JURU TAMAN
yang ada ditempai itu hampir tidak ada yang menaruh perhatian, apakah
Anusapati ikut serta di dalam sidang di paseban atau tidak. Tetapi bagi
Sumekar pemberitaan itu merupakan pertanda, bahwa jarak antara Sri
Rajasa dan Anusapati masih belum menjadi semakin dekat seperti yang
diharapkan oleh Mahisa Agni. Keduanya pasti tetap di dalam pendirian dan
sikap masing-masing.
“Jika demikian, perang dengan diam-diam
ini tidak akan segera berakhir. Jika Mahisa Agni keluar dari bangsalnya,
aku harus menegaskan sekali lagi.”
Namun kemudian Sumekar mendengar
Anusapati berkata, yang agaknya memang ditujukan kepada dirinya, “Aku
akan menunggu paman Mahisa Agni setelah sidang dipaseban.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata bahwa Mahisa Agni justru dipanggil menghadap Sri Rajasa di
dalam sidang di paseban.
Sepeninggal Anusapati, maka para juru
taman itu pun segera kembali pada kerja masing-masing. Sumekar pun
kemudian mengambi cangkul kecil bertangkai panjang. Dengan hati-hati ia
pun kemudian menyiangi sebatang pohon soka putih di sudut taman itu.
Anusapati yang merasa semakin tersisih
itu mengisi waktunya dengan berjalan-jalan di sepanjang halaman.
Kadang-kasang ia berhenti pada sebuah gardu peronda. Prajurit Pengawal
yang berada di gardu-gardu itu ternyata telah mendengar pula dan bahkan
membicarakan tentang Witantra.
“Nama itu masih mempunyai pengaruh,” berkata Anusapati di dalam hatinya.
Dalam pada itu, di paseban, Sri Rajasa
dan para pemimpin Singasari sedang membicarakan beberapa masalah tentang
Singasari. Tentang beberapa gerombolan penjahat yang sudah berhasil
diusir dari tempat-tempat yang ramai dan tersudut di hutan-hutan, daerah
yang selalu diserang banjir, dan beberapa persoalan lainnya yang
penting.
Para Panglima yang ikut di dalam sidang
itu pun melaporkan kegiatan pasukan masing-masing dari tingkat yang
tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah.
Seperti yang didengar oleh Mahisa Agni
pada paseban yang lewat, pada umumnya semua laporan adalah ceritera
tentang kebaikan, kemenangan, kemakmuran dan kedamaian. Meskipun atas
pertanyaan Sri Rajasa disinggung-singgung pula tentang bahaya banjir
tentang kejahatan, tentang hama tanaman yang meluas, namun pada umumnya
para pemimpin itu mengatakan, bahwa semuanya sudah dapat diatasi.
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya
seperti pada sidang dipaseban yang lewat. Karena itu, bagi Mahisa Agni,
sidang itu hampir tidak dapat menarik perhatiannya sama sekali. Hanya
karena keharusan ia memperhatikan setiap keterangan dan laporan. Hanya
karena orang lain mengangguk-anggukkan kepalanya, maka Mahisa Agni pun
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Namun berbeda dengan sidang yang lewat,
maka kali ini Mahisa Agni diminta oleh Sri Rajasa untuk memberikan
keterangan tentang Kediri dan daerahnya. Hal yang serupa hampir tidak
pernah dilakukan dipaseban. Biasanya Mahisa Agni dipanggil menghadap
langsung kepada Sri Rajasa dan satu dua orang penasehatnya saja,
termasuk guru Tohjaya. Tetapi kini ia harus berbicara dimuka sidang.
Sejenak Mahisa Agni menjadi ragu-ragu,
jika ia berkata sebenarnya maka nada laporan adalah jauh berbeda dengan
nada kidung yang mengalun dalam himbauan angin pegunungan. Jika ia
berkata sebenarnya, maka nadanya bagaikan guruh yang meledak di langit
yang bersih jernih.
Tetapi seperti yang ada di dalam
nuraninya, maka Mahisa Agni tidak dapat berkata lain. Bahkan kemudian ia
menganggap dirinya telah dipaksa oleh Sri Rajasa untuk membenturkan
kepalanya sendiri pada dinding batu.
“Apakah aku akan dapat mengatakan keadaan
yang benar-benar terjadi dengan jujur, sedang setiap orang di dalam
paseban ini mengatakan bahwa mereka berhasil melakukan tugas
masing-masing dengan baik,” bertanya Mahisa Agni kepada diri sendiri.
Namun ternyata bahwa pertanyaan itu justru telah mendorongnya untuk
menyatakan dirinya, pribadinya, meskipun akibatnya beberapa orang akan
menyebutnya sebagai seorang Senapati Agung yang kurang mampu
melaksanakan tugasnya karena di dalam laporannya masih terdapat
cacat-cacat yang cukup besar.”
Sri Rajasa yang duduk diatas
singgasananya yang beralaskan kulit harimau yang belum lama berhasil
ditangkapnya di hutan selagi ia berburu, menunggu dengan berdebar-debar.
Sebenarnyalah bahwa ia ingin mengetahui, apakah Mahisa Agni dapat
mengatakan seperti yang dikatakannya langsung kepadanya tentang
kekurangan-kekurangan yang terjadi di Singasari. Apakah ia tidak
termasuk salah seorang dari para pemimpin Singasari yang selalu
menyembunyikan kenyataan dihadapan banyak orang sekedar untuk mengangkat
martabatnya sendiri.
Sejenak Mahisa Agni masih berdiam diri.
Ketika ia memandang wajah Sri Rajasa yang tegang, maka ia pun segera
bergeser sejenak sambil berkata, “Baiklah tuanku. Hamba akan mengatakan
apa yang sebenarnya terjadi di daerah pengawasan hamba sebagai orang
yang mendapat pelimpahan kekuasaan dari tuanku, Sri Rajasa Batara Sang
Amurwabumi. Maharaja di Singasari.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu,
“yang mendapat anugerah kewajiban atas Kediri yang telah dipersatukan
dengan Singasari.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan
kepalanya, sedang para pemimpin yang lain pun menjadi berdebar-debar.
Namun mereka merasa bahwa yang akan didengarnya adalah senada dengan
setiap laporan yang disampaikan di dalam sidang di paseban itu.
“Am pun tuanku,” berkata Mahisa Agni,
“bahwa hamba akan mengatakan yang benar kepada tuanku, bukan sekedar
berkata untuk menyatakan kebenaran diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa
Kediri masih belum memenuhi keinginan hamba sepenuhnya.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya, dan para pemimpin yang lain pun mulai merasakan kelainan di dalam nada laporan Mahisa Agni.
Demikianlah maka Mahisa Agni pun sagera
melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di Kediri. Yang baik, yang bahkan
kadang-kadang melampaui batas keinginannya sendiri, namun juga yang
jauh dari memuaskan. Bahaya kering di samping bahaya banjir, sehingga
akan mengancam Kediri dengan paceklik yang panjang. Tetapi juga beberapa
daerah yang mengalami panen berlimpah-limpah.
“Masih juga ada kejahatan,” berkata Mahisa Agni, “meskipun tangan Kasatria Putih terasa juga di daerah Kediri.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya.
Ternyata Mahisa Agni adalah Mahisa Agni. Ketika Sri Rajasa memandang
wajah-wajah para pemimpin di paseban itu, tampaklah wajah-wajah yang
tegang dan kemerah-merahan. Laporan Mahisa Agni tentang daerah
kekuasaannya bagaikan suatu sindiran yang tajam atas mereka yang tidak
pernah mengakui kekurangan masing-masing.
Namun tanggapan Sri Rajasa ternyata
sangat mengejutkannya. Ia tidak menyangka bahwa sebenarnyalah ia masuk
kedalam jebakan rangkap. Apapun yang dikatakannya, maka ia tentu akan
terperosok di dalam tanggapan yang pahit.
“Itulah katanya,” berkata Sri Rajasa,
“tampaknya Mahisa Agni adalah seorang yang rendah hati. Yang mengakui
kekurangan dan kebodohannya.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Sejenak ia diam mematung. Ketika ia sempat memandang para pemimpin
Singasari yang ada dipaseban itu termasuk para Panglima, hatinya menjadi
berdebar-debar.
“Para pemimpin Singasari yang bijaksana,”
berkata Sri Rajasa, “apakah kita akan dapat memberikan gelar kepadanya
sebagai seorang pahlawan? Pahlawan yang membela kepentingan rakyat yang
menurut penilaiannya di dalam kesulitan? Itulah Mahisa Agni yang
sebenarnya. Sombong dan kurang bijaksana. Ia mencoba menyindir dan
mencemoohkan laporan para pemimpin Singasari yang lain, yang seolah-olah
sekedar menjilat kepadaku.”
Wajah Mahisa Agni menjadi merah padam.
Sekilas ia melihat para pemimpin itu bergeser dan hampir setiap mata
memandanginya dengan tajamnya.
“Apa katamu Mahisa Agni?” bertanya Sri Rajasa kepada Mahisa Agni kemudian.
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab.
Ia dicengkam oleh kebingungan menghadapi Sri Rajasa. Ia tidak mengerti,
bagaimanakah sebenarnya sikap Sri Rajasa atasnya akhir-akhir ini.
Namun akhirnya Mahisa Agni mencoba
menganggap bahwa sebenarnya Sri Rajasalah yang sedang berada dipuncak
kebingungannya menghadapi persoalannya. Ia kadang-kadang bersikap
seakan-akan manyesali dirinya. Tetapi kadang-kadang ia dikejar olen
kengerian atas segala dosa yang telah diperbuatnya, sehingga ia berusaha
untuk mempertahankan dirinya.
“Ini adalah salah satu bentuk dari
kebingungan itu,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “sehingga
kebingungan itu telah merambat di dalam diriku pula.”
“Mahisa Agni,” berkata Sri Rajasa, “coba
katakan dihadapan sidang ini, apakah maksudmu sebenarnya mengucapkan
sindiran yang tajam itu kepada para pemimpin yang lain sehingga kau
korbankan dirimu sendiri sebagai contoh dari kebodohan seorang
pemimpin?”
“Tuanku,” berkata Mahisa Agni kemudian,
“hamba tidak bermaksud apapun dengan laporan yang hamba katakan.” Mahisa
Agni berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Sri Rajasa dengan saksama.
Namun kemudian, seolah-olah tidak ada pilihan lain baginya dari pada
mempertahankan ucapannya dengan segala akibatnya, “sebenarnyalah bahwa
hamba tidak mempunyai prasangka dan maksud buruk. Hamba mengatakan
tentang diri hamba. Bukan sebagai taruhan untuk mencemoohkan para
pemimpin yang lain. Hamba tidak tahu apa yang telah terjadi di
daerah-daerah lain di bawah pengamatan dan pimpinan pemimpin Singasari
yang lain.”
“Jangan ingkar,” berkata Sri Rajasa, “kau
pernah mengatakan kepadaku diluar sidang, bahwa daerah-daerah lain itu
sebenarnya adalah daerah-daerah yang paling buruk. Laporan-laporan palsu
itu sengaja dikatakan sekedar untuk mendapat pujian daripadaku.”
Terasa sesuatu bergejolak di dada Mahisa
Agni. Namun ia masih juga menjawab, betapapun hatinya menjadi
berdebar-debar, “Tuanku, memang ada kalanya seseorang mengatakan sesuatu
tidak dihadapan orang lain. Jika hamba pernah mengatakan sesuatu
tentang daerah-daerah lain tidak dihadapan orang lain tentu ada
maksudnya. Tetapi jika tuanku menganggap, bahwa sebaiknya hamba
mengatakan tentang daerah-daerah lain di luar harapan hamba, maka hamba
pun tidak akan berkeberatan. Hamba akan mengatakan seperti yang hamba
katakan, dengan harapan penilaian yang wajar dari para pemimpin
Singasari, karena hamba yakin apa yang hamba katakan itu benar, dan
tentu akan dibenarkan, jika kita semuanya adalah pemimpin-pimpinan
Singasari yang sebenarnya, yang ingin melihat Singasari maju dan
berkembang.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “tetapi jika hamba
sudah mengatakannya tuanku, hamba mengharap agar tuanku pun mengucapkan
tanggapan tuanku seperti yang pernah tuanku ucapkan kepada hamba itu
terhadap para pemimpin Singasari yang lain. Ucapan dan tanggapan tuanku
itu pun adalah tanggapan yang wajar dari seorang Maharaja yang
berpandangan jauh kedepan bagi negerinya.”
“Cukup, cukup,” Sri Rajasa memotong
kata-kata Mahisa Agni dengan suara yang bergetar. Wajahnya menjadi merah
padam dan sorot matanya bagaikan menyala.
Namun demikian masih tampak padanya suatu
usaha untuk menahan diri dan mengendalikan perasaannya. Karena itulah
maka ia pun berkata tertahan-tahan, “Baiklah Mahisa Agni. Kau memang
seorang pemimpin Singasari yang lengkap. Kau pandai bermain dengan
pedang di peperangan, tetapi kau juga pandai bermain lidah di dalam
paseban. Tetapi aku pun tidak akan ingkar. Aku menghargai sikapmu yang
terbuka itu, tetapi aku pun menilai sikapmu itu sebagai sikap yang
sangat sombong, seakan-akan kau tidak terpengaruh oleh kehadiranku dan
tanpa menghargai kuasaku sama sekali.”
“Am pun tuanku,” jawab Mahisa Agni, “sama sekali bukan maksud hamba berbuat demikian.”
Sri Rajasa terdiam sejenak. Tampak betapa ia berusaha menahan hatinya yang bergejolak.
Sementara itu, para pemimpin yang lain,
yang mula-mula perasaan mereka yang tersinggung bagaikan disentuh api,
tiba-tiba mempunyai tanggapan yang lain. Pembicaraan itu mengingatkan
mereka, bahwa sebenarnya Mahisa Agni adalah seorang Senapati Agung yang
memiliki kekhususan. Bukan karena ia saudara tuan Permaisuri, tetapi
Senapati Agung itu adalah Senapati perang yang pilih tanding.
Dalam pada itu, selagi para pemimpin
terombang-ambing di dalam suasana yang tegang, maka Mahisa Agni pun
berkata, “Am pun tuanku, masih ada yang ketinggalan di dalam laporan
hamba agar hamba tidak ingkar atas segala masalah yang hamba ketahui.
Bahwa telah hadir di dalam kota Singasari tanpa menyatakan diri kepada
yang berkuasa, seorang yang bernama Witantra. Belum ada seorang pun
yang menyebutnya di dalam paseban ini, atau barangkali ada kesengajaan
untuk menyembunyikannya.”
Sri Rajasa sebenarnya sudah mengetahui
bahwa Witantra telah menampakkan dirinya di dalam kota Singasari,
sehingga laporan tentang kehadiran Witantra itu tidak mengejutkannya.
Tetapi yang mengejutkan adalah bahwa Mahisa Agni menganggap perlu
membicarakan orang itu secara khusus.
Karena itu, maka Sri Rajasa pun kemudian
berkata, “Kehadiran itu memang tidak perlu dilaporkan dipaseban ini.
Aku sudah mengerti bahwa Witantra telah menampakkan dirinya setelah ia
hilang bertahun-tahun. Aku kira para pemimpin yang lain pun telah
mengetahuinya pula. Mereka sama sekali tidak tertarik pada berita itu.
Dan apakah gunanya kehadiran seseorang dibicarakan di dalam paseban?
Apakah para pemimpin Singasari tidak mempunyai persoalan lain yang
penting selain membicarakan orang-orang yang sudah lama sekali tidak
kita lihat dan tiba-tiba muncul dikota ini.”
“Tidak tuanku, jika orang itu bukan
Witantra,” sahut Mahisa Agni, “apakah tuanku tidak ingat lagi, bagaimana
Witantra itu menghilang dari Tumapel?”
“Tentu,” jawab Sri Rajasa.
“Hamba telah mengalahkannya di dalam
perang tanding. Karena itu maka hamba sangat berkepentingan dengan orang
yang bernama Witantra itu.”
“Kau takut pembalasan dendam?”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Lalu
katanya, “Tentu tidak tuanku. Hamba tidak berkeberatan jika saat ini
Witantra datang ke istana dan menuntut perang tanding untuk menebus
kekalahannya. Tetapi yang penting bagi kita, apakah kedatangannya itu
membawa persoalan baru baginya dan bagi kita.”
“Cukup.” wajah Sri Rajasa menegang
sejenak, namun kemudian sekali lagi ia menguasai dirinya dan
melanjutkannya, “baiklah kita tidak membicarakannya. Jika ia datang
keistana, aku akan menemuinya dan jika ia masih mendendam karena
kekalahannya, kini bukan tanggung jawabmu lagi. Jika saat itu kau
bertempur tidak atas namamu sendiri, maka tanggung jawabnya tentu kini
ada padaku.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Terima kasih tuanku. Jika demikian, maka persoalannya hamba
serahkan kepada tuanku Sri Rajasa.”
“Kenapa kau menyerahkan persoalannya
kepadaku? Seharusnya kau tidak mengatakan demikian. Tanggung jawab itu
sudah ada padaku. Kau serahkan atau tidak kau serahkan.”
“Am pun tuanku, demikianlah kiranya maksud hamba.”
“Nah, sekarang, apakah masih ada
persoalan-persoalan yang penting bagi Singasari. Aku hanya ingin
berbicara tentang persoalan-persoalan yang penting, bukan persoalan
seorang demi seorang yang hanya akan menghabiskan waktu saja.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Sidang
dipaseban itu rasa-rasanya menjadi tegang. Pusat perhatian para pemimpin
Singasari kini tertuju kepada Sri Rajasa dan Mahisa Agni. Dua orang
yang seakan-akan menjadi puncak pimpinan pemerintahan yang langsung
tidak langsung telah mereka hubungkan dengan kedua putera laki-laki Sri
Rajasa yang lahir dari dua orang ibu. Bahkan para pemimpin Singasari
yang mengetahui dengan pasti bahwa Anusapati sama sekali bukan putera
Sri Rajasa melihat seakan-akan pertentangan antara Sri Rajasa dan
Tunggul Ametung kini berkobar lagi dalam bentuknya yang berbeda, yang
seakan-akan telah diwarisi oleh Anusapati dan Tohjaya.
“Jika tidak ada persoalan lagi, sidang ini aku bubarkan. Aku tidak akan mengadakan pembicaraan khusus dengan si apapun.”
Sejenak kemudian maka para pemimpin
Singasari itu pun segera meninggalkan paseban dengan hati yang
berdebar-debar. Sebagian dari mereka masih merasa betapa jantungnya
tergores oleh pengakuan Mahisa Agni terhadap kekurangan di dalam daerah
kuasa yang dilimpahkan kepadanya oleh Sri Rajasa. Seperti yang dikatakan
oleh Sri Rajasa, bahwa sebenarnyalah Mahisa Agni sama sekali bukan
seorang yang rendah hati, yang mengakui kekurangannya, tetapi yang
dengan sengaja telah menganggap bahwa para pemimpin adalah penjilat yang
bodoh.
Tetapi beberapa orang yang lain merasa
bahwa sebenarnyalah bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan. Mereka
seakan-akan dengan sengaja berusaha menyembunyikan kekurangan yang ada
pada diri mereka. Dengan sadar mereka berbangga bahwa masih ada juga
orang yang dengan berani menyatakan kebenaran dihadapan Sri Rajasa dan
dihadapan paseban.
Namun pada umumnya mereka merasa cemas,
bahwa perkembangan keadaan di Singasari tidak begitu menggembirakan
hati. Apalagi kehadiran Witantra seperti yang dikatakan oleh Mahisa
Agni, tentu bukan sekedar persoalan kecil karena sejak semula Witantra
menyimpan persoalan yang tentu dianggapnya belum selesai.
“Kehadirannya tentu akan menentukan suatu
peristiwa yang penting di Singasari,” beberapa orang pemimpin Singasari
saling berbisik. Seorang perwira yang sudah lanjut usia berkata, “Ia
adalah seorang Senapati yang mapan.”
Namun dalam pada itu Panglima Pasukan
Pengawal Singasari ternyata mempunyai perhatian khusus terhadap
kehadiran Witantra. Meskipun Singasari sekarang jauh lebih besar dari
Tumapel, namun nama Witantra sebagai seorang Senapati pasukan Pengawal
adalah cukup besar dibandingkan dengan namanya sendiri.
Dengan demikian, maka berbagai kesan
telah melibat hati para pemimpin Singasari yang baru saja meninggalkan
sidang di paseban itu.
Ketika itu Sri Rajasa pun telah kembali
pula kebangsalnya diiringi oleh para pengawal. Dengan wajah muram ia
masuk kedalam biliknya. Dibantingnya dirinya di atas sebuah tempat duduk
kayu yang dialasi dengan kulit menjangan berwarna coklat.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia
berkata di dalam hatinya. “Peristiwa apa saja yang akan terjadi di
Singasari. Justru pada saat-saat terakhir timbul berbagai persoalan yang
tidak aku kehendaki. Gila juga Mahisa Agni itu.”
Ketika di luar pintu seseorang berdiri termangu-mangu, maka Sri Rajasa pun berteriak, “Siapa itu?”
“Hamba tuanku,” jawab seorang pelayan, “hamba menyiapkan pakaian tuanku.”
“Pergi, pergi.” bentak Sri Rajasa.
Pelayan itu menjadi ketakutan. Dengan
ragu-ragu ditinggalkannya pintu bilik Sri Rajasa dengan berbagai
pertanyaan di dalam hati. Tidak pernah terjadi bahwa Sri Rajasa tidak
memerintahkannya menyediakan pakaian setelah ia selesai melakukan
kuwajiban resminya sebagai seorang Maharaja di Singasari.
Di dalam bilik, pikiran Sri Rajasa masih
tetap kusut. Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, dalam
keadaan yang kisruh hati Sri Rajasa tidak dapat tetap. Pikirannya selalu
berubah setiap saat didorong oleh kegelisahan yang semakin dalam.
Kehadiran Witantra sebenarnya sama sekali tidak dapat diabaikannya.
Dalam kekeruhan hati itulah tiba-tiba ia berteriak memanggil seorang Pelayan Dalam yang bertugas di dalam bangsal itu.
Sambil berlari-lari kecil. Pelayan Dalam
itu menghampiri pintu bilik Sri Rajasa. Kemudian dengan ragu-ragu ia
bergumam, “Hamba menghadap tuanku.”
“Panggil Tohjaya,” teriak Sri Rajasa masih di dalam biliknya.
“Hamba tuanku,” perintah Sri Rajasa itu
tidak perlu diulangi. Dengan tergesa-gesa Pelayan Dalam itu pun
berlari-lari ke bangsal dibagian yang lain dari istana Singasari itu.
“Tuanku,” berkata Pelayan Dalam itu dengan nafas yang terengahengah, “Tuanku Sri Rajasa memanggil tuanku.”
“Ayahanda memanggil aku?” bertanya Tohjaya.
“Hamba tuanku.”
Tohjaya menjadi berdebar-debar. Tentu ada
persoalan yang penting yang akan dikatakan oleh ayahandanya setelah
sidang di paseban. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Tohjaya
menghadap ibundanya yang mengatakan perintah ayahandanya itu.
“Memang sudah sampai waktunya Tohjaya.
Semakin lama Anusapati menjadi semakin sombong. Jika semula ia sudah
hampir kehilangan semua kesempatan dan kemungkinan untuk merebut hati
rakyat Singasari, lambat laun ia sudah memperolehnya. Karena itu, jika
ayahandamu memang memerintahkan lakukanlah dengan segera. Gurumu dan
beberapa orang Senapati yang sudah kau hubungi akan dapat disiapkan
segera, apalagi langsung di bawah perintah ayahandamu sendiri. Anusapati
memang harus segera disingkirkan. Agar tidak timbul persoalan
dikemudian hari, maka Mahisa Agni yang mumpung berada di istana ini pun
harus dibinasakan pula.”
“Hamba akan mengatakannya kepada
ayahanda. Jika ayahanda mengucapkan perintah itu kepada para Panglima,
maka semuanya akan terjadi.”
“Kau harus berhati-hati. Mahisa Agni
mempunyai cukup pengaruh, terutama di luar istana. Karena itu, maka yang
dilakukan haruslah di dalam istana dan dalam waktu yang singkat. Jika
kau ingin menangkap seekor ular berbisa, tangkaplah kepalanya. Jika kau
gagal, maka kau sendirilah yang akan binasa karena racunnya.”
“Baik ibunda. Hamba akan segera menghadap ayahanda, sudah tentu bahwa dalam waktu yang singkat, kita akan melakukannya.”
“Dan beberapa hari kemudian, kau adalah putera Mahkota.”
“Ya. Aku akan menjadi Putera Mahkota di
Singasari yang besar. Aku akan berbuat sebaik-baiknya sebagai Putera
Mahkota. Tidak seperti Kakanda Anusapati.”
“Sekarang menghadaplah. Usahakan agar ayahandamu merintahkan aku menghadap pula.”
“Baiklah ibunda, hamba akan berusaha.”
Dengan tergesa-gesa Tohjaya pun kemudian
pergi menghadap ayahandanya di bangsalnya. Dengan hati yang
berdebar-debar ia menaiki tangga bangsal itu, sedang kedua pengawalnya
tinggal di bawah tangga, bersama pengawal bangsal itu sendiri.
Perlahan-lahan Tohjaya membuka pintu bangsal itu. Kemudian dengan degup jantung yang keras ia melangkah masuk.
Tetapi Tohjaya tidak segera melihat ayahandanya.
Ketika ia melihat seorang Pelayan Dalam
dipintu samping bangsal itu, maka ia pun kemudian bertanya, “Dimana
Ayahanda Sri Rajasa.”
“Am pun tuanku,” Pelayan Dalam itu mengangguk. “Ayahanda tuanku ada di dalam biliknya.”
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian melangkah kepintu bilik.
“Hanya untuk persoalan yang sangat
penting dan sangat rahasia ayahanda memanggil kedalam biliknya,” berkata
Tohjaya di dalam hatinya.
Dengan ragu-ragu akhirnya Tohjaya berdiri
di depan pintu bilik Sri Rajasa. Sejenak ia termangu-mangu, namun
kemudian ia berkata lirih, “Am pun ayahanda. Hamba sudah menghadap.”
Sejenak Sri Rajasa menunggu. Kemudian didengarnya jawab, “Masuklah Tohjaya.”
Dada Tohjaya menjadi semakin
berdebar-debar. Perlahan-lahan didorongnya daun pintu itu ke samping.
Dengan langkah yang terasa berat ia pun kemudian melangkah masuk.
Dilihatnya ayahandanya, Sri Rajasa duduk di atas tempat duduk kayu yang beralaskan kulit menjangan.
“Duduklah,” berkata Sri Rajasa kemudian.
Tohjaya termangu-mangu sejenak. Dan ia pun kemudian duduk di atas tempat duduk kayu di sudut bilik itu.
“Apakah seorang prajurit telah memanggilmu?”
“Hamba ayahanda. Bukankah ayahanda memanggil hamba menghadap?”
“Ya.”
“Hamba siap menerima perintah apapun,
ayahanda. Agaknya memang sudah waktunya ayahanda memerintahkan kepada
hamba untuk berbuat sesuatu.”
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.
Dan Tohjaya pun kemudian bertanya, “Dan apakah perintah itu ayahanda?”
Sri Rajasa memandang puteranya itu
sejenak. Namun kemudian terdengar ia berdesah. Katanya, “Tidak ada
perintah apapun saat ini Tohjaya.”
Bukan main terperanjatnya Tohjaya. Bahkan
kemudian ia tidak percaya kepada pendengarannya sehingga ia bertanya,
“Apakah yang ayahanda maksudkan?”
“Dengarlah sekali lagi Tohjaya,” jawab ayahandanya, “aku tidak akan memberikan perintah apapun juga.”
Dada Tohjaya terguncang karenanya. Dengan
terbata-bata ia bertanya, “Tetapi, bukankah ayahanda memanggil hamba
setelah sidang di paseban? Menurut dugaan hamba, ayahanda mendapat
bahan-bahan yang cukup lengkap selama sidang sehingga Ayahanda
memutuskan untuk menjatuhkan perintah terakhir. Bukankah ayahanda perlu
mengambil tindakan tertentu untuk mengakhiri keadaan yang tidak ada
ujung pangkalnya?”
Tetapi Sri Rajasa itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak dapat menentukan sekarang. Aku masih harus memikirkannya.”
Tohjaya benar-benar menjadi bingung. Ia
tidak mengerti, kenapa ayahandanya memanggilnya dengan tergesa-gesa.
Namun kemudian ia sama sekali tidak memberikan perintah apapun juga.
Sebenarnyalah bahwa Sri Rajasa sendiri sedang dilibat oleh kebingungan
yang hampir tidak dapat dipecahkannya. Setiap kali sikapnya selalu
dibayangi oleh keragu-raguan sehingga terombang-ambing tidak menentu.
Dengan demikian maka bilik itu pun
sejenak dicengkam oleh kesepian. Sri Rajasa duduk sambil menundukkan
kepalanya, sedang Tohjaya menjadi sangat gelisah menghadapi keadaan itu.
Namun ia tidak berani lagi bertanya sesuatu kepada ayahandanya, karena
Tohjaya pun kemudian menyadari bahwa agaknya ada sesuatu yang sedang
bergejolak dihati ayahandanya.
“Tohjaya,” berkata Sri Rajasa kemudian memecahkan kebekuan suasana, “tinggalkan bilik ini.”
Tohjaya menjadi semakin bingung. Tetapi
ia tidak dapat berbuat lain. Perlahan-lahan ia berdiri dan berkata,
“Hamba ayahanda. Hamba mohon diri.”
Sri Rajasa hanya mengangguk kecil.
Kemudian wajahnya itu pun tertunduk lagi. Bahkan kemudian
disandarkannya dagunya pada kedua belah tangannya yang sikunya
bertelekan pada lututnya.
Tohjaya pun kemudian melangkah keluar
perlahan-lahan. Hatinya diamuk oleh kebingungan yang dahsyat, karena
dengan demikian ia pun menyadari bahwa ayahandanya sendiri pun masih
juga dikuasai oleh keragu-raguan.
“Kenapa ayahanda masih selalu ragu-ragu.
Mungkin ayahanda masih saja terpengaruh oleh ibunda Permaisuri, justru
karena ibunda Permaisuri lah maka ayahanda tidak dapat berbuat tegas
atas Kakanda Anusapati. Seharusnya ayahanda tidak lagi menghiraukan
ibunda Permaisuri itu. Jika ayahanda masih saja terlampau banyak
pertimbangan, maka akhirnya ayahanda akan terlambat.”
Namun dengan demikian langkahnya pun menjadi tergesa-gesa. Kedua pengawalnya berlari-lari kecil mengikutinya di belakang.
Sementara itu, Ken Umang sudah dicengkam
oleh angan-angan tentang tahta kerajaan Singasari sepeninggal Sri
Rajasa. Jika Anusapati sudah disingkirkan, maka tentu Tohjaya akan
segera diangkat menjadi Pangeran Pati menggantikan kedudukannya. “Tentu
tidak akan ada persoalan apapun juga jika Sri Rajasa sudah memutuskan.
Pengaruhnya terlampau besar, dan kekuasaannya adalah mutlak.” namun
kemudian, “tetapi Mahisa Agni itu pun harus disingkirkan. Dan tentu Sri
Rajasa tidak akan mengalami kesulitan. Betapapun saktinya Mahisa Agni,
namun sudah barang tentu tidak akan dapat mengimbangi kesaktian Sri
Rajasa sendiri.”
Ken Umang itu pun terloncat berdiri
ketika ia melihat Tohjaya datang kedalam biliknya dengan wajah yang
tegang. Dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya dan bertanya, “Perintah
apakah yang telah kau terima Tohjaya?”
Tohjaya pun kemudian duduk dengan lesunya. Sejenak ia termangu-mangu sehingga ibunya pun menjadi heran.
“Tohjaya, apakah kau terima perintah itu?”
Tohjaya menggelengkan kepalanya. Dengan nada yang aneh ia menjawab, “Hamba tidak menerima perintah apapun juga ibu.”
“He,” Ken Umang terperanjat. Sejenak ia
memandangi anaknya dengan wajah yang tegang. Kemudian perlahan-lahan
didekatinya anaknya yang duduk sambil menundukkan kepalanya.
Diguncang-guncangnya pundak anaknya sambil berkata, “Apakah aku sudah
pikun? Coba katakan sekali lagi Tohjaya.”
“Hamba tidak menerima perintah apapun ibunda. Ketika hamba menghadap, ayahanda berkata, “Kembalilah, tinggalkan aku.”
“Tohjaya, apakah kau sedang mengigau?”
“Sebenarnya ibunda, ayahanda memerintahkan hamba untuk meninggalkan bilik itu. Itulah perintah satunya yang hamba terima.”
Ken Umang memandang anaknya dengan wajah
yang tegang, sehingga pelupuk matanya hampir tidak berkedip. Ia tidak
dapat mengerti apakah yang sebenarnya dikatakan oleh anaknya itu.
“Ibunda,” berkata Tohjaya kemudian,
“hamba pun tidak mengerti, kenapa ayahanda tidak memberikan perintah
apapun kecuali memerintahkan hamba meninggalkan ayahanda itu seorang
diri.”
“O,” Ken Umang pun kemudian terduduk pula, “aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti.”
Tohjaya memandang wajah ibunya sejenak.
Namun kepalanya pun segera tertunduk pula. Memang yang baru saja
terjadi sama sekali tidak dapat dimengertinya, dan ibunya pun menjadi
bingung karenanya.
Sejenak keduanya terdiam. Seakan-akan
kabut yang kelam telah menyelubungi angan-angan dan pikiran mereka,
sehingga mereka sama sekali tidak mengerti, apa yang harus mereka
lakukan.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih
juga dibayangi oleh pembicaraan- pembicaraan di dalam sidang, mencoba
untuk menemukan suatu gambaran, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam
hati Sri Rajasa. Namun setiap kali yang diketemukannya, adalah sekedar
menganggap bahwa Sri Rajasa memang sedang kebingungan.
“Tetapi kebingungan itu dapat
membahayakan keadaan,” berkata Mahisa Agni di dalam hati, “setiap saat
pikirannya dapat berubah dan setiap saat Singasari dapat bergejolak.
Satu langkah yang salah dari Sri Rajasa, dan membuat Singasari menjadi
berantakan. Sedangkan persoalan yang sebenarnya adalah persoalan
ketamakan Ken Umang semata2. Namun apabila hati Sri Rajasa tidak goyah,
maka hal yang seperti sekarang ini tidak perlu terjadi.”
Demikianlah ketika Mahisa Agni kemudian bertemu dengan Anusapati dan Sumekar, maka diceriterakannya apa yang terjadi di paseban.
“Sebenarnyalah bahwa ancaman itu sudah
langsung ditujukan kepadamu,” berkata Sumekar kepada Mahisa Agni,
“tetapi karena sikap para pemimpin Singasari yang tidak jelas, maka Sri
Rajasa masih harus berpikir sekali lagi. Jika di dalam paseban itu
tanggapan atas tuduhan Sri Rajasa terhadapmu, terhadap yang disebutkan
kesombonganmu itu cukup baik baginya, maka ia tidak akan menunggu lebih
lama lagi. Tetapi karena ia melihat keragu-raguan pada pemimpin
Singasari, maka ia pun tidak segera memerintahkan saat itu juga untuk
menangkapmu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang dapat juga terjadi seperti yang dikatakan oleh Sumekar
itu. Tetapi Mahisa Agni pun tahu, bahwa sebenarnya Sumekar telah
dipenuhi oleh prasangka dan bahkan sikap yang pasti, yaitu Sri Rajasalah
yang harus disingkirkan, justru untuk menyelamatkan hasil yang pernah
dicapai oleh Sri Rajasa sendiri. Singasari yang besar dan kuat. Namun
bagi Mahisa Agni sendiri, masih harus ditempuh pertimbangan-angan yang
semasak-masaknya meskipun kadang-kadang orang lain menganggapnya tidak
berbuat apa-apa.
Dalam pada itu, Anusapati pun sebenarnya
mempunyai tanggapan persoalan yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu
sejalan dengan pendapat Sumekar. Namun Anusapati menyerahkan
persoalannya kepada Mahisa Agni, karena ia percaya, bahwa pertimbangan
pamannya didasari oleh pengalaman dan pengetahuannya yang luas.
Namun mendung yang semula membayang di
atas istana Singasari itu kini bagaikan mekar meliputi seluruh kota dan
bahkan menjalar keseluruh negeri. Terasa bahwa ada sesuatu yang kurang
pada tempatnya telah terjadi di dalam lingkungan keluarga Sri Rajasa.
Jika semula persoalan itu hampir tidak mendapat perhatian karena yang
berkepentingan masih mampu membatasi diri masing-masing, maka semakin
lama persoalannya menjadi semakin jelas dapat dilihat oleh para pemimpin
Singasari.
Dalam keadaan yang demikian itulah, Singasari mulai menyebut-nyebut nama Witantra.
Namun sebenarnyalah bahwa nama Witantra
itu telah mengganggu hati Sri Rajasa pula. Ia tidak mengerti dengan
pasti apakah sebenarnya yang dikehendakinya. Sehingga karena itulah maka
dengan diam-diam Sri Rajasa pun berusaha untuk mencari hubungan dengan
Witantra, meskipun ia berpesan dengan sungguh-sungguh, agar Witantra
tidak mengetahuinya, bahwa Sri Rajasa yang memberikan perintah itu
kepada beberapa orang petugas sandi yang dipercayainya.
Ternyata sangat sulitlah untuk mencari
hubungan dengan Witantra itu, karena Witantra tidak pernah lagi
kelihatan di kota Singasari. Hanya namanya dan beberapa ceritera sajalah
yang dapat ditangkap oleh para petugas sandi itu.
“Ya, ia datang kepadaku,” berkata seorang
perwira yang menghubungi orang-orang yang diduga dapat bertemu langsung
dengan Witantra.
“Apa saja yang dilakukannya?”
“Tidak apa-apa. Ia hanya bertanya tentang keselamatanku sekeluarga, dan sedikit tentang padepokannya di puncak gunung.”
“Gunung yang mana?” bertanya petugas sandi itu.
“Witantra tidak mau menyebutkannya.”
“Apakah ia sering datang kemari?”
“Hanya satu kali. Hanya satu kali. Tetapi
ia berkata kepadaku, bahwa pada suatu saat ia akan datang kembali
mengunjungi sahabat-sahabat lamanya.”
“Apakah benar ia tidak mempersoalkan apapun juga yang dapat menjadi petunjuk arah perhatiannya selama ini?”
“Tidak. Ia tidak mengatakan apapun juga.
Tetapi ia menyatakan kegembiraannya melihat perkembangan Singasari
sekarang ini. Singasari yang jauh lebih besar dari Tumapel di jaman
Akuwu Tunggui Ametung.”
Petugas sandi itu hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahan yang didapatkannya untuk
mengetahui keadaan Witantra ternyata terlampau sedikit. Para petugas itu
sama sekali tidak dapat menyimpulkan, apakah sebenarnya maksud Witantra
datang ke Singasari. Bahkan setelah mereka menghubungi beberapa orang
yang pernah dikunjungi oleh Witantra itu.
“Baiklah,” berkata seorang petugas sandi
kepada seorang perwira yang pernah mendapat kunjungan Witantra, “jika ia
datang sekali lagi, tolong, beritahukan aku.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perwira itu pun mengetahui bahwa orang yang datang itu
adalah seorang prajurit sandi. Dan perwira itu pun tahu pasti, kepada
siapa ia harus melaporkan jika Witantra datang sekali lagi.
“Ternyata pihak istana menaruh perhatian
besar sekali,” berkata perwira itu. Namun demikian, mereka pun menjadi
gelisah, karena jika timbul sesuatu karena perbuatan Witantra, maka
mereka yang diketahui telah mendapat kunjungan Witantra itu pasti akan
menjadi sumber keterangan.
Tetapi bukan saja para perwira itu yang
mengetahui bahwa pihak istana menaruh perhatian yang besar sekali. Dari
pembicaraan beberapa orang prajurit, Sumekar pun mengetahui, bahwa ada
beberapa petugas sandi yang mendapat tugas mencari jejak tentang
Witantra itu.
Dalam pada itu, semua laporan tentang
Witantra itu sudah sampai ditelinga Sri Rajasa. Seperti apa yang dapat
ditangkap oleh para petugas sandi, maka tidak ada keterangan yang pasti
yang dapat dijadikan bahan untuk menentukan apakah yang sebenarnya akan
dilakukan oleh Witantra.
Namun demikian ada seorang petugas sandi yang mempunyai keterangan yang agak lain dari kawan-kawannya.
“Witantra menyebut-nyebut nama Mahisa Agni tuanku,” berkata petugas sandi itu ketika ia dipanggil menghadap.
“Apa katanya?”
“Ia hanya bertanya, dimanakah sekarang
Mahisa Agni itu. Apakah ia masih tetap berada di Kediri, karena menurut
pendengarannya Mahisa Agni menjadi seorang Senapati Agung yang bertugas
di Kediri sebagai wakil Mahkota. Atau sudah mendapatkan jabatan lain.”
“Apa lagi?”
“Hanya itu tuanku. Hamba tidak
mendapatkan bahan yang lain. Sedang yang dibicarakan Witantra itu pada
umumnya adalah persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan
pemerintahan. Kadang-kadang ia berbicara tentang jalan-jalan yang ramai,
sawah yang hijau dan rumah kawan-kawannya yang menjadi perwira di
Singasari.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun
dari keterangan itu Sri Rajasa mendapatkan suatu arah betapapun
samarnya, bahwa Witantra masih menaruh perhatian terhadap Mahisa Agni.
“Mudah-mudahan Witantra masih mendendamnya.”
Naman ternyata setelah itu, Sri Rajasa
tidak pernah mendapat keterangan apapun lagi tentang Witantra. Meskipun
ada juga seorang dua orang yang melaporkan bahwa Witantra tampak berada
di dalam kota, namun sama sekali tidak menarik perhatian orang, karena
ia tidak berbuat apa-apa.
“Aku dapat menjadi gila,” berkata Ken Arok kemudian ketika ia berada di dalam bilik Ken Umang.
Ken Umang yang masih nampak jauh lebih
muda dari Permaisuri yang sakit-sakitan itu, mendekatinya sambil
berkata, “Tuanku, persoalannya sudah jelas bagi tuanku. Sebenarnya hamba
ingin mengajukan suatu sikap yang akan dapat menolong keadaan. Tetapi
justru karena hamba adalah ibu Tohjaya, maka hamba berada di dalam
kesulitan.”
“Kenapa?”
“Orang dapat menuduh hamba, semata-mata sikap hamba itu didorong oleh ketamakan dan kebencian.”
“Orang dapat menuduh hamba, semata-mata sikap hamba itu didorong oleh ketamakan dan kebencian.”
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Ken Umang sejenak.
Sambil tersenyum Ken Umang beringsut
mendekat, ia duduk di atas sebuah kulit harimau hasil buruan Sri Rajasa
di samping tempat duduk Sri Rajasa sendiri yang beralaskan kulit seekor
ular raksasa.
“Tuanku,” Ken Umang bergesar
mendekatinya. Kemudian sambil bersandar pada kaki Sri Rajasa Ken Umang
berkata, “Memang tuanku harus segera mengakhiri keadaan yang tidak
menentu sekarang ini. Hamba tahu bahwa tuanku menjadi ragu-ragu. Tetapi
hamba pun tahu, siapakah sebenarnya puteranda Anusapati itu, karena
hamba tahu saat-saat perkawinan tuanku.”
“Banyak orang yang mengetahui siapakah
sebenarnya Anusapati, karena setiap orang yang umumnya berkisar di
antara kita dapat menghitung saat perkawinanku dan saat kelahiran
Anusapati.”
“Nah,” berkata Ken Umang, “sebenarnya
tidak ada persoalan lagi. Kasar atau halus, tuanku dapat melakukannya.
Sedang tuanku sendiri mempunyai putera laki-laki yang akan dapat
menggantikan kedudukan tuanku. Jika tuanku membiarkan keadaan ini
berlangsung terus, maka sebenarnyalah tuanku dapat terganggu. Lahir dan
batin.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak menyahut.
“Tuanku, jika hamba bukan ibu Tohjaya,
hamba akan dapat dengan leluasa menyampaikan pendapat hamba. Tetapi
justru karena itulah, maka hamba menjadi ragu-ragu. Tuankulah yang akan
dapat menentukan, apakah yang sebaiknya tuanku lakukan. Tetapi segera.
Tidak dengan ragu-ragu dan condong kepada kebingungan. Ternyata seperti
sikap tuanku. Tuanku memanggil Tohjaya, namun kemudian tuanku tidak
menjatuhkan perintah. Hamba tahu bahwa perintah itu sudah siap. Tetapi
tuanku ragu-ragu, sehingga tuanku mengurungkannya.”
Sri Rajasa tidak segera menyahut. Tetapi
setiap kali ia bertemu dengan Ken Umang, rasa-rasanya sudah jatuhlah
keputusannya untuk menyingkirkan Anusapati dan Mahisa Agni, apapun
akibatnya. Baginya Permaisurinya Ken Dedes sudah tidak begitu banyak
diperlukan lagi. Ken Dedes itu menjadi semakin cepat tua dan
sakit-sakitan.
Namun setiap saat ia teringat, bahwa ada
sesuatu yang lain pada Ken Dedes, hatinya menjadi berdebar-debar. Ken
Dedes nemiliki sesuatu kurnia dari Yang Maha Agung yang tidak dimiliki
oleh Ken Umang. Cahaya yang tidak dapat dimengertinya itu setiap kali
dapat dilihatnya.
“Tuanku,” berkata Ken Umang kemudian,
“apakah sebenarnya yang membuat tuanku ragu-ragu? Mungkin kemampuan
Mahisa Agni dan pengaruhnya? Tentu tuanku akan dapat mengatasinya karena
Mahisa Agni tidak akan sekuat Sri Baginda di Kediri yang dapat tuanku
kalahkan itu. Sedang pengaruhnya pun tidak akan sebesar para Panglima
dan Senapati yang lain, karena sudah lama ia berada di Kediri. Jika
tuanku memperhitungkan pengaruhnya di Kediri, maka dapat diperhitungkan
bahwa Kediri sekarang tentu tidak akan mampu berbuat apa-apa.” Ken Umang
berhenti sejenak. Lalu, “Tuanku, hamba pun mendengar apa saja yang
dikatakan oleh Mahisa Agni di paseban itu. Bukankah itu sudah suatu
sikap yang pasti untuk menantang tuanku, merendahkan kekuasaan tuanku
dan seakan-akan suatu pameran kekuatan bahwa Mahisa Agni sama sekali
tidak takut terhadap kuasa tuanku, selain dengan sengaja menghinakan
para pemimpin yang lain.”
Ken Arok masih tetap berdiam diri.
“Nah, hamba persilahkan tuanku
mempertimbangkan semuanya itu, karena hamba tidak berhak berbuat apapun
selain memberikan sedikit pertimbangan yang barangkali tidak berarti
apa-apa bagi tuanku.”
Sri Rajasa masih tetap tidak menyahut
sepatah katapun. Dipandanginya bintik-bintik di kejauhan seolah-olah
dicarinya sesuatu di antara kekosongan di kejauhan.
Ken Umang tidak mendesaknya lagi.
Dibiarkannya Sri Rajasa merenungi kata-katanya. Ken Umang itu masih
tetap yakin bahwa Sri Rajasa akan lebih percaya kepadanya daripada
kepada Ken Dedes, apalagi kelemahan yang ada pada keturunan Ken Dedes
itu ialah bahwa Anusapati adalah anak Tunggul Ametung.
Sejenak kemudian, setelah bergolak dengan
dahsyatnya, dada Ken Arok seakan-akan mulai terbuka. Seakan-akan Ken
Arok melihat sebuah jalan lurus yang harus ditempuhnya. Satu-satunya
jalan, karena tidak ada pintu lain yang terbuka baginya.
Betapapun jalan itu lewat celah-celah
lorong yang mengerikan, namun setapak demi setapak rasa-rasanya Ken Arok
sudah memasuki pintu itu, didorong oleh tangan-angan halus Ken Umang
dan puteranya yang penuh dengan nafsu.
“Aku harus mengadakan persiapan
sebaik-baiknya,” berkata Ken Arok di dalam hatinya, “aku harus bertemu
dengan orang-orang yang dapat aku percaya.”
Namun Ken Arok itu pun menarik nafas
dalam-dalam sambil berdesah di dalam dirinya, “Apakah aku akan berhasil
tanpa mengganggu keutuhan Singasari. Sekian lama aku bekerja untuk
mempersatukan Singasari. Dan kini aku sendiri akan menimbulkan
perpecahan di dalamnya.”
Tetapi Ken Arok memang tidak melihat
jalan lain. Yang harus dilakukan adalah menyingkirkan Anusapati dan
Mahisa Agni dengan akibat yang sekecil-kecilnya.
Itulah sebenarnya yang diharapkan oleh Ken Umang. Dan ia yakin bahwa yang diharapkan itu akan terjadi.
Demikianlah, dihari berikutnya, Ken Arok
memanggil beberapa orang Senapati. Untuk tidak memberikan kesan yang
mencurigakan, maka beberapa orang itu menghadap tidak berdasarkan
waktunya. Bahkan juga Panglima pasukan pengawal yang menurut
pendapatnya, akan dapat dipergunakannya sebagai perisai jika terjadi
sesuatu.
“Kita tidak dapat menunda lagi,” berkata
Sri Rajasa kepada penasehatnya, yang sekaligus guru Tohjaya di dalam
olah kanuragan, “Anusapati harus disingkirkan. Beberapa orang Senapati
sudah siap untuk melakukannya. Dan cara yang akan aku tempuh adalah cara
yang paling kecil akibatnya.”
Para Senapati harus dengan diam-diam
mengambil Anusapati dan membawanya keluar istana untuk diselesaikan.
Tentu di malam hari. Pasukan Pengawal akan diatur oleh Panglimanya,
sehingga ketika terjadi hal itu, para pengawal tidak akan berada di
tempatnya kecuali yang memang dapat dipercaya dan dapat dibawa bekerja
bersama.”
“Tetapi pekerjaan itu akan sangat sulit tuanku. Tuanku Anusapati memiliki kemampuan secara pribadi.”
“Tentu, jika kalian harus bertempur seorang lawan seorang. Tetapi kalian akan menghadapinya dengan beberapa orang Senapati.”
“Tentu, jika kalian harus bertempur seorang lawan seorang. Tetapi kalian akan menghadapinya dengan beberapa orang Senapati.”
“Disaat yang ditentukan aku akan
memanggilnya. Jika ia mengetahuinya dan tentu akan berbuat sesuatu, di
seluruh Singasari tidak ada orang lain yang dapat dihadapkan kepadanya
selain aku sendiri. Untuk sementara kita dapat, melupakan Witantra. Aku
kira ia tidak akan berbuat sesuatu. Syukurlah jika ia justru sedang
mencari Mahisa Agni untuk membuat perhitungan atas kekalahannya diarena
disaat kematian Akuwu Tunggul Ametung waktu itu.”
“Baiklah tuanku. Hamba akan
melaksanakannya. Memang tidak ada jalan lain dari jalan kekerasan. Tentu
kami akan memperhitungkan semua pihak yang dapat mengganggu usaha ini.
Tetapi jika tuanku menghendaki kami bertindak langsung di dalam istana
ini, maka soalnya akan menjadi lebih mudah.”
“Kami akan memaksakan keadaan ini kepada
para Panglima dan rakyat Singasari sebagai suatu keharusan. Anusapati
adalah orang lain bagiku.”
Penasehat Sri Rajasa itu pun merasa,
bahwa telah datang waktunya ia menunjukkan jasa yang paling besar bagi
Sri Rajasa dan Tohjaya. Ia harus dapat menyingkirkan Anusapati kasar
atau halus. Bahkan jika terpaksa dengan pertempuran terbuka.
“Tentu tidak akan banyak yang berpihak
kepadanya. Panglima Pasukan Pengawal akan mengatur, bahwa di saat yang
ditentukan itu, para petugas di istana ini adalah orang-orang yang dapat
dipercaya.”
Demikianlah penasehat Sri Rajasa itu
telah melakukan tugasnya dengan cermat. Dihubunginya Panglima Pasukan
Pengawal. Ia tahu benar, bahwa Panglima itu terlalu setia kepada Sri
Rajasa. Demikian pula beberapa orang Senapati dan prajurit yang akan
dapat diajaknya bekerja bersama.
“Baiklah,” berkata seorang Senapati, “tentukan, kapan kita akan melakukannya.”
“Secepatnya. Kita akan segera bertindak sebelum Anusapati dan Mahisa Agni mengetahuinya.”
“Mereka tidak akan tahu rencana ini.”
“Diistana ini ada sejumlah pengkhianat.”
Sebenarnyalah bahwa Sumekar telah
tertarik kepada perubahan-perubahan yang terjadi di istana. Beberapa
orang prajurit yang dikenalnya mulai membicarakan kebijaksanaan yang
baru. Perubahan yang tidak pada tempatnya telah terjadi di dalam
tugas-tugas para prajurit, di dalam dan diluar istana. Prajurit-prajurit
yang bertugas sehari-hari, tiba-tiba saja telah ditarik dari istana dan
orang-orang barulah yang menggantikannya di tempat-tempat terpenting.
Sumekar yang mempunyai penglihatan yang
tajam tidak dapat membiarkan semuanya terjadi di luar pengetahuan Mahisa
Agni. Karena itu, maka ia pun segera menemuinya dan mengatakan apa
yang dilihatnya sejak hari ini.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Sebenarnya perubahan-perubahan semacam itu adalah
perubahan yang wajar di dalam tugas keprajuritan.”
“Mungkin. Tetapi aku mempunyai firasat
yang lain kali ini. Tentu dalam waktu yang singkat akan terjadi sesuatu.
Jika tidak hari ini, tentu malam nanti.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kepada Sumekar, “Mungkin kau benar Sumekar. Karena itu
bersiaplah. Adalah lebih baik jika kau dapat mengambil Witantra dan kau
bawa masuk ke dalam istana ini.”
“Sekarang?”
“Jika malam gelap. Tetapi jika terjadi sesuatu sebelum gelap, tentu kita tidak sempat memberitahukan kepadanya.”
“Baiklah. Aku akan berada di taman sehari penuh. Jika terjadi sesuatu, aku berada di dalam taman itu.”
“Baiklah. Aku akan menemui Anusapati.”
Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa
Agni pun kemudian menemui Anusapati di bangsalnya. Ketika ia melihat
para penjaga bangsal itu, hatinya menjadi berdebar-debar.
Prajurit-prajurit itu sama sekali bukan prajurit yang biasanya bertugas
di bangsal itu.
“Semuanya cepat berubah,” berkata Mahisa
Agni di dalam hatinya, “di beberapa hari terakhir, agaknya Sri Rajasa
dan orang-orangnya sudah siap untuk melakukan rencana terakhirnya. Sudah
tentu, bahwa Sri Rajasa terpaksa melakukannya dengan kekerasan untuk
menempatkan Tohjaya menjadi searang Putera Mahkota.”
Tetapi ternyata dihari itu, tidak terjadi
sesuatu. Anusapati yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan,
masih saja tinggal di dalam bangsalnya. Mahisa Agni masih belum
memberikan isyarat apapun juga. Sedang Sumekar yang berada di dalam
taman dan kadang-kadang hilir mudik di halaman membawa lodong bambu
masih juga belum melihat perkembangan keadaan yang memuncak.
Karena itulah, maka ketika senja turun, ia berusaha untuk pergi ke rumah persembunyian Witantra di dalam kota Singasari.
Sumekar ternyata hanya memerlukan waktu yang pendek. Keduanya kemudian dengan hati-hati meloncat masuk kedalam halaman istana.
“Bersembunyilah di dalam taman,” berkata Sumekar kepada Witantra, “aku akan berusaha menemui Mahisa Agni.”
“Apa kau tidak akan dicurigai?”
“Aku akan membawa bibit pohon soka, yang dapat aku pakai sebagai alasan. Menanam pohon soka memang sebaiknya di malam hari.”
“Baiklah, tetapi hati-hatilah.”
Sumekar pun kemudian pergi untuk menemui
Mahisa Agni. Dengan berdebar-debar ia melihat beberapa orang prajurit
yang tampaknya mulai bersiap-siap. Bahkan dilihatnya penasehat Sri
Rajasa berjalan tergesa-gesa di depan bangsal Mahisa Agni. Hati Sumekar
menjadi berdebar juga ketika dilihatnya Panglima Pasukan pengawal ada
pula di antara beberapa orang prajurit yang sedang bertugas.
“Apakah sesuatu bakal terjadi malam ini?”
bertanya Sumekar kepada diri sendiri, “jika demikian, apakah kekuatan
yang dapat dipergunakan oleh Anusapati untuk menyelamatkan dirinya dan
keluarganya. Sejauh-jauh yang dapat dilakukan adalah melontarkan,
isyarat itu kepada Kuda Sempana dan Mahendra. Tetapi di halaman ini
adalah berpuluh-puluh prajurit pilihan, termasuk Sri Rajasa sendiri.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Akhirnya kelembutan hati Mahisa Agni telah menempatkan
Anusapati dalam kesulitan. Akhirnya bahwa Sri Rajasa lah yang telah,
bersiap lebih dahulu menghadapi Putera Mahkota itu, yang sebenarnya
adalah bukan puteranya sendiri.”
Dalam kecemasan itu, akhirnya Sumekar
menemukan jalan lain yang justru akan dilakukan. Jalan yang sama sekali
tidak diketahui oleh Mahisa Agni dan bahkan oleh Anusapati sendiri.
“Aku akan bertindak atas tanggung jawabku
sendiri. Sebelum terjadi pembunuhan atas tuanku Anusapati, aku harus
segera bertindak.”
Meskipun demikian, ia melanjutkan langkahnya membawa sebatang bibit pohon soka mendekati bangsal Mahisa Agni.
Dihalaman bangsal itu Sumekar telah
dicegat oleh dua orang prajurit. Dengan kasar salah seorang dari mereka
menyapa, “Siapa kau?”
“Apakah kau tidak dapat mengenal aku?” bertanya Sumekar.
Prajurit itu termangu-mangu. Lalu, “Sebut siapa namamu.”
“Aku Pangalasan dari Batil.”
“O. juru taman. Tetapi apa kerjamu malam-malam begini?”
“Aku akan menanam pohon soka seperti yang dipesan oleh tuanku Mahisa Agni.”
“Kenapa tidak besok siang?”
“Menanam pohon noka hanya dapat dilakukan malam hari.”
“Bohong, kau sangka aku tidak mengerti
tentang tanaman? Aku adalah bekas seorang juru taman pada jaman
pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kemudian aku mendapatkan
warisan ilmu sehingga aku berhasil mengikuti pendadaran untuk menjadi
seorang prajurit.”
“O, jika demikian seharusnya kau tahu,
bahwa menanam pohon soka sebaiknya pada malam hari. Mungkin dapat
dilakukan disiang hari, tetapi hasilnya tidak akan memberi kepuasan.”
Prajurit itu termenung. Tanpa disadarinya
dicobanya untuk mengingat kembali, apa yang pernah dilakukan pada saat
ia menjadi juru taman. Namun ia sudah tidak dapat mengingat apapun lagi.
Karena itu, maka katanya, “Cepat, lakukan.”
Sumekar pun dengan tergesa-gesa memasuki
halaman bangsal itu. Namun ia masih berpura-pura bertanya, “Dimana aku
harus menanam pohon ini?”
“Aku tidak tahu.”
“Jika demikian, apakah kau dapat bertanya kepada tuanku Mahisa Agni.”
“Kenapa aku?”
“Aku tidak berani. Tolong katakan kepadanya.”
“Aku tidak peduli. Itu bukan urusanku.”
Sumekar berdiri termangu-mangu sejenak. Namun ia tersenyum di dalam hati. Kesempatan itulah yang memang ditunggunya.
Demikianlah akhirnya ia berhasil bertemu dengan Mahisa Agni, dan mengatakan apa yang telah dilihatnya.
“Kau pun sudah diawasi,” berkata Sumekar.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kita agaknya sudah terlambat.”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku masih mempunyai jalan. Apakah kau bertemu dengan Witantra?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan Kuda Sempana dan Mahendra?”
“Aku hanya memanggil Witantra. Ia sudah berada di dalam taman.”
“Baiklah. Tetapi usahakan agar mereka
semuanya berada di dalam istana ini. Mereka harus berada di bangsalku.
Aku akan membicarakan sesuatu yang penting dengan mereka dan kau.”
“Sekarang?”
“Ya. Panggil mereka.”
Sumekar menjadi termangu-mangu sejenak. Lalu katanya. “Tetapi bagaimana jika semuanya, ini akan segera terjadi?”
“Jika begitu, minta Witantra memanggil keduanya. Kau mengawasi keadaan sebaik-baiknya.”
“Tetapi, apakah yang dapat kita kerjakan hanya bersama dengan mereka bertiga.”
“Kita sudah bertiga dengan Anusapati.”
“Tetapi di halaman ini ada berpuluh-puluh prajurit yang agaknya sudah mendapat petunjuk-petunjuk yang pasti.”
“Karena itu, panggil mereka. Aku masih mempunyai jalan.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu katanya, “Baiklah, aku akan menghubungi Witantra. Biarlah ia datang
ke bangsal ini, akulah yang akan menjemput Kuda Sempana dan Mahendra
yang ada di rumah itu juga.”
“Cepat. Sebelum semuanya terjadi.
Sementara itu aku akan mempersiapkan semua rencana. Jangan beri tahu
Anusapati lebih dahulu. Aku akan berada di halaman, supaya aku dapat
melihat kesiagaan mereka yang semakin meningkat. Suruhlah Witantra
langsung memasuki lewat pintu belakang. Hati-hatilah. Para prajurit
agaknya benar-benar bersiap.”
Sumekar melangkah meninggalkan Mahisa
Agni. Namun tiba-tiba ia teringat, “Tetapi, aku mengatakan kepada para
penjaga, bahwa aku akan menanam pohon soka.”
“Tinggalkan. Jika kau kembali bersama Kuda Sempana dan Mahendra, kau tidak usah melalui halaman bangsal ini.”
Sumekar pun mengetahui apa yang harus
dikerjakan. Karena itulah maka ia pun segera pergi meninggalkan Mahisa
Agni. Di halaman depan para prajurit menegurnya, katanya, “Sudah
selesai?”
“Tuanku Mahisa Agni marah bukan main.”
“Kenapa?”
“Kau memang gila. Aku sudah memperingatkan bahwa sebaiknya besok pagi saja.”
“Ya, aku menyesal. Tetapi menanam pohon
soka hanya dapat dilakukan di malam hari, maksudku, yang paling baik
dilakukan di malam hari.”
“Dimana pohon sokamu itu?”
“Diinjak2 sampai lumat. Tetapi anehnya, aku harus mencari lagi. Justru Kembang Soka Kuning, jenis yang paling sulit dicari.”
Para prajurit itu tertawa. Dipandanginya
juru taman itu dengan ibanya. Namun mereka tidak dapat menolongnya,
karena mereka sendiri belum pernah melihat jenis Kembang Soka yang
berwarna kuning.
Sepeninggal Sumekar, maka Mahisa Agni
pun kemudian membenahi dirinya. Tetapi betapapun ia mencemaskan
keadaan, tetapi Mahisa Agni tidak menganggap perlu membawa senjata.
Tangannya yang dapat dialiri dengan aji Gundala Sasra dan sekaligus Kala
Bama dalam bentuknya yang sesuai, adalah semata yang tidak kalah
dahsyatnya dari segala macam jenis semata tajam maupun senjata-senjata
yang lain.
Ketika ia keluar dari bangsalnya
dilihatnya beberapa orang prajurit berada di halaman. Seperti biasanya
Mahisa Agni pun menyapa mereka dengan ramahnya. Namun kali ini para
prajurit itu menjawabnya dengan ragu-ragu.
“He, apakah kalian tidak pernah bertugas di bangsal ini?” bertanya Mahisa Agni kepada prajurit-prajurit itu.
Pemimpin peronda itu pun menjawab
dengan termangu-mangu, “Belum. Eh, maksud kami, kami memang belum pernah
bertugas di regol ini, tetapi sudah sering bertugas di bagian lain.”
“Dimana?”
Pemimpin peronda itu menjadi semakin bingung, sehingga ia menjawab penuh kebimbangan, “Di Istana bagian dalam.”
“He, bagian dalam yang mana? Apakah ada bagian luar dan bagian dalam.”
Prajurit itu menjadi semakin bingung. Katanya, “Maksudku, istana yang baru.”
“O, maksudmu kau sering bertugas dibagian
yang baru dari istana ini. Jelasnya di bangsal yang didiami oleh tuan
puteri Ken Umang dan yang lain yang didiami oleh tuanku Tohjaya.”
“Ya. ya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Dan kau sekarang mendapat tugas baru disini.”
“Ya. menurut panglima, sudah saatnya kita
saling bertukar tempat di dalam tugas kami, agar kami tidak selalu
berada di tempat yang sama sepanjang kami menjadi prajurit.”
“Bagus. Itu adalah usaha yang bagus
sekali,” berkata Mahisa Agni, “nah, bertugaslah dengan baik. Aku akan
berjalan-jalan sebentar.”
“Berjalan-jalan?” prajurit itu menjadi heran, “sudah terlampau malam tuan masih akan berjalan-jalan.”
“Malam?” bertanya Mahisa Agni, “kau ini
seperti seekor ayam saja,” berkata Mahisa Agni sambil tertawa, “baru
saja senja tenggelam. Biasanya aku keluar hampir sampai tengah malam.
Bahkan kadang-kadang lebih.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat mencegahnya.
Demikianlah para prajurit itu hanya dapat
memandangi langkah Mahisa Agni yang menyusup kedalam gelap. Namun
demikian rasa-rasanya mereka telah mengabaikan tugas mereka jika mereka
tidak tahu, kemana Mahisa Agni itu pergi.
Karena itu, maka pemimpin peronda itu pun memerintahkan seseorang untuk mengawasi kemana Mahisa Agni itu pergi.
Namun ternyata bahwa orang itu kurang
dapat menguasai keadaan. Ia tidak memperhitungkan kemampuan Mahisa Agni
sehingga dengan mudah Mahisa Agni dapat, mengetahui bahwa seseorang
telah mengikutinya.
Prajurit yang mengikuti itu menjadi
bingung ketika tiba-tiba saja orang yang harus diawasinya itu hilang.
Mahisa Agni yang berjalan perlahan-lahan di dalam kegelapan itu
tiba-tiba saja seperti dapat lenyap menembus bumi.
“Gila,” desis prajurit itu, “dimanakah orang itu bersembunyi?”
Dengan hati-hati ia melangkah mendekati
gerumbul yang ada didekat tempat Mahisa Agni menghilang. Namun ketika ia
sampai ditempat itu, ternyata ia tidak menjumpai seorang-pun.
“Aneh,” desisnya, “apakah aku sedang mengikuti sesosok hantu?”
Namun dengan demikian hatinya menjadi
berdebar-debar. Seakan-akan ia benar-benar berhadapan dengan hantu yang
dapat menghilang dan kemudian menampakkan diri.
Ketika ia sudah yakin bahwa ia tidak akan
dapat menemukan Mahisa Agni, maka dengan kesal ia pun meninggalkan
tempat itu. Dengan tergesa-gesa ia berjalan kembali ke tempat tugasnya
dengan berbagai macam perasaan yang kisruh.
Tetapi hampir terlonjak prajurit itu
ketika ia melihat seseorang berjalan sambil menyilangkan tangannya di
punggung. Selangkah demi selangkah, seakan-akan tidak menghiraukan apa
pun lagi.
“Tuan,” prajurit itu menyapanya.
“O, siapa kau?”
“Bukankah tuan Mahisa Agni?”
“Ya, kenapa? Aku ingin berjalan-jalan. He, apakah kau prajurit yang bertugas di regol bangsalku?”
“Ya tuan.”
“Kenapa kau disini? Bukankah kau masih
ada di regol ketika aku berangkat berjalan-jalan? Dan kenapa tiba-tiba
saja kau sudah berada disini?”
Orang itu menjadi bingung. Seharusnya
ialah yang bertanya kepada Mahisa Agni. Namun justru kini Mahisa Agni
lah yang bertanya kepadanya.
“He, kenapa kau diam saja?” desak Mahisa Agni.
“Tidak, maksudku aku memang berjalan-jalan.”
“Akulah yang berjalan-jalan bukan kau.”
“O,” orang itu menjadi semakin bingung, “maksudku tuan, aku juga berjalan-jalan untuk mengendorkan ketegangan.”
Mahisa Agni memandangi prajurit itu
sejenak. Namun ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Aku memang
sudah ketinggalan. Agaknya memang sudah menjadi peraturan, bahwa setiap
prajurit yang sedang bertugas diperkenankan berjalan-jalan untuk
mengendorkan ketegangan, sekaligus dengan membawa senjatanya sekali.”
Terasa dada prajurit itu berdesir. Ia
merasa sindiran yang halus tetapi tepat mengenai sasarannya. Meskipun
begitu prajurit itu tidak dapat berbuat apapun juga. Sehingga karena
itu, maka jawabnya, “Hanya suatu kesempatan tuan. Bukan peraturan.”
Mahisa Agni menepuk bahu prajurit itu
sambil berkata, “Cepat, kembali kepada tugasmu. Itu jika kau sudah
selesai mengendorkan ketegangan?”
“Ah.”
“Tetapi ketegangan apakah sebenarnya yang mencengkammu.”
Prajurit itu tidak menjawab. Karena itu,
maka Mahisa Agni pun berkata, “Baiklah, cepat kembali. Mungkin
kawan-kawanmu memerlukan kau.”
Prajurit itu pun kemudian dengan
tergesa-gesa kembali kedalam biliknya. Namun disepanjang langkahnya, ia
tidak henti-hentinya bertanya-tanya kepada diri sendiri, bagaimana dapat
terjadi, bahwa Mabisa Agni yang diikutinya itu begitu saja telah hilang
dan yang tanpa diduga-duganya ditemuinya di jalan kembali kegardunya.
“Benar-benar anak iblis,” katanya di dalam hati, “tentu bukan manusia biasa yang dapat melakukannya.”
Ketika prajurit itu sampai di regol
halaman bangsal Mahisa Agni, maka ia pun segera menceriterakan
pengalamanya itu kepada kawan-kawannya. Sebagian dari mereka menjadi
terheran-heran dan berkata, “Itulah sebabnya, ia diangkat menjadi
Senapati Agung di Kediri.”
Namun pemimpin peronda itu berkata, “Kau tentu dibayangi oleh ketakutan saja.”
“Omong kosong. Selagi ia masih berdiri di
atas tanah ia tidak akan dapat melenyapkan dirinya. Percayalah bahwa ia
tidak lebih dari seorang prajurit biasa. Hanya kesempatan sajalah yang
membuatnya menjadi orang terkemuka di Singasari. Jangan kau sangka bahwa
tidak ada orang lain yang memiliki kelebihan tetapi belum mendapat
kesempatan. Sebenarnya aku ingin melihat dan bahkan mengalami, betapa
tingginya ilmu orang yang bernama Mahisa Agni dan juga orang yang
bergelar Kesatria Putih itu.”
“Putera Mahkota?” bertanya seorang kawannya.
“Ya, Putera Mahkota. Ceritera tentang mereka sama dahsyatnya. Tetapi aku belum pernah melihat kebenaran dari ceritera itu.”
“Semua orang pernah mendengar bahwa Mahisa Agni pernah membunuh Senapati Agung dari Kediri.”
“Dan siapakah yang mengetahui sebenarnya,
betapa tinggi ilmu Senapati Agung Kediri itu? Mungkin yang disebut
Senapati Agung Kediri itu tidak lebih tangguh dari kau atau salah
seorang prajurit yang memiliki sedikit kelebihan. Nah, bukankah dengan
demikian kemenangannya itu bukan ukuran dari keperwiraannya.”
“Ah,” berkata prajurit yang lain, “kau
jangan mencoba ingkar. Kau tentu mengetahui bahwa Kesatria Putih pernah
membunuh beberapa orang yang ternyata adalah prajurit-prajurit Singasari
dan melemparkan senjata mereka di muka pintu gerbang?”
“Aku berkata tentang Mahisa Agni,” sahut pemimpin peronda itu.
“Tetapi bukankah kau juga menyebut Kesatria Putih.”
Pemimpin prajurit yang sedang berjaga-jaga itu tidak menyahut.
“Dan kau tentu juga mengetahui, bahwa
Putera Mahkota itu adalah anak kemenakan Mahisa Agni. Ilmu yang
dimilikinya pun tentu keturunan ilmu Mahisa Agni.”
Pemimpin peronda itu masih tetap berdiam diri.
Kawannya pun tidak berkata lebih lanjut.
Mereka untuk beberapa lamanya saling berdiam diri dan duduk berserakan,
selain yang bertugas di depan tangga bangsal.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang
berjalan-jalan di halaman melintasi gerumbul-gerumbul bunga mendekati
bangsal Anusapati. Namun ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan pada para
prajurit yang bertugas. Karena itu, ia berusaha untuk berlindung di
balik dedaunan.
Seperti yang dikatakan oleh Sumekar,
memang di halaman istana malam itu ada beberapa kesibukan. Tetapi
menurut perhitungan Mahisa Agni tentu belum akan dilakukan malam ini. Ia
melihat prajurit yang terpencar-pencar, dan sama sekali tidak ada
pemusatan yang lebih besar di dalam maupun di luar istana.
Meskipun demikian, Mahisa Agni memang
tidak boleh lengah. Itulah sebabnya, maka ia ingin dapat bertemu dengan
Witantra, Kuda Sempana dan Mahendra. Karena mereka tidak mempunyai
pasukan yang cukup apabila diperlukan, dan memang hal itu sama sekali
bukan menjadi tujuan Mahisa Agni, maka ia masih berusaha untuk menemukan
jalan lain yang lebih baik.
Setelah beberapa lama ia mengamat-amati
bangsal Anusapati, maka Mahisa Agni itu pun segera meninggalkan
tempatnya dan kembali ke bangsalnya sebelum para penjaganya menjadi
curiga pula.
“Siapa lagi yang sedang berjalan-jalan?” bertanya Mahisa Agni ketika ia sampai di muka regol bangsalnya.
Beberapa orang prajurit menjadi
termangu-mangu. Tetapi prajurit yang mengetahui sindirian itu pun
menjadi tersipu-sipu. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Karena tidak ada seorang pun dari mereka
yang menjawab, maka Mahisa Agni itu pun kemudian berkata,
“Baik-baiklah di dalam tugas kalian. Aku selalu berterima kasih kepada
kalian, karena keselamatanku tergantung kepada kalian malam ini. Selamat
malam.”
Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa Mahisa Agni adalah seorang pemimpin yang ramah.
Hampar diluar sadarnya ia menjawab
seperti kepada seorang sahabatnya yang karip, tidak seperti terhadap
seorang Senapati Agung, “Baiklah, selamat malam.”
Pemimpin peronda itu terkejut sendiri
atas jawabannya itu. Tetapi ia tidak sempat mengulanginya karena Mahisa
Agni pun telah melangkah meninggalkannya.
Pemimpin peronda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “jarang sekali terdapat Senapati besar seramah
Mahisa Agni.” Namun tiba-tiba ia menyambung dengan serta-merta, “Tetapi
itu bukan karena kebaikan hati. Itu adalah karena ia merasa bahwa ia
tidak lebih dari seorang anak Padepokan di Panawijen.”
Para prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Seperti terbangun dari mimpi mereka. Mereka menyadari
sesungguhnya, sehingga setiap anggapan bahwa Mahisa Agni adalah seorang
yang baik akan dapat mengurangi kesungguhan mereka menjalankan tugas
itu.
Ternyata belum lagi Mahisa Agni menutup
pintu bangsalnya rapat, ternyata seorang Senapati yang lain telah
mendatangi regol itu. Kepada pemimpm prajurit yang bertugas ia berkata,
“Aku mengemban tugas Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”
Pemimpin peronda itu mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Silahkan. Baru saja tuan Mahisa Agni masuk ke dalam bangsal.”
“Baru saja?” bertanya perwira itu.
“Ya.”
“Darimana?”
“Sekedar berjalan-jalan di dalam halaman ini.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apakah tidak ada seorang pun yang mengikutinya?”
“Hanya di halaman ini.”
“Ya, tetapi setidak-tidaknya kalian tahu apa yang dilakukan di halaman ini.”
“Seorang dari kami mengikutinya dari
kejauhan. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa,” jawab pemimpin peronda itu
sambil memandang kepada prajurit yang mengikuti Mahisa Agni tetapi
gagal.
Prajurit itu tidak membantah, meskipun dadanya terasa bergetaran.
“Baiklah,” berkata perwira itu, “aku akan bertemu dengan Mahisa Agni atas perintah Sri Rajasa.”
“Silahkan. Tentu tuan Mahisa Agni masih belum masuk kedalam biliknya.”
Perwira itu pun kemudian naik tangga bangsal Mahisa Agni. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu bangsal itu.
“Siapa?” bertanya Mahisa Agni yang ternyata masih duduk di ruang dalam.
“Aku, utusan Sri Rajasa.”
Mahisa Agni terkejut. Jarang sekali
terjadi, utusan Sri Rajasa datang di malam hari. Hanya apabila ada
persoalan yang sangat penting sajalah, maka ia dipanggil menghadap di
malam hari.”
Namun demikian, Mahisa Agni harus
melakukan apapun bunyi perintah itu. Meskipun demikian ia menjadi
berdebar-debar, karena ia sudah terlanjur menyuruh Sumekar membawa
Witantra dan kawan-kawannya masuk ke dalam bangsalnya lewat pintu
butulan di belakang.
Dengan ragu-ragu Mahisa Agni melangkah
mendekati pintu. Ada juga kecurigaan yang bergejolak di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun harus berhati-hati. Ia tidak tahu pasti, berapa
orangkah yang datang pada saat itu. Dan apakah hal itu ada hubungannya
dengan sikap para prajurit-prajurit di regol yang mencoba mengikutinya?
Perlahan-lahan Mahisa Agni meraba pintu bangsalnya. Kemudian dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia membuka pintu itu.
Mahisa Agni menarik nafas ketika ia melihat seorang perwira berdiri dimuka pintu, dan yang kemudian menganggukkan kepalanya.
“O, kau,” sapa Mahisa Agni, “silahkan masuk.”
Perwira itu melangkah masuk kedalam.
Kemudian mereka pun duduk di atas dingklik kayu yang dialasi dengan
kulit domba berwarna hitam.
“Kakang Mahisa Agni,” berkata perwira itu, “kedatanganku kemari sekedar menjalankan perintah Sri Rajasa.”
“Ya. Apakah perintah itu.”
“Kakang Mahisa Agni,” berkata perwira
itu, “besok di bangsal paseban dalam akan diadakan sidang terbatas.
Kakang diharap hadir di dalam sidang itu.”
“O, sidang terbatas?”
“Ya, ada sesuatu yang harus segera diselesaikan. Karena itu kakang diharap hadir di dalam sidang itu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Firasatnya tiba-tiba saja telah menyentuh perasaannya. Karena itu, maka
ia mengambil kesimpulan di dalam hatinya, “Tentu ada sesuatu yang
benar-benar penting. Bukan saja bagi Singasari, tetapi juga bagi
Anusapati.”
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat
memperhitungkan sikap apakah yang akan diambil oleh Sri Rajasa. Karena
itu, maka ia tidak segera melihat kemungkinan yang dapat dilakukan. Agar
perwira itu segera pergi meninggalkan bangsalnya maka ia pun kemudian
menjawab, “Perintah Sri Rajasa aku junjung-tinggi. Besok aku akan
menghadap di paseban dalam.”
“Baiklah kakang. Aku hanya menyampaikan perintah.”
“Dan perintah itu sudah aku terima.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang ia hanya mendapat tugas untuk menyampaikan perintah,
dan perintah itu memang sudah diterima.
Karena itu maka perwira itu pun segera
minta diri. Dan itulah memang yang dikehendaki oleh Mahisa Agni. Semakin
cepat menjadi semakin baik.
Sepeninggal perwira itu, maka Mahisa Agni
pun menarik nafas dalam-dalam. Sebentar lagi beberapa orang akan
memasuki bangsalnya. Karena itu, maka tidak boleh ada orang lain lagi
yang akan memasuki bangsalnya.
Mahisa Agni pun kemudian pergi ke ruang
depan. Meskipun pintu bangsal itu sudah tertutup, tetapi dari luar masih
tampak di sela-sela dinding, bahwa lampunya masih menyala dengan
terangnya. Karena itu, maka Mahisa Agni pun kemudian memadamkan lampu
itu sama sekali.
Beberapa orang prajurit yang bertugas
didepan bangsal itu pun segera melihat, bahwa ruang depan bangsal Mahisa
Agni itu sudah menjadi gelap.
“Mahisa Agni itu sudah akan pergi tidur,” berkata salah seorang prajurit.
“Ya, ternyata ia sendirilah yang seperti ayam,” jawab prajurit yang lain.
“Kenapa seperti ayam?”
“Bukankah ketika kita bertanya, apakah ia
akan berjalan malam-malam begini ia menjawab, bahwa kita ini seperti
ayam saja, yang sudah pergi tidur sejak senja turun.”
Kawan-kawannya pun tertawa. Katanya, “Memang sudah cukup malam untuk pergi tidur.”
Yang lain pun terdiam. Mereka memang menyangka bahwa Mahisa Agni akan segera pergi tidur.
Namun tidak seorang pun dari mereka yang
mengetahui, apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni itu. Mereka tidak
menyangka bahwa akan ada beberapa orang yang dengan diam-diam memasuki
halaman bangsal itu dan kemudian memasuki bangsal Mahisa Agni dari
belakang.
Sejenak Mahisa Agni masih menunggu. Tetapi ia yakin bahwa orang-orang itu pasti akan datang menemuinya.
Ternyata Mahisa Agni tidak perlu menunggu
terlampau lama. Sejenak kemudian ia mendengar pintu butulan di belakang
berderit, dan muncullah beberapa orang memasuki bangsalnya.
“O,” bisik Mahisa Agni, “aku sudah menduga bahwa kalian pasti akan datang.”
Witantra tertawa. Katanya, “Kami merasa
wajib datang malam ini seperti yang kau kehendaki. Jika tidak perlu
sekali maka kau tentu tidak akan memanggil kami bersama-sama.”
“Sebenarnya tidak perlu sekali. Tetapi
memang aku memerlukan kalian di dalam keadaan seperti ini. Aku kira kita
memang sudah mulai memanjat kepuncak persoalannya sehingga semuanya
akan segera berakhir. Karena itu, maka kita ini pun harus segera
mengambil sikap.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Kami sadar akan hal itu.”
“Tetapi dimana Sumekar?” bertanya Mahisa Agni.
“Ia mengantar sampai kebelakang bangsal ini. Tetapi ia berkata bahwa ia ingin pergi untuk suatu keperluan sebentar.”
“He?” Mahisa Agni menjadi heran, “kemana?”
“Kami tidak tahu. Tetapi katanya hanya sebentar saja.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah sambil menunggu Sumekar, aku ingin
berbicara sedikit. Ternyata bahwa Sri Rajasa sudah menyiapkan sebuah
kekuatan untuk melaksanakan niatnya yang barangkali dengan kekerasan. Ia
tidak dapat menghindar lagi dari tuntutan Ken Umang dan Tohjaya.”
“Memang Sri Rajasa didorong oleh keadaan
yang sulit yang hampir tidak dapat dihindari. Namun bagaimana mungkin ia
dengan tergesa-gesa mengangkat Anusapati menjadi Pangeran Pati, dan
kemudian ingin melemparkannya?”
“Ada beberapa kemungkinan. Ia ingin
menghilangkan golongan yang bagaimana pun juga masih mengagumi Tunggul
Ametung. Karena sebagian dari mereka mengetahui bahwa Anusapati adalah
putera Tunggal Ametung, maka dengan diangkatnya Anusapati maka
pengikutnya tidak akan berbuat terlampau banyak. Termasuk kau Witantra.”
Witantra tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Dan Mahisa Agni pun meneruskan, “Agaknya
kini Sri Rajasa yakin bahwa pengikut Tunggul Ametung sudah lenyap sama
sekali. Kehadiranmu dikota ini memang banyak menimbulkan persoalan.
Tetapi diantaranya mereka menganggap bahwa dendammu tertuju kepadaku.
Apalagi karena kau hanya sekali dua kali muncul dan tidak menimbulkan
kesan yang lain, maka untuk sementara Sri Rajasa mengabaikanmu.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu katanya, “Jika demikian aku dapat mengambil sikap yang lain. Aku
akan menumbuhkan kesan, bahwa aku adalah pengikut Tunggul Ametung yang
setia. Nah, bukankah dengan demikian sikap Sri Rajasa terhadap Anusapati
akan berubah?”
“Ya. Tetapi kesempatan kita agaknya terlampau sempit. Malam ini kalian harus tetap berada disini.”
“Untuk apa?”
“Jika kekerasan itu benar-benar terjadi.”
“Dan kami akan melawan segenap prajurit yang ada di halaman?”
“Tidak. Aku mempunyai cara lain. Bukan
melawan segenap prajurit yang ada dihalaman ini, tetapi kita berusaha
berbuat sebaik-baiknya tanpa menimbulkan pertempuran yang hanya akan
menimbulkan korban jiwa saja.”
Witantra mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Agni dengan pertanyaan yang memenuhi dadanya.
Mahisa Agni seakan-akan menyadari, apa
yang dipikirkan oleh Witantra. Karena itu maka katanya kemudian, “Tentu
kita tidak akan mungkin bertempur melawan segenap prajurit dan Senapati
yang ada dihalaman ini dan yang telah diatur pula oleh Sri Rajasa dan
orang-orangnya. Tetapi kita dapat menemukan cara lain. Kita langsung
berhubungan dengan Sri Rajasa.”
Witantra memandang Mahisa Agni dengan tajamnya, lalu bertanya, “Kita akan memotong langsung kepalanya?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Katanya, “Tidak ada jalan lain. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita
akan menemuinya dan menjelaskan persoalannya. Mungkin kita dapat
dianggap memaksanya. Tetapi itu adalah jalan yang terbaik.”
“Sri Rajasa bukan seorang yang mudah
menyerah kepada keadaan Agni,” berkata Kuda Sempana, “mungkin ia akan
mengatakan pendapat kita, tetapi kita tidak tahu apa yang akan dilakukan
besok.”
“Sabda seorang Maharaja tidak akan
berubah. Jika ia menolak, tentu ia akan menolak seketika itu apapun
akibatnya, tetapi jika ia mengiakannya, maka ia akan melakukannya.”
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Jika kau yang menjadi Maharaja, maka mungkin sekali
kau akan berbuat demikian. Dan mungkin juga raja-raja yang lain. Tetapi
apakah demikian pula yang akan dilakukan oleh Ken Arok yang sekarang
bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu?”
“Aku tidak tahu Kuda Sempana.
Mudah-mudahan ia seorang Kesatria sepenuhnya meskipun masa lampaunya
adalah masa lampau yang kelam.”
“Kita dapat mencoba,” berkata Mahendra,
“sementara kita menyiapkan diri. Setidak-tidaknya kita mendapat
kesempatan untuk menyelamatkan Putera Mahkota, dan membawa kesuatu
tempat yang terpencil dan aman. Tentu Sri Rajasa tidak dapat menutup
mata, bahwa Putera Mahkota Sebagai Kesatria Putih akan dengan mudah
mendapat pengikut apabila Sri Rajasa benar-benar ingkar akan janjinya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Itu adalah pendapat yang baik. Demikian Sri Rajasa
menyanggupi untuk mengambil sikap yang pasti bagi Putera Mahkota, maka
kita akan menyingkirkan Putera Mahkota itu sejauh-jauhnya sementara kita
menunggu perkembangan. Putera Mahkota akan kembali ke istana tanpa
melanggar haknya dan hak orang lain, sementara Sri Rajasa tidak akan
dapat berbuat apapun lagi, karena persiapan Putera Mahkota pun telah
matang.”
“Ya. Kita akan mencobanya. Mudah-mudahanan kita hanya sekedar berprasangka.”
“Kau terlampau lembut. Tetapi
mudah-mudahan kau benar. Namun seandainya harus terjadi, kita sudah
siap. Kita akan langsung mendapatkan Sri Rajasa, dan jika perlu menembus
barisan pengawalnya.”
“Apaboleh buat,” sahut Mahisa Agni. Lalu,
“Sekarang, kalian dapat beristirahat disini. Aku menjamin bahwa tidak
akan ada orang lain yang mengetahuinya. Biarlah kita menunggu Sumekar.
Mungkin ia sedang mengamat-amati perkembangan baru di halaman istana
ini.”
“Aku ingin juga keluar sebentar. Aku akan berhati-hati,” berkata Witantra.
“Kita menunggu Sumekar sejenak.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Mahisa Agni berkata seterusnya, “Aku besok dipanggil di bangsal paseban.”
Witantra memandang Mahisa Agni sejenak. Lalu, “Tidak ada penjelasan lagi?”
“Tidak.”
“Dan dihalaman ini terjadi kesibukan malam ini?”
“Sedikit. Aku tidak melihat bahaya yang
menentukan. Namun aku tidak tahu, bahwa timbul firasatku bahwa justru
paseban besok akan menentukan sesuatu sehubungan dengan kegiatan malam
ini.”
“Kita memang harus mengamati keadaan.
Mungkin sekali terjadi. Justru ketika kau berada di paseban, para
prajurit mengambil tindakan terhadap Putera Mahkota. Tentu tidak
mengetahuinya.”
“Akupun menduga demikian. Jika tidak,
tentu tidak akan ada kegiatan yang melampaui kebiasaan dan sehubungan
dengan sikap dan penglihatan Sumekar, bahwa yang terjadi halaman ini
tidak pernah dilihatnya sebelumnya.”
“Tentu ada hubungannya.”
“Dan aku pun ternyata diikuti oleh seorang prajurit ketika aku berjalan-jalan di halaman.”
Witantra dan kedua kawan-kawannya saling
berpandangan. Seakan-akan mereka telah menjadi yakin, bahwa sesuatu
memang akan terjadi. Karena itulah maka Witantra pun berkata, “Baiklah
aku mengamati keadaan. Mungkin kita haras bertindak cepat. Aku akan
memberikan isyarat dari kejauhan dan kalian harus segera pergi ke
bangsal Sri Rajasa.”
“Tetapi hati-hatilah. Aku pun akan menengok bangsal Anusapati,” jawab Mahisa Agni.
“Jika demikian,” berkata Kuda Sempana
kemudian, “kita berada di luar bangsal ini saja, karena agaknya memang
lebih aman. Kita mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu.”
“Baiklah,” berkata Mahisa Agni, “tetapi kita menunggu Sumekar sejenak. Kita mendengar pendapatnya.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Tetapi jangan terlalu lama. Hari menjadi semakin malam.”
“Tentu tidak lama,” Kuda Sempana lah yang menyahut, “ia hanya akan singgah sejenak. Dan ia pun akan segera menyusul kemari.”
Sejenak mereka saling berdiam diri.
Mereka menunggu kedatangan Sumekar yang memisahkan dirinya ketika mereka
memasuki halaman istana.
“Lama sekali,” desis Mahendra.
“Mungkin ia singgah ke gubugnya.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam.
Namun tiba-tiba saja mereka dikejutkan
oleh guruh yang seakan-akan meledak di atas istana. Begitu kerasnya dan
mengejutkan segenap bangunan yang ada dilingkungan halaman istana serasa
bergetar karenanya.
“Mengejutkan,” desis Kuda Sempana.
Witantra mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Bukankah ketika kita memasuki halaman ini, langit nampaknya bersih?”
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya.
Namun mereka pun kemudian mendengar angin yang menderu, seakan-akan
semakin lama menjadi semakin keras.
“Angin,” desis Mahendra, “agaknya hujan memang akan turun.”
Mahisa Agni hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Tetapi tiba-tiba saja terasa dadanya berdesir ketika ia
melihat kain-kain selintru bergetar oleh angin yang menyusup dinding. Bahkan terasa pada kulit tubuh mereka, angin yang basah berhembus melintasi ruangan.
Sekali lagi mereka mendengar guruh di
langit. Suaranya menggelegar berkepanjangan, seperti sebuah pedati
raksasa yang lewat dijalan langit yang berbatu-batu. Panjang sekali.
Orang-orang yang ada di dalam bangsal itu
menaiik nafas dalam-dalam. Terasa udara malam menjadi asing. Angin yang
berhembus rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin kencang.
“Musim hujan memang sudah tiba,” berkata Mahendra.
“Tetapi belum waktunya angin dan guntur bersahut-sahutan di langit,” sahut Witantra.
“Memang kadang-kadang terjadi kelainan
seperti ini,” berkata Mahisa Agni, “ketika Akuwu Tunggul Ametung masih
memerintah pernah juga terjadi hujan di kelainan musim. Tiga hari tiga
malam. Kemudan pada masa pemerintahan Sri Rajasa pun pernah juga
terjadi.”
“Ingatanmu baik sekali Mahisa Agni.”
“Kebetulan saja bersamaan waktunya dengan
kejadian besar yang tidak dapat aku lupakan. Mungkin masih banyak
terjadi kelainan musim. Tetapi aku sudah tidak ingat lagi.”
“Kejadian besar yang manakah yang kau maksudkan?” bertanya Witantra.
“Yang pertama menurut ingatanku, yaitu
pada saat pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung adalah saat-saat menjelang
akhir pemerintahannya. Hujan turun beberapa hari. Tetapi waktu itu kita
tidak menghiraukannya, karena musim hujan memang sudah diambang pintu.”
“Seperti saat ini.”
“Ya, seperti saat ini.”
“Dan pada masa pemerintahan Sri Rajasa?”
“Tiba-tiba saja hujan turun seperti dicurahkan dari langit.”
“Ya. Bersamaan waktunya dengan peristiwa yang mana?”
“Menjelang gugurnya Sri Kertajaya Maharaja di Kediri.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Pantas kau dapat mengingatnya. Sebenarnya yang kau ingat bukan
hujan dan angin, tetapi peristiwa- peristiwa besar itulah agaknya.”
“Sudah aku katakan. Mungkin musim yang salah itu sering terjadi. Tetapi tentu aku tidak dapat mengingatnya lagi.”
Mereka pun terdiam ketika mereka
mendengar guruh sekali lagi mengumandang di langit. Seleret cahaya yang
terang benderang telah membelah kegelapan malam, disambut oleh suara
angin yang gemerasak di dedaunan.
“Angin pun ikut berbicara bersama kita. Kau dengar?” bertanya Mahendra.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun tampaklah wajah Witantra menjadi bersungguh-sungguh. Sambil
menganggukkan kepalanya ia berkata, “Kadang-kadang kejadian-kejadian
besar memang ditandai oleh peristiwa alam yang agak lain dari urutan
musimnya.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Witantra sejenak. Lalu, “Apakah ada sesuatu terasa dihatinya.”
“Semacam firasat buruk,” Kuda Sempana lah yang menyahut.
“Ya,” berkata Mahendra pula. “Ada sesuatu yang lain dihati ini.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Inikah pertanda itu?” ia terdiam sejenak, lalu, “jika demikian
tinggallah kalian disini. Aku akan pergi ke bangsal Anusapati.”
Witantra termenung sejenak. Lalu, “Kenapa kau? Kenapa bukan aku?”
“Aku lebih leluasa bergerak di halaman istana ini.”
Witantra tidak segera menyahut. Tetapi
sepercik cahaya telah memancar lagi. Terang sekali, diiringi suara guruh
yang menggelegar dilangit.
Belum lagi suara guruh itu lenyap, terdengar sesuatu yang mendebarkan jantung. Perlahan-lahan pintu butulan telah diketuk orang.
“Sumekar,” desis Mahisa Agni.
Mahendra pun kemudian berdiri. Dengan
hati-hati ia menarik selarak. Ketika pintu terbuka sedikit, mereka yang
ada di dalam ruangan itu pun terkejut bukan kepalang. Ternyata yang
datang sama sekali bukan Sumekar, tetapi Anusapati.
“Kau Anusapati?” bertanya Mahisa Agni perlahan-lahan.
Anusapati tidak menjawab, Ia pun kemudian
melangkah masuk dengan ragu-ragu. Dilihatnya beberapa orang yang sudah
ada diruangan itu.
“Duduklah.”
Anusapati menganggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Dimanakah paman Sumekar?”
Pertanyaan itu mengejutkan Mahisa Agni dan orang-orang yang ada di dalam bilik bangsal itu.
“Pamanmu Sumekar tidak ada disini,” jawab Mahisa Agni, “kami memang sedang menunggunya.”
“Baru saja paman Sumekar datang kepadaku.”
“O,” kata-kata itu sangat menarik perhatian. Lalu, “dimana ia sekarang?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku sedang mencarinya kemari. Menurut paman Sumekar, ia akan pergi ke bangsal ini.”
“Ia belum datang. Mungkin ia singgah di
tempat tinggalnya atau keperluan lain. Sebentar lagi ia akan datang.
Karena ia pun menyatakan kepada kami, bahwa ia akan segera datang.”
Anusapati memandang Mahisa Agni dengan
heran. Katanya, “Paman Sumekar mengatakan kepadaku, bahwa paman
menyuruhnya pergi kepadaku.”
“Aku?”
“Ya paman.”
“Kenapa aku? Dan apa katanya?”
“Paman menyuruh paman Sumekar kebangsalku dan dengan diam-diam menemui aku, karena paman ingin melihat keris Empu Gandring itu.”
“Keris Empu Gandring?”
“Ya. Paman Sumekar telah membawa keris itu, yang menurut paman Sumekar akan diserahkannya kepada paman Mahisa Agni.”
Jawaban itu telah mengguncangkan dada
Mahisa Agni dan orang-orang yang ada diruangan itu, sehingga Witantra
bergeser setapak. “Jadi, keris itu sekarang dibawa oleh Sumekar.”
“Ya.”
Terasa sesuatu bergejolak di setiap dada.
“Bagaimana paman,” bertanya Anusapati, “apakah tidak demikian?”
“Katakan Anusapati, bagaimana hal itu terjadi.”
Anusapati menjadi gelisah. Katanya,
“Paman Sumekar datang kepadaku dengan diam-diam. Paman Sumekar membawa
pesan paman Mahisa Agni untuk membawa keris itu. Karena paman Mahisa
Agni ingin melihatnya.”
“Bukankah aku pernah melihat keris itu?”
“Ya, tetapi menurut paman Sumekar, paman
Mahisa Agni ingin melihat lebih cermat lagi, apakah keris itu
benar-benar keris Empu Gandring.”
“Ah,” Mahisa Agni berdesah.
“Jadi, apakah tidak demikian?” bertanya Anusapati.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. “Ia
sama sekali menduga bahwa tiba-tiba terjadi suatu hal yang tidak dapat
dimengertinya. Sumekar selama ini tidak menimbulkan kecurigaan sama
sekali. Namun tiba-tiba ia telah berbuat sesuatu yang tentu mendebarkan
jantung.”
“Tetapi tentu bukan maksudnya untuk
mencelakakan Anusapati, justru selama ini ia menunjukkan betapa ia ingin
berbuat sesuatu untuk Anusapati.”
Ternyata pikiran itu justru telah
mengejutkan Mahisa Agni sendiri. Sekali lagi diulanginya di dalam
hatinya, “Sumekar ingin berbuat sesuatu untuk Anusapati.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi, bagaimanakah sebenarnya paman?” desak Anusapati.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni
kemudian. Dengan hati-hati ia ingin menjelaskan masalahnya, “Aku tidak
memberikan pesan itu kepada pamanmu Sumekar.”
“Jadi apakah maksud paman Sumekar?”
Mahisa Agni memandang wajah Witantra,
Kuda Sempana dan Mahendra berganti-ganti. Sebelum ia berkata sesuatu,
Kuda Sempana telah berdesis, “Memang mengherankan. Tetapi juga
mencemaskan.”
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “selama
ini Sumekar telah berbuat sebaik-baiknya bagimu. Selama ini ia berusaha
untuk membantumu jika kau berada di dalam kesulitan. Karena itu, jika
ia membawa keris itu, tentu maksudnya sama sekali tidak diarahkan
kepadamu. Namun demikian, kita masih juga tetap meraba-raba. Karena itu,
marilah kita mencarinya. Mungkin kau dapat mencarinya ke sekitar
bangsal ayahandamu. Tetapi ingat, dengan diam-diam. Aku akan mencarinya
di tempat lain yang lebih berbahaya, di daerah seberang dinding. Siapa
tahu, Sumekar pergi kebangsal Ken Umang dan Tohjaya dengan keris itu di
tangan. Jika kita bertemu dengan Sumekar, maka cobalah membujuknya.
Bawalah ia ke bangsal ini. Katakan bahwa pamanmu Kuda Sempana
menunggunya, karena pamanmu Kuda Sempana adalah saudara tua seperguruan
dari pamanmu Sumekar.”
“Baiklah paman. Aku akan mencoba mencarinya.”
“Hati-hatilah. Jangan sampai terjadi
sesuatu yang tidak kita kehendaki, meskipun agaknya persiapan di dalam
istana ini menjadi semakin meningkat.”
“Itulah yang akan aku katakan kepada
paman Sumekar, agar ia menjadi berhati-hati, karena menurut
pengamatanku, ada beberapa kelainan di halaman istana ini.”
“jika demikian, apakah aku juga dapat ikut mencarinya?” bertanya Witantra.
“Ada juga baiknya. Tetapi aku harap Kuda
Sempan dan Mahendra tetap berada di bangsal ini. Aku kira tidak akan ada
orang yang akan memasukinya. Jika ada, tentu orang itu membawa tugas
rahasia.”
“Baiklah paman. Aku akan mencarinya.”
“Marilah kita pergi. Berhati-hatilah. Aku
juga harus berhati-hati, karena di bangsal Tohjaya itu kini mendapat
penjagaan yang sangat kuat.”
“Aku akan mencarinya di tempat lain dari kedua tempat itu.”
Demikian, seorang demi seorang, Mahisa
Agni, Witantra dan Anusapati meninggalkan bangsal itu. Sebelum Anusapati
mengikuti pamannya keluar dari pintu butulan, Kuda Sempana masih sempat
berpesan. “Tuanku Putera Mahkota, Sumekar sebenarnya adalah seorang
yang keras hati. Karena itu, jika tuanku bertemu, katakan bahwa tuanku
mendapat pesan daripadaku, bahwa aku akan menemuinya sejenak tanpa
merubah rencananya.”
“Baiklah paman. Mudah-mudahan aku dapat menemuinya.”
“Silahkan. Tetapi seperti pesan paman tuanku, berhati-hatilah. Agaknya persiapan yang meningkat ini diarahkan kepada tuanku.”
“Sebenarnya aku memang sudah menduga
paman. Tetapi agaknya Pamanda Mahisa Agni terlampau mempercayai
kelembutan hati manusia yang lain seperti dirinya sendiri. Seakan-akan
didunia ini memang tidak ada kedengkian dan kepalsuan.”
“Sukurlah jika tuanku sudah menyadarinya.”
“Tetapi jika mereka benar-benar bertindak
malam ini, agaknya aku sudah terlambat. Kecuali meninggalkan istana
ini, hanya seorang diri, tanpa anak dan isteriku.”
“Sekarang, silahkan angger mencari
Sumekar. Memang agaknya lebih aman di sekitar bangsal Sri Rajasa, justru
karena Sri Rajasa memiliki kelebihan dari orang lain, sehingga tidak
memerlukan penjagaan sekuat bangsal ibunda Ken Umang dan adinda tuanku
Tohjaya.”
“Terima kasih paman. Aku minta diri.”
Anusapati pun kemudian dengan hati-hati
meninggalkan bangsal itu lewat halaman belakang yang sepi. Dengan
lincahnya ia meloncat ke atas dinding batu yang tinggi dan kemudian
hilang dibalik dinding itu.
Dalam pada itu, maka tiga orang yang
tanpa diketahui oleh para penjaga, telah menyusup di antara
gerumbul-gerumbul pohon bunga dihalaman. Yang seorang menuju kebangsal
Sri Rajasa, yang memang tidak begitu banyak mendapat penjagaan, justru
karena setiap orang yakin, bahwa Sri Rajasa memiliki kelebihan yang
tidak dimiliki oleh orang lain, serta atas perhitungan bahwa tentu tidak
akan ada seorang pun yang berani mengganggunya, sedang yang seorang
lagi pergi kebangsal di bagian lain dari istana Singasari, yaitu bangsal
Ken Umang dan Tohjaya serta adik-adiknya. Kemudian Witantra mencoba
mencari di bagian lain dihalaman istana itu. Mungkin justru Sumekar
menjumpai bahaya di perjalanannya menuju ke bangsal Mahisa Agni.
Sementara itu guntur di langit masih juga
terdengar sekali-kali meledak memekakkan telinga. Angin yang kencing
bertiup di antara dedaunan, sehingga lampu yang sudah dinyalakan di
halaman dan di gardu-gardu bagaikan diguncang-guncang, sehingga
kadang-kadang sinarnya menjadi amat redup dan bahkan hampir padam.
“Suasananya terasa aneh sekali,” gumam
seorang prajurit, “guntur dan guruh tiba-tiba saja berkejar-kejaranan di
langit yang sehari ini tampak cerah.”
“Tiba-tiba saja. Aku menjadi bertanya-tanya di dalam hati, apakah ini suatu pertanda.”
“Pertanda apa?”
“Aku tidak mengerti, kenapa kita harus
bertugas malam ini. Ini pun suatu perintah tiba-tiba seperti guruh yang
tiba-tiba saja meledak dilangit.”
“Apakah kau sama sekali tidak mengerti persoalan yang sedang berkecamuk di halaman istana ini?”
“Aku memang mendengarnya, tetapi aku ragu-ragu untuk mempercayainya.”
“Apa?”
“Besok pagi dipaseban akan ada sidang para pemimpin yang akan membicarakan kenaikan upah bagi para prajurit.”
“Ah,” prajurit yang lain berdesah.
“Apakah bukan itu yang kau maksud?”
“Tentu bukan.”
“Jadi?”
“Pertentangan yang semakin lama menjadi semakin tajam antara kedua putera Sri Rajasa.”
“Lalu, apakah hubungannya dengan kita sekarang ini?”
“Kita harus berjaga-jaga, agar tidak terjadi bentrokan terbuka antara keduanya dan para pengikutnya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara lagi.
Namun dalam pada itu, kedua prajurit itu
tidak mengerti bahwa seorang perwira sedang memperhatikan mereka.
Perwira itu kadang-kadang mengerutkan keningnya, kadang-kadang wajahnya
menjadi tegang. Tetapi kemudian sebuah senyum menghiasi bibirnya.
Katanya di dalam hati, “Tentu kalian tidak mengerti apa yang harus
kalian lakukan. Besok kalian harus menguasai keadaan jika beberapa orang
Senapati menangkap Anusapati dan Mahisa Agni di paseban. Perintah itu
baru akan datang besok pagi jika paseban sudah penuh dengan mereka yang
akan mengikuti Sidang. Dan bahkan ketika Sri Rajasa sudah duduk di
paseban itu pula.”
Tetapi Senapati yang tersenyum itu pun
tidak mengetahui bahwa dihalaman itu merayap beberapa orang yang sedang
melakukan tugas masing-masing. Dan mereka pun tidak tahu, bahwa
seseorang yang lebih dahulu dari ketiga orang yang lain pun sedang
merayap pula di antara rimbunnya pepohonan. Bukan saja sedang
mengendap-edap mencari seseorang, tetapi ternyata bahwa ia telah
menggenggam keris telanjang ditangannya.
Keris bukan sembarang keris, tetapi keris
itu pusaka yang dibuat oleh Empu Gandring. Keris yang sudah dibasahi
dengan darah Empu Gandring sendiri dan darah Akuwu Tunggul Ametung.
Sehingga dengan demikian keris yang sudah bernoda darah itu agaknya
justru telah menjadi haus. Seperti yang dipesankan oleh Empu Gandring
menjelang tarikan nafasnya yang terakhir, agar keris itu dihancurkan
saja, karena keris itu tentu akan menuntut darah orang berikutnya.
Demikianlah dengan berdebar-debar
Anusapati, Mahisa Agni dan Witantra berusaha menemukan Sumekar sebelum
terjadi apapun juga, karena dugaan mereka semakin lama menjadi semakin
kuat bahwa Sumekar akan mengambil tindakan tersendiri. Sudah sejak
beberapa lamanya, Sumekar merasa bahwa keadaan yang terkatung-katung itu
harus diakhiri dengan caranya. Dan cara itulah yang mendebarkan hati
Anusapati, Mahisa Agni dan kawan-kawannya.
Dalam pada itu Anusapati pun menjadi
semakin dekat dengan bangsal Sri Rajasa. Tetapi ia harus sangat
berhati-hati. Jika seseorang melihatnya, persoalannya tentu akan menjadi
berbeda. Dan ia tidak akan dapat ingkar lagi, seandainya para prajurit
dan kemudian Sri Rajasa sendiri menuduhnya untuk melakukan perlawanan
terhadap Ayahanda Sri Rajasa bahwa tuduhan yang lebih berat lagi, usaha
membunuh Sri Rajasa.
Atas kesadaran itu, maka Anusapati pun
menjadi semakin hati-hati. Ia sama sekali tidak berani mendekati bangsal
itu dari depan. Tetapi ia menyusur dinding batu di belakang bangsal itu
dan mendekat lewat longkangan belakang.
“Ayahanda sering menghirup udara di longkangan itu,” berkata Anusapati.
Namun ia menjadi ragu-ragu. Sri Rajasa
adalah seorang yang memiliki kemampuan tiada taranya. Jika ia berani
mendekat, maka Sri Rajasa itu tentu dapat mengetahuinya.
Karena itulah, maka untuk beberapa saat
Anusapati menjadi termangu-mangu. Namun ada semacam dorongan yang
memaksanya untuk bergerak lebih dekat lagi.
“Aku akan melihat dari kejauhan lebih
dahulu,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “agar seandainya ayahanda
benar-benar ada di dalam aku tidak terjebak oleh incarannya yang sangat
tajam.”
Demikianlah, maka Anusapati pun telah
memanjat sebatang pohon preh yang rimbun. Di dalam gelapnya malam dan
angin yang rasa-rasanya bertiup semakin kencang, tidak seorang pun yang
memperhatikan pohon preh yang bagaikan diguncang-guncang itu.
Hanya setiap kali tatit memancar dilangit, Anusapati harus melekat pada batang pohon preh itu agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Ketika Anusapati sudah berada di tempat
yang cukup tinggi, maka ia pun segera menyelusur sebatang cabang yang
besar, agar ia dapat melihat kedalam longkangan dalam.
Terasa jantung Anusapati bagaikan
berhenti berdenyut. Dari tempatnya, ia melihat seseorang telah berada di
dalam longkangan belakang bangsal Sri Rajasa. Di dalam keremangan
cahaya lampu di longkangan itu. Anusapati melihat, orang itu membawa
sebilah keris telanjang.
“Paman Sumekar,” ia berdesis.
Sejenak Anusapati justru terpukau oleh
pemandangan itu. Ia merasa sesuatu menyentuh hatinya. Sumekar berbuat
hal itu justru untuk kepertingannya, karena Sumekar sudah jemu melihat
perkembangan yang tidak menentu di istana Singasari ini.
Tetapi apakah ia akan berdiam diri saja melihat tindakan Sumekar itu?
Tiba-tiba sesuatu terbersit di dalam
hatinya. Sebagai manusia biasa Anusapati tidak terlepas dari gangguan
kepentingan diri. Itulah sebabnya telah terjadi semacam benturan di
dalam dirinya. Seperti yang dipesankan oleh pamannya, bahwa sebaiknya ia
berusaha membujuk Sumekar untuk kembali ke bangsal Mahisa Agni, namun
di dalam hatinya yang paling dalam ia berkata kepada diri sendiri.
“Apakah aku sudah melanggar pesan paman Mahisa Agni jika aku membiarkan
paman Sumekar melakukan usahanya untuk menyingkirkan Ayahanda Sri
Rajasa? Bukankah aku bukan sanak dan bukan kadangnya.”
Anusapati justru menjadi ragu-ragu.
Namun sesuatu yang mendesak di dalam
hatinya justru pengaruh pertentangannya dengan Ayahanda Sri Rajasa.
Persiapan-persiapan yang menjadi semakin ketat di dalam istana
Singasari. Dan apalagi ketika terbersit tanggapannya, “Ayahanda
mempersiapkan semuanya ini untuk menyingkirkan aku. Tentu bukan sekedar
menyingkirkan saja dari istana Singasari ini, tetapi tentu juga
mengancam jiwanku.” lalu tiba-tiba ia bergumam, “selagi Ayahanda Sri
Rajasa masih ada, maka ancaman maut itu tidak akan dapat aku hindarkan.
Tetapi apakah aku tidak berhak membela diriku? Dan jika perbuatan paman
Sumekar itu merupakan perlindungan bagi jiwaku tanpa berbuat langsung,
itu aku dapat dipersalahkan?”
Dalam keragu-raguan itu, terasa darah
Anusapati seakan-akan terhenti. Ternyata dari dalam bangsal itu, Sri
Rajasa mengetahui bahwa seseorang ada dilongkangan dalam.
“Sangat berbahaya bagi paman Sumekar.”
berkata Anusapati kepada diri sendiri. Tanpa disadarinya ia mencoba
memperhatikan para prajurit yang ada didepan bangsal itu.
“Apakah mereka tidak akan mendengar jika terjadi perkelahian.”
Dalam pada itu, angin seakan-akan menjadi
semakin kencang, dan guruh meledak-ledak di langit. Memang suatu
kelainan musim yang aneh.
“Angin yang keras ini akan melindungi
paman Sumekar,” berkata Anusapati di dalam hatinya. “Namun jika Ayahanda
Sri Rajasa memberikan isyarat kepada para prajurit, maka paman Sumekar
akan menjadi sayatan daging di longkangan itu.”
Hati Anusapati menjadi semakin
berdebar-debar. Ia sadar, betapa marahnya Sri Rajasa. Tetapi agaknya
Sumekar pun sudah bertekad bulat.
“Aku harus mendekat. Aku harus melihat akhir dari peristiwa ini.”
Dengan tergesa-gesa Anusapati pun segera
turun dari pohon preh itu. Namun ia masih tetap sadar, bahwan ia memang
harus berhati-hati.”
Demikianlah, selagi Anusapati meluncur
turun dari pohon preh yang besar itu. Sri Rajasa telah berada
dilongkangan belakang. Sebagai seorang yang memiliki kelebihan, maka ia
pun segera mengetahui bahwa ada seseorang yang mencurigakan di
longkangan. Apalagi Sumekar, yang memang dengan hati yang bulat dan
sikap yang pasti, ingin berbuat sesuatu bagi Singasari menurut caranya.
Itulah sebabnya ia dengan sengaja telah memancing Sri Rajasa untuk keluar dari bangsalnya ke longkangan belakang.
Di dalam gemuruhnya angin kencang dan
guntur yang sekali-sekali meledak dilangit, maka terdengarlah suara
Sumekar lamat-amat dan yang hanya didengar oleh Sri Rajasa sendiri,
“Tuanku, ternyata perbuatan tuanku sudah tidak dapat dihentikan dengan
cara yang ditempuh oleh Mahisa Agni. Justru pada saat Mahisa Agni
berusaha dengan segala kelemahan yang ada padanya, tuanku mempergunakan
kesempatan ini sebaik-baiknya. Persiapan yang tuanku lakukan bukannya
sekedar sebuah permainan yang dapat dianggap sebagai angin lalu. Tentu
ada maksud tuanku yang tidak akan dapat tuanku ingkari lagi, memusnahkan
Putera Mahkota dan Mahisa Agni sekaligus.”
Sri Rajasa menjadi marah bukan buatan mendengar kata-kata Sumekar. Namun ia masih sempat bertanya, “Siapa kau?”
“Apakah tuanku belum pernah melihat hamba? Hamba adalah seorang Pengalasan dari Batil.”
“Apa perlumu datang kemari?”
“Hamba ingin memberikan sedikit darma
bakti bagi Singasari. Hamba adalah orang yang kagum kepada tuanku yang
telah berhasil menyatukan Singasari yang besar dengan segala macam
kelebihan tuanku di bidang pemerintahan dan keprajuritan. Namun menyesal
sekali bahwa hamba tidak sampai hati melihat apa yang akan tuanku
lakukan disaat-saat menjelang hari tua tuanku. Hamba tidak rela melihat
usaha tuanku menyerahkan Singasari kepada seseorang yang tidak akan
dapat meneruskan keagungan pemerintahan tuanku.”
“Aku tidak tahu maksudmu.”
“Tuanku, sebenarnyalah hamba berharap
agar tuanku tidak menarik keputusan tuanku untuk menyerahkan kekuasaan
Singasari dari tangan Anusapati, karena menurut pengamatan hamba, Putera
Mahkota Anusapati akan dapat mengendalikan kekuasaan Singasari dan
memperkembangkannya seperti yang tuanku kehendaki. Tetapi tentu tidak
demikian dengan tuanku Tohjaya. Tuanku Tohjaya seperti ibundanya, adalah
seorang yang paling tamak di seluruh Singasari.”
“Cukup,” bentak Sri Rajasa.
Meskipun suaranya cukup keras namun para
prajurit di depan bangsal itu tidak dapat mendengarnya karena angin yang
keras diseling dengan suara guntur yang menggelegar.
“Apakah kau ada hubungan keluarga dengan Anusapati?” bertanya Sri Rajasa.
“Tidak. Aku tidak mempunyai hubungan keluarga dengan tuanku Anusapati, juga tidak dengan tuanku Tohjaya.”
“Kau adalah pengikut Tunggul Ametung yang setia.”
“Pada jaman Akuwu Tunggul Ametung, aku tidak tahu apa-apa sama sekali.”
“Jadi, apa sebenarnya yang kau kehendaki?”
“Kelangsungan hasil kerja tuanku Sri Rajasa yang besar.”
“Gila, kau ingin kelangsungan hidup Singasari yang besar atas usahaku sekarang kau datang dengan cara yang gila ini.”
“Tuanku, hamba mohon agar tuanku
mengurungkan niat tuanku untuk menggeser tuanku Anusapati. Tuanku tidak
usah ingkar. Dan hamba mengharap agar tuanku Tohjaya dibatasi
kekuasaannya sehingga bukan tuanku Tohjaya lah yang seakan-akan menjabat
sebagai seorang Pangeran Pati. Tetapi tuanku Anusapati.”
“Jangan gila pengalasan dari Batil. Aku
berhak menentukan apa saja. Bukan kau. Aku mempunyai kekuasaan tidak
terbatas di Singasari.”
-ooo0dw0ooo-
(bersambung ke jilid 79)
No comments:
Write comments