“Tidak,“ jawab Anusapati kemudian.
Tohjaya menjadi bingung mendengar jawaban itu, Sekali lagi ia meyakinkan, “Kakanda tidak berkeberatan?”
“Aku tidak. Tetapi kalau kau anggap bahwa kita masing-masing dapat berbuat apa saja atas hamba yang ada di istana ini, baiklah.”
Dada Tohjaya menjadi berdebar-debar. “Maksud kakanda?”
“Seperti yang kau kehendaki. Semua hamba
di dalam istana ini adalah hamba Ayahanda Sri Rajasa. Kalau kita
masing-masing memerlukan maka kita dapat mengambilnya, kau dapat
mengambil juru taman di petamanan ini, dan pada suatu ketika apabila aku
perlukan, aku dapat mengambil pengawalan.”
Wajah Tohjaya tiba-tiba menjadi merah.
Namun sebelum ia berkata sesuatu Anusapati yang agaknya benar-benar
sulit mengendalikan diri berkata, “Ingat, aku adalah Putera Mahkota. Aku
adalah saudara tuamu dan aku mempunyai kekuasaan dan kewewenangan yang
lebih besar daripada putera yang mana-pun juga.”
Wajah Tohjaya menjadi semakin merah padam. Sejenak ia justru terbungkam. Namun tampak pada sorot matanya hatinya yang bergelora.
Sumekar hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Ia sudah mencoba memperingatkan Anusapati dengan caranya.
Ia menyangka bahwa Anusapati akan segera dapat mengekang dirinya. Namun
ternyata meskipun Anusapati agaknya sudah mencoba, tetapi ia memang
tidak akan dapat terus-menerus mengalah terhadap adiknya.
Sejenak, kedua anak-anak muda itu saling
berdiam diri. Tetapi terasa bahwa dada mereka telah dilanda ketegangan
yang semakin memuncak.
Dan tiba-tiba saja Tohjaya kemudian bertanya, “Sejak kapan kakanda berpendirian demikian?”
“Sejak kita sama-sama meningkat dewasa. Sejak aku mengerti tentang diriku dan harga diriku.”
“Tetapi, kakanda tidak pernah menunjukkan
sikap seperti ini. Aku sangka Kakanda Anusapati adalah seorang yang
baik, yang rendah hati dan terlampau sabar.”
“Ternyata aku sudah terbentur pada batas kesabaran, karendahan hati dan kebaikan.”
“Aku tidak mengerti,“ desis Tohjaya,
“semula aku hanya berniat meminjam seorang juru taman. Itu-pun hanya
apabila aku masih memerlukan di lain kali. Bukan sekarang. Ternyata
kakanda Anusapati tiba-tiba saja menjadi marah, aku tidak mengerti.”
“Aku sama sekali tidak marah Adinda
Tohjaya. Aku hanya ingin bersikap wajar, seperti seharusnya seorang
Putera Mahkota. Aku ingin kau bersikap wajar pula sebagai seorang
saudara muda. Selama ini batas di antara kuwajiban dan wewenang kita
tidak jelas. Aku tahu, bahwa Ayahanda Sri Rajasa masih belum menganggap
hal itu perlu. Mungkin karena ayahanda masih tetap menganggap kita
sebagai kanak-anak. Tetapi pada suatu saat, kita memang harus bersikap
dewasa. Kita bukanlah anak-anak yang manja yang selalu merengek apabila
keinginan kita tidak terpenuhi.”
“Apakah begitu Anggapan kakanda Anusapati terhadapku.”
“Bukan terhadapmu. Tetapi terhadap kita
bersama-sama. Aku, kau dan semua adik-adikku. Tetapi biarlah mereka yang
masih kanak-anak bersikap seperti kanak-anak. Tetapi kita tidak.”
“Baiklah. Itulah yang Kakanda kehendaki.”
“Ya. Hubungan kita selanjutnya adalah
hubungan orang-orang dewasa yang mempunyai batas-batas kewajiban dan
wewenang, karena kita masih berada di dalam lingkungan ketentuan yang
diatur oleh berbagai macam peraturan.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya
meskipun wajahnya menjadi merah. Ketika ia berpaling memandang wajah
kedua pengawalnya berganti-ganti, dilihatnya wajah-wajah itu-pun menjadi
tegang.
“Kita kembali,“ desis Tohjaya.
Kedua pengawalnya menganggukkan kepalanya.
“Aku minta diri Kakanda Anusapati,“
berkata Tohjaya kemudian. Namun ketika ia mulai melangkahkan kakinya ia
berpaling, “Apakah Kakanda Anusapati senang bermain dengan bunga?”
Anusapati tidak segera menjawab. Tanpa sesadarnya ia memandangi bunga Arum Dalu ditangannya.
“Hanya gadis-gadis dan
perempuan-perempuan sajalah yang senang bermain dengan bunga. Tetapi
seorang laki-laki sepantasnya bermain dengan pedang.“ sambung Tohjaya.
Anusapati mengatupkan giginya
rapat-rapat. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk membatasi diri
betapapun terasa dadanya seakan-akan pecah.
“Atau barangkali bunga yang kakanda petik untuk kekasih?“ bertanya Tohjaya pula.
Anusapati masih tetap berdiam diri.
Tohjaya tertawa tertahan-tahan. Katanya,
“Tetapi Kakanda Anusapati pantas segala berjalan melenggang sambil
menjinjing bunga. Bukan pedang.”
“Ya,“ akhirnya Anusapati menyahut, “aku lebih suka membawa bunga daripada membawa pedang.”
“Itu tidak pantas bagi seorang laki-laki.”
“Aku tidak menghiraukannya. Pantas atau tidak pantas. Aku senang pada bunga. Itulah.”
Wajah Tohjaya tiba-tiba berkerut. Tetapi ia masih berkata, “Apalagi seorang Putera Mahkota.“
“Justru seorang Putera Mahkota.”
“Kenapa?”
“Bunga dapat mengucapkan apa saja. Suka cita, duka, kenangan dan kepahlawanan.“
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam.
“Sedang pedang hanya memiliki satu arti. Kekerasan.“
Tohjaya tidak menjawab lagi. Dengan
serta-merta ia melangkah meninggalkan Anusapati yang masih berdiri di
tempatnya sambil menggeram, “Anak cengeng. Sepantasnya ia tidak menyebut
dirinya seorang laki-laki. Ia adalah seorang perempuan cengeng.”
Pengawalnya tidak menyahut. Mereka berjalan meloncat-loncat di belakang Tohjaya yang berjalan semakin cepat.
Setelah Tohjaya hilang dibalik regol
dinding yang memisahkan kedua bagian istana Singasari, maka
Anusapati-pun kembali pula ke bangsalnya. Wajahnya menjadi suram dan
angan-angannya seakan-akan terbang berputaran tidak menentu.
Embannya yang melajaninya seperti anak
sendiri, memandang wajah yang suram itu dengan hati yang berdebar-debar.
Meskipun wajah Anusapati hampir selalu suram, namun di hari-hari
terakhir ini Putera Mahkota itu tampaknya menjadi semakin muram.
Meskipun demikian emban pemomongnya itu
tidak bertanya. Ia sudah terlampau sering bertanya, namun jawabannya
tidak pernah meyakinkannya. Bahkan justru setiap kali Putera Mahkota
itulah yang ganti bertanya kepadanya, “Emban, siapakah aku ini
sebenarnya?”
Dan ia selalu menjawab, “Tuanku adalah
Putera Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi Maharaja yang kini bertahta di
atas Singgasana Singasari.”
Tetapi jawaban itu tidak pernah memuaskan
Putera Mahkota itu. Bahkan kadang-kadang terloncat dari bibirnya,
“Kenapa sikap Ayahanda Sri Rajasa terhadapku terlampau berbeda dengan
sikap ayahanda kepada adik-adikku.”
“Tuanku, itu hanyalah sekedar bayangan
yang tuanku anyam sendiri. Tentu Ayahanda Sri Rajasa tidak akan
membedakan siapakah tuanku dan siapakah putera-putera yang lain.”
“Tetapi sangat terasa.”
“Mungkin karena tuanku lahir dari tuanku
Permaisuri. Tuanku Sri Rajasa ingin bersikap bersungguh-sungguh terhadap
tuanku sebagai seorang Putera Mahkota yang kelak akan menjadi seorang
raja.”
“Sesungguhnya terbalik dari apa yang kau katakan, emban.”
“Jangan membiarkan diri tuanku hanyut
dalam arus angan-angan yang sesat. Tuanku adalah momongan hamba sejak
tuanku kecil. Hamba mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya terhadap
tuanku. Juga hamba berharap bahwa tuanku bukanlah seorarg pemimpin yang
hidup didalam alam yang mengambang.“
Anusapati selalu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian menundukkan kepalanya dan masuk kedalam biliknya.
Karena itu emban pemomongnya-pun menjadi
sangat berprihatin, ia sadar bahwa ibunda Permaisuri-pun sangat
berprihatin pula terhadap Putera Mahkota yang sangat perasa ini.
Tetapi emban itu tidak dapat ingkar
kepada diri sendiri. Ia tahu dengan pasti, bahwa memang sikap Sri Rajasa
terhadap Putera Mahkota agak berbeda dengan sikap Sri Rajasa terhadap
Tohjaya, putera yang lahir dari Ken Umang yang memang mempunyai darah
yang agak panas.
Dan emban itupan tahu, tahu dengan pasti,
bahwa Anusapati bukanlah Putera Sri Rajasa, karena Anusapati sudah ada
di dalam kandungan sejak Sri Rajasa kawin dengan Ken Dedes, Permaisuri
Tunggul Ametung.
Tetapi sudah tentu emban itu, seperti
semua orang di dalam istana ini, tidak akan dapat mengatakan siapakah
sebenarnya Anusapati itu, dan kenapa sikap Ayahanda Sri Rajasa berbeda
terhadapnya daripada adik-adiknya.
“Namun sampai kapan rahasia ini tetap tersembunyi bagi Putera Mahkota?“ pertanyaan itulah yang selalu mengganggu hati emban itu.
Juga kali ini, Putera Mahkota itu kembali
dari taman dengan wajah yang muram, meskipun ia membawa bunga
ditangannya. Ternyata bunga itu diletakkannya begitu saja di atas bancik
kayu di sudut ruangan, sedang ia sendiri langsung masuk ke dalam
biliknya.
Dalam pada itu, Sumekar yang masih ada di
dalam taman menjadi berdebar-debar juga. Semakin lama Anusapati pasti
menjadi semakin jemu menghadapi keadaannya yang sama sekali tidak
menyenangkannya.
“Ia memerlukan seorang kawan,“ katanya di dalam hati, “agaknya Ibunda Permaisuri-pun tidak begitu terbuka terhadapnya.”
Tetapi kawan bagi Anusapati, sehalusnya
dapat membuatnya tidak lagi selalu dilanda oleh kegelisahan. Kawan yang
lembut, yang dapat mengisi kekosongan hatinya. Bukan kawan yang sekedar
dapat mengawaninya berlatih, yang dapat memberikan beberapa petunjuk dan
nasehat. Atau mungkin sedikit menenangkan ketegangan. Namun tidak dapat
mendinginkan bara yang selalu menjala di dalam dadanya.
“Putera Mahkota memerlukan seorang gadis yang dapat mengerti tentang dirinya,“ berkata Sumekar kepada diri sendiri.
Tetapi sudah tentu Sumekar tidak dapat
berbuat apa-apa. Gadis bagi Putera Mahkota bukannya sesuatu yang begitu
saja dapat diambil menurut keinginan sendiri atau orang-orang yang dekat
dengannya. Tetapi seorang isteri bagi Putera Mahkota akan ditentukan
oleh Ayahanda Baginda dan pendapat beberapa orang pemimpin kerajaan,
karena isteri Putera Mahkota itu kelak akan menjadi Permaisuri. Berbeda
bagi seorang Raja yang akan mengambil permaisurinya sendiri. Ia
mempunyai wewenang dan kekuasaan, apalagi apabila ia sudah cukup matang.
Sikapnya dan umurnya.
Tetapi tidak bagi Anusapati. Ia masih
terlalu muda untuk menentukan hari depannya sendiri, apalagi ia masih
seorang Putera Mahkota.
“Meskipun demikian, ada baiknya aku mulai
berbuat sesuatu untuk menuju ke arah itu,“ berkata Sumekar di dalam
hatinya. “Aku menunggu kakang Mahisa Agni. Kalau ia setuju, maka aku
akan segera berbuat sesuatu. Mungkin membujuk Putera Mahkota, mungkin
berbicara dengan embannya dan bahkan apabila mungkin menyampaikannya
kepada tuanku Permaisuri bagaimanapun caranya. Tetapi sebelum sampai
kesaat yang demikian, aku harus berusaha mengendalikannya. Demikianlah
ketika Sumekar mendapat kesempatan bertemu dengan Anusapati, maka ia-pun
segera menyampaikan perasaannya itu.
“Tuanku,“ katanya, “hamba mendengar percakapan tuanku dengan tuanku Tohjaya.”
Anusapati mengerutkan keningnya.
“Hamba menjadi berdebar-debar karenanya.“
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Aku terlampau sulit untuk mengendalikan diri, paman. Setiap
kali aku harus menekan perasaan betapa-pun sakitnya. Aku merasa bahwa
pada suatu ketika dadaku akan pecah karenanya.”
“Hamba mengerti tuanku. Tetapi ini adalah
suatu pendadaran bagi tuanku. Apakah tuanku dapat mengatasi kesulitan
yang timbul di dalam diri tuanku atau tidak.”
Anusapati tidak menjawab.
“Sudah sekian lamanya tuanku berhasil
menyembunyikan diri di dalam istana ini sebagai seorang Putera Mahkota
yang cengeng, bodoh dan lemah. Bukankah dengan demikian tuanku juga
harus menekan perasaan. Kenapa tiba-tiba saja tuanku tidak mampu lagi
berbuat demikian?”
“Dada ini bagaikan sebuah tempayan,“
jawab Anusapati, “setitik-titik air akan dapat tertampung di dalamnya.
Tetapi pada suatu saat tempayan itu akan penuh. Setiap tetes akan segera
tertumpah kembali.”
“Tuanku harus berada selapang lautan,“
sahut Sumekar, “lautan yang dapat menampung air dari segala arus sungai,
hujan dan bahkan prahara yang terjun dari langit yang seakan-akan
terbuka sekalipun. Itu sama sekali bukan suatu kelemahan. Suatu ketika
lautan akan dapat menelan gunung dan daratan.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam, sekali dan sekali lagi.
“Tuanku,“ berkata Sumekar pula,
“sebenarnyalah hamba selalu berdebar-debar melihat setiap pertemuan
tuangku dengan dinda tuanku itu. Kalau tuanku masih sudi mendengarkan
hamba, hamba mengharap tuanku masih tetap mengekang diri. Mungkin
setahun lagi dua tahun atau bahkan sepuluh tahun.”
Anusapati menundukkan kepalanya.
“Apakah tuanku pernah mendengar ceritera kakang Mahisa Agni ketika ia berada di sarang orang yang bernama Kebo Sindet?”
Anusapati menggelengkan kepalanya.
“Hamba pernah mendengar. Baik dari kakang Mahisa Agni sendiri, mau-pun dari kakang Kuda Sempana.”
“Tentang paman Mahisa Agni?“ bertanya Anusapati.
“Ya.”
Anusapati mengerutkan keningnya. “Aku ingin mendengarnya.”
Sumekar-pun kemudian menceriterakan
dengan singkat, apa yang pernah dialami oleh Mahisa Agni. Hinaan dan
tekanan, lahir dan batin. Tubuhnya selalu disakiti dan terlebih-lebih
lagi hatinya.
“Tetapi kakang Mahisa Agni bertahan,“ berkata Sumekar kemudian.
Anusapati menarik nafas sekali lagi, seolah-olah dadanya telah menjadi semakin sesak.
Namun ceritera itu merupakan sebuah
gambaran yang nyata baginya. Untuk mencapai sebuah cita-cita,
kadang-kadang harus ditempuh jalan yang jauh dan sulit.
“Tetapi akhirnya kakang Mahisa Agni dapat
keluar dari neraka itu atas hasil perjuangannya. Gurunya sama sekali
tidak ikut secara langsung melepaskannya dari belenggu Kebo Sindet. Juga
Empu Sada tidak berbuat apa-apa ketika kakang Mahisa Agni bertempur
mati-matian melawan Kebo Sindet sehingga Kebo Sindet hilang ditelan oleh
buaya-buaya kerdil yang selama itu telah menjaga kerajaannya.”
Anusapati menganggukkan kepalanya, “Aku mengerti.”
“Demikianlah tuanku. Apabila tuanku
terlanjur selangkah, maka tuanku tidak akan dapat surut kembali. Tuanku
akan menjadi semakin jauh terdorong ke dalam keadaan yang tidak akan
dapat tuanku hindari. Sehingga akhirnya tuanku akan dapat mengulangi
kesalahan tuanku terhadap prajurit yang ditelan jurang itu.”
“Ya. Aku menyadari.”
“Kalau begitu, tuanku harus bertahan sekuat-kuatnya.“
Anusapati tidak segera menjawab. Tetapi
kepalanya tertunduk dalam-dalam. Terbayang sekilas di kepalanya, tubuh
prajurit yang terbujur mati di dalam jurang itu. Ketika itu ia memang
tidak dapat menentukan pilihan. Meskipun ia tidak sengaja membunuhnya,
tetapi apa jadinya kalau prajurit pelatihnya itu tidak mati di dalam
jurang itu. Ia pasti akan berceritera tentang dirinya, tentang
kemampuannya dan tentang kepergiannya ke jurang itu. Kemudian Ayahanda
Sri Rajasa pasti akan memaksanya untuk mengaku, siapa saja yang terlibat
dengan dirinya. Dan ia terpaksa menyebut nama-nama Mahisa Agni dan
Sumekar, juru taman yang baru itu.
“Nah tuanku,“ berkata Sumekar kemudian, “hamba mengharap ketabahan hati tuanku, demi hari-hari depan yang masih sangat panjang.”
Demikianlah maka Anusapati kemudian untuk
beberapa saat merenungi kata-kata Sumekar itu. Sumekar yang kemudian
meninggalkannya seorang diri supaya tidak ada orang lain yang
mencurigainya, apabila mereka terlampau sering bertemu dan berbicara
terlampau panjang.
Namun apa yang dicemaskan Sumekar itu,
meskipun tidak terlampau jauh, segera terjadi. Agaknya Tohjaya
menceriterakan semuanya yang dikatakan oleh Anusapati kepada Ayahanda
Sri Rajasa, sehingga Anusapati itu-pun telah dipanggil menghadap.
“Mudah-mudahan aku dapat menahan diri,“ katanya didalam hati, “apalagi dihadapan Ayahanda Baginda.”
“Tuanku Sri Rajasa menunggu tuanku Putera
Mahkota sebelum senja,“ berkata prajurit yang diperintahkan oleh Sri
Rajasa memanggil Anusapati.
“Sampaikan kepada Ayahanda Baginda, bahwa
Putera Mahkota akan menghadap sesaat sebelum senja,“ jawab Anusapati.
Meskipun dadanya menjadi berdebar-debar, tetapi ia mencoba untuk
menyaput wajahnya dengan sebuah senyuman.
“Hamba tuanku,“ berkata prajurit itu, “perkenankanlah hamba menyampaikannya kepada tuanku Sri Rajasa.”
“Ya.”
Prajurit itu-pun kemudian mohon diri.
Sepeninggal prajurit itu Anusapati
menjadi gelisah. Ia sadar bahwa Ayahanda Sri Rajasa pasti akan
menanyakan, kenapa ia bersikap begitu kasar terhadap adiknya. Tetapi Sri
Rajasa tidak akan pernah menanyakan hal yang serupa kepada Tohjaya.
Sesaat sebelum menghadap Anusapati
menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan menghadap ibunda Permaisuri dahulu dan
menyampaikan masalah itu, atau tidak.
“Tidak,“ ia menggeram, “aku adalah
seorang laki-laki. Aku tidak akan mencari sandaran siapa-pun juga. Aku
akan menghadapi semua masalahku sendiri.”
Namun demikian, ketika Sumekar menyiram
bunga-bunga di halaman bangsalnya, ia menemuinya dan mengatakannya, “Aku
dipanggil oleh Ayahanda Sri Rajasa.”
“Ada persoalan yang penting barangkali tuanku.”
“Mungkin Adinda Tohjaya telah
menyampaikan perselisihan kami itu kepada Ayahanda Sri Rajasa. Seperti
setiap kali kami berselisih, maka akulah yang akan mendapat marah dari
Ayahanda.”
“Tuanku,“ sahut Sumekar, “itu merupakan
ujian bagi keprihatinan tuanku. Tuanku harus tetap berusaha menahan diri
apa-pun yang akan terjadi, dan apa-pun yang akan dikatakan oleh
Ayahanda Sri Rajasa.”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Apakah aku harus menghadap ibunda lebih dahulu?”
“Jangan tuanku, ini hanya akan menambah ibunda semakin berwajah muram.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia menjadi semakin yakin bahwa memang seharusnya ia tidak bersandar
kepada siapa-pun juga. Apalagi ibunya yang mudah sekali tersentuh
hatinya.
Demikianlah ketika tiba saatnya,
Anusapati-pun dengan berdebar-debar telah pergi menghadap Ayahanda Sri
Rajasa, di bangsal Agung. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia
melangkah semakin dekat dengan tangga.
“Ayahanda pasti akan marah,“ desisnya
perlahan-lahan sekali. Namun Anusapati masih merasakan betapa angin
senja yang sejuk mengusap keningnya yang basah oleh keringat.
Sekali Anusapati menengadahkan kepalanya.
Dilihatnya kelelawar satu-satu mulai beterbangan dilangit yang biru
bersih. Cahaya kemerah-merahan yang terakhir masih juga menyangkut
diujung pohon kelapa yang tinggi di halaman belakang istana.
Langkah Anusapati menjadi semakin lambat.
Di bawah tangga ia menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya dua orang
prajurit yang bertugas di sebelah menyebelah pintu bangsal Agung.
Tetapi langkahnya tertegun ketika ia
mendengar dari salah seorang prajurit itu bahwa Ayahanda justru berada
di serambi belakang bangsal itu.
“Kenapa di serambi?”
“Entahlah tuanku. Tetapi agaknya udara
memang terlampau panas. Tuanku Sri Rajasa memang sering berada di
serambi belakang dari bangsal ini.”
“Dengan siapa?”
“Sendiri. Baru saja tuanku Tohjaya juga menghadap di serambi belakang.”
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar.
“Silahkanlah masuk dan langsung pergi ke serambi belakang.”
“Aku akan lewat dilongkangan sebelah.“
Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya.
“Biarlah. Aku akan lewat samping.”
Dan Anusapati-pun tidak memasuki bangsal
itu, tetapi ia melingkarinya, lewat longkangan sebelah dan langsung
sampai ke serambi di belakang bangsal itu.
Dilihatnya didalam keremangan cahaya
pelita yang redup, Ayahanda Sri Rajasa duduk di atas sehelai tikar yang
tebal, yang terbuat dari anyaman sabut kelapa bersulam benang-benang
kapuk yang berwarna warni.
Tiba-tiba langkah Anusapati tertegun
sejenak. Ia menjadi ragu-ragu. Apa saja yang akan dikatakan oleh
Ayahanda Sri Rajasa kepadanya?
Tetapi ia tidak dapat surut, ia harus
menghadap, karena Ayahanda Sri Rajasa memang memanggilnya. Sebelum
senja. Dan kini senja sudah mencengkam langit dan bahkan seluruh
Kerajaan Singasari yang besar.
Betapa-pun beratnya, Anusapati telah
melangkahkan kakinya maju ke depan mendekati Ayahanda Sri Rajasa yang
sedang duduk seorang diri di serambi sambil mengusap dagunya.
Semakin dekat Anusapati menjadi semakin
berdebar-debar. Ayahanda Sri Rajasa agaknya sama sekali tidak mengetahui
kedatangannya, karena ia masih saja duduk memandang ke kejauhan.
Beberapa langkah dari serambi itu
Anusapati berhenti. Keringat dingin telah mengalir diseluruh tubuhnya.
Ayahanda Sri Rajasa sama sekali masih belum berpaling kepadanya.
Anusapati yang menjadi agak kebingungan itu tiba-tiba telah terbatuk-batuk perlahan-lahan. Perlahan-lahan sekali.
Ternyata suaranya seolah-olah telah
membangunkan Sri Rajasa. Perlahan-lahan ia berpaling, memandang
Anusapati yang masih berdiri, di dalam bayangan yang samar-samar.
Sejenak Sri Rajasa memandanginya. Namun
kemudian pandangan matanya telah terlempar kembali ke kejauhan, tanpa
menghiraukan lagi Anusapati. Bahkan kemudian seolah-olah Sri Rajasa itu
acuh tidak acuh saja atas kehadiran Putera Mahkota itu.
Anusapati masih berdiri sejenak, dalam
kebingungan. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi kulitnya.
Apalagi ketika dilihatnya Sri Rajasa agaknya menjadi acuh tidak acuh
saja. Meskipun ia telah mengetahui kehadirannya, namun ia sama sekali
tidak menyapanya, apalagi mempersilahkannya.
Anusapati tidak tahu apakah yang
sebaiknya dilakukannya. Karena itu, kakinya justru menjadi gemetar dan
jantungnya berdebaran semakin cepat.
Dengan mata yang hampir tidak berkedip,
dipandanginya saja wajah Ayahanda Sri Rajasa yang sedang menatap ke
dalam keremangan cahaya senja. Seolah-olah ingin memandangi satu-satu
cahaya yang kemerah-merahan lenyap ditelan oleh gelapnya malam yang
turun perlahan-lahan.
Namun akhirnya Anusapati menemukan
kepribadiannya. Tiba-tiba saja ia sadar, bahwa ia adalah Putera Mahkota
yang sedang menghadap Ayahanda Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Putera
Mahkota dari suatu kerajaan yang besar, yang kelak akan menggantikan
kedudukan Ayahanda, menjadi seorang raja yang menguasai daerah yang
besar pula. Karena itu, maka tumbuhlah ketabahan di dalam dadanya, untuk
menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya itu.
Dengan demikian maka Anusapati-pun
melangkah semakin dekat. Perlahan-lahan ia-pun kemudian duduk bersila,
di atas lantai di sisi Ayahanda Sri Rajasa yang masih tidak
menghiraukannya sama sekali.
Tetapi Anusapati sudah tidak gemetar
lagi. Kini ia justru telah menjadi tenang. Perlahan-lahan ia beringsut
maju mendekati Ayahanda Sri Rajasa.
Setelah ia duduk selangkah di samping
Ayahanda, maka Anusapati itu-pun berkata, “Ampun Ayahanda. Bukankah
Ayahanda berkenan memanggil hamba untuk menghadap sebelum senja?”
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia berpaling dan berkata sambil menarik nafas
dalam-dalam, “Aku menunggu sikapmu ini. Aku bangga bahwa kau mempunyai
keberanian untuk menegur aku. Aku sudah berniat untuk memarahimu, bahkan
menghukummu kalau ternyata kau seorang pengecut. Buat apa aku mempunyai
seorang putera Mahkota yang hatinya sekecil kelinci? Yang hanya berani
terbatuk-batuk tanpa mengatakan sepatah katapun?”
Anusapati tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia kini menjadi berdebar-debar kembali.
“Anusapati,“ panggil Sri Rajasa.
“Hamba Ayahanda,“ sahut Anusapati gemetar.
“Aku memang memanggilmu. Dan kau sudah
berani menghadap aku seorang diri. Itu sudah mengurangi kesalahanmu yang
manapun juga. Apalagi sikapmu yang baru saja kau lakukan. Kemarahanku
sudah susut separuhnya.”
“Ampun Ayahanda,“ desis Anusapati.
“Sekarang kau tidak usah takut lagi.
Kalau kau tidak berani menegurku, dan kau masih saja berdiri di
kegelapan, mungkin aku akan berbuat kasar terhadapmu karena kesalahanmu
terhadap adikmu. Sebagai saudara tua kau sama sekali tidak dapat berbuat
baik, sedikit mengalah dan bersikap dewasa terhadap saudara yang lebih
muda. Lebih muda hubungannya di dalam tingkatan kekeluargaan dan memang
jauh lebih muda umurnya.”
Anusapati sama sekali tidak berani menyahut. Ia duduk sambil memandang jari-jari kakinya sendiri.
“Untunglah bahwa kau kali ini memenuhi
harapanku. Kau mempunyai jiwa yang cukup besar. Kau kali ini sedikit
memberi aku kebanggaan. Selama ini kau selalu bersikap seperti perempuan
cengeng. Tetapi sekarang kau agak lain. Sikapmu terhadap adikmu menjadi
semakin keras, tetapi kau-pun menjadi kian jantan.”
Anusapati masih tetap berdiam diri. Namun
tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar Ayahanda Sri Rajasa bertanya,
“Siapakah yang mengajarmu berbuat demikian?”
Keringat dingin yang hampir mengering,
tiba-tiba telah mengembun lagi dipunggungnya. Meskipun angin senja yang
basah bertiup menyentuhnya, namun tubuh Anusapati serasa menjadi panas
karenanya.
“Apakah ada seseorang yang mengajarmu, agar kau menjadi seorang laki-laki yang baik?”
“Ampun Ayahanda Sri Rajasa,“ jawab
Anusapati kemudian meskipun agak terputus-putus, “sesungguhnya tidak ada
seorang-pun yang pernah mengajari hamba berbuat demikian.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun
wajahnya kemudian menjadi tegang. Dipandanginya Anusapati sejenak. Lalu
katanya dengan nada yang keras, “Kau sudah kembali menjadi seorang
pengecut. Kenapa kau tidak mau mengatakan, siapakah yang telah
mengajarmu menjadi seorang laki-laki yang baik?”
Anusapati menjadi bingung. Tetapi ia bertanya, “Maksud Ayahanda, seseorang yang memberikan petunjuk kepada hamba?“
“Seseorang yang telah berbuat apa-pun
atasmu sehingga kau kini menjadi seorang laki-laki yang tidak terlampau
cengeng, pengecut dan berpribadi.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia menjawab, “Ibunda Permaisuri.”
Sri Rajasa terkejut mendengar jawaban itu
sehingga ia berkisar sejengkal mendekatinya. Ditatapnya wajah Anusapati
seperti belum pernah melihatnya.
Sejenak kemudian Sri Rajasa itu bertanya, “Ibunda Permaisuri? Benarkah kau menjawab demikian?”
“Hamba Ayahanda. Ibunda Permaisuri.”
“Apa yang sudah dilakukan oleh ibunda Permaisuri sehingga kau perlahan-lahan telah berubah menjadi seseorang yang berpribadi.”
“Ibunda Permaisuri selalu berceritera kepada hamba.”
“Apa yang diceriterakan?”
Anusapati tertegun sejenak. Sekilas ia memandang wajah Ayahanda Sri Rajasa. Namun kemudian kepalanya tertunduk kembali.
“Apa yang diceriterakan kepadamu he?“ desak Ayahanda Sri Rajasa.
“Ibu banyak bercerita tentang
kepahlawanan seseorang. Tentang pribadi yang mengagumkan. Dan tentang
Ayahanda Sri Rajasa sendiri, pamanda Mahisa Agni dan para
pemimpin-pemimpin Singasari.”
Terasa sesuatu berdesir di dada Sri
Rajasa. Dan ia mendengar Anusapati berkata selanjutnya, “Ceritera ibunda
selalu berkesan dihati hamba, sehingga kadang-kadang hamba terpengaruh
karenanya. Apalagi ibunda selalu mengajar kepada hamba untuk berbuat
seperti seorang kesatria, sesuai dengan kedudukan hamba sekarang.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba kemarahan yang telah membara didadanya, sejak ia
mendengar Tohjaya mengadu kepadanya, menjadi semakin susut. Katanya,
“Anusapati, kau sudah mengurangi kemarahanku separuh lagi. Kau
mengatakan bahwa Ibunda Permaisurilah yang mengajarimu, yang berceritera
kepadamu tentang pahlawan-pahlawan Singasari. Aku mempercayai
kata-katamu dan sekali lagi aku berbangga karenanya, bahwa kau telah
terkesan oleh ceritera-ceritera itu.“ Sri Rajasa berhenti sejenak, lalu
“selain ceritera tentang pahlawan dari kerajaan Singasari ini sendiri
apalagi yang diceriterakan kepadamu?”
“Ibunda Permaisuri menganjurkan hamba
membaca kitab-kitab. Dan hamba-pun membacanya pula. Hamba meminjam kitab
dari bangsal perbendaharaan dan kitab-kitab yang ada didalam simpanan
ibunda sendiri. Hamba mencoba untuk mengambil berbagai macam tuntunan
dari dalamnya.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Dan kau mempelajari ilmu kanuragan pula?”
Pertanyaan itu mengejutkan pula bagi
Anusapati. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikannya kesan itu dari
wajahnya. Katanya kemudian, “Ampun Ayahanda. Hamba tidak dapat mencari
tuntunan tentang olah kanuragan. Tidak ada kitab yang pernah hamba baca
yang dapat memberikan petunjuk ilmu kanuragan.”
Sri Rajasa menarik nafas. Tanpa
disadarinya ia menganggukkan kepalanya. Katanya, “itulah sebabnya, kau
hampir tidak dapat berbuat apa-apa didalam olah kanuragan karena waktumu
kau pergunakan untuk membaca kitab-kitab itu. Mungkin isi kitab-kitab
itu memberikan manfaat bagimu, tetapi kalau kau habiskan waktumu dengan
menekuni kitab-kitab itu saja, maka kau akan menjadi seorang yang
kehilangan keseimbangan. Ilmu lahiriahmu akan jauh ketinggalan dari ilmu
pengetahuanmu.”
Anusapati tidak menyahut. Kepalanya masih
saja tunduk dalam-dalam, ia mencoba untuk memilih setiap kata yang
diucapkannya. Didalam percakapan yang demikian, apabila ia tidak
berhati-hati maka ia akan dapat tergelincir. Sekali ia tergelincir, maka
sulitlah baginya untuk bangkit kembali.
Untunglah, bahwa kali ini ia cukup berhati-hati. meskipun keringatnya telah membasahi punggungnya kembali.
“Anusapati,“ berkata Sri Rajasa kemudian,
“sekarang kau boleh kembali kebangsalmu. Aku mengurungkan niatku untuk
marah kepadamu karena kau telah berlaku kasar terhadap adikmu, Tohjaya.
Untunglah bahwa kau menunjukkan sikap yang baik, yang memberikan
kebanggaan kepadaku. Kalau tidak, mungkin aku sudah berbuat sesuatu.
Tetapi meskipun demikian, aku tetap akan memperingatkan kepadamu, jangan
berbuat kasar kepada saudara muda. Kau harus memberikan bimbingan dan
tuntunan sebaik-baiknya.”
Anusapati mengangguk dalam-dalam, “Hamba Ayahanda.”
“Kau tidak usah mengelakkan keinginannya.
Biasakan dirimu mengalah terhadap saudara muda, seperti juga Tohjaya
harus mengalah kepada adik-adiknya.”
“Hamba Ayahanda.”
“Ajarilah adikmu menekuni kitab-kitab
seperti yang kau baca itu. Tetapi kau-pun harus sedikit menaruh
perhatian kepada olah kanuragan. Kau jauh ketinggalan dari adikmu
Tohjaya. Apalagi kini, setelah gurumu itu mengalami kecelakaan yang
penuh rahasia. Sebentar lagi kau berdua akan mendapatkan seorang guru
yang lain, yang barangkali dapat menuntun kalian dan dapat berbuat lebih
baik dari gurumu yang telah tidak ada lagi itu.”
“Hamba Ayahanda. Hamba akan mencoba berbuat segalanya.”
“Sekarang, kau boleh kembali. Tetapi
ingat, bahwa sikapmu sajalah yang telah membuat aku kehilangan
kemarahan. Kalau kau masih mengulanginya, maka aku akan menghukummu.”
“Hamba Ayahanda,“ jawab Anusapati sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam.
Meskipun demikian, meskipun Sri Rajasa
kali ini tidak menghukumnya, namun terasa semakin dalam tergores dihati
Putera Mahkota itu, perbedaan sikap dari Ayahanda kepada
putera-puteranya. Kepadanya dan kepada adik-adiknya.
Bahkan Ayahanda Sri Rajasa telah
mengancamnya, apabila ia berbuat sekali lagi, maksudnya apabila ia
bertengkar sekali lagi dengan Tohjaya, maka ialah yang akan mendapat
hukuman, karena ia tidak mau mengalah kepada saudara muda.
“Nah, kembalilah,“ berkata Sri Rajasa
kemudian, “dan sebentar lagi kau akan mendapat seorang guru yang baru.
Seorang perwira prajurit yang baik, yang akan dapat memberi kalian
tuntunan olah kanuragan. Sebagai seorang Putera Mahkota, kau perlu
berlatih, agar kau tidak saja mempunyai kebijaksanaan, tetapi kau harus
mampu juga turun ke medan perang apabila semua prajurit dan Senapatimu
sudah tidak ada lagi yang dapat menahan arus musuh. Seperti Sri Baginda
Kertajaya yang gugur di peperangan. Setelah semua Panglimanya terbunuh,
ia sendiri turun ke medan.”
Sekali lagi Anusapati menundukkan
kepalanya. Katanya, “Hamba Ayahanda. Hamba akan mencoba berlatih
sebaik-baiknya. Hamba akan melakukan latihan-latihan di setiap hari,
meskipun tidak bersama dengan pelatih hamba.”
Tiba-tiba Sri Rajasa mengerutkan keningnya, “Apa yang akan kau lakukan?”
“Berlatih Ayahanda. Mengulangi
latihan-latihan yang pernah hamba dapatkan dari guru hamba. Melakukan
gerak-gerak pokok yang sudah diajarkan dan membiasakan anggauta badan
hamba melakukan gerak-gerak yang cepat dan teratur.”
“He, siapakah yang mengajarmu demikian?”
Pertanyaan itu telah mengejutkan
Anusapati sekali lagi. Jawabnya, “Guru hamba Ayahanda. Guru hamba yang
sudah tidak ada lagi. Guru hamba itu selalu memerintahkan kepada hamba
untuk mengulangi setiap unsur gerak yang telah diberikannya. Menurut
guru hamba itu, bukan saja setiap hari, tetapi setiap saat.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, begitulah,“ katanya kemudian.
Sejenak kemudian maka Anusapati-pun mohon
diri kepada Ayahanda Sri Rajasa, setelah mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Namun, setelah Anusapati berada di
halaman, ia-pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis,
“Apakah aku dapat bertahan sampai setahun atau dua tahun lagi? Hanya
oleh tuntunan yang ajaib, aku akan dapat tetap hidup dengan cara ini.”
Demikianlah, maka apa yang dikatakan oleh
Sri Rajasa itu-pun segera terjadilah. Seorang prajurit telah mendapat
tugas, menggantikan kedudukan prajurit yang telah meninggal di dalam
jurang.
“Kalian harus menerima perwira prajurit
dari pasukan pengawal ini untuk menjadi guru kalian,“ berkata Sri Rajasa
kepada kedua puteranya, ketika untuk pertama kalinya kedua anak-anak
muda itu dihadapkan kepada pelatihnya.
Tohjaya dan Anusapati berdiri tegak di
tempatnya memandang perwira prajurit dari pasukan pengawal itu. Prajurit
itu bertubuh tinggi, besar dan berkumis lebat. Rambutnya yang pajang
disanggulnya di atas ikat kepalanya yang melingkar di atas dahi.
Ketika Anusapati memandang wajah perwira
itu lebih jelas lagi tampaklah olehnya wajah itu bagaikan batu padas
yang keras berbongkah-bongkah. Otot-otot di lengan dan kakinya, menjorok
seperti jalur-jalur yang memenuh seluruh kulitnya.
“Apakah kalian berkeberatan?“ bertanya Sri Rajasa.
Anusapati tidak menyahut. Ia tahu bahwa
pertayaan itu memang tidak memerlukan jawaban. Tetapi Tohjaya masih juga
menjawab, “Tidak Ayahanda. Tidak.”
Tetapi ternyata bahwa Sri Rajasa masih juga bertanya kepada Anusapati karena ia masih belum menyahut, “Apakah kau keberatan?”
“Tidak Ayahanda,“ jawab Anusapati.
“Bagus. Kalian harus bersungguh-sungguh
mengikuti petunjuknya. Di suatu saat, kalian akan mendapat kesempatan
untuk berlatih bersama di arena terbuka seperti yang pernah kalian
lakukan.”
Kedua putera Sri Rajasa itu menganggukkan
kepalanya. Sekilas teringat oleh Anusapati, wajah pamannya Mahisa Agni.
Kalau saja tidak ada rahasia yang tersembunyi, maka ia pasti akan dapat
mengusulkan, agar pamannya Mahisa Agni sajalah yang diangkat menjadi
guru mereka. Sri Rajasa sendiri pasti mengetahui, bagaimana kemampuan
dari Mahisa Agni itu. Bahkan Anusapati yakin, bahwa kemampuan pamannya
itu belum pasti berada di bawah tingkat ilmu Sri Rajasa.
Tetapi hal itu tidak akan mungkin
terjadi. Karena itu, maka Anusapati-pun berusaha untuk menghilangkan
saja bayangan itu dari kepalanya.
“Nah, selanjutnya kalian berdua aku
serahkan kepada guru kalian ini,“ berkata Sri Rajasa, yang sejenak
kemudian meninggalkan perwira itu bersama dengan kedua puteranya.
Melihat wajah dan bentuk tubuhnya
Anusapati menjadi berdebar-debar. Orang ini pasti memiliki kemampuan
yang lebih baik dari gurunya yang terdahulu. Bahkan mungkin orang ini
mempunyai sipat yang lebih kasar dan menyakitkan hati.
“Aku dapat menjadi gila apabila aku tetap
dalam keadaan serupa ini. Apalagi dengan prajurit yang agaknya memang
sekeras batu padas ini,“ berkata Anusapati didalam hatinya.
Namun Anusapati terkejut ketika ia
mendengar orang itu mulai berbicara. Suaranya kecil melengking, dan sama
sekali tidak membayangkan kekasaran.
“Hamba akan menjadi pelatih tuanku berdua untuk seterusnya,“ berkata orang itu.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ia bertanya, “Aku sudah mengenal hampir setiap orang di dalam
kesatuan pasukan pengawal. Tetapi aku belum pernah melihat kau?”
Perwira itu tersenyum. Ternyata ia menjawab dengan jujur, “Hamba termasuk orang baru didalam lingkungan pasukan pengawal.”
Anusapati masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dipandanginya wajah prajurit yang keras itu. Kemudian tanpa
sesadarnya ia berpaling kepada Tohjaya yang masih berdiri di sampingnya.
Anusapati mengerutkan keningnya ketika
melihat wajah Tohjaya yang menjadi buram. Tetapi Anusapati tidak tahu,
apakah sebabnya, maka Tohjaya tampak tidak begitu senang atas
pertanyaannya mengenai prajurit itu.
“Paman,” berkata Tohjaya kemudian, “apakah kita dapat mulai hari ini?”
“Tentu tuanku. Kita dapat segera mulai.”
“Tunggu,“ potong Anusapati. “Aku belum tahu, siapakah namamu?”
“Nama hamba?” prajurit itu mengangkat alisnya, kemudian tertawa sambil berkata, “nama hamba Pinta Sati.”
“He?“ Anusapati mengerutkan keningnya,
“Pinta Sati. Nama yang aneh. Agak kurang sesuai dengan bentuk tubuhmu
yang tinggi besar dan berkumis lebat.”
“Jadi, siapakah sebaiknya nama hamba tuanku?”
“Aku tidak tahu,“ jawab Anusapati.
Perwira itu tertawa. Katanya, “Nama itu sudah sesuai sekali dengan keadaanku. Namun itu pemberian ayah dan ibuku.”
“Sudahlah,“ potong Tohjaya, “kita tidak akan sekedar berbicara saja. Kita akan berlatih. Marilah kita mulai.”
“O,“ prajurit yang bernama Pinta Sati itu
tertawa, “marilah. Kita akan mulai tidak dari permulaan, karena tuanku
berdua sudah pernah menerima ilmu dari seorang guru. Tetapi sudah tentu,
setiap orang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri, sehingga mungkin
justru ada beberapa unsur dari ilmu yang pernah tuanku terima harus
dilupakan, dan disingkirkan sama sekali, karena justru akan mengganggu
perkembangan tuanku berdua.”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu, maka perkenankanlah hamba melihat, apa saja yang pernah tuanku terima dari guru tuanku yang terdahulu.”
Kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya.
“Apakah maksudmu?“ bertanya Tohjaya.
“Sebaiknya hamba melihat lebih dahulu
tuanku berdua berlatih. Hamba akan segera dapat menentukan, dari mana
hamba harus mulai, atau hamba justru harus membersihkan ilmu yang sudah
ada itu dahulu.”
Tohjaya dan Anusapati berpandangan
sejenak. Namun sejenak kemudian Tohjaya barkata, “Baiklah. Kami akan
berlatih bersama.“ lalu ia-pun berpaling kepada Anusapati, “kita akan
memperlihatkan sampai dimana kemampuan kita masing-masing, kakanda.”
Anusapati tidak menjawab. Tetapi dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya.
“Baiklah. Marilah kita pergi kearena
latihan yang lebih luas. Hamba akan melihat, apa sajalah yang pernah
tuanku terima dari guru tuanku itu.”
Mereka-pun kemudian bersama-sama pergi
kearena latihan di halaman belakang istana. Tempat mereka setiap hari
berlatih di bawah tuntunan guru mereka yang sudah tidak ada lagi, “Nah.
baiklah tuanku berdua mulai,“ berkata pelatih yang baru itu.
Tohjaya dengan wajah yang tegang maju kearena, sedang Anusapati masih saya tampak ragu-ragu.
“Silahkan tuanku. Kenapa tuanku ragu-ragu?“ bertanya pelatih itu.
Anusapati tergagap karenanya. Tetapi
ia-pun kemudian memasuki arena. Di sudut tempat latihan itu, dua orang
prajurit pengawal Tohjaya berdiri tegak dengan kening yang
berkerut-merut.
Sejenak kemudian kedua putera Sri Rajasa
itu-pun sudah bersiap. Mereka telah membenahi pakaian mereka, dan
menyangkutkan kain panjang mereka pada ikat pinggang kulit.
“Mulailah,“ desis pelatih yang baru itu.
Sejenak kemudian maka Anusapati dan
Tohjaya itu-pun segera terlibat dalam suatu perkelahian, meskipun mereka
berdua hanya sekedar bermaksud menunjukkan kepada pelatih mereka yang
baru, apa yang telah mereka peroleh. Tetapi seperti biasanva. Tohjaya
telah benar-bernafsu untuk mengalahkan Anusapati. Ia masih tetap ingin
disebut sebagai seorang anak muda yang mempunyai banyak kelebihan dari
kakaknya, meskipun ia lebih muda dari padanya.
Tetapi Anusapati-pun berbuat seperti
biasanya pula. Pesan Sumekar masih selalu terngiang ditelinganya, bahwa
sebaiknya ia tidak melepaskan kekangannya atas diri sendiri.
Dengan demikian maka perkelahian itu
tampaknya menjadi seru sekali. Desak mendesak, dorong mendorong dan
serang menjerang. Namun setiap kali, Tohjaya selalu berhasil mendesak
lawannya, meskipun tidak segera mampu mengalahkannya.
Pelatihnya yang baru itu memandang kedua
anak-muda yang berlatih itu dengan saksama. Ia memperhatikan setiap
unsur gerak yang tampak pada tata gerak keduanya. Dan sejenak kemudian
ia-pun telah dapat mengambil kesimpulan dari latihan yang dilihatnya.
Dengan demikian maka ia-pun kemudian berkata lantang, “Cukup tuanku, cukup.”
Anusapati yang mendengar juga perintah
itu segera meloncat mundur dan menghentikan latihannya. Tetapi ia sama
sekali tidak menduga, bahwa Tohjaya agaknya masih tetap meyerangnya.
Bahkan ia mempergunakan kesempatan itu untuk mengenai langsung tubuh
Anusapati.
“Jangan tuanku,“ teriak pelatih yang baru
itu. Tetapi serangan itu sudah meluncur. Anusapati yang sama sekali
tidak menyangka, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengelak.
Ia hanya dapat memutar tubuhnya dan menangkis serangan itu dengan
tangannya.
Untunglah bahwa Anusapati masih tetap
sadar, sehingga ia masih tetap dapat melakukan peranannya, meskipun
tidak sempurna karena peristiwa yang tiba-tiba itu.
Dalam benturan yang kemudian terjadi.
Anusapati telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah. Wajahnya
menegang sejenak, kemudian ia menyeringai kesakitan. Beberapa saat ia
masih tetap terbaring di tanah sambil memijit tangannya yang agaknya
menjadi terlampau sakit.
Dalam pada itu, Tohjaya terpental
selangkah surut. Terasa kakinya yang membentur tangan Anusapati itu
menjati panas. Pada pergelangan kakinya itu seolah-olah telah melekat
segumpal bara. Karena itu, betapa ia mencoba menahan sakit tetapi ia-pun
terpaksa berdesis sambil mengusap-usap pergelangannya itu.
Karena Anusapati tidak juga segera
bangkit, maka dengan cemas pelatihnya yang baru itu-pun mendekatinya.
Sambil meraba-raba tangan Anusapati, ia berkata, “Ampun tuanku Putera
Mahkota. Apakah tangan tuanku terasa sakit.”
“Ya, sakt sekali. Bukan saja tanganku, tetapi seluruh tubuhku.”
“Ah,“ Tohjaya berdesah, “kakanda Anusapati memang cengeng. Nah, sekarang kau lihat sendiri. Dan kau baru akan mempercayainya.“
“Bukan tuanku. Bukan karena cengeng.
Mungkin tangan tuanku Putera Mahkota benar-benar sakit, bahkan mungkin
sisi dadanya yang menahan lengannya dalam benturan itu.“
“Tetapi betapa-pun sakitnya, kakanda Anusapati sebenarnya tidak perlu merengek-rengek seperti anak-anak.”
Pelatihnya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia berkata, “Tuanku agak terdorong sedikit. Pada saat
kakanda Putera Mahkota sudah menghentikan latihan, tuanku masih
menyerangnya, sehingga tuanku Anusapati tidak siap sama sekali
menghadapinya.”
“Ah, itu adalah dalih yang usang. Sejak dahulu kakanda Antisapati selalu merasa, bahwa ia sudah menghentikan latihan.”
“Memang tidak,“ sahut Anusapati sambil berusaha bangun, “memang aku agak kurang berhati-hati.”
Perwira prajurit pengawal yang bernama
Pinta Sati itu mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa Anusapati
telah menyalahkan dirinya sendiri. Menurut pengamatannya, pelatih yang
baru itu yakin bahwa Tohjaya lah yang sengaja telah melanggar
perintahnya untuk menghentikan latihan.
Tetapi prajurit itu tidak
mempersoalkannya lagi. Kalau hal itu sudah dapat dianggap selesai oleh
yang bersangkutan, maka ia tidak berkeberatan.
Apalagi, apabila disadarinya, tugas yang
dibebankannya kepadanya oleh Sri Rajasa. Ia harus melatih kedua
Puteranya. Tetapi Tohjaya harus mendapat perhatiannya lebih banyak dari
Anusapati. Terlebih-lebih lagi pesan isteri muda Sri Rajasa, ibu Tohjaya
yang merasa sangat berkepentingan terhadap kedua anak muda itu.
“Anusapati tidak boleh mendekati, apalagi menyamai, kemampuan Tohjaya.”
Perwira itu mengerutkan keningnya.
Kemudian terngiang kembali pesan Ken Umang, “Kau akan mendapat hadiah
secukupnya. Bukan saja dari Sri Rajasa, tetapi juga dari padaku.”
Pinta Sati menarik nafas dalam-dalam.
Hadiah memang sangat menarik baginya. Apalagi ia bukanlah seorang yang
kaya. Ia memang memerlukan sekali sesuatu yang berharga bagi dirinya dan
keluarganya. Apalagi yang menyanggupi untuk memberikan hadiah itu
Maharaja Singasari dan isterinya. Terlebih-lebih lagi, isterinya yang
bernama Ken Umang itu, masih mempunyai sangkut paut darah keturunan. Ken
Umang bukan orang lain bagi Pinta Sati. Mereka adalah saudara sepupu.
Namun karena perbedaan tingkat kehidupan dan tingkat kederajadan, mereka
tampaknya bukan lagi saudara yang masih cukup dekat.
Tetapi ketika pada suatu saat putera Ken
Umang memerlukan seorang pelatih yang dapat dikendalikan, maka Ken Umang
mengusulkan kepada Sri Rajasa, untuk mengangkat Pinta Sati menjadi guru
untuk kedua anak-anak muda itu. Apalagi Pinta Sati memang mempunyai
kemampuan yang cukup untuk menjadi seorang pelatih pada tataran
permulaan. Bahkan tidak kalah dari pelatih kedua Putera Sri Rajasa yang
telah meninggal itu.
“Tetapi, apakah aku akan menjual harga diriku semurah ini?“ tiba-tiba terbersit pertanyaan didalam hatinya.
Pinta Sati menarik nafas dalam-dalam. Dan
ia berusaha untuk mengambil keputusan, “Aku tidak akan dapat melawan
kehendak Sri Rajasa. Seandainya tanpa hadiah apapun, aku pasti akan
melakukannya juga. Tetapi aku tidak dapat berbuat sewenang-wenang.
Mungkin aku orang yang rendah, kasar dan bodoh. Tetapi aku tidak dapat
mengorbankan orang lain dengan semena-mena.”
Dalam pada itu, karena Pinta Sati
tiba-tiba saja merenung, Tohjaya yang berdiri termangu-mangu bertanya,
“He, apakah yang kau renungi? Kakanda Anusapati?”
“Bukan, bukan tuanku,“ jawab Pinta Sati, “aku menunggu tuanku Anusapati dapat bangkit dan berdiri.”
“O,“ lalu katanya kepada Anusapati, “bangkitlah.”
“Apakah kakanda Anusapati tidak dapat berdiri lagi.”
Tertatih-tatih Anusapati mencoba berdiri. Kemudian menggeliat sambil berdesah.
Namun dalam pada itu, kaki Tohjaya masih
juga terasa sakit. Dengan menahan sakit, ia menyembunyikan perasaan yang
serasa dihentak-hentakkan dari pergelangan kakinya. Bahkan kemudian
sambil tersenyum ia berkata, “Kita akhiri perkenalan kita hari ini.
Agaknya kakanda Anusapati tidak dapat lagi berbuat apa-pun selain
menyeringai.”
Perwira yang baru diangkat justru karena
ia akan dijadikan seorang guru bagi putera Sri Rajasa itu menganggukkan
kepalanya, katanya, “Baiklah. Kita sudah cukup berkenalan hari ini.
Besok hamba akan dapat menentukan dari mana hamba akan mulai. Bukankah
begitu tuanku Putera Mahkota?“
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, begitulah.”
“Baklah. Sekarang, tuanku berdua dapat beristirahat. Besok kita akan mulai dengan latihan-latihan kita.”
Demikianlah maka kedua putera Sri Rajasa
itu-pun meninggalkan arena latihan. Tohjaya bersama kedua pengawalnya
kembali ke bangsalnya, demikian juga Anusapati.
Ketika Anusanati berjalan di halaman, ia
melihat Sumekar sedang membersihkan pohon bunga-bungaan di halaman.
Memotong daun-daun yang mulai kering dan mencabut rerumputan liar yang
mengganggu.
Anusapati tertegun sejenak. Kemudian ia mendekatinya sambil berkata, “Aku sudah mendapatkan guru baru.”
“O,“ Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagaimana agaknya tuanku?“ bertanya Sumekar.
“Aku belum dapat mengetahui, bagaimanakah
sikapnya. Ia belum berbuat apa-apa. Ia sedang melihat, sampai dimana
kemampuan kami sebelum ia mulai.”
“Kalau begitu, pelatih tuanku yang baru ini cukup berhati-hati.”
“Ya. Menilik wajahnya, ia termasuk orang yang kasar. Tubuhnya tinggi besar. Tetapi suaranya tinggi.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dipermulaan aku melihat sesuatu yang
belum pernah terjadi sebelumnya, pada saat kami berada di bawah pelatih
yang meninggal itu.”
“Kenapa tuanku?”
“Pelatih kami yang baru ini, dengan berani dan jujur telah menegur Adinda Tohjaya ketika ia berbuat kesalahan.”
“Apa yang dilakukannya?”
“Ketika pelatih kami yang baru
menghentikan latihan, Adinda Tohjaya masih juga menyerang. Untunglah
bahwa aku masih tetap sadar, untuk menjatuhkan diri dan menyeringai
kesakitan. Pada saat itulah ia langsung menegur kesalahan itu.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudahkan ia seorang pelatih yang lebih bak.”
Anusapati mengangguk-angguk, “Mudah-mudahan. Setidak-tidaknya ia bukan seorang penjilat yang dapat membuat aku menjadi gila.”
Ketika Anusapati kemudian meninggalkan
Sumekar, juru taman itu tengah dicengkam oleh keragu-raguan. Ada sesuatu
yang ingin dikatakan, namun ia masih juga ragu-ragu.
Akhirnya Sumekar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya saja Anusapati yang kemudian masuk kedalam biliknya.
Sumekar hanya menarik nafas dalam-dalam.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata, “Belum waktunya aku
mengatakannya sekarang.”
Dan Sumekar memang tidak mengatakannya
untuk sementara, bahwa ia telah ditemui oleh seseorang ketika ia keluar
dari istana. Sebagai seorang juru taman, maka tidak seorang-pun yang
mencurigainya apabila ia dihari-hari tertentu pergi keluar dan
berkunjung ke rumah beberapa orang kawannya yang tidak tinggal di
istana.
Masih terbayang diangan-angannya, seorang
laki-laki yang memanjat ke usia tuanya, menjumpainya di pinggir jalan.
Dengan ramahnya orang itu menyapa, “Apakah Ki Sanak yang bernama
Sumekar?”
Sumekar menganggukkan kepalanya. Jawabnya ragu-ragu, “Ya. Aku adalah seorang juru taman.”
“Aku sudah mengira. Menilik pakaian Ki
Sanak, Ki Sanak, adalah seorang juru taman, pakaian bagi juru taman
Singasari tidak banyak berubah sejak jaman Tumapel di bawah pemerintah
Akuwu Tunggal Ametung.”
“Apakah Ki Sanak mengenal dua jaman itu?“ bertanya Sumekar.
“Ya. Aku mengenalnya dengan baik.“
Sumekar mengerutkan keningnya, lalu “Tetapi apakah maksud Ki Sanak menjumpai aku disini?”
“Ki Sanak akan pergi kemana sekarang ini?”
“Aku mendapat istirahat hari ini. Aku hanya sekedar berjalan-jalan.”
“Ya. Aku memang sering melihat Ki Sanak
berjalan-jalan tanpa tujuan. Hanya sekedar keluar. Tetapi kadang-kadang
Ki Sanak pergi ke rumah kawan Ki Sanak yang tinggal di luar istana.”
“Ya.“ Sumekar menjadi semakin heran, dan
bahkan kemudian timbullah kecurigaannya. Namun demikian ia masih tetap
berlaku sebagai seorang juru taman.
“Ki Sanak,“ berkata orang itu, “apakah Ki Sanak sudi singgah sebentar?”
“Kemana? Apakah rumah Ki Sanak dekat di sekitar ini?”
Orang itu menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Tetapi kita dapat duduk sebentar di bawah pohon yang rindang.
Berbicara seenaknya sambil melihat orang lalu lalang.”
Tiba-tiba saja Sumekar tertarik akan
ajakan itu. Meskipun demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan.
Meskipun ia masih tetap bersikap sebagai seorang juru taman, namun
apabila diperlukan setiap saat ia dapat membangunkan kekuatan aji Kala
Bama yang diterima temurun dari gurunya Empu Sada.
“Ki Sanak ragu-ragu?“ bertanya orang itu.
Sumekar tidak menyahut.
“Sebaiknya aku berterus terang. Aku ingin
berbicara dengan Ki Sanak. Meskipun menilik pakaian Ki Sanak adalah
seorang juru taman, tetapi menilik sikap dan sinar mata Ki Sanak, Ki
Sanak bukanlah seorang kebanyakan, seperti orang-orang yang berjalan
hilir mudik ini. Bahkan isi istana yang setingkat dengan Ki Sanak
agaknya tidak lebih dari jumlah jari-jari kita masing-masing, termasuk
Putera Mahkota Anusapati.”
Dada Sumekar tiba-tiba menjadi
berdebar-debar. Dan ia mendengar orang itu berkata seterusnya, “Sayang,
Ki Sanak tidak membawa tongkat panjang itu. Kalau Ki Sanak membawanya,
maka sempurnalah penglihatan kami atas murid terkasih dari Empu Sada
yang terkenal itu. Bukankah begitu?”
Dada Sumekar menjadi semakin
berdebar-debar. Dengan suara tertahan-tahan ia kemudian bertanya,
“Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?”
Orang itu tersenyum, tetapi ia tidak segera menjawab.
“Apakah Ki Sanak merahasiakan diri, sementara itu Ki Sanak mencoba mengetahui segala sesuatu tentang diriku?”
Orang itu tidak segera menyahut. Ia masih
saja tersenyum ambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak
kemudian ia berkata. “Adalah sepantasnya apabila kau mencurigaiku. Kita
belum pernah berkenalan secara akrab.”
Sumekar mencoba mengingat-ingat. Apakah ia pernah bertemu dengan orang ini?
“Ki Sumekar,“ berkata orang itu kemudian,
“aku banyak mengetahui tentang Ki Sanak. Selain aku tahu bahwa Ki Sanak
adalah seorang juru taman dan bahwa Ki Sanak adalah murid Empu Sada,
yang hampir mewarisi semua ilmunya hampir sempurna, Ki Sanak juga
mempunyai tugas khusus di istana.”
Dada Sumekar menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak ia memandang orang itu dengan saksama.
“Ki Sanak tidak usah ingkar. Aku tahu
dengan pasti, bahwa Ki Sanak mendapat tugas untuk mengamat-amati Putera
Mahkota yang bernama Anusapati itu.”
Sumekar menarik keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah Ki sanak yakin tentang apa yang Ki Sanak katakan?”
“Aku meyakininya. Kau telah menggantikan
kedudukan Mahisa Agni, meskipun tidak tepat seperti orang itu. Kau
sekedar melanjutkan sebagian dari tugasnya. Membawa Putera Mahkota
berlatih di tempat-tempat yang sunyi, sehingga dengan demikian ilmu
kalian telah meningkat bersama-sama.”
Sumekar masih tetap berdiam diri.
“Apakah aku salah sebut? Atau barangkali bukan Ki Sanak yang aku maksud? Tetapi aku sendiri yakin, bahwa Ki Sanaklah orang itu.”
“Siapakah kau sebenarnya?”
Orang itu kini tertawa. Katanya,
“Ternyata bahwa Putera Mahkota memiliki kemampuan yang cukup. Ia adalah
keturunan dari seseorang yang mumpuni. Yang memiliki kemampuan di atas
kemampuan orang kebanyakan.”
“Ya. Sri Rajasa memang seorang yang aneh,“ desis Sumekar.
“Ah, jangan berpura-pura tidak tahu. Kau-pun pasti sudah mendengar, bahwa Putera Mahkota itu bukan putera Sri Rajasa.”
Dada Sumekar berdesir.
“Ki Sanak tidak usah terkejut. Aku tahu
semuanya. Aku tahu bahwa Anusapati adalah putera Akuwu Tunggul Ametung.
Setiap orang mengetahuinya. Tetapi setiap orang tahu akan kewajibannya,
menyimpan rahasia itu, terutama bagi Putera Mahkota itu sendiri.”
“Tetapi Ki Sanak belum mengatakan, siapakah kau sebenarnya?”
Orang itu masih tertawa. Katanya
kemudian, “Sudah lama aku mengetahui hubungan yang kurang serasi di
dalam istana ini. Sri Rajasa, Permasuri, Ken Umang, Anusapati, Tohjaya,
bahkan aku tahu bahwa pelatih Putera Mahkota yang terdahulu telah mati
terjerumus ke dalam jurang di dalam suatu perkelahian dengan Anusapati.
Guru yang jauh dibawah kemampuan muridnya. Bukankah begitu?”
Tanpa sesadarnya maka Sumekar itu-pun
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut sendiri. Dan dengan
serta-merta ia bertanya, “Ki Sanak, aku minta kau menyebutkan namamu
atau ciri-cirimu yang dapat segera mengingatkan aku kepadamu.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Baiklah. Aku kira kau-pun akan segera mengenal aku. Aku
adalah seorang prajurit dimasa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi aku terusir karena aku gagal mempertahankan nama baik adik
seperguruanku, yang aku yakin tidak bersalah. Tetapi ia harus menjalani
hukuman mati. Nah, kau mengenal aku?”
“Belum.”
“Aku kemudian terlibat dalam perang
tanding melawan Mahisa Agni. Tetapi aku dikalahkannya waktu itu? Kau
ingat orang yang pernah dikalahkan oleh Mahisa Agni di arena, tetapi
Mahisa Agni tidak mau membunuhnya?”
Dada Sumekar menjadi berdebar-debar.
“Saat itu aku adalah panglima pasukan pengawal istana.”
“Witantra, Ki Sanakkah yang bernama Witantra?“
Orang itu tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku adalah orang yang bernama
Witantra itu. Yang kemudian mengasingkan diri karena tidak tahan
menanggung malu. Tidak pada tempatnya seseorang dapat keluar dari perang
tanding di dalam mempertahankan nama baik seseorang meskipun ia kalah.
Seharusnya aku mati saat itu. Tetapi aku tidak mati.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, bukankah tidak mustahil kalau aku
tahu, bahwa sebenarnya Tuan Puteri Ken Dedes sudah mengandung pada saat
ia kawin dengan Ken Arok yang kini bergelar Sri Rajasa Batara Sang
Amurwabumi?”
Sumekar masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi dadanya menjadi sangat berdebar-debar. Apakah maksud
kedatangan Witantra kali ini? Witantra yang meninggalkan Tumapel dengan
perasaan malu, sakit dan bingung? Apakah ia ingin membalas dendam atau
untuk kepentingan yang lain?
“Tetapi jangan cemas Ki Sanak,“ berkata
Witantra, “aku sudah bertemu dengan Mahisa Agni. Bahkan ia sering
berkunjung kepadepokanku yang sepi. Ia kini mengetahui, apakah yang
sebenarnya sudah terjadi, dan ia menyesal bahwa saat itu ia naik ke
arena melawan aku di dalam perang tanding.”
“Apakah kakang Mahisa Agni mengatakan banyak hal tentang istana ini?”
“Ya. Antara lain tentang kau. Tentang Anusapati dan Tohjaya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Itulah sebabnya aku berniat untuk
mengetahui serba sedikit tentang Putera Mahkota dan orang-orang di
sekitarnya. Termasuk prajurit yang terbunuh itu, dan kini, pelatihnya
yang baru itu.”
“Apakah Ki Sanak mengenal pelatihnya yang baru itu?”
“Ya. Aku mengenalnya.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung, seolah-olah sedang mengingat-ingat apakah yang akan dikatakannya.
Sumekar masih juga bertanya-tanya di
dalam hati. Apakah maksud Witantra ini sebenarnya. Menilik jalan hidup
yang pernah ditempuh, kegagalan dan perasaan malu yang dahsyat, agaknya
justru membuat Witantra semakin matang, lahir dan batin.
Namun bagaimana-pun juga Sumekar merasa
bahwa ia harus tetap berhati-hati menghadapi orang yang tidak begitu
dikenalnya ini. Segala hal mungkin dapat terjadi. Yang baik bermanfaat
baginya, tetapi mungkin juga sebaliknya.
Agaknya Witantra melihat gejolak di hati Sumekar itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Apakah Ki Sanak mencurigai aku?”
Sumekar tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.
“Itu sudah wajar. Wajar sekali. Kita
belum akrab, dan aku pernah mengalami goncangan yang dahsyat. Aku pernah
bermusuhan dengan Mahisa Agni. Tetapi percayalah, bahwa semuanya itu
sudah lampau. Kami sama-sama bersikap dewasa menghadapi masalah yang
tanpa kita kehendaki telah menerkam diri kita masing-masing.“ Witantra
terdiam sejenak, kemudian. “Seperti masalah yang sama yang terjadi
antara Mahisa Agni dan kakak seperguruanmu. Mereka sama-sama menghadapi
masalah mereka dengan sikap dewasa. Tanpa mendendam dan sakit hati. Yang
sudah itu sudah dilupakannya, agar kita dapat membina hari depan yang
baik. Kalau hidup kita masih saja dibayangi oleh dendam, sakit hati dan
kebencian, bagaimana kita akan membersihkan diri kita? Meskipun untuk
menyingkirkannya sama sekali, manusia dengan segala kelemahannya pasti
tidak akan mampu. Aku-pun masih juga dibebani oleh keinginan-keinginan
yang lahir karena hari lampau.”
Sumekar tidak menyahut.
“Dan karena kelemahan itulah aku datang kemari.”
Sumekar masih tetap berdiam diri. Agaknya
orang yang bernama Witantra itu banyak sekali mengetahui berbagai hal
tentang Mahisa Agni. Bahkan tentang kakak seperguruannya, Kuda Sempana.
Namun Sumekar itu-pun kemudian bertanya, “Apakah sebenarnya maksud Ki Witantra datang menemui aku?”
“Aku ingin bertanya, bagaimana dengan pelatih yang baru itu?“
“Aku masih belum tahu. Pelatih itu mash
belum bergaul dengan tuanku Putera Mahkota. Secara pribadi aku masih
belum mengenalnya pula. Aku baru mendengar bahwa akan datang seorang
perwira untuk melatih kedua Putera Sri Rajasa. Aku pernah melihat
orangnya sepintas. Hanya itu.”
“Bagaimana menurut pertimbanganmu dengan orang itu?”
Sumekar menggeleng, “Aku tidak tahu. Aku tidak mempunyai kesan apapun.”
“Menilik bentuk lahiriahnya?”
“Orang itu termasuk orang yang keras
menurut bentuk lahiriahnya. Tetapi kadang-kadang kita terkecoh oleh
bentuk-bentuk lahiriah itu.”
“Ya. Tetapi kita mempunyai pangkal untuk menanggapi persoalannya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ki Sanak,“ berkata Witantra kemudian,
“aku minta tolong kepadamu. Awasilah pelatih yang baru itu kelak apabila
ia sudah dihadapkan kepada kedua Putera Sri Rajasa itu. Sebaiknya kita
akan sering bertemu.”
“Apakah Ki Witantra mempunyai kepentingan dengan pelatih yang baru itu?”
“Ya. Ia adalah saudara sepupu isteri muda Ken Arok.”
“Saudara sepupu Ken Umang?”
“Ya.”
Wajah Sumekar menegang sejenak. Tetapi ia segera berusaha menyembunyikan perasaannya.
Tetapi Witantra sudah bertanya, “Apakah kau terkejut?”
“Tidak.”
“Kau mempunyai tanggapan yang khusus terhadap kabar ini.”
“Tidak.”
“Hatimu bergejolak. Aku melihat sekilas meskipun Ki Sanak mencoba menyembunyikan.”
“Tidak apa-apa.”
“Baiklah aku yang mulai. Ketahuilah, bahwa Ken Umang adalah saudara muda dari isteriku.”
Sekali lagi Sumekar terperanjat. Kalau
begitu, Tohjaya adalah kemanakannya. Apakah dengan demikian Witantra
yang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Mahisa Agni ini mempunyai
kepentingan yang berlawanan dengan Mahisa Agni? Apakah Witantra ingin
membentuk Tohjaya yang mumpuni untuk menghadapi Anusapati yang mendapat
tuntunan dari Mahisa Agni.
“Jangan salah tangkap Ki Sanak,“ berkata
Witantra, “aku memang masih bersangkut paut dengan Tohjaya. Ia adalah
anak saudara muda isteriku. Sedang pelatih yang bakal diberikan kepada
kedua putera Sri Rajasa itu adalah saudara sepupu Ken Umang. Tetapi
justru karena itu aku minta kita sering bertemu. Aku ingin melihat
apakah kelak yang akan dilakukan oleh perwira yang baru saja diangkat
itu.”
“Apakah maksud Ki Sanak sebenarnya?”
Witantra tidak segera menjawab. Dipandanginya awan yang terbang bergumpalan ditiup angin dari Selatan.
Sejenak kemudan perlahan-lahan ia
berkata, “Kau memang dapat mencurigai aku. Tetapi ketahuilah, aku adalah
seorang perwira tertinggi pada pasukan pengawal istana di masa Akuwu
Tunggul Ametung berkuasa. Aku tidak menentang usaha Sri Rajasa yang kini
membuat Singasari menjadi besar, tetapi aku tidak senang melihat anak
Ken Umang itu mendesak kedudukan putera Ken Dedes, meskipun bukan anak
Tunggul Ametung itu. Aku kenal adik iparku itu. Aku kira ia adalah
jurang yang dalam dan terjal yang dapat menyeret Singasari kedalam arus
nafsunya yang tidak terkendali, sehingga justru Singasari akan menjadi
korban karenanya.”
Sumekar tidak segera menjawab. Ia sengaja
tidak banyak memberikan keterangan, ia belum tahu pasti lawan
berbicaranya itu, sehingga mungkin sekali keterangannya dapat disalah
gunakan.
Tetapi menilik pengenalan yang hampir
lengkap itu, Sumekar semakin lama semakin menaruh kepercayaan, meskipun
ia masih juga tetap berhati-hati.
“Karena itu,” berkata Witantra kemudian,
“aku berharap, bahwa Singasari yang telah dibina oleh Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi ini dapat diselamatkan. Kalau
ia bergeser dari keturunan Ken Dedes ke keturunan Ken Umang, maka aku
tidak akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi kelak, meskipun Ken
Umang itu adalah iparku.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi jangan salah paham. Yang penting bagiku bukan keturunan Akuwu Tunggul Ametung, tetapi justru keturunan Ken Dedes.”
“Kenapa?“ tiba-tiba Sumekar bertanya.
“Hak atas takhta Tumapel memang sudah
berpindah dari Akuwu Tunggul Ametung kepada Ken Dedes atas kerelaannya
sendiri. Dan selanjutnya, Ken Dedes memang seorang perempuan yang
memiliki tanda-tanda khusus, bahwa ia akan menurunkan raja-raja di atas
kerajaan ini.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Dari mana Ki Sanak mengetahui, bahwa Ken
Dedes akan melahirkan keturunan yang akan memerintah kerajaan ini?”
Witantra menarik nafas sejenak. Namun
kemudian ia berkata, “Tidak mudah untuk mengetahuinya. Tetapi tanda itu
memang ada. Seorang Brahmana yang bernama Lohgawe pernah menceriterakan
semuanya kepadaku dan kepada Mahisa Agni.”
“Apakah Ki Sanak pernah menghadap Brahmana itu?”
“Ya, kami seorang-seorang pernah menghadap. Dan kami bersama-sama-pun pernah menghadap.”
“Tetapi kakang Mahisa Agni akhir-akhir ini berada di Kediri.”
“Berapa jauhnya jarak dari Kediri ke
padukuhanku, kemudian ke Singasari?“ jawab Witantra, “tetapi kami
menghadap di saat-saat Mahisa Agni masih berada di Singasari.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia sadar, bahwa tidak semua sudah dikatakan oleh Witantra, tetapi yang
tidak dikatakan itu pasti tidak akan dikatakan pula meskipun
ditanyakannya. Karena itu maka Sumekar-pun tidak bertanya kepadanya.
“Sudahlah Ki Sanak,“ berkata Witantra
itu, “aku kira pertemuan kita sudah cukup. Kita sudah saling melengkapi
pengetahuan kita tentang Istana Singasari. Tetapi aku berharap, bahwa
untuk seterusnya kita akan dapat saling bertemu. Aku juga sering pergi
ke Kediri, menemui Mahisa Agni.”
“Baiklah,“ jawab Sumekar, “aku akan berusaha.”
“Sebentar lagi, kedua putera Sri Rajasa
itu akan segera dihadapkan kepada pelatihnya yang baru. Cobalah
mengamati, apa yang akan terjadi. Selain kita yang tua-tua ini tidak
kehilangan kesempatan, kita juga tidak boleh membiarkan Anusapati
membuat kesalahan yang serupa, yang menyebabkan gurunya itu terjerumus
ke dalam jurang. Hal itu akan menyulitkannya dan mempengaruhi jalan
pikirannya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Di sini aku akan selalu menunggu Ki
Sanak setiap kali. Aku dapat menghitung hari, kapan Ki Sanak keluar dari
istana,“ berkata Witantra selanjutnya, “biasanva dihari-hari ke empat.
Di hari ke empat yang pertama Ki Sanak kadang keluar di pagi hari,
sedang di hari ke empat yang kedua kadang-kadang Ki Sanak keluar di sore
hari.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Witantra itu tahu tepat, kapan ia mendapat waktu untuk
beristirahat. Setengah hari di hari keempat. Pagi, kadang-kadang sore.
Dan Witantra telah menghitung hari itu.
Sambil tersenyum Witantra itu kemudian
berdiri. Katanya, “Jangan heran. Orang-orang tua yang sudah tidak
mempunyai kerja apa-pun seperti aku ini, selalu mempunyai waktu untuk
melakukan hal-hal yang kadang-kadang aneh, dan bahkan tidak masuk akal
bagi orang lain. Seperti menghitung hari-hari istirahat. Memperhatikan
saat-saat Sri Rajasa berburu sebulan sekali. Dan hal-hal yang sama
sekali tidak penting bagi orang lain.”
Sumekar-pun tersenyum pula. Jawabnya,
“Pengamatan Ki Sanak memang luar biasa. Ki Sanak adalah orang yang
sangat telaten mempelajari sesuatu masalah.”
Witantra-pun kemudian tertawa. Katanya,
“Terima kasih atas pujian itu. Sekarang aku minta diri. Kita akan sering
bertemu di hari-hari mendatang.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Semuanya itu telah terbayang kembali seperti benar-benar baru saja
terjadi. Dan kini, apa yang dikatakan Witantra itu telah mulai. Latihan
bagi Putera Mahkota dan bagi Tohjaya.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia-pun segera menyadari pekerjaannya. Karena itu, ia-pun segera
melanjutkan kerja itu. Memotong dahan-dahan kering dan memetik daun yang
sudah menjadi kuning.
Namun demikian, ia berjanji kepada
dirinya sendiri, bahwa ia akan membantu Witantra mengamati gerak-gerik
guru Anusapati yang baru itu. Semuanya itu untuk kepentingan
kesanggupannya kepada Mahisa Agni, tetapi juga untuk kepentingan hari
depan Singasari. Kalau benar kata Witantra, bahwa Ken Umang adalah
lambang nafsu yang tidak terkendali, maka ia akan menjadi perempuan yang
justru paling berbahaya bagi Singasari, karena pengaruhnya yang besar
terhadap Ken Arok. Pengaruh kehangatan darahnya yang sengaja membakar
hati Sri Rajasa. untuk kepentingan pribadinya dan keturunannya.
Dihari-hari berikutnya, Sumekar selalu
berusaha untuk dapat melihat latihan-latihan yang dilakukan oleh kedua
putera Sri Rajasa itu. Meskipun hanya dari kejauhan, tetapi ia selalu
mencoba memperhatikan apa yang sudah terjadi. Dengan demikian ia dapat
melengkapi ceritera Anusapati dengan pengamatannya langsung atas pelatih
yang baru itu.
Namun dalam pada itu, ternyata Tohjaya
telah menyampaikan kepada ibunya, apa yang dialaminya dihari pertama,
sehingga Ken Umang kemudian telah memanggil kemanakannya yang menjadi
perwira prajurit itu.
“Kenapa kau berbuat begitu?“ Ken Umang bertanya.
“Apakah hamba bersalah?“ bertanya perwira itu.
“Tentu. Kakang sudah memihak. Dan adalah
aneh sekali bahwa kakang berpihak kepada Anusapati. Bukankah kemenakanmu
itu Tohjaya, dan bukankah aku pula yang telah mengusulkan kau diangkat
menjadi seorang prajurit dan bahkan seorang perwira. Pekerjaanmu
sekarang jauh lebih baik dari pekerjaanmu di padukuhan. Kau hanya
sekedar mendapat upah karena kau mempunyai ilmu. Kau diupah apabila kau
mendapat pekerjaan mengawal seseorang atau serombongan pedagang yang
akan melintasi jalan-jalan yang berbahaya. Tetapi di sini kau mendapat
semuanya. Penghasilan yang cukup, kehormatan sebagai seorang perwira dan
pekerjaan yang ringan.”
Terasa sesuatu begetar di dada perwira itu.
“Kakang,“ berkata Ken Umang kemudian,
“aku minta kesediaanmu untuk mengasuh Tohjaya sebaik-baiknya. Baik ia
sebagai kemanakanmu, maupun ia sebagai putera Sri Rajasa. Kau jangan
membuat ia berkecil hati dan membuat Anusapati menjadi besar kepala. Itu
bukan maksud kami. Bukan maksudku dan bukan maksud Sri Rajasa.
Anusapati harus tetap berjiwa kerdil, tidak memiliki kemampuan yang
cukup untuk menyamai Tohjaya dan tidak mempunyai Kepercayaan kepada diri
sendiri. Itulah tugasmu. Bukan sebaliknya. Bahkan kau telah menyalahkan
Tohjaya dihadapan Anusapati.”
“Tuan Puteri,“ jawab perwira itu, “hamba
tahu benar tugas hamba. Tetapi apakah dengan demikian justru tidak
membuat tuanku Tohjaya tersesat? Sebab tuanku Tohjaya tidak melihat
keadaan yang sewajarnya. Kalau ia terus-menerus merasa dirinya benar dan
menang, maka pada suatu saat, apabila ia terjun kedalam pergaulan, ia
akan canggung. Mungkin Tuanku Putera Mahkota akan berhati kerdil, tidak
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dan selalu mengalah. Tetapi
orang lain pasti tidak akan bersedia berbuat demikian. Nah, dalam
keadaan itu, baru akan terasa, bahwa tuanku Tohjaya akan kehilangan
pegangan. Ia akan terkejut terbentur pada sikap yang tidak sekedar
mengalah, ketakutan dan tidak berpendirian.”
“Tetapi siapakah yang akan berani
menentang Tohjaya? Di seluruh Singasari sekarang, orang yang mempunyai
derajat yang lebih tinggi dari anakku Tohjaya adalah Sri Rajasa sendiri
dan Anusapati. Kalau Anusapati sudah dapat dibentuk menjadi manusia yang
berjiwa kerdil, lalu siapakah yang berani menentang Tohjaya? Ia akan
menjadi orang yang paling berkuasa di Singasari meskipun ia tidak
menjadi raja. Apakah kau dapat mengerti akan hal itu?”
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, renungkan. Aku berharap kau dapat
melakukannya. Apalagi kau adalah pamannya. Paman Tohjaya. Tetapi karena
keadaan derajad kita berbeda, maka kita harus dapat menempatkan diri
kita masing-masing.”
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi kemudian ia-pun menganggukkan kepalanya, “Baiklah Tuan Puteri.
Hamba bersedia melakukannya segala perintah Tuan Puteri. Tetapi hamba
minta, agar hamba mendapat kesempatan untuk mempergunakan cara yang baik
menurut hamba.”
“Marah-marah dan berbuat tidak adil?”
“Bagaimana hamba dapat marah Tuan Puteri?
Hamba adalah seorang prajurit. Perwira yang paling rendah. Bagaimana
hamba dapat marah kepada kedua atau salah seorang dari putera Tuanku Sri
Rajasa?”
“Ingat-ingatlah hal itu.”
“Tentu Tuan Puteri.”
“Jangan menegur Tohjaya lagi, apalagi dihadapan Anusapati atau orang lain.”
“Hamba Tuanku.”
“Terima kasih. Aku serahkan kedua putera
Sri Rajasa itu kedalam tanganmu. Kau harus membentuknya. Membentuk
kedua-duanya menjadi manusia yang aku inginkan. Kau mengerti? Tohjaya
harus menjadi orang yang paling berkuasa, bahkan lebih berkuasa dari Sri
Rajasa sendiri.”
“Gila,“ perwira itu menggeram di dalam hatinya.
“Baiklah. Berhati-hatilah.”
“Hamba tuanku. Hamba akan selalu mengingat segala pesan Tuan Puteri.”
Demikianlah maka perwira itu telah
dibekali dengan suatu sikap. Tetapi ternyata ia bukan seorang penjilat
yang sangat lemah hati. Ia masih mempunyai diri, meskipun ia tidak
berani berterus-terang.
Dengan demikian maka sikapnya-pun tidak
terlampau jelas berpihak kepada Tohjaya. Hanya kadang-kadang saja ia
dengan sengaja menunjukkan bahwa ia memang harus berbuat begitu. Berbuat
agar ia tampak berpihak kepada Tohjaya. Tetapi di saat-saat lain ia
berbuat wajar sebagai seorang guru bagi keduanya.
Dalam pada itu, karena ilmu Anusapati
yang sebenarnya telah lebih tinggi dari gurunya, demikian pula Sumekar,
maka mereka segera merasakan, bahwa pelatihnya kali ini, tidak terlampau
banyak memberikan perbedaan ajaran kepada keduanya. Di dalam olah
kanuragan, bahkan keduanya tidak begitu banyak mengalami perbedaan
perlakuan, meskipun secara lahiriah kadang-kadang Tohjaya merasa,
dirinya adalah pusat dari segala-galanya.
Tetapi sikap Tohjaya itu tidak banyak
berpengaruh kepada Anusapati. Ia tidak mempedulikan, apakah Tohjaya
merasa bahwa ia menjadi pusat putaran dunia atau apapun. Namun sikap
gurunya yang baru itu banyak memberikan ketenangan kepada Anusapati.
Anusapati tidak lagi merasa dirinya
selalu dihina, digelitik dan direndahkan. Apalagi oleh gurunya. Sehingga
kadang-kadang timbul niatnya untuk berbuat sesuatu untuk melepaskan
himpitan perasaannya itu. Akhirnya sengaja atau tidak, sadar atau tidak,
keadaan itu telah berakhir dengan terbunuhnya gurunya itu.
“Tetapi guru yang baru ini bersikap
bijaksana,“ katanya di dalam hati, “setidak-tidaknya ia tidak terlampau
berpihak. Seandainya ia berpihak, ia tidak sering menghina dan
menyakitkan hatiku.”
Tetapi sikap itu agaknya tidak
menyenangkan hati Tohjaya. Ia ingin gurunya itu berbuat seperti gurunya
yang dahulu. Menghina langsung di muka banyak orang sekalipun.
Menunjukkan kekurangan dan kebodohan Anusapati secara langsung. Dan
tindakan-akan yang menyakitkan hati lainnya.
“Kakang,“ berkata Ken Umang pada suatu
saat kepada perwira itu, “aku berterima kasih bahwa kau sudah berusaha
melakukan tugasmu dengan baik. Tetapi aku masih mengharap kau berbuat
agak lebih tegas lagi. Kau tidak perlu membuat banyak pertimbangan.
Serahkan segala akibatnya kepadaku dan kepada Sri Rajasa, seandainya
Anusapati merasa dirinya terhina. Atau bahkan merasa dirinya
dikesampingkan. Meskipun ia Putera Mahkota tetapi Sri Rajasa sama sekali
tidak menyukainya. Dan kau tahu, apakah sebabnya. Hanya untuk menjaga
ketenteraman Singasari sajalah maka ia ditetapkan menjadi seorang Putera
Mahkota, karena menurut ujud lahiriahnya, ia adalah anak yang sulung.”
“Hamba Tuan Puteri,“ jawab perwira itu,
“hamba akan mencoba. Tetapi menurut pertimbangan hamba, sikap hamba
tidak sebaiknya terlampau jelas dapat dilihat dan dirasakan oleh orang
lain seandainya ada yang melihatnya. Dengan demikian, orang tidak akan
menganggap Tuanku Tohjaya mempunyai kelebihan apa-apa lagi. Orang
menganggap bahwa kelebihan Tuanku Tohjaya adalah suatu hal yang wajar
sekali, karena gurunya berpihak kepadanya.”
Ken Umang mengerutkan keningnya.
“Ah, kau terlalu mempunyai banyak
pertimbangan,“ berkata Ken Umang kemudian, “itu tentu hanya perasaan
saja. Tidak akan ada orang yang memperhatikannya.”
“Tetapi bagi seorang prajurit, apalagi
bagi seorang perwira dan Senapati yang kebetulan melihat meskipun hanya
sekilas, akan jelas baginya, bahwa kelebihan Tuanku Tohjaya adalah hal
yang wajar sekali. Tidak mengherankan dan apalagi mengagumkan. Tetapi
kalau sikap hamba tidak jelas seperti sekarang, bahkan ternyata Tuanku
Tohjaya sendiri tidak tahu, maka hamba dengan bangga akan dapat
mengatakan kepada siapa-pun bahwa Tuanku Tohjaya mempunyai banyak
kelebihan dari Tuanku Anusapati. Ternyata dengan latihan-latihan yang
sama, hasilnya bagi keduanya sangat berbeda.”
Ken Umang mengerutkan keningnya. Dan
saudara sepupunya yang diangkatnya menjadi pelatih puteranya itu
melanjutkan, “Kalau sejak semula banyak orang yang mengetahui perbedaan
sikap itu, setidak-tidaknya apabila Tuanku Anusapati sendiri
merasakannya dan mengatakan kepada orang lain, maka setiap orang yang
melihat kelebihan Tuanku Tohjaya tidak akan mengaguminya lagi.”
Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Ada juga kebenarannya. Tetapi bagaimana-pun caranya, namun
Tohjaya harus mempunyai kelebihan dari Anusapati. Aku tidak puas dengan
pelatihnya yang lalu. Di arena Tohjaya tidak segera dapat memenangkan
perkelahian itu.”
“Nah, sedangkan setiap orang sudah tahu, bahwa pelatih itu berpihak kepada Tuanku Tohjaya.”
Sekali lagi Ken Umang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Terserahlah kepadamu.
Tetapi kau tidak boleh menyakiti hati Tohjaya seperti yang pernah
terjadi.”
“Hamba Tuan Puteri.”
“Aku akan menunggu hasilnya. Setahun lagi
aku akan membuat neraca imbangan bagi keduanya. Agaknya demikian juga
niat Tuanku Sri Rajasa.”
“Jangan setahun Tuan puteri. Jarak itu
terlampau pendek. Hamba belum mendapat kesempatan berbuat apa-apa.
Sekarang hamba sedang memperbaiki sikap dan tata gerak dari Tuanku
Tohjaya dan sedikit Tuanku Anusapati. Agaknya pelatihnya yang dahulu
tidak mempergunakan perhitungan yang masak. Keduanya telah mempelajari
ilmu yang tidak seharusnya. Pelatih itu tergesa-gesa ingin membuat
keduanya berbeda terlampau jauh, sehingga bagi Tuanku Tohjaya sendiri
agaknya merugikan. Ia mempergunakan tata gerak pada tingkatan yang jauh,
sebelum dasarnya dikuasai. Hal itu akan sangat berpengaruh bagi
perkembangan ilmunya kemudian. Tampaknya saja Tuanku Tohjaya kuat di
luar, tetapi rapuh di dalam.“
Ken Umang menganggukkan kepalanya pula. Lalu katanya, “Terserahlah kepadamu.”
“Hamba akan mencoba. Sampai sekarang yang
terjadi justru sebaliknya. Tuanku Anusapati yang ketinggalan itu,
ternyata mempunyai dasar yang lebih kuat, sehingga kelak apabila
kesalahan di dalam penurunan ilmu itu berlangsung terus, Tuanku
Anusapati akan memiliki kemampuan dan kekuatan jasmaniah yang jauh lebih
kuat dari Tuanku Tohjaya.”
“Kau harus memperbaiki kesalahan itu.”
“Hamba Tuanku. Hamba akan mencoba. Tetapi
hamba memerlukan waktu. Tidak hanya setahun, tetapi tiga tahun.
Meskipun pada tahun kedua penilaian itu sudah dapat dilakukan. Tetapi
dengan pengawasan yang langsung dan ketat.”
“Terserahlah kepadamu. Tetapi Tohjaya itu selain junjunganmu, ia kemanakanmu pula. Kau mengerti?”
Perwira prajurit saudara sepupu Ken Umang
itu menarik nafas panjang. Ia mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia
berkata di dalam hatinya, “Untuk mendapat keuntungan, ia dapat juga
mengatakan bahwa Tohjaya adalah kemanakanku. Tetapi pantaskah aku harus
bersikap seperti budak ini terhadap kemanakan sendiri?” namun kemudian
dijawabnya sendiri, “ia kebetulan lahir sebagai putera Maharaja
Singasari yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Dan aku lahir
dari seorang perempuan di sebuah padukuhan kecil.”
“Baiklah kakang,” berkata Ken Umang
kemudian, “kita bersama-sama akan mengasuh anak itu menurut bidang kita
masing-masing. Aku adalah ibunya. Kau adalah gurunya, sekaligus
pamannya.”
“Hamba akan mencoba tuan Puteri. Hamba akan berbuat sebaik-baiknya.”
Demikianlah maka mau tidak mau, perwira
itu harus menumbuhkan perbedaan bagi kedua putera Sri Rajasa itu. Tetapi
terasa betapa hatinya sendiri menjadi tersinggung karenanya. Sebagai
guru dari dua orang anak-anak muda, ia harus membuat yang satu menjadi
lebih baik dari yang lain.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak berbuat
semata-mata seperti guru kedua anak muda itu yang terdahulu. Menurut
pengamatan Sumekar, perwira itu agak lebih baik dari perwira prajurit
yang telah meninggal di jurang itu.
Sumekar mengangguk-angguk kecil ketika ia
menyaksikan latihan yang berlangsung di halaman dalam dari kejauhan.
Dari sela-sela regol petamanannya. Ia melihat perwira itu memberikan
petunjuk-petunjuk bagi keduanya. Memang tampaknya ia ragu-ragu apabila
ia mencoba mengajari Anusapati. Seolah-olah ada sesuatu yang
mengekangnya.
“Tetapi ia tidak berniat buruk,“ berkata
Sumekar kepada diri sendiri. Seperti juga Anusapati berkata kepada
dirinya sendiri, “ia tidak berniat buruk.”
“He,“ tegur seorang juru taman kawan Sumekar yang melihat Sumekar asyik menyaksikan latihan itu dari kejauhan.
“Apakah kau ingin berlatih seperti kedua anak muda itu?”
“Sebenarnya,“ jawab Sumekar, “alangkah senangnya apabila aku mampu melakukan tata gerak seperti mereka.”
“Kalau kau dapat melakukan, apa yang kau kerjakan pertama-tama sekarang?”
“Sekarang?”
“Ya, sekarang.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Merampas rangsummu.”
“Huh,“ desis kawannya. Tetapi ia kemudian tertawa, “Hanya itu?”
“Tidak. Aku akan merampas temanmu juga.”
“Tidak bisa. Kalau kau mampu bergerak
seperti itu, aku pasti mampu berkelahi segarang Tuanku Sri Rajasa. Aku
putar lehermu, kemudian aku banting kau di atas semak berduri itu.”
Sumekar termenung sejenak. Namun kemudian ia-pun tertawa. Katanya, “He, jangan marah. Bukankah aku belum merampas rangsummu?”
Orang itu memandang Sumekar sejenak. Tetapi ia-pun tertawa juga. Katanya, “Aku pertahankan rangsumku dengan nyawaku.”
Keduanya-pun tertawa.
Namun dengan demikian Sumekar tidak lagi
dapat memperhatikan latihan itu dengan baik. Setiap kali ia terpaku pada
tata gerak yang samar-samar, kawannya berkata, “He, bekerjalah. Kalau
Putera Mahkota itu melihat kau menjadi malas, kau akan dimarahinya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia kemudian berkata, “Aku belum pernah melihat Tuanku Putera
Mahkota itu marah. Sebenarnya marah.”
Kawannya seakan-akan berpikir sejenak.
Lalu, “Ya. Aku lebih lama bekerja di sini daripada kau. Tetapi aku juga
belum pernah melihat Putera Mahkota itu marah.”
Selanjutnya Sumekar tidak sempat lagi
melihat latihan berikutnya. Tetapi di hari-hari lain ia mendapat
kesempatan meskipun hanya sepotong-sepotong. Namun dengan demikian ia
mendapat kesimpulan, bahwa guru Anusapati yang baru ini tidak menambah
beban perasaan Putera Mahkota itu.
Hal itu telah dibenarkan oleh Anusapati ketika Sumekar berkesempatan untuk bertemu.
“Memang ia berbuat kurang adil,“ berkata
Anusapati, “ia membina Adinda Tohjaya lebih baik daripada aku. Tetapi
tidak terlampau menyolok seperti pelatih yang dahulu. Dan yang lebih
penting, perwira itu tidak pernah membuat hatiku terlampau sakit.”
“Syukurlah. Ternyata sifatnya tidak segarang ujudnya. Bukankah begitu Tuanku?”
“Ya, ujudnya jauh lebih kasar dari
pelatih yang dahulu. Tetapi meskipun sikapnya kadang-kadang kasar juga,
namun ia jauh lebih jujur. Ia bukan orang yang licik seperti yang
dahulu.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hamba akan mengikutinya dari kejauhan.”
“Ya paman. Aku harap paman membantu
pengamatanku kalau-kalau aku salah tangkap, sehingga pada suatu saat aku
akan terjebak karenanya.”
Demikianlah, maka setelah beberapa lama
latihan-latihan itu berlangsung, Anusapati menjadi semakin yakin, bahwa
gurunya memang orang yang jujur, meskipun ia melihat juga perbedaan yang
dilakukannya di dalam sikapnya menghadapi kedua muridnya.
Dalam pada itu, ketika Sumekar
berkesempatan keluar dari istana, berjalan-jalan menikmati hari
istirahatnya, maka sekali lagi ia ditemui oleh orang yang bernama
Witantra itu. Kali ini ia bertanya tentang sikap guru Anusapati yang
baru itu.
Seperti yang pernah terjadi, keduanya-pun
kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang rindang di tepi jalan,
sambil melihat orang yang lalu lalang.
“Dahulu aku tidak berani duduk di pinggir
jalan seperti ini,“ berkata Witantra, “setiap orang akan memandang
kepadaku dengan heran.”
“Ya, selagi Ki Sanak masih seorang Panglima.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil tersenyum. Katanya, “Mungkin masih ada orang-orang lama yang
masih bertugas di kesatuannva. Tetapi mereka pasti sudah tidak mengenal
aku lagi. Aku sudah semakin tua dan badanku-pun telah susut banyak
sekali dibandingkan dengan saat aku masih seorang prajurit.”
“Ya. Memang masih banyak orang-orang lama
itu. Di antara para juru taman-pun masih ada juru taman yang lama, yang
sudah bekerja di istana sejak jaman Akuwu Tunggul Ametung.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Tetapi,“ katanya, “pada saat itu Tumapel masih belum sebesar Singasari
sekarang. Istananya-pun belum seluas sekarang pula.”
“Apalagi sekarang istana itu berisi dua orang isteri Sri Rajasa.”
“Sayang sekali. Itu adalah sumber
perpecahan di masa datang. Seandainya Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa
itu hanya beristerikan Ken Dedes saja, maka kami bersama-sama akan
mengharap bahwa Singasari akan maju.”
“Ya. Ternyata sekarang pertentangan itu sudah nampak.”
“Pertentangan itu sudah terbayang pada
Anusapati dan Tohjaya. Adik-adiknya akan terseret pula agaknya di dalam
arus pertentangan itu. Mereka yang merasa anak Ken Dedes dan mereka yang
merasa anak Ken Umang, meskipun semuanya Putera Sri Rajasa.”
Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun sejenak mereka berdiam diri. Witantra memandang orang-orang yang
lewat di hadapannya seolah-olah ia benar-benar datang dari pedukuhan
yang jauh, yang heran melihat orang-orang kota memakai pakaian yang
baik.
Ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat dua orang prajurit berkuda lewat di hadapannya. Dua orang prajurit pengawal istana.
“Apakah Sri Rajasa akan keluar istana hari ini?” Sumekar mengerutkan keningnya.
“Dua orang prajurit itu dari pasukan pengawal. Apakah ia sedang merintis jalan bagi Sri Rajasa?”
“Aku tidak mendengar berita itu. Tetapi
setiap saat Sri Rajasa memang sering pergi keluar istana untuk berburu,
kapan saja ia kehendaki.”
Witantra mengangguk-angguk pula. Katanya,
“Kalau benar Sri Rajasa akan keluar istana hari ini, aku harus
bersembunyi. Banyak orang yang tidak mengenal aku lagi. Tetapi aku tidak
berani memastikan bahwa Sri Rajasa-pun tidak mengenal aku pula. Orang
itu adalah orang aneh. Ingatannya tajam sekali, seperti kecerdasan dan
kemampuannya berpikir yang jarang ada duanya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang mungkin sekali, tiba-tiba saja Sri Rajasa keluar istana.”
Sebelum Witantra sempat menjawab, mereka
melihat sekali lagi dua orang dari pasukan pengawal yang lewat
mengendarai kuda sambil memegang senjata telanjang.
“Pasti. Sri Rajasa akan keluar istana hari ini.”
“Ya. Sekarang aku-pun pasti.”
Dalam pada itu, orang-orang di pinggir
jalan-pun mulai menyibak. Kedua prajurit pengawal itu adalah pertanda
bahwa Sri Rajasa akan melalui jalan itu.
“Aku harus menyingkir,“ desis Witantra.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Marilah. Aku-pun akan menyingkir pula.”
Keduanya-pun kemudian berjalan menjauh,
berbelok pada lorong sempit yang di sebelah menyebelah dipagari oleh
dinding batu yang agak tinggi.
“Kita di sini. Mungkin kita masih dapat melihat dari balik regol halaman sebelah,“ desis Witantra.
Keduanya-pun kemudian berdiri di regol
halaman seseorang. Regol yang masih tertutup. Ketika seorang anak
laki-laki berlari keluar regol itu, ia terkejut. Ditatapnya kedua orang
yang berdiri bersandar dinding regol halaman rumahnya.
Tetapi hampir berbareng keduanya
tersenyum. Dengan ramahnya Wintantra bertanya, “Apakah kau akan melihat
iring-iringan Tuanku Sri Rajasa?”
“Ya. Aku sudah mendengar tengara.“
Witantra tertawa, “Suara bende itu?”
“Ya,” jawab anak itu.
“Sebentar lagi Tuanku Sri Rajasa akan lewat.”
“Apakah paman berdua tidak ingin melihat?”
“Tentu, nanti kami akan melihat. Tetapi
sekarang kami sedang duduk-duduk melepaskan lelah di sini. Bukankah kau
tidak berkeberatan apabila kami duduk-duduk di sini?”
“Tentu tidak.”
“Ayahmu juga tidak?”
“Rumah ini rumah kakek. Ayah tinggal di rumah kami yang lain di ujung lorong ini. Kakek tentu tidak berkeberatan.”
“Apakah kakekmu ada di rumah?”
“Tidak. Kakek pergi ke pasar mengantar nenek. Aku sendiri di rumah.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebelum ia menjawab anak itu sudah menghambur lari ke jalan raya,
berdesakan di antara mereka yang ingin melihat iring-iringan Sri Rajasa
lewat.
Sejenak kemudian maka dari kejauhan
Witantra dan Sumekar melihat empat buah kepala tersembul dari balik
mereka yang berdiri berjajar di pinggir jalan. Kepala empat orang
prajurit berkuda. Di belakangnya kemudian beberapa orang lagi, juga
berkuda. Sedang suara bende menjadi semakin lama semakin dekat.
Sumekar dan Witantra masih berdiri di
tempatnya. Bahkan kadang-kadang mereka harus mengangkat kepalanya, untuk
dapat melihat prajurit berkuda yang lewat di jalan raya.
Ternyata bahwa dugaan mereka, bahwa Sri
Rajasa yang keluar dari istananya kali ini akan berburu adalah benar. Di
belakang prajurit berkuda yang membawa tombak pendek, Sri Rajasa
sendiri berada di punggung kudanya yang berwarna kehitaman sambil
menyandang busurnya dan endong anak panah. Dibelakang Sri Rajasa,
puteranya Tohjaya, mengikutinya sambil membawa busurnya pula.
“Kau benar,“ desis Witantra, “Ken Arok itu pergi berburu.”
“Ya,” sahut Sumekar.
“Seperti kebiasaan Akuwu Tunggul Ametung.”
“Sejak beberapa saat yang lalu, puteranya. Tuanku Tohjaya sering ikut bersamanya.”
“Anusapati?”
Sumekar menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tuanku Putera Mahkota tidak pernah ikut bersama mereka.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Suatu perbuatan yang kurang bijaksana. Seharusnya Sri Rajasa
tidak terlampau menunjukkan perhatian yang berbeda pada keduanya. Bahkan
seakan-akan justru dengan sengaja.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hal-hal serupa inilah yang membuat Putera Mahkota merasa dirinya
semakin kecil. Bahkan kadang-kadang kehilangan kepercayaan kepada diri
sendiri.”
“Kasihan. Apakah Ki Sanak berusaha membantunya untuk tetap bersikap tabah.”
“Ya. Aku memang selalu berusaha. Bahkan menurut pendengaranku, embannya-pun selalu mencobanya pula.”
“Mudah-mudahan ia tidak tergelincir,“ desis Witantra, “lalu bagaimana dengan pelatihnya itu?”
Sumekar-pun segera menceriterakannya apa yang dilihatnya.
“Jadi, perwira itu tidak terlampau jelek buat Anusapati?”
Sumekar menggeleng, “Tidak.”
“Apakah ia ikut didalam iring-iringan itu?”
“Aku tidak tahu. Pelatihnya yang dahulu memang sering mengikutinya meskipun Tohjaya sendiri tidak ikut.”
“Aku kira ia-pun ikut pula bersama Sri Rajasa. Tetapi aku tidak melihatnya.”
Sumekar tidak menjawab. Tetapi ketika ia
memandang ke jalan raya, orang-orang-pun sudah melanjutkan perjalanan
mereka masing-masing. Dari ujung lorong Sumekar dan Witantra melihat
anak laki-laki yang berlari-lari keluar dari regol rumah itu-pun sudah
berjalan seenaknya pulang.
“Mereka sudah jauh,“ desis Witantra. Sumekar menganggukkan kepalanya.
“Aku kira, aku sudah cukup hari ini. Aku akan sering berada di kota ini.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. Tetapi ketika ia akan menjawab, anak laki-laki itu-pun berlari
kepadanya dan bertanya, “Apakah paman berdua akan singgah?”
Witantra dan Sumekar tersenyum, “Terima kasih,“ hampir berbareng mereka menjawab.
“Kakek sebentar lagi pasti akan segera pulang.”
“Terima kasih,“ ulang Sumekar, “katakan kepada kakekmu, kami mengucapkan terima kasih.”
“Bukankah kakek tidak memberikan apa-apa kepada paman berdua?“ bertanya anak itu.
Keduanya tertawa mendengar pertanyaan
itu. Witantra menjawab di sela-sela tertawanya, “Memang tidak. Tetapi
kami sudah berteduh di regol halaman rumahnya.”
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan Menyampaikannya kepada kakek.”
Sumekar menepuk bahu anak itu, “Kami minta diri. Kami akan pulang.”
“Dimanakah rumah paman?”
“Jauh sekali.”
“Jauh sekali? “ ulang anak itu.
“Ya, jauh sekali. Paman datang berdua untuk melihat Iring-iringan Tuanku Sri Rajasa hari ini.”
“Apakah paman sudah tahu, bahwa Sri Rajasa akan keluar istana hari ini?”
Keduanya mengerutkan keningnya, “Kami,
yang tinggal dikota ini-pun tidak tahu. Tiba-tiba saja kami mendengar
tengara.“ Anak itu melanjutkan.
Witantra mengusap kepala anak itu sambil
tertawa pula, “Sudahlah. Pulanglah. Tungguilah rumahmu baik-baik.
Bukankah rumah itu kosong?”
“Ya.”
“Nanti ayammu masuk ke geledeg di dapur. Apakah nenekmu sudah menanak nasi?”
Anak itu mengerutkan keningnya. “Jadi paman berdua tidak singgah?”
“Terima kasih.”
Anak itu-pun kemudian berlari masuk keregol halaman rumahnya melintas kependapa.
Witantra dan Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka memandangi anak yang kemudian hilang di balik pintu.
“Anak yang berani,“ desis Witantra.
“Ya. Ia mempunyai dada yang terbuka.
Tidak seperti Tuanku Putera Mahkota. Kadang-kadang ia menyimpan berbagai
macam perasaan di dalam dadanya.”
“Lingkungannya telah membentuknya demikian. Tetapi mudah-mudahan akibatnya tidak terlampau jelek buatnya.”
“Aku akan mencoba selalu
memperingatkannya, agar ia tidak menjadi semakin kecil, dan kehilangan
harga diri. Sampai saat ini ia tidak merasa terganggu oleh pelatihnya
yang baru.”
Witantra menganggukan kepalanya. Sejenak
ia memandang ke jalan raya yang sudah menjadi semakin sepi. Satu dua
orang masih tampak berjalan dengan tergesa-gesa karena matahari menjadi
semakin terik membakar kulit.
“Pertemuan kita sampai di sini hari ini Ki Sanak,“ berkata Witantra.
“Kita akan bertemu lagi,“ sahut Sumekar,
“agaknya kita menemukan bahan pembicaraan yang sama-sama menarik
perhatian kita masing-masing.”
Keduanya-pun kemudian berpisah. Sumekar tidak jadi berjalan-jalan menyusuri kota, tetapi ia-pun segera kembali ke istana.
Di saat-saat Sri Rajasa keluar istana,
apakah ia pergi berburu, bercengkerema atau apapun, istana terasa
menjadi sepi. Putera-putera Sri Rajasa biasanya ada pada ibu
masing-masing. Sedang Tohjaya ikut serta dengan Sri Rajasa pergi
berburu.
Ketika Sumekar di sore hari kembali
kepada kerjanya, menyiram batang-batang perdu dan bunga-bungaan di dekat
bangsal Anusapati, dilihatnya Putera Mahkota itu duduk di atas tangga
sambil bertopang dagu.
Sumekar tidak berani mendekatinya. Bukan
karena Anusapati, tetapi ia takut dicurigai. Karena itu, maka ia-pun
segera berjongkok di samping sebatang pohon soka kuning yang sedang
tumbuh.
Anusapati yang melihatnyalah yang kemudian mendekatinya. Wajahnya muram dan langkahnya-pun terasa berat.
“Ayahanda Sri Rajasa pergi berburu lagi,“ desisnya.
“Hamba tuanku. Hamba tadi melihat di pinggir jalan.”
“Dimana kau?”
“Hari ini hamba mendapat istirahat. Pagi
tadi hamba berjalan-jalan keluar istana. Dan hamba melihat iring-iringan
Ayahanda pergi berburu.”
“Adinda Tohjaya diperkenankan ikut. Tetapi aku tidak.”
“Apakah tuanku sudah menyatakan keinginan tuanku, kepada Ayahanda?”
“Ya. Aku sudah memohon agar aku diperkenankan ikut serta.”
“Apakah jawab Sri Rajasa?”
“Aku adalah seorang Putera Mahkota. Aku
harus selalu menjaga diri, agar aku tidak terkena bahaya. Aku harus
menjadi orang simpanan yang tidak boleh lecet sedikit-pun juga, karena
tidak pada tempatnya apabila seorang raja kelak mempunyai cacat pada
tubuhnya.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Dan
apa yang dicemaskan-pun segera ternyata pula. Anusapati itu kemudian
berkata, “Paman, ternyata kedudukanku sama sekali tidak menyenangkan.
Barangkali lebih baik buatku apabila aku tidak menjadi seorang Putera
Mahkota. Aku lebih senang menjadi seorang biasa yang bebas dan dapat
berbuat apa saja yang diingini. Tetapi seorang Putera Mahkota terikat
oleh berbagai macam peraturan dan pantangan yang menjemukan sekali.”
“Tuanku Pangeran Pati,“ berkata Sumekar
kemudian, “Tuanku harus tabah menghadapi semuanya itu. Setiap orang
merasa mempunyai kesulitan perasaannya masing-masing. Setiap orang
merasa, bahwa orang lain agaknya jauh lebih senang dari dirinya sendiri.
Sudah pasti tidak seorang-pun yang akan menyangka, bahwa seorang
Pangeran Pati seperti Tuanku ini masih juga merasa hidupnya terbelenggu
oleh ikatan-ikatan yang tuanku anggap menjemukan sekali. Sebaliknya
tuanku merasa bahwa hidup di luar istana, hidup tidak sebagai seorang
Pangeran Pati pasti akan menyenangkan sekali. Tuanku, sudah tentu itu
tidak benar seluruhnya. Karena kita masing-masing tidak dapat melihat
kesulitan-kesulitan yang ada di dalam hati orang lain, yang biasanya
berusaha disembunyikan apabila ia berhadapan dengan orang lain. Seorang
perempuan yang sedang menangis sekalipun, akan segera mengusap air
matanya apabila ada seorang tamu yang datang ke rumahnya.“
Anusapati terdiam sejenak.
“Karena itu tuanku,” Sumekar meneruskan,
“kita hanya dapat melihat senyum dan tawa orang lain, karena mereka akan
segera bersembunyi apabila mereka menangis.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun demikian ia berkata, “Tetapi aku mempunyai keadaan yang khusus paman.”
“Hamba mengerti Tuanku. Hamba mengerti apa yang tersirat dihati tuanku. Tetapi tidak seluruhnya daripada itu benar sama sekali.”
Anusapati terdiam.
“Sebaliknya tuanku mencoba mentaati semua
peraturan dan pantangan sejauh dapat tuanku lakukan. Semuanya itu
merupakan tempaan yang membuat tuanku menjadi baja yang tahan uji di
segala keadaan.”
Anusapati masih tetap berdiam diri.
Tetapi ia mencoba untuk merenungkan kata-kata Sumekar itu. Meskipun
kemudian ia dapat mengerti, tetapi ia tidak dapat menyingkirkan
kepahitan yang selalu harus ditelannya.
“Paman Sumekar tidak mengalaminya,“
katanya di dalam hati, “agaknya memang lain. Orang yang tidak mengalami
akan dapat memberikan nasehat sebaik-baiknya. Tetapi agaknya berbeda
bagi orang yang langsung terkena. Tetapi aku harus mempertimbangkannya
untuk mendapatkan pegangan.”
Tetapi Sumekar seakan-akan mengetahui apa
yang tersirat dihati Putera Mahkota itu. Maka katanya, “Tuanku, hamba
hanya sekedar dapat memberikan nasehat dan barangkali sedikit petunjuk.
Memang lain sekali bagi orang yang langsung mengalami. Meskipun
demikian, di dalam keragu-raguan kata-kata hamba akan dapat memberikan
keseimbangan.”
“Terima kasih paman,“ sahut Anusapati.
“Aku memang ragu-ragu. Tetapi aku akan mencoba mencarinya di dalam
suasana yang lebih bening dari kini.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia menyadari bahwa luka di hati Anusapati semakin lama menjadi semakin
parah. Kalau tidak ada obat yang dapat mencegah menjalarnya penyakit itu
ke segenap sudut hatinya maka pada suatu saat pasti akan meledak dan
menumbuhkan akibat yang gawat.
Untunglah bahwa agaknya gurunya kini
tidak lagi seperti gurunya yang dahulu. Kalau prajurit yang dahulu itu
masih juga hidup dan menjadi pelatihnya, maka ia pasti akan mempercepat
peristiwa itu. Anusapati pasti tidak akan dapat bertahan terlampau lama.
Di saat-saat istana kosong, maka para
penjaga-pun agaknya merasa seolah-olah tugasnya menjadi bertambah
ringan. Di dalam istana itu tidak ada lagi orang yang harus
dipertanggung jawabkannya dan orang yang akan menuntut tanggung
jawabnya.
Dalam kesuraman hati, Anusapati
mempergunakan saat yang demikian untuk keluar dari istana di malam hari
setelah agak lama ia tidak melakukannya. Ia ingin melepaskan himpitan
yang menekan perasaannya selama ini. Ia ingin berbuat sesuatu. Sendiri.
Bahkan Sumekar-pun tidak diberitahukannya.
Para penjaga yang tidak begitu mantap di
hari-hari yang sepi, tidak mengetahui bahwa Putera Mahkota meninggalkan
istana di malam hari, pergi ke jurang sungai yang dalam dan gelap, yang
jarang sekali disentuh oleh kaki manusia.
Seperti seorang yang dibakar oleh dendam
yang tiada taranya, Anusapati telah mencoba melepaskan kekuatannya,
menghantam batu-batu padas di dinding, sehingga berguguran. Ia ingin
melihat, betapa kekuatannya kini, seakan-akan ia sudah siap untuk
mempergunakannya.
Dengan nafas yang terengah-engah ia
menyaksikan batu-batu padas yang pecah dan berserakan di bawah kakinya.
Tetapi ia tidak segera menjadi puas. Diulanginya sekali, dua kali dan
hampir saja ia lupa akan waktu.
Agaknya warna-warna merah dilangit telah
memperingatkannya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia meninggalkan
jurang itu dan kembali keistananya.
Demikianlah pada malam kedua dan ketiga.
Anusapati pergi sendiri ke tempat latihannya, ia seakan-akan ingin
melihat ilmunya semakin cepat masak. Ia tidak tahu, apakah ia akan
segera mempergunakannya. Tetapi apabila ilmu itu sudah masak, ia akan
merasa dirinya aman. Ia setidak-tidaknya sudah mempunyai pegangan yang
kuat bagi kedudukannya yang menjemukan itu.
Dengan demikian maka di siang hari
Anusapati merasa dirinya sangat letih. Bahkan kadang-kadang dengan wajah
yang suram ia duduk saja ditangga bangsalnya, sehingga setiap prajurit
dan hamba istana yang lewat di muka bangsal itu, harus membungkuk dan
berjalan terbongkok-bongkok karena Pangeran Pati duduk di atas tangga
bangsal.
Sumekar yang melihat keadaan Putera
Mahkota menjadi cemas. Tetapi ia tidak berani menanyakannya. Ia hanya
dapat menduga, bahwa di malam hari, Anupati pasti sedang berbuat
sesuatu. Dan Sumekar-pun menduga bahwa yang dilakukan oleh Anusapati itu
pasti melatih diri, memeras tenaga antuk menemukan kemampuan tertinggi.
Tetapi di dalam keadaan yang demikian
Sumekar tidak berani menegurnya. Selagi Anusapati merasa dirinya
terasing, karena ia sama sekali tidak mendapat kesempatan yang serupa
dengan Tohjaya. Meskipun demikian, tumbuh juga dihatinya suatu keinginan
untuk mengawasinya. Kalau karena tekanan perasaan Anusapati berbuat
berlebih-lebihan, maka hal itu pasti akan sangat berbahaya baginya.
Demikianlah, maka tanpa setahu Anusapati,
Sumekar telah membayanginya. Ketika malam menjadi semakin gelap, dan
Anusapati meloncati dinding istana yang tinggi, Sumekar ikut pula
melakukannya.
Sumekar tahu benar kemampuan Anusapati.
Itulah sebabnya, maka ia harus berhati-hati mengikutinya. Ia sadar,
bahwa prajurit pelatih Anusapati yang terjerumus ke dalam jurang itu,
sama sekali tidak mengetahui, bahwa sebenarnya Anusapati sudah
mengetahui, bahwa ia sedang diikuti.
Tetapi Sumekar-pun memiliki kemampuan
yang jauh lebih tinggi dari pelatih itu, sehingga ia dapat menempatkan
dirinya, agar Anusapati tidak mengetahuinya.
Dengan hati yang berdebar-debar Sumekar
melihat Anusapati menuruni tebing. Betapa-pun gelapnya, namun bagi
Anusapati yang sudah terlampau biasa, kakinya seolah-olah dapat melihat
jalan setapak yang menuruni tebing yang curam.
Dengan hati-hati, Sumekar yang telah
memahami daerah itu pula, turun lewat jalur jalan setapak yang lain.
Dengan hati-hati pula ia merayap mendekati tempat latihan Anusapati, di
bawah tebing, di dalam jurang yang agak dalam, di tepian sungai
berpasir.
Sumekar-pun kemudian duduk dibalik sebuah
batu yang besar. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat, bagaimana
Anusapati telah memeras segenap tenaganya di dalam latihan-latihan yang
berat selama beberapa malam berturut-turut.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kagum atas kemauan Anusapati yang seolah-olah telah membakar jiwanya.
Namun dalam pada itu, selagi Anusapati
mengerahkan segenap tenaganya menghantam tebing yang berbatu-batu padas,
mereka telah dikejutkan oleh ledakan kekuatan yang luar biasa
menghantam dan memecahkan sebuah batu besar, tidak jauh dari tempat
latihan itu.
Sejenak Anusapati seakan-akan telah
membeku di tempatnya. Bukan saja Anusapati, tetapi Sumekar yang
bersembunyi di balik sebuah batu-pun menjadi tegang karenanya. Mereka
sadar, bahwa kekuatan itu adalah kekuatan yang tidak terkira besarnya.
Belum lagi Anusapati berbuat sesuatu,
terdengar suara tertawa yang berkepanjangan dari arah batu yang pecah
itu. Semakin lama semakin keras, sehingga seolah-olah telah
mengguncangkan jurang yang dibatasi oleh dua buah tebing sebelah
menyebelah yang tinggi itu.
“Siapa kau?” terdengar suara Anusapati. Tetapi suara itu masih juga bergema terus.
“Siapa kau?” Anusapati hampir berteriak. Dan suara tertawa itu-pun menurun.
Anusapati masih tetap berdiri
ditempatnya. Tetapi ia harus berhati-hati. Kekuatan orang yang tertawa
itu terlampau dahsyat, sehingga apabila ia tersudut kedalam kesulitan,
maka ia harus melawan dengan puncak kemampuannya, Gundala Sasra yang
telah diterimanya dari gurunya, Mahisa Agni.
Meskipun demikian Anusapati masih juga
ragu-ragu, apakah kekuatan puncaknya yang masih belum matang itu akan
mampu melawan kedahsyatan orang yang tidak dikenalnya itu? Namun dengan
kekuatan aji itu, ia akan dapat sekedar melindungi dirinya. Kalau ia
sama sekali tidak memiliki rangkapan seperti Gundala Sasra, maka ia
pasti akan pecah dan hancur seperti batu itu.
Karena orang yang tertawa itu masih belum menjawab, maka sekali lagi Anusapati bertanya, “Siapakah kau?”
Tetapi orang itu sama sekali tidak
menyahut. Namun di dalam gelapnya malam Anusapati melihat sebuah
bayangan yang hitam melangkah mendekatinya.
“Siapa kau? Kalau kau tidak menjawab, kita akan bertempur,“ berkata Anusapati kemudian.
Orang itu berhenti beberapa langkah dari
Anusapati, sementara Sumekar menahan nafasnya. Tetapi ia merasa tergetar
oleh suara jantan Anusapati. Ternyata Anusapati mempunyai sikap yang
terpuji menghadapi suatu keadaan yang tidak diduganya.
“Jangan begitu garang Tuanku Pangeran
Pati,“ terdengar suara bayangan itu seakan-akan menggeram, “hamba memang
ingin menghadapi dalam kesempatan serupa ini.”
Dada Anusapati berdesir. Ternyata orang
itu mengetahui, bahwa ia adalah Putera Mahkota. Karena itu, maka dadanya
menjadi semakin berdebar-debar.
“Disini dahulu Tuanku Anusapati pernah membunuh seseorang,“ berkata suara itu, “guru tuanku sendiri.”
“Gila. Siapa kau?”
“Tunggu. Apakah tuanku Anusapati akan
membunuh hamba juga karena hamba mengetahui rahasia tuanku? Bahwa tuanku
sering datang ke tempat ini dan dengan sungguh-sungguh telan melatih
diri, melepaskan aji Gundala Sasra? Tidak ada orang lain yang mampu
mempelajari aji Gundala Sasra selain keturunan atau murid turun-tumurun
dari perguruan di Padepokan Panawijen lama, Empu Purwa. Sekarang, hamba
melihat tuanku memiliki aji itu. Karena itu, maka tuanku pasti murid
dari perguruan itu. Tidak ada orang lain diperguruan Empu Purwa selain
Mahisa Agni, paman tuanku. Sehingga kesimpulan yang hamba dapatkan,
tuanku telah mendapat ilmu Gundala Sasra yang dahsyat itu dari Mahisa
Agni, yang telah dicurigai dan disingkirkan oleh tuanku Sri Rajasa ke
Kediri. Tetapi sebelum itu ternyata ia telah sempat menurunkan ilmunya
kepada tuanku.”
Tubuh Anusapati menjadi gemetar. Orang
itu tahu terlampau banyak tentang dirinya, sehingga orang itu adalah
orang yang sangat berbahaya baginya.
Tetapi karena orang itu masih belum
menyebut dirinya, Anusapati masih bertanya lagi, “Siapa kau? Sebut
dirimu. Kemudian aku akan mengambil sikap. Atau kita akan bertempur
segera.”
“Nanti dulu tuanku,“ berkata orang itu, “apakah semua yang hamba katakan itu benar?”
Sejenak Anusapati menjadi bingung. Namun sejenak kemudian ia membentak, “jawab dahulu, siapa kau.”
“Hamba bertanya kepada tuanku, apakah benar tuanku murid Mahisa Agni yang termashur itu.“
“Siapa kau?”
“Hamba bertanya dahulu.”
“Apa hakmu memaksa aku menjawab
pertanyaanmu lebih dahulu, sedang akulah yang pertama-tama mengajukan
pertanyaan kepadamu. Siapa kau?”
“Jawab tuanku akan menentukan, apakah hamba akan menyebut diriku.”
“Aku tidak peduli. Aku tidak akan
berbicara dengan, orang yang tidak aku ketahui tentang dirinya. Kalau
kau tidak mau menjawab, maka kita akan bertempur. Atau barangkali cara
yang terakhir itulah yang kau kehendaki?”
“Tuanku terlampau bernafsu untuk berkelahi.”
“Tergantung kepadamu.”
“Sebenarnya pertanyaan tuanku tentang
hamba sangat menggelikan. Apakah tuanku menyangka bahwa seandainya hamba
menyebut sebuah nama itu nama hamba yang sebenarnya? Hamba tahu, tuanku
tidak mengenal hamba. Dengan demikian, maka tidak akan ada gunanya
tuanku memaksa hamba menyebutkan sebuah nama.”
“Itukah kau yang sebenarnya? Disinilah
letaknya nilai seseorang. Apakah ia seorang jantan yang jujur, atau
seorang pengecut yang licik. Meskipun aku disini sedang berlatih dengan
diam, tetapi aku tidak ingkar. Inilah Anusapati, Putera Mahkota
Singasari. Nah, apakah kau berani menyebut namamu dan menyatakan dirimu
yang sesungguhnya?”
“Lebih baik tidak tuanku. Meskipun hamba
akan disebut pengecut yang licik, hamba tidak akan mengatakan siapakah
hamba ini, karena hal itu tidak akan ada gunanya.”
Anusapati menggeretakkan giginya.
Selangkah ia maju. Ia kini berada di dalam keadaan yang sulit. Orang itu
terlampau banyak mengetahui keadaannya.
Sekilas terbayang prajurit yang menjadi
pelatihnya, yang terbunuh pula di dalam jurang ini. Meskipun ia
ragu-ragu dan bahkan di saat-saat terakhir ia ingin mengurungkan
niatnya, namun pernah terbersit diliatinya untuk memusnakan gurunya itu,
karena ia mengetahui rahasia dirinya.
Dan dalam kebimbangan itu ia mendengar
orang itu bertanya, “Tuanku, apakah kini tuanku berhasrat untuk membunuh
hamba juga seperti prajurit yang menjadi pelatih tuanku itu?”
Tubuh Anusapati menjadi gemetar. Ia
benar-benar telah dibakar oleh kebimbangan dan bahkan kebingungan. Ia
tidak mengerti apakah yang sebaiknya dilakukan didalam saat3 seperti
itu.
“Tuanku,“ berkata bayangan yang
kehitam-hitaman itu, “kenapa tuanku tidak mau menjawab pertanyaan hamba,
dan bahkan tuanku memilih jalan kekerasan?”
“Gila. Kau gila. Kaulah yang memaksa aku
untuk melakukan kekerasan karena kau tidak menjawab pertanyaanku lebih
dahulu. Sudah aku katakan, aku tidak mau berbicara dengan orang yang
tidak aku kenal, apalagi mengenai masalah yang penting bagi diriku.”
“Baiklah. Baiklah tuanku. Kalau itu
merupakan syarat yang harus hamba penuhi, biarlah hamba menyebut nama
hamba. Nama hamba adalah Podang Jene, atau kalau nama itu terlampau
bagus, hamba bernama Sontrang Jahe, atau tuanku memilih nama lain buat
hamba? Misalnya, Banu Werti atau apa saja? Nah, hamba telah menyebut
nama hamba. Bahkan tidak hanya satu. Sekarang, tuanku harus menjawab,
apakah tuanku pewaris tunggal dari perguruan Panawijen, murid Mahisa
Agni dan menerima aji Gundala Sasra dari padanya?”
“Gila. Jawabanmu cukup gila. Apakah
sekarang aku harus menjawab bersungguh-sungguh? Baiklah, aku akan
menjawab pertanyaan itu. Aku sama sekali tidak kenal dengan paman Mahisa
Agni. Aku tidak pernah menjadi muridnya dan aku tidak pernah menerima
apa-pun daripadanya. Aku adalah Putera Mahkota Singasari. Pewaris
tunggal Kerajaan yang besar ini, dan aku-pun pewaris ilmu yang tiada
taranya dari Ayahanda Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Nah, kau dengar
jawabku.”
“Ada sedikit salah tuanku.”
“Benar. Tidak ada salahnya.”
“Tuanku menyatakan tidak kenal dengan paman Mahisa Agni. Kalau tuanku tidak kenal, tuanku tidak akan menyebutnya paman.”
“Aku menyebutnya paman karena menurut
ceritera Ibunda Permaisuri ia adalah kakak ibunda. Nah, ternyata aku
tidak salah. Tidak mustahil seseorang belum pernah melihat wajah
pamannya seumur hidupnya.”
“Tetapi Mahisa Agni pernah tinggal di istana.”
“Bangsal kami dibatasi oleh dinding yang
rapat. Begitu? Atau aku harus mencari jawab lain yang lebih tidak masuk
akal seperti jawabmu?”
Orang itu terdiam sejenak. Namun
tiba-tiba suara tertawanya meledak seperti akan memecahkan selaput
telinga. Disela-sela suara tertawa ia berkata, “Jadi tuanku berusaha
membalas jawaban hamba dengan jawaban yang serupa, yang tidak masuk
akal? Agaknya tuanku marah mendengar jawabanku dan tuanku berusaha
membuat aku marah pula. Begitu?”
“Gila. Kau memang gila. Aku tidak melihat
jalan lain kecuali bertempur. Aku sadar, bahwa kau ligin menunjukkan
bahwa kau mempunyai ilmu yang tinggi. Kau dapat memecah batu hitam
dengan sisi telapak tanganmu. Tetapi aku tidak dapat kau takut-takuti
seperti kanak-anak yang takut melihat topeng hantu-hantuan.”
“Aku percaya bahwa tuanku seorang
pemberani. Tetapi justru karena itu, tuan menganggap, bahwa penyelesaian
yang paling baik dari setiap persoalan adalah dengan kekerasan.”
“Tidak. Bukan aku yang memilih cara itu. Tetapi kau.”
“Sama sekali tidak tuanku. Hamba minta
dengan hormat agar tuanku menyebutkan perguruan tuanku. Kalau tuanku
sudah menyebutkannya hamba tidak akan berbuat apalagi. Kita tidak akan
melakukan kekerasan satu sama lain. Bukankah begitu?”
Kemarahan Anusapati sudah tidak dapat
ditahan-tahankannya lagi. Ia merasa bahwa ia sedang dipermainkan oleh
orang itu dengan pertanyaan dan jawabannya yang gila. Karena itu, terasa
dadanya serasa terbakar oleh jatungnya yang membara.
“Aku tidak lagi mempedulikan siapa kau.
Kau sengaja membuat aku marah dengan hinaan yang tidak ada taranya itu.
Ingat, aku adalah putera Mahkota. Kau memang pantas untuk mendapat
hukuman karena kau telah menghinakan Putera Mahkota.”
“Nah, bukankah tuanku sebenarnya memang berhasrat membunuh hamba?”
“Aku tidak peduli. Kau memang harus
disingkirkan. Aku tidak tahu maksudmu sebenarnya dan siapakah kau
sebenarnya. Tetapi kau sudah menghina aku, dan kau terlampau banyak
mengetahui tentang aku.”
“Tuanku agaknya telah memilih langkah
yang salah. Sekali tuanku berusaha menjelubungi suatu kesalahan, maka
tuanku akan membuat kesalahan-lahan berikutnya. Untuk tetap menutup
rahasia pembunuhan itu, tuanku harus melakukan pembunuhan berikutnya.
Demikian seterusnya, sehingga pada suatu saat, tuanku akan membunuh
orang demi orang. Kalau kelak tuanku menjadi raja, maka untuk
menyembunyikan rahasia ini, tuanku akan membunuh seluruh isi negeri.”
(Bersambung jilid ke 62)
No comments:
Write comments