“Baiklah. Kita akan melakukan sebaik-baiknya. Kita berharap bahwa kita akan dapat kembali tepat pada waktunya.”
Demikianlah maka malam itu telah mereka
lalui tanpa mengalami gangguan apapun. Para prajurit yang kelelahan itu
dapat tidur dengan nyenyak. Hanya kadang-kadang mereka terbangun oleh
auman harimau di tengah-engah hutan yang lebat, di sebelah tempat mereka
beristirahat.
Tetapi mereka-pun kemudian tidak
menghiraukannya lagi. Mereka yakin bahwa ada orang lain yang pasti
sedang bertugas. Siapa-pun orangnya.
Ketika dua orang prajurit yang bertugas
bersama pemimpin pasukan kecil itu tidak lagi dapat menahan kantuk dan
lelah, maka pemimpinnya-pun kemudian berkata kepada mereka, “Tidurlah.”
“Siapakah yang akan bertugas mengawasi keadaan di sekitar kita?”
“Aku.”
“Sendiri? Bukankah, kau juga lelah seperti aku?”
Pemimpinnya itu mengerutkan keningnya.
Mereka telah mempergunakan cara yang tidak lajim. Cara yang lebih mirip
dengan cara yang dipergunakan diantara sesama kawan sepenanggungan.
Tidak lagi seperti prajurit-prajurit yang terikat oleh peraturan yang
keras.
“Tidurlah. Aku akan berjaga-jaga bersama kedua petugas sandi itu. Mereka pasti bersedia mengawani aku.”
Kedua prajurit itu merenung sejenak. Lalu, “Baiklah,” berkata salah seorang dari mereka, “aku akan tidur.”
Keduanya-pun kemudian merebahkan dirinya
diatas sebuah batu yang besar sekali. Tetapi agaknya punggung batu itu
tidak memungkinkan mereka dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya
mereka-pun turun dan duduk ditanah bersandar batu itu.
Yang berjaga-jaga kemudian adalah
pemimpin prajurit itu bersama kedua petugas sandi. Tetapi karena
pemimpin pasukan kecil itu-pun kelelahan, maka kadang-kadang tanpa
sesadarnya ia-pun terlena sesaat sehingga percakapannya dengan kedua
petugas sandi itu tidak bersentuhan. Pemimpin pasukan itu kadang-kadang
seperti bermimpi mendengar suara orang berbicara, tetapi kata-katanya
kurang jelas, sehingga jawabnya-pun tidak menyinggung pertanyaannya.
Kedua petugas itu tersenyum. Salah
seorang berkata, “Kau ternyata lelah sekali. Kau dapat tidur sambil
berbicara. Nah, beristirahatlah. Aku berdua akan menjaga kalian. Aku
yakin bahwa tidak akan ada apa-apa disini.”
Pemimpin prajurit itu mencoba membuka
matanya selebarnya. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak lelah sekali. Hanya
sedikit kantuk. Tetapi itu-pun akan segera hilang.”
“Kau memang Senapati yang baik.”
Pemimpin pasukan itu masih dapat
tersenyum. Tetapi pendengarannya sudah mengambang tanpa pengertian
apapun. Bahkan kemudian tanpa tertahankan lagi, ia-pun tertidur pula
bersandar sebatang pohon tanpa dikehendakinya sendiri.
Kedua petugas sandi itu saling
berpandangan sejenak. Salah seorang dari mereka berdesis, “Memang
perjalanan yang berat sekali. Biarlah mereka tertidur sejenak. Kita
dapat membantu menjaganya.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata, “Benar juga pertanyaan tuanku Putera Mahkota. Kalau di
dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba orang-orang itu datang menyerang,
maka tidak akan ada perlawanan yang berarti. Meskipun mereka tidak
terlampau kuat, tetapi mereka pasti akan dapat menghancurkan pasukan
ini.”
Kawannya tidak menyahut. Dipandanginya
tubuh-tubuh yang berserakan tidak menentu. Silang melintang. Seolah-olah
mereka tidak dapat menahan lelah sekedar menempatkan diri mereka.
“Semuanya telah tertidur,” desis salah seorang petugas sandi itu.
“Dan kita mendapat pekerjaan disini.”
“Sama sekali tidak ada yang masih terbangun.”
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar salah seorang dari mereka yang berserakan itu menyahut, “Aku masih terbangun.”
Kedua petugas sandi itu berpaling.
Dilihatnya Anusapati duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, hanya
beberapa langkah di belakangnya.
Keduanya mengerutkan keningnya. Menurut
ingatan mereka, Anusapati tidak duduk di tempatnya yang sekarang. Tetapi
mereka sama sekali tidak mendengar Putera Mahkota, itu bergeser, atau
memang ingatan merekalah yang salah.
“Tuanku masih terbangun,” bertanya salah seorang dari kedua petugas sandi itu.
“Ya. Aku tidak dapat tidur dan ingin mengawani kalian berdua.”
“Sudahlah tuanku. Hamba persilahkan tuanku beristirahat. Biarlah hamba berdua sajalah yang berjaga-jaga.”
“Apakah itu dapat dibenarkan? Aku tidak
mengerti peraturan yang berlaku dengan pasti, karena aku baru pertama
kali ikut di dalam pasukan. Tetapi sepengetahuanku, harus ada petugas
dari pasukan ini yang tetap berjaga-jaga. Kalian tidak termasuk dalam
pasukan ini, meskipun kalian dapat menggabungkan diri seperti sekarang.
Tetapi tugas kalian tidak di dalam pasukan kecil ini. Bukankah begitu?
Sehingga karena kebetulan kalian bersedia, atau karena kebaikan hati
kalian, maka kalian dapat membantu kami disini. Tetapi seandainya kalian
masih mempunyai tugas tertentu malam ini, karena tiba-tiba terjadi
pergolakan di daerah pengawasanmu, maka sudah tentu kalian tidak dapat
berada ditempat ini untuk waktu yang lama.”
Kedua petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak menjawab.
“Karena itu, biarlah aku yang
berjaga-jaga disini mewakili petugas-tugas yang sebenarnya harus diatur
lebih dahulu. Tetapi karena keadaan, maka tidak dapat dilakukan hal
seperti itu. Kebetulan saja aku tidak dapat tidur. Maka biarlah aku
melakukannya bersama kalian yang juga kebetulan saja tidak mempunyai
tugas lain.”
Kedua petugas sandi itu saling
berpandangan. Putera Mahkota adalah orang yang baru pertama kali
mengalami dan pengetahuannya tentang keprajuritan-pun seharusnya masih
belum begitu banyak. Apalagi pengalamannya. Namun pertanyaannya tentang
kemungkinan yang dapat terjadi dengan pasukan, yang lelah ini serta
beberapa pengetahuannya tentang tugas-tugas keprajuritan, membayangkan
kemampuannya didalam bidang ini.
“Tuanku,” berkata salah seorang dari
kedua petugas itu, “ternyata pengetahuan tuanku tentang tugas-tugas
keprajuritan sudah cukup banyak. Bahkan sikap dan ketahanan tubuh tuanku
tidak kalah dengan para prajurit yang lain.”
“Bukan begitu. Mungkin aku selalu
dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan atas serangan-serangan yang dapat
datang setiap saat. Mungkin juga karena sekali-sekali aku pernah
membaca rontal yang memuat pengetahuan tentang olah keprajuritan.”
Kedua petugas sandi itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah tentu Anusapati mendapat
kesempatan membaca rontal tentang berbagai ilmu, dan sudah tentu pula
gurunya pernah juga memberitahukan berbagai pengetahuan keprajuritan.
“Ya tuanku,” jawab petugas yang lain,
“tuanku tentu sudah membaca rontal. Tetapi ketahanan tubuh tuanku juga
mengagumkan. Semua orang tidak lagi dapat menahan dirinya, sehingga
pemimpin dari pasukan ini-pun tertidur tanpa dikehendakinya sendiri.
Namun tuanku masih tetap terjaga.”
“Sama sekali bukan suatu kelebihan. Dalam
hidupku sehari-pun aku tidak dapat tidur nyenyak apabila aku sedang
lelah. Semakin lelah, aku menjadi semakin gelisah. Aku tidak lahu kenapa
demikian. Dan sekarang-pun terjadi hal yang serupa. Aku lelah sekali
sehingga agaknya nafasku sudah hampir terputus. Karena itulah maka aku
tidak akan dapat tidur sekejappun. Besok, selagi pasukan ini
beristirahat, sementara beberapa orang mengintai kedudukan musuh, aku
akan tidur sehari penuh.
“Tetapi bagaimana kalau tugas pengintaian itu diserahkan kepada tuanku?”
“Lalu apa kerja kalian berdua?”
“Bersama dengan tuanku mengamati kedudukan lawan.”
Anusapati menarik nafas. Jawabnya,
“Apaboleh buat. Kalau aku harus pergi, aku-pun akan pergi. Dan hal
itu-pun akan merupakan suatu pengalaman baru buatku. Aku merasa bahwa
pengalaman itu memang sangat perlu. Bukan saja bagiku pribadi, tetapi
terutama bagi tugas-tugasku kelak.”
“Hamba tuanku,” jawab kedua petugas sandi itu hampir berbareng.
“Ketika aku keluar dari istana, dalam
perjalanan ini, aku tidak menyangka, bahwa alam begitu luasnya, sehingga
apa yang pernah aku kenal di dalam istana itu hanyalah sebagian kecil
saja dari Kerajaan Singasari. Ternyata di luar dinding istana itu
terdapat berbagai macam persoalan yang sangat menarik. Alam, rakyat di
padukuhan-padukuhan terpencil, hutan dan binatang-binatang buruan. Aku
senang sekali mengenal semua itu dari dekat. Aku jarang sekali mendapat
kesempatan dari Ayahanda Sri Rajasa untuk ikut serta berburu.”
Kedua petugas sandi itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab,
“Tuanku adalah Putera Mahkota. Karena itulah agaknya tuanku harus selalu
dijaga jangan sampai mengalami sesuatu. Juga di medan perburuan.”
“Tetapi di dalam pendadaran semacam ini,
aku akan merasa terlampau berat.” Anusapati berhenti sejenak. Lalu,
“kalau sebelumnya aku pernah mengalami dari sedikit, maka aku kira
badanku tidak serasa seperti dicuci. Tulang-ulang ini seakan-akan telah
terlepas yang satu dengan yang lain.”
Kedua petugas itu tersenyum. Salah
seorang menjawab, “Tetapi ternyata tuanku luar biasa. Tuanku dapat
menyelesaikan tugas yang pertama kali ini dengan baik. Sampai ditempat
sesuai dengan rencana.”
“Tetapi aku telah memaksa diri.”
“Lambat laun tuanku akan terbiasa dengan tugas-tugas berat.”
“Mudah-mudahan.”
“Dan agaknya hal itu memang diperlukan sekali bagi tuanku.”
“Ya. Dan aku sadar, sesudah tugas ini aku pasti akan segera mendapat tugas-tugas yang lain.”
Kedua petugas sandi itu tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dengan demikian, sikap dan
pembicaraan Anusapati telah merubah pandangan mereka terhadap Putera
Mahkota itu. Ternyata Putera Mahkota bukannya seorang anak muda yang
malas dan bodoh seperti anggapan mereka selama Anusapati tidak pernah
beranjak dari halaman istana. Bukan pula seorang anak yang manja. Putera
Mahkota agaknya justru seorang yang mengenal tanggung jawab akan tugas
yang dibebankan kepadanya. Kali ini oleh Ayahanda Sri Rajasa, tetapi
lain kali oleh rakyat Singasari.
Dalam pada itu. langit disebelah
Timur-pun menjadi semakin kemerah-merahan. Cahayanya yang menyusup
disela-sela dedaunan membayang bagaikan awan yang membara dilangit.
“Hampir pagi,” desis salah seorang petugas sandi itu, “dan tuanku masih belum beristirahat sama sekali.”
“Masih ada waktu sehari semalam kalau aku tidak mendapat tugas khusus.”
Kedua petugas itu mengangguk-angguk.
Salah seorang berkata, “Tentu bukan tuanku yang mendapat tugas itu.
Mereka harus tahu bahwa tuanku perlu beristirahat.”
“Berbeda di dalam keadaan ini,” berkata
Anusapati, “aku sudah mendapat kesempatan, tetapi aku tidak dapat
mempergunakannya. Itu tidak akan dapat dipergunakan sebagai alasan. Dan
aku harus melakukan tugas berikutnya, kalau memang aku akan
dibebaninya.”
Tidak ada jawaban. Hampir bersamaan kedua
petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Didalam hati mereka
berkata, “Hati iPutera Mahkota ini memang sekeras baja.”
Sejenak kemudian mereka saling berdiam
diri. Cahaya kemerahan dilangit menjadi semakin cerah. Satu-satu
bintang-bintang yang gemerlapan mulai pudar dan seolah-olah hilang
ditelan langit yang biru bersih.
Kicau burung-burung liar-pun kemudian
telah membangunkan prajurit-prajurit yang tertidur nyenyak. Sambil
mengusap mata mereka yang berat, satu-satu mulai bangkit dan duduk
diatas daun-daun kering.
Pemimpin prajurit yang tertidur sambil
bersandar itu-pun terbangun pula. Ia menjadi agak terkejut ketika
disadarinya, bahwa cahaya matahari telah mulai membayang dilangit.
Salah seorang dari mereka menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kau tidak tertidur.”
Pemimpin pasukan itu menarik nafas
dalam-dalam. “Kenapa kau tidak membangunkan aku? Seharusnya ada di
antara kami yang terjaga malam ini. Untunglah bahwa kalian dapat
dipercaya. Kalau tidak maka kalian dapat berkhianat dan membunuh kami
semua tanpa perlawanan.”
“Kami tidak dapat melakukannya. Ada di antara kalian yang semalam suntuk terjaga dan bercakap-cakap bersama kami.”
“Siapa?”
“’Tuanku Putera Mahkota.”
“He,” dengan serta-merta pemimpin pasukan itu berpaling kepada Putera Mahkota yang tersenyum memandanginya.
“Tuanku tidak tidur sama sekali?”
“Aku terlampau lelah, sehingga justru aku tidak dapat tidur sama sekali.”
“Jadi tuanku belum beristirahat semalam?”
“Sudah. Beristirahat sambil bercakap-cakap.”
Pemimpin itu mengerutkan keningnya.
Katanya, “Seharusnya tuanku beristirahat. Tuanku akan mendapat tugas
yang baru siang ini bersama beberapa orang prajurit, hamba dan kedua
prajurit sandi itu.”
“Ya, kenapa? Kalau memang aku harus
bertugas, maka aku-pun akan melakukannya. Aku tabu, bahwa sebagian
terbesar dari keberangkatan pasukan ini adalah suatu usaha Ayahanda Sri
Rajasa untuk menjadikan aku seorang prajurit. Dan aku akan melakukannya
dengan senang hati. Karena itu wajarlah bahwa tugas-tugas khusus akan
dibebankan kepadaku.”
Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah tuanku masih sanggup melakukan
tugas pengamatan hari ini atau tuanku memerlukan waktu untuk
beristirahat pagi ini meskipun hanya sejenak? Kami dapat membuat rencana
pengamatan itu sesuai dengan keadaan kita. Pagi, siang atau sore hari.
Kalau tuanku ingin melakukannya pagi, kemudian segera beristirahat kami
akan melakukannya. Tetapi kalau tuanku menghendaki siang atau sore hari
sesudah tuanku beristirahat, kami-pun tidak berkeberatan.”
“Sebaiknya kau jangan bertanya kepadaku.
Aku adalah seorang prajurit. Berikanlah perintah. Kalau aku harus
berangkat pagi, aku akan berangkat pagi. Kalau aku harus berangkat siang
atau sore hari, aku-pun akan melakukannya. Akulah yang harus
menyesuaikan diriku dengan rencanamu.”
Sekali lagi pemimpin pasukan kecil itu
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Anusapati benar-benar berusaha
menyesuaikan dirinya sebagai seorang prajurit, sehingga ia bersedia
menjalankan tugas apa-pun yang akan diserahkan kepadanya oleh
pimpinannya.
“Baiklah tuanku,” berkata pemimpin
pasukan kecil itu, “kita akan berangkat mengamati keadaan menjelang
senja, supaya kita dapat lebih mendekat lagi disaat-saat matahari mulai
terbenam. Kita tidak hanya sekedar mengamatinya dari kejauhan saja, agar
kita tidak salah menilai kekuatan lawan itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudah barang tentu kami tidak akan dapat melakukannya di siang hari. Pengamatan kita akan sangat terbatas dari kejauhan saja.”
Meskipun ada juga alasan-alasan lain,
tetapi alasan itu masuk akal juga sehingga Anusapati mengangguk-angguk
sambil menjawab, “Baiklah, kalau begitu, kita akan pergi menjelang
senja. Kita akan mengamati dari kejauhan, kemudian apabila hari mulai
gelap, kita akan mendekat. Begitu?”
“Hamba tuanku.”
“Baiklah. Akulah yang akan menyesuaikan diriku.”
Demikianlah dihari itu, pasukan kecil itu
benar-benar mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi mereka sama
sekali tidak diperbolehkan menyalakan api, supaya kehadiran mereka tidak
diketahui oleh lawan yang bersarang tidak begitu jauh lagi dari tempat
itu.
Dengan demikian mereka hanya dapat makan
nasi jagung, bekal yang mereka bawa. Nasi yang tahan untuk waktu lebih
dari sepekan. Tetapi nasi itu akan lebih enak rasanya, apabila mereka
mendapat kesempatan untuk sekedar menghangatkannya.
Namun demikian, sebenarnyalah bahwa
pemimpin pasukan itu tidak membuang waktu yang sehari itu untuk menunggu
senja. Hanya karena perasaan ibanya kepada Anusapati sajalah, maka
dibiarkannya Anusapati untuk beristirahat. Tetapi bersama kedua petugas
sandi yang telah lebih dahulu datang itu, ia-pun pergi juga untuk
melihat keadaan dan menilai medan. Kepada tiga orang prajurit yang
dipercaya untuk menjaga keselamatan Anusapati, ia berkata, “Jagalah
tuanku Putera Mahkota baik-baik. Tetapi hati-hatilah, jangan sampai ia
merasa tersinggung karena pengamatanmu.”
“Baiklah,” jawab salah seorang dari ketiga prajurit itu.
“Aku akan pergi. Jangan beritahu Putera Mahkota. Biarlah ia beristirahat.”
Prajurit-prajurit itu menganggukkan
kepalanya. Kepada salah seorang dari mereka yang tertua, pimpinan
pasukan kecil itu diserahkannya, selama ia mengawasi dan mengamati
medan.
Kemudian dengan diam-diam, tidak setahu
Anusapati, pemimpin pasukan itu telah meninggalkan pasukannya. Dengan
hati-hati ia melintasi hutan yang rindang dan menuju sebuah padukuhan
kecil yang terpencil.
“Dimana letak goa itu?” bertanya pemimpin pasukan mi kepada kedua petugas sandi.
“Goa itu berada di lereng bukit kecil di
belakang padukuhan itu. Tetapi kini mereka tidak lagi bersembunyi di
dalam goa. Menurut pengamatanku, gerombolan itu menjadi semakin berani.
Dan kini mereka bahkan seakan-akan telah menghuni padukuhan kecil yang
terpencil itu.”
“Lalu dimanakah penghuni yang sebenarnya dari padukuhan kecil itu?”
“Ada dua golongan yang telah membagi
penghuni yang tidak begitu banyak itu. Mereka yang masih berpegang pada
sikap hidupnya, dan tidak mau terlibat dalam kejahatan, telah
meninggalkan kampung halamannya. Mereka mengungsi kepadukuhan-padukuhan
di sekitarnya. Namun padukuhan-padukuhan di sekitarnya itu-pun menjadi
semakin sepi pula, karena beberapa orang yang tidak tahan mengalami
perlakuan yang kasar, telah mengungsi ketempat yang lebih jauh lagi.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Menurut keterangan yang sudah diterimanya, gerombolan itu
tidak saja memeras orang-orang disekitarnya, tetapi kadang-kadang mereka
juga pergi merampok ketempat yang agak jauh dan menyamun di jalan-jalan
perniagaan yang penting.
“Itulah padukuhan itu,” desis salah
seorang petugas sandi ketika mereka berada di pinggir hutan yang
rindang, diatas sebuah bukit kecil.
Senapati itu mengerutkan keningnya.
Dipandanginya padukuhan terpencil yang terletak diatas bukit yang kecil
pula, dikelilingi oleh sebuah padang-ilalang dan pohon-pohon perdu.
“Semula tanah itu merupakan tanah yang
sudah digarap,” berkata salah seorang petugas itu, “tetapi akhirnya
tanah itu menjadi padang ilalang karena orang-orang yang menggarapnya
telah pergi mengungsi.”
“Jadi padukuhan itu tidak mempunyai tanah garapan sama sekali?”
“Ada. Masih ada beberapa bagian yang digarap di belakang bukit kecil itu. Tanah yang paling subur dari padukuhan itu.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam.
Letak padukuhan itu memang baik. Jika mereka mengetahui bahwa ada
kekuatan yang akan menyerang mereka, maka mereka dapat membangun
pertahanan yang baik dari atas bukit kecil itu. Semua benda-benda yang
ada dapat berubah menjadi senjata. Batu-batu besar, potongan kayu,
bahkan pasir dan air. Apalagi senjata-senjata jarak jauh, panah dan
lembing.
“Marilah kita agak mendekat,” berkata Senapati itu.
Mereka-pun menyuruk dengan hati-hati
mendekati padukuhan itu. Sekali-sekali Senapati itu berpaling kearah
pasukan kecil yang ditinggalkannya. Kalau mereka tidak mematuhi
perintahnya, dan menyalakan api, maka di siang hari asapnya akan dapat
menarik perhatian, sedang dimalam hari, nyalanya akan menimbulkan
kecurigaan pula.
Demikianlah semakin dekat, menjadi
semakin jelas pulalah daerah yang terpencil itu. Agaknya tanah di
sekitarnya termasuk tanah vang cukup subur dan cukup memberikan makan
bagi isi padukuhan itu.
Namun tiba-tiba kedua petugas sandi itu
mengerutkan keningnya. Mereka melihat sesuatu yang lain pada padukuhan
itu. Karena itu maka salah seorang dari mereka berkata, “Ada sesuatu
yang baru dipadukuhan itu.”
“Apa? “ bertanya Senapati itu.
“Kita melihat kesibukan yang agak
berlebihan dari kemarin. Baru kemarin aku mendekati padukuhan itu. Aku
tidak melihat hiasan apa-pun diregol padukuhan itu. Sekarang aku melihat
sesuatu yang kemarin tidak ada.”
“Apa?”
“Kau melihat janur kuning?” bertanya petugas sandi itu kepada kawannya.
“Ya, beberapa tersangkut diregol padukuhan.”
Petugas sandi itu mengangguk-angguk,
sedang Senapati yang memimpin pasukan kecil itu-pun menyahut, “Ya. Aku
juga melihat sesuatu. Agaknya kau benar. Beberapa helai janur kuning.”
“Pasti ada sesuatu upacara. Apa-pun yang akan mereka lakukan?”
Senapati itu mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Marilah. Kita maju lagi.”
“Terlampau berbahaya di siang hari. Nanti
malam sajalah kita mendekat. Mungkin kita dapat melihat dengan jelas,
apakah yang sebenarnya telah terjadi di padukuhan itu.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia berdesis, “Tetapi nanti malam aku akan
pergi bersama Putera Mahkota.”
“Kita tinggalkan saja tuanku Putera Mahkota di sini. Kita akan maju tanpa tuanku Anusapati.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-angguk.
“Tetapi sekarang kita sudah dapat
membayangkan medan yang bakal kita hadapi. Mereka dapat mempergunakan
air untuk menghambat kemajuan kita. Jalan setapak itu akan menjadi
sangat licin apabila menjadi basah.”
Pemimpin pasukan itu masih mengangguk-angguk.
“Kita akan naik dari beberapa penjuru.
Kita tidak akau memasuki padukuhan itu lewat regol. Kita dapat memanjat
dan meloncati dinding batu yang tidak begitu tinggi itu. Sebagian dari
kita memang akan melalui jalan setapak yang licin apabila basah, tetapi
yang lain akan memanjat lereng batu-batu padas itu. Tidak terlampau
sulit, karena gumuk kecil itu tidak terlampau tinggi.”
Kedua petugas sandi yang menyertainya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu memang akan dapat dilakukan
tanpa banyak kesulitan karena kekuatan lawan menurut penilaian mereka
tidak akan begitu berat. Hanya segerombolan perampok yang berhasil
menduduki sebuah padukuhan kecil dan terpencil.
“Kita akan tinggal di sini beberapa saat
untuk melihat perkembangan keadaan. Mungkin janur-janur kuning itu
merupakan suatu pertanda bahwa ada perubahan dipadukuhan kecil itu, atau
ada peralatan yang dilakukan oleh mereka. Oleh salah seorang penghuni
padukuhan kecil itu yang tidak menyingkirkan dari, atau justru oleh
gerombolan perampok itu,” berkata Senapati itu.
Kedua petugas sandi yang mengawaninya itu
menganggukkan kepalanya. Salah seorang berkata, “Baiklah. Kita akan
melihat apa yang akan terjadi.”
Ketiganya-pun kemudian duduk di belakang
sebuah gerumbul yang lebat di padang ilalang. Di tempat yang terlindung
sama sekali, sehingga mereka tidak perlu cemas, bahwa kehadiran mereka
akan diketahui.
Dalam pada itu, Anusapati masih tetap
berada di antara para prajurit yang beristirahat. Namun agaknya mereka
sudah tidak lagi menjadi terlampau lelah, sehingga mereka sudah sempat
mengatur diri. Mereka sudah sempat menentukan waktu-waktu penjagaan, dan
siapa saja yang harus bertugas.
“Yang lain, yang kebetulan tidak bertugas
dapat menemukan istirahatnya. Masih ada kesempatan untuk tidur hampir
sehari penuh,” berkata prajurit yang diserahi tugas memimpin pasukan itu
selama pemimpinnya tidak ada di tempat.
Prajurit-prajurit yang lain tertawa.
Tetapi masih ada juga yang menguap sambil menjawab, “Terima kasih.
Badanku serasa tidak bertenaga lagi. Aku bertugas setelah tengah hari.
Pagi ini aku memang akan tidur sepuas-puasnya sampai matahari di puncak
langit.”
“Tidurlah,” desis kawannya, “tetapi kalau kami mendapat perintah untuk meninggalkan tempat ini, kau akan ditinggal di sini.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia benar-benar membaringkan tubuhnya di atas sebuah batu.
Dalam pada itu Anusapati-pun mendapat
kesempatan untuk tidur sejenak. Karena itu, maka katanya kepada prajurit
yang memimpin pasukan kecil itu sementara, Senapatinya pergi, “Aku akan
tidur. Jangan diganggu. Aku akan menjadi pening kalau aku terbangun
dengan tiba-tiba. Bahkan aku akan menjadi seperti orang sakit. Karena
itu, aku akan menyendiri dan tidur sepuas-puasnya. Ingat, jangan kau
bangunkan. Biarlah aku bangun sendiri menjelang tengah hari, supaya aku
dapat bertugas nanti menjelang sore.”
Prajurit itu menganggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Dimana tuanku akan tidur.”
“Dibalik batu itu.”
“Tetapi, bagaimana kalau ada ular atau binatang melata yang berbisa?”
“Semalam suntuk kalian tergolek seperti
orang mati. Tidak seekor binatang-pun yang mengusik kalian. Agaknya di
sini memang tidak banyak binatang berbisa.” Anusapati berhenti Sejenak.
Lalu, “aku juga membawa semacam serbuk yang dapat melindungi aku dari
binatang berbisa. Ular dan sejenisnya tidak mau menggigit apabila
tercium bau serbuk itu.”
“Dari mana tuanku mendapatkannya?”
“Dari dukun istana.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tentu ia percaya, bahwa Putera Mahkota itu pasti sudah
mendapat obat-obat yang cukup untuk melindungi dirinya. Justru karena ia
Putera Mahkota.
“Kalau begitu silahkan tuanku. Tetapi apabila keadaan memaksa, hamba terpaksa membangunkan tuanku.”
“Apa yang kau maksud?”
“Misalnya, tiba-tiba saja kita mendapat serangan. Atau tiba-tiba saja kita harus berpindah tempat.”
“Tetapi aku akan menjadi pening sekali.”
“Itu-pun akan merupakan suatu latihan. Demikianlah keadaan medan yang sebenarnya tuanku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Baiklah. Hanya kalau keadaan memaksa.”
Anusapati-pun kemudian pergi ke balik
sebuah batu besar untuk membaringkan tubuhnya di atas rerumputan kering.
Sejenak ia memandang dedaunan diatasnya, yang bergerak-gerak ditiup
angin pagi yang lembut.
Namun tiba-tiba Anusapati itu bangkit
perlahan-lahan. Dengan hati-hati ia mengintip dari sisi batu yang besar
itu. Dilihatnya beberapa orang prajurit sedang duduk-duduk sambil
bercakap-cakap. Yang lain telah berbaring pula. Sedang di sebelah
mereka, prajurit-prajurit yang sedang bertugas, berdiri bersandar
pepohonan sambil bercakap-cakap pula.
Perlahan-lahan Anusapati bergeser dari
tempatnya. Dari percakapan para prajurit dan Senapati yang sedang pergi,
Anusapati dapat mengetahui arah padukuhan kecil tempat bersarang para
perampok yang akan mereka datangi besok.
Sebenarnya sejak semalam Anusapati sudah
ingin sekali untuk melihat tempat itu. Tetapi ia tidak mendapat
kesempatan, apalagi di malam hari daerah yang kurang dikenalnya itu akan
dapat menyesatkannya.
Tanpa setahu seorang prajurit pun,
Anusapati-pun kemudian meninggalkan tempatnya. Berlindung dibalik
sebatang pohon ke pohon yang lain ia akhirnya menjadi semakin jauh.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam
ketika ia sudah terlepas dari daerah pengawasan para prajurit. Dengan
tergesa-gesa ia-pun menuruni bukit kecil dan melintasi daerah yang
berhutan perdu. Dengan hati-hati sekali ia maju terus, sehingga akhirnya
ia-pun dapat melihat sebuah bukit kecil yang dihuni oleh para perampok
itu.
Tetapi perhatian Anusapati segera
tertarik kepada jejak beberapa orang di atas batang-batang ilalang.
Dilihatnya ranting-ranting perdu yang patah, dan ilalang yang terinjak.
“Pasti Senapati dan kedua prajurit sandi itu,” katanya didalam hati.
Karena itu, maka ia-pun maju
perlahan-lahan. Kalau mereka melihatnya, maka ia harus berhenti bersama
mereka, atau Senapati itu akan marah bukan saja kepadanya, tetapi juga
kepada prajurit-prajurit yang diam-diam harus mengawasinya itu.
Untuk menghindarkan diri dari mereka,
maka Anusapati itu kemudian mengambil jalan lain. Ditinggalkannya jalur
jejak-jejak yang terdahulu, dan ia-pun menyelinap di antara pepohonan
perdu dan batang-batang ilalang yang tinggi.
“Aku ingin mendekat,” katanya didalam hati.
Anusapati-pun kemudian merayap semakin
lama semakin dekat. Namun ternyata bahwa janur kuning itu telah menarik
perhatiannya pula. Pasti ada sesuatu yang sedang dilakukan oleh
orang-orang di padukuhan kecil dan terpencil itu.
Dengan sangat hati-hati, merunduk dari
balik sebuah batu, ke balik batu yang lain, dari gerumbul yang satu
kegerumbul yang lain akhirnya Anusapati dapat mendekati gumuk itu. Ia
mendapat tempat bersembunyi yang baik sekali. Di dalam sebuah
semak-semak di belakang sebuah batu yang besar.
Namun dari tempatnya bersembunyi
Anusapati tidak dapat melihat apa-pun juga. Memang ia melihat asap yang
mengepul dari bawah atas sebuah rumah. Tetapi tentu saja ia tidak dapat
mengambil kesimpulan apa-pun dari asap itu.
Ketika ia melihat gumuk-gumuk padas di
sebelah padukuhan terpencil itu, timbullah keinginannya untuk memanjat.
Mungkin ia dapat melihat ke dalam batas dinding batu yang mengelilingi
padukuhan itu.
Maka dengan hati-hati Anusapati-pun bergeser. Sambil merunduk ia pergi ke balik sebuah gumuk padas yang terjal dan berbatu-batu.
“Aku akan naik,” desisnya di dalam hati.
Tetapi sejenak ia termangu-mangu. Tidak
ada tumbuh-tumbuhan di gumuk padas itu selain beberapa rumpun ilalang
yang agak rimbun. Memang mungkin juga bersembunyi dibalik rumpun ilalang
itu tetapi apabila ada orang lain yang berdiri di belakang gumuk itu,
maka mereka pasti akan dapat melihatnya.
“Tidak ada orang lain,” desisnya.
Maka Anusapati-pun kemudian naik ke gumuk
padas. Ia berusaha bersembunyi di antara batu-batu padas dan
rumput-rumput ilalang yang tidak begitu subur. Namun demikian, ia
berhasil juga sampai ke atas.
Justru setelah Anusapati berada di atas
gumuk itu, ia terlindung dari segala arah. Ia berhasil mendapatkan
sebuah lekuk di antara batu-batu padas, sehingga ia tidak perlu cemas,
apabila ada orang lain yang melihatnya.
Ternyata dari tempatnya, Anusapati dapat
melihat apa yang sedang terjadi dipadukuhan itu, meskipun terbatas hanya
yang terjadi di luar rumah-rumah yang berserakan, meskipun tidak begitu
banyak.
Di tengah-engah padukuhan kecil itu, di
halaman sebuah rumah yang paling besar, beberapa orang tampak sibuk
mengatar sesuatu. Tetapi Anusapati tidak dapat melihat dengan jelas,
apakah yang sedang mereka lakukan.
“Pasti ada sesuatu yang penting,” berkata
Anusapati didalam hatinya. “Mudah-mudahan bukan sesuatu hal yang dapat
mengganggu pasukan kecil Singasari ini.”
Namun demikian, Anusapati masih ingin melihat apakah yang akan terjadi di padukuhan itu.
“Aku akan menunggu sampai menjelang
tengah hari. Sebelum orang-orang gelisah menunggu aku bangun, aku harus
sudah kembali.” katanya di dalam hati pula.
Karena itu, ia-pun segera menelungkup di
atas batu padas. Dengan demikian, ia dapat melihat apa saja yang menarik
perhatian dipadukuhan kecil itu.
Namun yang dilihatnya hanyalah kesibukan
beberapa orang yang hilir mudik saja. Orang-orang laki-laki yang kasar
dan bersenjata di lambung.
“Mereka itulah perampok-perampok yang
dikatakan itu. Memang tidak terlampau banyak.” gumam Anusapati kepada
diri sendiri, “dalam kesibukan itu, aku kira semuanya sudah keluar rumah
dan berbuat sesuatu bersama kawan-kawannya itu.”
Sejenak Anusapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Panas matahari yang hanya terlindung oleh beberapa helai daun
ilalang, mulai terasa menggatalkan kulit. Namun Anusapati masih tetap
menelungkup di atas batu padas yang agak terlindung dari sebelah
menyebelah.
Dalam pada itu, Senapati dan kedua
petugas sandi masih juga berada di tempatnya. Mereka dapat melihat jalan
setapak yang naik kepadukuhan yang terletak diatas bukit kecil itu
dengan jelas sampai ke mulut regol. Tetapi mereka sama sekali juga tidak
mendapat gambaran apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang di dalam
padukuhan itu.
Namun tiba-tiba mereka terkejut.
Dikejauhan terdengar derap kaki kuda yang bergema seakan-akan
melingkar-lingkar di antara bukit-bukit kecil dan gumuk-gumuk padas yang
berserakan. Karena itu, ketiga orang yang sedang duduk dan berbicara
tentang bermacam-macam hal itu, tiba-tiba telah terdiam dan bergeser
dari tempatnya. Dengan saksama mereka memperhatikan jalan setapak yang
menuju kegerbang padukuhan terpencil itu.
Sejenak kemudian dada ketiga orang itu
menjadi berdebar-debar. Mereka melihat tiga orang berkuda menaiki jalan
setapak itu. Dan sejenak kemudian mereka-pun mendengar sebuah tengara
yang berbunyi dimulut regol. Sebuah kentongan isyarat bagi penghuni
padukuhan itu, sehingga sejenak kemudian beberapa orang tampak keluar
dari regol menyongsong orang-orang berkuda itu.
Bukan saja ketiga orang itu, tetapi
Anusapati-pun melihat ketiga orang berkuda itu. Ia melihat kesibukan
yang terjadi didalam regol padukuhan. Beberapa orang bergegas-gegas
menyongsong tamu mereka itu, sedang yang lain sibuk menyiapkan segala
sesuatunya.
“Tentu orang penting,” berkata Anusapati didalam hatinya.
Dalam pada itu Senapati yang memimpin pasukan kecil dari Singasari itu-pun berdesis juga, “Tentu orang penting.”
Kedua petugas sandi yang bersamanya
berkata, “Tidak dapat diabaikan. Menilik sikap orang-orang yang
menyambut mereka itu, ketiganya adalah orang-orang terhormat di antara
mereka.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya.
Ternyata kemudian bahwa orang-orang yang
menyongsong orang-orang berkuda itu bersikap sangat hormat kepada
mereka. Hampir berbareng mereka menundukkan kepala, ketika orang-orang
berkuda itu sampai diregol halaman.
Pemimpin pasukan kecil yang datang dari
Singasari itu tidak tahu, apa yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan
itu setelah mereka memasuki regol. Tetapi Anusapati masih dapat melihat
mereka. Seperti mengarak sepasang pengantin, orang-orang dari padukuhan
itu mengiringkan ketiga tamunya yang masih belum turun dari kuda mereka,
sampai mereka memasuki halaman yang luas dari rumah yang tampaknya
paling besar dipadukuhan kecil itu.
Baru ketika mereka sampai di muka pintu rumah itu, mereka meloncat turun dari kuda mereka.
Anusapati menjadi semakin yakin, bahwa
mereka pasti orang-orang yang terhormat. Ternyata dari sikapnya dan
sikap orang-orang yang menyambutnya.
“Tentu orang-orang itu bukan orang-orang
kebanyakan. Kalau tidak, maka ia tidak akan mendapat penghormatan
sebesar itu,” berkata Anusapati di dalam hatinya.
Namun dengan demikian maka ia telah
mendapat pertimbangan lain tentang kekuatan para perampok yang ada di
dalam padukuhan kecil itu. Kalau pemimpin pasukannya tidak
mempertimbangkan kehadiran orang-orang berkuda itu, maka pasukan kecil
itu dapat mengalami bencana karenanya.
“Mudah-mudahan Senapati itu melihat dan
membuat pertimbangan yang benar dari orang-orang berkuda itu,” berkata
Anusapati di dalam hatinya. Dalam pada itu, orang-orang berkuda itu-pun
telah hilang masuk ke dalam rumah. Beberapa orang yang menyambutnya
telah ikut masuk pula, sedang orang-orang lain masih juga sibuk hilir
mudik di luar rumah.
Yang menarik perhatian Anusapati adalah
orang-orang yang kemudian seakan-akan berjaga-jaga diregol padukuhan
kecil itu dengan senjata ditangan.
“Tentu orang yang benar-benar mereka
anggap penting. Tetapi juga tentu orang yang mempunyai ilmu yang tinggi,
sehingga mereka hanya bertiga saja menempuh perjalanan yang agaknya
cukup jauh. Apalagi mereka termasuk di dalam lingkungan orang-orang yang
tidak lagi dapat menghargai nilai kemanusiaan, ternyata dari hubungan
mereka dengan perampok-perampok di padukuhan itu,” berkata Anusapati
didalam hatinya.
Namun tiba-tiba ia menengadahkan
kepalanya. Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Apalagi ia tidak dapat
melihat hal-hal yang dapat menimbulkan persoalan baru di dalam
padukuhan kecil itu. Sehingga karena itu, maka ia berdesis, “Aku harus
segera kembali. Aku tidak akan menemukan apa-apa lagi. Mungkin malam
nanti aku dapat mendekati rumah demi rumah. Tetapi kehadiran ketiga
orang itu agaknya dapat mengganggu kehadiranku.”
Dengan demikian, maka Anusapati-pun
segera beringsut surut. Dengan hati-hati ia turun dari gumuk padas itu.
Sekali-sekali ditebarkannya pandangan matanya kesekelilingnya,
kalau-kalau ada. orang yang megetahuinya. Namun ternyata bahwa daerah
itu adalah daerah yang sepi, sehingga tidak seorang-pun yang lewat dan
melihatnya dari balik gumuk kecil itu.
Dengan tergesa-gesa pula Anusapati-pun
segera meninggalkan tempat itu, menyuruk di antara batang-batang ilalang
dan daun-daun perdu kembali ketempatnya. Dengan hati-hati pula ia
menghindari kemungkinan bertemu dengan pemimpin pasukannya bersama,
kedua orang petugas sandi yang menyertainya.
Ternyata bahwa Anusapati mempunyai
kemampuan yang cukup untuk melakukan pekerjaannya itu. Ia berhasil
menyusup kembali ke daerah pengawasan pasukannya dan kembali ke balik
batu besar yang ditinggalkannya.
Setelah mengusap keringatnya, maka ia-pun membaringkan dirinya seperti pada saat ia mula-mula berada di tempat itu.
“Apakah belum ada orang yang menengokku
kemari?” ia bertanya kepada dirinya sendiri. Agaknya para prajurit itu
benar-benar tidak berani mengganggunya dan membiarkannya terbangun
dengan sendirinya.
Menilik keadaan tempat itu, maka ia dapat
mengambil kesimpulan bahwa pemimpinnya masih juga belum kembali.
Orang-orang yang berjaga-jaga masih berada ditempatnya meskipun orangnya
sudah berganti. Yang lain masih juga berbaring dan ada pula yang sedang
duduk tepekur memandang ke kejauhan. Agaknya ia sedang merenungi
sesuatu dalam angan-angannya.
Sejenak Anusapati masih sempat
benar-benar beristirahat. Ia masih sempat memejamkan matanya disilirnya
angin yang sejuk, meskipun matahari menjadi semakin tinggi. Dan dalam
kesegaran itulah maka Anusapati telah tertidur untuk sesaat.
Ia terbangun ketika ia mendengar suara
pemimpin pasukannya yang agaknya berdiri dibalik batu itu. Tetapi
Anusapati masih tetap memejamkan matanya tanpa bergerak sama sekali.
“Agaknya tuanku tertidur nyenyak sekali,”
berkata prajurit yang memimpin pasukan itu selama Senapatinya pergi,
“sejak kau tinggalkan ia masih saja tidur nyenyak. Tidak seorang-pun
diperkenankan untuk mendekat, supaya ia tidak terkejut dan terbangun.”
Senapati yang memimpin pasukan kecil itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia mendekat agar desir
kakinya tidak mengejutkan Anusapati yang disangkanya masih tertidur
nyenyak itu.
Ketika ia menjengukkan kepalanya,
dilihatnya Putera Mahkota itu masih terbaring diam. Nafasnya yang
teratur membuat suatu irama pada gelombang dadanya.
Pemimpin pasukan itu mundur beberapa
langkah, lalu berdesis, “Ya. Tuanku Putera Mahkota masih tertidur
nyenyak. Biar sajalah ia beristirahat. Tentu ia merasa lelah sekali.”
Kemudian Anusapati itu-pun
ditinggalkannya. Senapati itu harus berunding dengan beberapa orang
terpenting didalam pasukan kecil itu, termasuk ketiga orang prajurit
pilihan yang mendapat tugas untuk mengawasi dan menjaga Putera Mahkota.
“Kita melihat kelainan pada padukuhan
itu,” berkata Senapati itu kepada mereka, “ada tiga orang berkuda yang
datang dan memasuki daerah mereka. Menilik sikap dan tatapan wajahnya
yang mantap, mereka pasti orang-orang penting.”
Kedua petugas sandi yang ada diantara
mereka-pun menganggukkan kepala. Salah seorang berkata, “Digerbang
padukuhan itu tersangkut janur kuning. Orang-orang terpenting dari
mereka telah menyambut ketiga orang berkuda itu di luar gerbang.”
Yang mendengar keterangan itu
mengangguk-anggukkan kepala. Dan Senapati itu-pun berkata, “Ternyata
kita menghadapi keadaan yang khusus. Tidak seperti yang kita
perhitungkan. Ada kekuatan baru yang agaknya berada di padukuhan itu.”
“Tetapi tentu tidak akan lama,” berkata
salah seorang prajurit yang ikut di dalam pembicaraan itu, “aku kira
mereka hanyalah sekedar tamu terhormat. Tetapi mereka akan segera
pergi.”
“Mungkin,” jawab pemimpin pasukan,
“tetapi kapan. Kapan mereka akan pergi? Dua hari, tiga hari atau
sepekan? Sedang kita harus kembali sesuai dengan rencana yang sudah
ditentukan, meskipun dalam keadaan yang khusus kita dapat mengambil
kebijaksanaan. Tetapi kita tidak akan terlampau jauh mundur dari saat
yang sudah ditentukan.”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?”
“Nanti malam aku akan melihat bersama
para petugas sandi. Setelah kami dapat mengetahui atau setidak-tidaknya
menduga siapakah mereka, kita akan menentukan sikap, apakah kita akan
menyerang sesuai dengan rencana, atau kita terpaksa menunggu sampai
mereka pergi. Namun dengan demikian, kita akan memerlukan waktu dan
persediaan makan kita akan habis sebelum waktunya kita pulang.”
Prajurit-prajurit yang mendengarkannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang jalan itulah yang agaknya harus
ditempuh. Mendapatkan keterangan sejauh-jauhnya sebelum menentukan
sikap, supaya pasukan kecil ini tidak terjerumus ke dalam kesulitan.
“Jadi, nanti malam kita akan mendekati padukuhan itu.”
“Siapa yang akan pergi?”
“Aku,” jawab Senapati itu, “bersama kedua
petugas sandi. Tetapi karena keadaan yang berubah, aku memerlukan
kesiagaan kalian kalau terjadi sesuatu. Pasukan ini-pun akan bergerak
mendekati gumuk itu. Tetapi tidak akan berbuat apa-apa kalau tidak ada
perintahku karena keadaan memaksa. Pasukan ini akan bersiaga agak jauh
dari padukuhan terpencil itu, tetapi setiap saat dapat langsung terjun
ke medan apabila diperlukan.
Prajurit-prajurit yang mendengarkannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kepada mereka-pun Senapati itu
memberikan beberapa gambaran tentang padukuhan terpencil itu.
“Sekarang, siapkan pasukan ini
sebaik-baiknya. Kita sudah cukup beristirahat, dan kita masih mempunyai
waktu setengah hari sebelum senja. Kita akan berangkat setelah menjadi
agak gelap.”
“Baiklah, kita akan bersiap-siap” jawab beberapa orang hampir berbareng.
Namun salah seorang prajurit yang diserahi tugas mengawal Anusapati bertanya, “Bagaimana dengan Putera Mahkota?”
“Tentu bersama kami. Tetapi jagalah
baik-baik. Mudah-mudahan malam nanti tidak terjadi sesuatu, sehingga
kami akan bergerak setelah aku mendapat gambaran yang jelas.”
Demikianlah, maka pasukan kecil itu telah
mulai berkemas-kemas. Yang masih merasa lelah, berusaha beristirahat
sebaiknya sebelum menjalani tugasnya yang baru.
Dalam pada itu, Anusapati yang telah
bangun dan bangkit dari pembaringannya dibalik batu itu-pun segera
mendengar pula rencana gerakan pasukan kecil itu dimalam nanti.
“O, kita akan menyerang di malam hari?” ia bertanya kepada seorang prajurit yang memberitahukan kepadanya.
“Tidak tuanku. Kita hanya berjaga-jaga.
Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan Senapati dan petugas-tugas sandi
itu, kita akan melindunginya.”
“Jadi kita akan bertempur dimalam hari?”
“Tidak. Tidak. Hanya apabila terpaksa saja.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia telah membayangkan, apa yang akan dilakukannya malam nanti.
Sebenarnya ia ingin juga melihat padukuhan itu dari dekat. Mungkin ia
akan mendapat bahan yang cukup untuk mempertimbangkan sikapnya
menghadapi keadaan. Apakah ia akan tetap menjadi seorang prajurit kecil
atau ia harus berbuat jauh lebih banyak lagi.
“Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan.
Menilik sikap dan sambutan yang diberikan oleh orang-orang padukuhan
itu, ketiga tamu berkuda itu pasti orang-orang yang mempunyai banyak
kelebihan dari mereka, sehingga menghadapi mereka bertiga, aku harus
berhati-hati,” berkata Anusapati itu di dalam hatinya.
Demikianlah, semakin rendah matahari, pasukan itu menjadi semakin sibuk mengemasi kelengkapan masing-masing.
Ketika senja kemudian turun
perlahan-lahan, maka pasukan kecil itu telah berada dalam kesiagaan
tertinggi. Seakan-akan mereka telah menghadapi lawan yang siap untuk
bertempur pula. Senjata mereka telah berada di lambung, dan bekal yang
tidak ada hubungannya dengan pertempuran, mereka tinggalkan di atas
pepohonan atau begitu saja diletakkan di atas bebatuan, karena isinya
yang memang sudah hampir habis.
“Apakah tuanku sudah bersiap?” bertanya Senapati itu kepada Anusapati.
“Ya, aku sudah siap.”
“Sebaiknya tuanku mempergunakan perisai. Kalau kita benar-benar akar bertempur, maka perisai itu perlu sekali bagi tuanku.”
“Kenapa aku harus mempergunakan perisai, sedang yang lain tidak?”
“Beberapa orang juga membawa perisai seperti tuanku lihat sendiri. Bukankah dengan perisai, kita menjadi lebih aman.”
“Perisai hanya akan mengganggu saja. Aku tidak akan leluasa mempergunakan pedangku.”
“Diperkelahian seorang lawan seorang
memang kadang-kadang perisai tidak menguntungkan. Tetapi di peperangan
semacam ini, tuanku akan memerlukannya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dilihatnya beberapa orang prajurit membawa perisai pula. Tetapi
prajurit-prajurit yang terpilih justru tidak mempergunakan perisai.
Namun Anusapati harus menurut petunjuk
itu supaya apabila terjadi sesuatu, Senapati itu tidak merasa bersalah.
Sehingga dengan demikian Anusapati-pun memilih perisai yang paling
sesuai baginya. Sebuah perisai yang memanjang dan berwarna kelam.
Demikianlah, maka pasukan kecil itu-pun
segera bergerak meninggalkan tempatnya, menuruni tebing yang rendah dan
menyusup di antara hutan rindang. Kemudian mereka-pun sampai ke padang
ilalang dan pohon-pohon perdu.
Sejenak kemudian, dari kejauhan mereka
telah melihat warna kemerah-merahan di atas pepohonan. Dan sejenak
kemudian tampaklah nyala api dipadukuhan terpencil itu. Agaknya mereka
sedang mengadakan suatu perayaan untuk menyambut tamu mereka dengan
makan-makan dan minum tuak di halaman sambil menghangatkan diri di
samping sebuah perapian.
Perlahan-lahan pasukan kecil itu bergerak
maju. Semakin lama semakin dekat. Namun sebelum mereka melihat dengan
jelas apa yang terjadi. Senapati itu sudah memerintahkan mereka
berhenti.
“Kalian tinggal di sini. Aku akan
mendekat. Kalau terjadi sesuatu, aku akan memanggil kalian. Aku kira
suaraku dapat mencapai jarak ini. Tetapi ingat, jangan membuat pertanda
apa-pun yang dapat menarik perhatian mereka. Sebenarnya jarak ini tidak
terlampau jauh.”
Prajurit-prajuritnya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun sebelum Senapati itu melangkah, Anusapati bertanya
kepadanya, “jadi aku ikut dengan kau?”
“Jangan tuanku. Tuanku tinggal bersama pasukan ini.”
“Tetapi bukankah aku bertugas untuk ikut mengintai sarang lawan?”
“Tetapi kita menghadapi keadaan yang agak
lain. Di padukuhan itu ada seorang tamu yang agaknya cukup penting
diikuti oleh dua orang pengiringnya.”
“Kebetulan sekali. Aku ingin melihat, siapakah mereka itu?”
“Jangan tuanku. Biarlah hamba bertiga
saja berangkat lebih dahulu. Hamba ingin meyakinkan keadaan. Barulah
hamba akan mengambil sikap tertentu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Beberapa orang prajurit memandang Anusapati dengan tegangnya. Agaknya
Putera Mahkota yang belum berpengalaman itu sama sekali tidak menyadari
bahaya yang tersembunyi dibalik pagar padukuhan itu. Seakan-akan Putera
Mahkota itu sedang berburu kijang yang sama sekali tidak akan
membahayakan. Tetapi kali ini mereka tidak sekedar berburu kijang. Kali
ini mereka memburu penjahat-penjahat yang bersenjata dan bahkan telah
timbul suatu keadaan di luar perhitungan mereka.
Dengan demikian, maka Anusapati terpaksa
tinggal bersama para prajurit yang lain di balik semak-semak yang
rimbun. Ia hanya dapat memandang ke kejauhan, kepada api yang menyala
dan memancarkan cahayanya kededaunan dan atap-atap rumah.
Sepeninggal Senapati itu Anusapati
meletakkan perisainya sambil bersungut-sungut, “Buat apa aku membawa
perisai kalau aku hanya akan tidur disini?”
“Tuanku,” berkata prajurit yang harus
memimpin pasukan sementara Senapati itu pergi, “keadaan memang cukup
berbahaya. Tetapi mungkin pula tidak, karena kita belum tahu pasti apa
yang terjadi dipadukuhan itu. Kalau tamu yang datang itu sekedar
tamu-tamu terhormat yang tidak mempunyai kemampuan dalam olah kanuragan,
maka keadaannya sama sekali tidak akan menegangkan urat syaraf. Tetapi
kalau mereka termasuk orang-orang penting dan bahkan mungkin
pemimpin-pemimpin perampok dari kelompok-kelompok yang lain, maka
semuanya harus diperhitungkan sebaik-baiknya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata, “Bagaimana kalau aku tidur sebentar?”
“Tidur? Didalam keadaan ini tuanku akan tidur?”
“Bukankah masih ada waktu untuk
beristirahat sebentar? Seandainya ada sesuatu yang terjadi, tentu tidak
akan begitu tiba-tiba saja. Kalau perlu bangunkan aku.”
“Dimana tuanku akan tidur?”
“Digerumbul itu.”
Pemimpin prajurit itu mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya kawan-kawannya untuk mendapatkan pertimbangan.
“Tetapi,” bertanya salah seorag dari mereka, “kalau tuanku terkejut, maka tuanku akan menjadi pening.”
Anusapati mengerutkan keningnya.
Ditatapnya wajah prajurit itu sejenak, lalu jawabnya, “Tentu di dalam
keadaan yang memaksa, mau tidak mau aku akan bangun. Meskipun aku akan
pening sejenak, namun pemusatan perhatian terhadap sesuatu akan segera
menyembuhkannya.”
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak ia menjadi agak bingung. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi
dalam keadaan ini sebaiknya tuanku tidak tidur. Semua prajurit harus
berada di dalam kesiagaan penuh menghadapi setiap kemungkinan yang dapat
terjadi.”
“Tetapi bukankah belum pasti ada
persoalan di antara kita dengan orang-orang itu sekarang? Barangkali
akan lebih baik apabila setiap prajurit mendapat kesempatan untuk tidur
sejenak. Mereka akan menjadi segar dan segenap kekuatan mereka akan
pulih kembali.”
“Waktu beristirahat sudah cukup tuanku. Justru sudah berlebihan.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Lalu,
“Baiklah. Aku tidak akan tidur. Aku hanya akan berbaring saja di dalam
gerumbul itu. Kalau ada sesuatu, lemparlah aku dengan batu. Aku akan
segera datang.”
Prajurit itu menjadi termangu-mangu
sejenak. Agaknya Putera Mahkota sudah mulai jemu melakukan tugas seorang
prajurit yang berat. Ia mulai menuruti keinginannya sendiri.
Meskipun demikian prajurit itu berkata,
“Tuanku. Tuanku dapat saja berada di gerumbul itu. Tetapi sebaiknya
tuanku tidak tidur. Sebaiknya tuanku ikut memperhatikan perkembangan
keadaan sehingga setiap saat tuanku siap untuk bertindak apa-pun juga
sebagaimana seorang prajurit.”
“Ya, ya. Aku tidak akan tidur. Kalau kau
memerlukan aku, kau tidak perlu datang ke gerumbul itu. Seperti sudah
aku katakan, lempar saja dengan batu. Aku akan datang.”
Tetapi sebelum Anusapati pergi, prajurit
itu berkata, “Sebaiknya seorang prajurit tidak meninggalkan kelengkapan
perangnya. Perisai tuanku tertinggal di sini.”
“O,” dengan segannya Anusapati memungut
perisainya, lalu melangkah meninggalkan prajurit itu menuju ke sebuah
gerumbul di balik sebuah batu.
Beberapa orang prajurit mengawasinya
selagi ia melangkah meninggalkan tempatnya. Tetapi tidak seorang-pun
yang berani bertanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Agaknya tuanku
Putera Mahkota masih terlampau lelah.”
Prajurit yang untuk sementara memimpin
pasukan itu selama Senapatinya mendekati padukuhan terpencil itu
mengangguk. Katanya, “Sebenarnya aku kasihan juga melihatnya. Ia tentu
terlampau lelah. Tetapi agaknya ia menjadi kecewa juga, karena ia tidak
diperkenankan mengikuti penyelidikan yang sedang dilakukan, karena hal
itu akan sangat berbahaya baginya. Sedang tuanku Putera Mahkota agaknya
tidak mengenal bahaya itu seakan-akan ia sedang pergi berburu.”
Prajurit-prajurit yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka melihat, bahwa sesungguhnya
Anusapati memiliki niat yang mantap untuk melakukan tugas-tugas
keprajuritan, meskipun ia masih memerlukan pengalaman untuk memantapkan
sikapnya.
Tidak seorang-pun yang mengusik ketika
Anusapati kemudian berbaring di pinggir gerumbul di belakang sebuah
batu. Sejenak ia terbatuk-batuk. Namun sejenak kemudian suaranya tidak
terdengar lagi.
“Mungkin Putera Mahkota itu tertidur,” desis salah seorang prajurit.
“Ingat, kalau terjadi sesuatu Putera
Mahkota itu jangan dilupakan. Begitu kita mendapat isyarat, begitu kita
berlari-lari sehingga kita tinggalkan saja Putera Mahkota itu seorang
diri,” berkata yang lain.
“Tentu tidak. Kami akan melemparkan batu untuk membangunkannya.”
“Lebih baik goyang kakinya.”
“Biarkan saja ia tidur,” berkata prajurit
yang lain, “agaknya kita tidak akan berbuat apa-apa malam ini. Kita
baru akan mendapat keterangan tentang tamu-tamu itu. Kalau kita tidak
segera mendapat perintah untuk berbuat sesuatu, sebaiknya kita menyimpan
tenaga untuk bosok. Kita dapat berganti-gantian tidur disini.”
Yang lain-pun mengangguk-anggukkan kepala. Memang mereka belum dapat menentukan apa yang akan mereka lakukan malam itu.
Namun dalam pada itu, selagi para
prajurit itu berbicara di antara mereka, Anusapati sudah tidak berada di
tempatnya. Diam-diam ia bergeser pergi, menyusul Senapati dan kedua
petugas sandi. Di malam hari Anusapati merasa lebih aman, karena orang
lain tidak akan mudah melihatnya.
Sejenak kemudian Anusapati telah berhasil
mengikuti jejak pemimpin pasukannya bersama kedua petugas sandi.
Meskipun mereka hanya sekedar berbisik-bisik, tetapi telinga Anusapati
yang tajam segera menangkapnya dan menemukan di mana mereka bersembunyi.
Ternyata mereka bertiga-pun tidak segera
mendekat. Mereka agaknya menjadi sangat berhati-hati. Untuk beberapa
lamanya, mereka bersembunyi di balik batu yang besar, di antara
pohon-pohon perdu, sehingga Anusapati segera dapat menemukan mereka.
Baru ketika malam menjadi semakin malam,
dan api yang menyala di halaman itu menjadi semakin redup, Senapati dan
kedua petugas sandi itu-pun mulai bergerak mendekat.
Dengan hati-hati sekali mereka memanjat
tebing yang tidak begitu tinggi di arah yang bertentangan dengan letak
gerbang padukuhan itu. Ketika mereka mencapai dinding-dinding batu,
mereka sejenak diam menunggu. Ternyata masih ada beberapa kesibukan di
dalam padukuhan kecil itu, sehingga mereka-pun tidak segera berbuat
sesuatu.
Anusapati yang mengikuti mereka bertiga
itu-pun berhenti pula beberapa langkah di belakang mereka. Di balik
gerumbul yang agak rimbun. Namun dari tempatnya, Anusapati juga dapat
mendengar kesibukan di dalam padukuhan kecil itu. Tetapi ia tidak dapat
melihatnya.
Sejenak Anusapati berpikir. Ia ingin
dapat melihat ke dalam, tetapi tidak kehilangan ketiga prajurit itu.
Kalau di saat wajar, ketiga prajurit itu mencemaskan kepada Anusapati,
namun disaat-saat yang gawat itu, justru Anusapatilah yang mencemaskan
nasib mereka, karena sepengetahuannya, meskipun ketiganya adalah
prajurit pilihan, yang mempunyai kelebihan dari prajurit-prajurit yang
lain, namun menghadapi orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
agaknya masih menemui kesulitan juga.
Namun dalam pada itu, padukuhan itu-pun
semakin lama menjadi semakin sepi. Satu-satu mereka masuk ke dalam rumah
dan satu-satu obor di halaman-pun menjadi padam. Agaknya mereka sudah
lelah dan kenyang, sehingga sambutan makan minum bagi ketiga tamu mereka
itu-pun sudah berakhir.
Ketiga prajurit Singasari yang masih
berada di luar dinding batu itu-pun menjadi semakin mendekat. Salah
seorang dan mereka mencoba berdiri beralaskan sebuah batu untuk
menjenguk keadaan di dalam dinding batu.
“Sepi,” desisnya.
“Tunggu sebentar,” berkata Sempati itu, “sebentar lagi kita masuk.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya,
sementara Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya di dalam hati,
“Prajurit-prajurit Singasari memang prajurit-prajurit yang berani.
Mereka tidak segan masuk ke sarang serigala untuk melakukan tugasnya.
Namun kali ini mereka benar-benar telah melakukan tugas yang berbahaya.”
Namun Anusapati tidak mencegah mereka.
Dipandanginya saja dengan dada yang berdebar-debar, ketiga orang itu
kemudian satu demi satu memanjat dan meloncat ke dalam.
Anusapati-pun tidak tinggal diam. Sejenak
ia menunggu. Kemudian ia-pun menjengukkan kepalanya dengan hati-hati.
Ketika ketiga orang ia tidak lagi memperhatikan dinding batu di
belakangnya, maka ia-pun segera meloncat dibalik sebatang pohon yang
besar, sehingga ketiga prajurit Singasari itu tidak melihatnya.
Agaknya kelelahan dan makan yang
terlampau banyak, membuat orang-orang di padukuhan kecil itu segera
tertidur. Tidak ada lagi suara apa-pun hampir di setiap rumah.
“Kita lihat rumah yang paling mungkin dipergunakan oleh ketiga tamu itu,” desis Senapati itu.
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan ketiganya-pun kemudian merayap semakin ke tengah, menyusup di antara
pepohonan dan pagar batu yang rendah.
Mereka-pun kemudian sampai di belakang
halaman yang luas dan berpagar agak tinggi. Di halaman masih berserakan
bekas makan dan minum yang belum sempat dibersihkan.
“Agaknya rumah inilah yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan mereka,” desis Senapati itu.
Kedua petugas sandi itu menganggukkan kepalanya hampir berbareng. Tetapi mereka tidak menyahut.
Sejenak mereka menunggu. Ketika mereka
kemudian bergeser sedikit ke samping, mereka melihat dua orang pengawal
lewat menyilang halaman.
“Masih ada juga yang berjaga,” desis salah seorang prajurit sandi itu.
“Ya. Dengan demikian kita dapat memastikan bahwa, di sinilah tamu-tamu itu ditempatkan.” jawab Senapati itu.
“Kita akan mendekat,” berkata prajurit sandi yang lain.
“Ya. Kita akan mendekat. Tetapi salah seorang dari kita akan mengawasi keadaan.”
“Ya. Kita masuk bersama-sama. Kita
bersembunyi di longkangan belakang rumah itu. Dari sana kita dapat
mendengar kalau masih ada pembicaraan di dalam rumah itu, sedang dari
sana kita dapat mengawasi keadaan di bagian belakang rumah itu.”
Ketiganya-pun kemudian meloncat masuk dan
lewat kebun belakang yang agak rimbun mereka mendekati rumah itu. Di
belakang rumah itu terdapat sebuah kandang yang kosong dan setumpuk kayu
bakar.
Ketiga orang itu-pun segera bersembunyi
di sebelah kandang di balik setumpuk kayu. Dengan sangat hati-hati
Senapati itu mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya.
“Kau tinggal disini,” katanya kepada
salah seorang petugas sandi, “aku berdua akan mencoba memperhatikan
keadaan di bagian dalam.”
“Kalian akan masuk?”
“Ya. Kami akan memanjat regol butulan
yang langsung masuk ke longkangan belakang. Mudah-mudahan orang-orang di
dapur sudah tertidur nyenyak.”
Petugas sandi yang seorang itu mengangguk.
Anusapati menjadi berdebar-debar.
Tindakan Senapati itu memang sangat berbahaya. Tetapi memang tidak ada
jalan lain untuk mengetahui keadaan di dalam rumah itu.
Dengan penuh kewaspadaan, bahkan kedua
orang itu sudah menggenggam masing-masing sebilah pisau yang siap
dipergunakan setiap saat, mereka-pun memanjat regol butulan. Sejenak
mereka menjenguk ke dalam. Tetapi karena tidak mendengar suara apapun,
bahkan desah natas-pun tidak, mereka-pun segera meloncat ke dalam.
Ternyata tidak seorang-pun berada di
dapur. Agaknya dapur itu memang tidak dipergunakan, karena tidak ada
bara sepeletik-pun didalam perapian. Bahkan perapian itu sudah dingin
sama sekali. Agaknya mereka telah mempergunakan rumah sebelah untuk
memasak dan menanak nasi yang berlimpah-limpah banyaknya.
Sejenak mereka berdua berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian mereka terperanjat oleh langkah yang sedang mendekat.
Dengan tergesa-gesa keduanya segera
bergeser dan bersembunyi, yang seorang dibalik geledeg kayu sedang yang
lain di sisi paga yang kosong.
Sejenak kemudian pintu butulan dari ruang
dalam-pun terbuka. Seorang yang bertubuh pendek besar dan berjambang
panjang keluar dari pintu itu. Langkah terhuyung-huyung berpegangan pada
tiang-tiang pintu. Sedang di belakangnya seorang yang bertubuh sedang
mengikutinya.
“Kau benar-benar akan pulang ke gubugmu?” bertanya yang bertubuh sedang.
“Buat apa aku tetap disini menunggui orang tidur. Bukankah guru Ki Lurah itu sudah tidur.”
“Tetapi Ki Lurah sendiri masih duduk di pendapa.”
“Kau sajalah mengawaninya. Aku akan kembali ke gubug itu. Perempuan itu pasti sudah menungguku.”
“Kau mabuk?”
“Tidak, tidak. Aku tidak mabuk. Aku biasa minum tuak sampai dua tiga bumbung tanpa mabuk.”
“Macammu. Kau mabuk sekarang.”
“Tidak. Aku tidak mabuk.”
“Terserahlah.”
Orang yang pendek berjambang itu-pun
kemudian melangkah sambil berpegangan dinding. Tetapi pintu longkangan
juga tertutup sehingga dengan setengah sadar ia mengetuk-ngetuk pintu.
“Gila kau,” desis yang bertubuh sedang, “tidak akan ada orang yang menjaga pintu itu. Kau sendirilah yang harus membuka.”
“O,” tangannya-pun segera meraba-raba selarak, tetapi tidak juga segera diketemukan.
Orang yang bertubuh sedang itu-pun segera meloncat kepintu itu. Dengan satu hentakan, maka pintu itu sudah terbuka. “Pergilah.”
Orang gemuk itu-pun melangkah pergi.
Dengan menyeret kakinya ia berjalan tertatih-tatih di kegelapan malam.
Ia tidak mau lewat pintu depan, karena pemimpinnya masih duduk di
pendapa beserta beberapa orang yang lain. Yang mabuk di antara
mereka-pun segera berbaring di atas tikar yang sudah terbentang
dipendapa itu pula. Tetapi agaknya orang gemuk itu sedang menyimpan
seorang perempuan di rumahnya sehingga ia telah memaksa dirinya untuk
kembali ke pondoknya.
Senapati dan seorang petugas sandi yang
menyertainya menjadi berdebar-debar. Mereka kini mendapat sebuah
keterangan yang sangat penting bagi mereka. Tamu itu adalah guru dari
pemimpin gerombolan yang tinggal di padukuhan kecil ini.
Sejenak mereka termangu-mangu sambil
menahan nafas, sampai orang yang bertubuh sedang itu hilang di balik
pintu butulan dari ruang dalam, dan pintu itu-pun kemudian tertutup pula
rapat-rapat.
Petugas sandi yang menunggu di luar-pun
melihat pula orang gemuk yang agak mabuk itu berjalan terhuyung-huyung
dikebun belakang. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa, supaya kehadiran
mereka bertiga tidak meninggalkan kesan apa-apa.
Ketika suasana di belakang rumah itu
telah menjadi sunyi kembali, maka Senapati itu-pun memberikan isyarat
kepada kawannya untuk mendekat.
“Kita berhadapan dengan orang yang agak lain dari yang kita perhitungkan,” bisik Senapati itu.
Kawannya menganggukkan kepalanya. Desisnya, “Bahkan guru pemimpin dari gerombolan ini.”
“Kita harus berhati-hati.” Kawannya menganggukkan kepalanya.
“Kita kembali kepada pasukan itu. Kita bicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Sekali lagi kawannya menganggukkan kepalanya.
Demikianlah maka kedua orang itu-pun
segera meninggalkan dapur yang tidak dipergunakan lagi itu. Setelah
mereka berada di luar, maka diajaknya petugas yang seorang itu-pun pergi
bersama mereka.
Dalam pada itu, Anusapati-pun masih juga
mengikuti mereka. Ia-pun mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua orang
anggauta gerombolan dipintu butulan. Ia-pun mengetahui, bahwa tamu yang
dihormati itu adalah guru dari pemimpin gerombolan yang tinggal
dipadukuhan kecil itu.
Ketiga orang prajurit Singasari itu-pun
segera menyusup di antara tetumbuhan dan pagar-pagar batu menjauhi rumah
yang dipergunakan oleh para tamu yang terhormat itu. Beberapa langkah
di belakang mereka, Anusapati-pun selalu mengikutinya.
Namun ketika mereka sudah hampir sampai
di dinding padukuhan itu, Anusapati terkejut. Ia merasa bahwa sesuatu
yang tidak dikehendaki telah terjadi. Telinganya yang tajam telah
mendengar desir kaki. Bukan kaki ketiga prajurit itu.
Karena itu, sambil menahan nafas ia
meloncat masuk ke dalam sebuah kebun yang agak rimbun. Sejenak ia
merunduk sambil melekatkan tubuhnya pada pagar dinding.
Tetapi Anusapati tidak mendengar apa-pun
lagi. Meskipun ia tetap tidak bergerak sama sekali, namun ia tidak
mendengar dan tidak melihat seorang-pun yang lewat.
Dengan demikian Anusapati menjadi semakin
berdebar-debar. Agaknya bukan saja telinganya yang mendengar betapa-pun
lemahnya, tetapi terlebih-lebih dari itu adalah firasatnya.
Pasti ada orang yang mengikuti kami meskipun agak jauh.
Anusapati-pun segera bangkit. Ia tidak
mau kehilangan pengawasan atas ketiga prajurit itu, sehingga dengan
demikian, meskipun ia tetap berhati-hati, berusaha menyusul ketiga
prajurit yang telah mendahuluinya.
Demikianlah, maka di malam yang semakin
gelap itu, Anusapati melangkah dengan sangat hati-hati. Sekali lagi
firasatnya menangkap sebuah desir di sekitarnya. Dan karena itu maka
ia-pun menjadi semakin berhati-hati.
Ketika Anusapati sampai di dinding batu
yang mengelilingi padukuhan itu, ia berhenti sejenak. Dengan saksama
diperhatikannya keadaan di sekelilingnya. Namun ia tidak mendengar
apa-pun juga. Bahkan rasa-rasanya malam menjadi semakin sepi.
Tetapi ia menjadi semakin cemas atas
nasib ketiga prajurit Singasari yang telah mendahuluinya. Seakan-akan
tangan-tangan yang berbisa sedang terjulur untuk menerkam mereka.
“Mereka bukan kanak-anak lagi,” berkata Anusapati di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat menyingkrkan kecemasannya.
Setelah ia menyakini kesenyapan malam di
sekitar tempatnya berhenti, Anusapati-pun segera meloncati pagar batu
itu. Sambil merunduk di antara pepohonan ia-pun segera menuruni tebing
yang rendah di belakang padukuhan itu untuk menyusul ketiga prajurit
Singasari yang telah mendahuluinya.
Sejenak kemudian langkahnya terhenti.
Sekali lagi ia merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Karena itu, maka
ia-pun menjadi semakin berwaspada.
Beberapa langkah kemudian hatinya
benar-benar bergejolak ketika dilihatnya tiga orang yang berjalan
beberapa langkah dihadapannya. Tetapi ketiga orang itu sama sekali bukan
prajurit Singasari yang sedang disusulnya.
Anusapati mengusap keningnya yang
berkeringat. Ia kini harus benar-benar berhati-hati. karena dihadapannya
itu pasti bukannya orang kebanyakan seperti para perampok dipadukuhan
itu. Karena itu maka ia harus mengatur langkahnya sebaik-baiknya, bahkan
pernafasannya. Beruntunglah ia bahwa ia dapat melihat ketiga orang itu
lebih dahulu, sehingga ia dapat mengatur dirinya menghadapi setiap
kemungkinan.
Agaknya ketiga orang itu masih belum mengetahui bahwa Anusapati telah melihatnya lebih dahulu.
Demikianlah ketiga orang itu berjalan dengan tergesa-gesa. Sedang Anusapati masih terus mengikutinya di belakang.
Dalam pada itu, ketiga prajurit Singasari
itu-pun telah menuruni tebing yang rendah itu pula. Sejenak mereka
berhenti dan berpaling. Tampak oleh mereka padukuhan itu masih tetap
sunyi.
“Kita telah berhasil mengetahui keadaan
yang sebenarnya dipadukuhan itu. Untunglah bahwa kita dapat mendengar
bahwa yang datang adalah guru dari pemimpin perampok itu. Kalau tidak,
apabila kita salah menilai kekuatan lawan, maka hal itu pasti akan
sangat berbahaya. Apalagi di antara kita terdapat Putera Mahkota,”
berkata Senapati itu.
“Ya. Kita sudah mempunyai bahan untuk memperhitungkannya. Sebaiknya kita harus berbuat cepat.”
“Ya. Kita harus mempertimbangkannya dengan matang.”
“Kita masih belum tahu pasti kelebihan
dari guru itu. Tetapi kemampuannya tentu jauh lebih besar dari pemimpin
perampok itu sendiri. Bahkan mungkin kedua orang yang menyertainya
itu-pun termasuk orang-orang yang pilih tanding.”
“Kemungkinan itulah yang harus segera
kita bicarakan. Apakah kita akan menyerang mereka dengan tiba-tiba untuk
mengurangi kemungkinan-kemungkinan perlawanan yang kuat, karena dengan
serangan yang tiba-tiba itu kita akan mendapat kesempatan lebih dahulu
mengurangi kekuatan lawan. Dengan demikian kita sempat menyusun
kelompok-kelompok kecil untuk melawan orang-orang pilihan di antara
mereka. Atau kita akan menentukan sikap yang lain.”
“Baik. Marilah kita kembali. Kita akan berbincang.” Ketiga prajurit itu-pun segera meneruskan langkahnya.
Tetapi baru selangkah mereka maju,
tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara dibalik
gerumbul, “Kalian tidak akan sempat memperbincangkan dengan siapapun.
Akulah orang yang kalian maksud. Akulah guru dari pemimpin perampok
itu.”
Dada ketiga prajurit itu-pun tergetar
mendengar kata-kata itu. Namun sebagai seorang prajurit, maka dengan
gerak naluriah mereka-pun segera mempersiapkan diri menghadapi setiap
kemungkinan.
“Nah. kau tidak usah bersusah payah
mencari aku. Aku sudah datang sendiri kepadamu,” berkata guru perampok
itu, “lebih baik aku memperkenalkan diriku lebih dahulu. Akulah yang
disebut orang Kiai Kisi. Pemimpin perampok itu memang muridku.”
Dada ketiga prajurit Singasari itu menjadi berdebar-debar.
“Aku sangat tertarik kepada
pembicaraanmu. Agaknya kau telah membawa Putera Mahkota bersamamu
sekarang. Itu bagus sekali. Aku ingin mendapatkannya. Aku ingin
menangkap Putera Mahkota itu agar dapat aku jadikan alat untuk memeras
Sri Rajasa yang perkasa. Apabila Putera Mahkota ada di tanganku, maka
semua permohonanku pasti akan dikabulkan.”
“Persetan,” Senapati itu menggeretakkan
giginya, “kau memang bodoh. Di dalam pasukan yang manapun, apabila
Putera Mahkota ada bersama mereka, maka pasukan itu adalah pasukan yang
tidak akan terkalahkan karena pengawalan yang sangat kuat. Kalau kau
ingin menghancurkan kepalamu dan seluruh anak buah muridmu, marilah, aku
tundjukkan kepadamu dimana Putera Mahkota sekarang ini berada.”
Tetapi Kiai Kisi itu tertawa. Katanya,
“Kalau kau cukup kuat untuk melawan aku, kau tidak akan bingung menyusun
pasukanmu. Kau tidak usah menyusun kelompok-kelompok kecil atau
menyerang dengan tiba-tiba. Aku mengerti, bahwa kehadiranku di sini
benar-benar tidak kau perhitungkan, sehingga dengan demikian, maka kau
menjadi bingung menghadapi keadaan ini.”
“Dugaan yang sangat dangkal. Sebagai
seorang prajurit kami memang harus berhati-hati. Tetapi jangan kau
sangka bahwa kau tidak dapat dikalahkan.”
Kiai Kisi tertawa lagi. Justru lebih
keras. Katanya, “Jangan menyembunyikan kelemahanmu. Sekarang kita
berhadapan. Kami memang berhasrat membunuh kalian bertiga. Lalu kami
akan menyerang kawan-kawanmu yang kini sedang melindungi Putera Mahkota
itu. Kami ingin menangkapnya hidup-hidup.”
Senapati itu menggeretakka giginya. Namun
demikian sebenarnyalah bahwa hatinya telah dicengkam oleh kecemasan.
Bukan karena dirinya sendiri. Tetapi justru karena nasib Putera Mahkota
yang seakan-akan telah diserahkan kepadanya.
Kalau orang yang menyebut dirinya bernama
Kiai Kisi ini benar-benar orang yang tidak terkalahkan, dan kemudian
berhasil menangkap putera Mahkota, maka persoalan yang semula merupakan
semacam suatu alat pendadaran ini, akan menjadi suatu bencana yang
sebenarnya bagi Anusapati.
Dalam kecemasan itu ia mendengar Kiai
Kisi berkata, “Jangan menyesal, bahwa kalian telah terjebak dalam sarang
harimau. Kalian mungkin menyangka bahwa gerombolan perampok dipadukuhan
kecil itu sama sekali tidak berarti sehingga kalian telah membawa
Putera Mahkota itu kemari. Tetapi bagaimana-pun juga kalian menyesal,
namun kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk meninggalkan
tempat ini.”
“Jangan mengigau,” bentak Senapati itu, “dengan satu isyarat aku akan dapat memanggil pasukan datang saat ini.”
“Jangan kau kira bahwa aku tidak akan
terbuat serupa. Aku akan dapat memanggil para perampok yang tinggal di
atas bukit kecil ini. Mereka masih belum seluruhnya tertidur. Mereka
akan segera menyiapkan kawan-kawan mereka dan langsung menuju ketempat
ini. Sebagian dari mereka sedang dalam keadaan agak mabuk sehingga
mereka pasti akan bertempur membabi buta. Nah, apakah kira-kira
pasukanmu akan mampu melawan para perampok yang sedang mabuk itu?”
“Tentu. Mereka akan dihancurkan sama sekali bersama kau dan muridmu.”
“Lucu sekali kedengarannya. Tetapi yang
sekarang berhahadapan adalah kita. Kau bertiga dan kebetulan sekali aku
juga bertiga. Tetapi bertiga bagimu sama sekali tidak berarti. Kedua
kawanku hanya akan menjadi penonton. Aku sendiri yang akan berkelahi
membinasakan kalian bertiga. Nah, terserahlah kepada kalian, apakah
kalian percaya atau tidak. Kalau kalian tidak percaya, marilah kita
coba. Sedangkan kalau kalian percaya, kalian dapat memanggil kawan-kawan
kalian untuk mati bersama selain putera Mahkota itu.”
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi merah padam karena marah. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak giginya.
“Aku akan segera mulai, bersiaplah,” berkata Kiai Kisi.
Senapati itu masih tetap berdiam diri.
Tetapi ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang
segera akan terjadi.
Namun demikian ia tidak segera berhasrat
memanggil orang-orangnya. ia akan menjajagi dahulu ketangguhan lawannya.
Hanya dalam keadaan yang memaksa ia akan memberikan isyarat, asalkan
dalam keadaan demikian tidak justru akan mengacaukan anak buahnya yang
sedang menunggunya, apalagi di antara mereka terdapat Putera Mahkota.
Selagi Senapati itu merenung sejenak,
Kiai Kisi berkata kepada kedua pembantunya, “Menyingkirlah. Lihat
sajalah bagaimana aku membunuh ketiganya dengan caraku. Tetapi kalau
salah seorang dari mereka sempat memberikan isyarat kepada
kawan-kawannya, salah seorang dari kalian kembali ke padukuhan untuk
memanggil kawan-kawanmu kemari. Kita musnakan semua orang yang datang
kemari selain Putera Mahkota yang akan menjadi tawanan kita, yang dapat
kita jadikan alat pemeras yang bagi Sri Rajasa yang berkuasa di
Singasari. Sebelum kita puas memeras Sri Rajasa putera Mahkota tetap
kita biarkan hidup. Tetapi apabila kita sudah jemu memerasnya, maka anak
itu akan kita bunuh saja.
Kemarahan dihati Senapati itu sudah tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Kiai Kisi dengan garangnya.
Namun ternyata Kiai Kisi benar-benar
seorang yang pilih tanding. Meskipun serangan Senapati itu tiba-tiba
saja meluncur seperti tatit, namun Kiai Kisi sempat mengelak sambil
tertawa. Katanya, “He, ternyata prajurit Singasari dapat juga berbuat
licik, yang menyerang dengan tiba-tiba sebelum memberitahukan lebih
dahulu kepada lawannya.”
Tetapi Senapati itu tidak peduli. Ketika
ia sadar bahwa serangannya tidak menyentuh sasarannya, maka ia-pun
segera mempersiapkan serangan berikutnya.
Kedua prajurit sandi yang menyertainya
itu-pun tidak tinggal diam saja melihat Senapatinya sudah mulai.
Keduanya-pun segera berloncatan pula menyerang dengan cepatnya.
Namun Kiai Kisi berhasil mengelak
serangan-serangan mereka dengan mudahnya. Bahkan dengan gerakan yang
sederhana, hampir tidak dapat dilihat dengan mata telanjang didalam
keremangan malam, ia telah menyerang lawannya pula. Sebuah pukulan yang
tidak begitu keras telah mengenai punggung Senapati dari Singasari itu
sehingga ia terdorong jatuh menelungkup.
Untunglah bahwa kedua kawannya cepat melakukan serangan beruntun sehingga Kiai Kisi itu harus menghindarinya.
Kesempatan itu agaknya telah dipergunakan
baik-baik oleh Senapati yang terjatuh itu. Dengan cepat ia melenting
berdiri dan mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan berikutnya.
Apalagi kini tangannya telah menggenggam senjatanya. Sebilah pisau
belati panjang di tangan kanannya dan sebuah pisau pendek di tangan
kirinya. Demikian juga kedua prajurit sandi itu. Mereka-pun telah
menggenggam pisau belati di tangan masing-masing.
“Kalian memang ingin mati
secepat-cepatnya,” desis Kiai Kisi. Lalu, “Tetapi ternyata aku
berkeputusan sebaliknya. Kalian harus mati perlahan-lahan karena kalian
telah berani melawan Kiai Kisi dalam suatu perkelahian. Penghinaan itu
harus kalian tebus dengan harga yang mahal sekali.”
Senapati Smgasari itu menggeram. Sejenak
ia berdiri tegak bagaikan patung, sedang kedua kawannya-pun telah siap
pula menghadapi lawannya yang aneh ini.
Namun, dalam pada itu, masih ada dua
orang lagi yang berdiri disebelah arena. Dua orang kawan Kiai Kisi yang
masih belum berbuat apa-apa. Seperti yang diperintahkan oleh Kiai Kisi,
maka keduanya itu hanya sekedar melihat apa yang akan terjadi di arena.
Sejenak kemudian, maka Kiai Kisi itu
berkata, “He prajurit-prajurit Singasari. Kalau kalian bersedia
menyerahkan Putera Mahkota tanpa peperangan, maka kalian akan mendapat
pengampunan. Kalian akan aku lepaskan untuk kembali ke Singasari. Kalau
kelak kau akan digantung di alun-alun, itu bukan salahku. Justru
atasanmu sendirilah yang tidak menaruh belas kasihan kepadamu dengan
seluruh pasukanmu.”
“Persetan,” Senapati itu menggeram.
Berbareng dengan itu maka ia-pun telah meloncat menyerang Kiai Kisi itu
pula, diikuti oleh kedua kawannya berturut-turut.
Bagaimana-pun juga tiga orang prajurit
pilihan dari Singasari itu tidak dapat diabaikannya. Serangan yang
datang berurutan itu telah membuat Kiai Kisi sibuk menghindarinya. Namun
ia-pun kemudian tidak membiarkan dirinya terus-menerus menghindar dan
menghindar. Akhirnya datang juga saatnya ia mulai menyerang
lawan-lawannya.
Agaknya ketiga prajurit Singasari itu
bukan pula prajurit kebanyakan. Yang seorang adalah pemimpin pasukan
kecil yang mendapat kepercayaan untuk membawa Putera Mahkota bersamanya,
sedang yang dua orang adalah petugas-tugas sandi yang terpilih. Itulah
sebabnya, maka Kiai Kisi masih juga memerlukan waktu untuk menguasai
ketiganya. Bahkan ternyata bahwa perkelahian yang terjadi di antara
mereka-pun menjadi semakin lama semakin seru.
“Kalian ternyata sangat memuakkan,” geram
Kiai Kisi, “aku terpaksa berbuat lebih banyak lagi. Jangan kalian
sangka bahwa aku sudah sampai pada puncak ilmuku.”
Ketiga prajurit Singasari itu tidak
menjawab sama sekali. Mereka justru menyerang semakin dahsyat. Berurutan
seperti gelombang laut yang satu-satu membentur batu-batu karang
dipantai. Ternyata bahwa Kiai Kisi tidak hanya sekedar berbicara.
Tandangnya menjadi semakin lama semakin mantap, sehingga segera tampak
bahwa ketiga prajurit Singasari itu yang justru prajurit pilihan, telah
terdesak.
Senapati Singasari itu menjadi ragu-ragu
untuk bertindak selanjutnya ketika ia sadar, bahwa lawannya benar-benar
seorang yang pilih tanding. Bahkan ia menjadi sangat cemas akan nasib
Putera Mahkota. Di dalam perkelahian yang telah menjadi berat sebelah,
meskipun ia bertempur betiga bersama kedua prajurit sandi itu, ia
membayangkan, bagaimanakah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi,
baik bagi pasukan kecilnya mau-pun baik Putera Mahkota yang ada di
antara mereka.
Sekilas Senapati itu melihat dua orang
kawan Kiai Kisi yang masih berdiri menonton perkelahian itu, sehingga
dengan demikian Senapati itu sempat membuat perhitungan, bahwa tiga
orang itu akan mampu melawan paling sedikit lima orang termasuk dirinya
sendiri bersama kedua petugas sandi itu.
“Keadaan yang sama sekali tidak diperhitungkan sebelumnya,” ia bergumam di dalam hatinya.
Karenan itu, ia benar-benar telah
dicengkam oleh kebimbangan. Apakah ia akan memanggil kawan-kawannya,
atau ia akan mencoba bertempur terus bersama kedua orang petugas sandi
itu. Kalau ia bertempur terus, maka hampir dapat dipastikan bahwa ia
bersama kedua petugas sandi itu akan terbunuh. Hal itu tidak akan banyak
memerlukan pertimbangan seandainya dengan demikian Putera Mahkota akan
dapat di selamatkan. Tetapi agaknya bagaimana-pun juga, akan sulitlah
bagi Putera Mahkota untuk membebaskan diri.
Dalam kebimbangan itulah, maka Kiai Kisi
menjadi semakin menguasai ketiga orang prajurit itu. Bahkan,
sekali-sekali serangan Kiai Kisi telah berhasil menyentuh lawannya.
Namun senjata ditangan prajurit-prajurit itu telah berhasil menahan
serangan-serangan Kiai Kisi yang terlampau cepat bagi mereka.
Senapati yang semakin terdesak itu masih
belum segera dapat menentukan sikapnya terhadap pasukannya. Ia sadar,
bahwa Kiai Kisi tidak akan sekedar menakut-nakutinya apabila kedua
kawannya atau salah seorang daripadanya akan memanggil kawan-kawannya
yang meskipun sebagian dari mereka sedang mabuk. Namun melawan para
perampok bersama Kiai Kisi dan kedua kawannya yang masih belum dijajagi
kemampuannya itu, agaknya pasukannya akan menjumpai kesulitan.
Dalam kebimbangan itu para prajurit
Singasari mendengar Kiai Kisi berkata, “He, kenapa kalian masih belum
memanggil kawan-kawanmu. Panggillah agar aku segera dapat menyelesaikan
pekerjaan ini. Aku-pun akan memanggil muridku dan orang-orangnya untuk
segera menangkap Putera Mahkota.”
Senapati Singasari itu hanya dapat
menggeram. Dicobanya untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi ia sama
sekali tidak berdaya menghadapi Kiai Kisi yang memiliki ilmu yang jauh
lebih tinggi dari mereka bertiga.
“Ternyata kalian tidak mau memanggil
kawan-kawan kalian. Apakah kalian menyangka bahwa dengan demikian mereka
akan dapat lolos dari tangan kami? Sayang, bahwa segala cara yang akan
kau tempuh tidak akan dapat menyelamatkan pasukanmu dan Putera Mahkota.
Kamilah yang akan menentukan nasib kalian yang malang itu, sehingga
secara kebetulan kalian telah menjumpai kami diantara perampok-perampok
yang kalian cari, yang kalian anggap telah mengganggu ketenteraman
Singasari itu. Namun yang terjadi ternyata sebaliknya. Kalianlah yang
akan hancur dan Putera Mahkota akan menjadi tawanan kami,” Kiai Kisi
itu-pun kemudian tertawa berkepanjangan.
Senapati itu menggeretakkan giginya.
Dengan segenap kemampuannya ia menyerang Kiai Kisi bersama dua orang
prajurit sandi yang menyertainya. Namun serangan-serangan itu tidak
banyak berarti. Meskipun Kiai Kisi harus berloncatan menghindar namun
serangan-serangan itu tidak akan dapat menentukan akhir dari pertempuran
itu.
Demikianlah maka semakin jelas bahwa Kiai
Kisi akan segera dapat mengakhiri perkelahian. Ketiga lawannya itu-pun
menjadi semakin terdesak dan mulai membayang pula saat-saat terakhir
dari perjuangan mereka yang gigih.
Namun sampai saat-saat terakhir Senapati
Singasari itu-pun masih belum dapat memutuskan, apakah yang sebaiknya
dilakukan atas anak buahnya. Sehingga dengan demikian maka Senapati
itu-pun masih belum memberikan isyarat apa-pun juga.
Tetapi Senapati itu-pun menyadari
keadaannya. Ia bersama kedua prajurit sandi itu tidak akan dapat
bertahan lebih lama lagi. Ketiganya pasti akan segera mengakhiri
perlawanan. Dan apakah yang akan terjadi atas mereka, tergantung sekali
kepada Kiai Kisi yang akan segera menguasai seluruh keadaan.
Meskipun ketiga prajurit Singasari itu
tidak berputus asa, namun mereka-pun mampu memperhitungkan keadaan,
sehingga mereka sudah tidak berpengharapan lagi untuk dapat meninggalkan
gelanggang.
Tetapi dalam pada itu, selagi Kiai Kisi
sampai pada keputusan terakhir untuk membinasakan ketiga lawannya itu,
tiba-tiba ia telah dikejutkan oleh suara tertawa dibalik sebuah
gerumbul. Suara itu tidak begitu keras, namun seakan-akan langsung
menusuk kepusat jantung.
“Kiai Kisi,” terdengar suara disela-sela
tertawanya, “apakah kau benar-benar akan membunuh ketiga orang itu dan
menangkap Putera Mahkota?”
Kiai Kisi tertegun sejenak. Tetapi bukan
saja Kiai Kisi, ketiga lawannya-pun menjadi termangu-mangu pula
karenanya. Sejenak kemudian mereka-pun melihat sesosok tubuh yang muncul
dari balik gerumbul. Hampir seluruh wajahnya tertutup oleh selembar
kain hitam, sedang pakaiannya yang membelit tubuhnya-pun tampak kusut
dan tidak keruan. Kainnya membelit pinggang di sela-sela kain yang juga
berwarna hitam. Dadanya yang telanjang tampak menengadah, seakan-akan
tidak akan dapat dilukai dengan jenis senjata apa-pun juga.
Kiai Kisi berdiri tegak ditempatnya.
Wajahnya menjadi tegang dan nafasnya mulai memburu oleh perasaan heran
yang menghentak-hentak dadanya.
“He, Kiai Kisi. Kenapa kau berdiri
termangu-mangu seperti melihat hantu? Sudah lama kita tidak ketemu.
Sekarang kesempatan yang aku tunggu-tunggu itu tiba. Aku dapat menciummu
di tengah-tengah padang ilalang ini.”
“Siapa kau? “ terdengar Kiai Kisi berdesis.
“He, kau sudah lupa kepadaku?”
“Siapakah kau?”
“Aku Siluman Bayangan. Nah, kau ingat sekarang?”
Kiai Kisi mengerutkan keningnya.
Perlahan-lahan ia bergumam, “Nama itu aneh sekali. Aku belum pernah
bertemu dengan jenis siluman apa-pun juga.”
Orang yang berkerudung itu tertawa.
Katanya kemudian, “Mungkin kau sudah lupa akan janjimu duapuluh tahun
yang lampau. Bahwa pada suatu saat kita akan bertemu lagi di medan
perkelahian. Nah, sekarang waktu itu telah lewat beberapa hari. Sampai
purnama terakhir, dua puluh tahun itu sudah lewat dua hari. Sampai
sekarang yang duapuluh tahun itu sudah lewat delapan hari.”
Kiai Kisi mencoba mengingat-ingat. Tetapi ia tidak berhasil mengingat kembali waktu yang duapuluh tahun itu.
“Duapuluh tahun memang waktu yang lama.
Tetapi pertemuan ini tidak akan sia-sia. Aku akan menuntut balas atas
kekalahanku dahulu. Bahkan seandainya aku tidak terperosok kedalam
jurang, kau pasti sudah membunuhku. Nah, niat membunuh itu kini telah
tumbuh pula dihatiku. Yang akan terjadi hanyalah dua kemungkinan. Kau
atau aku yang akan mati sekarang. Kita tidak akan sempat membuat janji
lagi untuk dua-puluh tahun mendatang. Umur kita sudah semakin tua, dan
duapuluh tahun lagi, kita tidak akan dapat lagi berdiri tegak di angin
yang agak kencang.”
Orang itu berhenti sejenak. Dipandanginya
wajah Kiai Kisi yang tegang. Namun kemudian Kai Kisi itu menggeram,
“Agaknya kau memang orang gila. Namamu sudah nama orang gila. Aku tidak
pernah mendengar nama serupa itu, bahkan yang sejenis dengan namamu itu
sampai sekarang.”
“O, jadi namaku tidak sesuai dengan
seleramu? Baik. Aku akan merubah namaku. Namaku yang sebenarnya adalah
Dandang Kaluwat. Nah, apakah kau sudah ingat?”
Kiai Kisi berpikir sejenak. Lalu,
“Persetan dengan namamu. Aku tidak perduli. Aku sudah lupa semuanya atau
memang semua itu tidak pernah terjadi. Kalau sekarang kau sengaja
membuat persoalan, marilah. Bersama dengan tiga orang itu, aku akan
membunuhmu juga. Kau tidak perlu mengarang serangkaian ceritera tentang
duapuluh tahun yang lalu. Kalau kau menyerang aku meskipun tanpa sebab,
aku akan melawan dan membunuhmu tanpa persoalan duapuluh tahun atau
seratus tahun yang lalu.”
“O. Begitu? Jadi kau samakan Dandang
Kaluwat dengan tiga orang anak-anak manis ini? Memang sayang kalau
mereka terbunuh. Apalagi mereka adalah pengawas-pengawas Putera
Mahkota.”
Orang itu terdiam sejenak lalu, “aku
tidak berkepentingan dengan ketiga orang itu. Sekarang aku akan
membunuhmu. Habis perkara. Aku juga tidak mau mengenang kekalahanku
duapuluh tahun yang lampau. Kekalahan yang memalukan sekali dari seorang
Dandang melawan sejenis Kisi yang mabuk ini.”
Kiai Kisi menjadi tegang. Tetapi ia tidak
berhasil mengingat nama Dandang Kaluwat itu, sehingga akhirnya ia
memutuskan bahwa nama itu memang belum pernah didengarnya.
Karena itu maka katanya, “Ayo Dandang
Kaluwat kalau kau ingin mulai, marilah segera mulai bersama dengan
ketiga prajurit ini. Atau kau sebenarnya juga seorang prajurit yang
menyamar?”
“Aku tidak mau diganggu apabila aku sudah
turun ke arena. Karena itu, aku minta waktu beberapa saat saja untuk
berkelahi melawan Kiai Kisi.” lalu ia berpaling kepada ketiga prajurit
Singasari itu, “silahkan beristirahat. Aku akan bertempur seorang
melawan seorang sebagai layaknya seorang Dandang Kaluwat. Kalau kalian
masih ingin bertempur, uruslah yang dua orang itu. Kalian dapat
menangkapnya dan membawanya ke Singasari bersama-sama kawannya yang
lain. Kalian akan segera dapat menyelesaikan tugas kalian tanpa diganggu
lagi oleh Kiai Kisi yang tamak ini.”
Kemarahan Kiai Kisi telah sampai ke
puncak ubun-ubunnya, sehingga karena itu ia berteriak, “jangan banyak
bicara. Aku sudah siap membunuhmu.”
Orang yang menyebut dirinya bernama
Dandang Kaluwat itu-pun segera mempersiapkan dirinya. Selangkah ia maju.
Namun ia masih sempat berkata, “Jangan ganggu aku. Kalau dua orang
kawan Kiai Kisi itu akan berbuat aneh-aneh, tangkaplah mereka.”
Senapati Singasari yang seolah-olah
justru membeku itu sadar ketika Kiai Kisi tiba-tiba saja telah menyerang
Dandang Kaluwat. Namun Dandang Kaluwat ternyata cukup tangkas untuk
menghindarinya.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat
dalam perkelahian. Namun kali ini Kiai Kisi tidak sekedar melawan tiga
orang prajurit yang mempunyai kemampuan jauh di bawah kemampuannya. Kini
ia bertempur melawan seseorang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat,
yang ternyata memiliki ilmu yang cukup kuat untuk melawannya.
Senapati bersama dua orang petugas sandi
dari Singasari itu-pun bergeser beberapa langkah surut. Sejenak mereka
memandang dua orang kawan Kiai Kisi yang agaknya sedang memperhatikan
perkelahian yang sedang terjadi itu. Perkelahian yang benar-benar
merupakan perkelahian yang semakin lama semakin seru.
Kiai Kisi yang dibakar oleh kemarahan
menyerang Dandang Kaluwat seperti banjir bandang. Beruntun tidak
henti-hentinya. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum
ketiga prajurit Singasari itu berusaha melarikan diri.
Tetapi agaknya lawannya sama sekali tidak
membiarkannya berbuat seperti rencananya. Lawannya yang menyebut diri
bernama Dandang Kaluwat itu mampu bergerak sedahsyat angin prahara yang
melandanya bertubi-tubi.
Baik Senapati dan kedua petugas sandi
dari Singasari, mau-pun kawan-kawan Kiai Kisi, telah dicengkam oleh
kekaguman atas perkelahian yang telah terjadi itu. Ternyata Kiai Kisi
yang pilih tanding itu kini mendapat lawan yang mampu mengimbanginya.
Bahkan bukan saja mengimbanginya, tetapi mampu memaksa Kiai Kisi untuk
sekali-sekali meloncat surut.
Memang terasa oleh Kiai Kisi bahwa
lawannya semakin lama menjadi semakin garang. Ilmu yang dipergunakan
oleh Dandang Kaluwat adalah ilmu yang membingungkan baginya. Tampaknya
ilmu itu tidak memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Namun didalam
benturan-benturan yang terjadi, ternyata bahwa Kiai Kisi selalu terdesak
surut.
“Gila,” geramnya didalam hati, “siapakah orang ini sebenarnya?”
Namun dalam pada itu, orang yang menyebut
dirinya bernama Dandang Kaluwat dan menutup wajahnya dengan sepotong
kain hitam itu-pun heran melihat tandang Kiai Kisi. Semakin lama justru
menjadi semakin kasar. Bahkan kadang-kadang orang itu telah berbuat
sesuatu diluar dugaan. Didalam perkelahian yang kedua-duanya tidak
mempergunakan senjata itu, orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat
itu-pun segera melihat, bagaimana Kiai Kisi percaya kepada kekuatan
jarinya.
Dengan garangnya Kiai Kisi kadang-kadang
meloncat menerkam seperti seekor harimau. Kedua tangannya terjulur
kedepan, sedang jarinya yang mengembang siap untuk mencengkam tubuh
lawannya.
“Aku pernah melihat cara dan unsur-unsur gerak seperti ini,” katanya di dalam hati.
Sambil bertempur orang yang menyebut
dirinya bernama Dandang Kaluwat itu mencoba mengingat-ingat, dimana ia
mengenal tata gerak yang demikian. Agaknya ia menjadi ragu-ragu ketika
ia kemudian teringat, bahwa ia pernah melihatnya justru di istana
Singasari.
Untuk menyakinkan pengamatannya, maka
Dandang Kaluwat itu-pun segera memperdahsyat serangan-serangannya.
Tangannya bergerak dan terayun dari segala arah, seperti berpuluh-puluh
pasang tangan yang bergerak bersama-sama.
Dalam keadaan yang sulit itu. Kiai Kisi
telah mengerahkan segenap kemampuannya, yang seperti diduga oleh orang
yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu, semakin lama menjadi semakin
kasar.
Dengan penuh keragu-raguan ia bergumam
didalam hatinya, “Tohjaya. Tata gerak ini pernah aku lihat pada anak
itu.” Namun kemudian, “tetapi apa mungkin bahwa keduanya memiliki ilmu
serupa. Atau setidak-tidaknya bersumber pada cabang ilmu yang sama?”
Pertanyaan itu telah berputar-putar di
kepalanya. Namun ia menjadi semakin pasti, bahwa ilmu itu senada dengan
ilmu yang dipelajari oleh Tohjaya dari gurunya yang diliputi oleh
rahasia, yang tugasnya sehari-hari justru penasehat Ayahanda Sri Rajasa
di istana Singasari.
Dan dari penasehat ayahandanya itulah
Tohjaya menyadap ilmu yang kasar dan kadang-kadang menjadi seakan-akan
liar. Seperti juga Kiai Kisi yang mulai terdesak itu-pun menjadi liar
pula.
Dengan demikian maka orang yang menyebut
dirinya Dandang Kaluwat itu-pun menjadi semakin cermat mengamati tata
gerak lawannya. Hampir setiap unsur gerak yang khusus selalu diingatnya
baik-baik. Tata gerak yang pernah tampak pada Tohjaya maupun yang belum.
Sejenak kemudian maka perkelahian itu-pun
menjadi semakin nyata bagi mereka yang menyaksikannya. Kiai Kisi, yang
merasa dirinya tidak terkalahkan itu semakin terdesak surut. Betapa ia
berusaha mempertahankan dirinya, tetapi lawannya memang memiliki
beberapa kelebihan yang tidak teratasi. Meskipun Dandang Kaluwat itu
sama sekali tidak mengimbangi kekasaran Kiai Kisi yang hampir menjadi
buas itu, namun ia sanggup menguasai setiap gerak dan sikapnya.
Kiai Kisi akhirnya tidak dapat
mengelakkan diri dari kenyataan itu, sehingga segenap kemampuannya telah
diperasnya habis-habisan.
Dalam pada itu, kedua kawannya-pun
menjadi cemas melihat perkembangan dari perkelahian itu. Orang yang
menamakan diri Dandang Kaluwat dan tiba-tiba saja masuk ke arena
pertempuran, telah membuat segala-galanya berubah. Semua rencana yang
telah disusun menjadi pecah.
Sejenak kemudiannya masih tetap berdiam
diri. Sekali-sekali disambarnya ketiga prajurit Singasari dengan tatapan
matanya yang penuh kebimbangan. Mereka berdua telah melihat ketiganya
bertempur melawan Kiai Kisi. Sehingga dengan demikian mereka-pun telah
dapat menjajagi, betapa ketiganya adalah prajurit-prajurit yang
benar-benar memeluk tugas keprajuritannya.
“Persetan,” tiba-tiba salah seorang dari
kedua orang kawan Kiai Kisi itu menggeram didalam hatinya, “ketiga orang
itu harus dibinasakan dahulu. Baru aku dapat membantu Kiai Kisi melawan
iblis yang tiba-tiba saja telah mengganggu itu,” dengan satu isyarat ia
mengajak kawannya segera berbuat. Dan agaknya kawannya-pun mempunyai
perhitungan yang serupa pula. Karena itu, maka keduanya-pun segera
beringsut dari tempatnya perlahan-lahan. Mereka berharap bahwa geraknya
tidak menumbuhkan kecurigaan, sehingga dengan serta-merta mereka dapat
menyerang dan menjatuhkan lawannya.
Tetapi ternyata ketiga prajurit Singasari
itu-pun bukan kanak-anak lagi yang sedang terpesona melihat sepasang
penari di malam peralatan. Karena itu, gerak kedua kawan Kiai Kisi itu
telah menimbulkan kecurigaan pula kepada mereka.
Dengan diam-diam ketiganya mempersiapkan
dirinya. Mereka masih membawa senjata-senjata mereka di tangan. Namun
mereka masih belum beringsut dari tempatnya.
Sejengkal demi sejengkal kedua kawan Kiai
Kisi itu beringsut terus, semakin lama semakin dekat dengan ketiga
prajurit Singasari. Meskipun nampaknya ketiga prajurit itu tidak
menghiraukan mereka, namun mereka sudah bersiap menghadapi setiap
kemungkinan.
Ketika kedua orang itu merasa waktunya
telah tiba, dengan satu isyarat pula, tiba-tiba saja keduanya telah
meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi tidak seperti yang mereka duga,
ketiga prajurit itu telah siap menyambut serangannya. Dengan tangkasnya
mereka menghindar dan bahkan dengan cepat pula mereka-pun berganti
menyerang.
Justru kedua kawan Kiai Kisi itulah yang
terkejut. Sejenak mereka menjadi bingung. Namun sejenak kemudian mereka
telah berhasil menguasai keadaan dan kebingungan didalam diri
masing-masing, sehingga keduanya-pun segera menjadi mapan.
Prajurit-prajurit Singasari itu tidak
merasa lagi terikat pada sikap perang tanding. Apalagi setelah kedua
orang itu menyerang dengan diam-diam, mereka seakan-akan merupakan
prajurit-prajurit di medan perang. Siapa yang lengah, ialah yang akan
binasa. Tidak seperti tata kehormatan di dalam perang tanding yang
beradu dada dan selalu menyerang dengan sikap jantan.
Demikianlah maka kedua kawan Kiai Kisi
itu-pun segera terlibat di dalam perkelahian yang seru melawan ketiga
prajurit Singasari itu. Ternyata keduanya juga bukan orang-orang
kebanyakan. Keduanya agaknya murid-murid yang terpercaya pula dari Kiai
Kisi di samping muridnya yang menjadi kepala berampok yang bersembunyi
di padukuhan itu.
Kai Kisi sendiri yang terlibat didalam
perkelahian yang berat, masih sempat juga sejenak melihat perkelahian
yang terjadi. Ia memang berharap bahwa kedua murid-muridnya itu dapat
segera mengalahkan lawannya.
Namun, ketiga prajurit Singasari itu-pun
bukan pula prajurit yang dipungutnya dari antara para pengawal di
padukuhan-padukuhan. Ketiganya adalah prajurit pilihan, dan bahwa
seorang di antaranya adalah prajurit yang sudah mendapat kepercayaan
memimpin pasukan kecil yang membawa Putera Mahkota, sedang dua yang lain
adalah prajurit sandi yang terpercaya.
Itulah sebabnya maka kedua orang itu
tidak segera dapat menguasai lawannya. Bahkan perkelahian di antara
mereka itu menjadi kian sengit. Ketiga prajurit yang tidak mampu melawan
Kiai Kisi itu kini berjuang mati-matian untuk melawan dua orang
muridnya.
Namun kemudian ternyata bahwa di dalam
perkelahian yang demikian, dua orang kawan Kiai Kisi yang menurut tata
geraknya adalah murid-muridnya itu, memiliki beberapa kelebihan dari
ketiga prajurit Singasari itu. Geraknya yang kasar dan liar,
kadang-kadang membuat, lawan-lawannya menjadi bingung, dan bahkan ngeri
dan berdebar-debar. Tetapi mereka sadar, bahwa apabila mereka
terpengaruh oleh perasaan itu, maka akhirnya mereka akan benar-benar
dicincang oleh kedua orang yang buas itu.
Karena itulah maka mereka-pun segera
berjuang mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Ketiganya berusaha
untuk bertempur sebaik-baiknya melawan kedua orang itu, tanpa
menempatkan diri dalam suatu ikatan perlawanan. Ketiganya bertempur isi
mengisi dan berusaha melawan kekasaran kedua lawannya itu dengan
kecepatan bergerak. Sekali-sekali mereka berputar-putar, namun tiba-tiba
mereka menyerang berganti-ganti.
Agaknya usaha itu sedikit memberikan
pengaruh. Kecepatan bergerak ketiga prajurit Singasari itu agaknya
berhasil mengurangi tekanan-tekanan dari kedua orang yang semakin lama
menjadi semakin ganas karena kemarahan yang melanda dinding jantung
mereka.
Tetapi untuk mengalahkan ketiga prajurit
Singasari yang terpilih itu memang tidak terlampau mudah. Mereka
memerlukan waktu dan perjuangan yang cukup berat.
Namun dalam pada itu Kiai Kisi sendiri
semakin lama menjadi semakin terdesak. Ia tidak mempunyai kesempatan
untuk menyerang. Betapa liarnya cara yang dipakainya, tetapi justru
karena itu, maka ia-pun segera kehilangan kemantapannya untuk melawan
serangan-serangan orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat
itu.
Sekilas ia mencoba menuai perkelahian dua
orang kawan-kawannya. Namun keduanya-pun agaknya masih memerlukan waktu
yang lama, meskipun keduanya tidak terdesak.
Kehadiran orang yang menyebut dirinya
bernama Dandang Kaluwat itu benar-benar di luar perhitungan Kiai Kisi.
Dengan demikian, rencananya untuk menangkap Putera Mahkota semakin lama
menjadi semakin pudar. Ia tidak akan dapat menggunakan Putera Mahkota
untuk memeras kerajaan. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa seperti yang
diinginkannya apabila Putera Mahkota itu ada di tangannya.
Dalam kecemasannya itu, masih juga
terngiang segala janji yang pernah didengarnya. Rencana yang tidak saja
disusunnya sendiri. Namun kenyataan yang dihadapinya benar-benar di luar
dugaan.
“Apakah aku memang dijebak dengan cara
ini?” ia menggeram di dalam hatinya, “atau iblis ini memang mempunyai
kepentingan sendiri, yang kebetulan bersamaan waktunya, atau iblis ini
memang berkepentingan pula dengan Putera Mahkota?”
Demikianlah maka akhirnya Kiai Kisi
sampai pada suatu kesimpulan, bahwa ia harus mempergunakan ilmu
pamungkasnya. Ia harus mempergunakan aji yang diandalkan selama ini
untuk menyelesaikan kesulitan yang timbul didalam setiap pertempuran
melawan siapa-pun juga. Biasanya, setiap orang yang tidak dapat
dikalahkannya dengan kemampuan wantahnya. akan segera dibinasakan dengan
aji pamungkasnya.
Agaknya orang yang menyebut dirinya
Dandang Kaluwat itu-pun harus dihancurkannya dengan ilmu tertingginya,
sehingga tubuhnya akan robek tersayat-sayat.
“Apaboleh buat. Ia harus menyesali kesombongannya,” berkata Kiai Kisi didalam hatinya.
Demikianlah, ketika Kiai Kisi benar-benar
tidak mampu lagi melawan kecepatan gerak orang yang menyebut dirinya
Dandang Kaluwat, maka ia-pun segera mempersiapkan dirinya untuk
melepaskan aji pamungkasnya.
Dengan suatu loncatan yang jauh ia
berusaha mendapat kesempatan sesaat, untuk membangunkan kekuatan
tertingginya. Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat, yang berusaha
memburunya tiba-tiba tertegun ketika ia melihat Kiai Kisi telah
bersikap dan pemusatan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya.
“O,” berkata Dandang Kaluwat, “kau pergunakan aji pamungkasmu?”
Kiai Kisi tidak menjawab. Tetapi ia sudah berhasil membangunkan kekuatannya.
Orang yang menyebut dirinya Dandang
Kaluwat itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia-pun tidak mau hancur
berkeping-keping oleh kekuatan aji lawannya, sehingga ia-pun harus
melawannya pula dengan kekuatan tertingginya.
Kedua kawan Kiai Kisi yang bertempur
melawan ketiga prajurit Singasari sempat melihat, bahwa Kiai Kisi sudah
bersikap. Karena itu, mereka-pun menjadi berdebar-debar. Mereka sandar,
bahwa Kiai Kisi benar-benar tidak mampu melawan orang yang menyebut
dirinya bernama Dandang Kaluwat itu dengan tenaga wantahnya, sehingga ia
harus membinasakannya dengan kekuatan terakhir yang disimpannya.
“Sebentar lagi orang yang menamakan
dirinya Dandang Kaluwat itu pasti akan remuk. Tulang-ulangnya akan
berpatahan dan darahnya akan memancar seperti air di dalam belanga yang
terbanting di atas batu hitam.” mereka berkata kepada diri sendiri.
Meskipun Kiai Kisi adalah gurunya dan bahkan keduanya adalah orang-orang
yang liar pula, tetapi kematian yang demikian, adalah kematian yang
paling mengerikan.
“Setelah orang yang menyebut dirinya
Dandang Kaluwat itu, akan datang gilirannya ketiga orang ini,” salah
seorang dari mereka meneruskan di dalam hatinya, “kalau Kiai Kisi, sudah
marah, dan sekali membangun aji pamungkasnya, maka setiap lawan akan
mengalami nasib yang serupa.”
Terbayang dirongga matanya burung-burung
gagak yang besok siang akan beterbangan mengitari padang ilalang ini.
Karena bau darah dan daging yang berceceran.
“Mungkin juga setiap prajurit Singasari yang lain, kecuali putera Mahkota.”
Demikianlah pertempuran itu kian menjadi
tegang. Bahkan kedua kawan Kiai Kisi itu hampir tidak sempat lagi
melayani lawannya, karena ia ingin melihat, apa yang akan terjadi
kemudian atas orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat.
Tetapi lawan-lawannya, ketiga prajurit
Singasari itu-pun mulai tertarik pula kepada akhir dari perkelahian
mati-matian antara Kiai Kisi dan orang yang menyebut dirinya Dandang
Kaluwat. Mereka-pun mengerti pula, bahwa Kiai Kisi sudah sampai pada
puncak tertinggi dari ilmu terakhirnya.
Itulah sebabnya maka mereka-pun menjadi
tegang pula, sehingga mereka tidak lagi menyerang lawan-lawannya dengan
bersungguh-sungguh. Bahkan kemudian seakan-akan mereka telah berhenti
bertempur untuk mendapat kesempatan melihat apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu Kiai Kisi-pun sudah siap
untuk menghantamkan ilmu terakhirnya. Namun pada saat itu, orang yang
menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun telah memusatkan segenap akal
budinya. Maka terbangunlah suattu kekuatan yang dahsyat yang kemudian
telah siap untuk menerima kekuatan tertinggi dari Kiai Kisi. Dan
kekuatan yang tersalur lewat anggauta-anggauta badan orang yang
menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu adalah kekuatan yang tiada
terkira, yang di sebut aji Gundala Sasra.
Kiai Kisi melihat juga orang yang
menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu sedang berusaha mempertahankan
dirinya. Tetapi Kiai Kisi yakin, bahwa tidak ada kekuatan yang akan
mampu menahan kekuatan pamungkasnya. Betapa-pun dahsyatnya ilmu yang
dimiliki lawannya, namun aji pamungkasnya adalah kekuatan yang tidak ada
duanya di muka bumi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai
Kisi telah meloncat untuk melontarkan kekuatan ajinya. Sambil berteriak
nyaring tangannya terayun tepat mengarah ke kepala Dandang Kaluwat.
Tetapi orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun telah siap
pula. Ia-pun segera mengimbangi serangan lawannya, meloncat sambil
mengayunkan tangannya pula, yang telah dilambarinya aji Gundala Sasra.
Sejenak kemudian terjadilah benturan yang
dahsyat antara dua kekuatan raksasa. Dua kekuatan yang hampir tidak ada
bandingnya. Seperti beradunya petir di udara, maka kedua kekuatan
raksasa itu telah menimbulkan akibat pada kedua orang yang telah
melontarkannya.
Ternyata kekuatan kedua aji itu hampir
berimbang. Meskipun kekuatan aji Gundala Sasra memiliki beberapa
kelebihan, tetapi agaknya orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat
itu masih belum menguasainya dengan sempurna. Sehingga dengan demikian,
maka kedua orang itu-pun segera terlempar beberapa langkah surut.
Seperti Kiai Kisi, maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat
itu-pun terbanting di tanah dan berguling berapa kali.
Namun ternyata bahwa ketahanan tubuh
mereka benar-benar luar biasa. Hampir berbareng pula mereka meloncat
bangkit. Dan hampir berbareng pula mereka telah siap untuk melepaskan
serangan-serangan berikutnya dengan kekuatan aji yang mereka miliki
masing-masing.
Tetapi sikap orang yang menyebut dirinya
Dandang Kaluwat agak berbeda. Tampaknya ia menjadi bertambah tegang.
Tangannya yang bersilang di dada menjadi bergetar dan seolah-olah
tanah-tanah di bawah kakinya yang sedikit merendah, tidak kuat lagi
menahan berat tubuhnya.
Ternyata bahwa orang yang menyebut
dirinya Dandang Kaluwat itu kini benar-benar telah memeras segenap
kemampuan yang di dalam hidupnya sehari-hari terpendam di bawah
kehendaknya. Kini, dalam keadaan yang sangat genting, semuanya itu telah
diungkit oleh kehendak yang terpusat dengan segenap akal budi dan
keyakinan.
Orang yang menamakan dirinya Dandang
Kaluwat itu-pun kemudian tidak sekedar menyiapkan aji Gundala Sasra
untuk melawan serangan lawannya, tetapi juga unsur-unsur kekuatan aji
Kala Bama yang telah luluh di dalam suatu pancaran sikap dan perbuatan.
Itulah sebabnya, maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu
menjadi gemetar, karena kekuatan itu sendiri memang kekuatan yang hampir
tidak terdukung olehnya.
Dan sejenak kemudian terjadilah saat-saat
yang mendebarkan itu. Sekali lagi Kiai Kisi meloncat untuk melepaskan
serangannya. Ia-pun berusaha untuk membangunkan segenap kekuatan yang
masih ada di dalam dirinya.
Tetapi kali ini kekuatannya telah
membentur luluhnya dua kekuatan yang dahsyat tiada taranya. Aji Gundala
Sasra dan aji Kala Bama. Karena itu, maka alangkah malangnya nasib Kiai
Kisi. Meskipun lawannya masih belum mampu menguasai kesempurnaan
luluhnya dua kekuatan itu, namun benturan itu telah melemparkannya
beberapa langkah surut. Sekali lagi ia terbanting di tanah. Tetapi kali
ini terasa betapa dadanya menjadi sakit dan sesak. Seakan-akan
tulang-ulang iganya telah tertindih oleh beratnya Gunung Semeru.
Karena itu, maka sejenak Kiai Kisi
menggeliat. Namun sejenak kemudian ia tidak kuasa lagi menahan himpitan
didadanya, sehingga ia-pun menjadi pingsan.
Dalam pada itu, lawannya yang menyebut
dirinya Dandang Kaluwat itu-pun terduduk di tanah untuk beberapa saat.
Terasa tubuhnya menjadi seberat timah dan nafasnya seakan-akan terputus
dikerongkongan. Dengan serta-merta ia memusatkan segenap sisa dan
tenaganya, untuk mencoba mengatasi kesulitan di dalam dirinya itu,
sehingga perlahan-lahan nafasnya telah mengalir kembali, meskipun masih
tersengal-sengal.
Sementara itu, kelima orang yang
menyaksikan itu, berdiri seakan-akan membeku. Mereka melihat dua
kekuatan raksasa yang telah beradu. Dan kini mereka sedang menunggui
akibat dari benturan kekuatan raksasa itu.
Namun akibat dari benturan itu, telah
menumbuhkan kecemasan dan kebingungan yang amat sangat pada dua orang
kawan Kiai Kisi yang masih tegak ditempatnya.
Mereka tidak menyangka bahwa hal yang
demikian itu dapat terjadi. Bagi mereka Kiai Kisi adalah kawan, guru dan
orang yang paling dikagumi. Selama ini mereka belum pernah menemui
kekuatan yang apalagi melebihi, bahkan mengimbangi-pun tidak.
Tetapi ternyata kini mereka menyaksikan
kenyataan itu. Kiai Kisi yang bagi mereka adalah kawan, guru dan
kebanggaan sekaligus itu, terkapar di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu
setelah kekuatannya membentur kekuatan orang yang menyebut dirinya
Dandang Kaluwat. Tetapi kedua orang itu tidak dapat menyebutkan,
kekuatan apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam diri Dandang Kaluwat.
Dalam kebingungan itu mereka melihat
Dandang Kaluwat duduk di tanah sambil memusatkan segenap sisa tenaganya.
Ia sedang berjuang untuk menemukan keseimbangan didalam dirinya,
mengatur pernafasannya dan mengatasi segala macam akibat dari benturan
yang dahsyat itu.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun
tiba-tiba salah seorang memberikan isyarat kepada yang lain, sehingga
tiba-tiba saja keduanya meloncat menyerang orang yang menamakan diri
Dandang Kaluwat itu.
Tetapi untunglah, bahwa ketiga prajurit
Singasari itu tidak lengah. Demikian mereka melihat gelagat yang
mencurigakan, mereka-pun segera bersiap, sehingga ketika mereka melihat
kedua orang itu menyerang, maka mereka-pun segera berloncatan untuk
menahan kedua orang itu.
Sambil mengumpat habis-habisan kedua
orang itu terpaksa menahan diri sejenak. Mereka terpaksa melayani ketiga
prajurit Singasari yang menyerangnya itu dengan segenap kemampuan yang
ada di dalam diri mereka.
Diantara mereka-pun segera terjadi
pertempuran yang sengit pula. Mereka mengulangi perkelahian mereka
dengan memeras segenap kemampuan. Ketiga prajurit Singasari itu
seakan-akan kini mendapat tenaga baru setelah Kiai Kisi tidak berdaya
lagi, sedang kedua lawannya bahkan dalam keadaan sebaliknya. Mereka
mulai dirayapi kecemasan dan ketakutan, apabila nanti orang yang
menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu telah menemukan kekuatannya
kembali, maka keduanya tidak akan berarti apa-apa lagi baginya.
Dengan demikian, maka kedua orang yang
semula menunjukkan beberapa kelebihannya itu, kini harus berjuang
mati-matian agar mereka dapat mempertahankan diri. Berjuang melawan
ketiga prajurit Singasari itu dan berjuang melawan kekecilan hati
sendiri setelah Kiai Kisi tidak ada di antara mereka.
Sejenak kemudian, selagi mereka bertempur
mati-matian, maka orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu
telah mulai menemukan keseimbangan di dalam dirinya kembali. Segala
jalur-jalur nafas dan darah telah berjalan seperti sediakala. Hanya
kekuatannyalah yang masih belum pulih sama sekali, meskipun lambat laun,
serasa mulai menjalari tubuhnya kembali bersama arus darahnya.
Sejenak kemudian orang yang menyebut
dirinya Dandang Kaluwat itu bangkit. Terhuyung-huyung ia berdiri sambil
memandang perkelahian yang sedang berlangsung. Sambil menggeliat ia
mengibas-ngibaskan tangan dan menggerakkan jari-jari tangannya. Kemudian
dijulurkannya kedua kakinya berganti-ganti.
Orang yang menyebut dirinya bernama
Dandang Kaluwat itu menarik nafas dalam-dalam. Kesegaran angin malam
membuat badannya menjadi segar.
Sejenak kemudian ia-pun berpaling. Dilihatnya Kiai Kisi masih terbaring diam.
Setapak demi setapak ia berjalan
mendekatinya. Ketika ia sudah berdiri disisinya, maka ia-pun kemudian
berjongkok di samping tubuh Kiai Kisi itu.
Sekilas ia masih memandang pertempuran
yang masih berlangsung dengan serunya. Ia masih sempat menilai dan
membuat perhitungan atas perkelahian itu.
“Perkelahian itu masih akan berlangsung lama,” katanya didalam hati, “biarlah mereka menjadi lelah lebih dahulu.”
Orang yang menyebut dirinya Dandang
Kaluwat itu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Kini perhatiannya
tertuju kepada orang yang pingsan dihadapannya.
Perlahan-lahan orang yang menamakan
dirinya Dandang Kaluwat itu memijit pundak Kiai Kisi. Kemudian bagian
atas dari perutnya. Diangkatnya kedua tangannya perlahan-lahan kemudian
sebuah sentuhan dipinggangnya, membuat Kiai Kisi mulai bergerak-gerak
sedikit demi sedikit.
Tetapi ketika perlahan-lahan ia mulai membuka matanya, maka justru dari mulutnya mulai mengalir darah yang kehitam-hitaman pula.
Dengan tubuh yang gemetar Kiai Kisi
melihat dalam keremangan malam, bayangan yang samar-samar.
Perlahan-lahan ia mencoba menggerakkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak
mampu lagi mengangkatnya.
“Siapa kau?” desisnya.
“Dandang Kaluwat,” jawab orang yang berjongkok di sampingnya.
“Persetan,” Kiai Kisi menggeram.
“Kenapa?”
“Kau telah menggagalkan rencanaku. Aku ingin menangkap Putera Mahkota.”
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Setan alas. Tidak ada. Aku memang ingin
menangkap Putera Mahkota itu. Dimana Putera Mahkota itu sekarang?” Kiai
Kisi mencoba untuk bangkit, tetapi tenaganya sudah lenyap sama sekali,
sehingga ia-pun telah terjatuh kembali, berbaring di atas tanah yang
berdebu.
Orang yang menyebut dirinya Dandang
Kaluwat itu mengerutkan keningnya. Dilihatnya darah yang sudah mulai
mengental meleleh di bibir Kiai Kisi. Ternyata bahwa benturan yang
terjadi telah merusakkan bagian dalam tubuhnya. Benturan antara
kekuatannya melawan luluhnya aji Gundala Sasra dan aji Kala Bama
walaupun belum sempurna.
“Kalau ia harus melawan kekuatan yang
lebih sempurna, maka ia tidak akan dapat bertahan untuk hidup beberapa
tarikan nafas saja,” berkata orang berkerudung itu di dalam hatinya.
Tetapi dalam keadaannya, Kiai Kisi masih mengigau, “Dimana Putera Mahkota? Aku akan menangkapnya.”
“Apakah kau pernah melihat Putera Mahkota?”
“Ya. Aku pernah melihat Putera Mahkota.”
“Dimana?”
“Di Istana Singasari.”
Orang yang menyebut dirinya Dandang
Kaluwat itu terkejut sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah
kau pemah masuk kedalam istana Singasari?”
“Ya. Aku pernah masuk dan melihat wajah Putera Mahkota.”
“Siapa kau sebenarnya dan dengan siapa kau berhubungan?” desis orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat.
Tetapi Kiai Kisi justru menggeram. Sekali
ia menggeliat lalu suara menjadi lemah, “Aku adalah Kiai Kisi. Aku
berhubungan dengan setiap orang di istana. Apa pedulimu? Sekarang dimana
Putera Mahkota? Dimana? Aku akan menangkapnya.”
Orang berkerudung hitam itu termenung
sejenak. Namun kemudian dilihatnya tubuh Kiai Kisi menjadi semakin
lemah. Bukan maksudnya untuk membunuh orang itu. Tetapi akibat dari
benturan yang dahsyat itu, agaknya jiwanya tidak dapat tertolong lagi.
Karena itu, maka orang yang menyebut
dirinya Dandang Kaluwat itu menjadi semakin dekat. Perlahan-lahan ia
berbisik, “Kau mencari Putera Mahkota?”
Kiai Kisi yang sudah memejamkan matanya tiba-tiba terbelalak lagi, “Ya. Aku akan membunuhnya sama sekali.”
Perlahan-lahan orang yang menamakan
dirinya Dandang Kaluwat membuka kerudung hitam di wajahnya sambil
membelakangi perkelahian yang sedang terjadi. Perlahan-lahan ia berkata,
“Kiai Kisi, inilah Putera Mahkota.”
Mata Kiai Kisi menjadi semakin
terbelalak. Samar-samar ia masih melihat wajah itu. Wajah yang
sebenarnya memang pernah dilihatnya.
“Ya. Ya. Kau, kau Putera Mahkota itu,” desisnya.
“Dan kita telah bertempur secara jantan.”
“Tetapi, tetapi kenapa kau mampu melawan kekuatanku yang tertinggi?”
Orang berkerudung hitam yang sebenarnya
adalah Anusapati itu tidak segera menjawab. Sementara Kiai Kisi masih
berbicara, katanya, “Bukankah Putera Mahkota adalah seorang anak muda
yang malas dan dungu, yang tidak mampu berbuat apa-apa? Tetapi kenapa
kau mempunyai kekuatan aji yang dapat melampaui kekuatanku?”
Anusapati mengerutkan keningnya. Lalu sekali lagi ia mendesak, “Dengan siapa kau berhubungan?”
Kiai Kisi memandang Putera Mahkota itu dengan mata yang semakin suram, “Aku telah dijebak.”
“Ya. Kau sudah dijebak. Siapa yang
menjebakmu? Siapakah yang telah menipumu untuk bertempur melawan Putera
Mahkota? Seandainya kita tidak bertemu sekarang, besok, kita akan
berhadapan pula. Dan kau akan mati dihadapan orang-orangmu. Nah,
katakan, siapa yang telah menipu dan menjebakmu mempertemukan kau dengan
Putera Mahkota, yang akan berarti kematianmu?”
Kiai Kisi mencoba menahan nafasnya yang memburu. Ia masih menggeliat. Tetapi wajahnya telah menjadi sepucat kapas.
“Aku, aku … “ suaranya terputus-putus.
“Siapa? Sebut namanya.”
Kiai Kisi menggerakkan bibirnya. Tetapi kemudian kepalanya tersentak. Kiai Kisi telah menarik nafasnya yang terakhir.
Anusapati-pun menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya wajah Kiai Kisi yang membeku. Ia telah meninggal selagi ia
akan mengucapkan sebuah nama Nama yang pasti sudah dikenal oleh
Anusapati.
“Ternyata ada usaha untuk menjebakku
disini,” desis Anusapati, “pasti orang istana yang mengetahui rencana
perjalananku. Pasti orang yang pernah berhubungan dengan lingkungan
keprajuritan, atau mendengar keputusan ayahanda untuk mengirim aku
kemari bersama sepasukan kecil prajurit-prajurit ini.”
Anusapati tiba-tiba menggeram. Namun
sejenak kemudian ia sadar akan keadaannya saat itu. Karena itu, maka
dikenakannya kembali kerudung hitamnya. Perlahan-lahan ia berdiri dan
melangkah mendekati arena.
Sejenak ia melihat perkelahian yang
menjadi semakin seru. Meskipun ketiga prajurit Singasari itu kini
berhasil bertahan namun tidak dapat diharap bahwa mereka akan segera
memenangkan perkelahian. Apalagi sepeninggal Kiai Kisi, maka murid
beserta anak buahnya pasti akan berbuat sesuatu. Karena itu, menurut
perhitungan Anusapati, pertempuran tidak akan dapat ditunda lagi.
Prajurit Singasari harus menyergap malam ini juga selagi sebagian
orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu sedang dilelahkan oleh
kesibukan mereka menerima kedatangan Kiai Kisi, serta makan minum yang
berlebih-lebihan.
Karena itu, maka Anusapati yang telah
mendapatkan seluruh kekuatannya kembali itu-pun melangkah perlahan-lahan
mendekati arena sambil berkata, “Aku tidak sengaja membunuhnya. Tetapi
Kiai Kisi telah meninggal.”
Berita itu benar-benar telah mengejutkan
kedua kawan-kawannya itu. Bahkan kemudian serasa kekuatan mereka telah
susut sebagian sehingga perlawanan mereka tidak akan banyak berarti
lagi.
Tetapi ternyata mereka juga tidak segera
menyerah. Mereka masih berusaha menguasai perasaan mereka, agar mereka
masih dapat melakukan perlawanan atas ketiga prajurit Singasari itu, dan
bahkan orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat.
Namun perlawanan mereka semakin lama menjadi semakin tidak terarah karena kegelisahan yang semakin memuncak.
Dalam pada itu Anusapati yang masih
memakai kerudung hitam itu-pun berkata, “Kalau mungkin, kalian harus
menangkap keduanya hidup-hidup. Kalian memerlukan kedua orang itu untuk
mendengar keterangannya tentang Kiai Kisi dan para perampok dipadukuhan
itu. Mungkin masih ada orang lain yang berdiri di belakang mereka atau
masih ada orang lain yang menggurui mereka, sehingga masih memungkinkan
timbul akibat-akibat yang berkepanjangan.”
Ketiga prajurit Singasari yang sedang
bertempur itu tidak menyahut. Tetapi mereka sependapat dengan Dadang
Kaluwat, untuk menangkap keduanya hidup-hidup.
Namun untuk melakukannya agaknya tidak
begitu mudah. Meskipun kedua orang itu sudah tidak mempunyai banyak
harapan, tetapi untuk menangkap mereka hidup-hidup, agaknya memang
terlalu sulit.
Ternyata orang yang menyebut dirinya
Dandang Kaluwat itu dapat mengerti kesulitan ketiga prajurit Singasari
itu, sehingga setelah merenung sejenak, maka ia-pun melangkah mendekati
arena. Diikutinya perkelahian itu dengan saksama, seakan-akan ia ingin
mengetahui setiap gerak dari kedua belah pihak.
Namun tanpa diduga-duga, orang yang
menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu meloncat memasuki arena dan
langsung menyentuh tubuh kedua orang kawan Kiai Kisi itu.
Sentuhan itu ternyata menentukan akhir
dari perkelahian mereka. Sejenak mereka terhuyung-huyung. Namun kemudian
terasa nafas mereka menjadi sesak. Dengan demikian, maka mereka tidak
mampu lagi bergerak selincah perlawanannya yang sebelum terjadi sentuhan
itu.
“Sekarang, kalian tidak akan mendapatkan
kesulitan lagi untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bawalah mereka
ketempat yang agak jauh. Kemudian, sebelum para perampok itu menyadari
apa yang telah terjadi, lakukanlah rencana kalian,” berkata orang
berkerudung itu.
Senapati prajurit Singasari yang ikut
didalam pertempuran itu ingin menjawab. Tetapi orang yang menamakan diri
Dandang Kaluwat itu telah meloncat meninggalkan mereka dan sejenak,
kemudian hilang di dalam kegelapan.
Kini tinggal kedua orang kawan Kiai Kisi
yang sudah menjadi semakin payah itu. Mereka seakan-akan tidak lagi
dapat berbuat apa-apa ketika serangan-serangan merekutnya melanda
mereka, sehingga sejenak kemudian mereka-pun jatuh terduduk dengan
lemahnya.
Ketiga prajurit Singasari itu tidak
menemui kesulitan lagi untuk menangkap mereka. Meskipun mereka mencoba
untuk meronta, tetapi akhirnya mereka harus membiarkan kedua tangan
masing-masing diikat di belakang dengan ikat kepala mereka sendiri.
“Jangan mencoba berbuat sesuatu yang dapat membahayakan jiwamu sendiri.”
Keduanya tidak menjawab. Namun terdengar
mereka menggeram. Kedua kawan Kiai Kisi itu menjadi heran terhadap diri
mereka sendiri yang seolah-olah menjadi tidak bertenaga sama sekali.
“Apa yang telah dilakukan oleh orang
berkerudung itu?” mereka bertanya kepada diri mereka sendiri. Tetapi
mereka tidak dapat menemukan jawabnya.
(bersambung ke jilid 68).
No comments:
Write comments