berulang. Dan Mahisa Agni tidak akan sepasti ini
menyelesaikan pekerjaannya.
Dada setiap orang menjadi semakin
berdebar-debar ketika mereka melihat Mahisa Agni melangkah maju. Namun
dada itu berguncang ketika mereka melihat Mahisa Agni kemudian justru
berjongkok di samping Witantra.
“Witantra,” desis Mahisa Agni, “marilah kita anggap persoalan kita sudah selesai.”
Witantra membelalakkan matanya. Namun
ketika ia mencoba untuk bangkit, terasa bahwa tenaganya seolah-olah
benar-benar sudah lenyap sama sekali.
“Belum,” desisnya kemudian, “kau baru selesai apabila aku sudah mati. Dan sekarang kau mempunyai kesempatan untuk membunuh aku.”
Mahisa Agni merenungi wajah Witantra yang
pucat itu sejenak. Tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya, “Tidak
Witantra. Aku tidak dapat membunuhmu.”
“Gila kau Agni. Itu suatu penghinaan yang
tiada taranya bagi seorang prajurit di dalam arena perang tanding.
Tidak. Kau harus membunuh aku.”
Sekali lagi Mahisa Agni menggelengkan kepadanya, “Itu tidak perlu Witantra.”
“Kau gila. Apa memang kau ingin
menghinakan aku? Setelah kau pamerkan kemenanganmu di hadapan rakyat
Tumapel, kemudian kau pamerkan keluhuran budimu sekedar untuk menghina
aku? Itu bukan suatu perbuatan yang terpuji Mahisa Agni.”
“Apapun yang akan kau katakan tentang
diriku Witantra, tetapi aku sama sekali tidak mendapat dorongan untuk
membunuhmu. Bahkan sekarang aku tidak tahu lagi arti dari perang tanding
ini yang sebenarnya.”
“Kenapa?” bertanya Witantra dengan nafas terengah-engah. “bukankah kita masing-masing sedang mempertahankan keyakinan kita?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Aku sekarang menjadi ragu-ragu. Apakah kebenaran dapat
dipertahankan dengan cara ini? Sebagaimana keadaan yang sebenarnya telah
terjadi, tidak akan berubah, siapa pun sama sekali tidak akan dapat
mengubah keyakinan di dalam dirimu dan di dalam diriku. Ternyata kita
telah berbuat suatu kebodohan.”
“Apa maksudmu?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam sekali. Kemudian desahnya, “Aku
tidak tahu, apakah hasil dari perkelahian ini. Aku tidak tahu dan justru
aku tidak meyakininya. Yang dapat kita lakukan adalah suatu keputusan
yang diakui oleh rakyat Tumapel selain suatu kebenaran. Dalam hal ini
pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi bukan kebenaran itu
sendiri.”
“Bukankah memang itu maksudmu? Agar
seluruh rakyat Tumapel mengutuk Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh?
Pembunuh Akuwu Tunggul Ametung dan pembunuh pamanmu Empu Gandring?”
Mahisa Agni termenung sejenak. Kemudian perlahan-lahan kepalanya terangguk lemah.
Witantra pun terdiam pula untuk sejenak.
Dicobanya memperbaiki letak tubuhnya. Namun terasa betapa
tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan.
Tanpa disangka-sangkanya Mahisa Agni bergeser maju dan membantunya menggerakkan kakinya.
“Terima kasih,” desis Witantra.
Sementara itu orang-orang yang berdiri di
sekitar arena itu, seakan-akan membeku di tempatnya. Mereka tidak tahu,
apakah yang sebenarnya telah terjadi di arena. Mereka tidak mendengar
apa yang dipercakapkan Mahisa Agni dan Witantra. Namun mereka dapat
membaca di wajah Mahisa Agni, bahwa gairahnya untuk membunuh lawannya
tiba-tiba telah padam.
“Mahisa Agni,” desis Witantra kemudian,
“kau harus membunuh aku. Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Karena aku
pasti sudah tidak berharga lagi di mata rakyat Tumapel. Kau harus tahu,
bahwa seseorang yang kalah di arena, tetapi ia turun dari arena ini
dalam keadaan hidup, maka ia adalah orang yang paling hina. Jauh lebih
hina dari kaum paria.”
“Tidak Witantra,” jawab Mahisa Agni, “kau
memiliki ilmu dan kemampuan. Kau dapat mencari cara yang baik bagimu
untuk memanfaatkan ilmumu.”
“Kau harus membunuh aku supaya
kemenanganmu sempurna. Kalau aku tidak mati Agni, aku pasti masih akan
memperjuangkan keyakinanku.”
“Itu hakmu Witantra.”
“Tetapi kau harus membunuh aku. Harus.”
Mahisa Agni menggeleng, “Tidak.”
“Agni kalau kau tidak membunuhku, akulah yang pada suatu saat akan membunuhmu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian menjawab, “Seandainya memang terjadi demikian, aku tidak akan kecewa.”
“Persetan!” Witantra tiba-tiba menggeram, “Ayo bunuh aku!”
Mahisa Agni tidak menyahut.
“Cepat, sebelum rakyat Tumapel bersorak menghinaku.”
Mahisa Agni masih tetap membeku.
“Agni, apakah kau pengecut yang tidak berani melihat mayat terbujur di bawah kakimu?”
Tetapi Mahisa Agni masih tetap diam.
“Agni, Agni.”
Suara Witantra itu telah
menghentak-hentak dada Mahisa Agni, sehingga ia tidak tahan lagi.
Selangkah ia bergeser mundur. Namun Witantra justru berteriak sambil
menyeringai, “Cepat Agni, cepat.”
Suara itu serasa bergulung-gulung di
dalam dada Mahisa Agni. Sejenak ia menjadi bingung, bahkan dicobanya
untuk menyumbat telinganya dengan telapak tangannya. Tetapi suara itu
seakan-akan bergema memenuhi rongga telinganya.
“Tidak, tidak,” tiba-tiba Mahisa Agni berteriak untuk mengatasi suara Witantra yang serasa semakin menderu di telinganya.
Tetapi suara Witantra itu sama sekali tidak terdesak karenanya, bahkan semakin keras, “Bunuh aku, bunuh aku.”
“Tidak! Tidak!” Mahisa Agni berteriak semakin keras. Tetapi suara itu masih saja, tetap didengarnya.
Karena itu, maka Mahisa Agni akhirnya
tidak tahan lagi berada di samping Witantra yang pucat seperti kapas,
yang terbaring menenggang nafas. Maka tanpa diduga oleh siapa pun juga.
Mahisa Agni itu pun segera meloncat berdiri dan berlari menjauh. Tidak
saja sampai ke sudut arena, namun kemudian ia pun meloncat turun dan
berlari menyusup di antara para penonton yang berdiri dengan mulut
ternganga.
Para pemimpin yang enam, Ken Arok, para
senapati dan para pemimpin prajurit yang lain pun terheran-heran
karenanya. Mereka seolah-olah terpukau sehingga mereka sama sekali
membeku untuk sesaat. Bahkan Witantra sendiri menjadi heran. Heran
sekali.
Baru sejenak kemudian alun-alun itu
menjadi gempar. Setiap orang bergeramang tanpa ujung dan pangkal. Bahkan
salah seorang pemimpin yang enam itu berteriak, “He. ke mana Mahisa
Agni itu?”
Tidak seorang pun yang menjawab, karena memang tidak seorang pun yang tahu.
Namun dalam pada itu. Ken Arok mempunyai
pikiran yang lain. Ia menyadari bahwa Mahisa Agni tidak dapat membunuh
Witantra. Dan bahwa Witantra masih tetap hidup itu akan sangat berbahaya
baginya.
Karena itu, maka ia memutar otaknya untuk dapat berbuat sesuatu.
Sementara itu, beberapa orang tanpa
mereka sengaja telah menebar. Seolah-olah ada suatu keharusan pada
mereka untuk menemukan Mahisa Agni. Karena itu, maka beberapa orang
justru bertanya-tanya, “Di mana Mahisa Agni?”
“Seharusnya ia memenangkan perang tanding itu,” sahut yang lain.
“Itu sudah pasti, tetapi kenapa ia meninggalkan arena dan justru lari terbirit-birit,” bertanya yang lain lagi.
Tidak seorang pun dapat menjawab. Semuanya hanya mampu melontarkan bermacam-macam pertanyaan yang tidak akan terjawab.
Sementara itu Ken Arok merayap semakin
dekat dengan arena. Di dalam dadanya berkecamuk berbagai macam
persoalan. Kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu, namun kadang-kadang ia
menjadi begitu bernafsu.
“Anak itu harus mati!” geramnya,
“Bagaimanapun juga caranya. Aku dapat berpura-pura menolongnya atau
berbuat apapun atas Witantra, sementara itu aku dapat mencekiknya. Ia
sudah terlampau lemah dan tidak mungkin akan dapat melawan atau bahkan
mengeluh sekalipun.”
Dengan demikian, maka Ken Arok sama
sekali tidak menghiraukan lagi ke mana Mahisa Agni akan pergi. Yang
terpatri di dalam kepalanya adalah meremas leher Witantra sampai mati.
Ken Arok mengharap, selagi orang-orang di
sekitar arena itu sibuk dengan Mahisa Agni, maka kesempatan itulah yang
akan dipergunakannya. Tidak akan ada orang yang memperhatikan apa yang
akan dilakukannya. Mereka akan terkejut dan mungkin heran, apabila,
mereka melihat Witantra itu mati. Namun mereka pasti akan menyangka,
bahwa hal itu terjadi karena luka yang parah di dalam dadanya.
Demikianlah, maka Ken Arok telah
mengambil suatu keputusan. Ialah yang akan menyelesaikan pekerjaan
Mahisa Agni. Membunuh Witantra yang masih terbaring di arena.
Ketika orang-orang di sekitar arena itu
masih belum tenang, Ken Arok telah berdiri di sisi arena itu, Dengan
dada yang berdebar-debar ia semakin mendekat, dan dengan sebuah loncatan
ia telah berada di atas arena, tanpa seorang pun yang memedulikannya.
Bahkan pemimpin Tumapel yang enam pun agaknya masih terlampau sibuk
bertanya kepada para pengawal, ke mana Mahisa Agni pergi. Dan seandainya
ada orang yang memperhatikannya pun, ia dapat mengatakan bahwa
sebenarnya ia ingin menolong Witantra yang begitu saja ditinggal
terbaring di arena.
Sekilas Ken Arok menebarkan pandangannya.
Agak tergesa-gesa. Apalagi orang-orang di sekitar arena itu
bergerak-gerak seperti gabah di penampian.
Namun ketika ia selangkah maju mendekati
Witantra, tiba-tiba hatinya berdesir. Nafasnya serasa berhenti mengalir
dan menyumbat tenggorokannya, sehingga dadanya menjadi pepat.
Perlahan-lahan ia mendengar seseorang bertanya. “Apakah Witantra dapat ditolong, Ngger?”
Ketika Ken Arok berpaling, dilihatnya
seorang tua yang kekurus-kurusan. Panji Bojong Santi. Sedang di
sampingnya berdiri adik seperguruan Witantra, Mahendra.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi hatinya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, di hadapan orang
itu ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sedang ia tahu bahwa orang itu
adalah guru Witantra, seorang yang pilih tanding.
“Bagaimana, Ngger?” bertanya orang tua itu pula.
Ken Arok tergagap. Namun ia kemudian
menjawab, “Aku sedang mencobanya Kiai. Mudah-mudahan tidak ada peraturan
yang melarang untuk menolongnya.”
“Bukankah Angger juga seorang prajurit?”
“Ya, tetapi aku kurang memperhatikannya.
Hal serupa ini terlampau jarang terjadi. Apalagi selagi masih ada Akuwu.
Selama aku berada di istana, hal serupa ini baru untuk pertama kalinya
terjadi.”
“Baiklah. Kalau begitu biarlah kami yang menolongnya. Biarlah Witantra kami bawa pulang ke padepokan kami.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Jika
demikian maka usahanya untuk membunuh orang itu menjadi terlampau sulit.
Karena itu maka ia pun berkata, “Tetapi jangan sekarang. Biarlah ia
berada di arena lebih dahulu. Kalau tidak ada suatu keputusan apapun
dari pemimpin yang enam, biarlah aku akan mengambilnya dan
menyerahkannya kepada Kiai.”
“Tetapi ia akan mati Ngger, apabila tidak segera mendapat pertolongan.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Desisnya,
“Aku akan mencoba menolongnya di atas arena. Karena aku seorang
prajurit, maka aku akan lebih leluasa untuk berbuat sesuatu di sini.
Sebaiknya Kiai dan Mahendra jangan berada di dekat arena ini supaya
tidak menumbuhkan kecurigaan.”
Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya
yang sudah keputih-putihan. Namun bisiknya, “Keadaan Witantra sudah
terlampau gawat. Aku akan mengambilnya sekarang, apapun yang akan
terjadi. Aku minta Angger membantu aku. Tetapi aku tidak akan
mencurinya. Aku akan menemui pemimpin yang enam itu, dan memintanya
dengan berterus terang.”
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar.
Tetapi sebelum ia dapat menjawab, Mahendra telah bergeser dari tempatnya
sambil berkata, “Akulah yang akan menghadap pemimpin yang enam itu.”
Ken Arok tidak dapat mencegahnya. Karena
itu dengan dada berdebar-debar ia memandangi langkah Mahendra yang pergi
menghadap ke panggung yang khusus bagi pemimpin yang enam.
Mahendra menganggukkan kepalanya
dalam-dalam di hadapan mereka sebagai tata kesopanan apabila ia
menghadap para pemimpin, yang apalagi belum semua dikenalnya.
“Siapa kau anak muda?” bertanya salah seorang dari keenam pemimpin itu.
“Aku adalah Mahendra, saudara seperguruan Kakang Witantra yang sekarang terbaring di arena.”
“Oh, maksudmu?” keenam pemimpin itu
menjadi berdebar-debar. Mereka menyangka, bahwa anak muda yang bernama
Mahendra ini akan menuntut kekalahan saudara seperguruannya, dengan
membuka kemungkinan untuk mengadakan perang tanding yang baru. Apabila
demikian, maka keadaan akan berlarut-larut tidak ada putus-putusnya.
Tetapi Mahendra berkata. “Aku datang
bersama guruku. Aku ingin memohon agar Kakang Witantra yang meskipun
telah terkalahkan, tetapi masih hidup itu, untuk kami bawa ke
padepokan.”
Keenam pemimpin itu terdiam sesaat.
Mereka pun tahu benar, akibat dari kekalahan Witantra itu baginya.
Selagi ia masih hidup, maka persoalannya tidak akan terhenti sampai
sekian.
Tetapi keenam pemimpin itu tidak dapat
membuat perintah untuk membunuh Witantra. itu adalah hak Mahisa Agni.
Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni telah lari meninggalkan arena, justru
setelah ia memenangkan perang tanding itu. Sehingga tidak seorang pun
yang tahu, apakah sebabnya, maka ia berbuat demikian.
Karena mereka tidak segera menjawab, maka
Mahendra pun mendesaknya, “Apakah ada keharusan, bahwa Kakang Witantra
harus mati? Sehingga apabila ia masih hidup, maka ia harus dibunuh?”
Hampir bersamaan keenam pemimpin itu menggeleng.
“Tidak,” sahut salah seorang dari mereka.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam.
Tumbuhlah harapan di dalam hatinya untuk dapat membawa kakak
seperguruannya itu kembali ke padepokan. Kemudian apabila ia telah sadar
benar, menunggu perintahnya, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Meskipun Witantra naik ke arena sebagai seorang lelaki, namun kekalahannya telah membuat hati Mahendra terbakar juga.
“Jadi,” katanya kemudian, “dengan demikian aku membawanya keluar dari arena?”
Keenam pemimpin itu masih saja ragu-ragu. Mahendra berdiri saja menunggu keputusan mereka tanpa bergeser dari tempatnya.
“Biarlah Witantra dibawa oleh saudara
seperguruannya itu,” desis salah seorang dari mereka, “bagaimanakah
pendapat kalian tentang hal ini?”
“Baiklah, aku tidak berkeberatan,” sahut
yang lain. Akhirnya karena pemimpin itu bersepakat untuk memberikan
Witantra yang masih hidup itu kepada saudara seperguruannya.
“Bawalah. Mudah-mudahan ia segera sembuh.”
“Terima kasih,” jawab Mahendra sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
Mahendra pun segera meninggalkan panggung
khusus itu kembali ke arena. Dikatakannya kepada gurunya, bahwa keenam
pemimpin itu telah memberinya izin untuk membawa Witantra pulang.
“Kau harus berterima kasih kepada mereka,” berkata gurunya.
“Aku sudah mengucapkannya. Aku sangat berterima kasih.”
Panji Bojong Santi menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Ken Arok, “Sudahlah, Ngger. Biarlah
kami mengambil Witantra. Aku akan berusaha untuk mengobatinya.”
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Ia
melihat nafas Witantra menjadi semakin teratur, meskipun masih tampak
betapa lemah tenaganya. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya
dapat menganggukkan kepalanya sambil, berkata, “Silakan. Silakan.”
Mahendra pun segera meloncat naik ke
panggung bekas arena perang tanding itu. Kemudian didekatinya kakak
seperguruannya dan berjongkok di sampingnya.
“Kakang,” desisnya.
Witantra yang sudah tidak berpengharapan
itu membuka matanya. Dilihatnya Mahendra, dan beberapa langkah di
belakangnya, Ken Arok berdiri kaku.
“Tinggalkan aku,” desisnya perlahan-lahan, “umurku sudah aku ikhlaskan.”
“Guru ada di sini Kakang.”
“He?” wajah Witantra memancar sesaat, namun kemudian menjadi suram kembali, “di mana Guru sekarang?”
“Di bawah, di samping arena ini.”
“Aku mohon maaf, bahwa aku telah menodai
nama perguruanku. Aku telah berani naik ke arena perang tanding, namun
aku tidak dapat mengatasi Gundala Sasra yang hampir sempurna itu.”
“Guru memerintahkan aku untuk membawamu ke padepokan Kakang.”
“Aku kira akan lebih baik bagiku, apabila aku mati di arena perang tanding ini daripada di padepokan.”
“Tetapi itu perintah Guru, Kakang.”
Witantra terdiam sejenak. Ia tidak dapat
melawan perintah gurunya, sehingga karena itu, maka katanya,
“Terserahlah, apabila Guru benar-benar memerintahkannya.”
“Marilah, aku bantu Kakang berjalan dan turun dari arena ini.”
Witantra tidak menjawab lagi.
Dibiarkannya Mahendra melingkarkan tangannya di bawah lehernya, kemudian
perlahan-lahan mengangkatnya bangkit.
Alangkah sakitnya punggung Witantra.
Seandainya tidak memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, maka tentu
tidak akan kuat lagi menanggung sakit yang demikian. Bahkan ketika ia
sudah terduduk dilayani oleh adik seperguruannya. tiba-tiba mulutnya
mengalir darah yang kehitam-hitaman.
“Oh,” Mahendra terkejut. Tanpa disadarinya ia berpaling mencari gurunya.
Panji Bojong Santi yang melihatnya,
menjadi cemas juga, sehingga ia pun kemudian meloncat naik ke arena.
Demikian tergesa-gesa ia mendekati muridnya yang ternyata terluka cukup
parah di dadanya.
Ketika Witantra melihat gurunya, maka
dipaksanya mulutnya berkata, “Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat
berlahan, sehingga dengan demikian aku telah menodai nama perguruan.”
“Jangan salahkan diri sendiri, Witantra,” jawab gurunya.
“Akhir yang paling baik bagiku sekarang adalah kematian.”
“Jangan putus asa. Kau akan membuat
kesalahan baru lagi.” gurunya berhenti sejenak, lalu. “kalau kau mencari
kesalahan, maka semua pihak bersalah. Aku pun bersalah, karena aku
tidak dapat membuatmu tanpa tanding.”
Sekali lagi ia berhenti, kemudian setelah
menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Karena itu, kau harus tetap
hidup, supaya kau sempat berbuat sesuatu.”
“Namaku sudah dihinakan di arena ini. Aku akan tersingkir dari pergaulan. Apalagi di kalangan keprajuritan.”
“Tetapi itu tidak berarti bahwa semua
kemampuan yang telah ada padamu itu pun ikut tersingkir. Kau masih dapat
mempergunakannya untuk kepentingan yang lain.”
Witantra tidak menyahut, tetapi ia justru menyeringai menahan sakit di dadanya.
“Aku tidak dapat berbuat sesuatu dalam
perang tanding ini,” gumam gurunya, “karena kau adalah laki-laki. Dan
kau telah berbuat sebagai seorang laki-laki.”
“Tetapi yang sempurna, perang tanding ini diakhiri dengan kematian.”
Gurunya menggelengkan kepalanya, “Tidak
perlu. Dan kau harus berani menghadapi hari depanmu yang suram itu
sebagai seorang lelaki pula. Kau tidak dapat lari. Kalau kau terbunuh,
terbunuhlah. Tetapi selagi kau masih hidup, kau harus berani
menghayatinya.”
Witantra yang terluka parah itu terdiam. Ia tidak dapat berbantah dengan gurunya. Bagaimanapun juga gejolak perasaannya, ia harus keluar dari arena itu.
Witantra yang terluka parah itu terdiam. Ia tidak dapat berbantah dengan gurunya. Bagaimanapun juga gejolak perasaannya, ia harus keluar dari arena itu.
“Sebenarnya aku ingin mati di arena ini,” katanya di dalam hati, “tetapi guru menghendaki lain.”
Witantra pun kemudian dengan dibantu oleh
Mahendra mencoba untuk berdiri. Betapa sakit seluruh tubuhnya, namun
Witantra telah memaksa dirinya. Perlahan-lahan mereka pun kemudian
menepi dan dengan susah payah Witantra telah ditolong turun oleh guru
dan saudara seperguruannya.
Ken Arok masih saja berdiri di dekat mereka. Ketika Witantra kemudian duduk bersandar tiang-tiang arena ia pun mendekat.
“Mudah-mudahan kau akan segera sembuh,
Witantra,” desisnya. Namun di telinga Witantra ucapan itu tidak lebih
dari suatu ejekan yang pahit. Namun Witantra mengangguk sambil
menyeringai menahan sakit.
“Angger Ken Arok,” berkata Panji Bojong
Santi, “Aku akan segera minta diri. Aku sangat berterima kasih kepadamu
Ngger, bahwa aku sempat membawa Witantra kembali ke padepokan.”
“Oh, bukankah aku tidak berbuat apa-apa?” sahut Ken Arok.
Panji Bojong Santi tersenyum, katanya kemudian, “Dan terima kasihku kepada pimpinan Tumapel. Kepada siapa saja.”
Ken Arok pun mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Namun ia masih saja mengumpat-umpat di dalam hatinya.
Kali ini ia gagal membunuh Witantra, dengan tangan Mahisa Agni maupun
dengan tangannya sendiri. Dan ia sadar, bahwa hal ini pasti akan menjadi
masalah di hari kemudian.
Dengan dada berdebar-debar Ken Arok
kemudian menyaksikan Panji Bojong Santi memberikan sebutir reramuan obat
kepada Witantra. Agaknya obat itu cukup tajam. Sejenak kemudian tampak
Witantra sudah menjadi agak segar. Meskipun demikian, ketika Mahendra
membantunya berdiri, wajahnya masih saja membayangkan penderitaan yang
luar biasa di dadanya.
“Gundala Sasra yang sempurna,” desis Ken Arok di dalam hatinya.
Dengan dada berdebar-debar Ken Arok
menyaksikan Witantra dibantu oleh Mahendra berjalan di antara penonton
yang tinggal beberapa orang. Namun mereka tanpa sadar telah mengerumuni
Witantra dan bahkan ada yang berjalan mengikutinya beberapa langkah.
Dengan demikian maka Witantra sama sekali
tidak berani mengangkat wajahnya. Ia merasa, seolah-olah orang-orang
itu mengikutinya sambil mencibirkan bibir mereka, menyorakinya,
“Pengecut. Pengecut.”
Namun sejenak kemudian mereka telah
sampai ke pinggir alun-alun. Panji Bojong Santi dan Mahendra ternyata
hanya membawa dua ekor kuda. Karena itu maka Witantra pun kemudian
berdua bersama-sama dengan Mahendra, perlahan-lahan meninggalkan
alun-alun diantar oleh tatapan mata orang-orang Tumapel yang masih
berada di alun-alun dengan berbagai macam kesan yang tidak terbaca.
Dengan berakhirnya perang tanding itu,
maka para pemimpin Tumapel menganggap bahwa persoalan Kebo Ijo telah
selesai. Tidak ada lagi persoalan dalam masalah pembunuhan yang terjadi
di istana. Kebo Ijo telah dinyatakan bersalah, membunuh Akuwu Tunggul
Ametung dan bahkan telah lebih dahulu membunuh Empu Gandring. Selain
bukti yang ditemukan, maka pembelaan Witantra di arena perang tanding
pun telah gagal pula.
Dan kegagalan Witantra di arena telah
melemparkan Witantra sekaligus dari istana. Ia tidak pernah lagi tampak
di antara para pemimpin dan para prajurit. Hal itu telah diduga sejak
semula oleh para pemimpin yang enam, sehingga dengan demikian maka
kedudukan Witantra pun menjadi kosong karenanya.
Kekosongan kedudukan Witantra itu pun
telah menjadi masalah pula bagi para pemimpin yang enam. Mereka harus
segera menemukan seorang yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin
pasukan pengawal. Pasukan yang akan bertanggung jawab terutama atas
pengawalan istana seisinya.
Untuk menemukan orang yang mampu
menggantikan Witantra bukanlah pekerjaan yang mudah. Setiap perwira
harus mendapat penilaian yang tepat. Sejak Akuwu masih hidup, maka
siapakah yang mendapat kepercayaan daripadanya, mendapat perhatian
sebaik-baiknya pula.
Namun yang telah melonjak di dalam
perhatian keenam pemimpin itu adalah Mahisa Agni. Meskipun ia bukan
seorang perwira prajurit yang manapun, namun ia ternyata memiliki
kemampuan yang luar biasa. Lebih daripada itu semua, ia adalah kakak
dari Tuan Putri Ken Dedes yang kini telah menjadi janda.
“Pengangkatan Mahisa Agni akan
menimbulkan persoalan baru di kalangan para prajurit,” berkata salah
seorang dari keenam pemimpin itu.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Mereka menyadari, bahwa hal itu akan sulit dimengerti oleh para
perwira. Mereka mengharap bahwa salah seorang dari merekalah yang akan
menduduki kekosongan itu. Mereka yang sudah cukup lama mengabdikan
dirinya, atau mereka telah nyata memberikan jasa-jasanya kepada Tumapel.
“Sebaliknya kita memikirkan calon yang
lain, meskipun kemungkinan untuk memanggil Mahisa Agni masih ada,”
berkata pemimpin yang lain.
“Aku sangsi, apakah Mahisa Agni bersedia
menerima jabatan itu. Sejak semula ia telah menolak untuk berada di
dalam istana. Sejak adiknya diambil oleh akuwu. Pada saat itu Akuwu
Tunggul Ametung telah menawarkan kedudukan kepadanya,” berkata yang lain
lagi.
Sekali lagi para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi salah seorang dari mereka berkata, “Kita mencari seorang lagi dari antara para perwira.”
Sekali lagi para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi salah seorang dari mereka berkata, “Kita mencari seorang lagi dari antara para perwira.”
Keenam pemimpin itu mengangguk-angguk dan
mengangguk-angguk. Mereka sedang merenungkan beberapa orang yang
mungkin dapat diangkat untuk menjadi seorang pemimpin pasukan pengawal.
Tetapi untuk mendapatkan seorang prajurit
yang memenuhi syarat-syarat untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan
oleh Witantra memerlukan pertimbangan yang semasak-masaknya. Karena itu,
maka belum seorang pun yang dapat menyebutkan sebuah nama untuk
pencalonan itu.
“Kita kumpulkan beberapa nama,” berkata
salah seorang pemimpin itu, “mungkin setiap orang dari antara kita
mempunyai nama yang dapat dibicarakan. Kemudian kita pertimbangkan
bersama-sama. Mungkin kita akan mendapatkan sebuah nama yang paling baik
dari antara nama-nama itu. Nama itulah yang akan kita jajarkan dengan
nama Mahisa Agni.”
Para pemimpin yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka
berkata, “Bagaimanakah seandainya keputusan kita itu ditolak oleh
Permaisuri.”
“Oh,” kawan-kawannya seolah-olah baru
tersadar dari sebuah mimpi. Mereka hampir lupa mempertimbangkan
kemungkinan itu, karena kedudukan Ken Dedes bukanlah sekedar seorang
bekas permaisuri. Seorang janda dari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi
Tunggul Ametung sebagai seorang akuwu pernah mengucapkannya sendiri,
bahwa semua miliknya, bahkan nyawanya, telah diserahkannya kepada Ken
Dedes. Kekuasaannya dan jabatannya sebagai akuwu pula. Karena itu,
sebenarnya kematian Akuwu Tunggul Ametung tidak menyebabkan kekosongan
pimpinan di Tumapel.
Setelah mereka mengangguk-anggukkan
kepala mereka, maka salah seorang dari mereka berkata, “Ada dua jalan.
Kita serahkan semuanya kepada Tuan Putri, atau kita membawa nama-nama
yang sudah kita pertimbangan masak-masak itu kepadanya.”
“Cara yang kedua.” sahut yang lain,
“bukan maksud kami menandingi kekuasaan Tuan Putri yang akan berhak
bergelar sebagai Akuwu. Tetapi kita tahu, sebenarnyalah kita tahu dengan
pasti, bahwa saat ini Tuan Putri Ken Dedes pasti belum dapat
menyesuaikan dirinya dengan keharusan seorang pemimpin tertinggi.”
“Ya, aku sependapat,” sahut yang lain lagi, “selanjutnya terserah kepada Tuan Putri, apakah yang akan dilakukannya.”
“Nah, akhirnya kita akan sampai juga pada menemukan sebuah nama,” berkata salah seorang dari mereka pula.
Kembali keenam pemimpin itu
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka mencoba menilai setiap perwira yang
namanya agak menonjol dari para perwira yang lain. Selain kemampuan
mereka seorang demi seorang sebagai seorang prajurit, tetapi
dipertimbangkan juga apakah yang pernah mereka lakukan.
“Baiklah, marilah kita mengumpulkan
nama-nama. Mungkin untuk pertama kalinya kita akan mendapat lebih dari
sepuluh atau dua puluh nama, kemudian kita pilih, sekali dua kali,
sehingga kita hanya tinggal mempunyai sebuah nama.”
“Sebutkan siapakah nama-nama yang ada padamu.” berkata yang lain.
Pemimpin yang seorang itu mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya, “Ada lebih dari seribu nama perwira yang
tersebar di seluruh Tumapel. Tetapi dalam keadaan serupa ini, kita
terlampau sulit untuk menemukan seorang saja di antara mereka.”
Orang itu berhenti sejenak, kemudian,
“setelah mempertimbangkan segala kemungkinan, maka aku telah menemukan
sebuah nama. Hanya satu. Aku kira aku tidak akan dapat menemukan yang
lain lagi. Tetapi terserahlah kepada kalian.”
“Ya, tetapi siapa yang satu itu?”
“Oh, apakah aku belum menyebutkannya?”
“Sebut namanya.”
“Biarlah aku mengutarakan alasannya lebih
dahulu, mengapa aku memilih nama itu. Ia mendapat banyak kepercayaan
dari Akuwu Tunggul Ametung semasa hidupnya. Dan semasa ia terbunuh,
orang ini pulalah yang telah berjasa paling banyak dari antara para
prajurit, meskipun ia termasuk seorang perwira yang baru.”
“Siapa? Ya, siapa?”
“Namanya Ken Arok. Hanya itulah yang akan
aku ajukan. Tetapi mungkin kalian mempunyai sepuluh atau dua puluh nama
yang lain, sebab pengamatan kita berbeda-beda. Aku tidak akan melihat
daerah pengamatan kalian masing-masing, dan demikian berlaku di antara
kita semuanya.”
Tetapi pemimpin itu mengerutkan keningnya
ketika ia melihat para pemimpin yang lain, mengangguk-anggukkan kepala
mereka, bahkan ada di antara mereka yang berdesah.
“Bagaimana?”
“Aku adalah pemimpin prajurit Tumapel,”
berkata salah seorang dari mereka, “bukan pemimpin tertinggi dari
pelayan dalam, lingkungan kesatuan Ken Arok. Tetapi adalah aneh sekali
bahwa aku tidak melihat ke dalam lingkunganku. Ada beberapa orang
perwira yang mengagumkan di dalam lingkunganku. Tetapi tidak ada yang
dapat bertindak secepat Ken Arok. Apalagi Ken Arok memang pernah
mendapat kepercayaan dari Akuwu Tunggul Ametung. Kenapa Akuwu menunjuk
Ken Arok ketika Akuwu mengirimkan pasukan ke padang Karautan? Dan bahkan
ketika Akuwu memerlukan sebuah taman di padang itu pula, Ken Arok
pulalah yang diserahinya. Karena itu, adalah kebetulan sekali bahwa aku
pun akan mengusulkan Ken Arok untuk menggantikan kedudukan Witantra.
Justru bukan dari lingkungan sendiri, atau dari lingkungan pasukan
pengawal itu sendiri.”
Para pemimpin yang lain masih
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pemimpin tertinggi Pelayan Dalam pun
berkata. “Aku akan sependapat sekali. Ken Arok adalah seorang perwira
yang luar biasa. Ia banyak berjasa dalam penyelesaian masalah pembunuhan
ini. Ialah orang yang membawa Kebo Ijo sehingga ia dapat ditangkap
dengan mudah. Ia pulalah yang berhasil menyelesaikannya ketika Kebo Ijo
berusaha melarikan diri.”
“Ternyata aku mempunyai persamaan
pendapat dengan kalian,” berkata pemimpin yang lain. “Aku setuju. Ken
Arok adalah satu-satunya nama yang dapat kita ke tengahkan.”
Agaknya keenam pemimpin itu sama sekali
tidak menemui kesulitan apapun juga. Ternyata mereka sependirian, bahwa
tidak ada orang lain yang lebih baik dari Ken Arok untuk menggantikan
Witantra apabila Mahisa Agni menolak.
“Kita memang sependapat. Sebaiknya kita
menghadap Tuan Putri untuk mengemukakan masalah ini,” berkata salah
seorang dari keenam pemimpin itu.
“Baik. Kekosongan ini tidak boleh berlarut-larut,” sahut yang lain.
Maka bersepakatlah mereka untuk pergi
menghadap Ken Dedes yang sudah menjadi semakin tenang setelah
perasaannya diguncang oleh kematian suaminya.
“Apa yang baik bagi kalian, baik juga
untukku,” jawab Ken Dedes ketika keenam pemimpin Tumapel itu
mengemukakan pendirian mereka.
“Hamba Tuan Putri,” berkata yang tertua,
“kami telah bersepakat untuk membicarakan calon pengganti itu. Namun
keputusan terakhir berada di tangan Tuan Putri.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap sayu. Matanya bendul dan kemerah-merahan.
“Kalian pasti lebih mengenal, siapakah yang sepantasnya menggantikan Witantra?” bertanya Ken Dedes.
“Hamba Tuan Putri. Dalam pembicaraan di
antara kami berenam, maka kami telah menemukan dua buah nama yang akan
kami kemukakan kepada Tuan Putri. Meskipun demikian, semuanya terserah
kepada Tuan Putri.”
“Siapakah nama-nama itu?”
“Yang pertama adalah seorang yang
perkasa, yang telah Tuanku kenal baik-baik. Bahkan mungkin seorang yang
tidak ada duanya di kalangan prajurit Tumapel meskipun ia sendiri bukan
seorang prajurit.”
“Siapa?”
“Kakanda Tuan Putri. Mahisa Agni.”
“Oh,” Ken Dedes terperanjat mendengar
nama itu. Ia tidak menyangka bahwa para pemimpin yang enam itu menaruh
minat begitu besar terhadap kemampuan kakaknya. Namun, terasa sesuatu
yang mengganggu perasaannya. Ken Dedes sendiri tidak segera dapat
mengerti perasaannya itu.
Namun Putri itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Dan siapakah nama yang kedua?”
“Orang itu adalah orang yang paling
berjasa di dalam keributan yang baru saja terjadi. Orang itulah yang
sebagian terbesar telah berbuat sehingga Kebo Ijo tertangkap dan
terbukti bersalah.”
Terasa sesuatu berdesir tajam di dalam dada Ken Dedes. Dengan serta-merta ia bertanya. “Siapa?”
“Ken Arok.”
Tubuh Ken Dedes tiba-tiba saja menjadi
gemetar mendengar nama itu. Sejenak ia tidak dapat berkata sepatah kata
pun. Dalam sekejap, tubuhnya telah dibasahi oleh keringat yang
seakan-akan terperas daripada tubuhnya.
“Nama itu,” desisnya di dalam hati.
Berbagai tanggapan telah bergolak di
dalam dirinya. Yang pertama-tama meloncat di hatinya adalah suatu
harapan yang cerah bahwa anak muda itu akan semakin dekat dengan
dirinya. Tetapi kemudian melonjaklah harga dirinya sebagai seorang
permaisuri dan bahkan seorang yang sebenarnya memegang kekuasaan di
Tumapel, sejak Akuwu Tunggul Ametung menyerahkannya kepadanya.
Bahkan kemudian pertimbangan-pertimbangan
yang lebih jauh telah bergumul pula di hatinya. Apakah kata orang
tentang dirinya, apabila pada suatu saat ia menjadi semakin dekat dengan
anak muda itu.
Dalam keadaan yang demikian Ken Dedes
telah berjuang sekuat tenaganya untuk tidak menimbulkan kesan yang dapat
mengaburkan tanggapan keenam pemimpin itu atasnya.
Pemimpin yang enam itu masih duduk sambil
menundukkan kepala mereka. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan oleh
Ken Dedes. Karena pemimpin yang enam itu tidak memandang wajah Ken
Dedes, maka mereka tidak melihat apa yang kadang-kadang tampak membayang
di wajah itu. Justru karena Ken Dedes adalah seorang putri. Memandangi
wajahnya terlampau lama akan dapat menimbulkan kesan yang keliru. Dan
mereka tidak usah berbuat demikian terhadap Akuwu Tunggul Ametung. Dan
bahkan Akuwu kadang-kadang telah membawa keenam pemimpin itu, bertujuh
dengan Witantra untuk berbicara, bergurau dan berbincang dengan bebas,
sampai pada saat-saat terakhir Akuwu menjadi agak berubah dari kebiasaan
itu.
Ternyata perubahan-perubahan yang tidak
dapat dimengerti oleh sebagian dari orang-orang Tumapel itu sendiri,
berakhir dengan suatu bencana yang dahsyat bagi Tumapel.
Karena Ken Dedes tidak segera menjawab,
maka pemimpin yang enam itu menjadi gelisah. Sekali-kali mereka mencuri
pandang, menatap wajah Putri itu. Namun mereka menjadi semakin gelisah
karena mereka melihat wajah Ken Dedes seakan-akan menjadi beku
karenanya.
Namun akhirnya, Ken Dedes itu berkata, “Apakah kalian telah mempertimbangkannya masak-masak.”
“Hamba Tuan Putri,” jawab yang tertua di antara mereka.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia berada dalam kesulitan untuk memilih. Mahisa Agni adalah kakaknya,
yang justru ia akan berbuat terlampau hati-hati atasnya. Mungkin
kakaknya itu akan membuat kekangan-kekangan yang sangat membatasinya.
Seandainya ada perbedaan pendapat di antara mereka, maka akan sulitlah
bagi Ken Dedes untuk bersikap sebagai seorang pemimpin tertinggi di
Tumapel. Dan kakaknya itu pun pasti tidak akan dapat melepaskan
kebiasaannya, kebiasaan seorang kakak terhadap adiknya.
Sedang Ken Arok? Dadanya berguncang
apabila ia mengingat nama itu. Nama yang tidak dapat diingkarinya telah
berkesan dalam-dalam di hatinya. Namun adalah terlampau pahit untuk
mengakuinya.
Dalam kebimbangan Ken Dedes duduk
merenung memandang ke kejauhan. Ia benar-benar berada di simpang jalan
yang tidak segera dapat dipilihnya.
“Kami menunggu keputusan Tuan Putri,” berkata salah seorang dari pemimpin yang enam itu.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Namun katanya kemudian, “Sudah tentu aku
tidak akan dapat memutuskan saat ini. Tetapi sebaiknya kalian
menghubungi kedua orang itu. Kalian dapat bertanya kepada mereka, apakah
mereka bersedia menerima jabatan itu.”
“Tuan Putri,” berkata salah seorang dari
keenam orang itu, “adalah menjadi idaman setiap prajurit untuk sampai
kejahatan puncak di dalam tata pemerintahan Tumapel. Menurut dugaan
hamba, tidak akan ada seorang prajurit pun yang menolak tawaran yang
memang mereka impikan sebagai landasan pengabdian mereka.”
“Tetapi Kakang Mahisa Agni bukan seorang prajurit.”
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Jawab salah seorang daripadanya, “Memang Mahisa Agni
bukan seorang prajurit. Tetapi ia mempunyai syarat-syarat yang lengkap
untuk jabatan itu.”
“Maksudku,” sahut Ken Dedes, “adalah
kesediaan Kakang Mahisa Agni itu sendiri. Aku tidak meragukan
kemampuannya, apalagi demikian juga menurut penilaian kalian.”
“Baiklah.” jawab yang tertua, “kami akan menghubungi keduanya.”
“Aku minta keterangan kalian segera.”
“Baiklah Tuan Putri. Sekarang perkenankan kami mengundurkan diri.”
Keenam pemimpin Tumapel itu pun kemudian
meninggalkan Ken Dedes seorang diri. Sejenak Putri itu termenung. Namun
sejenak kemudian terasa dadanya mulai terguncang. Baru saja ia kematian
suaminya, dan tiba-tiba saja ia telah disentuh oleh suatu pengharapan
baru tentang seorang laki-laki.
“Oh, aku adalah perempuan yang paling hina,” tiba-tiba ia menjerit di dalam hatinya. Dan hampir saja mulutnya pun menjerit pula.
Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika ia
mendengar seseorang yang duduk di belakangnya sambil berkata, “Apakah
Tuan Putri sudah selesai?”
Ken Dedes berpaling. Dilihatnya emban pemomongnya duduk bersimpuh sambil menatapnya.
“Bibi,” suara Ken Dedes terputus. Dan tiba-tiba Putri itu berdiri sambil berkata, “Kepalaku pening, Bibi.”
“Tuanku,” sahut emban itu, “Tuanku memang
masih lelah sekali. Tetapi Tuanku memang sudah seharusnya mulai dengan
tugas-tugas seorang pemimpin tertinggi Tanah Tumapel. Sudah beberapa
lama Tuanku belajar dari Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Sedang Tuanku
telah mempunyai bekal yang meskipun agak berbeda bentuknya, yang Tuanku
terima dari ayahanda. Nah, sekarang adalah waktunya bagi Tuan Putri
untuk berbuat sesuatu. Tuan Putri adalah putri seorang pendeta yang
agung.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi, kata-kata emban pemomongnya itu justru telah membuat kepalanya
menjadi semakin pening. Ketika terbayang wajah ayahnya, maka jantungnya
serasa berhenti berdenyut.
Ken Dedes menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Namun seakan-akan wajah ayahnya masih tampak di pelupuk
matanya, memandanginya dengan mata yang tajam sambil berkata, “Anakku,
apakah kau sadari apa yang telah terjadi atasmu?”
“Oh,” hampir saja Ken Dedes terpekik.
Tetapi telapak tangannya telah menyumbat mulutnya itu sendiri. Meskipun
demikian emban pemomongnya itu melihat sesuatu pada momongannya,
sehingga ia pun berdiri pula sambil memegangi kedua lengan Ken Dedes.
“Kenapa Putri?”
“Kepalaku pening, Bibi. Pening sekali.”
“Marilah, masuklah ke dalam bilik peraduan.”
Ken Dedes pun kemudian dibimbing oleh
pemomongnya masuk ke dalam biliknya. Perlahan-lahan ia berbaring
ditunggui oleh pemomongnya. Namun betapapun juga, bayangan-bayangan yang
mendebarkan jantungnya itu masih saja berkeliaran tidak henti-hentinya.
“Tuan Putri memang perlu banyak
beristirahat ,” berkata pemomongnya, “seandainya Tuanku memang masih
belum merasa tenang, baiklah segala persoalan yang menyangkut tanah ini,
diserahkan saja kepada pemimpin yang enam itu.”
Ken Dedes hanya mengangguk-angguk kecil.
Ia sama sekali tidak berminat untuk berbicara tentang apapun juga. Ia
ingin tidur saja apabila mungkin.
“Bibi,” berkata Ken Dedes kemudian, “aku
ingin beristirahat. Tetapi aku selalu diganggu oleh bermacam-macam
persoalan yang tidak dapat aku singkirkan. Karena itu, tolong, katakan
kepada emban untuk membuat air pala. Aku ingin tidur sepanjang hari.”
Pemomongnya menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak menyanggah. Memang Putri itu harus beristirahat. Tetapi
air pala itu sebenarnya tidak begitu perlu baginya.
Meskipun demikian emban pemomong Ken
Dedes itu pun pergi juga ke dapur. Disuruhnya seorang emban untuk
membuat air pala yang akan diminum oleh Tuan Putri Ken Dedes.
Dalam pada itu. pemimpin yang enam telah
memerintahkan seorang perwira dengan dua orang prajurit untuk pergi ke
padang Karautan menemui Mahisa Agni. Perwira itu bertugas untuk
menanyakan, apakah Mahisa Agni bersedia untuk memangku sebuah jabatan di
istana Tumapel.
“Kami menyangka, bahwa Mahisa Agni telah
kembali ke padang Karautan setelah ia selesai dengan perang tanding
itu,” berkata salah seorang dari pemimpin yang enam, “sampaikan pesan
kami. Dan agaknya lebih baik apabila ia bersedia datang ke Tumapel untuk
membicarakannya.”
Sejenak kemudian tiga ekor kuda telah
berderap keluar kota Tumapel menuju ke padang Karautan. Semakin lama
semakin cepat. Debu yang putih menghambur naik ke udara. kemudian pecah
dihembus angin padang.
Demikianlah, maka ketiga utusan itu telah mengemban suatu tugas yang penting untuk mencari seorang perwira pengganti Witantra.
Ketika ketiga perwira itu memasuki padang
Karautan, pakaian dan seluruh tubuh mereka telah basah oleh keringat,
setelah mereka berkuda untuk waktu yang panjang. Sekali-kali mereka
harus berhenti memberi kesempatan kuda-kuda mereka meneguk air dan
sekedar beristirahat.
“He, apakah kira-kira jawab Mahisa Agni?” bertanya perwira itu.
Salah seorang kawannya menyahut, “Hanya
orang-orang yang aneh yang menolak jabatan ini. Apalagi kalau orang itu
memang memiliki kemampuan. Meskipun bagi Mahisa Agni jabatan itu
terlampau melonjak. Tetapi karena ia adalah saudara tua Tuan Putri, maka
hal itu mungkin saja terjadi.”
“Dan Mahisa Agni memang seorang yang luar
biasa,” sahut kawannya yang lain, “ia berhasil mengalahkan Witantra di
arena. Dan dengan demikian jabatan Witantra itu telah ditinggalkannya.”
“Tetapi untuk menjadi seorang pemimpin ia
harus memiliki beberapa kemampuan. Bukan keunggulan itulah satu-satunya
syarat yang harus dimilikinya.” berkata yang pertama.
“Tetapi itu adalah syarat yang terpenting bagi seorang perwira tertinggi.”
Mereka pun kemudian berhasil berbicara
ketika mereka melihat kehijauan yang terhampar di tengah-tengah padang
yang kekuning-kuningan.
Kedatangan mereka telah mengejutkan Mahisa Agni yang memang telah berada di padukuhannya yang baru.
“Apakah kepergianku itu telah menimbulkan persoalan?” desisnya.
Karena itu, begitu perwira itu
dipersilakan duduk di banjar padukuhannya, dan setelah saling bertanya
tentang keselamatan sebagai lazimnya, maka Mahisa Agni pun bertanya,
“Kedatangan kalian telah membuat aku berdebar-debar.”
Tetapi perwira itu tersenyum sambil
berkata, “Agaknya kau bermimpi terlampau baik. Mungkin memangku bulan
atau naik seekor gajah putih bertaring emas.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Kenapa?”
“Kedatangan kami telah mengemban suatu tugas dari pemimpin yang enam atas persetujuan Tuan Putri Ken Dedes untuk menemuimu.”
“Ya?”
“Kami mengemban pesan yang harus kami sampaikan, bahwa kau telah dicalonkan untuk menggantikan kedudukan Witantra.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
tawaran itu. Sekilas ia merasa bahwa ia benar-benar telah menerima suatu
kehormatan yang besar. Ia tahu bahwa apabila ia bersedia menerima
jabatan itu, pasti akan berarti bahwa ia termasuk salah seorang dari
pemimpin tertinggi Tumapel. Pemimpin yang Tujuh.
“Dari tempat itu aku akan mendapat
kesempatan lebih banyak lagi untuk menegakkan segala macam peraturan dan
ketentuan yang seharusnya berlaku di Tumapel,” berkata Mahisa Agni di
dalam hatinya.
Namun tiba-tiba wajahnya menjadi buram.
Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling, keluar
halaman dan sekitarnya. Kalau ia pergi meninggalkan padukuhan yang masih
sangat muda itu, apakah padukuhan ini dapat berkembang seperti yang
diharapkannya. Anak-anak muda yang dituntunnya menjadi tenaga-tenaga
terpenting di padukuhan ini masih belum cukup masak. Dan lebih daripada
itu, sekilas Mahisa Agni teringat kepada kedudukan Ken Dedes yang kini
menentukan bagi pemerintahan Tumapel sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung.
“Apakah tawaran ini didasarkan alas
kemampuanku, atau sekedar karena aku kakak Ken Dedes dalam pengertian
mereka?” ia bertanya di dalam hatinya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya pun kemudian terangguk-angguk. Tetapi ia masih belum menjawab.
“Pemimpin yang enam mengharap kedatanganmu ke Tumapel untuk membicarakannya,” berkata perwira itu pula.
Namun kemudian Mahisa Agni menjawab
perlahan-lahan, “Aku sangat berterima kasih atas tawaran itu. Suatu
kesempatan yang barangkali tidak akan terulang lagi sepanjang hidupku.
Namun sayang sekali bahwa aku tidak dapat menerimanya.”
Ketiga prajurit itu terperanjat. Sejenak
mereka terbungkam sambil menatap wajah Mahisa Agni yang suram. Terngiang
di telinga mereka kata-kata salah seorang dari mereka bertiga, “Hanya
orang-orang yang aneh yang menolak jabatan ini.”
Dan ternyata Mahisa Agni telah menolak.
“Kami tidak dapat mengerti,” berkata perwira itu, “kenapa kau menolak tawaran yang barangkali tidak pernah kau impikan.”
“Ada beberapa alasan,” jawab Mahisa Agni,
“padukuhan yang baru berkembang ini memerlukan aku setiap saat.
Kemudian, apakah aku mampu melakukan tugas itu? Aku adalah seorang anak
pedesaan. Adalah kebetulan saja bahwa aku mempunyai sangkutan keluarga
dengan Tuan Putri Ken Dedes. tetapi itu bukan suatu jaminan akan
kemampuanku. Bukan terjadi dengan sendirinya, bahwa keluarga seorang
besar akan selalu mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk
jabatan-jabatan tertinggi.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Alasan itu cukup dimengertinya. Namun yang tidak dapat
dimengerti, justru alasan itu diterangkan pada diri sendiri, jarang
sekali ia menjumpai seseorang yang dengan jujur mengakui kekurangan pada
dirinya. Pada kebanyakan orang maka kekurangan itu akan selalu
disembunyikannya. Apa lagi untuk sebuah tawaran yang demikian.
Tetapi ternyata Mahisa Agni berbuat lain.
Ia telah menolak sebuah tawaran untuk menjadi seorang perwira tertinggi
di dalam pasukan pengawal.
Bagaimanapun juga perwira itu mencoba
mendesak untuk meyakinkan pendirian Mahisa Agni, namun Mahisa Agni masih
juga tetap menolak.
“Maaf,” berkata Mahisa Agni, “aku sudah memutuskan.”
“Kau terlampau tergesa-gesa,” berkata perwira itu, “mungkin kau dapat merenungkannya.”
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi ia
tidak ingin terlampau mengecewakan utusan pemimpin yang enam itu,
sehingga ia kemudian menjawab, “Baiklah. Aku akan berpikir tiga hari.
Kalau dalam waktu tiga hari aku tidak datang ke Tumapel, maka aku tidak
berubah pendirian. Aku menolak pencalonan itu.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” katanya, “aku akan menyampaikannya kepada pemimpin yang enam itu.”
Demikianlah setelah mereka bermalam satu
malam, perwira dan kedua kawan-kawannya itu pun meninggalkan padang
Karautan. Mereka tidak berhasil membujuk Mahisa Agni untuk dicalonkan
sebagai seorang pemimpin tertinggi sekaligus termasuk salah seorang dari
pemimpin yang tujuh di Tumapel.
Tetapi jawaban Mahisa Agni itu tidak
mengejutkan pemimpin yang enam di Tumapel. Mereka memang sudah menyangka
bahwa Mahisa Agni tidak akan bersedia untuk menjadi seorang penjabat
apapun di istana, tentu karena ia adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes.
Maka satu-satunya calon untuk jabatan itu adalah Ken Arok.
Tidak ada orang lain yang dapat memenuhi
banyak syarat seperti Ken Arok. meskipun tidak berarti bahwa Ken Arok
adalah seorang yang sempurna.
Akhirnya keenam pemimpin itu pun
menyampaikannya pula kepada Tuan Putri Ken Dedes, bahwa Mahisa Agni
telah menolaknya. Sampai waktu yang tiga hari telah lampau, Mahisa Agni
sama sekali tidak datang ke Tumapel. Dan itu berarti bahwa Mahisa Agni
tetap berada dalam pendiriannya.
Mendengar laporan para pemimpin itu Ken
Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mencoba menemukan alasan buat
dirinya sendiri, bahwa ia tidak dapat berbuat lain kecuali menerima
pencalonan Ken Arok. Satu-satunya.
“Bukan aku yang telah menunjukkannya,” ia
berkata di dalam hatinya, “aku tidak dapat dituduh menyalah gunakan
wewenangku untuk memilihnya. Namanya telah dicalonkan oleh pemimpin yang
enam. Dan aku tidak mempunyai pilihan setelah Kakang Mahisa Agni
menolak.”
“Kami segera memerlukan keputusan,” berkata salah seorang dari pemimpin yang enam itu.
“Aku memerlukan waktu sepekan,” jawab Ken Dedes.
Para pemimpin itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka menyadari, bahwa Ken Dedes harus
mempertimbangkannya masak-masak. Jabatan ini langsung menyangkut
lingkungan terdekat dengan dirinya, di samping para pelayan dalam. Namun
pada umumnya, ke manapun ia pergi, maka pemimpin pengawal itu pun
selalu mengikutinya. Apalagi apabila ia pergi keluar dari istana.
“Baiklah Tuan Putri, kami menunggu titah
Tuan Putri. Semakin cepat semakin baik bagi kami. Dengan demikian maka
lingkungan kami pun menjadi lengkap,” berkata salah seorang pemimpin itu
pula.
“Ya. Aku telah memberikan batas waktu. Mudah-mudahan aku dapat bekerja lebih cepat.”
Sepeninggal pemimpin yang enam itu,
mulailah dada Ken Dedes bergolak. Ia bersyukur bahwa pilihan pemimpin
yang enam itu jatuh kepada Ken Arok. Tidak kepada yang lain. Namun
kadang-kadang ia merasa, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang sangat
tercela. Seolah-olah ia telah berkhianat kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Apalagi sebenarnyalah bahwa Ken Dedes telah mulai mengandung. Dan putra
yang akan lahir itu adalah putra Akuwu Tunggul Ametung.
Namun akhirnya Ken Dedes tidak dapat
menghindarkan dirinya lagi. Betapapun pergolakan terjadi di dalam
dirinya, namun akhirnya ia memutuskan, untuk menerima usul pemimpin yang
enam itu dan dijadikannya sebuah penetaran, bahwa Ken Aroklah yang akan
menggantikan pemimpi tertinggi pasukan pengawal Tumapel.
Namun sebelum waktu yang sepekan itu
habis Ken Dedes masih belum menyatakan keputusannya itu. Ia masih
menyimpannya, dan masih meragukannya, apakah pendiriannya tidak akan
berubah lagi.
“Adalah hakku untuk tetap hidup meskipun
Akuwu telah meninggal. Tidak seharusnya aku pun ikut membeku di dalam
hidupku. Kehadiranku di istana bukan maksudku. Dan kini apa yang terjadi
pun sama sekali tidak pernah aku rencanakan lebih dahulu. Usul nama itu
pun bukan dari aku. Aku hanya tinggal menerima, karena tidak ada nama
yang lain.”
Setiap kali Ken Dedes berusaha membela dirinya, apabila dari dalam dirinya pula terlontar berbagai macam tuduhan dan sebutan.
Maka pada pekan berikutnya, pemimpin yang
enam telah menghadapnya lagi. Mereka berharap agar Tuan Putri Ken Dedes
mengabulkan permohonan mereka. Apalagi Ken Arok yang telah dihubungi
menyatakan, apabila tidak ada orang lain, apa boleh buat.
“Apakah Ken Arok sendiri bersedia?” bertanya Ken Dedes.
Para pemimpin itu menyampaikan apa yang pernah mereka dengar dari Ken Arok.
“Pada dasarnya ia tidak menolak Tuan Putri.”
Sampai saat yang terakhir Ken Dedes masih
tetap ragu-ragu. Namun kemudian dihentakkannya perasaannya untuk
menemukan kekuatan. Dan terlontarlah dari sela-sela bibirnya yang tipis,
“Aku menerimanya. Karena memang tidak ada orang lain yang lebih baik
daripadanya.”
Para pemimpin yang enam itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka merasa bahwa pekerjaan mereka
yang terberat telah selesai. Seandainya Ken Dedes tidak menerima Ken
Arok untuk menggantikan Witantra, maka mereka masih harus bekerja lagi
untuk mencari orang lain. Dan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sulit.
Tetapi ternyata kini bahwa Ken Dedes
telah menerimanya. Sehingga yang perlu mereka kerjakan adalah saat-saat
meresmikan pengangkatan Ken Arok, untuk menggantikan kedudukan Witantra.
Keputusan itu pun segera tersebar ke
seluruh Tumapel. Mahisa Agni di padang Karautan pun kemudian diberi tahu
pula oleh dua orang prajurit yang memang diutus menyampaikan berita
itu. Bahkan kemudian Panji Bojong Santi, Mahendra dan Witantra pun
mendengarnya pula.
“Ken Arok?” desis Witantra.
“Ya, anak muda itu,” sahut Mahendra.
Witantra yang masih belum sembuh benar
dari luka-luka di dalam dadanya itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, “Ia anak muda yang baik, cerdas dan mempunyai
kemampuan yang kuat. Ia telah berhasil memimpin sepasukan prajurit di
padang Karautan. Dan kita dapat melihat hasil kerja itu.”
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan ia dapat menunaikan
tugasnya yang baru. Mudah-mudahan tidak ada perwira-perwira yang lebih
tua daripadanya, baik umurnya maupun pengalamannya, yang merasa
tersinggung karenanya.”
“Tetapi ia telah banyak membuktikan kemampuannya.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kini
ia telah benar-benar tersisih dari istana. itu adalah akibat wajar dari
kekalahannya. Ia sudah harus dianggap mati.
“Aku tidak mengerti, kenapa Mahisa Agni menolak tawaran itu,” desis Mahendra kemudian.
Witantra mengerutkan keningnya. ia pun mendengar pula penolakan itu.
“Tidak mengejutkan,” berkata Witantra,
“Mahisa Agni bukan seorang yang menginginkan segala macam jabatan. ia
pun orang yang baik. Terlalu baik, sehingga perasaannya mudah sekali
tergerak apabila rasa keadilannya tersinggung.”
“Aku tidak dapat memperbandingkan keduanya,” berkata Mahendra kemudian, “manakah yang lebih baik di antara mereka.”
“Kita akan melihat,” jawab Witantra.
Mahendra pun mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Sekilas terkenang olehnya, bagaimana Mahisa Agni
menyebut dirinya Wiraprana dan mewakilinya berkelahi. Memang benar
kata-kata kakaknya. Anak muda itu mudah sekali tergerak apabila perasaan
keadilannya tersinggung. Namun dengan demikian, orang lain mungkin akan
dapat menyalahgunakannya.
Keputusan pemimpin Tumapel untuk
mengangkat Ken Arok menggantikan Witantra, telah mendorong Witantra
untuk mengambil keputusan pula. Bersama keluarganya ia akan membuang
diri jauh-jauh dari kota Tumapel.
“Apakah itu kau anggap pemecahan yang paling baik Witantra?” bertanya gurunya.
“Aku sudah mati guru.”
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Ia
dapat mengerti, betapa parah luka di dada Witantra, tetapi betapa lebih
parah luka di hatinya. Hati mudanya.
“Mungkin aku akan dapat mempergunakan
kelebihan umur yang sudah seharusnya tidak aku miliki ini untuk semakin
mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung.”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun demikian ia berkata, “Tetapi tidak seorang pun yang mengusir
kau dari kota ini Witantra. Bukan saja pemimpin yang enam itu, Tuan
Putri Ken Dedes pun tidak.”
“Mereka memang tidak perlu mengusir aku, Guru. Karena bagi mereka aku sudah tidak ada lagi.”
Panji Bojong Santi tidak dapat menahannya
lagi. Betapa pahit perasaan orang tua itu. Ia merasa kehilangan
muridnya, dua orang sekaligus. Tetapi ia masih mengharap, bahwa pada
suatu ketika Witantra akan bangkit kembali, setelah luka hatinya itu
berkurang.
Demikianlah maka menjelang peresmian Ken
Arok yang diangkat untuk menggantikannya, Witantra pergi meninggalkan
Tumapel. Dari gurunya ia mendapat petunjuk, untuk pergi saja ke utara,
sehingga pada suatu ketika ia menemukan sebuah hutan yang rindang.
“Kau dapat membuka hutan itu Witantra.
Daerah itu didiami oleh orang-orang yang masih jauh terkebelakang.
Mungkin kau akan mendapat sedikit kesulitan dengan mereka, tetapi kau
akan segera dapat mengatasinya. Orang-orang itu jarang-jarang sekali
berhubungan dengan lingkungan yang lain.”
“Baik Guru. Aku akan mencoba bergaul dengan mereka.”
Namun agaknya Mahendra tidak sampai hati
melepaskan mereka. Karena itu, katanya, “Kakang Witantra. Aku akan ikut
bersama Kakang. Bukan maksudku untuk melepaskan diri dari lingkunganku.
Aku hanya akan melihat di mana Kakang akan menetap. Kemudian aku akan
kembali lagi ke tempatku dan pekerjaanku. Dengan demikian setiap kali
kami memerlukan, aku dapat segera menemuimu.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepercik keharuan telah melonjak di dada Witantra.
“Terima Kasih,” jawabnya, “aku tidak akan dapat menolak kemurahan hatimu yang tulus ini.”
Maka sebelum matahari muncul dibalik
perbukitan. Witantra telah menyiapkan sebuah pedati berisi alat-alat
untuk membuka hutan. Sebuah pedati untuk bekal, dan sebuah pedati lagi
untuk ditumpanginya. Beberapa orang pelayannya yang setia telah bertekad
untuk mengikutinya meninggalkan Tumapel. Mereka telah menyerahkan diri
mereka untuk hidup bersama-sama dengan Witantra.
“Kami telah merasakan manisnya, maka pahitnya pun harus kami telan bersama-sama.”
Bagaimanapun juga, istri Witantra tidak
dapat menahan titik air matanya ketika pedati-pedati itu keluar dari
halaman rumah yang sudah sekian lama dihuninya. Batang-batang pohon
buah-buahan, pohon bunga-bungaan dan taman serta belumbang ikan yang
selama ini dipeliharanya.
Dan kini semuanya itu harus ditinggalkannya.
Witantra menarik nafas ketika ia melihat
titik air mata jatuh di pangkuan istrinya. Tetapi ia tidak berkata
sepatah kata pun juga. Ia mengerti perasaan apa yang bergolak di dalam
dada istrinya itu.
Di belakang pedati yang ditumpangi oleh
suami istri itu, Mahendra berada di punggung kuda sambil menundukkan
kepalanya. Terasa sesuatu bergetar di dadanya. Seperti Witantra ia pun
yakin bahwa Kebo Ijo tidak akan melakukan pembunuhan atas Akuwu.
betapapun bengalnya anak itu. Tetapi tanpa dapat membuktikan ia tidak
akan dapat menolak keputusan yang telah jatuh, dan apalagi seakan-akan
seluruh rakyat Tumapel telah membenarkannya.
Di belakang Mahendra berderik-derik suara
pedati-pedati yang lain, dan kemudian beberapa ekor kuda
pelayan-pelayan Witantra yang setia kepadanya.
Ketika ayam jantan mulai berkokok
bersahut-sahutan. dan ketika di langit sebelah timur membayang warna
kemerah-merahan Witantra telah meninggalkan kota. Dilaluinya jalan
berbatu-batu di bulak-bulak sawah yang panjang, seakan-akan tidak
berujung. Batang-batang padi yang hijau segar dialiri oleh air yang
jernih lewat parit yang menelusuri di sepanjang tepi jalan.
Nyai Witantra memandangi sawah yang
terhampar itu dengan hati yang ngelangut. Daun-daun padi yang
kemerah-merahan disentuh oleh cahaya fajar, membuat jantungnya semakin
cepat berdenyut.
Tetapi ia adalah seorang istri yang
setia. Ke manapun suaminya pergi, ia tidak dapat tinggal, meskipun
suaminya akan pergi ke daerah yang dipenuhi oleh kesulitan dan bahaya.
Sementara itu. Tumapel pun sedang sibuk
menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut hari pengangkatan Ken Arok
menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal. Memang ada satu dua orang
yang merasa tersinggung karenanya, namun kemudian mereka menyadari,
bahwa Ken Arok memang telah menunjukkan kelebihan-kelebihannya.
Pada saat kesibukan sedang mencengkam
istana, Ken Arok sendiri memerlukan memacu kudanya pergi ke rumah
Witantra. Ia ingin minta restu kepadanya, bahwa ia telah ditunjuk untuk
mengganti kedudukannya. Ken Arok ingin mengatakan, bahwa sama sekali
bukan maksudnya untuk merebut kedudukan itu.
Tetapi Ken Arok menjadi kecewa. Ketika ia
memasuki halaman rumah Witantra, rumah itu telah kosong. Pintu-pintu
tertutup rapat dan bahkan regol-regol samping pun tertutup pula.
“Ke manakah isi rumah ini?” katanya di dalam hati.
Ken Arok pun kemudian meloncat turun dari
kudanya. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya naik ke tangga
pendapa. Dirabanya pintu pringgitan yang tertutup rapat itu. Kemudian
selangkah demi selangkah ia menelusur dinding dan turun lagi ke halaman
di samping pendapa itu. Ketika terlihat olehnya pintu regol samping,
tiba-tiba saja ia tertarik untuk melihat halaman belakang rumah itu.
Apakah benar-benar telah kosong sama sekali.
Dengan hati-hati pula ia mendorong pintu
yang tertutup itu. Dan ternyata ia berhasil membukanya. Kemudian
perlahan-lahan ia berjalan ke halaman belakang.
Ken Arok menjadi berdebar-debar. Rumah
itu benar-benar telah kosong. Semua pintu telah tertutup, dan bahkan
pintu-pintu longkangan belakang yang menuju ke dapur.
Tanpa sesadarnya ia menjengukkan kepalanya ketika ia berhasil membuka sebuah pintu longkangan. Sepi.
Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika ia mendengar sebuah sapa halus dari dalam dapur yang disangkanya kosong itu.
“Marilah anak muda.”
Sejenak Ken Arok justru membuka di
tempatnya. Dicobanya melihat langsung ke dalam dapur yang masih agak
gelap karena pintunya yang belum terbuka sepenuhnya.
“Marilah, jangan takut. Aku bukan wewe yang sedang mencari anak.”
Ken Arok ragu-ragu sejenak. Kemudian ia
pun melangkah maju. Dengan satu hentakan ia telah berhasil membuka pintu
dapur itu selebar-lebarnya.
Ken Arok berdiri tegak di tempatnya
seperti tiang yang mati. Matanya terbelalak ketika ia melihat seorang
gadis yang sedang berbaring justru di amben dapur.
Tanpa bangkit dari pembaringannya gadis itu tersenyum sambil berkata, “Apakah kau mencari aku?”
Dada Ken Arok menjadi terguncang-guncang.
Agaknya dari tempatnya berbaring gadis itu dapat melihat langsung ke
pintu longkangan, sehingga ia melihat kedatangannya.
“Kemarilah Ken Arok,” desis gadis itu.
“Apa kerjamu di sini Ken Umang?” bertanya Ken Arok.
Ken Umang tertawa, “Tidak apa-apa.”
“Ke manakah seisi rumah ini?”
“Pergi. Semuanya pergi karena putus asa.
Tetapi aku tidak. Aku mau hidup dan menikmati hidup ini. Kenapa aku
harus ikut melarikan diri dari kenyataan? Betapa bodohnya. Aku menolak
untuk ikut pergi Kakang Witantra, jauh ke tempat yang paling sepi.
Sebagai seorang petapa yang sama sekali tidak ikut membangun masa depan
lagi.”
Ken Arok mengerutkan keningnya.
“Aku mengucapkan selamat,” berkata gadis
itu, “bukankah kau akan menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal
menggantikan Kakang Witantra? Ha, kau akan menjadi terlampau dekat
dengan janda yang baru saja kematian suaminya itu.”
Terasa dada Ken Arok berdesir. Ditatapnya mata Ken Umang tajam-tajam.
Sementara itu Ken Umang pun bangkit
sambil mengibaskan rambutnya yang terurai. Kemudian duduk sambil
tersenyum. Dijulurkannya kakinya di atas amben sambil berdesah, “Kenapa
kau masih berdiri di situ?”
Seperti orang yang kehilangan, akal Ken
Arok melangkah maju. Ia pernah menjadi seorang yang paling liar di
sekitar padang Karautan. Sebagai seorang hantu ia pernah berbuat apa
saja terhadap setiap orang, setiap perempuan dan gadis-gadis yang
ditemuinya.
Dalam keadaannya kini. terasa darah Ken
Arok itu telah mendidih. Selangkah demi selangkah ia maju, dan Ken Umang
itu masih saja tersenyum.
Ketika Ken Arok berada beberapa langkah
daripadanya, maka tiba-tiba gadis itu menangkap tangannya dan menariknya
sambil berdesis, “Kau adalah seorang senapati yang menggemparkan. Kau
masih muda dalam kedudukan yang begitu tinggi, sehingga kau pasti akan
menjadi sorotan gadis-gadis.”
Ken Arok yang memiliki segala jenis
pengalaman di dalam dirinya itu sama sekali tidak dapat melawan senyum
Ken Umang yang serasa membakar jantung. Seperti seorang anak yang dungu
ia duduk di amben itu sambil mengusap keringat yang mengalir dari
keningnya.
Ken Arok tidak berbuat apapun ketika gadis itu membelai pundaknya sambil berkata, “Aku tidak mau pergi dari kota ini. Aku masih mempunyai beberapa orang keluarga. Karena itu, maka aku tetap tinggal di sini. Aku bermaksud untuk tinggal pada keluargaku yang lain. Sebelum aku berangkat kau tiba-tiba datang kemari. Dan kau telah memberikan harapan baru bagi hidupku di kota ini.”
Ken Arok tidak berbuat apapun ketika gadis itu membelai pundaknya sambil berkata, “Aku tidak mau pergi dari kota ini. Aku masih mempunyai beberapa orang keluarga. Karena itu, maka aku tetap tinggal di sini. Aku bermaksud untuk tinggal pada keluargaku yang lain. Sebelum aku berangkat kau tiba-tiba datang kemari. Dan kau telah memberikan harapan baru bagi hidupku di kota ini.”
Ken Arok yang telah berhasil membunuh
Akuwu Tunggul Ametung, membunuh Empu Gandring dan membuat istana Tumapel
gempar karena Kebo Ijo yang terbunuh pula itu, kini duduk diam,
seolah-olah tidak mempunyai kekuasaan apapun atas dirinya sendiri.
“Hari ini kau akan diwisuda,” desis Ken Umang, “dan kau tidak sebodoh Mahisa Agni itu.”
Ken Arok tidak menjawab.
Namun tiba-tiba tengkuknya meremang
ketika ia mendengar Ken Umang tertawa sambil berdesis, “Kau tidak boleh
lepas dari tanganku. Kau adalah seorang anak muda yang paling memenuhi
unsur idamanku.”
Ken Arok masih terdiam.
“Setelah kau menjadi seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal, maka kau harus segera beristri. Kau dengar?”
Ken Arok mengangguk.
“Dengan demikian barulah kau menjadi lengkap.”
Ken Arok mengangguk pula. Tanpa dapat melawan lagi Ken Umang menariknya semakin dekat.
Namun tiba-tiba Ken Arok itu menyentakkan
dirinya. Ia adalah seorang yang telah berhasil membuat lakon yang
dahsyat. Dan ia telah berhasil mendalanginya. Karena itu, ia tidak boleh
kehilangan dirinya sendiri. Betapa lunak dan mesra sentuhan tangan
gadis itu, namun Ken Arok pun kemudian meloncat berdiri sambil
menggeretakkan giginya. Sambil menunjuk gadis itu ia menggeram, “Apakah
yang kau lakukan he anak gila?”
Ken Umang terkejut. Namun ia pun kemudian
tertawa, “Jangan marah. Demikianlah hasrat hati nuranimu. Tetapi kau
masih tetap dapat dikuasai oleh akalmu. Nah. mudah-mudahan kau berhasil
menjadi seorang pemimpin yang baik. Tetapi setiap saat kau akan tetap
teringat kepadaku. Dan aku pun akan menunggu kau datang kepadaku dan
menjemputku.”
“Persetan!”
Ken Umang masih tetap tertawa ketika ia
melihat Ken Arok berlari meninggalkan dapur itu. Katanya, “Jangan takut,
aku tidak akan mengejarmu. Kaulah yang akan mencari aku kelak.”
Ken Arok tidak berpaling lagi. Ia kemudian berlari ke kudanya di halaman depan dan segera meloncat ke punggungnya.
Seperti seseorang yang ketakutan dikejar
oleh hantu yang akan menghisap darahnya, Ken Arok segera memacu kudanya
meninggalkan halaman rumah Witantra. Namun tanpa dapat
ditahan-tahankannya lagi, ia masih juga berpaling.
Ken Umang masih berada di dalam dapur
sambil tertawa berkepanjangan. Seperti orang yang kehilangan ingatan ia
berbicara kepada dirinya sendiri, “Ternyata Ken Arok adalah seorang anak
muda yang lemah hati. Jauh lebih lemah dari Mahisa Agni. Aku bersumpah
pada suatu saat aku akan mengikatnya di bawah kakiku.”
Dan suara tertawa, Ken Umang pun menjadi semakin tinggi.
“Mahisa Agni pasti akan terkejut melihat pada suatu saat aku menjadi seorang istri dari pemimpin yang tujuh di Tumapel.”
Namun wajahnya tiba-tiba berkerut.
Terlintas di kepalanya terbayang tentang seorang perempuan yang cantik,
janda Akuwu Tunggul Ametung.
“Huh, masih juga ada perempuan yang lebih tinggi dari istri salah seorang pemimpin yang tujuh di Tumapel.”
Ken Arok yang berpacu itu pun berpacu
semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat melarikan dirinya dari
bayangan-bayangan tentang gadis yang telah membelai kulitnya. Sentuhan
tangannya serasa telah menggetarkan darahnya sehingga jantungnya pun
serasa telah terbakar.
Tetapi Ken Arok harus tetap berpegangan
pada nalarnya. Ia ingin tidak saja menjadi seorang pemimpin tertinggi
pasukan pengawal, sekaligus menjadi salah seorang dari pemimpin yang
tujuh. Apabila Akuwu, siapa pun orangnya telah melakukan tugasnya, maka
kekuasaan dari pemimpin yang tujuh itu sangat terbatas.
Karena itu, maka Ken Arok telah mulai
membayangkan betapa Ken Dedes kini menjadi seorang yang paling berkuasa
di Tumapel. Apalagi perempuan itu adalah perempuan yang memiliki
kelihaian yang mengagumkan.
Ken Arok menghentak-hentakkan kendali
kudanya. Hari ini ia akan menerima pengangkatannya sebagai seorang
pemimpin tertinggi pasukan pengawal. Tetapi yang membayang di kepalanya
adalah kesempatan-kesempatan yang akan terbuka karenanya.
Ken Arok memejamkan matanya sejenak.
Terkilas di kepalanya cahaya yang kemilau memancar dari tubuh Ken Dedes.
Pancaran cahaya itu adalah pertanda bahwa Ken Dedes adalah seorang
perempuan yang lain dari perempuan kebanyakan.
“Sepanjang pendengaranku, perempuan itu
akan menurunkan orang-orang besar yang kelak akan memiliki kekuasaan dan
kewibawaan,” desis Ken Arok.
“Persetan dengan gadis yang gila di rumah Witantra itu,” gumamnya.
Namun kehangatan gadis itu masih terasa seakan-akan merayapi kulitnya.
Memang keduanya berbeda, Ken Dedes yang lembut, dan Ken Umang yang panas.
Tiba-tiba tebersit sepercik nafsu di kepalanya, “Kenapa tidak keduanya?”
“Ah,” ia berdesah.
Ken Arok ternyata kini sedang
terombang-ambing antara dua dunia yang berlawanan. Dunianya yang hitam
dan dunia lain yang pernah ditemukannya. Dan keduanya kini sedang
bergolak berebut pengaruh di dalam hatinya.
Tetapi kuda Ken Arok berpacu terus. Semakin lama semakin dekat dengan istana.
Ken Arok akhirnya sampai juga pada saatnya, ia menerima pengangkatan itu.
Ketika matahari telah mulai condong ke
barat, maka terdengarlah suara yang menggelegar dari dalam istana, suara
sebuah gong yang besar, yang tergantung di paseban depan.
Sejenak kemudian Ken Dedes sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi di Tumapel atas dasar penyerahan kekuasaan
dari Akuwu Tunggul Ametung sejak semasa hidupnya, menyerahkan sebilah
keris pimpinan kepada Ken Arok dan mengalungkan seutas tali yang
berwarna kekuning-kuningan di lehernya, sebagai pertanda bahwa Ken Arok
dengan demikian telah diangkat menjadi seorang pemimpin tertinggi dari
pasukan pengawal.
Tidak seorang pun yang mempunyai alasan
yang cukup untuk menentang keputusan itu. Sehingga dengan demikian tidak
ada lagi persoalan di antara para pemimpin tertinggi Tumapel, para
senapati, para manggala dan pandega serta seluruh rakyat.
Namun persoalan yang tumbuh justru di
dalam dada Ken Dedes itu sendiri. Betapa tangannya menjadi gemetar
ketika ia meletakkan tali yang berwarna kekuning-kuningan itu di leher
Ken Arok, serta ketika ia menyerahkan keris kepada anak muda itu. Dalam
pakaian kebesaran Ken Arok menjadi semakin mengagumkan di dalam
pandangan mata Ken Dedes.
Dan getar itu ternyata dapat ditangkap
oleh perasaan Ken Arok yang tajam. Sentuhan tangan Ken Dedes pada saat
mengalungkan tali yang kekuning-kuningan itu, serta ketika tangan Ken
Arok menerima keris pimpinan, terasa bahwa jantung Putri yang memegang
pimpinan tertinggi di Tumapel itu bergetar.
Tanpa sesadarnya Ken Arok memandang wajah
Tuan Putri yang sedang berpakaian kebesaran itu pula. Pada saat yang
bersamaan Ken Dedes pun sedang memandanginya pula.
Benturan pandangan itu telah
mengguncangkan hati keduanya. Hati Ken Dedes serasa meledak
berkeping-keping. Hampir saja ia kehilangan kekuatan untuk menahan
dirinya sendiri. Untunglah bahwa ia masih berhasil menguasai
perasaannya, sehingga ia tidak meloncat dan berlari ke dalam biliknya.
Sementara itu Ken Arok pun segera menundukkan kepalanya. Namun tangannya yang memegang keris itu pun menjadi gemetar pula.
Ketika Ken Arok telah kembali ke
tempatnya, maka ia sama sekali tidak berani lagi mengangkat wajahnya. Ia
menunduk dalam-dalam dengan jantung yang serasa mengembang.
Demikianlah maka untuk hari-hari
seterusnya. Ken Arok adalah seorang pengawal yang mengagumkan. Ternyata
ia tidak hanya pandai memanjakan nafsunya, tetapi ia benar-benar mampu
melakukan tugasnya.
Namun dengan demikian, ia menjadi selalu
dekat dengan Ken Dedes sebagai pemegang pimpinan tertinggi di Tumapel.
Sebagai minyak yang selalu dekat dengan api. maka akhirnya menyalalah
hati keduanya tanpa dapat ditahan-tahankan lagi.
Sementara Mahisa Agni bekerja keras
membangun padukuhannya yang baru, terbetiklah berita, bahwa hubungan
antara Ken Dedes dan Ken Arok sama sekali sudah tidak dapat dicegah
lagi.
Namun Mahisa Agni telah belajar banyak
dan pengalaman hidupnya. Ia tidak lagi dapat diterkam oleh kehilangan
akal dan kebingungan. Ia menanggapi masalah hidup dengan sepenuh
kedewasaan.
Karena itu, maka hatinya kini benar-benar
telah lekat dengan kerjanya, seperti Witantra yang semakin mencintai
kesepian yang ditanggapinya sebagai suatu kedamaian di dalam hati
setelah ia berhasil menyesuaikan hidupnya dengan alam di sekitarnya.
Namun semuanya ternyata tidak berhenti di tempatnya. Semua masih bergerak dalam lingkaran yang saling bersinggungan.
Maka seperti tersebut di dalam Kitab
Pararaton, “Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken
Arok memang sungguh-sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah
mereka saling hendak-menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani
membicarakan semua tingkah-laku Ken Arok, demikian juga semua keluarga
Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa-apa, akhirnya Ken
Arok kawin dengan Ken Dedes (terjemahan: Ki J. Padmapuspita).
Tetapi ternyata yang terjadi belumlah akhir yang terakhir.
Pada saat perkawinan itu berlangsung,
maka kekuasaan pun seakan-akan telah berpindah pula ke tangan Ken Arok.
Tetapi Ken Arok bukanlah seorang yang lekas puas. Ia kemudian mengangkat
kepalanya, dan memandang kepada kekuasaan Kerajaan Kediri.
Namun persoalan di dalam dirinya masih
akan berjalan. Di dalam diri Ken Dedes telah terkandung putra Tunggul
Ametung. Bayi itu kelak akan dilahirkan, berbareng dengan lahirnya
masalah-masalah baru.
Demikianlah, seperti matahari yang
mengelilingi bumi, maka yang pernah tenggelam akan terbit pada saatnya.
Dan cerita tentang keluarga ini masih akan berkepanjangan, dalam
sangkutannya dengan nama-nama yang pernah tersebut di dalam kisah ini.”
Yogyakarta, 21 Desember 1971
BARA DI ATAS SINGGASANABagian I – Putra Mahkota
Yang pernah terjadi di Tumapel sudah
hampir dilupakan. Rakyat Tumapel sendiri sudah tidak pernah menyebut
nama Akuwu Tunggul Ametung yang sudah tidak ada lagi. Mereka tidak
pernah mempersoalkan perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes. Semuanya
seolah-olah sewajarnya dan seharusnya terjadi. Para pemimpin yang tujuh,
para perwira dan manggala, tidak ada yang membicarakannya lagi. Seperti
juga tidak ada lagi yang membicarakan kematian Kebo Ijo.
Apalagi setelah rakyat Tumapel melihat
kemampuan Ken Arok memerintah. Tumapel tidak lagi Tumapel yang sudah
puas dengan dirinya seperti pada saat Akuwu Tunggul Ametung memerintah.
Tumapel kini seakan-akan selalu bergolak. Tanah-tanah kering harus
menjadi basah, dan anak-anak muda yang duduk termenung harus bangkit
mesu diri, membentuk kekuatan yang setiap saat dapat digerakkan untuk
tujuan apapun.
Demikianlah Ken Arok menjadikan Tumapel
semakin lama menjadi semakin kuat dan makmur. Hidup rakyatnya menjadi
kian baik, penghasilan pun bertambah-tambah.
Ken Dedes yang menyerahkan kekuasaannya
dengan diam-diam kepada Ken Arak sama sekali tidak menyesal. Ia melihat
perkembangan Tumapel dengan dada tengadah.
Bukan saja sebagai seorang permaisuri,
tetapi sebagai seorang istri pun Ken Dedes menemukan yang tidak pernah
didapatkannya sebelumnya. Meskipun Ken Arok lebih sering keluar istana,
tetapi Ken Arok tidak pernah melupakannya. Apalagi Ken Dedes mengerti,
bahwa setiap kali Ken Arok meninggalkan istana, maka sesuatu telah
dilakukannya untuk mengembangkan Tumapel.
Hanya sekali-sekali saja Ken Arok
melupakan kesibukan itu. Ada sesuatu yang masih kadang-kadang
dirindukannya. Berburu di hutan-hutan seperti yang dilakukan oleh Akuwu
Tunggul Ametung. Tetapi Ken Arok telah digerakkan oleh kenangannya pada
masa-masa mudanya. Hutan-hutan rindang di sekitar padang Karautan sangat
menarik perhatiannya. Apabila ia sedang berburu di hutan itu dibawanya
Ken Dedes serta, dan ditinggalkannya itu di taman yang pernah dibuatnya
dahulu, di dekat padukuhan baru bagi orang-orang Panawijen.
Hari-hari yang demikian terasa sangat
menyenangkan. Juga bagi Ken Dedes. Hijaunya padukuhan yang baru itu
memberi kesegaran kepadanya. Ia merasa bahwa ia telah memberikan arti
dari Hidupnya kepada kampung halamannya.
Tetapi ada juga orang yang menjadi sangat
kecewa. Perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes telah membuatnya hampir
berputus asa. Namun kekerasan hatinya kemudian telah mendorongnya ke
dalam tindakan yang kurang bijaksana. Namun ia sama sekali tidak mau
memikirkan kepentingan orang lain. Bahkan ia berkata di dalam
hatinya,”Mereka harus tahu, bahwa aku pun mampu menundukkan hati
rajawali yang liar itu.”
Demikianlah maka semua usaha
dilakukannya. Dua kali lipat dendam yang tersimpan di dadanya harus
dituntutnya. Mahisa Agnilah yang mula-mula menyakitkan hatinya, dan
kemudian Adik perempuannya, Ken Dedes.
Masa-masa berburu yang dilakukan oleh Ken
Arok menjadi salah satu kesempatan baginya. Dan ia telah mencoba untuk
mempergunakannya sebaik-baiknya.
Maka ketika sepasukan kecil orang-orang
berkuda berderap menuju ke hutan-hutan perburuan di sekitar padang
Karautan dari padukuhan baru orang-orang Panawijen setelah meninggalkan
Ken Dedes di taman yang melingkari sendang, maka seekor kuda yang datang
dari jurusan lain pun berlari pula menuju ke tempat yang sama.
“Terima kasih,”berkata penunggang kuda itu kepada pesuruhnya,”tetapi apabila kau keliru, maka kupotong lehermu.”
“Aku tidak akan keliru. Aku tahu pasti, bahwa hari ini Ken Arok pergi berburu.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
maka ia pun segera memacu kudanya untuk menjumpai Ken Arok dengan
beberapa orang pengiringnya.
Sudah menjadi kebiasaannya, bahwa Ken
Arok selalu membuat sebuah tempat peristirahatan di pinggir hutan.
Sebuah gubuk kecil yang dikelilingi oleh beberapa gubuk yang lain. Dari
gubuk-gubuk itulah mereka pergi mengintai binatang-binatang buruan
mereka, sebelum binatang-binatang itu mereka tangkap hidup atau mati.
Tetapi musim berburu kali ini ternyata
agak berbeda dengan saat-saat yang pernah terjadi. Ketika Ken Arok
sedang mengintai di pinggir sebuah mata air, yang sering dikunjungi oleh
binatang-binatang buruan yang sedang haus, tiba-tiba ia melihat seekor
kuda lewat dengan cepatnya. Segera ia dapat membedakan, bahwa orang
berkuda itu sama sekali bukan orangnya.
“He. kau lihat orang berkuda itu?” Ken Arek berdesis.
Seorang, pengawal mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk ia menjawab,”ya, hamba melihat.”
“Siapa?”
Kini orang itu menggeleng,”Hamba tidak tahu.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Dan
tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui orang itu. Karena itu
maka katanya, “Aku akan melihatnya.”
“Orang itu berkuda. Sedang kita sama sekali tidak membawa seekor kuda pun, karena kuda-kuda kita berada di perkemahan.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia
bukanlah orang yang mudah menyerah karena keadaan. Karena itu maka
katanya,”Kau tinggal di sini. Kalau para pengawal mencari aku, suruhlah
mereka tinggal di sini menunggu.”
“Tetapi, sebaiknya hamba pergi bersama.”
Sejenak Ken Arok mengerutkan keningnya.
Ia sadar, bahwa pengawalnya itu menjadi cemas. Mereka tidak tahu sama
sekali, siapakah penunggang kuda yang lewat itu.
Tetapi Ken Arok menjawab, “Tidak apa-apa.
Aku hanya sekedar ingin tahu. Kalau aku menganggap orang berkuda itu
berbahaya, maka aku akan memanggil para pengawal.”
Pengawal itu tidak segera menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang di wajahnya.
Namun dalam pada itu Ken Arok tersenyum sambil menepuk bahunya, “Aku dapat menjaga diriku sendiri,”
Pengawal itu tidak menjawab, selain menganggukkan kepalanya.
“Nah, tetaplah di sini. Jangan cemas.”
Sebelum pengawal itu berbuat sesuatu, Ken
Arok telah meloncat dengan sigapnya. Sekejap saja kemudian, Ken Arok
itu seakan-akan telah lenyap ditelan rimbunnya dedaunan.
Sementara itu Ken Arok sedang menyusup di
bawah gerumbul-gerumbul perdu ke arah hilangnya kuda yang
mencurigakannya. Ada sesuatu yang tampak aneh oleh Ken Arok pada
penunggang kuda itu. Sesuatu yang tidak dikatakan oleh Ken Arok kepada
pengawalnya. Tetapi ketajaman matanya dapat menangkap apa yang tidak
dilihatnya oleh pengawalnya itu.
Sejenak Ken Arok harus merunduk di bawah
gerumbul-gerumbul sebelum ia dapat menangkap derap kaki-kaki kuda. Kini
kuda itu tidak lagi berlari-lari. Sekali ia mendengar kuda itu
meringkik, kemudian berputar di tempatnya.
“Tidak jauh lagi,” berkata Ken Arok di dalam hatinya.
Dan perhitungan Ken Arok itu memang
tepat. Kini ia melihat penunggang kuda itu sedang termangu-mangu.
Menilik sikapnya, Ken Arok menduga bahwa penunggang kuda itu akan
berbalik menempuh jalan yang baru saja dilaluinya.
“Hem,” desis Ken Arok,”aku mencurigainya.”
Ken Arok pun beringsut semakin dekat. Tetapi ia masih belum melihat wajah penunggang kuda itu.
Tiba-tiba sebelum penunggang kuda itu
menyadari kehadiran Ken Arok di sisinya, ia merasa kendali kudanya telah
ditangkap oleh seseorang.
Bukan saja penunggang kuda itulah yang
terkejut, tetapi kudanya pun terkejut pula sehingga kuda itu meringkik
dan berkisar pada kaki belakangnya.
Karena penunggang kuda itu sama sekali
tidak menyangka, bahwa kudanya akan bergeser, betapapun kuatnya tangan
yang memegangi kendali itu, namun ia tidak dapat menghindarkan dirinya
lagi dari kesulitan. Guncangan itu telah melontarkannya dari punggung
kudanya. Hampir saja ia terbanting di tanah, kalau tangan yang
menggenggam kendali itu tidak cepat bertindak.
Begitu kendali kuda itu dilepaskan, maka tangan itu pun segera menangkap penunggang yang terlempar itu.
Semuanya itu hanya berlangsung dalam
waktu yang singkat sekali, sehingga ketika mereka menyadari keadaan diri
masing-masing, penunggang kuda itu telah berpegangan pundak Ken Arok
erat-erat. Sedang Ken Arok pun berusaha untuk menahannya agar ia tidak
terjatuh.
Tanpa mereka sadari, maka sejenak kemudian mereka pun saling berpandangan. Dan sekali lagi mereka terkejut karenanya.
Perlahan-lahan Ken Arok melepaskan
penunggang kuda yang kini tersenyum kepadanya sambil berkata, “Terima
kasih Tuanku. Bukankah Tuanku Akuwu Tumapel yang bijaksana?”
Ken Arok mundur selangkah. Dipandanginya orang itu dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip.
“Apakah Tuanku sudah lupa kepada hamba yang hina ini?”
“Hem,”Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, “kau Ken Umang.”
Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya,”Bukankah hamba masih yang dahulu? Yang berbeda adalah justru
Tuanku. Tuanku sekarang bukan sekedar salah satu dari pemimpin yang
tujuh di Tumapel. Tetapi Tuanku adalah seorang Akuwu, meskipun kekuasaan
itu Tuanku dapat dari Tuan Putri Ken Dedes yang. cantik tiada taranya.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Ia masih terpaku memandang Ken Umang dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.
“Kenapa kau berbuat seperti ini? Berpakaian laki-laki dan sengaja mengganggu masa berburu kami?”
“Siapa yang mengganggu Tuanku? Hamba sama
sekali tidak berbuat apapun di sini. Hamba hanya lewat, dan tidak ada
peraturan yang melarang seseorang lewat di hutan ini.”
“Bohong!| bentak Ken Arok, “kau pasti sengaja melakukannya justru kau tahu aku sedang berada di sini.”
Ken Umang mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia tertawa sambil melangkah maju, “Tuanku sekarang menjadi
pemarah. Apakah seorang Akuwu harus seorang pemarah seperti Akuwu
Tunggul Ametung?”
Ken Arok tidak menyahut.
“Tetapi Tuanku lain sekali dengan Akuwu
yang terdahulu. Persamaannya, keduanya adalah suami Ken Dedes. Tetapi
masih juga ada perbedaannya. Tuan tidak mendapatkan seorang gadis lagi.”
“Diam!” Ken Arok hampir berteriak. Terdengar ia menggeram,”Kalau saja kau bukan seorang gadis, maka aku tampar mulutmu.”
Tetapi Ken Umang masih saja tertawa.
Bahkan ia berkata,”Memang Tuan. Aku masih seorang gadis, Kenapa Tuanku
tidak menginginkan seorang gadis? Tuanku dapat berbuat apa saja menurut
kehendak Tuanku setelah Tuanku merampas kekuasaan itu dari tangan Ken
Dedes.”
“Diam! Diam kau!”
Tetapi Ken Umang tidak terdiam karenanya.
Ia masih tertawa. Perlahan-lahan ia mendekati Ken Arok. Ketika Ken
Umang meraba ikat pinggang kulit yang membelit di perutnya, Ken Arok
sama sekali tidak beringsut dari tempatnya. Bahkan ia berdiri saja
seperti patung.
Dengan jari-jarinya yang lentik Ken Umang
seakan-akan menghitung butiran-butiran berlian yang terpahat pada
timang ikat pinggang Ken Arok. Kemudian disentuhnya pula ukiran keris
yang terselip pada ikat pinggang di punggungnya.
Perlahan-lahan Ken Umang berdesis, “Tuanku memang gagah sekali.”
Ken Arok masih tetap mematung.
Dan Ken Umang bertanya seterusnya, “Apakah Tuanku hanya seorang diri?”
Ken Arok menggeleng, seperti anak-anak yang dituduh melempari buah-buahan di halaman,”Tidak. Aku tidak seorang diri,”
“Di manakah kawan-kawan Tuanku sekarang?”
“Di gubuk-gubuk itu.”
Ken Umang tersenyum manis sekali. Dirabanya janggut dan jambang Ken Arok yang pendek dan teratur rapi.
“Maaf Tuanku. Ternyata bukan Tuanku yang mencari hamba seperti pernah hamba katakan. Tetapi hambalah yang mencari Tuanku.”
Sentuhan tangan Ken Umang, benar-benar
serasa seperti api yang menyentuh minyak yang tersimpan di dadanya.
Adalah jauh berbeda sekali dengan Ken Dedes. Ken Dedes adalah
titik-titik embun di teriknya matahari. Sejuk sekali.
Apabila hatinya sedang membara, maka sentuhan tangan Ken Dedes adalah sentuhan ketenteraman yang damai.
Tetapi sentuhan tangan Ken Umang telah
mendidihkan darahnya, sehingga Ken Arok sama sekali tidak dapat
mendinginkannya dengan usaha yang bagaimanapun juga, ketika kemudian
seluruh isi dadanya terbakar.
Semua pengawalnya menjadi gelisah karena
Ken Arok tidak segera kembali ke tempatnya. Seorang pengawal yang
menunggu Ken Arok di tempat mereka melihat seekor kuda melintas,
hampir-hampir tidak dapat menahan diri lagi untuk menyusul Akuwu. Tetapi
ia masih bertahan. Kalau ia pergi menyusul, itu berarti ia telah
melanggar perintah. Bahkan kepada pengawal-pengawal yang lain pun ia
telah memberitahukan, bahwa Ken Arok tidak ingin seorang pun
mengikutinya.
“Apakah kau tidak berusaha mencegahnya,” bertanya seorang kawannya.
“Aku sudah berusaha. Tetapi Akuwu tetap pada pendiriannya.”
“Bagaimana kalau terjadi sesuatu atasnya?”
Pengawal itu tidak menyahut. Tetapi yang
lain bergumam, “Tetapi kalau Akuwu tidak mampu mengelakkan bahaya itu,
apakah kemampuan kita dapat menolongnya.”
“Setidak-tidaknya kita dapat membantunya.
Kalau bahaya datang beradu dada, aku kira Akuwu benar-benar dapat
menjaga diri. Tetapi bagaimanakah halnya apabila ada jebakan yang tidak
disangka-sangka,”
Semuanya diam sejenak. Kemudian seorang
yang sudah berusia agak lanjut berkata,”Kita tunggu sebentar lagi. Kalau
Akuwu tidak segera datang, kita mencarinya.”
Semuanya mengangguk-anggukkan kepala.
Mereka pun kemudian kembali ke gubuk masing-masing, kecuali seorang
pengawal yang diharuskan menunggu di tempat mereka berpisah dengan Ken
Arok.
Pengawal itu sama sekali tidak
memperhatikan lagi kepada binatang-binatang buruan yang minum di
genangan air yang ditungguinya, karena hatinya semakin lama menjadi
semakin gelisah.
Sementara itu Ken Arok sedang dibakar oleh api yang telah menyentuh perasaannya.
Di masa-masa ia masih berkeliaran di
hutan-hutan di sekitar padang Karautan ini, apapun pernah dilakukannya.
Merampas, merampok dan juga memerkosa. Tetapi kini sebagai seorang Akuwu
ia tidak berdaya melawan lembutnya tangan-tangan Ken Umang yang
menyeretnya ke dalam lembah yang berbahaya.
Ken Arok menyadari dirinya, ketika ia
sudah hangus terbakar. Dengan wajah merah padam ia memandang dirinya
sendiri, kemudian gadis yang masih saja tersenyum di hadapannya.
“Apakah Tuanku menyesal?” bertanya Ken Umang. Ken Arok berdiri gemetar.
“Kalau Tuanku menyesal, Tuanku masih mempunyai jalan keluar.”
Ken Arok tidak menjawab.
“Tuanku dapat membunuh hamba sekarang. Kemudian Tuan dapat terlepas dari semua akibat perbuatan Tuan.”
Wajah Ken Arok menjadi semakin tegang.
Ditatapnya wajah Ken Umang yang cerah oleh senyum yang selalu menghiasi
bibirnya. Namun Ken Arok seakan-akan telah benar-benar membeku, sehingga
ia tidak mampu berbuat apapun juga.
Perlahan-lahan Ken Umang berdiri dan mendekatinya. Sekali lagi ia meraba janggut dan jambang Ken Arok, yang pendek itu.
“Tuanku dapat membunuh hamba. Bukankah Tuanku membawa keris dan pedang? Mudah sekali. Inilah dada hamba.”
Tiba-tiba Ken Arok menggelengkan
kepalanya. Dengan nada yang berat ia berkata, “Tidak. Aku bukan
pengecut. Aku adalah seorang laki-laki.”
“Maksud Tuanku?” Ken Umang mengerutkan
keningnya. Tetapi hatinya melonjak kegirangan. Kalau ia berhasil, maka
ia akan dapat duduk di samping anak pedesaan Panawijen itu.
Setidak-tidaknya ia akan mendapat sebagian dari kekuasaan atas Tumapel,
yang akan melimpah kepada anak-anaknya kelak.
“Pergilah. Kembalilah ke Tumapel,”desis
Ken Arok. Ken Umang berdiri termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah
Ken Arok yang masih tegang.
“Sudah aku katakan, aku bukan pengecut. Apakah kau masih tinggal di rumah Witantra?”
“Tidak Tuanku. Hamba tidak berada di rumah yang kosong itu lagi. Tetapi hamba berada di rumah bibi hamba.
“Utusanku akan mencarimu. Sekarang, pergilah. Pengawal-pengawalku sudah terlampau lama menunggu.”
Ken Umang tersenyum. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,”Hamba akan kembali mendahului
Tuanku. Hamba selalu menunggu titah Tuanku, apapun yang harus hamba
jalani,”
Ken Arok tidak menjawab. Dipandanginya
saja Ken Umang yang membenahi pakaian laki-lakinya, kemudian naik ke
atas punggung kudanya yang sedang enak-enak makan rerumputan yang muda.
(bersambung ke jilid 51)
No comments:
Write comments